array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3726637"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-293-1987-68-penipu-20230314061914.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(123) "Seorang penipu ulung memutuskan menipu untuk terakhir kalinya usai bertemu seorang wanita dan berencana memulai hidup baru."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-293-1987-68-penipu-20230314061914.jpg"
      ["title"]=>
      string(34) "Penipu Ulung yang Selalu Beruntung"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-03-14 06:19:40"
      ["content"]=>
      string(38040) "

Intisari Plus - Kid dikenal sebagai penipu ulung yang tidak pernah tertangkap oleh musuhnya. Setelah bertemu Annie, ia memutuskan menipu untuk terakhir kalinya sebelum mereka memulai hidup baru.

----------

Ia kukenal ketika masih mempunyai dua sebutan: Sunset Kid dan Moony Dan. Sebutan yang pertama muncul karena setiap sore ia naik mobil ke pantai Santa Monica untuk menyaksikan terbenamnya matahari. Membawa keberuntungan, katanya. Sunset Kid adalah penjahat yang “profesinya” menipu orang-orang dari dunia hitam.

Sasaran utamanya adalah bandar-bandar kelas kakap dan penjudi kartu profesional. Di antara mereka ia mendapat julukan “maling”. Biarpun demikian, tetap mereka membiarkan Kid datang dan menipu mereka terus dari tahun ke tahun. Biasanya mereka setuju bermain kartu dengan dia atau memasang taruhan pada pacuan kuda — walaupun selalu kalah.

Sebagai maling, Kid sukses dan kaya. Ini bukan saja melulu karena faktor keberuntungan, tetapi juga karena ia sudah menang secara psikologis. Bajingan-bajingan kelas kakap yang menjadi sasarannya biasanya sesumbar tak mungkin tertipu oleh maling mana pun. Kenyataannya Kid terus-menerus membuktikan kosongnya sesumbar itu, sehingga membuat mereka semakin gemas untuk melakukan “pertandingan balasan”. Selain itu antara Kid dan korban-korbannya sudah terjalin saling ‘pengertian’ bahwa mereka cuma perlu menangkap basah Kid sekali saja, untuk menamatkan riwayatnya. Itu sebabnya, bagi mereka cukup mengasyikkan juga, setiap kali memperhatikan orang yang menipu mereka ini menggantungkan nyawanya di ujung tombak.

 

Selalu salah pilih

Ia dijuluki Moony Dan karena kegemarannya akan wanita yang tak tanggung-tanggung. Padahal biasanya penjahat tak begitu suka kepada wanita. Wanita cuma mendatangkan kesulitan bagi mereka. Pada usianya yang ke-35, ia sudah membayar uang jaminan bagi dua orang bekas istrinya! Karena hal ini, orang-orang dunia hitam memandang dia lebih tolol dari orang-orang yang biasa ditipunya.

“Aku membayar uang jaminan bukan karena menuruti hukum,” kata Kid kepadaku. “Aku membayarnya karena aku berutang kepada mereka. Mereka ‘kan pernah membuatku bahagia.”

Akulah yang memperkenalkannya dengan Annie Bond. Kedua orang itu saling jatuh cinta pada pandangan pertama! Begitu cepat dan tanpa alasan sampai-sampai kukira mereka sengaja hendak menipuku. Tak hanya cinta yang duduk bersama kami waktu itu. Ternyata maut juga memperkenalkan dirinya dengan diam-diam.

Kid orang yang selalu berpakaian rapi. Tatapannya agak muram, wajahnya sedikit sarkastik, rambutnya hitam keriting. Waktu duduk bersanding dengan Annie Bond, Kid tidak saja menarik, tapi tampan luar biasa. Agaknya gejolak emosi telah menganugerahinya wajah baru.

Aku tak begitu kenal Annie. Ia bukan jenis wanita yang miskin terlunta-lunta. Ia penyanyi dan penari malam. Sebagai pekerja keras, setiap malam bisa 20-30 lagu dinyanyikannya.

Sebelum ini ia tidak begitu beruntung dalam urusan dengan pria. Selama delapan tahun sebelum ia bertatap muka dengan Sunset Kid, selalu saja ia salah memilih atau dipilih pria.

Dari Amarillo, Texas, ia datang ke Hollywood. Dengan rambut kemerahan, bentuk tubuh indah, suara yang cukup bagus dan segudang temperamen, ia sempat mencicipi pengalaman di studio rekaman. Sejak itu kariernya merosot. Di ‘waktu luangnya’, begitu yang pernah dikatakannya kepadaku, ia menyanyi di kafe-kafe kecil. Sisa waktunya dilewatkan dengan menjadi juru tulis di toko, pelayan restoran atau pemeran pengganti di film-film barat sebagai penunggang kuda. Dia memang penunggang kuda yang ahli. Rambutnya mungkin masih semerah dulu, tubuhnya masih juga seindah dulu dan kepalanya tetap tegak menantang. Namun delapan tahun telah menodai kepolosannya dan menambahkan pandangan sinis di matanya. 

Itulah yang terpikir olehku waktu melihat Annie Bond menatap Sunset Kid sepuluh menit setelah mereka aku perkenalkan. Senyum Kid tidak dibalasnya dan kecerahan seperti yang tampak di wajah Kid tak nampak padanya. Sesuatu yang muram samar begitu saja muncul di wajahnya.

Empat bulan kemudian aku bertemu kembali dengan mereka. Selagi berjalan ke hotelku di Beverly Hills, ada mobil yang terus membunyikan klakson ke arahku. Di dalam mobil ternyata Kid dan Annie.

 

Pertaruhan besar 

“Ayo, ikutlah,” kata Kid. “Kita akan ke Santa Monica.” 

Kami tiba di pantai tepat pada waktunya. Matahari telah menempel santai di cakrawala. Kami memarkir mobil. Kid menatap matahari itu selekat-lekatnya, selekat tatapan Annie kepadanya. Sorot matanya penuh cinta. Kepahitan delapan tahun di Hollywood telah sirna dari wajahnya.

“Kami akan menikah,” sambung Sunset Kid. “Tanggal 15, karena 15 adalah angka keberuntunganku. Pukul 10.30. Pukul sembilan malamnya aku akan mulai dengan bisnisku. Semua tipuan kutinggalkan dan aku akan mapan sebagai warga negara umumnya.”

“Ia akan membeli separuh dari saham The Congo Room,” sambung Annie penuh semangat. Congo adalah salah satu klub malam yang terbaru di Hollywood, lengkap dengan band, sistem penerangan mutakhir dan pengunjung dari golongan terkenal. “Dan akan menjadi manajernya, sedang aku akan menyanyi di sana.”

“Dari pakaian sampai sandalnya akan gemerlapan,” kata Kid sambil mencium tangan Annie, “la akan meroket, Annie Bond, si Bulbul dari Texas.” 

“Jika aku berhasil,” sahut Annie. 

“Engkau sudah berhasil,” ujar Kid dengan lembut.

“Bayangkan, hal seperti ini bisa terjadi padaku!” Dan tersenyum. “Itu sebabnya akan kutinggalkan semua tipuanku. Dulu itu satu-satunya kesenanganku. Sekarang rasanya tak berarti apa-apa.” 

Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. 

“Membeli saham di Congo tentunya perlu banyak uang?” 

“Sepuluh ribu dolar tunai,” jawabnya. 

“Sudah kau dapatkan?” 

“Akan kudapat tanggal 15 nanti,” katanya tersenyum.

 

Menantang raja judi

Tujuh orang sedang duduk di ruang tengah Rocky Blair yang anggun. Tiga orang di antaranya adalah tukang pukul, tiga lagi teman dan asisten Rocky. Yang ketujuh adalah Rocky sendiri. Enam orang telah melepas jasnya, hanya berkemeja saja. Waktu itu pukul 13.00, siang yang amat panas.

Rocky sedang menyantap sarapannya di sebuah baki. Pakaiannya rapi dan lengkap, seperti raja saja, tak peduli pada cuaca panas ataupun waktu. Kerajaan Rocky mencakup 500 bandar taruhan — ditambah beberapa usaha pribadi maupun legal yang dikerjakannya sebagai semacam hobi saja. Salah satu dari yang terakhir, dan yang paling top, adalah Boulevard Florist Shop di pusat Hollywood. Di belakang bangunan yang berbau harum inilah terletak “kantor pusat” Rocky.

Dari ruangan yang berbau harum inilah Rocky mengendalikan 500 bandarnya: mengendalikan keuangannya, membebaskannya dari ancaman polisi dan memperlancar jalannya dengan menyuap baik di tingkat rendah maupun tinggi. Seminggunya, rata-rata Rocky berpenghasilan 100.000 dolar.

Rocky tidak bekerja dengan orang lain. Tidak ada sindikat. Yang ada hanyalah Rocky, yang sedang duduk di tengah panasnya hari ini, raja satu-satunya di wilayah antara Los Angeles dan Las Vegas.

Rocky termasuk jenis manusia rewel. Wajahnya bulat, kencang dan selalu tercukur bersih. Selagi muda dulu ia pernah terjun di arena tinju bebas selama lima tahun.

Bersama tamu-tamunya, Rocky duduk diam sambil meminum kopinya. Ketiga tukang pukul tak punya sesuatu untuk dibicarakan. Ketiga asisten, yang tentunya lebih pandai bicara, juga melakukan gerak tutup mulut seperti bos-nya.

Gong yang musikal berbunyi tiga kali. Suara bel pintu luar. Rocky tetap melanjutkan menghirup kopinya. Tak seorang pun tergerak. Gong berbunyi lagi, Rocky melihat ke arah Gil, tukang pukul yang bertubuh paling kecil, tapi yang berpistol di ketiak kirinya.

Gil bangun dan menuju pintu. Soalnya, selama bulan itu saja sudah ada dua kali percobaan untuk melenyapkan Rocky. 

Keenam orang yang lain diam mendengarkan pintu luar dibuka. Tak ada suara tembakan ataupun bom yang menggelinding. Jadi pastilah ini hanya tamu biasa saja. 

Gil masuk kembali. 

“Si Moony Dan,” katanya. 

“Mau apa si Maling itu?” 

“Ketemu kau, Rocky,” sahut Gil.

“Usir dia,” kata si gemuk Tubby Fields, yang dianggap sebagai “otak” dari Rocky. “Tak usah membuang-buang waktu.”

“Tutup mulut,” kata Rocky. Semua menunggu sampai satu menit penuh, barulah Rocky menyelesaikan kalimatnya, “Persilakan tuan itu masuk.”

Gil kembali ke pintu, membuka kedua rantai pintu. Ia kembali diikuti Sunset Kid. 

Tak ada yang berbicara. Rocky menengok ke luar jendela, ke arah jalan raya yang terbentang di seberang halaman rumput yang luas. 

“Kau tidak naik mobil,” kata Rocky.

“Aku naik taksi,” sahut Kid. 

“Oh, khusus kemari,” Rocky bersungut. “Mau apa?” 

