array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#69 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3355874"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#70 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-20220701064028.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#71 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(148) "Sebuah kisah yang mengerikan dari penjara koloni Prancis, Pulau Setan. Keluar dari kamp mudah, tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan ..."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#72 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-20220701064028.jpg"
      ["title"]=>
      string(37) "Tak Ada Jalan Keluar dari Pulau Setan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-07-01 18:40:40"
      ["content"]=>
      string(26743) "

Intisari Plus - Sebuah kisah yang mengerikan dari penjara koloni Prancis, Pulau Setan. Keluar dari kamp mudah, tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan ...

------------------

Di masa lampau, ribuan tahanan dari Prancis dikirim ke penjara di French Guiana, yang juga dikenal dengan nama Pulau Setan. Tokoh utama dalam cerita berikut fiktif belaka, namun semua kejadian dan situasi yang digambarkan ditulis berdasarkan kisah nyata yang benar-benar terjadi di penjara.

Baiklah, aku memang penjahat. Aku banyak melakukan pembobolan. Kami melakukan tindak kriminal di Nice pada tahun 1905. Pemiliknya sedang berlibur di atas kapal pesiar. Barang-barang yang mereka miliki ... perak, jam emas di sebuah mantel, dan lukisan-lukisan itu ... Renoir, Rembrandt, dan yang modern itu Picasso. 

Aku tidak terlalu paham tentang itu, temanku Marie Jean mengerti. Dan ia tahu betul siapa yang mau membeli semua itu tanpa membuka mulut. Orang-orang yang menakutkan, kebanyakan, tapi mereka membayar dalam jumlah besar. Kami menghasilkan berjuta-juta Franc dari pekerjaan tersebut. Peristiwa itu bahkan masuk koran.

"Lukisan Berharga Hilang Dicuri" begitu bunyi judul artikel di Le Figaro,

Setelah itu kami pensiun dan menjadikannya sebagai masa lalu. Cara hidup yang nyaman. Namun, salah seorang dari grup kami mabuk di bar dan membeberkan semuanya. Selanjutnya, tahu-tahu ia sudah berada di kantor polisi. Para polisi memukulinya dan akhirnya ia menceritakan segalanya.

Pengadilan berlangsung brutal. Polisi menggambarkan kami sebagai penjahat kelas kakap, kejam sekali. Sebenarnya, kami tidak seperti itu. Memang kami penjahat, tapi kami tidak pernah membunuh siapa pun, dan kami tidak pernah mencuri dari siapa pun yang tidak terlalu kaya raya. 

Mereka mengirim kami ke penjara koloni Amerika Selatan. Kau belum pernah melihat penjahat sebenarnya, jika belum pernah ke French Guiana. Sebagian orang menyebutnya Pulau Setan ... Penjara tersebut adalah penjara paling mengerikan, busuk, dan tempat paling jahat di permukaan bumi.

Di akhir persidangan, kami dijatuhi hukuman sepuluh tahun masing-masing, ditambah sepuluh tahun lagi sebagai "koloni". Begitulah hukum. Kau jalani masa hukumanmu, lalu kau tinggal di daerah itu dalam waktu yang sama persis dengan masa hukumanmu. 

Tak seorang pun dari mereka yang berakal sehat mau tinggal di lubang itu dengan senang hati. Itulah sebabnya mereka mengubahnya menjadi penjara koloni. Prancis menguasai negara itu pada tahun 1817. Tak ada yang mau tinggal dan hidup di sana, jadi mereka mengirim narapidana saja.

Istriku, Bernice, aku merelakannya. Kami bercerai. Banyak pasangan yang melakukannya bila sang pria dikirim ke sana, meskipun mereka masih saling mencintai. Aku mengucapkan sampai jumpa lagi padanya tahun 1907, tepat sebelum mereka mengirimku. Kami tak pernah berpikir akan bertemu lagi. 

Putra-putraku, mereka akan menjadi laki-laki dewasa saat ini ... Aku takkan berani menemui mereka. Mereka tidak akan menyerahkanku pada polisi, tapi mungkin saja seorang di antaranya akan melakukannya. Lebih baik aku bunuh diri daripada kembali ke sana.

Perjalanan ke sini hampir membunuhku. Mereka mengirimkan perahu, Martinière, dua kali setahun. Mereka mencukur rambut kami, memberikan pakaian bergaris-garis ini pada kami, dan menggiring kami ke pelabuhan dengan ujung bayonet, kemudian mengurung kami di sebuah kandang di bawah dek, sekandang sembilan puluh orang. Sangat mengerikan. Kami diberi makan dengan timba dan disiram dengan air laut setiap pagi.

'Teman-temanku" ... wah banyak! Pencuri, penipu, penjahat kejam, pembunuh. Bahkan aku ingin mengirim mereka ke alat pemenggal kepala. Aku pergi bersama René dari grup kami. 

Kami saling menjaga, tidak peduli apa pun yang kami lihat. Pria di sebelah mati tadi malam, tertusuk pisau yang menembus tempat tidur gantungnya. Kami menemukannya di pagi hari dengan mata terbelalak lebar. Kata mereka, uang selundupan sejumlah dua puluh ribu Franc, telah dirampok. 

Narapidana lainnya, seorang akuntan, menjadi gila. Ia mulai berteriak-teriak. Para penjaga menyemprotnya dengan air selang dan meninggalkannya menggigil sendirian. Ia jatuh sakit, tidak mau makan dan minum. Tetapi mereka tetap membiarkannya di dalam kandang. Ia meninggal di pagi hari saat kami tiba di sana.

Aku tidak akan melupakan peristiwa itu. Delapan belas hari kami habiskan di atas laut. Tidak ada apa-apa di luar sana kecuali laut yang suram. Lalu, kapal sampai di tepian. Atmosfer terasa berubah saat kami menuju kota St. Laurent. 

Bukannya angin laut yang dingin yang kami hirup, melainkan sesuatu yang lebih berat dan membawa penyakit. Angin yang mengisap seluruh kekuatan dari tubuh Angin yang penuh dengan wabah penyakit. Kami segera sadar, kami tiba di neraka.

