array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3635699"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/mencari-mayat-hidup_alvaro-reyes-20230105070605.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(137) "Seorang pria terkena kasus pembunuhan yang tidak dilakukan. Setelah bebas, ia mencari si “mayat hidup” yang menyebabkannya dipenjara."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/mencari-mayat-hidup_alvaro-reyes-20230105070605.jpg"
      ["title"]=>
      string(21) "Mencari 'Mayat Hidup'"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-01-05 19:06:21"
      ["content"]=>
      string(34805) "

Intisari Plus - Seorang pria terkena kasus pembunuhan yang tidak dilakukan. Setelah bebas, ia mencari si “mayat hidup” yang menyebabkannya dipenjara.

--------------------

Saya tidak tahu persis bagaimana harus memulainya. Namun ada baiknya Anda ketahui mengapa saya sekarang berada di penjara.

Persidangan kasus ini sudah berlangsung lebih dari 20 hari dengan pengunjung yang selalu melimpah. Sampai pada hari terakhir sebelum vonis dijatuhkan, hakim ketua menunda sidang 2 hari untuk memberi kesempatan dewan juri berembuk. Berhubung sampai batas waktu yang ditetapkan para juri belum juga mencapai kata sepakat, akhirnya Hakim Ketua Justice Cartwright menyatakan bahwa keputusan bisa dibuat tanpa harus dengan suara bulat. 

Cukup bila 10 anggota dewan juri memberi suara sama. Hari itu, Pengadilan Kerajaan Inggris di Leeds dipenuhi pengunjung yang berharap-harap cemas menantikan keputusan, termasuk seorang wanita cantik paruh baya berambut pirang sebahu yang setia mengikuti persidangan di pojok ruangan.

“Dewan Juri yang terhormat, sudahkah Anda sekalian membuat keputusan?” tanya Hakim Cartwright.

“Sudah, Yang Mulia.” 

“Apakah Saudara Terdakwa terbukti bersalah atau tidak atas dakwaan yang dijatuhkan kepadanya?”

Begitu hakim selesai melontarkan pertanyaan, suasana ruang sidang mendadak senyap. Lantai tempat berpijak serasa bergoyang, mata saya nanar tertuju pada mulut ketua dewan juri, telinga seperti tak lagi bisa mendengar bunyi yang keluar dari 5 mulutnya …

 

Makan malam bersama

Kisah ini bermula ketika secara kebetulan saya bertemu Jeremy Alexander pada sebuah seminar bisnis di Bristol awal 1978. Lebih dari 50 perusahaan Inggris mengirimkan wakilnya termasuk saya dalam kapasitas sebagai presiden direktur Cooper’s & Son.

Perusahaan keluarga ini didirikan oleh ayah kami tahun 1931 dengan modal 3 buah kendaraan, 2 di antaranya masih ditarik kuda, serta cadangan modal sekitar £ 10 di Bank Martins. Meski sudah berjalan sekitar 36 tahun, kinerja perusahaan tidak begitu menggembirakan. Saya pernah mengusulkan kepada ayah untuk mengembangkan pasar. Tapi dasar pemikirannya masih kolot, ayah tidak menggubris usulan tersebut.

Baru setelah ia pensiun tahun 1977, tongkat estafet kepemimpinan perusahaan diwariskan kepada saya. Sejak itu pelan tapi pasti Cooper’s & Son mampu berkembang. Sampai tahun 1978 kami berhasil memiliki 127 kendaraan dan jangkauan wilayah bisnisnya tak hanya meliputi Inggris melainkan sudah merambah ke daratan Eropa. Bahkan saya merencanakan Cooper’s & Son go public. Oleh karenanya tawaran mengikuti seminar tentang hukum dan bisnis tidak saya sia-siakan.

Saya tertarik pada Jeremy sejak pertama kali berjumpa, terlebih ketika ia memimpin diskusi kelompok kami di akhir seminar. Dalam hati saya berkeyakinan, gabungan dari kecemerlangan otak Jeremy dengan tenaga kasar dan pengalaman lapangan saya selama ini tentu akan merupakan aset hebat untuk mengembangkan Cooper’s & Son.

