Intisari Plus - Pasangan detektif menemui kasus bunuh diri yang mencurigakan. Pasalnya, anjing si korban ternyata ikut menemui ajal.
--------------------
“Menurutku sih sudah tewas pada hari Jumat malam tiga hari yang lalu,” kata Cassidy seraya mengeluarkan kotak berisi serbuk bersin.
Wall menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kotak itu dengan jijik. “Ih! Bisa-bisanya kamu bekerja sambil mengendus-endus benda itu.”
“Habis, sebagai reserse ‘kan kita tidak boleh merokok di tempat kejadian perkara. Kalau tidak merokok, mana aku tahan dengan bau mayat?”
Dengan ibu jarinya Cassidy menunjuk ke belakang mereka, ke arah pintu garasi yang terbuka.
“Yang di sana sih tidak apa-apa. Garasinya dingin dan sekarang Januari. Coba kalau Agustus!”
Seorang wanita tetangga sudah melihat mereka. Wanita itu bergegas menghampiri sambil mengancingkan mantelnya. “Pasti ingin bertanya macam-macam,” pikir Wall.
“Mengapa kamu yakin dia tewas tiga hari yang lalu?” tanyanya.
“Rigor moitis (kekakuan pada mayat) sudah terjadi dan sudah berlalu lagi,” jawab Cassidy. “Padanya maupun pada anjingnya. Lagi pula tidak ada yang melihatnya setelah Jumat malam.”
Didampingi seekor Rottweiler
Cassidy menutup kotak serbuk bersinnya dan memasukkannya ke saku. Wall berpikir. Tiga puluh detik lagi pasti Cassidy harus membuang ingusnya dengan saputangannya yang berwarna khaki.
“Aku heran, bunuh diri kok mengajak anjing,” kata Wall.
“Takut anjingnya tidak ada yang merawat barangkali,” jawab rekannya. “Kamu pernah merasakan punya anjing tidak?”
“Tinggal di apartemen memelihara anjing? Tidaklah yaw!”
Wanita tetangga sudah berada kira-kira 50 langkah dari mereka. la mengancingkan mantel sambil berjalan. Wall bergidik.
“Ayo ah, masuk! Tim koroner yang memeriksa sebab kematian pasti sudah selesai.”
Cassidy membuang ingusnya. la memasukkan saputangannya ke saku celana. Di setiap kantung mantelnya ia menaruh sehelai saputangan. Semua berwarna khaki, supaya tidak kentara kalau bernoda. Semua licin dan kering di pagi hari, tapi semua lembap setiap selesai dinas selama delapan jam.
Kalau mereka lembur 15 - 18 jam, Cassidy kehabisan saputangan. Terpaksa dia membeli segelas kopi di McDonald dan mengambil setumpuk tisu.
Koroner sedang berbenah. Ia mencopot sarung tangan karetnya. Di zaman AIDS ini, ia selalu memakai sarung tangan saat memeriksa mayat. Koroner itu tinggi besar dan sudah berumur.
“Sudah lama meninggal,” katanya. “Rasanya sih, akibat karbon monoksida seperti dugaan kalian. Kemungkinan besar dia bunuh diri.”
“Dok, bisa juga ‘kan dia terlalu banyak minum alkohol, tapi masih sanggup pulang, cuma sebelum keburu mematikan mesin mobilnya dia semaput?” tanya Wall.
“Mana ada orang keluar minum Jumat malam sambil membawa-bawa anjing di mobilnya?” kata Cassidy sambil bersiap-siap bersin.
“Anjing ‘kan sahabat paling baik bagi manusia,” jawab koroner. Cassidy bersin. Dokter menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu masih juga mencium-cium begituan, Jack?”
“Cuma kalau stres,” jawab Cassidy dengan berseri-seri.
“Stresnya tiap hari tapi.”
Cassidy mengeluarkan saputangan lagi.
“Yakin karbon monoksida, Dok?” tanya Wall.
“Kalau keracunan karbon monoksida biasanya kulit menjadi lebih merah. Nah, rasanya kulit dia asalnya pucat, tapi sekarang kemerah-merahan. Kita tunggu saja hasil autopsi supaya pasti.”
Koroner memandang wajah jenazah itu. “Belum pernah aku melihat orang bunuh diri menangis. Lihat! Matanya merah seperti habis menangis.”
“Barangkali dia mengasihani dirinya sendiri sebelum meninggalkan dunia yang kejam ini,” kata Cassidy.
“Orang bunuh diri tidak menangis. Tidak pernah,” jawab koroner. Mereka bunuh diri bukan karena mengasihani dirinya, tapi karena marah kepada orang lain. Cuma kemarahan itu mereka sembunyikan.
“Aku sih tetap tidak mengerti kenapa dia mengajak anjingnya mati,” kata Wall. “Walaupun kata Jack karena dia merasa itu yang terbaik.”
“Itu sih tidak aneh. ‘Kan pernah ada ibu-ibu yang membunuh anaknya dengan keyakinan menyelamatkan anak mereka dari kekejaman dunia.” Koroner tampaknya tidak peduli pada anjing.
Wall menjenguk ke dalam mobil dari kaca jendela yang kini sudah dibuka. Di belakang kemudi duduk seorang pria bertubuh kecil yang masih memakai mantel bagus. Syal yang melilit lehernya dari sutera. Orang ini berduit.
Wajahnya yang sudah kehilangan seri kehidupan menengadah karena tadi ditengadahkan oleh koroner yang memeriksa matanya dengan senter dan menekan kulit wajahnya.
Di sebelahnya, di kursi penumpang, terbujur bangkai anjing. Binatang itu tampaknya sempat berusaha keluar mencari udara segar. Berbeda dengan pemiliknya, pikir Wall.
“Bunuh diri,” katanya yakin. “Aku akan mencari surat yang dia tinggalkan.”
“Rasanya memang begitu,” timpal Cassidy.
“Mendingan kita berbicara dengan orang yang tadi menelepon kita. Dia pasti ingin tahu apa yang terjadi.”
“Tunggu! Aku ajak dia ke sini untuk identifikasi,” kata Wall
Wall keluar dari pintu samping, menuju ke dapur, tempat seorang pria kecil berumur 50-an menunggu.
Pria itu mengenakan setelan jas bergaris halus yang bagus potongannya. Khas bankir, pikir Wall. Atau pialang atau apalah, pokoknya yang berhubungan dengan uang.
Teleponnya mati
“Koroner menyatakan pria di garasi sudah meninggal, Pak Thompson. Sebenarnya berat buat saya meminta pertolongan Anda. Tapi jenazah itu perlu diidentifikasi. Anda bersedia melakukannya?”