“Aku merasa sedang beruntung,” sahut Sunset Kid. 

Ketujuh orang di ruangan itu menampakkan ekspresi yang sama: tidak peduli. Ketujuh-tujuhnya merasakan hal yang sama pula. Tergetar. Kid baru saja mengumumkan bahwa tujuannya datang adalah untuk mencuri uang lagi dari Rocky Blair.

 

Satu lawan tujuh

“Usir dia,” kata Tubby Fields. 

Tak ada yang bergerak, jadi Kid duduk. Rocky menghabiskan kopinya. Matanya menyorot geram. Monyet ini sudah memperdayainya tiga kali — salah satunya dalam permainan poker di ruang ini pula. Dengan tujuh orang memperhatikan gerakan jarinya, mengganti kartu setiap 15 menit, penipu ini tetap saja berhasil menggaet 2.800 dolar dari kantungnya. Semuanya di saat terakhir. Begitulah selalu gaya permainan Kid. Kalau di tangan kita ada empat raja, di genggamannya ada empat buah as.

“Aku tidak mau bermain kartu,” kata Rocky. 

“Senang mendengarnya,” kata Kid. “Bermain kartu terlalu lama untuk sampai di titik mematikan. Kadang-kadang kita harus duduk sampai empat jam.”

“Untuk ketiga kalinya aku usul,” kata Tubby Fields. “Usir dia.”

Tidak seperti biasanya, Rocky cemberut kepada “otaknya”. Tubby mempunyai “indra keempat”, begitu selalu katanya dan biasanya Rocky menuruti nasihatnya karena Tubby selalu tahu apa yang akan terjadi. Namun, kali ini Rocky tak ingin mengusir Kid. Bukankah itu pengakuan kelemahan diri? Apa lagi, mana mungkin seseorang yang berada di rumah Rocky sendiri, dan diawasi oleh tujuh orang, akan mampu untuk menipunya?

“Akan kulakukan, jadi tutuplah mulut.” Rocky menoleh kepada tamunya dan bertanya, “Permainan apa yang kau kehendaki?”

“Aku sedang merasa beruntung di pacuan kuda hari ini,” sahut Kid.

Ketujuh orang di dalam ruangan itu, termasuk Tubby Fields, merasa bersyukur bahwa orang ini tidak mereka tendang ke luar — karena permainan ini pasti bakal menarik. Kid akan menggunakan lagi akal-akal bulusnya yang sudah pernah dipakai dulu dalam bertaruh.

Ketujuh orang itu masih ingat cara-cara kerja Kid pada waktu bertaruh. Ia banyak berhasil dengan cara menetapkan taruhannya atas kuda yang sudah menang, jadi setelah pacuannya selesai. Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan menelepon tiga menit sebelum sebuah babak pacuan mulai, lalu menyatakan akan bertaruh pada babak setelah itu. Petugas yang menerima taruhan-taruhan waktu itu seorang wanita. Kid terus mengajaknya bicara, mengobrol tentang kakak wanita si petugas, lalu menawarkan bantuan untuk kakaknya yang masih dalam kesulitan itu. Kemudian tiba-tiba ia berkata, “500 Sun Up di tempat kedua.” Karena sedang bersemangat tentang pertolongan yang ditawarkan untuk kakaknya itu, wanita petugas itu lupa melihat jam. Maka ditulisnya saja: “Sun Up - $ 500 - Tempat kedua”. Waktu itu tentu saja babak kedua sudah selesai.

Pukul 17.00 Kid segera datang untuk mengambil uangnya dan wanita petugas itu pun dipecat.

 

Dilarang dekat jendela

Ada lagi tipuan-tipuan Kid yang lain. Rocky ingat semua, termasuk tipuan “tinta yang tidak nampak”. Waktu itu Kid menyodorkan formulir taruhan. Di situ tertulis tiga nama kuda yang dipertaruhkannya untuk menang di pacuan babak ketiga, keempat dan kelima. Di kertas itu tertulis pula nama seekor kuda yang sudah menang di babak pertama, tetapi dengan tinta yang tidak terlihat. Tentu saja petugas bandar tidak melihat ada nama itu waktu ia menerima formulir tersebut. Pukul 17.00, waktu Kid datang, tinta itu sudah muncul. Maka bandar harus membayar untuk taruhan atas kuda yang sebenarnya baru dipertaruhkan oleh Kid setelah kuda itu menang.

Tubby bisa menerka akal bulus itu. Tapi karena tak ada bukti, tak dapatlah ia mengambil tindakan terhadap Kid. Itulah hukum tak tertulis di kerajaan Rocky. Persis seperti hukum yang berlaku juga di luar kerajaannya.

Tidak cuma Rocky, yang lainnya pun sudah hafal cara-cara yang sudah pernah dikerjakan oleh Kid. Maka semua pun mulai bekerja secara serentak. Artinya semua mewaspadakan diri.

“Duduk di sini,” kata Tubby Fields. Ia menjauhkan Sunset Kid dari jendela luar, supaya tak ada kemungkinan ia menerima kode dari luar. Di aturnya sehingga kursi Kid membelakangi jendela.

Nate, bandar Rocky yang paling tua dan yang paling bijaksana pula, melongokkan kepalanya ke luar jendela, melihat ke sekelilingnya. Rumah Rocky terletak di daerah yang bangunannya jarang. Daerah pemukiman itu bakal menjadi daerah elite. Persis di kiri-kanannya tak ada bangunan. Jalannya lebar dan di seberang jalan pun tak ada rumah. 

Rocky menengok pada jam di atas pendiangan. Pukul 13.10.

“Sudah punya pilihan?” tanya Rocky. 

la mengedipkan mata ke Tubby. Tubby membalas mengedipkan mata juga. Yang Iain-lain juga saling mengedipkan mata.

 

Permisi ke WC

Kid melihat ketujuh orang itu sudah membuka mata selebar-lebarnya, menelusuri tangannya, kakinya dan wajahnya. Kid menjawab dengan tersenyum menyesal,

“Sebenarnya aku ingin memilih Count Monty untuk tempat pertama, tapi aku belum memutuskan kok.”

“Oh, kau masih butuh waktu lagi?” ejek Rocky. Count Monty baru akan bertanding pukul 13.30. 

“Betul,” katanya. “Keberatan kalau aku ke kamar mandi dulu?”

“Pergilah,” kata Rocky. “Di lorong situ ada kamar mandi.” 

“Ya, aku tahu,” jawab Kid. la berdiri, lalu keluar dari ruangan itu. Rocky menganggukkan kepalanya dan dua dari ketiga tamunya berdiri mengikuti Rocky. Di muka pintu WC mereka berhenti, tidak ikut masuk.

“Ia tak mungkin coba-coba lagi,” kata Gil dengan menyesal. 

“Kau sudah membuatnya ngeri, Rocky.”

“Dia tetap akan mencoba,” sahut Tubby Fields. 

“Tidak,” ujar Rocky dingin. “Waktu baru masuk dia bisa sombong, tapi pasti sekarang sudah tidak.”

“Sayang,” kata salah satu tukang pukul. “Kalau saja ia mencoba lagi, kita pasti bisa menangkapnya.” 

“Dia memang akan mencoba lagi,” ulang Tubby.

“Baik,” kata Rocky. “Kalau begitu kita akan menangkapnya. Sudah lama aku ingin menangkap maling itu.” 

Di dalam kamar mandi Sunset Kid mengunci pintu dan tersenyum. Ia tahu percakapan yang sedang terjadi setelah ia pergi dari ruangan itu. Ia tahu bahwa Tubby Fields telah menelepon gelanggang, mencocokkan waktu.

Yang lebih dinikmatinya adalah hal lain yang lebih menarik, hal yang telah ditinggalkannya di ruangan — pengaruh psikologis. Ia tahu bahwa pukul 13.33, satu menit setelah babak pertama di Gelanggang Santa Anita, Rocky akan menentukan taruhannya pada kuda yang baru saja menang.

Kid menyalakan lampu di atas lemari obat, membuka kedua kran air supaya bunyi yang ditimbulkannya tidak terdengar dari luar. Lalu bola lampu ia lepaskan dari fitingnya. Sementara bekerja ditariknya napas dalam-dalam. la senang, karena inilah tipuannya yang terakhir — hanya ini saja lagi, untuk Annie — hanya ini. Kemudian dari bungkus rokoknya ia menyobek kertas timah, yang dibentuknya menjadi seperti kepingan uang logam. Setelah memasukkan kertas timah itu ke dalam fiting, lampu bohlam dipasangnya kembali dengan kencang.

Ada letupan kecil dan Kid tahu, waktu itu ada satu sekring di basemen yang sudah putus. Bohlam dibuka lagi, kertas timah diambilnya lagi. Ia telah memutuskan aliran listrik di kamar mandi. Ia berani bertaruh dua puluh lawan satu bahwa aliran listrik di ruang tengah pasti tergabung dalam sekring yang sama.

Jika itu betul, berarti ia “dalam bisnis”. Jika tidak, paling-paling ia hanya akan bisa bermimpi untuk melakukan akal bulus yang lain. Di dalam hatinya ia ucapkan niat yang mendalam. “Annie, buatlah berhasil,” gumamnya. Lalu cepat-cepat ia mencuci tangan dan membuka pintu.

 

Semua radio bungkam

“Kau duduk di sini,” kata Tubby Fields ketika Kid masuk ke ruang tengah kembali diiringi kedua tukang pukul. “Kursi yang sama.” 

Kid duduk.

Rocky melihat lonceng. Pukul 13.17. 

“Belum juga kauputuskan?” tanyanya. 

“Ah, kurasa babak pertama akan kulewatkan saja,” Kid tersenyum. 

Wajah Rocky gelap dan menegang.

“Kita tidak bermain taruhan setelah pacuan mulai,” ujar Tubby Fields tenang. “Jangan coba-coba.” 

“Tutup mulut,” kata Rocky. “Aku sedang konsentrasi.” Matanya menatap wajah Kid, tegang dan geram.

“Pukul 13.25,” kata Tubby setelah lama tak ada yang bersuara. 

“Oke,” kata Rocky, “Setel radionya. Kita masih bisa dengar babak pertama.”

Salah satu tukang pukul yang namanya Biggy melangkah ke radio. Tak ada yang memperhatikan dia. Semua mata dipakukan pada si Maling. 

“Tidak akan ada taruhan setelah pacuan mulai,” kata Rocky. “Ini kesempatan terakhirmu. Kau mau main kartu?”

“Aku tak ingin,” kata Sunset Kid. 

“Sial!” Biggy mengerutu. “Tak jalan.” 

Mendengar Biggy, Sunset Kid tenang. Ia sudah masuk “dalam bisnis”. Sisanya cuma permainan psikologis saja.

“Apanya yang tak jalan?” tanya Rocky jengkel. 

“Radionya,” kata Biggy. “Orang itu sudah membuatnya mati.” 

“Siapa?” Rocky tetap menancapkan pandangannya pada Kid.