Kami berasal dari keluarga dengan latar belakang berbeda. Ayah Jeremy yang imigran dari Eropa Timur adalah bankir profesional. Ia membekali anak-anaknya dengan pendidikan yang kuat. Setelah menyabet gelar sarjana hukum di King’s College London, Jeremy meneruskan studi masternya di Sorbonne. Pada saat itu ayah saya yang wiraswasta autodidak menyuruh saya magang sebagai juru tulis di perusahaannya. Ketika Jeremy menyelesaikan dokter hukum ekonomi di Universitas Hamburg, saya beralih dari petugas ekspedisi menjadi manajer operasional. 

“Semoga kita bisa bertemu lagi,” kata Jeremy seraya menjabat tangan saya seusai seminar. “Kalau rencana pengembangan bisnis Anda di Eropa berlanjut, tolong kabari. Akan saya bantu.”

Setelah saling bertukar kartu nama, kami berpisah. Masing-masing sibuk dengan pekerjaan. 

Cooper’s & Son berniat memutuskan hubungan kerja sama dengan perusahaan keju Prancis untuk mengirim produknya ke beberapa pasar swalayan di Inggris. 

Maklum, tahun sebelumnya kami menderita kerugian cukup besar dalam kerja sama serupa dengan perusahaan bir Inggris. Merasa perlu memperoleh masukan agar terhindar dari kesalahan serupa, akhirnya saya menelepon Jeremy di London. Kami sepakat bertemu di kantor Cooper’s & Son, Kamis minggu depan. 

Terus terang saya kagum melihat caranya menangani suatu masalah dan memeriksa berkas-berkas surat. Sampai titik koma pun tidak ia lewatkan. Diskusi di kantor berlangsung sampai sore, oleh karena itu Jeremy saya undang sekalian makan malam di rumah. Rupanya istri saya, Rosemary, keberatan. Ia nyaris menolak karena rencana makan malam itu mendadak, meskipun saya yakinkan ia pasti akan senang kalau sudah kenal orangnya. 

Rosemary yang cantik berambut pirang ini saya jumpai pada pertengahan tahun 1968 di sebuah festival musik di Leeds, yang diselenggarakan oleh Sheriff Brigadir Kershaw. Kebetulan kami duduk satu meja. Ajakan dansa gadis bergaun malam strapless biru yang menunjukkan lekuk molek tubuhnya itu tak kuasa saya tolak. Malam itu dengan segera kami akrab. Belakangan ketika hubungan kami sudah serius, baru saya tahu bahwa ia adalah putri tunggal sang Sheriff. Akhirnya kami menikah. 

Selama dua tahun setelah pernikahan kami, Rosemary berusaha menjadi istri dan pendamping yang baik. Ia terkadang membantu pekerjaan di kantor, bergaul luwes dengan beberapa istri eksekutif kami. Namun seiring dengan berjalannya waktu, terutama ketika waktu saya banyak tersita oleh urusan kantor, Rosemary sering sendirian di rumah. Di lain pihak, baginya, mungkin saya bukan tipe suami ideal yang setiap saat bisa diajaknya nonton opera atau pesta.

Empat tahun kemudian perkawinan kami berada di ujung tanduk. Meski satu rumah, rasanya kami hidup di dunia masing-masing. Diam-diam saya ketahui ia sering keluar malam dengan pria lain.

Pukul 20.00 tepat Jeremy datang ke rumah. Ketika diperkenalkan dengan Rosemary, dengan amat galan dan sopan ia membungkuk dan mencium tangan istri saya. Sejak saat itu Jeremy dan Rosemary tak pernah sedetik pun melepaskan pandangan matanya masing-masing. Terpaksa saya pun berpura-pura buta melihat betapa saling tertariknya mereka.

Sejak hari itu Jeremy sering mampir ke Leeds. Tentu kedatangannya selalu saya manfaatkan untuk kepentingan kemajuan perusahaan. Rasanya Cooper’s & Son sudah saatnya memerlukan konsultan hukum perusahaan.

Setahun setelah perkenalan kami, Jeremy saya tarik dalam jajaran direksi perusahaan dengan tugas khusus mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan go public. Bersamaan dengan itu saya menghabiskan waktu ke Madrid, Amsterdam, Brussel untuk menghidupkan kembali kontrak-kontrak bisnis baru.

