array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3605814"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/mayat-bajang-menangkap-pembunuh_-20221212090110.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(147) "Meski berakhir pekan di Vila, Roby Hasan tetap menyelesaikan beberapa pekerjaan. Namun ia tewas tertembak setelah dikunjungi salah seorang stafnya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Misteri"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(7) "mystery"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1368)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Misteri"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/mayat-bajang-menangkap-pembunuh_-20221212090110.jpg"
      ["title"]=>
      string(31) "Mayat Bajang Menangkap Pembunuh"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 09:01:26"
      ["content"]=>
      string(30660) "

Intisari Plus - Meski berakhir pekan di Vila, Roby Hasan tetap menyelesaikan beberapa pekerjaan. Namun ia tewas tertembak setelah dikunjungi salah seorang stafnya. Pembunuhan?

--------------------

Kendati sudah berusia 60 tahun, Roby Hasan masih energik mengelola perusahaan iklan miliknya yang lumayan besar di Surabaya. Setiap hari dalam sepekan, kecuali Sabtu dan Minggu, dijalani dengan kerja keras. la bekerja mulai pukul 08.00 hingga petang, malah tak jarang dilanjutkan dengan lembur sampai tengah malam. Namun mengingat manusia bukan mesin, tak urung ia memerlukan istirahat.

Sabtu pagi, 9 Mei 1998, Roby tiba di vilanya yang nyaman. Vila Lembah Hijau yang terletak di Pacet, 67 km dari Surabaya. Meski di tempat peristirahatan tersebut ia berkesempatan mencuci pikiran keruh akibat bisnis, toh Roby masih memutar benaknya guna menyisihkan sejumlah pesaing dalam memperebutkan “kue” berupa para pembeli jasa periklanan yang semakin menyusut jumlahnya. 

Yang jelas, kawasan ini memiliki pemandangan yang indah. Orang bisa melepaskan pandangan sebebas-bebasnya ke puncak Gunung Welirang atau menikmati bayang ungu kebiruan sosok gagah Gunung Penanggungan. Di saat demikian, menguap segala kejenuhan akibat rutinitas kerja keras, serta kebosanan gangguan hiruk-pikuk kota besar yang panas. Bagi Roby, waktu singkat harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sebab esok ia harus kembali ke Surabaya untuk persiapan kerja di hari Senin.

 

Terpaksa dilinggis

Kedatangan Roby Hasan disertai Shinta Wulandari, putri tunggalnya, dan sang menantu, Dicky Hermanto. Mereka satu mobil dari Surabaya. Meski istrinya sudah meninggal 15 tahun silam, rupanya Roby tidak berniat mencari pengganti. Kebetulan pula Shinta seperti tidak membutuhkan ibu tiri. Jangan-jangan kerja keras gila-gilaan Roby itu pelarian dari rasa kesepian, seloroh temah-teman Roby.

Biasanya mereka menikmati akhir pekan dengan bercanda sambil menyantap roti bakar dan kopi panas di udara sejuk pegunungan. Namun kali ini tidak demikian, sebab ada pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu mendesak. Naskah penawaran kontrak dengan sebuah perusahaan besar yang bakal menjadi pelanggan baru harus siap di hari Senin. Bukankah kesan baik wajib diberikan terhadap klien baru?

Agar dapat kerja lembur, Roby perlu istirahat lebih dulu. Siang itu, sesudah bangun dari tidurnya yang lelap, Roby masuk ke kamar pribadi yang sekaligus juga menjadi ruang kerja. Pintu ditutup dan dikuncinya dari dalam. Shinta dan orang lain di vila itu tahu bahwa Roby sedang tenggelam dalam tumpukan kertas kerjanya.

Sekitar satu jam kemudian sebuah kijang kapsul memasuki halaman vila Lembah Hijau. Shinta yang kebetulan sedang duduk di beranda muka menyambut tamu yang sudah dikenal itu. Norman Setyawan, manajer pemasaran yang diandalkan di perusahaan Roby.

Setelah diberi tahu bahwa kedatangannya karena ada janji dengan ayahnya, maka perempuan itu pun mengantarkan tamunya ke dalam. Roby mempersilakan Norman langsung masuk ke ruang kerjanya. Selanjutnya, pintu ditutup kembali oleh Roby.

