array(1) { [0]=> object(stdClass)#49 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517242" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#50 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/bob-si-koboi-ternyata-perempuan_-20221009071606.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#51 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(133) "Peggy Jo Tallas dikenal sebagai sering mengenakan pakaian koboi dan merampok bank. Polisi pun sempat dibuat bingung oleh kelakuannya." ["section"]=> object(stdClass)#52 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/bob-si-koboi-ternyata-perempuan_-20221009071606.jpg" ["title"]=> string(31) "Bob si Koboi Ternyata Perempuan" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 19:16:43" ["content"]=> string(32595) "
Intisari Plus - Peggy Jo Tallas dikenal sebagai sering mengenakan pakaian koboi dan merampok bank. Polisi pun sempat dibuat bingung oleh kelakuannya.
-------------------
Peggy Jo Tallas (46) memang wanita Texas yang baik hati. Sebagian besar masa dewasanya ia habiskan bersama ibunya yang sakit-sakitan, di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota Dallas, Amerika Serikat. Setiap pagi, usai bangun dan merapikan tempat tidur, ia masuk ke kamar tidur ibunya, membetulkan selimutnya, membimbingnya ke meja makan, membuatkannya sereal, dan menyiapkan obat-obatan buat ibunya.
Keduanya sering duduk di meja makan sambil ngobrol. Peggy baru makan setelah hari agak siang. la merokok dulu ditemani secangkir kopi. Setelah ibunya selesai makan, Peggy Jo menuntunnya masuk ke kamar, menyiapkan segelas air putih dan novel roman di meja samping, sebelum kembali ke kamarnya sendiri untuk berdandan.
Biasanya, ia suka mengenakan celana panjang warna khaki, blus dengan potongan simpel, dan sepatu tanpa tali. Tapi pada suatu pagi yang indah di bulan Mei 1991, Peggy Jo tampil beda. Kali itu ia memilih mengenakan celana panjang dan kemeja pria berwarna gelap, dilapisi jaket kulit warna cokelat. Biar kelihatan lebih berisi, tubuhnya diganjal dengan handuk. Habis itu ia memakai sepatu bot, meski agak kebesaran buat kakinya.
Ia mengambil topeng berbentuk kepala dari styrofoam yang sudah dipasangi janggut palsu dan topi koboi berwarna putih. Di kamar mandi, ia mengecat rambutnya dengan warna abu-abu. Tak lupa ia memakai kacamata hitam dan sarung tangan. Di secarik kertas, ia menuliskan sesuatu sebelum dikantongi.
“Sebentar ya, Ma,” kata Peggy Jo saat melewati pintu kamar ibunya. la pergi meninggalkan rumah dengan Pontiac Grand Prix dua pintu buatan 1975, menuju ke American Federal Bank (AFB).
“Siang, Pak,” sapa kasir bank dengan ramah. “Ada yang bisa dibantu?”
Peggy Jo mengambil kertas dari kantong bajunya. “Ini perampokan,” bunyi tulisan di kertas itu. “Serahkan semua uang. Jangan ada yang diberi tanda, apalagi bom tinta.”
Setelah segepok uang disodorkan, Peggy Jo mengangguk sambil memasukkan uang itu ke dalam tasnya dan ngeloyor pergi, kembali ke apartemen. Ibunya masih terbaring di ranjang, menunggu Peggy menyiapkan makan siang untuknya.
Beraksi lagi
Dalam buku-buku kriminal, pelaku kejahatan selalu berlatar belakang tingkat sosio-ekonomi rendah. Kebanyakan orang muda pecandu narkoba. Saat masuk ke bank, jari-jari mereka tegang, kepala geleng kiri-kanan mencari satpam. Mereka juga berteriak-teriak mengancam sambil mengacung-acungkan senjata api. Begitu uang didapat, mereka menghambur keluar begitu rupa sampai menabraki orang-orang di jalan.
Tapi gaya Peggy Jo Tallas beda. Menurut Michelle, kemenakannya, “Tiap kali saya ikut mobilnya, Bibi Peggy tak pernah melarikan mobilnya melebihi batas kecepatan maksimum. Dia juga tak pernah menerobos lampu merah.”