“Oh!” kata Thompson. “Keadaannya ‘kan tidak ....” la berdehem dan tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Tidak, seperti sedang tidur saja,” kata Wall.
Thompson berhenti melangkah saat masih jauh. la memandang ke arah mobil dengan gugup.
“Ya, kelihatannya sih dia,” suaranya tegang.
“Silakan lebih dekat, supaya pasti,” Wall menganjurkan sambil memberi isyarat dengan sebelah tangannya, seperti pengantar menunjukkan kursi kepada penonton di gedung bioskop.
Thompson menelan ludah sampai bunyinya kedengaran, lalu melangkah beberapa kali lagi.
“Ya, betul Martin,” katanya.
“Martin Blaine?” Wall menegaskan dengan tenang.
“Ya, Martin Blaine.”
Cassidy mengeluarkan kotak serbuk bersinnya. Diangsurkannya kepada koroner yang buru-buru menggeleng.
“Apakah Pak Blaine menduduki posisi yang peka di perusahaan Anda?”
“Maksud Anda ia bertanggung jawab atas keuangan? Ya, memang begitu. Kami berdua sama-sama memegang keuangan.”
Pria itu lebih percaya diri sekarang. Sebagai orang yang terbiasa mengurusi uang, menyebut uang segera membesarkan kepercayaan dirinya.
“la teman baik Anda?” tanya Wall.
“Kami bekerja sama.”
“Kasihan anjingnya, ikut mati.”
“Ya, sayang.”
Thompson menarik lengan jasnya untuk melihat arlojinya.
“Anda masih memerlukan saya, Pak Polisi? Saya harus buru-buru kembali ke kantor.”
“Silakan. Terima kasih Anda menelepon kami saat Pak Blaine tidak datang ke kantor pagi ini,” jawab Cassidy. Lalu ia melirik Wall. Wall mengerti isyarat rekan lamanya itu.
“Anda biasa melakukannya, Pak?”
“Biasa apa?” tanya Thompson yang sedang berjalan meninggalkan garasi untuk mengambil mantelnya di dalam rumah.
“Menelepon polisi kalau ada karyawan tidak muncul,” jawab Wall sopan.
Thompson berhenti dan menoleh. Sebelah kakinya sudah menuruni tangga. “Tidak, tidak selalu.” Ia melambaikan sebelah tangannya. “Kalau sekretaris atau karyawan biasa tentu tidak, tapi Martin sudah berjanji akan datang pagi-pagi. Kami harus berunding lewat telepon dengan London karena ada transaksi besar. Kami akan membeli sebuah pabrik bir di sana.” Ia berhenti berbicara dan tersenyum tipis. “Maaf, saya tidak bisa menyebutkan nama pabriknya, sebab nanti terasa dampaknya di bursa.”
“Ketika Pak Blaine tidak muncul, apa yang Anda lakukan?” tanya Cassidy.
“Saya menelepon ke rumahnya, tapi tidak ada yang mengangkat telepon. Saya duga ia terjebak kemacetan lalu lintas. Saya hubungi mobilnya, tapi teleponnya tidak diaktifkan. Terpaksa saya berunding tanpa dia. Ketika dia tidak datang juga, saya telepon lagi. Akhirnya, saya datang kemari. Tidak ada yang membukakan pintu dan tidak ada jejak ban mobil di halamannya.”
“Pukul berapa Anda meninggalkan kantor?” tanya Wall.
“Pukul 12.30. Sekitar itulah.” Thompson melirik lagi arlojinya. “Maaf, Pak Polisi. Saya mesti buru-buru.”
“Silakan, Pak! Terima kasih Anda menelepon kami.”
Thompson mengangguk. “Terima kasih. Silakan menelepon ke kantor saya kalau Anda perlu informasi lagi.”
Sesudah Thompson pergi, koroner mengangkat tasnya. “Aku beri tahu kalian sore ini perihal dia mabuk atau tidak saat meninggal. Aku perlu mendahulukan jenazah yang terapung di teluk itu!”
“Wah, benar-benar pelesit (hantu pemakan mayat)!” kata Cassidy.
“Dunia perlu pelesit!” kata koroner tertawa. “Untung, aku menikmati pekerjaanku!”
Cassidy dan Wall memandang dokter itu pergi, lalu mereka menghampiri polisi berseragam yang memarkir mobil patrolinya di muka garasi. Polisi itu duduk di dalam mobil, menikmati kehangatan. la membuka kaca jendela.
“Mau memanggil mobil daging?” tanyanya.
Saat itu para tetangga sudah bergerombol di halaman, menikmati kegemparan yang tidak terduga di Senin siang. Seorang wanita setengah baya mendengar pertanyaan polisi kepada para reserse. la menyampaikannya kepada yang lain.
Wall menatapnya sehingga wanita itu berhenti berbicara sebelum kalimatnya selesai. Setelah beradu pandang, ia meneruskan kata-katanya dengan sikap menantang.
Tak ada bekas anjing
Cassidy menjawab pertanyaan polisi yang duduk di mobil. “Tidak. Kita perlu truk derek. Tapi panggil dulu CIB (seksi penyidikan kriminal), Charlie! Biar mereka bawa mobilnya ke pangkalan. Mayatnya pindahkan ke tempat jenazah.”
“Kami akan memeriksa di dalam. Kamu tetap di sini sampai mobil derek pergi. Jaga jangan sampai orang-orang mendekat.”
Cassidy menutup pintu garasi dan berdua dengan Wall memandang jenazah dalam mobil.
“Kita akan menggeledahnya nanti di tempat jenazah,” kata Cassidy. “Sekarang kita periksa rumahnya. Siapa tahu ada pesan, setumpuk uang kertas ribuan dolar, atau hal lain yang bisa menjelaskan kenapa dia berbuat begini.”
Cassidy dan Wall sudah lama bekerja sama sehingga tidak perlu membuang waktu. Wall memeriksa ruang duduk dan dapur. Cassidy menangani kamar tidur. Ia selesai lebih dulu dan turun ke ruang duduk.
“Kamu tidak sadar, ya, bahwa ada yang aneh?” katanya.
“Tidak. Apa?” kata Wall yang sedang memeriksa isi laci, surat sewa rumah, surat asuransi, semua tersusun rapi.
“Tidak tercium bau anjing. Tidak ada bulu anjing di sofa.”
“Anjingnya dikurung di satu ruangan saja barangkali,” jawab Wall. “‘Kan banyak orang yang begitu.”
“Ada tempat tidur anjing tidak di dapur?”
Cassidy bangkit dari sofa. “Coba aku periksa lagi.”