“Kid,” kata Biggy. 

“Dia tidak menyentuh radio itu sama sekali,” kata Rocky mantap. “Ambil radio lain dari kamarku. Cepat.” 

Tubby Fields bangun dari duduknya sambil berteriak. “Pasti dia yang membuat radio itu mati. Sudah kukatakan! Akal bulusnya sudah berjalan! Usir dia!”

“Dia belum melakukan apa-apa. Sejak tadi sudah kuawasi. Tutup mulut sekarang.” 

Biggy datang dengan radio yang lebih kecil. Kabelnya ia tancapkan ke stopkontak. Rocky melirik jam. Pukul 13.30.

“Ini juga tidak jalan,” Biggy mengomel. “Ia juga sudah mematikan yang ini.” 

Kid menatap Tubby Fields. Ia sedang menunggu “otak” itu menjerit tentang sekring putus. Tetapi “otak” itu sudah terlalu sibuk mengawasi dan memperhatikan Kid sampai tak sempat lagi berpikir. Selain itu,Kid juga sudah menebak bahwa soal sekring pastilah belum dikenal di kelompok ini.

“Apakah kabelnya putus?” tanya salah seorang pembantu Rocky.

“Kabelnya tak apa-apa,” kata Biggy. “Ada yang tak beres di dalam. Berbunyi saja tidak radio ini.”

Samar-samar Rocky mulai sadar bahwa ini bagian dari tipuan Kid, maka matanya terus mengikuti setiap gerakan mata Kid. 

“Wah, sayang sekali,” kata Sunset Kid. “Sebetulnya suka aku mendengarkan jalannya pacuan. Tadi aku agak condong ke Count Monty. Syukurlah tidak jadi. Karena sekarang aku punya perasaan kuat, sangat kuat, pada Blue Skies. Mau bertaruh pada Blue Skies, Tuan Blair?”

Rocky melirik jam. Pukul 13.33. Kalau pacuannya cepat, babak pertama sudah selesai satu menit yang lalu. 

“Aku bertaruh 3.000 untuk kemenangan Blue Skies,” kata Sunset Kid. “Bertaruh sepuluh menit yang lalu dengan sekarang toh sama saja. Kau tak tahu, aku pun tak tahu apa yang sudah terjadi.”

Sambil berbicara Kid mengeluarkan enam lembar 500-an dan meletakkannya di baki sarapan Rocky. 

“Kau terima taruhanku?” tanyanya.

Rocky meraih uang itu. “Kuterima,” katanya.

 

Rocky penasaran

Sepi. Tak ada petunjuk apa pun. Maling itu sejak tadi duduk di tengah ruangan dengan punggung menghadap ke jalan yang jauhnya sekitar 20 meter. Tubby beranjak ke telepon, memutar sebuah nomor. Seluruh ruangan menunggu pengumuman.

“Ini Tubby Fields,” kata Tubby di telepon. “Beri aku hasil yang pertama di Santa Anita.” 

la mendengarkan lalu meletakkan gagang telepon dengan perlahan.

“Blue Skies menang nyaris,” umumnya. “Dibayar tujuh banding dua.” 

“Maling jahanam,” kata Rocky. “Kau telah mencuri 10.000 dolar.”

“Aku tidak mencurinya,” kata Kid dengan tenang. “Aku memenangkannya.” 

“Kau mencurinya,” ulang Rocky. Tangannya meraba ke balik jasnya dengan perlahan. la mulai lupa pada hukum tak tertulis.

“Kalau kau ingin mengingkari taruhan,” kata Kid, “silakan.” 

“Kau tak usah menembakku. Tak usah bayar, itu saja.” 

Tangan Rocky berhenti bergerak. Penjudi tak bisa tahan terhadap kata-kata macam itu. Ini hanya permainan psikologis saja. Dengan hati-hati Kid menjaga jangan sampai rasa puas tercermin di suaranya.

“Kau bertaruh setelah melihat jam,” katanya. 

“Tapi bila kaupikir aku telah berhasil menipumu, di rumahmu sendiri dan dengan diawasi orang-orangmu, oke. Tak usah membayar. Terserah padamu, Tuan Blair.”

“Akan kubayar,” kata Rocky. 

Diambilnya 10.000 dolar dari dompetnya. 

“Akan kuberi 5.000 lagi,” katanya tenang. “Jika kau beri tahu bagaimana caramu tadi bekerja.”

Kid cuma tersenyum saja menanggapi perangkap itu. “Cuma feeling saja yang datangnya tiba-tiba,” katanya dengan lagak lugu. “Memang datangnya sedikit terlambat, tetapi feeling itu begitu kuat.” 

Diambilnya uang 10.000 dari tangan Rocky, lalu diambilnya pula uangnya sendiri yang 3.000 tadi. Yang lain hanya memperhatikan saja dengan diam.

“Kau maling jelek,” kata Rocky tanpa emosi. “Kau tak pernah sekalipun menang dengan jujur. Aku mau membayar, karena taruhan kulakukan dengan mata terbuka. Tapi uang itu akan kuperoleh kembali. Akan kutemukan bagaimana kau mengakaliku tadi. Kalau sudah kutemukan, akan kudatangi kau. Setelah itu, kau tak akan butuh uang lagi.”

Sunset Kid menunggu pidato panjang itu selesai dengan sabar. 

“Aku menyesal kau berpikir demikian, Tuan Blair,” katanya. “Tapi terima kasih untuk pembayaran ini.” 

la menganggukkan kepala, lalu menambahkan, “Sampai ketemu lagi,” dan berjalan ke luar dengan tenang.

 

Mobil warna-warni

Di luar matahari sore bersinar cerah. Sunset Kid berjalan menuju perempatan bulevar yang dua blok jauhnya dari situ. Begitu membelok, ia melirik ke belakang untuk mengecek apakah ada yang membuntutinya. Jalan raya begitu panas dan kosong.

Ada empat mobil terparkir di pinggiran bulevar. Mobil yang berwarna-warni itu berjejer satu di belakang lainnya. Yang satu hitam, satu hijau terang, satu merah dan yang keempat kuning salmon.

Sunset Kid teringat pada mobil yang kelima, yang waktu itu sudah tak ada di situ. Warnanya biru muda. Sekilas terbayang kembali getaran jiwanya waktu kilatan warna biru itu terlihat di cermin yang ada di atas pendiangan Rocky. Bahkan waktu itu sempat pula ia melihat rambut Annie yang melambai tertiup angin dan wajahnya yang tegang. Waktu itu Annie ngebut dengan kecepatan 70 mil per jam.

Bingungnya ketujuh orang tadi dan kesederhanaan akalnya yang hampir-hampir mendekati tolol itu membuat Kid masih tetap menyeringai puas waktu ia masuk ke mobil merah. Ada lima ekor kuda yang bertanding di babak pertama. Warna-warna mobil ini mewakili tiap kuda. Annie menunggu di mobil, mengikuti jalannya pacuan babak pertama lewat radio mobil. Begitu pemenangnya disebutkan, Annie segera melompat ke mobil yang cocok dengan nama kuda yang menang itu - yang biru untuk si Blue Skies.

Kid mengembalikan mobil merah itu ke tempat penyewaan. Ia menyewanya tiga hari yang lalu. Satu jam kemudian ia kembali untuk mengembalikan mobil-mobil itu satu-persatu ke tempat penyewaannya masing-masing, yang saling berjauhan.

Hampir pukul 19.00 waktu Kid selesai mengembalikan mobil yang keempat. Lelah dan kepanasan karena banyak menyetir, ia melirik langit. Ia belum terlambat untuk ke pantai Santa Monica. Ia akan melihat matahari tenggelam bersama Annie. Pastilah Annie sudah menanti dengan memarkir mobilnya, mobil biru itu, di barisan terdepan seperti biasanya.

Di tempat parkir belum ada mobil berwarna biru. Mesin mobil ia matikan dan dipandanginya matahari yang bergerak turun.

Sebentar lagi pasti Annie datang. Mungkin ia masih membeli sesuatu — hot dog atau losion untuk mencegah kulit disengat matahari. Rasanya lama sekali matahari tenggelam. Kid berusaha untuk tetap tenang. Annie pasti muncul. Apa artinya beberapa menit saja menunggu? Toh telah terbentang hidup dengan Annie sejak sekarang. Kid menyetel radio mobil. Musik membuat waktu tidak terasa terlampau lama. Waktu itu pukul 19.30 dan Kid mengganti gelombang.

Tiba-tiba saja ia mengalihkan mata dari matahari yang sedang tenggelam. Mata itu kini tertutup, tidak melihat apa pun. Suara penyiar berita memenuhi seluruh mobil,

“Untuk Los Angeles telah jatuh lagi korban yang ke-140 karena mengendarai mobil dengan ceroboh. Sebuah mobil yang ngebut sekitar 70 mil per jam di daerah pemukiman Brenwood telah menabrak sebuah truk yang sedang diparkir. Pengemudi mobil itu tewas seketika. Namanya Annie Bond, seorang penyanyi cafe yang masih muda dan cantik dan yang dikenal sebagai di Burung Bulbul dari Texas.”

 

Buat beli bunga

Waktu Sunset Kid membuka matanya, Lautan Pasifik sudah tampak gelap. Kedua tangannya gemetar. Kakinya tak dapat digerakkan. Kepalanya terkulai ke atas setir mobil dan ia pun menangis.

Tiga hari kemudian, Sunset Kid melangkah masuk ke toko bunga milik Rocky. Pelayan toko diam saja, menatap ke arah Kid.

Biggy mengangkat kepalanya dari majalah bergambar yang sedang dibacanya. Ia pun tidak mengatakan apa-apa, tetapi langsung menuju sebuah pintu di bagian belakang toko. Di situ ada bel yang kemudian ditekannya tiga kali. Pintu yang terbuat dari baja itu pun membuka.

“Orang itu ada di sini,” kata Biggy. “Moony Dan.” 

Rocky keluar, diikuti Tubby Fields. Rocky menuju meja toko tempat melayani langganan. Biggy dan Tubby segera mengapit Kid.

“Sudah kubaca perihal pacarmu,” kata Rocky. “Ia mati karena kecelakaan sewaktu mengendarai mobil berwarna biru lewat rumahku. Sekitar pukul 13.30.”

Kid menganggukkan kepala. 

“Aku memang mencari-carimu,” kata Rocky. Ditatapnya wajah pucat dan mata yang memerah itu. Lalu tanyanya, “Kau mau apa?” 

“Aku ingin membeli bunga,” kata Kid.

“Buang-buang waktu saja,” cetus Tubby. “Bawa saja dia ke kantor, Biggy.” 

“Tutup mulut,” omel Rocky. “Aku sedang melayani pelanggan. Bunga apa yang kauinginkan, Kid?”