Sampai beberapa waktu kemudian, Shinta mengajak suaminya keluar mencari penganan. Keduanya pergi bermobil, sebab pertokoan dan deretan rumah makan agak jauh jaraknya dari vila mereka.

Setiba di tempat tujuan, Shinta tergoda warung bakso kondang. Meski pembeli berjubel, Shinta tak mengurungkan niat jajan di sana. Saat menunggu giliran dilayani, Dicky menyempatkan pergi sebentar untuk membeli rokok di toko seberang jalan.

Sekembali di vila, tak terlihat lagi mobil Norman. Shinta agak kecewa, sebab ia sudah membeli penganan buat tamunya. Pak Somad, lelaki lima puluhan itu dipanggilnya untuk ditanyai seputar kepulangan Norman Setyawan.

Pak Somad yang sudah bekerja di vila itu sejak dibeli oleh Roby dikenal sebagai orang dusun yang lugu. Kata Pak Somad, tamunya sudah pulang beberapa waktu sebelumnya.

Shinta kemudian mencoba mengetuk pintu kamar ayahnya untuk mengantarkan penganan yang telah dibelinya. Namun tak terdengar suara jawaban dari balik pintu yang masih terkunci rapat dari dalam. Shinta menduga, ayahnya sedang beristirahat, siapa tahu ia tertidur di ranjangnya.

Waktu terus berjalan, jam dinding sudah menunjukkan pukul 19.05. Bosan menunggu ayahnya keluar dari kamar, kembali Shinta mengetuk pintu kamar ayahnya berulang kali. Tak terdengar sepatah kata pun sahutan dari dalam.

Kesabaran Shinta habis. Dipanggilnya Pak Somad, Unggul Basuki, si tukang kebun, dan Mbok Warsiah tukang masak untuk membantu Dicky mendobrak pintu kamar Pak Roby. Akhirnya dengan bantuan linggis, pintu berhasil dibuka.

Betapa kaget Shinta begitu melihat ayahnya tergeletak tak bernyawa di meja kerjanya. Untung Dicky sigap menangkap tubuh Shinta yang limbung akibat syok. Sambil memangku istrinya yang pingsan, Dicky meraih telepon selular untuk menghubungi polisi setempat.

 

Semua punya alibi

Iptu Marselino Gunawan meski tidak dalam jam tugas bersedia mendampingi Briptu Suseno Adi. Mereka tiba sekitar 20 menit setelah menerima telepon dari Dicky.

Saat Suseno memotret TKP, Marselino meneliti seluruh bagian ruangan, sejengkal demi sejengkal. Mulai dari plafon, seluruh bagian dinding yang dilapisi wallpaper, tiga lukisan di dinding, dan sejumlah perabot termasuk seperangkat komputer pribadi.

Posisi Roby duduk di kursi kerja dengan kepala tertelungkup di atas meja tulis, sementara tangan kanannya menggenggam pistol berperedam. Sepintas mengesankan korban meninggal karena bunuh diri.

Posisi Roby duduk di kursi kerja dengan kepala tertelungkup di atas meja tulis, sementara tangan kanannya menggenggam pistol berperedam. Sepintas mengesankan jika korban meninggal karena bunuh diri. 

Yang jelas, Roby berada dalam kamar yang terkunci rapat dari dalam. Bahkan anak kuncinya ditemukan masih tertancap di sisi dalam pintu kamar itu. Di bagian atas lubang anak kunci terdapat selot dalam posisi tersorong menutup, artinya terkunci dari dalam kamar. Keadaan itu sangat menyulitkan petugas penyidik dalam membuat dugaan.

Betapapun belum ditemukan petunjuk tentang kemungkinan adanya jalan rahasia yang dilalui si pembunuh untuk keluar dari kamar itu. Maka Marselino meminta semua penghuni vila untuk berkumpul guna ditanyai satu per satu. Semua hasil interogasi dicatat oleh Suseno, anak buahnya.