Peggy tak cuma merampok satu bank. Sejak menyatroni AFB, Mei 1991, ia merampok banyak bank yang lain. Selain selalu bekerja sendiri, Peggy juga pandai menyamar, sebagai laki-laki. Begitu sempurna sampai penegak hukum tidak menyadari kalau buron mereka itu wanita.
Satu lagi, Peggy bertekad tak mau melukai siapa pun. Makanya ia tak pernah bersenjata apa pun saat merampok. “Ia paham bagaimana masuk dan keluar bank dalam 60 detik. Sangat terampil dan efisien, sama hebatnya dengan perampok pria yang pernah saya temui,” kata Steve Powell, mantan agen FBI yang banyak menangani kasus perampokan bank di Dallas awal 1990-an.
Di AS, perampok bank wanita bukannya tak pernah ada. Namun, kebanyakan wanita muda. Seperti halnya perampok pria, mereka melakukannya untuk membeli narkoba.
Ketika akhirnya Powell bersama tim agen FBI-nya berhasil menangkap Peggy Jo di dekat apartemennya tahun 1992, mereka tak pernah menduga akan berurusan lagi dengan wanita itu. Perampok yang satu ini memang aneh. Ia tidak miskin, juga bukan pecandu narkoba ataupun alkohol. Dengan menyesal, Peggy Jo mengaku bersalah. Ia diganjar hukuman penjara selama tiga tahun.
Pada bulan Mei 2005, terbetik berita sebuah bank kecil Texas Timur disatroni wanita perampok berusia 60 tahun yang berpakaian serba hitam, topi lebar hitam, dan kacamata hitam. la begitu sopan dan tidak menggunakan senjata api saat berhadapan dengan kasir. Setelah menaruh uang hasil rampokan ke dalam tasnya yang juga berwarna hitam, ia mengangguk sambil mengucapkan “terima kasih”, lalu keluar menuju ke mobilnya, Frontier RV (semacam mobil rumah).
Setelah sekian tahun lamanya, Peggy Jo kembali beraksi.
Cantik dan liar
Jika ingin mengenal Peggy Jo, kita mesti kembali ke Dallas di akhir 1950-an, saat ia masih berusia belasan tahun. “Senyumnya manis dan tulus sehingga bikin orang ingin membalas senyumnya,” kata Karen Jones, teman akrab di masa kecilnya.
Peggy Jo anak bungsu dari tiga bersaudara. Saat ia berumur empat tahun, ayahnya meninggal karena kanker, lalu ibunya, Helen, bekerja sebagai pembantu perawat untuk menopang hidup keluarganya. Mereka tinggal di rumah kontrakan berukuran kecil di Grand Prairie, pinggiran kota. Nancy, saudara perempuan Peggy, seorang mayoret di SMU dan Pete, kakak laki-lakinya, pemain basket pada tim tingkat kabupaten. Peggy Jo sendiri drop out ketika kelas 1 SMU. “Banyak hal dapat dikerjakan dalam hidup daripada menghabiskan banyak waktu di sekolah,” ungkap Karen menirukan ucapan Peggy Jo.
Sewaktu berusia 20 tahun, Peggy Jo sudah punya apartemen sendiri di Dallas Utara. la bekerja sebagai resepsionis di Hotel Marriot. Bersama Cherry Young, juga resepsionis di hotel itu, ia keluar hampir tiap malam. Peggy Jo selalu naik Fiat kecilnya. la suka menginjak gasnya kuat-kuat, lalu menyalip mobil-mobil lain dari satu lampu merah ke lampu merah lain. Mereka gemar mengunjungi kelab malam atau main biliar di Dallas. Juga sering menonton pertunjukan musik atau film. Film favoritnya Butch Cassidy and The Sundance Kid sudah berkali-kali dia tonton. Dibintangi Paul Newman dan Robert Redford, film itu berkisah tentang dua perampok bank dan kereta api, yang mirip Robin Hood, yang akhirnya tewas dihujani timah panas.
Kata Cherry, Peggy Jo tidak punya rencana segera untuk menikah dan punya anak. la juga tak peduli dengan karier maupun uang. Yang ia inginkan hanyalah bisa bertahan hidup, dapat membayar tagihan rekening, dan punya sisa sedikit uang untuk belanja minuman dan makanan setiap minggunya. “Ia bilang punya sedikit tabungan agar kelak bisa pergi ke Meksiko, tinggal di rumah penduduk di kawasan pantai dan mengenakan baju renang siang-malam,” kata Cherry. “Ia cantik dan liar.”