Wall kembali membongkar laci. Ada kaleng bekas biskuit yang isinya ternyata foto, bukan duit atau rahasia yang bisa menjelaskan terjadinya tubuh dingin di garasi.
“Ada tempat tidur anjing. Baru banget,” kata Cassidy dengan bingung. “Piring makan dan kantung makannya juga sama barunya.”
“Jadi?” Wall bertanya. “Apa anehnya? la punya anjing. Anjing itu perlu tidur dan makan. Anjing sungguhan ‘kan, bukan boneka.”
“Anjing ‘kan meninggalkan bekas-bekas kejorokannya, walaupun anjing manis, seperti anjing geladak istriku.”
“Lupakan anjing,” kata Wall. “Tidak usah dipikirkan. Ini jelas bunuh diri. Cuma saja dia mengajak anjingnya ke akhirat.”
Cassidy duduk lagi di sofa. “Tapi aku tetap merasa aneh, tuh!”
“Aku malah tidak. Sudah, jangan aneh-aneh. Kita ditunggu pekerjaan lain.”
“Di sini tidak ada pesan apa-apa,” Wall meneruskan.
“Tapi semua surat-suratnya lengkap. Lihat!”
Di laci file, surat-surat penting tersusun dengan rapi menurut abjad. Ada surat mobil, asuransi rumah, paspor, tanda pembayaran tunjangan pada mantan istri. Pokoknya, semua.
“Ada surat anjing tidak di abjad D?” tanya Cassidy.
“Kelihatannya ‘kan anjing ras Jerman tuh! Rottweiler, anjing pembunuh. Mestinya ada surat pembeliannya, stamboom, dsb.”
“Tidak ada tuh!” kata Wall. “Sudahlah, jangan memikirkan anjing melulu. Mendingan mikir makan. Kita ‘kan mesti melembur hari ini.”
“Mesti ada yang pergi ke jandanya, dong!” kata Cassidy. “Rasanya kita mesti menanyakan soal anjing juga. Siapa tahu itu anjing kesayangannya. Seorang mantan suami ingin menyakiti hati mantan istrinya jadi anjing itu diajak mati sekalian. Ada alamatnya tidak?”
Pengakuan mantan istri
“Ada!” Wall membuka buku catatannya. Dia sudah mencatat nama dan alamat mantan istri Blaine. “Ayo, kita pergi!”
Juru potret dan ahli sidik jari dari seksi penyidikan kriminal tiba. Cassidy dan Wall memberi keterangan perihal apa yang diperlukan, lalu keluar menuju mobil mereka sambil tersenyum ramah kepada para tetangga.
Jumlah penonton sudah kira-kira 20 orang. Pipi dan hidung mereka merah kedinginan, tapi rasa ingin tahu rupanya tidak terkalahkan oleh suhu.
Cassidy mengemudi, sedangkan Wall mengamati ujung sebelah sepatunya yang sobek akibat masuk dari jendela dapur.
“Untung jendela itu terbuka, walaupun aku mesti beli sepatu baru,” katanya.
“Eh, kamu saja yang berbicara dengan istrinya. Tampangmu ‘kan memelas gara-gara sepatumu rusak.”
“Apa boleh buat,” kata Wall. la memang sering kebagian tugas itu. Cassidy selalu tampak gembira sehingga kabar buruk kedengaran aneh kalau keluar dari mulutnya.
Ternyata siapa pun yang berbicara tidak penting bagi mantan Ny. Martin Blaine. Dia sendiri berseri-seri. Wanita pirang itu berumur 40-an. Masih menarik walaupun kulitnya mulai kendur. Kedua reserse itu segera tahu bahwa antara mantan suami-istri itu sudah tidak ada cinta lagi.
“Jangan salah sangka. Saya tentu menyesali kejadian ini, tapi kami sudah berpisah lama, delapan tahun.”
“Anda mempunyai anak?” tanya Wall.
“Dua. Tapi keduanya tidak akan sedih. Mereka tidak pernah bertemu ayahnya sejak ditinggalkan.”
“Almarhum meninggalkan Anda karena ada wanita lain?” tanya Cassidy dengan riang. Wanita itu menggeleng.
“Tidak. Saya kira ia cuma merasa tidak tahan hidup dengan saya lagi. Semua orang dianggapnya kurang rapi. la mau semua serba apik. Semua barang mesti ada di tempatnya. Hal itu dikatakankannya enam kali sehari.”
Mantan Ny. Blaine menggelengkan kepalanya.
“Sebetulnya orang seperti itu patut dikasihani.”
“Anda pernah melihat anjingnya?” tanya Wall.
“Anjing? Jangan bercanda. Ia biasa melempari anjing tetangga kalau berani mendekati tempat kami. Orang seperti Martin tidak mungkin punya anjing.”
Wall menceritakan perihal anjingnya dalam mobil. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aneh sekali! Mana mungkin ia mengizinkan anjing masuk ke mobilnya.”
“Maksud Anda, dia alergi?” tanya Wall yang ingat pada mata mayat yang merah seperti habis menangis.
“Dia alergi terhadap semua yang tidak diletakkan dengan semestinya,” kata mantan Ny. Blaine. “Juga pada rumput, debu, serbuk sari, kucing, anjing, zebra, semua deh!”
“Tampaknya Anda tidak tergugah,” kata Cassidy.
“Berlebihan sih kalau menangis, tapi berita ini malah menyenangkan Anda.”
Ruth Blaine tertawa. “Seperti tidak berperikemanusiaan, ya? Saya tidak akan jatuh miskin tanpa tunjangan. Sekarang saya kira saya akan menikah lagi atau malah putus dengan pacar saya. Selama ini pacar saya tidak bisa tinggal di sini karena Martin selalu mengancam akan menghentikan tunjangannya kalau saya punya pasangan.”
“Semoga Anda beruntung dengan pasangan baru,” kata Cassidy sambil menyeringai. “Kelihatannya dia pelit.”
“Terima kasih untuk komentar Anda,” kata sang janda.
Setiba di luar Wall berkata, “Kelihatannya ia tidak mencurigakan.” Cassidy setuju.
“Mustahil dia mau membunuh angsa bertelur emas!”
“Tapi aku jadi terpikir pada anjing sial itu!”
“Ya! Aku juga.” Cassidy segera merogoh kotak serbuk bersinnya dan mengambil sejumput serbuk bersin.
Menggerogoti uang perusahaan
Mereka pergi ke pangkalan kendaraan polisi. Para petugas seksi penyidikan kriminal sedang meneliti mobil.
“Nah, si kembar Bobbsey!” kata Cassidy. “Menemukan sesuatu?” Juru potret dari tim penyelidik itu tertawa keras.
“Ya! Anjing gede! Tampaknya sih Rottweiler.”