Kerja keras kami berdua ternyata membuahkan hasil. Pada 12 Februari 1980, Cooper’s & Son berhasil mendapat izin go public tahun depan. Namun dalam kegembiraan itu saya khilaf telah mengambil keputusan yang kelak ternyata berakibat fatal; mengangkat Jeremy menjadi wakil presdir.

Berdasarkan peraturan bursa, 50% dari jumlah saham keseluruhan dikuasai Rosemary dan saya. Dengan alasan supaya tidak terlalu terbebani pajak, Jeremy mengusulkan jumlah itu dibagi dua sama besar. Karena pihak akuntan setuju, tanpa pikir panjang saya pun mengiakan. Sisa 4.900.000 lembar saham, dilempar ke masyarakat. Rupanya laku, dalam beberapa hari saja nilai saham Cooper naik dari £ 1 menjadi £ 2,80.

Sampai Maret 1984 di tengah lajunya perkembangan ekonomi Inggris, saham kami melonjak menjadi £ 5, menyusul adanya spekulasi media massa adanya pihak yang akan mengambil alih perusahaan. Meskipun Jeremy menyarankan agar menerima penawaran itu, saya menolak karena kami tidak ingin kepemilikan perusahaan ini jatuh ke tangan orang luar. Akhir 1989 harian Sunday Times memperkirakan kekayaan saya mencapai £ 30 juta. 

 

Terpaksa tidur di hotel

Meski orang menganggap kaya, kehidupan saya sama sekali tidak berubah. Kami tetap tinggal di rumah warisan orang tua, saya masih mengendarai Jaguar tua, kerja tetap 14 jam sehari sampai larut malam. 

Hari itu setelah menyelesaikan urusan di Köln, saya tiba di Heathrow dengan pesawat terakhir. Semula ingin menginap semalam di London, tapi lantaran tidak kebagian hotel saya putuskan untuk langsung pulang ke rumah. Setibanya di Leeds sekitar pukul 24.00, mobil BMW putih Jeremy tampak parkir di depan rumah. Sejenak rasa curiga menyergap di dada.

Setelah memarkir mobil persis di belakang BMW, perlahan-lahan saya masuk rumah lewat pintu depan. Hanya satu lampu menyala di depan kamar tengah lantai satu. Meski bukan seorang detektif, siapa pun bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi di dalam. Apalagi tirai jendela kamar itu tertutup rapat. Sayup-sayup terdengar cekikikan istri saya. 

Rupanya mereka tak menyadari kedatangan si tuan rumah. Akhirnya saya keluar dan menuju Hotel Queen. Dari manajer jaga yang sudah akrab dengan kami, saya memperoleh informasi bahwa Jeremy Alexander memesan satu kamar. Malam itu saya tidur di ranjang yang dipesan Jeremy. Jam demi jam berlalu, menit demi menit bergeser, tak sedetik pun mata saya bisa dipejamkan. Hati ini sesak dengan rasa muak terhadap pria bernama Jeremy, walaupun hubungan saya dengan Rosemary tak lagi dekat. 

Esok pagi, saya pura-pura menelepon sekretaris di kantor, memberitahukan bahwa saya dalam perjalanan dari London. Ia mengingatkan ada rapat yang dipimpin Jeremy nanti pukul 14.00. Sambil sarapan, terlintas di benak maksud licik Jeremy kenapa ia mengambil alih pimpinan rapat hari itu. Rupanya ia mengira saya masih berada di luar kota. 

Karena tiba di kantor pukul 13.30 saya masih sempat memeriksa berkas-berkas surat. Alangkah terperanjat saya melihat besarnya jumlah saham Cooper’s & Son yang kini di tangan Jeremy. Setelah tahu kedatangan saya, diam-diam Jeremy mengosongkan kursi pimpinan rapat. Agaknya ia sudah merencanakan langkah-langkah berbahaya yang bisa menyebabkan saya maupun Rosemary kehilangan kontrol atas perusahaan ini. Untung, saya pulang lebih dulu. Akhirnya, saya menugaskan akuntan membuat laporan keuangan lengkap sebagai persiapan rapat berikutnya.

Menyadari langkahnya bisa saya potong, Jeremy kecewa tapi diam saja. Selama rapat beberapa kali jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk meja. Selesai rapat pukul 17.40, saya mengundang Jeremy makan malam di rumah. Awalnya Jeremy terlihat segan, tapi setelah saya jelaskan perlunya Rosemary mengetahui rencana ini, ia pun setuju.

