array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3726517"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/27/intisari-plus-235-1983-40-ia-ter-20230327113449.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(141) "Bau busuk luar biasa tiba-tiba menyeruak dari apartemen seorang pensiunan yang hidup sendiri. Saksi mata melihatnya terakhir kali berbelanja."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/27/intisari-plus-235-1983-40-ia-ter-20230327113449.jpg"
      ["title"]=>
      string(32) "Ia Terakhir Kelihatan Berbelanja"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-03-27 11:35:02"
      ["content"]=>
      string(34177) "

Intisari Plus - Bau busuk luar biasa tiba-tiba menyeruak dari apartemen Helmer, seorang pensiunan yang hidup sendiri. Saksi mata melihatnya terakhir kali ketika ia keluar berbelanja.

---------

Alexander Helmer, seorang pensiunan, hidup sendirian di apartemennya di Melrose, Bronx, New York. Kerjanya sehari-hari hanya menonton orang lewat dari jendela apartemennya di lantai tiga. Kalau tiba saat makan, ia makan sendirian di dapur, ditemani surat kabar.

Sebagai orang tua, kebutuhan Helmer akan makanan tidak seberapa. Tetapi setiap hari ia selalu berjalan jauh ke Supermarket A & P, yang letaknya sembilan blok dari apartemennya. Ia segan berbelanja di bodega milik orang Puerto Rico dan di toko-toko milik orang Italia di dekat apartemennya, karena suram dan lebih mahal beberapa sen. Helmer ini pelit. Celananya ia pakai sampai bagian paha dan bagian pantatnya sudah tipis berkilat.

Sebetulnya selisih harga beberapa sen tidak sesuai dengan pengorbanannya untuk berjalan begitu jauh. Tetapi Helmer senang pergi ke A & P yang besar, terang dan penuh orang. Di sana dan dalam perjalanan, ia bisa mengangguk pada orang-orang yang sering dijumpainya. Ia juga bisa bercakap-cakap dengan manajer supermarket. Pokoknya, pergi dan pulang dari supermarket itu merupakan puncak kegiatannya setiap hari. Belanjaannya hanya berupa seliter susu, satu roti tawar dan barang-barang kecil.

 

Sering membual

Tanggal 9 Oktober 1964, menjelang siang, ia pergi ke A & P. Hari Jumat itu matahari bersinar dan udara sejuk. Pria berumur 72 tahun itu memakai beberapa lapis pakaian, mengenakan alat bantu dengarnya dan pergi ke luar.

Sejak saudara perempuannya meninggal sepuluh tahun yang lalu, ia benar-benar sendirian dan hampir tidak pernah dikunjungi orang. Kalau kebetulan bertemu dengan pemilik bangunan itu, ia juga tidak menegur atau pun mengangguk. Empat tetangganya yang apartemennya di lantai tiga juga hampir tidak peduli padanya. Pernah ia masuk rumah sakit selama dua minggu dan tidak seorang pun dari mereka menyadari ketidakhadirannya.

Lewat dari 399 East 160th Street, ia tampak “hidup” dan bercakap-cakap dengan beberapa kenalan yang tua pula, di sebuah taman. Mereka itu pemilik toko dan manajer sebuah pompa bensin. Kadang-kadang ia juga melewatkan sebagian waktunya di situ.

Kepada orang-orang dan beberapa tetangga yang tidak dikenalnya dengan baik, ia sering membual dengan memberi tahu bahwa keuangannya mantap. Ia tidak mempunyai ahli waris dan bisa saja lawan bicaranya itu ia jadikan ahli waris dalam surat wasiatnya. Ia mempergunakan cara yang sama untuk memelihara hubungan perkenalannya dengan dua orang janda yang sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu dengannya. Dengan keduanya, ia berkirim-kiriman kartu Natal. Bersama kartu Natal itu, dikirimkannya juga kartu nama pengacaranya dengan pesan: Simpan kartu ini, saya akan mengingatmu dalam surat wasiat saya.

Helmer memang berhasil mengumpulkan uang sampai $ 22.000, yang ditanamkannya dalam saham-saham. Tetapi pada saat ini, ia tidak bermaksud mengeluarkan uang dalam jumlah cukup besar untuk siapa pun juga, termasuk untuk kakaknya, George, yang dirawat di rumah jompo. Ketika manajer rumah jompo itu meminta Helmer menyumbang untuk kakaknya yang sudah pikun dan yang keuangannya sudah surut, Helmer menolak dan buru-buru kabur dari rumah perawatan tersebut. Ia tidak pernah kembali ke sana.