“Selain anjing,” kata Cassidy. Ia membuka pintu di sebelah penumpang dan membalikkan telinga anjing.
“Mencari apa?” tanya si juru potret. “Kami kira dipasangi transmiter?”
“Nomor peningnya, pembiaknya, dsb.,” kata Cassidy.
“Nih, lihat! Kalau bukan berkat pasukan di medan perang, para jenderal tidak bisa menang perang.”
Juru potret itu tertawa mengakak.
“Ayo, kita kerja lagi!” kata Cassidy.
“Mau ke kennel?” tanya Wall.
“Benar sekali! Mustahil kita tidak bisa melacak benda sebesar ini? Eh, berapa sih beratnya kira-kira?”
Cassidy menelepon ke perkumpulan pembiak anjing, lalu ke pembiak yang menghasilkan anjing yang kini mati itu, dan ke pemilik terakhir yang namanya tercatat.
“Nah, beres!” kata Cassidy sambil menaruh telepon.
“Hari ini kita bakal mendapat bintang nihl”
Mereka mengunjungi pemilik terakhir anjing Rottweiler itu lalu pergi ke kantor tempat Martin Blaine bekerja sampai hari Jumat yang lalu. Resepsionisnya seperti bintang film yang mengantar pemenang turun-naik panggung dan pembagian hadiah Oscar. Ia memberi mereka senyuman sejuta dolar. Cassidy membalas senyumnya.
“Kami Pak Wall dan Pak Cassidy, ingin bertemu dengan Pak Thompson. Tolong katakan beliau sudah bertemu kami tadi siang.”
Resepsionis itu tersenyum lagi, seperti menyaingi senyum Cassidy.
Dua menit kemudian mereka sudah berada di kantor Thompson yang mengesankan. Dindingnya dilapisi kayu walnut. Perabotnya mantap, begitu pula layar monitor komputernya.
“Bagus sekali,” kata Cassidy saat mereka masuk.
Thompson memakai kemeja. Karena lengannya pendek, ia memakai gelang lengan supaya lengan kemejanya tidak melorot. Ia kelihatan risau.
“Anda maksud ruangan ini?” tanyanya. “Cuma standar, kok! Semua wakil presiden direktur mendapat ruangan seperti ini.” Thompson memandang ke komputernya yang menyala.
“Bukan ruang kantor ini,” kata Cassidy. Kata-katanya berhasil mengalihkan perhatian Thompson dari komputernya. Ia memandang Cassidy, tetapi ternyata Wall yang sekarang berbicara.
“Kami maksudkan anjing itu.”
“Anjing?” kata Thompson. Ia mengerutkan kening seperti bingung, tapi menjilat lidahnya. Kedua reserse melihatnya dan saling menyeringai.
“Anda ingin bos Anda berada di sini sekarang?” tanya Wall.
“Supaya Anda bisa menceritakan terus terang perihal uang yang Anda gerogoti dan mencoba menimpakan kesalahan Anda kepada Pak Blaine,” Cassidy menjelaskan.
Thompson pucat, tetapi tidak menyerah. la menatap mereka seorang demi seorang. Akhirnya, ia menyerang.
“Saya orang yang sibuk. Silakan jelaskan apa yang ingin Anda bicarakan atau keluar dari sini.”
“Dengan senang hati,” kata Cassidy. “Kami ingin berbicara perihal pembunuhan.”
“Betul,” kata Wall. “Supaya lebih jelas, kami ingin berbicara tentang pembunuhan yang Anda lakukan terhadap rekan Anda, Pak Martin Blaine!”
Sekarang Thompson berdiri dan menuding mereka. “Dia ‘kan bunuh diri. Kalian ‘kan yang membawa saya ke situ dan menunjukkan apa yang terjadi. Ia pergi ke garasi dan menyalakan mobilnya sampai mati lemas karena keracunan gas.”
“Memang itu yang terjadi,” kata Wall. “Tapi ‘kan bukan karena ia bunuh diri?”
Thompson duduk. “Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan.”
“Ia dibunuh,” kata Wall, “dan Anda pembunuhnya.”
“Bagaimana Anda bisa menuduh begitu?” Thompson marah. Berusaha marah, pikir Wall.
“Anda pergi ke rumahnya, menunggu dia datang, hari Jumat malam,” kata Wall.
“Betul,” timpal Cassidy. “Anda bawa anjing besar galak itu. Ketika Blaine mengendarai mobilnya masuk garasi, Anda ikut masuk dan berkata, ‘Oke, Martin. Biarkan mesin tetap hidup.’ Lalu Anda beri perintah kepada anjing itu. ‘Jaga’, agar Pak Blaine tidak bergerak. Kalau ia bergerak untuk mematikan mesin, si anjing akan mencabik-cabik tangannya. Lalu Anda keluar dari rumah itu, membiarkan Pak Blaine yang malang tewas.”
“Sangat rapi,” kata Wall. “Anda bahkan memilih anjing yang beratnya mendekati berat Pak Blaine agar anjing itu tidak lebih dulu semaput dari korban Anda.”
Thompson menaruh kedua tangannya di meja. Kepalanya menunduk. la tidak berkata apa-apa. Teleponnya berdering, tapi dibiarkannya saja.
Cassidy mengeluarkan serbuk bersinnya. Ia mengendusnya dengan nikmat.
“Mengapa tidak Anda panggil saja bos Anda, sekarang supaya bisa menjelaskan cara Anda menimpakan kesalahan menggelapkan dana kepada rekan lama Anda?”
“Lebih baik Anda lakukan, Pak,” kata Wall. “Kami sudah mendapat surat izin untuk menggeledah mobil Anda, untuk membandingkan bulu anjing yang tercecer di sana dengan bulu anjing yang mati. Anda membeli anjing penyerang itu Jumat malam. Kami sudah mendapat pernyataan dari mantan pemilik anjing itu. Anda katakan kepadanya bahwa Anda tinggal sendirian dan perlu teman.”
“Pandai sekali. Anda mengaku sebagai Blaine dan memberikan alamatnya kepada penjual anjing itu.”
“Anda berharap orang menduga Pak Blaine membeli anjing lalu pingsan di garasi dengan mesin mobil masih hidup, sehingga ia meninggal. Cuma Anda tidak tahu ia alergi. Bagaimanapun ia tidak bisa memiliki anjing.”