Bertiga kami menikmati makanan kecil dan minum bersama di meja tengah.

“Mengapa kau demikian bernafsu merencanakan alokasi saham baru ini?” tanya saya ketika Jeremy minum brendi gelas yang kedua. “Seharusnya kau sadar, dengan cara itu orang luar lebih mudah mengambil alih perusahaan dari tangan kami. Padahal kau tahu, saya tidak akan melakukan itu?”

Ia mencoba menerangkan, “Itu justru demi kebaikan perusahaan sendiri, Richard. Kau juga harus-menyadari betapa cepatnya Cooper’s berkembang. Konsekuensinya Cooper’s tak lagi bisa dipertahankan sebagai perusahaan keluarga. Secara politis, keputusan ini akan berdampak positif di mata para pemegang saham,” ujar Jeremy.

Yang mengherankan, Rosemary ternyata malah mendukung pendapat Jeremy. Seolah-olah ia amat tahu rencana alokasi saham Cooper’s. Ini amat aneh, mengingat sebelumnya ia tak pernah tertarik pada urusan kantor.

“Omong-omong apakah kalian menjalin affair?” Wajah Rosemary merah padam mendengar keterusterangan saya. Sedangkan Jeremy ketawa, “Ah, kau terlalu banyak minum Richard. Omonganmu ngawur.”

“Aku sama sekali tidak mabuk,” jawab saya. “Kau pikir aku tak tahu semalam kau nginap di rumah ini dan tidur di kamar Rosemary?” Baru pertama kalinya saya kalap seperti ini. 

“Oh, tadi malam saya memberi penjelasan kepada Rosemary karena rencana alokasi saham ini akan berdampak kepadanya,” kilahnya. “Ini sekadar prosedur yang dituntut oleh bursa saham.”

“Adakah peraturan bursa saham yang memerlukan penjelasan di tempat tidur?”

“Oh, jangan sembarangan menuduh begitu,” jawab Jeremy. “Malam itu saya menginap di Hotel Queen. Kalau kau tak percaya, teleponlah manajer hotel,” tambahnya sambil meraih gagang telepon. “Manajer hotel pasti akan mengatakan bahwa saya memesan kamar seperti biasa.”

“Memang. Tapi saya yakin ia pun akan mengatakan bahwa sayalah yang malam itu tidur di kamar pesananmu!”

Pada saat yang tenang tapi penuh ketegangan ini, saya merogoh kunci kamar hotel dari saku saya dan melemparkan tepat di depannya. Tiba-tiba Jeremy meloncat terkaget-kaget. Perlahan saya berdiri dari kursi dan berjalan ke arahnya, sambil menanti-nanti apa yang akan ia lakukan. 

“Semua ini karena kesalahanmu. Ketololanmu!” suara Jeremy tergagap-gagap. “Mestinya kau lebih memperhatikan dan mengurusi Rosemary dan tak harus keliling Eropa sepanjang waktu. Ketahuilah, tindakan itu membahayakan perusahaan.”

Kemarahan saya memuncak. Tak hanya karena begitu arogannya Jeremy berani meniduri istri dan menasihati bosnya sendiri, tapi juga niatnya untuk menguasai Cooper’s & Son. Tanpa menggubris omongannya, saya langsung meninju sekeras-kerasnya rahang Jeremy. Meski tubuh saya lebih pendek beberapa senti dari Jeremy, berkat pengalaman lapangan selama ini, saya cukup lincah bergerak. Tak menyangka mendapat serangan secepat ini, tubuh Jeremy terhuyung-huyung ke belakang lalu ke depan sebelum akhirnya roboh di depan saya. Pelipis sebelah kanan menimpa meja kaca sehingga pecah dan menghamburkan minuman ke mana-mana. Ia tergeletak tanpa bergerak, darah membasahi karpet. 

Melihatnya terkapar tak berdaya sekejap rasa puas menyelinap di dada. Sebaliknya, Rosemary menjerit histeris sambil menubruk tubuh Jeremy dan mulai menangis. 