Tetapi anehnya, ia kadang-kadang membawa uang beberapa ratus dolar di sakunya, sedangkan beberapa ratus lagi ditaruhnya di apartemennya, walaupun tidak dipergunakan.

Tengah hari, di A & P, Helmer memasukkan barang-barang yang dibutuhkannya ke kereta dorong dan kasir menghitung, berapa yang mesti dibayarnya untuk seliter susu, setengah liter es krim, beberapa tomat dan apel, sebuah roti tawar, setengah lusin telur dan beberapa benda kecil lain. Setelah membayar empat dolar dua puluh sen, Helmer membawa belanjaannya ke luar. Ia berjalan dengan santai di Melrose Avenue. Jalan itu cukup besar dan ramai. Bus lewat dari dua jurusan. Mobil-mobil lalu lalang dan sepanjang hari banyak orang berjalan di trotoar. Pemandangan ini menyenangkan untuk pria yang sepanjang hari tinggal di apartemen saja.

Di tepi jalan berderet bangunan-bangunan apartemen murah, yang terdiri atas dua sampai enam tingkat. Bagian bawah biasanya berupa toko kecil. Tidak ada tempat luang untuk pepohonan atau pun tanaman di muka gedung. Selain bangunan apartemen, di situ juga ada bank, bioskop dan bahkan pabrik kecil.

 

Tidak takut ditodong

Alexander Helmer tidak peduli pada pemuda-pemuda yang berkumpul di sudut-sudut jalan. Ia juga tidak takut ditodong dan dianiaya, walaupun dalam sakunya ia membawa 189 dolar. Di masa mudanya, ketika ia masih bekerja sebagai pengantar susu, ia pernah ditodong dua kali, tetapi tidak dianiaya.

Bahkan Helmer tidak curiga pada sekelompok pemuda yang luntang-lantung di muka toko Vega-Baja Self Service, yang letaknya tepat di muka gedung tempat apartemen Helmer berada. Mereka cuma berbisik-bisik sebentar dan pura-pura tidak peduli ketika Helmer mendekat. Orang tua ini mendorong pintu kaca berjeruji besi, yang merupakan pintu masuk gedung tempat apartemennya berada. Lalu ia menaiki tangga, mengeluarkan serenceng kunci untuk membuka sebuah pintu kayu, masuk melalui pintu itu, lalu membiarkannya tertutup sendiri.

Pintu kayu itu tidak selalu terkunci. Gedung itu bertingkat enam, di tengahnya ada tangga untuk mencapai tingkat-tingkat atas. Setiap tingkat terdiri atas lima apartemen. Bangunan ini dimiliki dan dikelola selama 40 tahun oleh Ny. Anna Ambos, janda seorang dokter. Wanita ini sudah berumur 72 tahun dan tidak puas dengan kejorokan serta ketidakamanan di daerah tempat tinggalnya, yang dahulu bersih dan aman. Untuk pengaman, ia memasang tiga gembok ekstra di pintu muka dan lubang untuk mengintip.

Dulu, di lantai bawah ada switchboard dan telepon. Kini cuma ada dua jajar tombol dan sebuah bel di pintu kayu.

Siang itu, ketika Helmer menghilang di belakang pintu kayu, pemuda-pemuda di seberang rumahnya berbisik cepat-cepat dan seorang di antaranya tiba-tiba lari menyeberang. Ketika ia mendorong pintu kayu dan pintu itu terbuka, ia memberi tanda kepada teman-temannya yang segera menyerbu masuk. Mereka menaiki tangga yang tadi dinaiki Helmer. Tidak seorang penghuni rumah pun yang melihat mereka masuk. Helmer sudah menaiki dua undak tangga dan kini berada di muka pintu apartemennya, No. 2-B. la membuka pintu dengan tangan kanan dan memeluk tas belanjaannya dengan tangan kiri. Ketika pintu terbuka, dicabutnya rencengan kunci dan dimasukkannya ke dalam sakunya. Begitu ia masuk, sejumlah pemuda tiba di sebelah kiri dan belakangnya. Tiba-tiba saja ia terjerembab ke dalam dan terdorong beberapa langkah ke pintu dapur di sebelah kanannya.