Sambil berdesak-desakan, aku mencoba melihat ke luar kandang. Sungainya sangat lebar, dan aku dapat melihat tepiannya berjarak kira-kira setengah mil. Hutannya terlihat seperti sebongkah batu emerald, dan takkan ada yang percaya betapa lebatnya hutan itu.

"Aku tidak suka membayangkan ular dan serangga jenis apa yang berkeliaran di dalamnya," kata René.

Banyak burung nuri berbulu merah dan biru yang muncul dari atas pohon dan terbang. Kami melihat seekor elang menukik dari angkasa, kemudian mencengkeram seekor nuri. Semua terjadi tak lebih dari sedetik. Kejadian itu seperti suatu pertanda.

Awak kapal kelihatan mulai sibuk saat kami mendekati St. Laurent. Di sepanjang pelabuhan, tampak kerumunan orang seakan datang untuk menjemput kami. Penjaga toko Cina, tukang rumput, istri, dan anak-anak para penjaga, semua sipir dengan seragam putihnya. Mereka semua menengok ke arah kapal, penasaran melihat siapa yang datang.

Semakin kami mendekat, aku melihat sesuatu yang membuat tubuhku gemetar. Di antara kerumunan itu ada orang-orangan untuk menakuti burung ... kurus kering, buta. Tuhan tolong aku. Mereka seperti mayat hidup dengan pakaian compang-camping itu, seluruh tubuh mereka ditato dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mereka adalah narapidana yang bertahan hidup serta sudah selesai menjalani masa hukuman, dan sekarang mereka menjalani kewajibannya sebagai koloni. Aku membalikkan tubuhku ke René dan menunjuk ke arah mereka. Ia tidak berkata apa-apa, tapi jelas bagiku ia kesulitan menelan air ludahnya.

Mereka menghalau kami keluar dari kapal dan menggiring kami ke penjara yang berada di sisi kanan pelabuhan. Kami berdiri di lapangan utama penjara, di bawah terik matahari yang panas. Ada sebuah alat pemenggal kepala di sudut lapangan. Aku bertanya-tanya dalam hati, berapa kali dalam setahun alat itu melakukan hal yang mengerikan itu.

Kepala penjara sudah menanti kedatangan kami. Ia adalah pria kecil berpakaian serba putih. Kemudian ia naik ke atas podium dan mulai berbicara. 

"Kalian semua bajingan yang tak berharga," katanya, "Dikirim ke mari untuk membayar segala kejahatan yang kalian lakukan. Jika kalian bersikap baik, kalian tidak akan mendapat kesulitan. Sebaliknya, kalau kalian bertingkah, kalian ada dalam kesulitan yang tak pernah kalian bayangkan sebelumnya." 

Ia berhenti dan melihat alat pemenggal kepala.

"Kebanyakan dari kalian di sini pasti sudah memikirkan rencana untuk kabur. Lupakan saja! Kalian akan punya banyak kebebasan di kamp dan di kota. Kalian akan segera tahu bahwa penjaga sebenarnya di sini adalah hutan dan laut."

Begitulah. Kami digiring ke dalam blok penjara dan dimasukkan ke semacam penampungan. Aku berpisah dengan René, dan itu membuat kami berdua sangat, sangat gelisah.

Minggu-minggu pertama sangat mengerikan, tapi aku cepat menyesuaikan diri. Aku tidak bertubuh besar, tapi kuat. Untuk mendapatkan segala sesuatu, aku harus berkelahi. Orang akan kehilangan selimut jika kau tidak mempertahankannya.

Aku tidak tahu mana yang lebih buruk, malam atau siang hari. Di siang hari para tahanan harus menjalani kerja paksa di hutan, membersihkan ranting dan tanaman menjalar untuk membuat jalan atau membuka peternakan. Sangat melelahkan. 

Keringat membuat badan basah kuyup, sementara serangga memakan hidup-hidup. Para penjaga akan memukul atau menendang dengan sepatu mereka yang keras jika napi berhenti sebentar mengatur napas.

Aku juga mendengar cerita orang yang ditembak mati di tempat oleh penjaga. Mereka punya kuasa menentukan hidup atau mati. Tak akan ada yang bertindak jika mereka memutuskan menguburmu hidup-hidup. 

Suatu kelompok kerja paksa lebih memilih gantung diri daripada bekerja di bawah pengawasan penjaga yang mereka sebut "Sang Bencana". Beberapa penjaga memang psikopat. Salah seorang teman di penampunganku bernama Henri Bonville, seorang profesor sejarah, yang dikirim ke tempat ini karena membunuh istrinya. Ia memberitahu aku bahwa Raja Napoleon III-lah yang membangun tempat ini pada tahun 1854.

Ketika seorang bawahannya bertanya padanya, "Siapa yang akan Tuan tempatkan untuk menjaga tahanan itu?"

Napoleon menjawab, "Untuk apa? Penduduk di sana lebih kejam dari mereka!"

Ketika malam tiba ... kami dikurung di penampungan. Ruang yang besar, panjang, dan sangat panas. Aku tidak akan bisa melupakan ketegangan orang-orang itu, tapi perkelahian antargeng itulah yang terburuk. Aku menghindari hal itu, tapi tak satu malam pun terlewati tanpa ada yang terbunuh.

Setelah enam bulan René dan aku sudah mengenali tempat ini dengan baik, saatnya kami memutuskan untuk merencanakan sebuah pelarian. St. Laurent, tempat kami berada adalah tempat yang baik untuk itu. 

Orang dapat datang dan pergi dengan leluasa sepanjang hari jika tidak sedang bekerja, tapi harus kembali ke kamp di malam hari. Kamp yang paling mengerikan ada di dalam hutan. Setiap narapidana yang dikirim ke dalam sana, tidak pernah keluar lagi.

Tahun 1907, informasi yang beredar di kamp mengatakan bahwa Venezuela adalah tempat yang paling baik untuk dituju. Letaknya di dekat pantai, dan mereka tetap mengizinkan orang tinggal sekalipun mereka tahu yang bersangkutan seorang buronan. 