Seberapa liar? Suatu petang, saat Peggy Jo dan Cherry berkeliling naik Fiat, mereka menyalip sebuah mobil lapis baja pengangkut uang. Peggy Jo saat itu berkomentar, “Eh, aku bisa merampok mobil itu dan tak perlu takut apa-apa.”
“Kau butuh senjata api,” kata Cherry.
“Oh, aku lebih cerdas dari itu,” jawab Peggy.
Ucapannya memang tidak pernah jadi kenyataan. Tapi Peggy memang pemberani. Suatu malam ketika ketahuan ngebut, Peggy merobek surat tilang di depan polisi yang menangkapnya. Pernah suatu malam Peggy dan Cherry bertengkar di sebuah restoran di Fort Worth. Untuk mendinginkan suasana, Cherry pindah ke bar lain. Beberapa saat kemudian, Peggy Jo keluar meninggalkan restoran itu, lantas melarikan sebuah mobil pikap yang tak terkunci pintunya.
Polisi berhasil menangkapnya dan ia diganjar hukuman percobaan lima tahun.
Hidup mulai hambar
Rasa kecewa dalam hidup bukannya tak pernah singgah di hatinya. Pertengahan 1970-an ia dikecewakan oleh kekasihnya yang menikah dengan wanita lain. Tak lama kemudian, Peggy Jo pindah ke sebuah apartemen di Irving dan tinggal bersama ibunya yang sedang berjuang melawan penyakit tulang keroposnya. la mendapat pekerjaan baru di pabrik komputer dekat kantor.
“Sekali-kali kami jalan bareng,” kata Cherry yang saat itu bekerja sebagai pelayan kafe.
Menjelang tahun 1980, Cherry menikah dan pindah ke Oklahoma. Karen, teman masa kecilnya, juga sudah menikah. Peggy Jo yang atraktif dan bertubuh langsing tentu punya banyak kesempatan untuk membangun hubungan baru, tapi tampaknya ia justru menjaga jarak dengan laki-laki. “Mungkin hatinya sudah terluka, dan memutuskan untuk hidup sendiri,” kata Karen.
Waktu terus berlalu, tiba-tiba sudah memasuki tahun 1984. Saat itu Peggy Jo berusia 40 tahun. Ia punya pekerjaan lain di bidang jasa kurir, sehingga menyetir mobil van merambah jalan raya Dallas menjadi makanannya sehari-hari. Ia pindah bersama ibunya ke apartemen baru di pinggiran Kota Dallas yang lain, kali ini lebih dekat dengan tempat tinggal Michelle dan keluarganya.
Dalam beberapa tahun berikutnya, ia sendiri menderita gangguan kesehatan. Punggungnya cedera. Ia mesti menjalani mastektomi yang membuatnya harus terbaring beberapa minggu lamanya. Peggy juga mulai mengonsumsi obat penenang gara-gara penghasilannya dan tunjangan sosial buat ibunya tidak cukup, terutama untuk membiayai pengobatan ibunya yang melonjak naik. Tapi, “Peggy enggan minta bantuan. Ia suka menolong, tapi ia sendiri tidak ingin ditolong.”
Dikira pacar perampok
Sebagai perampok yang baru pertama kali beraksi, mestinya Peggy Jo diliputi rasa takut saat masuk ke AFB tahun 1991 itu. Memang tidak sedramatis seperti perampokan di zaman dulu, yang pakai menjebol dinding atau meledakkan ruang besi segala. Peggy hanya menyodorkan secarik kertas berisi perintah tertulis. Tindakan Peggy di tengah keramaian itu terhitung berani. Tidak saja disaksikan oleh karyawan dan nasabah bank, tapi juga terekam oleh kamera pengaman.
Hebatnya lagi, Peggy Jo tidak melakukan kesalahan mendasar sedikit pun seperti kerap dilakukan perampok pemula. Kepalanya menunduk sehingga kamera sekuriti tak dapat merekam wajahnya dengan baik. Ia tidak gelisah saat kasir bank membaca pesan tertulisnya. Begitu menerima uang, ia keluar dengan tenang. Mobilnya pun dia jalankan seperti tak terjadi apa-apa. Lampu merah juga tidak ia terobos. Pendeknya Peggy Jo berusaha seminimal mungkin menarik perhatian orang.