Dengan kaget dan takut, ia melihat dua pemuda di depannya dan pemuda ketiga di muka pintu. Yang dua orang mengambil tas belanjaan dari tangan Helmer yang tidak berdaya, untuk ditaruh di lantai di luar dapur. Yang ketiga masuk ke dapur. Helmer dengan panik berbalik dan berteriak serak. Ia mencoba menjambak pemuda itu dengan tangannya yang tua. Orang yang tadi mengambil belanjaannya, menangkap lengan Helmer dan orang tua ini berteriak lebih keras lagi. Tiba-tiba saja pemuda di depannya menghunus pisau dan menikam Helmer dengan kuat berkali-kali. Setiap kali mata pisaunya tenggelam dalam tubuh Helmer dan kalau ditarik ke luar warnanya merah darah.

Tiba-tiba saja Helmer berhenti berteriak. Tubuhnya lunglai. Pria yang memeganginya kini melepaskan Helmer, sehingga Helmer jatuh dengan wajah menimpa ubin dapur. Topi cokelatnya melayang jauh. Alat bantu dengarnya juga copot dan jatuh dekat muka Helmer, tetapi kawatnya yang halus masih menyangkut.

Helmer terbujur tanpa bergerak. Darah hangat membasahi pakaian yang ditindihnya dan mengalir ke lantai. Ia tidak mendengar para penyerangnya bergerak sekelilingnya menggeratak dapur, laci, dan peti. Ia tidak mendengar apa yang mereka katakan dan juga suara pintu dibanting ketika mereka meninggalkannya. Mereka menuruni tangga, berpencar dan keluar mengambil dua jurusan yang berlawanan, tanpa dicurigai siapa pun juga. Wajah mereka memudar dari otak Helmer yang perlahan-lahan mendingin dan berhenti bekerja.

 

Banyak lalat

Sembilan hari kemudian, pada hari Minggu pagi, tanggal 18 Oktober 1964, seorang saksi Jehovah masuk ke gedung di 399 East 160th Street. Ia memijat bel pada pintu bertuliskan 1-B. Begitu Ny. Smith membuka pintu, ia segera saja berbicara mengenai “kebenaran Tuhan” dengan cepat, karena memang sudah hafal. Kemudian ia menawarkan sebuah majalah The Watchtower, publikasi resmi sekte agama itu. 

Ny. Smith, yang tidak mau repot-repot melayani orang itu, mencari-cari uang kecil dari dompetnya. Ketika itulah pria itu berbisik, “Kalau dinilai dari baunya, di lantai tiga mestinya ada mayat.” 

Ny. Smith cuma mengira membaui makanan basi, ketika ia naik ke tingkat itu. Tetapi ia hampir muntah ketika sampai di atas, karena sangat bau. Ia cepat-cepat lari ke lantai bawah untuk memberi tahu Ny. Ambos.

Dengan berkeluh kesah dan bersusah payah, Ny. Ambos naik dibuntuti Ny. Smith. Di lantai tiga, ia mengendus-endus pada setiap pintu masuk apartemennya. Tiba-tiba ia berlari ke pintu bertuliskan A-2 dan meminta penghuninya, seorang wanita Italia setengah baya bernama Ena Varela, untuk menelepon polisi. 

“Cepat!” pinta Ny. Ambos. “Di gang sangat bau, seperti bau bangkai manusia. Rasanya dari pintu Helmer.”

15 menit kemudian, mobil polisi berhenti di muka gedung. Dua polisi muda disambut oleh Ny. Ambos yang tampak senewen. Walaupun sangat bau, tapi polisi-polisi itu bersikap tenang dan profesional ketika membuka pintu apartemen Helmer yang terkunci. Ny. Ambos tidak mempunyai duplikatnya. Tetapi ia memberi tahu polisi, bahwa mereka bisa masuk ke apartemen Helmer lewat sebuah jendela kamar, yang bisa dicapai dari apartemen A-2.

Polisi bisa mencapai jendela itu, tetapi terpaksa tidak jadi masuk karena bau busuknya bukan main, sementara gerombolan lalat tampak seperti awan tebal. Mereka kembali ke mobil, meminta pertolongan bagian darurat lewat radio.