“Mulai detik ini ia saya pecat dari Cooper’s,” ujar saya kepada Rosemary. “Kalau sudah siuman, katakan jangan menginap di Hotel Queen karena malam ini aku akan tidur lagi di kamarnya,” ujar saya sambil berjalan menjauh. Dengan emosi sudah terkendali, saya ke Hotel Queen dan langsung mencoba tidur di ranjang yang telah dipesan Jeremy. Esok harinya pintu kamar digedor orang, dua polisi masuk dan membawa saya ke Polsek Millgarth.

 

Membunuh dan menghilangkan bukti

Peristiwa itulah yang membawa saya meringkuk di Penjara Armley sambil menunggu proses penyidikan polisi dan penanganan aspek hukumnya. Kejahatan yang dituduhkan kepada saya; membunuh Jeremy Anatole Alexander sekaligus menghilangkan mayatnya. 

Ini didasarkan pada kesaksian Rosemary dan penemuan bercak-bercak darah di mobil Jaguar yang terparkir di halaman. Penyelidikan yang dilakukan polisi dengan menggali halaman rumah, karena konon ada indikasi saya menguburkan korban, tak menghasilkan apa-apa.

Sembilan bulan kemudian kasus saya dibawa ke meja hijau. Selama itu pula nasib saya menjadi bulan-bulanan media massa. Bagi media kasus ini memang menarik. Terbunuhnya konsultan bisnis terkenal, apalagi ada bumbu penyelewengan seks wanita cantik, istri pengusaha kaya. 

Beruntung saya mendapat pembela yang kampiun di bidangnya, Sir Matthew Roberts QC. Dalam eksepsi pembelaannya, Sir Matthew mencoba mementahkan dakwaan dengan sederet argumentasi. 

Bagaimana terdakwa bisa membunuh seseorang kalau mayat korban tidak ada? Bagaimana bisa membuang mayat kalau semalaman ia tidur di kamar Hotel Queen? Kepiawaian Matthew berbicara sempat membuat anggota juri kebingungan, beberapa di antaranya tampak ragu atas tuduhan terhadap diri saya, sampai kemudian Rosemary naik ke mimbar saksi. 

“Apa yang terjadi saat itu Ny. Cooper?” tanya jaksa. 

“Suami saya membungkuk dan memeriksa denyut nadi korban,” ujar Rosemary setengah berbisik. “Wajahnya kemudian pucat dan berkata kepada saya, ‘Ia sudah mati. Saya telah membunuhnya.’”

“Apa yang kemudian dilakukan Pak Cooper?”

“Mengangkat mayat itu kemudian memanggul di pundaknya. Lalu berjalan menuju pintu. Saya berteriak kepadanya, ‘Apa yang akan kau lakukan, Richard?’”

“Apa jawaban suami Anda?”

“‘Akan saya buang mayat ini mumpung hari masih gelap. Saya akan membuat kesan seolah-olah Jeremy tak pernah datang ke rumah ini. Toh ketika meninggalkan kantor sudah tak ada orang, mereka pasti menyangka Jeremy pulang ke London. Bersihkan berkas-berkas darah yang ada!’ Itulah kalimat terakhir yang saya dengar dari suami saya sebelum saya pingsan.”

Pertanyaan dari Sir Matthew pun tidak kalah menggigit.

“Ny. Cooper, Anda menganggap Alexander sebagai teman?”

“Ya, sebatas ia adalah mitra kerja suami saya.”

“Dengan demikian Anda tak pernah saling bertemu, saat suami Anda keluar kota?”

“Hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu, pada saat saya mendampingi suami. Atau ketika saya ke kantor untuk mengambil surat-surat.”

“Hanya dalam kesempatan-kesempatan demikian? Apakah tidak ada kesempatan lain bertemu dengan korban, seperti ketika pada malam 17 September 1989 sebelum suami Anda pulang dari perjalanan dinasnya ke Eropa? Apakah korban tidak menemui Anda ketika itu?”

“Tidak. Ia hanya mampir sebentar dari kantor untuk memberikan dokumen-dokumen suami saya. Korban pun segera pulang setelah menolak saya tawari minum kopi.”

“Tapi suami Anda mengatakan ...”

“Saya tahu apa yang dikatakan suami saya!” jawab Rosemary emosional seakan ia sudah mengantisipasi pertanyaan tersebut.