Setidaknya, begitulah kondisinya sampai tahun 1935. Saat itu, angkatan bersenjatanya ingin menggulingkan presiden, jadi mereka membayar seorang buronan untuk membunuh presiden, tapi ia gagal. Jadi, sang presiden memerintahkan untuk memulangkan semua buronan yang ada ke kamp.

Suriname, di dekat French Guiana juga merupakan tempat yang aman, sampai suatu hari seorang buronan membakar sebuah toko yang menolak melayaninya. Sejak saat itu, siapa saja yang berasal dari kamp langsung dipulangkan kembali. 

Begitu juga Brasilia, langsung mengirim buronan kembali begitu tertangkap. Namun Brasilia sangat luas, dan sangat mudah menghilang di sana. Argentina juga aman. Banyak pekerjaan untuk orang semacam kami di Buenos Aires. Hanya saja, perjalanan ke sana sangat mengerikan.

Aku dan René berpikir untuk mencoba pergi ke Venezuela. Jadi, kami mengajak dua bersaudara Marcel dan Dedé Longueville. Mereka penjahat bertubuh besar dan bertato. Bukan teman yang ideal memang, tapi sangat berguna jika kau mendapat gangguan. 

Kami mengumpulkan uang yang kami bawa atau yang kami hasilkan selama di penjara untuk membeli perahu dari nelayan lokal. Seorang narapidana berkebangsaan Prancis bernama Pascal, dan temannya yang masih berumur delapan belas bergabung dengan kami. 

Teman baru lainnya adalah Silvere, mantan pelaut. Ia tidak mengumpulkan uang, tapi ia akan menggunakan kemampuannya berlayar selama perjalanan sebagai gantinya.

Maka di suatu malam di bulan Desember, setelah hampir setahun kami berada di sana, kami berusaha kabur. Kami menyelinap saat jam kerja dan bersembunyi di hutan sampai malam tiba. Sebelum pemeriksaan malam, kami menyelinap ke Sungai Maroni dan naik ke perahu. 

Perahunya dalam kondisi baik dengan bekal dan perlengkapan yang komplet untuk perjalanan. Tahap pertama sangat mudah. Arus sungai cukup kencang, jadi kami tidak begitu jauh lagi dari St. Laurent. 

Kemudian sungai melebar. Semakin kami mendekati Samudra Atlantik, semakin kuat bau asin air laut. Baunya seperti kebebasan, dan aku sudah tak sabar lagi untuk bebas.

Namun, setiba kami di sana, segala sesuatu berubah menjadi buruk, sangat buruk. Muara Atlantik penuh dengan pasir dan kami terjebak di sana. Dedé menjadi panik dan menikam Silvere sampai mati. René dan aku sadar riwayat kami sudah tamat. Kami tak ingin membahas tentang Longueville bersaudara.

Perahu kami tak bisa bergerak, dan kami tahu sebentar lagi para penjaga akan datang mencari kami begitu mereka sadar kami menghilang. Kami sempat berdebat sengit mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya, dan semua sepakat untuk menuju hutan. 

Kami turun dari perahu dan mulai menyeberang menuju tepian dengan air sepinggang. Aku berusaha meraih kotak makanan, tapi ombak besar datang dan menerpaku. Semua makanan hanyut. Dedé ingin membunuh aku di setiap kesempatan, untunglah Marcel bisa menenangkannya.

Hari-hari selanjutnya seperti mimpi buruk. Kami tak dapat menemukan apa pun yang bisa dimakan di hutan, juga terpisah jauh dengan beberapa ekor kepiting di tepi sungai. 

Kami kelaparan. Kemudian Pascal berkata, ia dan temannya akan ke dalam pulau untuk mencari apa saja yang bisa dimakan. Kami menunggu, berharap mereka akan kembali dengan sesuatu yang lezat.

Keesokannya Pascal kembali sendiri. Ia mengaku telah kehilangan temannya, tapi nampaknya hal itu sama sekali tidak mengganggunya. Longueville bersaudara pasti akan membunuhmu jika kau mengecewakan mereka, anehnya kali ini mereka seperti memiliki solidaritas tinggi. Mereka pergi mencari pemuda itu. Pascal terlihat agak ketakutan dan terus mengatakan pada mereka tindakan itu sia-sia saja.

Akhirnya, kami segera tahu mengapa Pascal tidak menginginkan mereka pergi. Longueville belum pergi terlalu jauh saat mereka menemukan mayat. Pemuda itu tewas dan beberapa bagian tubuhnya telah dimakan. 

Orang bodoh pun bisa menduga Pascal telah membunuhnya. Mereka kembali dan membunuh Pascal di tempat. Malam itu kami sangat kelaparan dan akhirnya memasak bagian kecil tubuhnya. Ya, kami merasa bersalah, tapi ia pantas menerimanya. 

Lagipula, jika aku tidak memakannya, aku tidak akan ada di sini dan menceritakan semua ini.

Setelah itu, kami kebingungan. Kami berkeliling-keliling berhari-hari, tidak tahu apa yang harus dilakukan, sampai polisi lokal menangkap kami dan mengirim kami kembali ke kamp.

Selanjutnya aku menjalani dua tahun terburuk dalam hidupku. Keinginan kabur sudah lumrah di sini, kepala tidak akan dipenggal karenanya. Namun bisa berakibat lebih buruk. Mereka menempatkan napi di sel pengasingan. Empat dari lima orang di sana menjadi gila atau mati. 

Pemenggal kepala melakukan tugasnya dengan cepat. Kepala napi dipotong hanya sekejap. Kalau tidak, sel pengasingan membunuh orang perlahan-lahan, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari. Siksaan paling kejam yang bisa di bayangkan.

Bisa jadi, seorang napi akan dikirim ke pulau St. Joseph dan dimasukkan ke dalam blok sel yang sempit. Di situ orang bahkan tak dapat merentangkan tangan. 