 

Menurut polisi: mati wajar 

Dua petugas bagian darurat datang. Mereka masuk melalui jendela setelah memakai kedok gas. Mereka sudah terbiasa melihat hal-hal yang ngeri. Tetapi melihat tubuh Helmer yang gembung membusuk dan sebagian habis dimakani belatung, mereka tergugah juga. Dengan pertolongan gunting, mereka memotong saku belakang celana sebelah kanan pada mayat dan menemukan 189 dolar 80 sen. Mereka juga menemukan rencengan kunci, terdiri atas empat buah pada kantung lain. Sementara itu mereka tidak henti-hentinya diganggu lalat dan seperti akan tercekik karena pengap.

Mereka memeriksa ruangan-ruangan lain dan tidak menemukan barang berharga. Ada tiga buku bank yang seluruhnya mencatat jumlah uang $ 650 kurang sedikit.

Mereka tidak bisa mengetahui apakah Helmer mengalami kekerasan atau tidak. Mereka juga tidak mungkin membalikkan mayat itu. Jadi diduga Helmer seperti banyak penghuni kota besar lain - meninggal karena serangan jantung tanpa ketahuan.

Detektif Stephen McCabe datang ke apartemen itu pukul tiga siang. la diperbolehkan masuk oleh polisi penjaga yang merasa sial sekali, karena kebagian menjaga di tempat bau itu. McCabe menutup hidung dan mulutnya rapat-rapat dengan saputangan. la disambut serbuan lalat dan hampir saja terpeleset oleh darah dan belatung yang terinjak sepatunya. Tetapi ia memaksakan dirinya memeriksa tubuh Helmer. 

Ketika ia keluar, wajahnya pucat dan keningnya penuh keringat. McCabe menyalakan cerutu dengan harapan bisa mengusir bau busuk dan lalat, lalu kembali lagi ke dalam. Sesudah keluar masuk tiga kali (kalau dijumlahkan, ia berada di dalam tidak lebih dari sepuluh menit), ia merasa sudah cukup melihat yang perlu dilihatnya. Di kantor polisi, ia mengetik, memberi laporan pendek. Katanya, tampaknya kematian itu wajar.

 

Sudah acak-acakan

Kini tibalah giliran pemeriksaan kedokteran pada mayat. Keesokan harinya, pukul 10.30, Detektif Salvatore Russo dari bagian pembunuhan di Bronx, menerima telepon dari kenalan lamanya, dr. Charles Hochman, wakil kepala pemeriksa kedokteran di Bronx, yang sudah berpengalaman 35 tahun dalam bidang ilmu forensik. Ia meminta Russo datang ke tempat kerjanya. Di sana, Hochman menunjukkan lima bekas tusukan pisau pada tubuh Alexander Helmer, yang kini sudah dibuka pakaiannya. Tusukan pada bagian kiri tubuh itu ada yang terjadi di bagian jantung, ada pula di bagian atas lambung. Dari salah sebuah di antaranya menonjol usus.

Beberapa menit kemudian Detektif Stephen McCabe diberi tahu, bahwa mayat yang ditemukan kemarin adalah korban pembunuhan dan ia diminta datang ke kantor. Rasanya McCabe seperti ditinju. Ia malu, karena ia terlalu cepat memeriksa mayat sehingga “kecolongan”.

McCabe yang masih merasa malu karena kecerobohannya, memasuki lagi apartemen 2-B pada tanggal 19 Oktober pagi. Di lantai dapur, di atas genangan cairan coklat yang berbelatung, terdapat bubuk putih tebal, yaitu desinfektan yang disebarkan Ny. Ambos setelah mayat diangkat dan polisi pergi kemarin sore. Bubuk itu bukan hanya memudarkan bekas-bekas posisi tubuh, tetapi juga berarti sedikitnya satu orang sudah berada di apartemen itu tanpa pengawasan polisi. Jadi tidak ada jaminan keadaan di sana masih sama seperti ketika ditinggalkan oleh polisi.

McCabe yang berusaha menahan diri agar tidak muntah (karena bau bangkai hanya berkurang sedikit saja), juga mendapatkan tas belanjaan bukan lagi berada dekat pintu dapur, melainkan di ruang tengah. Petugas pengangkut mayat memindahkannya, supaya ada tempat lebih luas untuk mengeluarkan mayat dari dapur. Lebih gawat lagi: polisi-polisi yang memeriksa laci-laci dan sebagainya menyebabkan sidik jari pada pegangan laci dan Iain-lain jadi terhapus. Ketika itu juga Detektif Salvatore Russo datang. la merupakan penanggung jawab utama penyelidikan pembunuhan ini.