Nyatanya, setelah agen FBI Steve Powell meminta keterangan pada sejumlah karyawan bank dan mengamati rekaman kamera, ia tak ragu kalau sedang berhadapan dengan perampok bank profesional. Powell akhirnya memperhatikan topi koboi yang dikenakan perampok terbalik dan ia juga menduga janggutnya palsu. Meski demikian, ia tak pernah mengira kalau perampok itu sebenarnya wanita.
Desember 1991 Peggy Jo dengan kostum yang sama berhasil merampok AS $ 1.258 dari Bank Tabungan Amerika yang juga terletak di Irving. Saat itu seorang saksi mata berhasil mencatat pelat nomor mobilnya. Ketika anak buah Powell berhasil melacak pelat nomor itu lalu mendatangi pemiliknya, seorang wanita, yang tinggal tak jauh dari bank. Menurutnya, hari itu ia belum keluar rumah. Wanita itu mengantar petugas memeriksa mobilnya, sebuah Chevrolet merah. Saat itulah ia baru tahu jika pelat nomor mobilnya hilang. Para agen FBI menduga, pelat nomor mobil itu dicuri oleh si perampok untuk mengecoh polisi.
Sebulan kemudian Peggy Jo beraksi lagi. Kali ini sasarannya Texas Heritage Bank di Garland, dan hasilnya AS $ 3.000. Mei 1992, ia menggasak AS $ 5.137 dari Nations Bank di Mesquite. Dalam perampokan itu ia mengembalikan secara baik-baik segepok uang yang sudah disisipi bom tinta. Beberapa detik setelah perampok melewati mata elektronik yang dipasang di pintu keluar bank, bom itu akan meletus, lalu tintanya menodai uang hasil rampokan, bahkan kadang mengotori si perampok itu sendiri.
Saat itu Powell menjuluki perampok itu Bob si Koboi. September 1992, Bob si Koboi merampok First Gibraltar Bank di Mesquite sebanyak AS $ 1.772. Sepasukan polisi mengejarnya dengan sirene meraung-raung, dan 10 menit kemudian diikuti sejumlah kendaraan berisi agen FBI. Mereka melacak pelat nomor mobil si perampok, yang ternyata milik seorang warga Mesquite.
Namun, ketika sedang melakukan penyelidikan di First Gibraltar, mereka menerima berita kalau First Interstate Bank, 1 mil jauhnya, dirampok oleh laki-laki berjanggut dengan topi koboi, jaket kulit, dan sarung tangan. Ia berhasil menggondol AS $ 13.706. “Dia lagi. Sialan!” teriak Powell sembari meloncat ke mobilnya menuju ke bank itu.
Kali ini pelat nomor kendaraan yang dipasang di mobil Pontiac milik si perampok terlacak sebagai kepunyaan Pete Tallas. Agen FBI menemui Tallas di kantornya, pabrik onderdil mobil Ford di dekat Carrollton. “Saya bilang betul ketika para agen FBI bertanya apakah Pontiac itu mobil saya,” kata saudara laki-laki Peggy Jo ini. “Tapi mobil itu saya berikan kepada ibu dan Peggy Jo setahun lalu karena mereka tak mampu beli mobil.” Kata agen FBI, “Mobil itu dipakai untuk merampok.” Saya bilang, “Masa, mobil itu tidak bisa dibawa lari kencang.”
Kepada FBI Pete lalu memberi alamat apartemen Peggy Jo. Saat tiba di apartemen itu, tampak oleh Powell dan agen lain mobil itu ada di tempat parkir. Ketika sedang berdiskusi soal cara masuk ke apartemen untuk menangkap basah Bob si Koboi, mereka melihat seorang wanita bercelana pendek dan memakai T-shirt berjalan ke arah mobil itu.
Powell memandanginya. “Itu pasti teman wanita Bob si Koboi,” gumamnya kepada agen-agen lain. Mereka sengaja membiarkan wanita itu pergi dengan mobilnya sehingga Bob si Koboi tidak memergoki mereka. Ketika akhirnya mereka menghentikannya di sebuah sudut jalan, Powell memperkenalkan diri, dan wanita itu dengan sopan membalas memperkenalkan dirinya bernama Peggy Jo Tallas. Peggy mengakui mobil itu miliknya dan pagi tadi ia pergi membeli pupuk. Di bagasinya betul ditemukan sekantong pupuk tanaman. Ketika Powell minta izin untuk memeriksa apartemennya, Peggy Jo terdiam sejenak lalu bilang, di apartemen hanya ada ibunya yang sedang sakit.