“Baiklah. Apakah Anda menjalin affair dengan korban terutama bila suami Anda tidak di rumah?”

“Tidak. Meski suami saya sering menuduh saya tidak setia.”

“Setelah mengetahui peristiwa ini, mengapa baru 2 jam kemudian Anda memanggil polisi?”

“Seperti saya katakan tadi, saya pingsan setelah suami saya keluar. Saya baru menelepon polisi setelah itu.”

“Atau barangkali yang sebenarnya terjadi, Anda memakai jeda waktu itu menjebak suami Anda, sambil memberi kesempatan kepada kekasih Anda, Alexander, menghilang?” Pertanyaan menyudutkan itu segera memancing reaksi para hadirin. Ruang sidang sempat ramai dengan komentar-komentar dan tawa pengunjung. 

“Pertanyaan Anda terlalu mengada-ada, Sir Matthew. Itu tidak relevan,” sela jaksa penuntut. 

“Andaikan saja Anda benar menjalin cinta dengan Alexander, bahkan sampai sekarang masih dan Anda mengharapkan ia masih hidup, dapatkan Anda ceritakan sekarang ini ia berada di mana?” lanjut Sir Matthew.

Tanpa menghiraukan keributan antara dua pengacara, Rosemary masih mau menjawab, “Saya berharap ia bisa berada di ruang ini. Dengan demikian menegaskan bahwa semua yang saya katakan benar.”

“Memang, sebenarnya Andalah yang tahu cerita ini,” sela Sir Matthew. “Yang benar adalah, suami Anda meninggalkan rumah atas kemauannya sendiri. Ia pergi ke Hotel Queens untuk tidur, sementara Anda dan kekasih gelap Anda menggunakan kesempatan itu untuk membuat berbagai jejak dan cerita palsu ke seluruh Kota Leeds. Jejak-jejak yang bertujuan menyudutkan, seolah-olah Pak Cooper pelaku pembunuhan ini. Tapi satu hal yang tidak bisa Anda tinggalkan adalah mayat korban. Mengapa? Karena seperti yang Anda ketahui, Jeremy Alexander masih hidup. Kalian berdua telah mereka-reka cerita bohong. Apakah ini yang Anda maksud kebenaran?”

“Tidak!...Tidak!” teriak Rosemary sambil menangis. 

Giliran saya ditanya oleh jaksa, ruangan sidang amat senyap. Mata dan telinga semua pengunjung tertuju pada saya. Kejadian malam itu saya ceritakan secara lengkap, tanpa menambah dan mengurangi. Rupanya, dewan juri terlebih dahulu terperangkap simpati dengan akting Rosemary yang begitu luar biasa. Akhirnya, saya dinyatakan bersalah. Lemas seluruh tubuh saya mendengar vonis seumur hidup. 

 

Menyewa mantan polisi

Sebagai pengacara andal, Sir Matthew tidak menyerah begitu saja meski keputusan sudah dijatuhkan. Apalagi sampai detik ini barang bukti penting, yakni mayat korban, tidak ada.

“Ini tidak adil, Pak Cooper. Kita akan segera naik banding. Percayalah, saya tidak akan berhenti sebelum menemukan Jeremy dan menyeretnya ke meja hijau.”

Yang namanya jalan keadilan memang ternyata tidak semulus jalan tol. Buktinya saya harus menunggu selama hampir dua tahun sebelum akhirnya menerima kabar bahwa permohonan itu ditolak. Meski demikian, Matthew masih belum mundur. Langkahnya mencari keadilan tak lantas surut. Kali ini ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Sambil menanti putusan kasasi, saya menyewa jasa dua mantan polisi, yakni Inspektur Donald Hackett dengan bayaran £ 100.000 setahun, bekerja selama 7 hari/minggu. Hackett dibantu oleh dua mantan polisi: Inspektur Williams dan Jenny Kenwright. Tugas mereka mencari Jeremy, Rosemary, dan menyeretnya ke pengadilan.

Barangkali saya satu-satunya narapidana yang setiap Minggu siang dibesuk dan menerima laporan dari para polisi ini. Bertiga mereka menempati flat di dekat Constitutional Club, Bradford, sebagai markasnya dalam melakukan penyelidikan.