Ada tempat tidur lipat dan pintu dengan lubang seukuran besar kepala, hingga orang bisa menengok keluar. Kesunyiannya sangat menyiksa. Tak ada seorang pun yang bisa diajak bicara. Para petugas memakai sepatu dengan alas lembut agar tidak mengeluarkan suara berisik. Hanya makanan saja yang membantu bertahan hidup. Itu saja.

René dan aku dihukum dua tahun. Ada juga yang lima tahun. Hukuman itu pasti akan membunuhmu sama seperti alat pemenggal kepala atau regu penembak. 

Aku menjaga kewarasanku dengan menulis pesan pada narapidana lainnya atau mengusir kelabang yang ada di selku. Aku menghabiskan waktu dengan tidur, memimpikan gadis-gadis, dan negara yang ingin aku kunjungi, dan masa kecilku.

Aku berteman dengan narapidana yang membantu membersihkan blok, dan mungkin merekalah yang menyelamatkan hidupku. Mereka menyelundupkan sebutir kelapa, lima batang rokok setiap harinya. 

Kelapa menjagaku tetap sehat, dan rokok menemaniku melewati hari. René juga mendapatkan hal yang sama, tapi ketahuan. Satu setengah tahun tak ada kelapa, tak ada rokok. Lalu ia terkena demam tinggi dan tak pernah sembuh. Ia meninggal satu bulan sebelum ia bebas.

Aku tidak akan pernah melupakan hari saat aku melangkah keluar dari tempat itu. Setelah dua tahun berada di sel sempit, aku bahkan tak sanggup berdiri di hadapan orang banyak. 

Aku takut ketika mendengar orang-orang berbicara, apalagi ketika mereka berteriak. Dan ruang terbuka yang luas, sangat membingungkan. Namun, aku tetap berkeinginan kabur.

Kali ini aku lebih hati-hati, dan memilih teman pelarian dengan selektif. Setelah satu tahun, aku sudah selesai mengatur rencana pelarian. Kali ini, kami berlima. Kami membayar nelayan lokal, Bisier des Ages, untuk membawa kami ke Brasilia.

Awalnya, segalanya berjalan lancar. Des Ages menemui kami di tempat yang sudah ia janjikan, kami menyerahkan uangnya. dan kami segera berlayar. Des Ages pelaut yang cukup ulung. 

Keesokan paginya kami sudah tiba di Samudra Atlantik. Kelihatannya ia orang baik, pendiam, dan menjaga jarak. la duduk di tempatnya menghisap pipanya. Selanjutnya, di pagi pertama itu, ia memberitahu kami untuk berlayar di dekat pantai, melewati daerah berpasir.

Setelah kami tiba di daerah berpasir, ia menyuruh kami keluar dan mendorong kapal. Jadi, kami turun. Kami terbenam di lumpur sampai selutut. Beberapa waktu kemudian des Ages berhasil menyalakan mesin dan menjalankan perahu beberapa meter ke depan. Kami masih di air, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

la masuk ke dalam kabin, lalu keluar lagi dengan senapan di tangannya. Semua berakhir begitu cepat ... Masih terbayang jelas dalam benakku, ia berdiri di pinggir dek, menghisap pipanya, menjemput kami, tenang, sangat profesional. 

Akhirnya ia menghampiriku. Aku hanya bisa berdiri kaku, seperti kelinci yang terkepung ular. Segalanya seperti bergerak lambat.

Satu-persatu orang di sekelilingku berjatuhan di air, dan ia mengarahkan senapannya tepat di depanku dan menarik pemicunya.

Tidak terjadi apa-apa.

Des Ages agak kesal, dan ia memeriksa pengunci senapan dan mengumpat. Aku berbalik dan menyeberang secepat yang aku bisa menuju hutan yang berada di tepian. Aku mengira sebuah peluru akan menembus kepalaku dalam hitungan detik, tapi sepertinya des Ages kehabisan amunisi. Aku bisa mendengarnya tertawa. Tawa yang mengolok-olok.

"Larilah, bajingan kecil," teriaknya.

"Hutan itu cukup untuk menghabisimu."

Namun, kali ini aku beruntung. Saat berjalan di tepi pantai, aku menemukan rakit yang terbuat dari empat tong plastik yang diikatkan pada sepasang tangga. 

Orang yang telah menggunakannya juga meninggalkan dayung di sampingnya. Aku segera mengetahui mengapa mereka meninggalkannya. Saat mendorongnya ke laut untuk meninggalkan French Guiana, aku langsung dikelilingi hiu. Namun, semuanya sudah telanjur jauh, aku tak mungkin menyerah.

Hiu-hiu itu mengelilingiku, toh akhirnya mereka bosan juga. Waktu malam tiba, aku hampir mencapai perbatasan Brasilia. Ada sebuah perkampungan kecil di tepi pantai. Aku mencuri sedikit makanan dari sana agar dapat bertahan. Keesokannya aku menyelinap masuk ke Brasilia dan pergi ke Bemen, kota besar terdekat.

Dengan keberuntungan, aku tiba di kota tersebut ketika karnaval tahunan sedang diselenggarakan, dan di jalan sedang ada parade kostum. Aku lewat sebagai pengemis, dan tak seorang pun yang memperhatikan diriku. Setelah itu, segalanya menjadi mudah.

Aku mencopet dompet beberapa orang, lalu memesan kamar hotel. Aku mandi dan membeli pakaian, dan segera mencari pekerjaan di kota. Setelah satu tahun, tabunganku cukup untuk membeli tiket kembali Prancis.

Jadi, di sinilah aku. Kembali ke "rumah". Aku bekerja di toko roti di Paris, di dapur, terhindar dari pelanggan. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil di Jalan St. Dennis, dekat pusat kota. 

Aku suka Paris dengan segala kesibukan dan penduduknya, jauh dari rumah lamaku di daerah selatan, sehingga aku tidak akan berjumpa dengan orang yang mengenaliku.