Beberapa jam kemudian dua petugas itu meninggalkan vila. Namun, Marselino sempat berpesan agar mereka bersedia ditanyai lebih lanjut bilamana diperlukan. Esoknya, Minggu, 10 Mei 1998, sepulang dari gereja, Marselino Gunawan mampir ke kantornya. Di hadapannya duduk seorang lelaki setengah baya yang baru saja datang dari Surabaya.

“Nama bapak Norman Setyawan, bukan?” sapa Marselino setelah berbasa-basi sejenak.

“Benar, Pak.” 

“Apakah Anda kenal Pak Roby?” 

“Dia bos saya, Pak.” 

“Bagaimana Anda bisa cepat tahu ada kejadian itu?” 

“Tadi pagi-pagi sekali saya mendapat telepon dari suami Jeng Shinta, Pak.” 

“Begini, Bapak merupakan orang terakhir yang bertemu Pak Roby.”

“Ya, tapi itu tidak berarti saya yang membunuh, ‘kan Pak?”

“Memang. Tapi sebagai penyidik saya harus mencari fakta kebenaran kata-kata itu. Lantas apa keperluan Bapak menemui Pak Roby?”

“Soal pekerjaan, Pak. Beliau meminta saya datang ke vila dengan membawa beberapa dokumen untuk persiapan penawaran kontrak serta merancang agenda kerja untuk Senin besok.”

“Pukul berapa Anda meninggalkan kamar itu? Lalu, apakah Anda melihat Pak Roby sendiri yang menutup pintu kamar ketika Bapak meninggalkannya?”

“Saya meninggalkan Pak Roby sendirian di kamar itu kira-kira pukul lima sore. Seingat saya, beliau sendiri yang menutup kembali pintunya.”

“Apa Bapak mendengar bunyi pintu itu dikunci dari dalam?”

“Wah, itu tidak saya perhatikan, Pak.”

“Sewaktu Bapak keluar dari vila, apa ada orang lain?”

“Saat itu keadaan amat sepi. Kalaupun ada orang lain, saya tidak memperhatikannya.”

“Baik, Pak Norman, saya rasa kali ini cukup sekian dulu dan bilamana diperlukan, saya mohon Bapak mau berbincang-bincang lagi dengan saya seperti ini.”

“Saya siap, Pak.” 

Sepeninggal Norman, Marselino, lelaki akhir tiga puluhan itu, berjalan mondar-mandir di ruangan sementara Suseno sedang menyelesaikan ketikan laporannya. Benaknya penuh rencana untuk menemukan cara tersingkat guna memecahkan kasus itu. Sayangnya, jalan itu masih berliku-liku.

Pertanyaan-pertanyaan awal sudah diajukan kepada sejumlah orang yang terkait dengan tempat kejadian. Tapi hasilnya masih mengambang, sehingga sulit untuk ditarik kesimpulan.

Pak Somad, pelayan vila, mengetahui kepulangan tamunya hanya dari bunyi deru mobil. Pak Somad sendiri tengah sibuk membantu Mbok Warsiah, perempuan lima puluh tahun yang sedang asyik mempersiapkan makan malam di dapur. Unggul Basuki pun sedang sibuk di kebun belakang vila. Sedangkan Shinta dan suaminya sedang berbelanja makanan. Semua punya alibi saat pembunuhan terjadi.

Pembunuhan? Benar, itu pembunuhan, bukan bunuh diri. Menurut hasil pemeriksaan sementara labkrim, bercak darah yang ditemukan sekitar dua meter dari pintu kamar sama dengan jenis darah Roby. Artinya, Roby tewas di tempat lain baru kemudian dipindah dan didudukkan di kursinya. Sulitnya, di pistol yang digenggam Roby tidak ditemukan sidik jari lain, kecuali sidik jari Roby. Atau jangan-jangan si pelaku bersarung tangan?

Mengingat Roby Hasan tinggal dan bekerja di Surabaya, Marselino perlu mendapatkan rekomendasi dari atasannya, Kapolres di Mojokerto, untuk bekerja sama dengan pihak kepolisian di Surabaya.

 

Tertuduh baru

Sekeluar dari kantor polisi, Shinta tidak langsung kembali ke vilanya. la malah membelokkan mobilnya ke sebuah kafe kecil. Sambil menikmati sepotong donat dan segelas es jeruk, ia memandangi vilanya di kejauhan. Seketika ia teringat akan kematian ayahnya. Sarjana psikologi itu bertekad mencari si pembunuh.