Apakah Helmer dibunuh karena sakit hati? Di lantai dapur ada permen karet yang masih terbungkus dan bungkusan permen karet di meja dapur milik Helmer. Apakah orang tua yang memakai gigi palsu itu makan permen karet? Ada tas belanjaan yang isinya sudah busuk. Rupanya orang tua ini tidak sempat membenahi belanjaannya. Apakah pembunuh menunggunya membuka pintu depan, lalu membuntutinya? Mengapa uang pada dompet di saku Helmer tidak diambil? Apakah pembunuh mencari barang yang lebih berharga di laci-laci, sehingga tubuh korban dibiarkan saja? Di dapur ada kotak logam kosong. Mungkin saja kotak uang Helmer. Tetapi di seluruh apartemen tidak ditemukan uang sesen pun.

 

Serba kurang cermat

Russo memberi tahu McCabe bahwa ia memerlukan juru foto dan orang-orang yang biasa mengambil sidik jari. McCabe menelepon ke kantor, lalu ia memeriksa isi kantong belanjaan Helmer. Isinya telur busuk, tomat yang berjamur, susu basi yang sudah keluar dari kantung kertasnya dan es krim yang sudah meleleh. Pokoknya, semua barang tidak berguna dan serba bau. Tetapi di atas barang-barang itu ditemukannya kertas bersih dari cash register A & P, bertanggal 9 Oktober. 

Pasti benda-benda semacam itu tidak akan dibiarkan sehari dua hari di luar lemari es. Jadi hampir bisa dipastikan, bahwa 9 Oktober merupakan tanggal terjadinya kejahatan. McCabe mengembalikan isi kantung ke tempat semula, tetapi kertas cash register yang dianggapnya berharga ini diselipkannya ke dompet.

Sekali lagi apartemen diperiksa dengan teliti. Juru potret sibuk dengan kamera dan blitz, petugas yang mengambil sidik jari membubuhkan bubuk pada pegangan pintu, laci dan sebagainya.

McCabe dan Russo memeriksa foto-foto, surat-surat, rekening-rekening dan kertas-kertas lain yang mungkin bisa memberi jalan untuk menangkap si pembunuh.

Petugas pengambil sidik jari cuma menemukan satu sidik jari yang dianggap berguna di atas pegangan pintu lemari es. Di bagian-bagian lain mereka cuma menemukan sidik-sidik buram yang tidak bisa dipakai dalam penyelidikan. Sayang petugas laboratorium polisi tidak mengambil darah kering dari pintu lemari es dan juru potret lupa memotret kantung belanjaan di dekat pintu. Jadi tidak ada bukti bahwa benda itu pernah ada dan di mana letaknya, kecuali dari keterangan para polisi.

McCabe juga mengambil permen karet dan bungkus kosongnya. Bersama dengan kertas dari cash register A & P, benda ini mestinya ia serahkan pada petugas khusus yang disebut Police Property Clerk. Tetapi McCabe lalai. Ia menyimpannya di lemari kantornya sendiri. Ini memberi peluang pada pembela kelak, untuk meragukan barang-barang bukti ini.

 

Ny. Ambos

Harta benda Helmer tidak menunjukkan siapa pembunuhnya. Polisi hanya bisa menemukan nama orang-orang yang bersurat-suratan dengannya, pengacaranya, toko yang mereparasi alat bantu dengar, rumah sakit tempat ia pernah dirawat dan hal-hal yang tidak bisa membantu polisi mengetahui identitas pembunuhnya.

Mereka mewawancarai tetangga-tetangga Helmer, tetapi tidak ada hasilnya. Mereka mewawancarai Ny. Ambos dan mengalami kesulitan. Bukan hanya wanita itu bercerita ngalor-ngidul, tetapi juga aksen Jermannya sulit diikuti dan keterangannya tidak tepat. Katanya, ia terakhir melihat Helmer satu setengah minggu yang lalu, pukul tujuh malam lewat sedikit. Ketika itu ia akan mengunci pintu depan gedung. Helmer masuk membawa kantung kecil. Sedangkan kantung yang ditemukan di apartemen Helmer berukuran sedang.

“Sekecil apa?” tanya polisi.

“Tidak besar, tidak kecil sekali, pokoknya kecil!” jawabnya sewot. “Helmer naik ke atas,” kata wanita tua itu. “Pemuda-pemuda Spanyol turun beberapa menit sebelum Helmer naik.”