Namun, terkadang aku berpikir bahwa aku tidak bebas sepenuhnya. Aku tidak menikah lagi, aku menjaga jarak dengan orang. Di setiap pojok jalan, aku bertanya-tanya kalau-kalau ada yang mengenaliku dan mengadukan diriku.

Jika aku mendengar suara dari luar apartemenku ketika tidur malam, aku mulai gemetar dan takut akan mendengar ketukan di pintu. Tidak akan ada orang yang datang berkunjung, jadi yang mengetuk pintu pasti polisi. Aku tidak sanggup kembali ke sana lagi. 

Perjalanan di dalam Martinière, penghukuman di sel pengasingan, dan tahun-tahun mengeri kan di hutan French Guiana. Aku sudah di sana selama dua puluh dua tahun.

 

Setelah Pelarian

Antara tahun 1854 dan 1937, lebih dari tujuh puluh ribu narapidana dikirim ke penjara French Guiana. Dari jumlah tersebut, lima puluh ribu di antaranya mencoba untuk kabur, dan satu dari enam orang berhasil. 

Pengiriman narapidana dihentikan tepat sebelum Perang Dunia II meletus. Selama perang, suplai makanan dari Prancis berkurang, sehingga para tahanan di koloni tersebut menderita kelaparan. Setelah perang pemerintah Prancis menutup penjara itu dan membawa kembali para tahanan yang bertahan hidup untuk menjalani sisa masa hukuman mereka di Prancis.

Bisier des Ages diadukan oleh buronan yang gagal ia bunuh, sehingga ia ditahan. Ia dihukum dua puluh tahun penjara.

Di sana, ia masih saja membawa sengsara bagi narapidana lainnya. Ia menjadi tahanan yang dipercaya untuk melacak tahanan yang melarikan diri. 

Beberapa buku pernah menceritakan kehidupan di penjara French Guiana. Mungkin yang paling terkenal adalah Papillon. Ditulis oleh seorang mantan narapidana bernama Henri Charrière dan diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, dibintangi oleh Steve McQueen dan Dustin Hoffman. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES  Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355874/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-setan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700840000) } } [1]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355897" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/pelarian-mussolini-di-puncak-gun-20220701063900.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Komandan Jerman membebaskan Mussolini, sang diktator Italia, dari penjaranya di Apennine. Apakah pesawat yang membawanya terlalu kecil untuk dirinya?" ["section"]=> object(stdClass)#76 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["show"]=> int(1) ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/pelarian-mussolini-di-puncak-gun-20220701063900.jpg" ["title"]=> string(35) "Pelarian Mussolini di Puncak Gunung" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:40:01" ["content"]=> string(22040) "

Intisari Plus - Komandan Jerman membebaskan Mussolini, sang diktator Italia, dari penjaranya di Apennine. Apakah pesawat yang membawanya terlalu kecil untuk dirinya?

---------------

Diktator Nazi, Adolf Hitler, duduk di ruang rapat di markas rahasianya yang disebut "Sarang Serigala" di Rastenburg, tersembunyi jauh di dalam hutan Prusia Timur. Pemimpin Jerman itu sangat geram. Dia baru mendengar kabar bahwa teman dan sekutunya, Benito Mussolini, seorang diktator Italia yang kejam selama dua puluh tahun ini, baru saja digulingkan dan ditangkap pengikutnya sendiri.

Kabar yang baru diterimanya itu memang kurang lengkap, tapi cukup dalam untuk memperingatkan Hitler dan sekutu Nazi-nya. Mussolini sangat terkenal di Italia, hingga membawa pasukannya bertempur dalam Perang Dunia II berdampingan dengan Nazi Jerman. 

Diktator Italia itu ingin menaklukkan daerah baru untuk membangun Kerajaan Italia baru yang diharapkannya dapat menandingi kemegahan Kerajaan Romawi dua ribu tahun yang lalu. Namun, hal itu tidak dapat terwujud. Rakyat Italia tidak ingin peperangan, dan banyak prajurit Italia menolak untuk berperang.

Sejak awal perang meletus, segala sesuatu tidak berjalan baik di Italia. Koloni Italia sebelum perang—Afrika—mengalami kekalahan. Pasukan Italia yang dikirim untuk membantu Jerman menginvasi Rusia, menderita luar biasa. Lalu, di musim panas tahun 1943, Inggris, Amerika, dan sekutu lainnya menginvasi Italia selatan dan memperluas kekuasaan mereka mencapai Roma.

Pada 25 Juli 1943, Mussolini diundang menemui raja Italia, Victor Emmanuel III. Sang raja memberitahunya bahwa karena Italia kalah perang, Mussolini menjadi "orang yang paling dibenci di seluruh Italia". Marshall Pietro Mussolini diangkat menjadi kepala negara bagian di tempat ia tinggal. Kemudian Mussolini ditahan dan dimasukkan ke dalam ambulans, dan dibawa ke tempat rahasia.

Hitler tidak hanya mengkhawatirkan temannya. Ia prihatin jika Mussolini tidak lagi menguasai Italia. Mereka mungkin akan berdamai dengan musuh Jerman, atau lebih buruk lagi, memihak lawan. Ratusan dari ribuan tentara Jerman di negara itu harus menguasai Italia sebagai musuhnya, bukan sekutu, tetapi hal tersebut sama sekali tidak membantu Jerman.

Pemimpin Nazi itu sadar, masalah tersebut hanya dapat diselesaikan dengan menemukan Mussolini dan membantunya meloloskan diri. Begitu ia bebas, Jerman bisa menggunakan tentaranya untuk menyatakan dirinya sebagai pemimpin Italia.

Namun, Italia yakin Jerman akan memikirkan segala cara untuk membebaskan Mussolini, jadi mereka menyembunyikannya dengan sangat hati-hati. Yang diperlukan Hitler adalah misi penyelamatan yang nekad. Ia mengumpulkan para ajudannya dan membagikan apa yang ada di benaknya. Siapa yang akan mereka tunjuk untuk melaksanakan misi tersebut?

"Führer," kata sang ajudan, "Aku tahu siapa yang cocok untuk tugas itu."