Pria bertubuh kecil itu tetap bersikap profesional sampai akhir. “Saya ingin berbicara dengan pengacara saya,” katanya. (Ted Wood)
Baca Juga: Lagu Palsu Alat Penipu
" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553636275/tak-mungkin-ia-punya-rottweiler" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945025000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448583" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/apakah-ia-punya-rottweiler_akash-20220831012856.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(114) "Sesosok mayat tergeletak bersama seekor anjing. Penjahatnya menyusun rencana agar si mayat diduga mati bunuh diri." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/apakah-ia-punya-rottweiler_akash-20220831012856.jpg" ["title"]=> string(26) "Apakah Ia Punya Rottweiler" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:29:14" ["content"]=> string(30173) "
Intisari Plus - Sesosok mayat tergeletak bersama seekor anjing. Penjahatnya menyusun rencana agar si mayat diduga mati bunuh diri, namun rencana itu berhasil diungkap polisi.
-------------------
"Menurutku sih dia sudah tewas pada hari Jumat malam tiga hari yang lalu," kata Cassidy seraya mengeluarkan kotak berisi serbuk bersin.
Wall menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kotak itu dengan jijik. "Ih! Bisa-bisanya kamu bekerja sambil mengendus-endus benda itu."
"Habis, sebagai reserse 'kan kita tidak boleh merokok di tempat kejadian perkara. Kalau tidak merokok, mana aku tahan dengan bau mayat?"
Dengan ibu jarinya Cassidy menunjuk ke belakang mereka, ke arah pintu garasi yang terbuka.
"Yang di sana sih tidak apa-apa. Garasinya dingin dan sekarang Januari. Coba kalau Agustus!"
Seorang wanita tetangga sudah melihat mereka. Wanita itu bergegas menghampiri sambil mengancingkan mantelnya. "Pasti ingin bertanya macam-macam," pikir Wall.
"Mengapa kamu yakin dia tewas tiga hari yang lalu?" tanyanya.
"Rigor mortis (kekakuan pada mayat) sudah terjadi dan sudah berlalu lagi," jawab Cassidy. "Padanya maupun pada anjingnya ada yang melihatnya setelah Jumat malam."
Didampingi seekor Rottweiler
Cassidy menutup kotak serbuk bersinnya dan memasukkannya ke saku. Wall berpikir. Tiga puluh detik lagi pasti Cassidy harus membuang ingusnya dengan sapu tangannya yang berwarna khaki.
"Aku heran, bunuh diri kok mengajak anjing," kata Wall.
"Takut anjingnya tidak ada yang merawat barangkali," jawab rekannya. "Kamu pernah merasakan punya anjing tidak?"
"Tinggal di apartemen memelihara anjing? Tidaklah yaw!"
Wanita tetangga sudah berada kira-kira 50 langkah dari mereka. la mengancingkan mantel sambil berjalan. Wall bergidik.
"Ayo ah, masuk! Tim koroner yang memeriksa sebab kematian pasti sudah selesai."
Cassidy membuang ingusnya. la memasukkan saputangannya ke saku celana. Di setiap kantung mantelnya ia menaruh sehelai saputangan. Semua berwarna khaki, supaya tidak kentara kalau bernoda. Semua licin dan kering di pagi hari, tapi semua lembap setiap selesai dinas selama delapan jam.
Kalau mereka lembur 15 - 18 jam, Cassidy kehabisan saputangan. Terpaksa dia membeli segelas kopi di McDonald dan mengambil setumpuk tisu.
Koroner sedang berbenah. Ia mencopot sarung tangan karetnya. Di zaman AIDS ini, ia selalu memakai sarung tangan saat memeriksa mayat. Koroner itu tinggi besar dan sudah berumur.
"Sudah lama meninggal," katanya. "Rasanya sih, akibat karbon monoksida seperti dugaan kalian. Kemungkinan besar dia bunuh diri.
"Dok, bisa juga 'kan dia terlalu banyak minum alkohol, tapi masih sanggup pulang cuma sebelum keburu mematikan mesin mobilnya dia semaput?" tanya Wall.
"Mana ada orang keluar minum Jumat malam sambil membawa-bawa anjing di mobilnya?" kata Cassidy sambil bersiap-siap bersin.
"Anjing 'kan sahabat paling baik bagi manusia," jawab koroner. Cassidy bersin. Dokter menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu masih juga mencium-cium begituan," Jack?"
"Cuma kalau stres," jawab Cassidy dengan berseri-seri. "Tapi stresnya tiap hari."
Cassidy mengeluarkan saputangan lagi.
"Yakin karbon monoksida, Dok?" tanya Wall.
"Kalau keracunan karbon monoksida biasanya kulit menjadi lebih merah. Nah, rasanya kulit dia asalnya pucat, tapi sekarang kemerah-merahan. Kita tunggu saja hasil autopsi supaya pasti."
Koroner memandang wajah jenazah itu. "Belum pernah aku melihat orang bunuh diri menangis. Lihat! Matanya merah seperti habis menangis.
"Barangkali dia mengasihani dirinya sendiri sebelum meninggalkan dunia yang kejam ini," kata Cassidy.
"Orang bunuh diri tidak menangis. Tidak pernah," jawab koroner. "Mereka bunuh diri bukan karena mengasihani dirinya, tapi karena marah kepada orang lain. Cuma kemarahan itu mereka sembunyikan."
"Aku sih tetap tidak mengerti kenapa dia mengajak anjingnya mati," kata Wall. "Walaupun kata Jack karena dia merasa itu yang terbaik."
"Itu sih tidak aneh. 'Kan pernah ada ibu-ibu yang membunuh anaknya dengan keyakinan menyelamatkan anak mereka dari kekejaman dunia." Koroner tampaknya tidak peduli pada anjing.
Wall menjenguk ke dalam mobil dan kaca jendela yang kini sudah dibuka. Di belakang kemudi duduk seseorang pria bertubuh kecil yang masih memakai mantel bagus. Syal yang melilit lehernya dari sutera. Orang itu berduit.
Wajahnya yang sudah kehilangan seri kehidupan menengadah karena tadi ditengadahkan oleh koroner yang memeriksa matanya dengan senter dan menekan kulit wajahnya.
Di sebelahnya, di kursi penumpang, terbujur bangkai anjing. Binatang itu tampaknya sempat berusaha keluar mencari udara segar. Berbeda dengan pemiliknya, pikir Wall.
"Bunuh diri," katanya yakin. "Aku akan mencari surat yang dia tinggalkan."
"Rasanya memang begitu," timpal Cassidy. "Mendingan kita berbicara dengan orang yang tadi menelepon kita. Dia pasti ingin tahu apa yang terjadi."
"Tunggu! Aku ajak dia ke sini untuk identifikasi kata Wall.
Wall keluar dari pintu samping, menuju ke dapur, tempat seorang pria kecil berumur 50-an menunggu.
Pria itu mengenakan setelan jas bergaris halus yang bagus potongannya. Khas bankir, pikir Wall. Atau pialang atau apalah. Pokoknya, yang berhubungan dengan uang.