“Mawar,” kata Sunset Kid. “Aku ingin memesan mawar seharga 15 dolar untuk dikirimkan ke Nona Annie Bond. la dimakamkan di Forest Lawn. Aku ingin mengirimkan mawar setiap minggu selama 15 tahun ke makamnya. Itu berarti sekitar 10.000. Ditambah ekstra 700 dolar. Kubayar di muka.”

Kid meletakkan sepuluh lembar 1.000 dolaran dan menambahkan lagi 700 dolar. 

“Cukuplah,” katanya. “Bila kau menjual bisnis ini kepada orang lain atau terjadi hal lainnya, aku ingin supaya diatur, sehingga pengiriman bunga itu akan tetap berjalan.”

Rocky Blair memandangi tangan Kid yang gemetar dan matanya yang begitu muram.

“Tuan Fields akan menuliskan ordermu,” sahutnya kaku. “Pengiriman bunga akan dilakukan seperti yang diminta.” la berhenti sejenak, sambil memberengut menambahkan, “Urus orang ini Tubby dan beri resinya,” Rocky pun berlalu kembali ke balik pintu bajanya.

Bila mengunjungi pantai Santa Monica, aku selalu mampir di sebuah bar yang menghadap ke laut. Bar itu kecil dan agak acak-acakan, seafood-nya pun tak terlalu enak; tapi aku tetap pergi ke sana kadang-kadang, karena Dan Flato menungguku. Dulu ia biasa dikenal sebagai Sunset Kid.

Kedua tangannya masih tetap gemetar dan matanya masih semuram dulu, tetapi ia tak lagi memandangi matahari tenggelam. Kid sudah mempunyai hobi baru. Bila sedang melayaniku, pandangannya dilayangkannya ke ujung jalan sana, tempat biasanya Annie Bond akan muncul untuk menemuinya — dulu.

(Ben Hecht)

Baca Juga: Demi Santunan Asuransi

 

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726637/penipu-ulung-yang-selalu-beruntung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678774780000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3606028" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/tamu-terakhir_pavel-danilyukjpg-20221212091641.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Seorang pria kedatangan tamu-tamu yang berteduh di rumahnya. Hingga datanglah tamu yang mengaku polisi dan ingin mencari penjahat narkoba." ["section"]=> object(stdClass)#64 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/tamu-terakhir_pavel-danilyukjpg-20221212091641.jpg" ["title"]=> string(13) "Tamu Terakhir" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-12 09:16:55" ["content"]=> string(33826) "

Intisari Plus - Seorang pria kedatangan tamu-tamu yang berteduh di rumahnya. Hingga datanglah tamu yang mengaku polisi dan ingin mencari penjahat narkoba.

--------------------

Sabtu pagi ini aku sungguh merasa suntuk. Sebagai bujangan, mumpung belum punya tanggungan, biasanya aku menyempatkan diri berlibur ke luar kota setiap akhir pekan. Namun bisul di telapak kaki yang muncul pada waktu dan tempat yang salah, menyebabkan aku tidak bisa keluar rumah. Ya, sudah. Kuputuskan bersantai di rumah, menonton televisi.

Untunglah, suasana hati yang muram segera berubah setelah menonton tayangan film di TV. Aku memang penyuka film komedi, namun yang baru saja diputar ini benar-benar mengundang imajinasi. Kisahnya tentang dua orang penjahat yang saling menipu dengan kreatif, akhirnya justru tertipu oleh penipu ketiga. 

Dalam kehidupan yang sebenarnya, semudah itukah kita ditipu? Alangkah banyaknya cara untuk menipu orang. Walaupun hanya seorang pegawai kantor yang sederhana, aku cukup percaya diri dan yakin tidak akan mudah tertipu.

 

Tamu pertama

Setelah mematikan pesawat televisi, aku ke dapur melihat apa yang dapat kumakan siang ini. Tiba-tiba mendung yang telah menggantung sejak pagi tadi mencurahkan hujan cukup lebat. Segera aku menghampiri jendela depan untuk menutupnya, sebelum air hujan menerpa kisi-kisi teralis sehingga tampias ke dalam rumah. Pada saat itu tampak sekelebat bayangan pria berlari masuk ke halaman rumah dan berhenti persis di depan jendela yang akan kututup.

“Permisi, Pak,” katanya sopan. “Bolehkah saya numpang berteduh?” Sekilas terlintas di benakku film yang baru saja kutonton. Jangan-jangan orang ini penipu. Namun, rasa bersalah karena telah mencurigainya malah mendorongku untuk membuka pintu. Dia tersenyum menatapku. Lo, mengapa hanya sebelah pundaknya saja yang basah, sedangkan yang satunya kering? Dengan pandangan menyelidik, mataku menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya kulihat sebuah koran yang sudah basah di tangan kirinya. Oh, ini bukan tipuan. Maklum, koran yang dipakai melindungi kepalanya terlalu kecil, sehingga tidak dapat menutupi kedua pundaknya. Lagi-lagi kumaki diriku karena berpikir yang tidak-tidak.

“Silakan masuk,” kataku sambil membuka pintu lebih lebar. 

Sekarang aku dapat melihatnya dengan lebih jelas. Pria ini masih muda, hampir sebaya denganku. Kutaksir usianya sekitar 25 tahun. Pundak dan dadanya tegap, walaupun perutnya agak gendut. Terbungkus t-shirt biru tua dan celana jins, pria tampan dengan deretan gigi putih rapi ini rasanya tidak layak untuk dicurigai. Tapi bukankah pepatah mengatakan justru penampilan itu menipu?

“Terima kasih banyak,” katanya dengan tetap tersenyum sambil menghampiri kursi yang kutunjuk. Aku menutup pintu dan duduk juga di depannya.” 

“Saya sedang lewat tadi, tiba-tiba turun hujan lebat. Kebetulan tidak ada tempat berteduh dan semua rumah tertutup rapat, hanya pagar rumah Bapak yang terbuka. Jadi, saya langsung masuk ke sini.”

“Tidak apa-apa, sekarang memang sedang musim hujan.” 

“Untung Bapak bersedia memberi saya tempat berteduh.” 

“Hujan selebat ini biasanya hanya sebentar kok. Anda mau berangkat kerja?” tanyaku. 

“Oh, tidak,” katanya. “Saya sedang menuju rumah seorang famili. Dia minta saya untuk mengurus surat-surat rumahnya.”

Ah, akhirnya saya tahu ke mana arah pembicaraan ini. Pastilah tidak lama lagi dia akan memintaku untuk mengeluarkan surat rumahku dan seterusnya. Ternyata siasatnya sangat mudah dibaca. Aku sudah bertekad akan segera mengusirnya bila dia berani meminta surat rumahku atau surat apa pun.

“Maaf, bolehkan saya numpang ke kamar mandi?” tanyanya dengan wajah polos. 

Aku tertegun sejenak. Rumahku kecil, isinya pun tidak ada yang dapat dikatakan benar-benar mahal. Tanpa sadar aku melihat sekeliling. Rupanya, ia menangkap keraguan di wajahku. 

“Kalau tidak boleh, ya, tidak apa-apa,” katanya sambil menunduk dan memegang perutnya yang agak gendut itu.

“Oh, boleh. Saya hanya merasa tidak enak karena ... kamar mandinya agak kotor,” kataku memberikan alasan sekenanya. “Silakan, itu pintunya.” 

Kuawasi pintu kamar mandi sampai tertutup. Kuyakinkan diriku bahwa tidak ada barang berharga di dalam kamar mandi yang bisa diambilnya.

Tanpa meninggalkan kewaspadaan aku berdiri di depan pintu kamarku sambil terus mengawasi pintu kamar mandi. Selama satu menit tidak ada suara apa pun, lalu terdengar suara air yang disiramkan. Tak lama kemudian dia keluar.

Aku sudah bersiap mendengar kelanjutan soal surat rumah yang tadi ketika tiba-tiba ia berkata, “Tampaknya hujan sudah reda. Kalau begitu saya permisi saja. Terima kasih untuk kebaikan Bapak.”

 

Tamu kedua

Aku begitu terkejut sehingga tidak sepatah kata pun terucap dari mulut. Bahkan sampai dia keluar rumah dan sekali lagi mengucapkan terima kasih, aku masih tertegun didera perasaan bersalah. Rasanya, ada sesuatu darinya yang menarik perhatian bawah sadarku ketika pria tadi keluar dari kamar mandi. Aku tidak tahu apa, tapi ada sesuatu. Lantaran kaget, malu yang bercampur dengan perasaan bersalah, aku tak sempat berpikir lebih lanjut.

Lantaran pengaruh film aku telah mencurigainya habis-habisan. Setiap bagian penampilannya, setiap gerakannya, setiap kata yang diucapkannya, semuanya kuawasi dengan pandangan curiga. Padahal dia hanya seorang pria malang yang kehujanan!

Walaupun belum mengucapkannya, aku terus menerus mencurigainya dalam hatiku. Itu salah juga ‘kan? 

Setelah rasa bersalahku pelan-pelan menghilang, aku mulai makan siang sambil memikirkan apa yang menarik perhatianku ketika dia keluar dari kamar mandi. Rasanya, penampilan pria ini jadi lain. Tapi apanya? Pertanyaan itu tetap tidak terjawab sampai aku selesai makan.

Di tengah suasana rumah yang sepi, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Dua orang pria bertubuh tegap berdiri persis di depan pintu. Yang seorang ramah namun tegas, terkesan menyembunyikan perasaan tegang. Sementara temannya yang bertampang sangar, mematung di sebelahnya, sambil memandangku dengan tatapan dingin.

Sang juru bicara memperkenalkan diri sebagai polisi yang sedang bertugas. la menunjukkan sebuah foto dan bertanya, “Apakah Bapak mengenal orang ini?” 

“Rasanya kenal,” jawabku. la menunjukkan foto pria tampan yang tadi pagi numpang berteduh di rumah.

“Dia baru saja datang kesini. Saya tidak tahu namanya. Dia hanya mampir sebentar, numpang berteduh karena kehujanan. Ada apa?” 

“Begini,” kata si juru bicara. “Dia ini informan polisi yang sedang dikejar penjahat. Apakah dia titip sesuatu?” 

“Tidak.”

“Apakah dia menyampaikan pesan?” 

“Tidak.”

“Apakah dia ada membawa sesuatu?” 

“Tidak. Eh, ya ada. Tapi hanya selembar koran yang sudah basah kena hujan.” 

“Apa yang dikatakannya?” 

“Dia mengaku mau ke rumah familinya untuk mengurus surat rumah. Rasanya itu saja. Begitu hujan reda, dia langsung pergi.” 

Aku tidak suka cara pria bertampang sangar itu memelototi seluruh isi rumahku seperti perampok mencari mangsa.

“Apakah dia masuk ke kamar Anda?” 

“Tentu saja tidak!” seruku jengkel. “Sebenarnya ada urusan apa ini?” 

“Oh, tidak apa-apa. Kami hanya ingin mencari informasi tentang dia. Terima kasih banyak untuk keterangan yang Anda berikan.” Setelah memberi hormat, keduanya pamit.