*

Maka, pagi itu 26 Juli, SS Sturmbannführer Otto Skorzeny berdiri dengan gugupnya di luar kantor "Sarang Serigala". Skorzeny pernah melihat pemimpin Jerman itu sebelumnya, tapi hanya dari kejauhan, di sebuah parade akbar militer. Sekarang ia akan bertemu muka dengannya.

Hal pertama yang menjadi pusat perhatian orang ketika melihat Skorzeny adalah tubuhnya yang besar. Dengan tubuh yang sangat tinggi dan kekar seperti seekor banteng, sosoknya sangat mengesankan. 

Hal kedua yang jadi titik perhatian adalah bekas luka di pipi kirinya. Luka itu didapatnya saat ia masih menjadi mahasiswa di Viena. Pada 1920-an, berduel adalah hal yang populer di kalangan mahasiswa perguruan tinggi. 

Skorzeny turut ambil bagian dalam 15 duel. Walaupun Nazi melarang kegiatan tersebut, ia tetap memegang teguh filosofi Nazi Hitler sejak 1920-an.

Skorzeny terpilih dari antrean panjang pasukan militer, dan memiliki bakat menjadi seorang pemimpin yang nekad. Sepertinya ia kecanduan bahaya. Ketika Nazi akhirnya berkuasa dan melarang kegiatan duel, ia pindah haluan ke balap motor. 

Pada waktu Perang Dunia II meletus, ia bergabung dengan SS (cabang militer Jerman yang terdiri dari pasukan elite Nazi). Ia bertempur dengan penuh keberanian bersama divisi Totenkopf (Death's Head) di Yugoslavia dan Rusia. 

Namun, ia dijangkiti penyakit dan diperintahkan untuk kembali ke Jerman, dan ia selanjutnya diberi tugas membentuk satu unit pasukan komando SS (unit khusus yang akan melaksanakan misi yang berbahaya dan berisiko tinggi). 

Skorzeny telah memperkenalkan pusat pelatihan komando miliknya sendiri, dan kini ia diberi kesempatan untuk membuktikan apa yang dapat dilakukan anak buahnya.

Hitler memberi salam Skorzeny dengan formalitas tinggi, dan memberitahukannya berita tertangkap serta hilangnya Mussolini.

Pemimpin Nazi itu menggarisbawahi kekhawatirannya tentang kemungkinan Italia akan menyerah. Ia memerintahkan Skorzeny segera terbang ke Italia untuk menyelamatkan temannya. Kode rencana itu adalah Operation Eiche (Operasi Pohon Ek). 

Tak ada risiko yang tak dapat ditangani. Begitu Mussolini bebas, Italia dan Jerman dapat segera bekerjasama dalam perang.

Pertemuan pun selesai. Skorzeny membungkuk penuh rasa hormat dan memberi salam Nazi, lalu diantar keluar. Ia meyakinkan Hitler bahwa ia mampu membebaskan Mussolini, atau tewas dalam misi. 

Sambil berjalan keluar, ia sadar bahwa dirinya akan melaksanakan misi yang akan mengubah nasib seluruh bangsa. Pikirannya bekerja cepat memikirkan cara mewujudkan misi yang kelihatannya tidak mungkin dilaksanakan. 

Jika ia tahu lokasi Mussolini berada, ia bisa segera menyusun rencana pelarian. Namun, untuk sementara ini ia harus menahan dirinya, sampai berita mengenai pemimpin Italia yang digulingkan itu sampai ke telinganya.

*

Penantian dimulai. Mata-mata Jerman menyusup ke mana saja mereka bisa. Diam-diam, teknisi radio Jerman menyadap segala kegiatan komunikasi untuk mendapatkan informasi. Situasi saat itu sangat sulit. 

Bagi kebanyakan rakyat Italia, khususnya mereka yang kehilangan ayah atau anak laki-laki, Mussolini memang orang yang paling dibenci di seluruh Italia, tapi masih banyak orang Italia, khususnya di kalangan militer yang masih mendukungnya. 

Suasana pengadilan naik turun. Pertama-tama, Mussolini dibawa ke kepulauan Ponza, dekat Roma. Lalu, ia dipindahkan ke sebuah markas Angkatan Laut Italia di La Maddalena, sebuah pulau di kepulauan Sardinia. 

Di sana, Skorzeny merencanakan melakukan penyelamatan berbahaya dengan perahu motor berkecepatan tinggi, tapi sebelum ia sempat melaksanakannya, Mussolini sudah dipindah lagi. Butuh beberapa minggu lamanya untuk mendapatkan petunjuk baru yang menginformasikan lokasi Mussolini.

Sementara itu, ada peristiwa baru terjadi di Italia. Pada 8 September 1943, pemerintahan Badolio memerintahkan semua pasukan untuk berhenti melawan Inggris dan Amerika, dan Italia berhenti berperang. 

Pasukan Jerman di Italia segera menduduki basis utama militer dan melucuti pasukan Italia sebisa mereka, dan berusaha mencapai Roma. Namun, masih ada kemungkinan Italia berbalik melawan mantan sekutunya itu.

Skorzeny diuntungkan dengan semua kejadian tersebut. la segera mengetahui bahwa Mussolini ditahan oleh seorang Jenderal Italia bernama Gueli. Ketika pesan rahasia Gueli berhasil disadap, mereka mendapatkan lokasi Mussolini disekap, dan Skorzeny segera beraksi.

*

Mussolini telah diterbangkan ke sebuah tempat peristirahatan musim dingin, yaitu sebuah hotel bernama Albergo-Rifugio, dekat Gran Sasso yang merupakan puncak tertinggi gunung Apennine. 

Di sana, seratus tiga puluh kilometer dari Roma, ia dijaga ketat oleh dua ratus lima puluh pasukan Italia. Lokasi tersebut merupakan pilihan yang paling tepat, karena terpencil dan akses ke dunia luar hanya melalui kereta gantung.

Skorzeny menimbang-nimbang pilihannya. Mustahil menyerang dari bawah, terlalu berbahaya mengirim pasukan parasut karena akan terbawa arus angin dan hancur berkeping-keping terhantam tebing gunung. 