Dari antara semua karyawan, termasuk Dicky suaminya, ia sampai pada sebuah nama, Johansyah Marga. Lelaki muda tampan itu baru beberapa bulan bergabung dengan perusahaan mendiang ayahnya. Kabarnya pemuda itu anak pengusaha besar di Jakarta, namun karena ingin mengembangkan bisnis, Johansyah mau mendanai beberapa proyek besar ayah Shinta. Kecurigaan itu timbul karena suatu kali Shinta pernah mendengar ayahnya ribut besar dengan Johansyah di ruang kerja ayahnya di kantor. Dari balik pintu samar-samar ia mendengar Johansyah mengancam Roby.

Repotnya, Shinta tidak bisa langsung menuduh Johansyah, sebab saat peristiwa pembunuhan itu terjadi, kabarnya Johansyah berada di Jakarta.

Shinta melihat arlojinya sudah pukul 12.00, sejam lagi ia harus menelepon suaminya di Surabaya. Beberapa menit setiba Shinta di vila, telepon berdering.

“Selamat siang Mbak Shinta, ini saya, Marselino!” 

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” 

“Begini, tolong suami Mbak diminta datang ke kantor, saya ada perlu sedikit.” 

“Baik, Pak. Tapi, ada yang ingin saya sampaikan. Soal kecurigaan saya pada seseorang.”

“Oh ya, apa itu, Mbak?”

“Tapi, saya tidak tahu, apakah ini betul atau tidak,” ujar Shinta gugup.

“Katakan saja, jangan ragu. Saya akan menyimpan semua informasi dari Mbak.”

“Baik, saya curiga dengan Johansyah Marga,” tutur Shinta. 

Saat mendengarkan penuturan Shinta tentang Johansyah Marga, Iptu Marselino tampak mencorat-coret selembar kertas di hadapannya, mungkin catatan tambahan tentang kasus pembunuhan Roby.

Catatan itu sangat membantu Iptu Marselino saat menghadapi Dicky Hermanto. Yang belakangan disebut ini kala hendak melewati pintu ruang kerja Iptu Marselino, tampak akan membuang rokoknya yang masih panjang, namun Marselino mencegahnya.

“Tak usah, Mas Dicky. Di sini boleh merokok!”

Pertemuan itu dimulai dengan berbasa-basi sampai akhirnya tiba di persoalan interogasi. 

“Jadi, Mas Dicky baru tujuh bulan berumah tangga dengan Mbak Shinta?”

Dicky mengangguk tenang, dan seperti biasa, bunyi ketikan Briptu Suseno meramaikan suasana di ruang interogasi.

“Sudah berapa lama Anda bekerja di perusahaan mertua?”

“Baru empat bulan lebih, Pak.”

“Tapi Mas Dicky sudah mengenal para karyawan di sana, bukan?”

“Saya mudah akrab dengan siapa saja, Pak. Walau menantu Bos, saya tak punya masalah pergaulan dengan karyawan lain. Pak Roby pun tidak mengistimewakan saya. Beliau bisa pas menempatkan diri, antara sebagai pimpinan di tempat kerja dengan sebagai mertua di rumah.”

“Begitu juga halnya dengan Pak Norman Setyawan, ya?”

“Saya pun akrab dengannya karena kami punya banyak kesamaan. Tapi, ada satu hobinya yang tidak saya sukai. la senang berjudi. Karena sering kalah, utangnya pun menumpuk. Malah istrinya pernah datang ke kantor untuk mengadukan kebiasaannya itu,” tutur Dicky.

“Kalau Anda, apa juga senang berjudi?” 

“Wah, enggaklah, Pak. Tapi, agar tidak dikatai sok suci, sesekali saya pasang togel, beberapa nomor saja,” jawab Dicky sambil tersenyum kecut.

Marselino tertawa. 

“Nah, sewaktu Mas Dicky meninggalkan istri di warung bakso untuk membeli rokok di toko seberang, apakah Anda sempat bertemu dengan seseorang yang Anda kenal?”

“Rasanya tidak. Saya memang butuh waktu cukup lama, karena ternyata toko terdekat itu tidak menjual rokok kesukaan saya.”