 

Tamu ketiga

Menjelang sore, pintu rumahku diketuk lagi. Kembali kujumpai dua orang pria berdiri di depan pintu. Tapi bukan dua pria yang datang tadi. Kali ini yang seorang agak kurus, yang lain agak gemuk. Keduanya mengaku sebagai polisi juga! Heran, mengapa begitu banyak polisi tertarik kepadaku.

Sambil tertawa aku berkata, “Rupanya, hari ini semua yang berhubungan dengan polisi ingin datang ke sini.” 

“Semua?” tanya yang gemuk heran. 

“Ya, tadi sudah ada informan polisi, kemudian dua orang polisi, dan sekarang Anda berdua polisi.” 

“Tadi sudah ada polisi yang datang?”

“Ya, dua orang.” 

“Apakah mereka menunjukkan tanda pengenal?” 

“Oh, saya tidak sempat menanyakan. Bagi saya tidak ada masalah.” 

“Asal Anda tahu, tidak ada polisi yang ditugaskan ke sini sebelum kami. Ini tanda pengenal kami.” Keduanya memperlihatkan tanda pengenalnya. Tapi karena tidak terlalu menyukai hal-hal yang berbau formal, tanda pengenal mereka hanya saya lirik sekilas.

“Apakah Anda mengenal orang ini?” Kali ini giliran yang kurus berbicara sambil menunjukkan sebuah foto. 

“Ini ‘kan informan polisi itu!” kataku yakin. Walaupun agak berbeda dengan foto yang tadi, namun aku dapat segera mengenalinya sebagai pria tampan yang kehujanan tadi pagi. 

“Informan polisi?” Mendengar jawaban saya, kedua polisi tersebut tampak terheran-heran. Mereka saling berpandangan.

 “Siapa yang mengatakannya?” 

“Kedua polisi tadi.” 

“Saya ulangi lagi, tak ada polisi yang datang sebelum kami.” 

“Yang saya tahu, kedua pria itu mengaku polisi,” kataku kurang senang. 

“Bolehkah kami masuk?” 

“Silakan,” kataku enggan. 

“Terima kasih,” kata yang gemuk. 

“Begini, seperti Anda lihat kami berdua adalah petugas dengan tanda pengenal resmi.”

Sejujurnya, aku tidak bisa membedakan mana tanda pengenal yang resmi dan mana yang palsu. Tapi karena malas berargumentasi aku diam saja. 

“Artinya, kedua orang yang datang sebelum kami jelas polisi gadungan,” ia melanjutkan. “Orang dalam foto ini pun bukan informan, tapi justru penjahat yang baru saja kami tangkap.”

Aku diam saja sambil tetap menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut. 

“Penjahat ini bernama Bill yang sudah lama kami incar. Tadi pagi kami berhasil menggerebek tempat tinggalnya dua blok dari rumah ini. Tiga orang temannya berhasil ditangkap, tetapi Bill lolos dengan membawa sejumlah obat terlarang yang selama ini diperdagangkannya. Dia lari ke arah rumah ini, namun sekitar setengah jam kemudian berhasil kami ringkus. Sayangnya, obat terlarang itu tidak ada lagi padanya. Bisa jadi dia telah membuangnya ke suatu tempat. Kami sedang mencarinya di seluruh daerah ini tapi belum ketemu. Menurut analisis kami, kedua orang yang datang ke sini tadi adalah anggota komplotannya yang menduga Bill telah membuang barang itu di daerah sekitar sini. Singkatnya, kami sedang berlomba dengan mereka untuk mendapatkan barang tersebut. Apakah Bill ini tadi datang kemari?” tanyanya sambil mengacungkan foto itu lagi.

“Ya,” kataku agak bingung mendengar penjelasannya. 

“Apakah dia membawa atau menitipkan sesuatu?” 

“Tidak, dia tidak bawa apa-apa dan titip apa-apa. Hanya numpang berteduh. Begitu hujan berhenti tak lama kemudian, dia langsung pamit.” 

“Pak, kami tidak membawa surat penggeledahan dan kami juga tidak menganggap Bapak seorang tersangka. Namun jika Bapak mengizinkan, kami ingin memeriksa sebentar ruangan ini. Boleh?” 

“Tentu saja. Silakan. Tidak jadi masalah.”

“Tadi dia duduk di mana?” 

“Setelah masuk, ia langsung duduk di sini,” kataku sambil menunjuk kursi yang tadi diduduki pria yang dimaksud. 

Dengan cekatan dan kecermatan luar biasa, polisi yang kurus meraba-raba bagian bawah dan belakang kursi. Lantaran tidak menemukan apa-apa, ia lalu beranjak memeriksa meja dan kursi lain. Berikutnya lemari bagian atas, samping, bawah, dan belakang. Hanya butuh waktu sebentar, lalu ia mengangkat bahu dan menggeleng.

Rekannya yang gemuk tampak tercenung menyaksikan temannya tanpa hasil. 

“Apakah ada orang lain yang bersama Anda?” katanya. 

“Tidak, saya tinggal sendirian di sini.” 

“Baiklah, mungkin kami mesti mencari di tempat lain. Apakah masih ada yang ingin Bapak sampaikan pada kami mengenai Bill ini?”

Aku menggeleng. 

“Kalau begitu, terima kasih atas kerja sama Bapak,” katanya sambil beranjak menuju pintu, “Kami tidak bermaksud menakut-nakuti, tapi bila kedua orang yang mengaku polisi tadi itu muncul lagi sebaiknya Bapak waspada dan segera menghubungi kami.” Lalu ia menjelaskan bagaimana caranya untuk menghubungi mereka.

Aku mengantar mereka keluar rumah dengan perasaan tidak menentu. Siapa yang dapat kupercayai? Bill? Kedua orang yang mencari informan polisi? Atau kedua orang yang menuduhnya penjahat? Setiap ada tamu datang, aku mempercayai apa yang dikatakan. Namun, kedatangan tamu berikutnya malah membuat aku meragukan yang datang sebelumnya. Apakah masih ada yang akan datang hari ini? Aku tidak yakin. Yang pasti ini bukan sekadar masalah orang kehujanan yang ingin berteduh.

 

Mereka datang lagi

Malam itu aku tidak bisa memejamkan mata. Sambil berbaring di tempat tidur kurenungkan hal-hal yang baru saja terjadi. Semuanya aneh dan tidak jelas. Absurd. Uniknya, rentetan kejadian dari pagi sampai sore ini justru membuatku melupakan rasa sakit bisul di telapak kaki. 

Peristiwa demi peristiwa berkelebat satu per satu melintas di depan mataku seperti potongan-potongan film. Saat itulah aku baru tersadar atas rasa penasaranku pada keanehan penampilan Bill ketika dia baru keluar dari kamar mandi. Ya, benar! Perutnya!

Ketika berbicara dengannya di depan pintu rumah, aku sudah merasa aneh. Perutnya yang agak gendut kurang sesuai dengan pundak dan dadanya yang tegap. Setelah keluar dari kamar mandi perutnya jadi datar, tidak gendut lagi. Walaupun tadi aku tidak langsung menyadarinya, sekarang semuanya menjadi begitu jelas. Dadaku berdebar kencang ketika menyadari hal ini. Artinya, pasti ada sesuatu yang ditinggalkannya di dalam kamar mandiku! Polisi tadi mengatakan obat terlarang? Heroin, sabu, atau ekstasi?

Memang, belakangan ini media massa gencar memberitakan soal narkoba. Kejahatan yang berhubungan dengan jual beli dan pemakaian narkoba semakin marak. Alangkah ngerinya kalau aku terlibat dalam bisnis obat terlarang ini. Tanpa sadar tubuhku meloncat turun dari tempat tidur. Aku meringis ketika bisul di kakiku menyengat karena kaki terlalu keras menginjak lantai. Sambil terpincang-pincang kesakitan, setengah berlari aku menuju kamar mandi.  

Kamar mandiku kecil dan biasa-biasa saja. Jika mau menyembunyikan sesuatu, di mana kira-kira tempat yang paling cocok? Aku teringat film yang mengisahkan tokohnya menyembunyikan bungkusan benda berharga di dalam tempat air kloset. Tanpa pikir panjang, kuangkat tutup keramik itu, seraya melongok ke dalamnya. Ternyata tidak ada apa-apa. Dengan perasaan kecewa kukembalikan tutupnya.

Tidak ada tempat lain? Tunggu sebentar! Di pojok aku selalu meletakkan ember tempat pakaian kotor yang akan dicuci. Kuangkat pakaian-pakaian kotor tersebut dan terlihatlah apa yang menjadi sumber malapetaka sepanjang hari ini. Gila!

Di dasar ember terlihat dua bungkusan plastik bening. Yang satu isinya berbentuk bubuk dan yang lainnya pil. Kuangkat keduanya, masing-masing beratnya kira-kira hampir 1 kg. Jadi, benar juga apa yang dikatakan oleh kedua polisi yang tadi datang belakangan. Ini benar-benar kejahatan narkotika kelas kakap.

Sempat kupandangi bungkusan di kedua tanganku. Walaupun belum tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, kuputuskan membawa bungkusan-bungkusan ini ke kamar. Kuletakkan di bawah bantal di tempat tidur. Sebaiknya aku segera menghubungi kedua polisi tadi.

Ketika membuka pintu kamar untuk menuju meja telepon yang terletak di ruang tamu, aku terkesiap melihat bayangan orang di jendela. Semua lampu di ruang tamu dan dapur telah kupadamkan. Selain lampu di kamarku, satu-satunya lampu yang menyala adalah lampu di luar rumah. Jadi, aku dapat melihat dengan jelas bayangan dari luar rumah tanpa khawatir akan terlihat.

Bayangan itu bergerak perlahan dan agak membungkuk. Siapa? Billkah? Atau kedua penjahat temannya, atau justru polisi tadi? Kemudian muncul bayangan kedua. Segera kukenali yang kedua ini sebagai bayangan dari pria yang bertampang sangar tadi. Jadi, kedua bayangan ini menandakan penjahat datang lagi.

Bayangan mereka tidak tampak lagi setelah melewati jendela. Segera kuputuskan untuk menelepon kedua polisi tadi. Baru saja gagang telepon kuangkat, terdengar bunyi jendela dicungkil dari luar. Dengan panik aku meletakkan gagang telepon dan terburu-buru melangkah ke kamarku, suatu tindakan refleks untuk melindungi diri.

Karena terburu-buru, aku menginjak sesuatu di lantai. Tidak jelas apa, tapi yang pasti tepat di bagian bisul di kakiku. Aku benar-benar tidak dapat menahan diri untuk tidak menjerit kesakitan. Sambil menutup mulut untuk menahan rasa sakit, aku terhuyung-huyung mencari tempat untuk bersandar. Malangnya, aku menabrak rak yang berisi banyak pajangan patung-patung kecil kesayangan ibuku sehingga rak itu jatuh dengan semua patung di atasnya, disertai bunyi yang cukup riuh.