Empat bulan kemudian, Hackett berhasil melacak keberadaan Rosemary. Setelah menjual rumah di Leeds, Rosemary pindah dan menetap di estat Vila Fleur, Cannes, Prancis. Di lingkungan barunya, ia mengganti namanya menjadi Nn. Kershaw. Data lengkap tentang keadaan rumah serta nama para pelayan dan koki Kershaw terlampir dalam berkas laporan Donald Hackett. Sebulan kemudian informasi bertambah. Nn. Kershaw memasang iklan lowongan pekerjaan, tukang kebun untuk mengurus halamannya. Segera saya perintahkan Williams menyusup ke rumah Rosemary dengan melamar pekerjaan tersebut. 

Masuknya Williams ke lingkungan hidup Rosemary amat memudahkan kami dalam melacak keberadaan Jeremy. Agarnya figur Williams dengan cepat bisa mendapat kepercayaan nyonya rumah. Terbukti, ia kemudian diangkat menjadi sopir pribadi. Rosemary. Williams juga melaporkan bahwa di meja kamar tidur Rosemary terdapat foto pria tinggi tampan berinisial J. 

Pada saat yang bersamaan, saya menerima kabar gembira. Permohonan kasasi dikabulkan sehingga saya bisa bebas murni. Meski demikian, pengejaran terhadap Jeremy jalan terus. Saya tak akan pernah membiarkan pria yang telah merampas hidup selama 3 tahun, istri dan perusahaan, lari begitu saja.

Saat Williams kembali ke Inggris untuk liburan akhir pekan, ia melaporkan tentang kebiasaan Rosemary pergi ke Majesty, satu-satunya hotel di kota, setiap Jumat siang untuk melakukan pembicaraan telepon sambungan internasional tanpa operator. Maklum, di rumah ia sangat jarang memakai telepon. 

Benar. Identitas orang yang selalu ditelepon Rosemary dari Majesty pasti akan menjadi petunjuk penting penyelidikan ini. Tapi bagaimana cara mengetahuinya? Saya tak sabar lagi menunggu perkembangan upaya tim ini. Sampai suatu malam di hari Minggu, telepon di Bradford berdering. Suara Williams dari seberang sana terdengar serius meski terbata-bata.

“Celaka, Don, saya dipecat…..”

“Apa? Dipecat? Apakah kau menggoda pelayan wanitanya?” tanya Donald emosional. 

Bukan. Penyebabnya ternyata amat sepele. Menurut pengakuan Williams, kemarin dia mengantarkan Nn. Kershaw ke kota. Di sebuah perempatan mobilnya berhenti lantaran terhadang lampu merah. Rupanya ada seorang penyeberang jalan yang mengenali wajah Williams. Tanpa rasa dosa, orang itu menghampiri jendela mobil dan menyapa, “Apa kabar, Inspektur Williams?” Ternyata, orang itu Neil Case, penjahat kambuhan yang pernah ditangani Williams. 

Meski Nn. Kershaw tidak bereaksi, buntut kejadian itu amat fatal. Sesampainya di rumah, Williams langsung dipecat. Untung, insiden tersebut menyisakan info penting. Begitu mengetahui kalau sang sopir ternyata polisi, Kershaw amat panik. Tanpa sadar ia langsung masuk kamar dan menelepon. Di lain pihak, instingnya sebagai polisi mendorong Williams menyadap pembicaraan itu lewat telepon paralel di ruangan lain. Ketahuan, nomor yang dihubungi Kershaw adalah 6407 7, di daerah Cambridge.

Secuil informasi berharga ini segera dimanfaatkan oleh Hackett untuk melanjutkan pelacakan siapa pemilik nomor itu. Meski menyita waktu beberapa hari untuk setiap kali menambah satu digit angka mengisi kekosongan nomor yang diberikan Williams, akhirnya dengan bantuan kolega Hackett yang bertugas di kepolisian wilayah Cambridge, terpilih nomor telepon 6407 6 7, yang terdaftar atas nama Prof. Balcescu, warga Great Shelford, Cambridge, direktur Lembaga Studi Eropa Timur, Universitas Oxford. Penyelidikan atas keluarga ini memberi tambahan informasi penting lain, mereka memiliki BMW putih No. pol. K273 SCE, terdaftar atas nama Susan Balcescu.