“Mas Dicky pasti kenal Pak Johansyah Marga. Bagaimana pendapat Anda tentang dia?”

“Yang saya tahu, dia orangnya sopan. Selain itu, saya tidak tahu banyak karena dia lebih sering berada di Jakarta.”

“Soal kerja sama dengan mertua Anda?”

“Entahlah. Yang pasti, dia mau bekerja sama dengan mertua saya tentu karena melihat prospek yang baik.”

Iptu Marselino diam, sementara Suseno sibuk mengetik.

Setelah Dicky meninggalkan kantor, Marselino memikirkan berbagai kemungkinan yang telah dilakukan oleh Norman Setyawan; sang penjudi. la perlu diminta datang lagi dari Surabaya, tapi itu akan memakan waktu.

 

Mayat bajang

Pacet, desa di lereng gunung itu semula dikenal oleh masyarakat kota kecil terdekat hanya sebagai dataran tinggi pertanian sayur-mayur. Setelah ada pengusaha dari kota besar yang mengelola sumber air panas berkandungan belerang sebagai pemandian alami yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit, maka orang dari kota besar, terutama Surabaya dan sekitarnya, berdatangan. Alam cantik dengan udara yang sejuk bersih amat mendukung perkembangan daerah itu. Maka beberapa rumah peristirahatan pun dibangun di lereng-lereng gunung, salah satunya Vila Lembah Hijau.

Mungkin mengimbangi perilaku manusia, alam pun tak selalu ramah. Sebagaimana yang terjadi pada Kamis itu, 14 Mei 1998. Sejak pagi, Pacet tak henti diguyur hujan deras. Pepohonan tumbang diterjang tanah longsor dan air bah dari gunung. Sebab beberapa bagian hutan telah rusak oleh tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Saat santai Shinta dan Dicky terganggu dengan datangnya Pak Somad. 

“Pak Dicky! Jeng Shinta!” seru Pak Somad 

“Ada apa, Pak? Bicara pelan-pelan, yang jelas!”

“Vila ini diterjang banjir dan dinding bagian belakang mulai ambrol!”

“Masa?” teriak Shinta.

Dicky bergegas beranjak menuju tempat yang dimaksud Pak Somad.

Mereka melihat Unggul dan Mbok Warsiah sedang berusaha menyisihkan barang-barang yang mulai tergenang air. Dengan cangkulnya Unggul membendung air supaya dapat menyisih. Tapi usaha Unggul sia-sia, sebab arus air dari lereng atas sangat deras dan kuat. Akibatnya, dinding belakang kamar pribadi mendiang Roby pun jebol.

Untung musibah di vila itu reda sejam kemudian. 

Tiba-tiba kelegaan itu dipecah oleh teriakan Mbok Warsiah. la tampak menunjuk sesuatu. Shinta dan yang lain tak kurang ngerinya ketika melihat sesosok makhluk diam tidak bergerak.

“Mayat orang cebol, bajang!” Pak Somad menjelaskan.

Dengan tangan gemetar Shinta mengambil telepon genggam untuk menghubungi yang berwajib.

Hujan rintik menyertai kedatangan Marselino dan Suseno. Suseno memotret, mencatat dan melaksanakan pekerjaannya dengan teliti. Sedangkan Marselino menghubungi puskesmas untuk minta bantuan mobil ambulans. Iptu Marselino ingin mayat diautopsi.

Saat hujan berhenti, sementara Mbok Warsiah mengepel lantai, Shinta membenahi barang-barang di kamar pribadi almarhum ayahnya. Selang beberapa saat kemudian Shinta tersentak saat melihat sesuatu yang tak lazim. Pondasi beton yang berfungsi sebagai dudukan lemari besi yang seharusnya padat, ternyata berongga. Tampak lubang menganga di tengahnya.

Tadinya lubang itu luput dari perhatian karena sebelumnya memang terendam air dan teralangi oleh barang-barang lain yang menutupinya. Shinta makin penasaran, maka ia mengorek kedalaman lubang itu, ingin tahu seberapa besar rongga itu.