Suara cungkilan di jendela terhenti. Sunyi sejenak, lalu diganti dengan suara kaca jendela pecah dan sesosok tubuh mendobrak jendela. Astaga! Mereka sudah masuk ke ruang tamuku. Pada detik yang sama tiba-tiba seluruh lampu di rumah padam. Dengan tidak menghiraukan rasa sakit di kakiku, aku lari tanpa bersuara ke kamarku, masuk dan mengunci pintu. Tentu aku dapat dengan mudah melakukan hal ini karena aku tahu letak pintu kamarku walau dalam gelap. Tapi aku yakin kedua penjahat itu tentunya tidak tahu. Ternyata dugaanku meleset.

Dalam tempo kurang dari lima detik pintu kamarku sudah digedor-gedor. Aku mundur sampai ke pojok, lemas dan bingung tak tahu harus berbuat apa. Aku tidak punya senjata, tidak punya alat apa pun untuk melawan, bahkan tidak punya cukup keberanian untuk berkelahi melawan kedua penjahat itu. Namun, dalam keadaan bingung pun sempat terpikir kenapa semua lampu di rumahku padam? Ada yang memadamkan listrik? Siapa? Yang pasti bukan kedua penjahat itu, karena mereka membongkar dan mendobrak jendela. Berarti ada orang lain yang datang malam ini.

Suara gedoran di pintu tidak berkurang. Tiba-tiba terdengar suara kaca pecah lagi, disertai suara bentakan. Aku hanya dapat menahan napas ketika terdengar suara seperti orang sedang berkelahi, tepatnya beberapa orang sedang berkelahi. Karena tidak tahu harus berbuat apa, dalam gelap aku duduk di tempat tidurku. Tanpa sengaja tanganku menyentuh kedua bungkusan yang rupanya sedang diincar.

Bunyi pukulan dan empasan masih terdengar, ditambah makian yang tidak jelas, lalu terdengar bunyi tembakan. Satu kali, lalu satu kali lagi. Bunyinya seakan bergema di dalam telingaku, tapi baru kali ini aku mendengar suara tembakan yang benar-benar nyata dari jarak yang begitu dekat, hanya beberapa langkah dariku.

“Nyalakan lampu,” terdengar suatu suara seperti kukenal. Tak lama kemudian listrik menyala dan terdengar suara memanggilku. “Pak, buka pintunya, ini polisi.”

Dengan lega aku mengenalinya sebagai suara polisi yang datang tadi. Kubuka pintu sedikit, kulihat ruang tamuku yang sudah terang sekarang. Kedua polisi itu menatapku. 

“Anda terluka?” 

“Tidak,” kataku sambil menarik napas. “Anda datang tepat waktu.” 

“Kami melihat kedua. penjahat ini mendobrak jendela. Jadi, kami mematikan lampu agar lebih mudah menyergap. Mengapa mereka kembali? Apakah Bill meninggalkan sesuatu?”

“Ya.” 

“Kenapa tadi tidak anda katakan?” 

“Karena saya lupa dan juga Anda tidak tanya ‘kan? Tadi dia masuk ke kamar mandi.” 

“Jadi, Bill meninggalkan sesuatu di kamar mandi?” 

“Ya ....” 

Sebelum sempat kujelaskan bahwa aku sudah memindahkan kedua bungkusan tersebut, kedua polisi itu telah menyerbu ke kamar mandi. Aku tidak suka melihat sikap kedua polisi ini yang kurang simpatik.

Ketika keduanya sedang mengaduk-aduk kamar mandiku, aku punya kesempatan untuk melihat kedua penjahat yang tergeletak di lantai ruang tamuku. Keduanya rupanya ditembak. Yang seorang tergeletak tidak bergerak. Aku tidak dapat melihat ekspresinya karena ia dalam posisi tertelungkup. Tapi kuduga ia telah tewas. Darah kental yang mulai menggenang di lantai dekat dadanya membuatku merasa akan muntah. Kualihkan pandanganku kepada yang seorang lagi. Kelihatannya ia masih hidup, sedikit bergerak-gerak tanpa suara. Aku tak tahan melihat keduanya. 

Kedua polisi itu muncul dengan wajah penuh tanda tanya. 

“Tidak ada apa-apa di kamar mandi.” 

“Barangnya sudah saya pindahkan.” 

“Katakan di mana kamu sembunyikan barang itu!” Sambil mencengkeram bajuku, polisi itu menodongkan pistolnya ke daguku. 

“Cepat katakan,” yang satunya ikut berteriak.

 

Tamu keempat

Belum pernah aku ditodong pistol seperti sekarang ini. Tapi aku sama sekali tidak takut, malah jengkel. Sebagai penegak hukum sebenarnya polisi tidak boleh bersikap seperti ini. Amat keterlaluan, emangnya aku penjahat. 

“Anda tidak boleh menodong saya seperti ini!” 

“Kenapa tidak?” 

“Karena Anda polisi dan saya bukan penjahat,” kataku mantap.

Keduanya tersenyum. “Berita baiknya, Anda benar. Polisi tidak boleh berbuat seperti ini. Berita buruknya, kami bukan polisi.” 

“Tapi tadi siang kalian mengaku polisi.” 

“Sebenarnya kami dari kelompok yang bermusuhan dengan kelompok mereka,” katanya sambil menunjuk kedua orang yang terkapar di lantai. “Bill juga anggota mereka dan dia melarikan barang kami.” 

Sekarang aku benar-benar ketakutan. Sekujur tubuhku terasa gemetar. Apes benar nasibku hari ini.

“Cepat tunjukkan barang itu. Waktu kami tidak banyak. Bunyi tembakan tadi pasti akan menarik perhatian orang di sekitar ini.” 

“Apakah kalian akan membunuhku?” tanyaku kecut. 

“Apakah kamu akan bersaksi tentang kami?” 

“Tidak,” kataku yakin. 

“Apakah kamu akan mengenali kami?” 

“Tidak,” kataku makin pasrah. 

“Di mana barang itu?”

“Di kamar, di bawah bantal,” kataku cepat. 

Yang seorang masuk ke kamarku, tidak lama kemudian dia keluar dengan membawa bungkusan-bungkusan itu di tangannya. Sambil tersenyum dia berkata, “Yah, terpaksa kami tetap akan membunuhmu.” 

Lidahku terasa kelu mendengar ancaman tadi. Keringat dingin di keningku semakin banyak. Butir-butiran keringat itu jatuh menetes ke hidung dan pipiku. Sementara kaki terasa lumpuh tak kuat menyangga tubuh. Tiba-tiba terdengar sebuah suara asing membentak, “Jangan bergerak!”

Dua orang berdiri di dekat jendela, rupanya diam-diam telah masuk lewat jendela yang sudah rusak setengah terbuka karena didobrak tadi. Selama ini aku justru tidak terlalu memperhatikan jendela itu.

Hanya dalam hitungan detik setelah suara bentakan itu, semuanya berlangsung begitu cepat. Penjahat yang menodongku tadi langsung mengalihkan pistolnya ke arah dua orang yang baru masuk tadi. Bunyi pistol menyalak ... dor! ... dor! Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah bertiarap di lantai, mengerutkan tubuh menjadi sekecil mungkin, lalu melindungi kepala dengan kedua tanganku. Tidak sempat kuhitung berapa kali bunyi tembakan terdengar. Tahu-tahu keadaan sudah menjadi sangat sepi. Beberapa saat kemudian sebuah sentuhan lembut terasa di bahuku.

“Bangun Pak, keadaan sudah aman.” 

Aku melihat kedua pria yang muncul barusan itu berdiri di sampingku. Sementara di lantai sekarang terbaring empat tubuh bergelimpangan. Dengan gemetar aku mencoba berdiri. 

“Anda berdua siapa?” tanyaku hati-hati. 

“Kami polisi.” 

Mau tidak mau dalam suasana mencekam dan rumah berantakan ini aku tak bisa menahan geli. Sudah terlalu banyak pengakuan seperti itu yang kudengar hari ini.

“Maaf, saya tidak percaya Anda polisi,” kataku sambil menjauh sedikit dari mereka. Kutunjuk keempat orang yang terkapar di lantai itu seraya berkata, “Mereka semua mengaku polisi juga.”

“Kami akan memanggil bantuan,” kata salah seorang dari mereka sambil mengeluarkan radio komunikasi. 

“Anda benar-benar polisi? Mengapa kalian bisa sampai kemari?” tanyaku pada yang sedang tidak sibuk bicara. 

“Kami sebenarnya sedang melakukan tugas rutin membuntuti mereka karena kami yakin mereka terlibat dalam jaringan obat terlarang. Ketika mereka terlihat masuk ke rumah Anda, dengan mengendap-endap kami menyusul. Ketika terdengar suara tembakan, kami mau langsung menyerbu masuk. Sayangnya teralang seorang anggota kelompok yang berjaga-jaga di luar. Setelah berhasil meringkusnya, kami menyerbu masuk. Untung belum terlambat.”

Aku baru percaya, setelah rumahku dipenuhi oleh puluhan polisi, setelah orang yang tewas dan terluka diangkut oleh petugas medis, setelah rumahku akhirnya dibersihkan dan dirapikan kembali seperti semula.

Tampaknya mereka tahu aku tidak terlibat dalam perkara obat terlarang ini. Mereka juga dapat memahami bila aku sudah terlalu lelah untuk menjawab berbagai pertanyaan. 

Aku berjanji besok pagi akan ke kantor polisi untuk menjawab semua pertanyaan sehubungan dengan peristiwa ini.

Akhirnya, mereka meninggalkanku dengan membawa pergi kedua bungkusan plastik tadi. Dua orang polisi sengaja ditinggal untuk berjaga-jaga di sekitar rumahku sampai pagi, supaya aku merasa aman dan lebih tenang. 

Semua ketegangan sepanjang hari ini baru berakhir pukul dua dini hari. Aku berharap kini dapat tidur nyenyak setidaknya sebentar saja. Semoga aku tidak pernah lagi kedatangan tamu seperti hari ini. 

Baca Juga: Misteri Matinya sang Konglomerat

 

" ["url"]=> string(58) "https://plus.intisari.grid.id/read/553606028/tamu-terakhir" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670836615000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3567456" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/lagu-palsu-alat-penipu_-neosiam-20221111043817.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "Seorang master fengshui menghadapi kasus pembunuhan di dalam taksi. Apakah keahliannya itu membantu dalam mengungkap kasus?" ["section"]=> object(stdClass)#68 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/lagu-palsu-alat-penipu_-neosiam-20221111043817.jpg" ["title"]=> string(22) "Lagu Palsu Alat Penipu" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 16:38:31" ["content"]=> string(27074) "

Intisari Plus - Seorang master fengshui menghadapi kasus pembunuhan di dalam taksi. Apakah keahliannya itu membantu dalam mengungkap kasus?