Satu-satunya pilihan yang ada adalah pesawat layang. Pesawat layang pun juga sangat berbahaya. Pesawat layang memang barang yang licin, tapi tidak akan mengeluarkan suara apa pun. Semakin dipikirkan, sepertinya ide tersebut semakin bagus. Bahkan, pesawat layang adalah alat yang sempurna. 

Mereka akan mendarat diam-diam di hotel sebelah, dan anak buahnya dapat bergegas mencari Mussolini sebelum pasukan Italia sadar apa yang sedang terjadi. Setidaknya, begitulah harapannya.

Tanggal 10 September, Skorzeny naik pesawat dan terbang di atas hotel, memotret titik-titik di mana ia akan mendaratkan pesawat layangnya, dan rencana pun segera dilaksanakan. 

Tanggal 12 September dipilih sebagai hari penyerangan, dibantu seorang Jendral Italia bernama Soleti, pendukung setia Mussolini. Skorzeny menyuruh Soleti memerintahkan pasukan Italia untuk tidak menembak mereka.

*

Jadi, pada serangan pagi tersebut, pasukan komando SS milik Skorzeny bersama sejumlah tentara parasut Luftwaffe, berkumpul di landasan markas Angkatan Udara Practica di Mare, Roma. 

Mereka berdiri menunggu pesawat layang mereka dipersiapkan sambil makan sebanyak-banyaknya, siapa tahu itu adalah makanan terakhir yang mereka makan.

Namun, sebelum mereka terbang dengan pesawat layang tersebut, pesawat Amerika terbang di atas mereka dan menjatuhkan bom di landasan. Para prajurit terkejut. Walaupun tak ada yang terluka, ada beberapa lubang bom di landasan.

Setelah inspeksi singkat, Skorzeny tetap memutuskan bahwa pesawat layangnya masih bisa lepas landas dalam kondisi tersebut, dan penyerangan tetap dilaksanakan sesuai rencana. 

Semuanya ada dua belas pesawat layang yang diterbangkan anak buah Skorzeny, lengkap dengan para pembom. Tetapi, pada pukul setengah satu siang, saat mereka mulai lepas landas satu persatu, kejadian buruk menimpa mereka. Dua pesawat menabrak lubang dan jatuh saat akan lepas landas, termasuk pesawat yang tadinya diperintahkan Skorzeny untuk memimpin penyerangan tersebut. 

Sekarang harus ia sendiri yang memimpin. Di pesawat layangnya yang sempit, ia berdesakan dengan perlengkapannya sendiri, bahkan tak dapat bergerak dan tak dapat melihat arah ke mana mereka terbang. Maka, dengan bayonet ia membuat lubang di sayap pesawatnya yang terbuat dari kain kanvas tipis, untuk memperluas pandangannya.

Dalam perjalanan, dua pesawat layang lainnya terpisah dari rombongan dan hilang di balik awan. Sekarang hanya ada mereka berdelapan. Satu jam kemudian, pesawat hampir mendekati targetnya, maka mereka melepaskan para pembom yang segera membelok supaya suara mesin mereka tidak terdengar oleh pasukan Italia di bawah sana. 

Pesawat layang mendarat tanpa suara di hotel bagaikan burung asing yang menakutkan. Namun, saat mereka semakin dekat dengan tempat pendaratan yang telah ditentukan Skorzeny, ia baru sadar ternyata tempat tersebut lebih sempit dan lebih berbahaya daripada yang ia duga sebelumnya. Tempat tersebut dipenuhi batu-batu, sangat landai dan curam sampai ke jurang yang dalam.

Sudah terlambat untuk mundur. Skorzeny telah berjanji pada Hitler akan membebaskan Mussolini, apa pun risikonya. Dengan kasar ia memerintahkan pilotnya untuk mendarat, kemudian pesawatnya menabrak padang rumput berbatu. Ia bernasib sial. Sehabis pendaratan yang penuh guncangan, pesawatnya berhenti kira-kira delapan belas meter dari hotel.

Berharap tidak diadang oleh rentetan tembakan senapan, Skorzeny dan anak buahnya segera keluar dari pesawat layang dan menuju pintu masuk hotel. Herannya, tak satu pun peluru yang ditembakkan. 

Mungkinkah pasukan Italia telah diringkus? Atau mungkin Jenderal Soleti yang telah berkomplot dengan Skorzeny telah memerintahkan pasukan untuk tidak menembak serta membujuk mereka untuk tidak menjaga hotel?

Di dalam hotel, Skorzeny melihat dua orang perwira Italia sedang mengoperasikan radio komunikasi. Ia menendang radio itu, membantingnya hingga hancur berkeping-keping, kemudian lari menuju tangga utama hotel. 

Di lantai pertama, ia beruntung langsung melihat Mussolini di kamar pertama yang ia masuki. Dua orang perwira Italia yang menjaganya langsung dilumpuhkan. Kini pemimpin Italia itu ada di tangannya la segera memerintahkan pasukan Italia agar menyerah.

Situasi sempat hening beberapa saat, tapi akhirnya perwira tinggi Italia menerima kekalahan itu. Sepotong kain putih digantung di jendela hotel, dan seorang kolonel Italia memberikan segelas anggur merah. 

Herannya, tak satu pun peluru yang ditembakkan selama penyerangan yang berlangsung kira-kira empat menit itu. Malah, saat pasukan Italia menyerah, pesawat layang terakhir mendarat di luar hotel. Satu-satunya satunya pasukan yang terluka hanyalah pasukan pesawat layang Jerman yang gagal lepas landas tadi.

*

Sejauh ini segalanya berjalan mulus. Mussolini kini berada di tangan Jerman, Skorzeny masih harus membawanya pergi jauh sebelum alarm berbunyi dan pasukan Italia tambahan datang untuk menghentikan segala usaha mereka. 