Sesaat sempat ia mencoba menyusun dugaan tentang temuannya itu tapi akhirnya memutuskan untuk menyerahkan saja kepada petugas penyidik.

“Setelah saya ukur ternyata cukup besar untuk duduk seorang anak kecil,” lapor Shinta pada Marselino.

“Itu berarti cukup untuk menyembunyikan orang bajang, apalagi untuk sekadar lewat,” sahut Marselino yang kemudian memanggil anak buah melalui telepon selular.

Para petugas melanjutkan pemeriksaan dengan mengeruk semua tanah sisa longsoran di dalam rongga pondasi beton itu. Mereka berhasil menemukan sebuah lorong yang ternyata tembus keluar dan berakhir di kebun belakang vila.

“Terima kasih Mbak Shinta atas temuannya. Anda telah membantu polisi,” ujar Marselino sambil menyalami Shinta untuk berpamitan.

 

Hilangnya tukang kebun baru

Beberapa hari kemudian Shinta curiga karena Unggul, tukang kebun yang merangkap juru tamannya, sudah tiga hari tidak masuk kerja tanpa kabar. Aneh, padahal biasanya untuk meninggalkan vila seperempat jam pun pemuda itu selalu minta izin.

Dengan ditemani Pak Somad, Shinta melihat-lihat kamar Unggul yang terletak di kebun belakang vila, di samping gudang kecil. Sudah lama ia tak melakukan hal itu, sebab Unggul tahu tanggung jawab dan tampak rajin, jadi tidak perlu dikontrol.

Kamar itu cukup bersih untuk ukuran tukang kebun, tapi Shinta melihat sepasang sarung tangan kotor bernoda merah. Dipungutnya barang itu dari sisi sebuah kardus bekas kemasan air mineral, lantas mengamatinya.

“Darah?” cetusnya. 

“Apa ini, Jeng Shinta?” potong Pak Somad tiba-tiba sambil mengacungkan sebuah benda kecil.

“Hah ... telepon ... telepon selular, Pak!”

“Masa tukang kebun punya telepon genggam?”

“O, sudah tidak aktif, telepon ini perlu diisi ulang, Pak.”

Shinta buru-buru meninggalkan tempat itu untuk menelepon Iptu Marselino.

Malam sudah mulai larut, istri dan dua anak Marselino sudah tertidur, tapi ia sendiri masih menghadapi tumpukan catatan di dalam rumahnya yang mungil. Beberapa laporan yang diterimanya sangat menantang untuk dianalisis kembali.

Iptu Marselino menyimpulkan, Roby dibunuh saat sedang sendirian di kamar yang terkunci rapat dari dalam. Selain itu laporan dari petugas autopsi mayat menyatakan, orang bajang itu tewas karena dianiaya dengan senjata tajam sebelum dikuburkan. Ini hal utama yang harus dipecahkan. Si bajang itu pasti suruhan seseorang untuk mengunci pintu dan selot dari dalam kamar tempat kejadian perkara.

Tentu itu dilakukan setelah pelaku pembunuhan menghabisi korban. Selanjutnya, si bajang bisa keluar melalui lubang di pondasi penyangga lemari besi menuju belukar di kebun. Sayangnya di mulut liang si bajang justru dihabisi oleh seseorang untuk menghilangkan jejak.

Apalagi ada laporan terbaru tentang menghilangnya Unggul Basuki si tukang kebun, ditemukannya sepasang sarung tangan bernoda darah dan telepon selular di kamarnya. Semua itu pasti ada kaitannya dengan kasus pembunuhan Pak Roby.

Tapi siapa dalang di balik kejadian itu? Shinta, Dicky, atau Norman? Iptu Marselino tidak bisa cepat memutuskan karena tiga orang tersebut paling mungkin memiliki motif untuk melakukan tindakan itu. Yang harus ia lakukan, melacak Unggul Basuki, kunci pembuka kasus itu.

 

Terungkapnya sang “dalang”

Seorang informan menelepon Iptu Marselino dari Mojosari, kota kecil yang terletak 17 km dari Pacet ke arah Surabaya. Ia melapor tengah mengawasi seseorang berwajah serupa dengan foto yang diterimanya.