-------------------

Telepon di depan Winnie Lim berbunyi nyaring. Dengan hati-hati dia mengangkat gagang telepon itu supaya manicure di jemari kukunya tidak rusak. “Untukmu, dari Madam Fu,” bisik Winnie. Yang diajak bicara tampak ragu. “Bilang saya tidak ada,” jawab C.F. Wong sekenanya. “Saya sudah bilang kamu enggak ada. Tapi dia ingin sekali bicara padamu,” balas Winnie.

C.F. Wong sang master feng shui akhirnya menyerah. “Hai, Madam Fu,” ucapnya begitu mengambil alih telepon. “Wong? Saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya,” balas sang Madam. “Kapan?” sambut Wong rada enggan. “Siang ini atau paling lambat besok pagi. Tapi lebih baik lagi kalau kamu datang sekarang.”

“Wah, memangnya ada apa?” 

“Ada sesuatu di kebunku.” 

“Sesuatu?” Winnie Lim yang ikut mendengarkan di telepon satunya, menaruh jari telunjuk di mulutnya dan berkata pada Wong, “Sudahlah Ikuti saja.” Sang master lagi-lagi mengalah. 

Asistennya, Joyce McQuinnie, yang sedang asik membaca sebuah buku melirik pada Wong, sebelum akhirnya menukas, “Mengapa tidak Nyonya Fu saja yang membereskan sendiri kebunnya?”

Wong menatap Joyce. Wanita muda ini kadang menyebalkan. Itu sebabnya Wong tak ingin berdebat dengannya. “Saya akan pergi ke Madam Fu. Kamu mau ikut?” Wong bertanya pada Joyce sambil berdoa agar mendapat jawaban negatif. Tapi yang keluar malah sebaliknya, “Iya dong. Saya tidak akan melewatkan kesempatan ini.” Ah, betul-betul menyebalkan.

 

Mayat di kebun

Suasana di jalan mencerminkan Singapura di musim panas. Lalu lintas macet, tapi semakin jauh dari pusat bisnis, jalan semakin lengang. Langitnya biru dihiasi hamparan awan cirro cumulus nan indah.

Madam Fu adalah orang kaya yang rutin meminta bantuan Wong. Rumahnya, meski bagus, adalah “yang terjelek” di kawasan mewah Jln. Meyer, yang dikenal juga sebagai Condo Valley. Kebun belakang rumahnya menghadap jalan desa nan sunyi sering dijadikan tempat membuang sampah. Itu karena kesalahan Madam Fu yang membiarkan begitu saja kebunnya tak terpelihara, sehingga orang lewat mengiranya lahan umum.

Wong sendiri kadang merasa sejumlah kerjanya buat Madam Fu tak sesuai dengan keahliannya sebagai master feng shui. Apalagi Madam Fu sendiri agak aneh, eksentrik, kadang mirip orang terganggu mental. Sebagai ahli feng shui, Wong tahu energi yang mengalir memasuki rumah Madam Fu sebetulnya nyaris sempurna. Namun semua itu tak akan menghasilkan rumah tangga bahagia jika penghuninya dalam keadaan “terganggu”.

Sesampai di kediaman Madam Fu, seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia tampak membukakan pintu. “Aku ingin tahu pendapatmu tentang kesialanku kali ini,” sambut Madam Fu. Mereka berjalan menuju taman belakang, dekat pagar dan rerumputan tinggi. Di dekat situlah Madam Fu menunjuk sesuatu yang tergeletak, terbungkus jas hujan dengan noda hitam. Tak salah, mayat! Lalat-lalat menandakan mayat itu sudah cukup lama berada di sana.

Tampaknya mayat seorang laki-laki berambut hitam, matanya terbuka dan mendelik. Wong menghela napas dalam-dalam. “Saya pikir Anda benar, Madam Fu. Ini kesialan besar. Butuh perlakuan khusus dan tidak boleh ada kesalahan sama sekali,” ucap Wong setelah berhasil menenangkan diri. “Aku tahu,” ucap Madam Fu bangga. “Apakah Anda yang melakukannya?” sambung Wong. “Tentu saja tidak. Masak aku membunuh orang di kebun sendiri?” tandas Fu. Benar juga.

Wong segera menelepon polisi. Mengurus penemuan mayat ini jelas bukan wewenangnya. Tugasnya hanya mengatur ulang keberuntungan Madam Fu, dengan menempatkan benda-benda feng shui di pintu belakang, yang berhadapan dengan lokasi mayat ditemukan. Atau menaruh cermin segi delapan pa-kua pada dinding di atas jendela rumah. Buat dia, mengenyahkan gangguan setan bukanlah tugas yang sulit.

Lucunya, detektif yang kemudian datang, Gilbert Kwa ternyata punya masalah dengan “kegilaaan” Madam Fu. Kwa menganggap omongan Fu tidak logis dan membingungkan. Sepertinya hanya Wong yang bisa memahami perkataan Madam Fu. Mau tak mau, Wong akhirnya diperbantukan sebagai detektif perantara, si pengorek informasi yang berkaitan dengan Madam Fu.

Mayat itu ternyata Tuan Ramli, pengusaha asal Indonesia yang pindah ke Singapura empat tahun lalu. Koleganya, orang Singapura bernama Emma Esther Sin dan seorang Amerika bernama Jeffery Alabama Coles, menyatakan Ramli baik-baik saja saat mereka melihat terakhir kali. “Dia hanya minum sedikit,” jelas mereka, yang mengaku sempat mengantarkan Ramli naik taksi. “Sopir taksinya mirip orang India dengan rambut dan kumis hitam,” cerita Emma Sin.

 

Dibuang sopir taksi

Polisi yang melakukan pencarian ke berbagai perusahaan taksi akhirnya mendapatkan keterangan tentang taksi yang dicurigai. Mereka juga berhasil membekuk Motani, sopir taksi yang ciri-cirinya sangat cocok dengan gambaran yang disebutkan Emma. Sepertinya, kasus Ramli bakal segera terungkap ketika Motani mengaku sengaja membuang tubuh Ramli di kebun Madam Fu. Namun, dia menolak mengakui membunuh Ramli.

“Tas dan barang-barang milik korban tidak ada yang hilang. Di rumah Motani, kami juga tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan alat membunuh Ramli,” jelas Kwa, sembari membetulkan letak bahunya yang agak tegang. “Omong-omong, bos saya bilang, Anda boleh menanyai Motani. Itu kalau Anda mau,” ujar Kwa. Wong tahu dia sudah telanjur terlibat di kasus ini. Jadi mengapa tak sekalian saja menceburkan diri?

“Saya tidak melakukannya!” sanggah Motani, yang bernama lengkap Nanda Motani, dengan nada tinggi ketika bertemu Wong. 

“Saya tidak bilang Anda melakukannya. Saya C.F. Wong, konsultan. Saya cuma ingin mengetahui kejadian sebenarnya.”

“Dia sudah mati ketika saya menoleh ke belakang,” tegas Motani. “Saya sampai di Jln. Orchard sekitar pukul 22.30, ketika melihat tiga orang di ujung jalan. Mereka baru keluar dari bar. Saya melihat seorang pria tengah bersandar pada seorang wanita yang tertawa keras. Lelaki satunya, orang asing, menyangga pria yang di tengah. Saya pikir mereka habis minum-minum,” tandas Motani.

“Anda kemudian menghentikan mobil?” 

“Ya, si orang asing menaruh tas ke dalam taksi dan membantu si mabuk masuk, sambil menyebut alamat tujuan, di Katong, Jalan East Coast, dekat Red House,” kata Motani lagi. 

“Red House? Toko roti kuno itu?” sergah Wong.

“Sepertinya begitu. Saya putar balik menuju Jalan Orchard.” 

“Ke Timur?”

“Ya, ke Timur. Ke Stamford Road, Raffles Avenue, menyeberang jembatan. Karena tidak begitu pasti letak jalannya, saya sempat berhenti dan bertanya pada sopir taksi lain. Ternyata saya kelewatan.” 

“Penumpang Anda diam saja?” 

“Dia mabuk berat. Saya mencoba ramah padanya dengan bercerita tentang wilayah Katong yang katanya nyaman. Tapi dia tidak menjawab.”

“Dia mengatakan sesuatu?” 

“Hanya sedikit bernyanyi. Sebenarnya lebih mirip bergumam. Ia seperti menyanyikan lagu pop Barat kuno. Tapi saya tidak tahu lagu apa.”

“Lalu apa yang terjadi?” 

“Tidak ada sama sekali. Saya berhenti, melihat dia terbungkuk, hampir jatuh. Separuh badannya hampir menyentuh kaki, sisanya masih di kursi. Saya lalu meneruskan nyetir.” 

“Kenapa?” 

“Begini, Pak Polisi. “

“Saya bukan polisi.”

“Begini, Tuan yang baik. Jika Anda jadi sopir taksi dan bekerja shift malam, Anda akan sering membawa orang yang tertidur pulas, mabuk, atau tak sadarkan diri. Anda hanya perlu membawanya pulang. Tanya saja sopir taksi lain di seluruh Singapura kalau tidak percaya.”

“Tapi Anda sampai di alamatnya?” 

“Ya. Saya mencoba membangunkannya, mengguncang-guncangnya. Lucu, dia malah roboh. Saya keluar, mencoba mengeluarkannya dari mobil. Tapi ketika saya lihat ada noda di jaketnya, saya pikir dia sakit.” 

“Itu noda darah,” sela Wong.

“Ya, dan saat menyadari dia mati, saya hampir berteriak. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Rasanya ada ribuan pasang mata mengamati. Sempat terpikir untuk menghubungi polisi, tapi polisi nanti mengira saya pembunuhnya.”

“Lalu apa yang Anda lakukan?” 

“Saya tutup pintu mobil kemudian mengemudi secepat mungkin.” 

“Ke mana?”

“Ke arah Jalan Meyer. Di sebuah tempat yang gelap, saya melemparkan mayat itu beserta tas-tasnya ke balik pagar.” 

“Anda membuka tasnya?” 

“Tidak. Hanya mengangkatnya. Kemudian saya pulang dan membersihkan mobil. Esoknya, saya begitu takut untuk berangkat kerja. Entah berapa lama saya melakukannya. Sampai akhirnya polisi datang ke rumah. Sejak itulah saya di sini.” Saya percaya padamu, bisik Wong dalam hati. Setelah terdiam sebentar, Wong lalu melanjutkan pertanyaan. “Jendela mobilnya, apakah terbuka?” 

“Tidak,” jawab Motani yakin. Semua tertutup. Saya menyalakan AC supaya tetap dingin.” 

“Oke, finish-lah,” kata Wong akhirnya.

 

Tak ada pisau

Beberapa waktu kemudian, Wong dan Joyce duduk-duduk di kantin kantor polisi sembari menyeruput teh hijau. “Aneh. Siapa yang membunuh Ramli, kalau si sopir bukan pelakunya? Kuncinya mungkin pada penyebab pembunuhan itu,” ucap Joyce. Wong mengangguk-angguk. Soal warisan? Tampaknya bukan. Ramli tidak memiliki kerabat di Singapura dan Malaysia. Warisannya pun tidak besar. Dia juga tidak memiliki jaminan asuransi.