Teleponnya mati
Koroner menyatakan, "Pria di garasi sudah meninggal, Pak Thompson. Sebenarnya berat buat saya meminta pertolongan Anda. Tapi jenazah itu perlu diidentifikasi. Anda bersedia melakukannya?"
"Oh!" kata Thompson. "Keadaannya 'kan tidak .... la berdehem dan tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Tidak, seperti sedang tidur saja," kata Wall.
Thompson berhenti melangkah saat masih jauh. la memandang ke arah mobil dengan gugup.
"Ya, kelihatannya sih dia suaranya tegang.
"Silakan lebih dekat, supaya pasti," Wall menganjurkan sambil memberi isyarat dengan sebelah tangannya seolah-olah menunjukkan kursi kepada penonton di gedung bioskop.
Thompson menelan ludah sampai bunyinya kedengaran, lalu melangkah beberapakali lagi.
"Ya, betul Martin." katanya.
"Martin Blaine?" Wall " menegaskan dengan tenang.
"Ya, Martin Blaine."
Cassidy mengeluarkan kotak serbuk bersinnya. Diangsurkannya kepada koroner yang buru-buru menggeleng.
"Apakah Pak Blaine menduduki posisi yang peka di perusahaan Anda?"
"Maksud Anda ia bertanggung jawab atas keuangan? Ya, memang begitu. Kami berdua sama-sama memegang keuangan."
Pria itu lebih percaya diri sekarang. Sebagai orang yang terbiasa mengurusi uang, menyebut uang segera membesarkan kepercayaan dirinya.
"Ia teman baik Anda?" tanya Wall.
"Kami bekerja sama."
"Kasihan anjingnya, ikut mati."
"Ya, sayang."
Thompson menarik lengan jasnya untuk melihat arlojinya.
"Anda masih memerlukan saya, Pak Polisi? Saya harus buru-buru kembali ke kantor."
"Silakan. Terima kasih Anda menelepon kami saat Pak Blaine tidak datang ke kantor pagi ini," jawab Cassidy. Lalu ia melirik Wall. Wall mengerti ' isyarat rekan lamanya itu.
"Anda biasa meIakukannya, Pak?"
"Biasa apa?" tanya Thompson yang sedang berjalan meninggalkan garasi untuk mengambil mantelnya di dalam rumah.
"Menelepon polisi kalau ada karyawan tidak muncuL" jawab Wall sopan.
Thompson berhenti dan menoleh. Sebelah kakinya sudah menuruni tangga. "Tidak, tidak selalu." Ia melambaikan sebelah tangannya. "Kalau sekertaris atau karyawan biasa tentu tidak, tapi Martin sudah berjanji akan datang pagi-pagi. Kami harus berunding lewat telepon dengan London karena ada transaksi besar. Kami akan membeli sebuah pabrik bir di sana." la berhenti berbicara dan tersenyum tipis. "Maaf, saya tidak bisa menyebutkan nama pabriknya, sebab nanti terasa dampaknya di bursa."
"Ketika Pak Blaine tidak muncul, apa yang Anda lakukan?" tanya Cassidy.
"Saya menelepon ke rumahnya, tapi tidak ada yang mengangkat telepon. Saya duga ia terjebak kemacetan lalu lintas. Saya hubungi mobilnya, tapi teleponnya tidak diaktifkan. Terpaksa saya berunding tanpa dia. Ketika dia tidak datang juga, saya telepon lagi. Akhirnya, saya datang kemari. Tidak ada yang membukakan pintu dan tidak ada jejak ban mobil di halamannya."
"Pukul berapa Anda meninggalkan kantor?" tanya Wall.
"Pukul 12.30. Sekitar itulah." Thompson melirik lagi arlojinya. "Maaf, Pak Polisi. Saya mesti buru-buru."
"Silakan, Pak. Terima kasih Anda menelepon kami."
Thompson mengangguk. "Terima kasih. Silakan menelepon ke kantor saya kalau Anda perlu informasi lagi."
Sesudah Thompson pergi, koroner mengangkat tasnya. "Aku beri tahu kalian sore ini perihal dia mabuk atau tidak saat meninggal. Aku perlu mendahulukan jenazah yang terapung di teluk itu!"
"Wah, benar-benar pelesit (hantu pemakan mayat)!" kata Cassidy.
"Dunia perlu pelesit!" kata koroner tertawa. "Untung, aku menikmati pekerjaanku!"
Cassidy dan Wall memandang dokter itu pergi, lalu mereka menghampiri polisi berseragam yang memarkir mobil patrolinya di muka garasi. Polisi itu duduk di dalam mobil, menikmati kehangatan. Ia membuka kaca jendela.
"Mau memanggil mobil daging?" tanyanya.
Saat itu para tetangga sudah bergerombol di halaman, menikmati kegemparan yang tidak terduga di Senin siang. Seorang wanita setengah baya mendengar pertanyaan polisi kepada para reserse. Ia menyampaikannya kepada yang lain.
Wall menatapnya sehingga wanita itu berhenti berbicara sebelum kalimatnya selesai. Setelah beradu pandang, ia meneruskan kata-katanya dengan sikap menantang.
Tak ada bekas anjing
Cassidy menjawab pertanyaan polisi yang duduk di mobil. "Tidak. Kita perlu truk derek. Tapi panggil dulu Seksi Penyidikan Kriminal, Charlie! Biar mereka bawa mobilnya ke pangkalan. Mayatnya pindahkan ke tempat jenazah."
"Kami akan memeriksa di dalam. Kamu tetap di sini sampai mobil derek pergi. Jaga jangan sampai orang-orang mendekat."
Cassidy menutup pintu garasi dan berdua dengan Wall memandang jenazah dalam mobil.
"Kita akan menggeledahnya nanti di tempat jenazah," kata Cassidy. "Sekarang kita periksa rumahnya. Siapa tahu ada pesan, setumpuk uang kertas ribuan dolar, atau hal lain yang bisa menjelaskan kenapa dia berbuat begini."
Cassidy dan Wall sudah lama bekerja sama sehingga tidak perlu membuang waktu. Wall memeriksa ruang duduk dan dapur. Cassidy menangani kamar tidur. la selesai lebih dulu dan turun ke ruang duduk.
"Kamu tidak sadar, ya, bahwa ada yang aneh?" katanya.
"Tidak. Apa?" kata Wall yang sedang memeriksa laci: surat sewa rumah, surat asuransi, semua tersusun rapi.
"Tidak tercium bau anjing. Tidak ada bulu anjing di sofa."
"Anjingnya dikurung di satu ruangan saja barangkali," jawab Wall. "Kan banyak orang yang begitu."