Marselino tanggap terhadap informasi itu. Ia segera meminta Briptu Suseno dan Bripda Suntoro untuk berangkat ke Mojosari dalam pakaian sipil malam itu juga. Baru pukul 21.00 dua polisi yang menyamar itu tiba di tempat tujuan. Terlebih dulu mereka menemui David, sang informan, yang akan memandunya menuju tempat persembunyian si tukang kebun.

Setiba di rumah yang dimaksud, Suntoro berpura-pura mengantarkan barang. Sesudah diketuk beberapa kali pintu rumah itu baru dibuka oleh seorang perempuan muda.

“Maaf mengganggu, Mbak. Apakah benar ini rumah Mas Unggul Basuki? Saya harus menyampaikan barang ini.”

Sejenak perempuan berwajah manis itu meneliti dari ujung rambut ke ujung kaki tamunya yang masih berdiri di luar pintu.

“Apa tidak bisa saya saja yang menerima? Dia sedang tidur!”

“Wah, kelihatannya tidak bisa. Soalnya ada tanda terima yang harus ditandatangani sendiri oleh Mas Unggul. Ini barang penting sekali.”

Tampak perempuan itu berpikir beberapa saat sebelum akhirnya ia masuk untuk membangunkan Unggul.

Begitu yakin bahwa yang keluar memang orang yang dicari, dua petugas itu segera meringkusnya. Malam itu juga Sertu Suseno dan Serda Suntoro membawa Unggul Basuki kembali ke Pacet.

Melalui interograsi intensif, lelaki berusia dua puluh enam tahun itu terjebak dan tidak bisa Iagi mengelak dari perbuatannya.

Siapa sangka, dalang di balik tindakan kriminal itu Johansyah Marga! Johansyah pula yang menyelundupkannya sebagai tukang kebun di vila Pak Roby.

Untuk menghabisi nyawa Roby Hasan, Johansyah telah membuat rencana yang sedemikian cermat. la mulai beroperasi saat Norman Setyawan meninggalkan vila Lembah Hijau. la mengetuk pintu kamar, yang segera dibukakan oleh Pak Roby. Pak Roby sendiri mengira, Norman Setyawan-lah yang mengetuk pintu karena mungkin ada barangnya yang tertinggal.

Selain itu Johansyah memperalat seorang bajang untuk menutup pintu kamar itu, sehingga kematian korban bisa menimbulkan kesan sebagai tindakan bunuh diri. Itu dilakukan si orang bajang setelah Johansyah menembak dahi korban dengan pistol berperedam. Dalam melakukan kejahatan Johansyah memang bersarung tangan, tak heran di pistol hanya ditemukan sidik jari korban. Begitu keluar dari liang, Unggul Basuki menghabisi si orang bajang.

Selanjutnya, oleh Unggul, mayat orang kerdil itu dikubur di bawah pohon rambutan di kebun. Karena dilanda banjir, mayat yang sudah tertanam itu tersembul keluar. Itu membuat Unggul ketakutan, sehingga ia pun kabur.

Berdasarkan pengakuan Unggul Basuki, Johansyah bisa ditangkap di rumah persembunyiannya di bilangan Ngagel Jaya Indah, Surabaya. Lelaki muda yang bertutur kata sopan itu akhirnya mengakui perbuatan kejinya.

Roby Hasan terpaksa disingkirkan, karena lelaki tua itu tidak menyetujui Johansyah meminjam uang perusahaan untuk berdagang uang palsu. Malah pimpinan perusahaan periklanan itu mengancam akan melaporkannya kepada yang berwajib. Di samping itu, Johansyah mengaku menjadi pengedar uang palsu yang dibelinya secara terputus.

Semua karena terpaksa, begitu alasannya. Bisnisnya mengalami kemunduran berat, utangnya semakin bertumpuk dan ia sering mengalami tekanan mental, katanya menambahkan alasan.

“Tetapi Saudara Johansyah, Anda harus ingat bahwa kejahatan tetap kejahatan. Apa pun alasannya, hukum harus ditegakkan,” Marselino menjelaskan. Semua orang yang mendengarnya tampak setuju. (Riady B. Sarosa)

Baca Juga: Gara-gara Tuntutan Cinta

 

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605814/mayat-bajang-menangkap-pembunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835686000) } } }