 

Bekas luka di pelipis 

Rasanya tak sabar lagi saya menantikan kesempatan ini. Secara fisik maupun mental saya sudah lama mempersiapkan diri, termasuk selalu membawa sepucuk Baretta dalam jaket. Bersama dengan Donald, dan Jenny Kenwright, Jumat pagi kami meluncur ke Cambridge. Menurut jadwal Prof. Balcescu memberi kuliah siang hari.

Ketika melihat orang yang bernama Balcescu lewat di lorong sebelum masuk ruang kuliah, saya malah ragu. Dari warna rambut, warna mata dan tubuhnya yang jauh lebih kurus, pria ini tak mirip dengan Jeremy. Namun kami tak mungkin langsung pergi, mengingat gerakan kami bertiga di tengah kerumunan mahasiswa di kelas ini justru akan menimbulkan kecurigaan.

Dalam keremangan ruangan, lantaran Balcescu memakai slide-projector, wajah profesor ini agak sulit diamati. Beberapa kali slide-projectornya macet, sehingga asisten dosen yang bertugas mengoperasikan alat itu agak kewalahan menyesuaikan penjelasan Balcescu dengan urutan gambar yang cocok. Setiap kali pula sang profesor yang gelisah itu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Ya, gerakan tangan itu segera mengingatkan saya pada seseorang. Ketika sorot lampu proyektor tanpa berisi slide tepat mengenai wajahnya, saya lihat ada bekas luka di pelipis kanannya.

“Benar! Dialah orangnya,” bisik saya kepada Donald. 

Segera setelah kuliah usai, saya memburu Balcescu ke kamar dosen. Langkah saya dicegah oleh sekretarisnya. “Maaf, Tuan Direktur sedang menantikan sambungan telepon dari luar negeri. Ia tidak bisa diganggu.” Tapi saya nekat menyerobot masuk. 

Demikianlah saya berhadapan langsung dengan orang yang selama ini saya cari. Begitu mengenal siapa yang berdiri di depannya sambil menodongkan pistol, wajah Balcescu mendadak pucat. Gagang telepon dalam genggamannya terjatuh, sementara dari sambungan telepon di seberang masih terdengar suara, “Halo Sayang! Kau masih di situ?” Saya kenal, itu suara Rosemary. 

“Jangan lakukan, Richard. Akan kujelaskan. Percayalah, akan kujelaskan,” kata Jeremy alias Balcescu ketakutan. Pada saat yang sama, Donal menghambur masuk ke ruangan. Ia segera berteriak,

“Jangan lakukan, Richard,” katanya memohon lantaran saya sudah mengokang pistol, “nanti kau akan menyesal seumur hidupmu.”

“Tidak, Donald!” jawabku, “Saya tak menyesal membunuh Jeremy. Kau tahu, ia sudah dinyatakan mati. Bahkan saya telah dipenjara karena dituduh membunuhnya. Kau pun tahu, saya takkan bisa diadili untuk kedua kalinya atas pembunuhan yang sudah divonis dan saya jalani hukumannya. Meski kali ini mereka akan menemukan mayat korban.”

Moncong pistol saya arahkan ke jantung Jeremy. Perlahan pelatuk saya tarik. Tapi persis pada saat itu Jenny masuk dan menubruk kaki saya dari belakang, sehingga bersamaan dengan letusan pistol ke atas, saya dan Jeremy jatuh terjerembap.

Jeremy masih hidup, hanya terluka di pundaknya. 

Nah, seperti yang tertulis di awal kisah ini, Anda telah mendapat penjelasan mengapa saya berada di Penjara Ford Open. Atau yang lebih tepat, mengapa saya kembali masuk penjara. Dengan tuduhan melakukan percobaan pembunuhan, saya dijatuhi hukuman 9 bulan. 

Tapi, kali ini saya tidak sendirian. Di tempat lain, Jeremy juga meringkuk di sel penjara Armley. Ia ditahan karena bersekongkol melecehkan pengadilan umum. Sementara Rosemary alias Nn. Kershaw pun harus menebus hidupnya di Penjara Marseilles, dengan tuduhan melakukan sumpah palsu. (Jeffrey Archer)

Baca Juga: Agar Jadi Lelaki Sejati

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635699/mencari-mayat-hidup" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945581000) } } }