"Ada tempat tidur anjing tidak di dapur?" Cassidy bangkit dari sofa. "Coba aku periksa lagi."
Wall kembali membongkar laci. Ada kaleng bekas biskuit yang isinya ternyata foto, bukan duit atau rahasia yang bisa menjelaskan terjadinya tubuh dingin di garasi. "Ada tempat tidur anjing. Baru banget," kata Cassidy dengan bingung. "Piring makan dan kantung makannya juga sama barunya."
"Jadi?" Wall bertanya. "Apa anehnya? la punya anjing. Anjing itu perlu tidur dan makan. Anjing sungguhan 'kan, bukan boneka."
"Anjing 'kan meninggalkan bekas-bekas kejorokannya, walaupun anjing manis, seperti anjing geladak istriku."
"Lupakan anjing," kata Wall. "Tidak usah dipikirkan. Ini jelas bunuh diri. Cuma saja dia mengajak anjingnya ke akhirat."
Cassidy duduk lagi di sofa. "Tapi aku tetap merasa aneh, tuhl"
"Aku malah tidak. Sudah jangan aneh-aneh. Kita ditunggu pekerjaan lain."
"Di sini tidak ada pesan apa-apa," Wall meneruskan. "Tapi semua surat-suratnya lengkap. Lihat!"
Di laci file, surat-surat penting tersusun dengan rapi menurut abjad. Ada surat mobil, asuransi rumah, paspor, tanda pembayaran tunjangan pada mantan istri. Pokoknya, semua.
"Ada surat anjing tidak di abjad D?" tanya Cassidy. "Kelihatannya 'kan anjing ras Jerman! Rottweiler, anjing pembunuh. Mestinya ada surat pembeliannya, stamboom, dsb."
"Tidak ada tuhl" kata Wall. "Sudahlah, jangan memikirkan anjing melulu. Mendingan mikir makan. Kita 'kan mesti melembur hari ini."
"Mesti ada yang pergi ke jandanya, dong!" kata Cassidy. "Rasanya kita mesti menanyakan soal anjing juga. Siapa tahu itu anjing kesayangannya. Seorang mantan suami ingin menyakiti hati mantan istrinya. Jadi, anjing itu diajak mati sekalian. Ada alamatnya tidak?"
Pengakuan mantan istri
Ada!" Wall membuka buku catatannya. Dia sudah mencatat nama dan alamat mantan istri Blaine. "Ayo, kita pergi!"
Juru potret dan ahli sidik jari dari Seksi Penyidikan Kriminal tiba. Cassidy dan Wall memberi keterangan perihal apa yang diperlukan, lalu keluar menuju mobil mereka sambil tersenyum ramah kepada para tetangga.
Jumlah penonton sudah kira-kira 20 orang. Pipi dan hidung mereka merah kedinginan, tapi rasa ingin tahu rupanya tidak terkalahkan oleh suhu.
Cassidy mengemudi, sedangkan Wall mengamati ujung sebelah sepatunya yang robek akibat masuk dari jendela dapur.
"Untung jendela itu terbuka, walaupun aku mesti beli sepatu baru," katanya.
"Eh, kamu saja yang berbicara dengan istrinya. Tampangmu 'kan memelas gara-gara sepatumu rusak."
"Apa boleh buat," kata Wall. la memang sering kebagian tugas itu. Cassidy selalu tampak gembira sehingga kabar buruk kedengaran aneh kalau keluar dari mulutnya.
Ternyata siapa pun yang berbicara tidak penting bagi mantan Ny. Martin Blaine. Dia sendiri berseri-seri. Wanita pirang itu berumur 40-an. Masih menarik walaupun kulirnya mulai kendur. Kedua reserse itu segera tahu bahwa antara mantan suami istri itu sudah tidak ada cinta lagi.
"Jangan salah sangka. Saya tentu menyesali kejadian ini, tapi kami sudah berpisah lama, delapan tahun."
"Anda mempunyai anak?" tanya Wall.
"Dua. Tapi keduanya tidak akan sedih. Mereka tidak pernah bertemu ayahnya sejak ditinggalkan."
" Almarhum meninggalkan Anda karena ada wanita lain?" tanya Cassidy dengan riang. Wanita itu menggeleng.
"Tidak. Saya kira ia cuma merasa tidak tahan hidup dengan saya lagi. Semua orang dianggapnya kurang rapi. Ia mau semua serba apik. Semua barang mesti ada di tempatnya. Hal itu dikatakannya enam kali sehari."
Mantan Ny. Blaine menggelengkan kepalanya. "Sebetulnya orang seperti itu patut dikasihani."
"Anda pernah melihat anjingnya?" tanya Wall.
"Anjing? Jangan bercanda. Ia biasa melempari anjing tetangga kalau berani mendekati tempat kami. Orang seperti Martin tidak mungkin punya anjing."
Wall menceritakan perihal anjingnya dalam mobil. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh sekali! Mana mungkin ia mengizinkan anjing masuk ke mobilnya." "Maksud Anda, dia alergi?" tanya Wall yang ingat pada mata mayat yang merah seperti habis menangis.
"Dia alergi terhadap semua yang tidak diletakkan dengan semestinya," kata mantan Ny. Blaine. "Juga pada rumput, debu, serbuk sari, kucing, anjing, zebra, semua deh!"
"Tampaknya Anda tidak tergugah," kata Cassidy. "Berlebihan sih kalau menangis, tapi berita ini sepertinya malah menyenangkan Anda."
Ruth Blaine tertawa. "Seperti tidak berperikemanusiaan, ya? Saya tidak akan jatuh miskin tanpa tunjangan. Sekarang saya kira saya akan menikah lagi, atau malah putus dengan pacar saya. Selama ini pacar saya tidak bisa tinggal di sini karena Martin selalu mengancam akan menghentikan tunjangannya kalau saya punya pasangan."
"Semoga Anda beruntung dengan pasangan baru," kata Cassidy sambil menyeringai. "Kelihatannya dia pelit."
"Terima kasih untuk komentar Anda," kata sang janda.
Setiba di luar Wall berkata, "Kelihatannya ia tidak mencurigakan." Cassidy setuju.
"Mustahil dia mau membunuh angsa bertelur emas!"
"Tapi aku jadi terpikir pada anjing sial itu!"
"Ya! Aku juga." Cassidy segera merogoh kotak serbuk bersinnya dan mengambil sejumput serbuk.
Menggerogoti uang perusahaan
Mereka pergi ke pangkalan kendaraan polisi. Para petugas Seksi Penyidikan Kriminal sedang meneliti mobil.