“Pemuda Spanyol seperti apa?” 

“Dua pemuda yang kulitnya terang, yang menyatakan mencari sepupunya di atas. Mereka di atas cuma beberapa menit.”

“Mereka tidak kembali?” 

“Tidak. Saya sendiri yang mengunci pintu setelah Helmer naik dan saya naik ke tempat Ny. Varela. Saya melihat darah tercecer di lorong tingkat itu. Saya kira ada orang mendapat kecelakaan kecil. Jadi saya pinjam kain pel dari Ny. Varela untuk menyekanya.” Ny. Ambos tidak pernah melihat Helmer lagi.

“Tidak ada yang mengikuti Helmer ke atas dan tidak ada orang yang turun sebelum Anda naik ke tempat Ny. Varela?” 

“Pasti tidak.” 

“Hari apa itu?” 

“Kamis.” 

“Anda pasti bukan tanggal 9?” 

“Pasti.” Ny. Varela juga menguatkan bahwa hari itu pasti hari Kamis.

 

Mengajak polisi berdamai 

Pengacara Helmer dihubungi. la memberi tahu bahwa Helmer meninggalkan kira-kira $ 22.000 dalam bentuk saham. Sebagian besar diwariskannya pada Palang Merah. Sebagian kecil kepada seorang janda di Sheffield dan sebagian lagi untuk seorang janda tua. Kedua-duanya bebas dari kecurigaan dan kedua-duanya tidak mengira akan mendapat warisan.

Kakak Helmer, George, di rumah jompo juga tidak mungkin dicurigai. la sudah pikun.

Polisi juga mencari tahu, kalau-kalau ada orang sakit jiwa berasal dari Melrose yang baru dilepaskan dari rumah perawatan. Polisi mendatangi rumah-rumah sakit, untuk mengetahui kalau-kalau ada pasien yang minta dirawat karena luka bekas gigitan dan sebagainya. (Siapa tahu Helmer melawan.) Pemeriksaan laboratorium terhadap pakaian Helmer tidak menghasilkan apa-apa.

Polisi memperkirakan pembunuh Helmer seorang junkie dan mugger, yaitu seorang pecandu obat bius dan perampok yang biasa menganiaya korbannya, seperti yang banyak terdapat di daerah itu. Jadi polisi tidak mencari jauh-jauh.

Russo memberi tanda di peta-peta, kira-kira enam blok sekitar apartemen tempat tinggal Helmer. Ia memberi tahu McCabe bahwa mereka akan mencari pembunuh di antara kriminal dan punk yang tinggal di daerah itu. Mereka meminta bantuan polisi yang berpatroli di tempat-tempat itu, untuk mencarikan punk yang tadinya kesulitan uang, lalu tiba-tiba royal. Daftar nama orang-orang itu dikumpulkan, lalu seorang demi seorang ditanyai, antara lain di mana mereka berada pada tanggal 9 Oktober dan apa yang mereka lakukan. Setelah itu keterangan mereka diuji.

Walaupun sudah banyak orang Puerto Rico, Negro dan Italia yang diperiksa, tetapi hasilnya nihil. Suatu hari, tiba giliran Toro Ramirez. Itu bukan nama aslinya. Nama aslinya disembunyikan oleh polisi untuk alasan legal.

Toro yang berumur 20 tahun, tinggal kira-kira lima blok dari tempat Helmer dibunuh. la pernah empat kali ditahan dan saat ini sedang menjalani hukuman percobaan setelah merampok. la khawatir harus masuk penjara lagi. la mengajak polisi “berdamai” saja. Artinya ia akan memberi tips kepada polisi, tetapi polisi jangan menyusahkan dia.

 

Pecandu heroin

Entah apa yang dikatakan Toro kepada polisi. Mungkin ia berkata bahwa ia mendengar seseorang membual telah membunuh seorang tua. Mungkin juga ia menceritakan beberapa hal yang dilihatnya. Dari keterangannya, polisi mendapat sebuah nama yang tidak ada pada daftar, tetapi beberapa kali disebut dalam pemeriksaan orang-orang lain sebelum Toro.

Russo dan McCabe tidak mempunyai nama Doel Valencia dalam catatan mereka, karena ketika ia terakhir ditahan sudah dua tahun yang lalu. Ia terkenal sebagai pecandu obat bius dan maling. Di antara dua teman tetapnya, terdapat dua bersaudara Ortiz, yaitu Alfredo dan Carlos, yang tinggal di 406 East 160, yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Helmer. Dari gedung itu, dengan mudah mereka bisa memandang ke jendela ruang duduk Helmer.