Hal itu sama berbahayanya dengan penyerangan awal. Tadinya ia berniat membawa pemimpin Italia itu dengan kereta gantung yang ada di samping hotel, tapi sekarang cara terbaik untuk itu adalah terbang. 

Di atas sana, sudah ada pesawat mata-mata yang digunakan untuk tugas memata-matai misi ini. Pesawat dengan dua tempat duduk ini bisa lepas landas dan mendarat di lahan yang sempit. Pesawat inilah yang bisa membawa Mussolini keluar dari Italia.

Skorzeny menyuruh pilot membawa pesawat itu turun. Anak buahnya segera membersihkan padang rumput dari batu batu dan potongan-potongan pesawat layang yang hancur, supaya tempat mendarat pesawat tersebut lebih aman. 

Pesawat kecil itu mendekat lalu mendarat di hadapan mereka. Mussolini masuk dan duduk di samping pilot, sementara Skorzeny menyelinap di belakangnya. 

Sang pilot bersikeras penumpang pesawat tidak boleh lebih dari tiga orang, tapi Skorzeny merasa bertanggungjawab atas Mussolini dan tidak akan melepaskannya dari pandangannya sampai mereka berdua kembali dengan aman di Jerman.

Pesawat itu benar-benar kelebihan beban. Sang pilot menyetel mesin pada kondisi kekuatan penuh sekaligus menginjak rem. Anak buah Skorzeny memegangnya dari luar untuk menjaga kestabilan pesawat. 

Lalu, pedal rem diangkat, para prajurit melepaskan pegangannya, dan pesawat kecil itu berguncang mencoba naik. Sebelum sempat benar-benar mengudara, pesawat itu menukik ke pinggir gunung dan terjerembab di lembah. Kondisi di bawah nampak mengkhawatirkan, untunglah sang pilot berpengalaman tinggi. 

Ia berhasil membuat pesawat itu naik, melayang di atas gunung dan terbang menuju Roma.

Kram di kokpit yang sempit, Skorzeny mengalami penerbangan yang tidak nyaman, dan tertekan mendengar suara pemimpin Italia ini mengutuki penangkapnya melawan kebisingan suara mesin pesawat. 

Hanya pada saat roda pesawat ini menyentuh landasan markas Angkatan Udara Jerman di Roma-lah, Skorzeny bisa tenang. Ia telah berjanji pada Hitler untuk membebaskan temannya. Sekarang, di sinilah dirinya, duduk di samping diktator Italia itu, aman di tangan Jerman, dan keduanya masih hidup untuk menceritakan kejadiannya.

 

Selanjutnya

Begitu mereka tiba di Roma, Skorzeny dan Mussolini nak pesawat yang lebih besar menuju Viena, dan melanjutkan perjalanan menuju "Sarang Serigala" di Prusia Timur. Hitler sudah berada di bandara menunggu untuk memberi salam saat mereka tiba nanti. Ia sangat bersemangat bertemu dengan temannya lagi.

Kaburnya Mussolini seperti memperpanjang nasib sial Italia dalam peperangan, dan tidak menghentikan pemerintahan Marshal Badogio untuk berpindah pihak pada tahun 1943. Ironisnya, pelarian itu menentukan nasib Mussolini. 

Ketika mereka bertemu di Prusia Timur, Hitler terkejut dengan penampilan diktator Italia itu. Sepertinya ia telah menyusut dan tidak dapat dikenali lagi. 

Hitler juga kecewa melihat Mussolini kehilangan nafsu atas kekuasaan. Yang diinginkannya hanyalah pulang ke rumahnya di Romagna, bertemu dengan keluarganya lagi, dan pensiun. Tetapi Hitler tidak menginginkan semua itu.

Dengan jumlah pasukan yang besar di Italia, khususnya di utara, Jerman mampu menguasai sebagian besar Italia, dan Mussolini tetap dijadikan sebagai pemimpin di daerah utara. 

Rasa bencinya terhadap Hitler mulai tumbuh, dan selama perang ia tak lebih dari hanya sekadar boneka Jerman. Saat perang berakhir, ia ditangkap pasukan gerilya Italia. 

Pada waktu ia dihadapkan pada regu penembak, ia mendapatkan kembali semangat yang mendorongnya untuk menjadi penguasa selama dua puluh tahun. Ia membuka kancing bajunya dan meminta mereka menembaknya di dada.

Mayatnya dibawa ke Milan dan digantung terbalik di alun alun kota. Hitler bersumpah bahwa ia tidak akan mengalami hal yang sama. Dalam kondisi hampir terkalahkan, ia menembak dirinya sendiri dan meninggalkan pesan agar mayatnya dibakar.

Serangan di Gran Sasso mengantar Skorzeny pada ketenaran. Di Jerman, penyelamatan yang dilakukannya membuat dirinya dianggap sebagai pahlawan, tetapi bagi musuhnya ia dianggap sebagai pria cerdik yang paling kejam di Jerman. 

Skorzeny memimpin misi berbahaya lainnya sebelum perang berakhir, termasuk di bagian utara Eropa di mana pasukan Jerman yang berbahasa Inggris memakai seragam Amerika, lalu mengendarai tank dan jip membuat garis depan tentara Sekutu panik dan kocar kacir.

Setelah perang, Skorzeny menyewakan bakat khususnya pada tentara yang jahat. Sama seperti mantan anggota Nazi, ia pergi ke Amerika Selatan dan ia membantu polisi Argentina menjadi pasukan paling brutal di seluruh Amerika Selatan. 

Ia juga disebut-sebut terlibat dalam gerakan organisasi Odessa yang menyelundupkan kriminalis mantan anggota Nazi ke Amerika Selatan, agar mereka tidak dihukum atas kejahatan yang mereka lakukan.

Kemudian ia menetap di Spanyol, yang pada saat itu merupakan salah satu negara yang bersimpati pada mantan anggota Nazi. Di sana ia menjadi konsultan mesin yang sukses. Ia meninggal pada 1975, setelah mengalami penyakit menyiksa yang berkepanjangan. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(80) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355897/pelarian-mussolini-di-puncak-gunung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700801000) } } }