"Nah, si kembar Bobbsey!" kata Cassidy. "Menemukan sesuatu?" Juru potret dari tim penyelidik itu tertawa keras.
"Ya! Anjing gede! Tampaknya sih Rottweiler."
"Selain anjing," kata Cassidy. Ia membuka pintu di sebelah penumpang dan membalikkan telinga anjing.
"Mencari apa?" tanya si juru potret. "Kami kira dipasangi transmiter."
"Nomor peningnya, pembiaknya, dsb.," kata Cassidy. "Nih, lihat! Kalau bukan berkat pasukan di medan perang, para jenderal tidak bisa menang perang."
Juru potret itu tertawa mengakak.
"Ayo, kita kerja lagi!" kata Cassidy.
"Mau ke kennel?" tanya Wall.
"Benar sekali! Mustahil kita tidak bisa melacak benda sebesar ini? Eh, berapa sih beratnya kira-kira?"
Cassidy menelepon ke perkumpulan pembiak anjing, lalu ke pembiak yang menghasilkan anjing yang kini mati itu, dan ke pemilik terakhir yang namanya tercatat.
"Nah, beres!" kata Cassidy sambil menaruh telepon. "Hari ini kita bakal mendapat bintang nihl"
Mereka mengunjungi pemilik terakhir anjing Rottweiler itu, lalu pergi ke kantor tempat Martins Blaine bekerja sampai hari Jumat yang lalu. Resepsionisnya seperti bintang film yang mengantar pemenang turun naik panggung untuk pembagian hadiah Oscar. Ia memberi mereka senyuman sejuta dolar. Cassidy membalas senyumnya.
"Kami Wall dan Cassidy, ingin bertemu dengan Pak Thompson. Tolong katakan beliau sudah bertemu kami tadi siang."
Resepsionis itu tersenyum lagi, seperti menyaingi senyum Cassidy.
Dua menit kemudian mereka sudah berada di kantor Thompson yang mengesankan. Dindingnya dilapisi kayu walnut. Perabotnya "Memang itu yang terjadi," kata Wall. Tapi 'kan bukan karena ia bunuh diri?" mantap, begitu pula layar monitor komputernya.
"Bagus sekali," kata Cassidy saat mereka masuk.
Thompson memakai kemeja. Karena lengannya pendek, ia memakai gelang lengan supaya lengan kemejanya tidak melorot. Ia kelihatan risau.
"Anda maksud ruangan ini?" tanyanya. "Cuma standar, kok! Semua wakil presiden direktur mendapat ruangan seperti ini." Thompson memandang ke komputernya yang menyala.
"Bukan ruang kantor ini," kata Cassidy. Kata-katanya berhasil mengalihkan perhatian Thompson dari komputernya. Ia memandang Cassidy, tetapi ternyata Wall yang sekarang berbicara.
"Kami maksudkan anjing itu."
"Anjing?" kata Thompson. Ia mengerutkan kening seperti bingung, tapi menjilat lidahnya. Kedua reserse melihatnya dan saling menyeringai.
"Anda ingin bos Anda berada di sini sekarang?" tanya Wall.
"Supaya Anda bisa menceritakan terus terang perihal uang yang Anda gerogoti dan upaya Anda menimpakan kesalahan itu kepada Pak Blame," Cassidy menjelaskan.
Thompson pucat, tetapi tidak menyerah. la menatap mereka seorang demi seorang. Akhirnya, ia menyerang.
"Saya orang yang sibuk. Silakan jelaskan apa yang ingin Anda bicarakan atau keluar dari sini."
"Dengan senang hati," kata Cassidy. "Kami ingin berbicara perihal pembunuhan."
"Betul," kata Wall. "Supaya lebih jelas, kami ingin berbicara tentang pembunuhan yang Anda lakukan terhadap rekan Anda, Pak Martin Blaine."
Sekarang Thompson berdiri dan menuding mereka. "Dia 'kan bunuh diri. Kalian 'kan yang membawa saya ke situ dan menunjukkan apa yang terjadi. Ia pergi ke garasi dan menyalakan mobilnya sampai mati lemas karena koracunan gas."
"Memang itu yang terjadi." kata Wall. "Tapi 'kan bukan karena ia bunuh diri?"
Thompson duduk. "Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan."
"Ia dibunuh," kata Wall, "dan Anda pembunuhnya."
"Bagaimana Anda bisa menuduh begitu?" Thompson marah. Berusaha marah, pikir Wall.
"Anda pergi ke rumahnya, menunggu dia datang, hari Jumat malam," kata Wall.
"Betul," timpal Cassidy. "Anda bahwa anjing besar galak itu. Ketika Blaine mengendarai mobilnya masuk garasi, Anda ikut masuk dan berkata, 'Oke, Martin. Biarkan mesin tetap hidup.' Lalu Anda beri perintah kepada anjing itu. 'Jaga,' agar pak Blaine tidak bergerak. Kalau ia bergerak untuk mematikan mesin, si anjing akan mencabik-cabik tangannya. Lalu Anda keluar dari rumah itu, membiarkan Pak Blaine yang malang tewas."
"Sangat rapi," kata Wall. "Anda bahkan memilih anjing yang beratnya mendekati berat Pak Blaine agar anjing itu tidak lebih dulu semaput daripada korban Anda."
Thomposon menaruh kedua tangannya di meja. Kepalanya menunduk. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Teleponnya berdering, tapi dibiarkannya saja.
Cassidy mengeluarkan serbuk bersinnya. Ia mengendusnya dengan nikmat.
"Mengapa tidak Anda panggil saja bos Anda sekarang supaya bisa menjelaskan cara Anda menimpakan kesalahan menggelapkan dana kepada rekan lama Anda?"
"Lebih baik Anda lakukan, Pak," kata Wall. "Kami sudah menggeledah mobil Anda, untuk membandingkan bulu anjing yang tercecer di sana dengan bulu anjing yang mati. Anda membeli anjing penyerang itu Jumat malam. Kami sudah mendapat pernyataan dari mantan pemilik anjing itu. Anda katakan kepadanya bahwa Anda tinggal sendirian dan perlu teman."
"Pandai sekali. Anda mengaku sebagai Blaine dan memberikan alamatnya kepada penjual anjing itu."
"Anda berharap orang menduga Pak Blaine membeli anjing lalu pingsan di garasi dengan mesin mobil masih hidup, sehingga ia meninggal. Cuma Anda tidak tahu ia alergi. Bagaimanapun ia tidak bisa memiliki anjing."
Pria bertubuh kecil itu tetap bersikap profesional sampai akhir. "Saya ingin berbicara dengan pengacara saya," katanya. (Ted Wood)
" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448583/apakah-ia-punya-rottweiler" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952554000) } } }