Nama kedua Ortiz bersaudara ada dalam daftar Russo tetapi mereka belum ditanyai. Dari catatan polisi diketahui, Carlos sudah sejak berumur 12 tahun menjadi langganan polisi, karena melakukan pelanggaran seks, obat bius dan mencuri. Alfredo, setelah merampok dijatuhi hukuman tiga tahun dengan masa percobaan, karena masih muda. Tetapi seminggu yang lalu ia dimasukkan ke penjara karena memiliki dan menjual heroin.

Russo dan McCabe saling berpandangan. Apakah sekali ini mereka memperoleh jejak yang berguna dalam pengusutan?

Polisi mulai menangani Doel Valencia malam itu juga. Valencia tidak mirip orang Puerto Rico. Tidak ada tanda-tanda Indian dan Negro pada penampilannya. Ia tidak berpendidikan, sehingga sulit baginya untuk mencari pekerjaan yang wajar. Pada umur 16 tahun ia sudah dijatuhi hukuman percobaan, karena mencuri bahan bangunan dari pekarangan sekolah. Pada umur 17 tahun ia sudah mempergunakan obat bius dengan teratur dan umur 18 tahun ia sudah mempunyai teman hidup yang memberinya seorang anak. Teman hidupnya itu tinggal di rumah ibunya sendiri.

Kebutuhan Valencia akan heroin ialah dua sampai tiga kantung sehari. Itu berarti 40-100 dolar seminggu, padahal sebagai tukang pak, gajinya cuma 60 dolar seminggu. Itu pun kalau ia bekerja penuh dan ini jarang terjadi karena ia kecanduan obat bius.

Ia tinggal di rumah kakaknya, Idalia, yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. Ia diberi tahu, bahwa ia dibawa ke kantor polisi karena peristiwa perampokan bersenjata.

 

Ortiz bersaudara 

McCabe mencatat tanya jawab yang terjadi. Menurut Valencia, tanggal 9 Oktober ia pulang ke rumah pukul 07.00 malam, makan, mengunjungi “istrinya”, berjalan-jalan dan pergi ke Brook Avenue pukul 9,30 malam. Ia pulang pukul 11.30 malam. Ia menyangkal berada dekat-dekat 399 East 160 Street. Bahkan katanya, ia tidak tahu daerah itu dan tidak mengenal siapa pun di sana. 

Ketika diminta menyebutkan nama teman-teman akrabnya, ia tidak menyebutkan nama Ortiz bersaudara, meskipun diketahui ia banyak bergaul dengan mereka. Tetapi ia mengaku sering berada di 156th Street dan Melrose Avenue. Ia menyangkal segala tuduhan.

Pagi itu Russo dan McCabe menemui Alfredo serta Carlos Ortiz, yang sama-sama kecil, pucat dan kurus. Walaupun Alfredo berumur 18 dan Carlos 17, tetapi mereka tampak seperti berumur 13 atau 14 tahun. Ibu mereka baru berumur 35 tahun. Mereka berasal dari keluarga sangat miskin. Masa kanak-kanak Ortiz bersaudara hampir tidak berbeda dari Valencia.

Carlos selalu berganti-ganti pekerjaan: tukang cuci mobil, tukang antar barang dan sebagainya, tetapi cuma betah beberapa hari saja mengerjakan suatu pekerjaan. Ia juga pecandu obat bius. Sejak kira-kira dua bulan sebelum kematian Helmer, ia tidak bekerja.

Alfredo tidak banyak berbeda. Pecandu kelas berat ini pernah bekerja sebagai pengepak barang bersama-sama Valencia.

Mereka tinggal di 156th Street dan setengah tahun sebelumnya di 160th Street.

Tetapi ini baru merupakan permulaan saja dari pergulatan yang sulit antara polisi dalam menghadapi ketiga tersangka, yang kelak di pengadilan mengaku digebuki polisi.

Tanggal 8 Maret 1965, pengadilan Bronx County Courthouse, dipenuhi oleh manusia, padahal udara dingin sekali. Hari itu Alfredo Ortiz, Carlos Ortiz dan Doel Valencia dihadapkan ke pengadilan, dengan tuduhan membunuh Alexander Helmer.