Bagaimana kalau soal bisnis? Ramli, Emma Sin, dan Cole baru saja menandatangani perjanjian kerja sama untuk meneliti kemungkinan mengadakan pengeboran dan penambangan di Kalimantan. Ramli bertindak sebagai tenaga ahli, sedangkan Emma Sin dan Coles menjalankan bisnis, pendanaan, dan pemasaran. Terbunuhnya Ramli membuat perjanjian bisnis itu harus dikaji ulang. 

“Adakah hal lain yang menarik perhatian?” 

“Dia membawa dua tas ketika naik taksi. Sebuah koper kecil dan satu koper agak besar. Tas kecil berisi contoh batuan dan mata uang asing. Sedangkan tas besar dipenuhi batu bata. Sepertinya dari sebuah gedung.”

“Mungkin ditukar. Seperti adegan film Hollywood. Dua tas masing-masing berisi barang berharga dan barang tak bernilai, ditukar untuk tujuan tertentu. Tidak ketahuan karena bentuk dan modelnya sama. Ya, saya ingat, film Dumb and Dumber,” urai Joyce. 

“Tapi siapa yang menukar tasnya?” tanya Wong.

“Mungkin sopirnya, mungkin juga bukan.” 

Joyce lalu memerinci isi koper Ramli dan mencocokkannya dengan daftar bikinan polisi. Ada dokumen teknis mengenai analisis tanah dan batuan, sepotong kue donat di kantong kertas, novel karangan Michael Crichton, majalah Penthouse, dan sekantong kacang dari penerbangan Silk Air. Di dompetnya polisi menemukan telepon genggam, bon dengan stempel lunas laundry setempat, serta struk mesin ATM di Jln. Orchard.

“Ada pesan di telepon genggamnya?” 

“Tidak,” jawab Joyce seraya mencentang daftar barang pribadi korban. Tiba-tiba ia bersiul. “Wow, canggih betul tape recorder ini. Bentuknya seperti korek api. Kelihatannya asyik, ada ekstra bas, built in speaker, auto reverse.” 

“Polisi sudah mendengarkan isi tape-nya. Tampaknya seperti suara orang bernyanyi. Dan kelihatannya kawan kita ini sangat suka bernyanyi,” jelas Wong.

“Persisnya berkaraoke. Emma Sin pernah bilang kalau dia dan Ramli sering datang ke karaoke,” bilang Joyce, sambil menambahkan, “Kini apa yang akan Anda lakukan? Meneliti bed pan dan feng shui taksinya?” 

“Astaga, bukan bed pan, tapi lo pan. Yang pasti, kompas tidak bisa jadi patokan di mobil. Karena mobil selalu berubah arah. Dalam kasus ini, kita tidak bisa menggunakan lo pan. Hanya diagram lo shu, semacam pilar nasib. Coba kita lihat milik Tuan Ramli,” ajak Wong.

Sang master lalu membuka catatannya. Ramli berelemen api dan lahir di akhir musim semi, musim yang dipengaruhi kayu. Dengan kata lain, Ramli punya api dan kayu. Layaknya api, jika ditambahkan kayu akan semakin berkobar. Tapi jika diberi air, akan mati. Jika diberi logam atau tanah, api akan sulit menyala. “Nah, malam kematian Ramli berunsur logam,” jelas Wong. Peluru logam pula yang membuat Ramli tak berdaya. 

Motani juga punya unsur api. Namun, menurut hitung-hitungan Wong, apinya Motani tidak kuat. Tak lama kemudian detektif Kwa datang. “Masalahnya sudah agak jelas, Detektif,” seru Joyce sambil tersenyum ke arah Wong. Kwa tampak berseri-seri mendengarnya. “Si sopir tidak bersalah. Seseorang telah menembaknya lewat jendela taksi. Menggunakan senjata jarak jauh berperedam,” ucap Joyce lagi.

“Tapi sopirnya bilang jendelanya selalu tertutup.” 

“Motani bilang, dia sempat memberhentikan taksi untuk bertanya alamat Ramli pada seseorang. Saat itu, dia pasti menurunkan kacanya dan berteriak. Saat itulah seseorang menembaknya. Pelurunya mengenai sasaran tanpa disadari oleh si sopir, bagaimana menurut Anda?”

“Menurut saya, Anda terlalu banyak nonton film, Joyce,” kata Kwa sambil tersenyum. “Faktanya, dia tidak ditembak. Tetapi ditikam. Kita memang melihat lubang dan darah, tetapi tidak ada pisau yang menancap. Awalnya memang kami mengira dia ditembak, tapi dokter meyakini Ramli ditikam dengan pisau dapur atau pisau buah, pendek tetapi tajam,” jelas Kwa. 

“Fakta terbaru ini kelihatannya memporakporandakan teori Anda, Tuan Wong,” seru Joyce.

“Tentu saja tidak. Yang penting ada logam di sistem pernapasan. Peluru atau pisau ‘kan sama-sama logam,” jawab Wong. 

“Saya punya pendapat lain,” kata Joyce. “Bagaimana kalau ada seseorang bersembunyi di bagasi, lantas menikam Ramli dari belakang?” Seperti teori pertama Joyce, kali ini pun Kwa menjawabnya dengan senyum lebar, “Lagi-lagi Anda terlalu banyak nonton film, Joyce. Korban ditikam dari depan, persisnya di sebelah kanan, sampai menembus jantung.” Melihat Joyce dan Kwa saling serang, Wong cuma bisa tersenyum.

 

Sinergi api dan kayu

Malam harinya Joyce mencoba mengingat kembali wawancaranya dengan keluarga Motani. Namun ia tidak punya informasi penting yang pantas dicatat. Soalnya cuma ada satu topik pembicaraan selama di rumah itu. Yakni ucapan berulang-ulang bahwa Motani tidak bersalah serta pertanyaan mengapa para dewa membawa anak baik seperti Motani ke situasi sulit seperti itu.

Akhirnya dengan menguatkan hati, wanita berparas cantik itu mengumpulkan serpihan hasil wawancara yang dianggapnya mengecewakan. Kemudian menelepon guru Wong. 

“C.F? Ini saya, Jo.” 

“Kamu menemukan tempat tinggalnya?” balas suara di seberang sana. 

“Ya.” 

“Kamu menemukan sesuatu?” 

Joyce agak ragu, sebelum melanjutkan, “Well, dia punya keluarga besar. Ayahnya sudah meninggal. Dia sekarang menjadi tulang punggung keluarga, punya banyak saudara lelaki dan perempuan. Mereka sangat sedih, dan ...,” Joyce berhenti untuk mencari kata-kata tambahan.

“Dan apa lagi?” 

“Dan ... hanya itu. Saya tidak menemukan apa-apa untuk memecahkan misteri ini. Saya tidak tahu lagi apa yang mesti saya tanyakan. Saya lebih banyak ngobrol dengan mereka.” 

“Oke, tidak masalah.” 

“Tapi ada satu hal, saya kira.” 

“Apa?” 

“Kita harus membebaskannya. Saya pikir ia tidak melakukannya.” 

“Mengapa Anda pikir begitu?” 

“Tak ada alasan. Saya hanya pikir begitu.” 

“Saya mengerti. Saya juga berpikir begitu. Sekarang walk-walk slowly-lah.” 

“Yah. Kamu walk-walk slowly juga.”

Keesokan harinya, Wong menemui detektif Kwa di lorong gedung pengadilan. Kwa tampak bete lantaran jadwal pengadilan yang terus molor. “Saya punya pertanyaan penting buat Anda,” kejar Wong. “Lebih cepat lebih baik. Pengadilan Motani akan segera dimulai,” jawab Kwa. Tak lama kemudian, seorang juru tulis muncul di depan pintu ruang pengadilan, tangannya menenteng berkas perkara bertuliskan: Kasus 12/768-F, Motani, N. 

“Wah, kelihatannya sudah akan dimulai, nanti saja ya ngobrolnya,” ucap Kwa. 

“Harus sekarang. Cuma satu pertanyaan, apakah malam saat kejadian turun hujan?” tanya Wong. Meski aneh, pertanyaan tadi dijawab juga oleh Kwa. “Tidak, seingat saya hujan hanya turun di siang hari. Cukup Wong, saya harus masuk ruang pengadilan sekarang.”

“Tunggu, ada satu hal yang tak kalah penting.” Wong menarik napas panjang. “Motani mempunyai unsur api lemah sehingga butuh kayu untuk membuat dirinya kuat. Pada malam pembunuhan itu, ada benturan antara logam dan kayu, juga kayu dan tanah. Tapi untungnya, saat pembunuhan berlangsung, unsur kayu Motani sedang bagus sehingga dapat memperkuat unsur apinya. Jika malam itu turun hujan, bisa menjadi pertanda buruk buat dia. Tapi Anda bilang malam itu tidak hujan ....”

“Aaaah, sudahlah Wong. Jangan bikin kepala saya makin pusing.” 

“Tapi saya rasa, Ramli sudah mati sebelum bertemu Motani.” 

Kali ini, langkah Kwa terhenti. “Apa buktinya?” 

“Ramli ditikam di jalan. Dia tidak mabuk, tapi mati. Si jangkung Amerika memasukkannya ke taksi dan menyokongnya agar tetap tegak.” 

“Tapi di taksi Ramli sempat bernyanyi lagu Barat.”

“Si Amerika menyalakan tape recorder hasil rekaman di kantong Ramli. Suaranya bergumam seperti menyanyikan lagu kuno New York, New York.” 

New York, New York?”

“Ya.” Wong melanjutkan penjelasannya, “Semua dilakukan untuk membuat orang berpikir dia mati di taksi. Bahkan sopir taksi pun percaya. Tape-nya mati, lalu auto rewind. Saat Anda memutar kasetnya di kantor polisi, terdengar suara orang bernyanyi, ‘kan? Jelas bukan kebetulan karena Emma Sin pencinta berat karaoke. 

“Bagaimana dengan tas?”

“Tidak ada tas yang ditukar. Tas berisi penuh batu bata sengaja disiapkan untuk menopang korban, sehingga duduk tegak di taksi.” 

“Jadi, Anda pikir, rekan bisnis Ramli yang melakukannya? Untuk apa? Ramli bukan orang yang punya banyak duit.” 

“Mereka pemodal besar, sedangkan Ramli pencetus ide. Tampaknya, mereka cuma ingin idenya tapi tak berniat membayar Ramli.” 

Kwa terdiam sejenak. Lalu seperti orang yang menemukan mood-nya kembali, dia menoleh ke asistennya. “Temui jaksa dan hakim. Sidang harus ditunda, kita belum siap. Sekali lagi, belum siap!!” (Nurry Vitachi)


Baca Juga: Gara-gara Patah Hati

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567456/lagu-palsu-alat-penipu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668184711000) } } }