Sidang dipimpin oleh Hakim D. Davidson. Penuntut dalam sidang ini ialah Alexander Scheer dan para pembela ialah Kenneth Kase (untuk Valencia) dan James Hanrahan (untuk Ortiz bersaudara). Sidang berlangsung 20 hari. Selama itu didengar lebih dari 20 saksi.

Kemudian tibalah saatnya Hakim Davidson mempersilakan juri membuat keputusan. Ia menerangkan, juri hanya boleh memilih satu di antara dua, yaitu menyatakan terdakwa bersalah melakukan pembunuhan yang disebut Murder in the First Degree atau menyatakan terdakwa tidak bersalah. Ternyata juri tidak bisa membuat keputusan, sehingga sidang pun harus diulangi lagi.

 

Pembela-pembela yang hebat 

Setahun lewat sejak sidang pertama berlangsung. Pada tanggal 21 Maret 1966, Alfredo, Carlos dan Doel yang selama ini ditahan di Brooklyn House of Detention, dibawa lagi ke pengadilan.

Pembela Kenneth Kase (yang cuma dibayar sebagian kecil saja oleh kakak Valencia) dan James Hanrahan (yang berhenti mendapat pembayaran dari Ny. Pomales) sudah meninggalkan mereka.

Karena mereka tidak mempunyai uang, pengadilan menunjuk pengacara-pengacara lain, yang masing-masing dibayar $ 1.000 oleh City of New York, bukan oleh pihak terdakwa.

Setiap terdakwa mendapat dua pengacara. Yang seorang sebagai pembela utama dan yang seorang lagi sebagai asistennya di ruang sidang. Asisten boleh dikatakan tidak mempunyai banyak pekerjaan, jadi pengadilan menawarkan jabatan ini pada Kase dan Hanrahan, supaya mereka bisa memperoleh masing-masing $ 1.000, sehingga kerugian tahun yang lalu tidak terlalu besar. Kase menerima jabatan ini dan menjadi asisten Ny. Mary Johnson Lowe yang membela Alfredo. Hanrahan menolak. Sekali ini Carlos dibela oleh Samuel Bernstein, yang mendapat asisten Thomas Casey. Valencia mendapat pembela Herbert Siegal dengan asisten Philip Peltz.

Alexander Scheer tetap menjadi penuntut. Ny. Mary Johnson seorang wanita Negro yang menarik. Setelah lulus dari Columbia University, ia tidak bekerja di perusahaan di New York untuk mendapat gaji besar, tetapi tetap tinggal di Bronx membela orang-orang miskin. Kantornya reyot di Melrose dan harus dikunci terus pintunya karena tidak aman, padahal ia pembela orang-orang kecil dengan bayaran yang luar biasa murahnya.

Siegal yang membela Valencia, juga pembela kriminal yang berhasil. Kantornya mewah di Wall Street. Dalam praktek pribadinya, ia mengenakan bayaran tinggi sekali pada kriminal kelas kakap yang bergerak dalam lalu lintas heroin. Ia menikmati pertarungan dengan penuntut dan lebih tertarik pada kasusnya daripada kliennya. Ny. Lowe, seperti juga Siegal, yakin klien mereka dipukuli supaya membuat pengakuan yang sesuai dengan perkiraan polisi.

Sekali ini Ny. Ambos mengoreksi keterangannya yang lalu. Katanya, ia terakhir bertemu dengan Helmer bukan hari Kamis, tetapi hari Jumat pukul 07.00 malam. Siegal menuduh McCabe yang menyuruh Ny. Ambos melakukan koreksi ini, tetapi McCabe menyangkal.

Sekali ini pun sejumlah saksi didengar keterangannya dan pengacara serta penuntut mengadu kecerdikan.

Tetapi sekali ini mereka menyatakan Alfredo dan Carlos bersalah.

Mengenai Valencia, enam juri menyatakan ia tidak bersalah dan enam lagi menyatakan ia bersalah.

Ny. Pomales pingsan, Alfredo hampir pingsan, tetapi Carlos lebih tenang. Setahun kemudian Pengadilan Tinggi menjatuhkan hukuman seumur hidup pada Alfredo dan Carlos Ortiz, sedangkan Valencia dibebaskan.

(Morton M Hunt)

Baca Juga: Agar Jadi Lelaki Sejati

 

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726517/ia-terakhir-kelihatan-berbelanja" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1679916902000) } } }