Ibunya pelan-pelan turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu depan begitu mendengar bel pintu berdering. Setelah membuka pintu, ia berteriak karena tiba-tiba para agen FBI dengan senjata api di tangan merangsek masuk ke dalam. Mereka masuk ke kamar tidur Peggy. Tempat tidurnya rapi, semua pakaiannya juga tergantung rapi di lemari.
Tiba-tiba salah seorang agen berteriak karena menemukan kepala manekin dari styrofoam dengan janggut palsunya, dan juga topi koboi. Ketika melongok ke kolong tempat tidur, dilihatnya sebuah tas penuh berisi uang.
“Sudahlah Peggy, Anda pasti menyembunyikan seseorang,” kata Powell.
Peggy Jo memandanginya. “Tidak ada orang lain lagi di sini.”
Powell terus memperhatikan Peggy Jo. Saat itulah Powell melihat ada bercak-bercak cat abu-abu pada rambut Peggy dan bekas lem di atas bibirnya.
“Sialan!” kata Powell sembari menarik borgolnya. Setelah membacakan hak-haknya, Powell lalu membawa Peggy Jo ke kantor FBI. Beberapa agen lain sudah menunggu di sana.
“Bob si Koboi ternyata wanita,” kata Powell.
Rencana rahasia
Koran-koran pun ramai memberitakan perampok wanita berkostum pria yang menggunakan apartemen ibunya sebagai tempat bersembunyi. Para wartawan mengejar anggota keluarga Peggy Jo, tapi tak mendapat banyak keterangan karena mereka masih dalam keadaan shock. “Kami tidak tahu apa-apa,” kata Michelle. “Ketika kami bertanya pada Helen apa yang dilakukan Bibi Peggy, ia selalu menjawab, “Merampok bank? Peggy merampok bank?”
Sementara itu Powell mencoba mengorek keterangan dari Peggy. Ia ingin tahu bagaimana wanita itu belajar merampok bank. Lalu mengapa ia memutuskan merampok dua bank dalam sehari. Juga kenapa sebelum perampokan yang kedua, ia tidak mencuri pelat nomor kendaraan lain.
Namun, Peggy Jo tidak mengatakan apa-apa kepada Powell. Kepada pengacara yang ditunjuk oleh pengadilan pun Peggy tidak bicara banyak. Tapi pengacara itu menyewa Richard Schmitt, psikolog yang ahli mengevaluasi pelaku kejahatan, untuk mewawancarainya. Dalam persidangan, Peggy Jo mengaku merampok bank untuk membiayai pengobatan ibunya. Tapi tentu, katanya lagi, ia tak bermaksud merampok bank kedua, ketiga, dan seterusnya.
Sampai saat ini, Schmitt sudah mewawancarai hampir 50 perampok bank, yang semuanya laki-laki. Tapi ia belum pernah mewawancarai apa yang dia sebut sebagai “wanita baik-baik berwajah normal” dan menyilangkan kaki saat berbicara dengannya. “Lalu kenapa Anda terus merampok bank?” kata Schmitt. Peggy Jo tak pernah menjawab pertanyaan itu.
Karena melakukan perampokan tanpa senjata api, Peggy Jo dijatuhi hukuman penjara 33 bulan. Seorang penulis kisah sejati sempat menghubungi Peggy di penjara, mengajaknya bekerja sama menulis buku untuk dijual ke Hollywood. Tapi Peggy menolak.
Pada pertengahan 1990-an ia keluar dari penjara dan kembali hidup bersama ibunya. Untuk menghindari tatapan mata para tetangga di kompleks apartemen, mereka pindah ke town house dengan dua kamar tidur di Garland. Ia meluangkan sebagian besar waktu bersama ibunya yang sejak itu tangannya menderita tremor hebat sampai tak sanggup memegang cangkir sendiri. Tiap malam ia memandikan ibunya, lalu membaringkannya di tempat tidur.
Selama beberapa waktu ia bekerja sebagai telemarketer. Belakangan ia bekerja sebagai kasir pada Harbor Bay Marina di Danau Ray Hubbard di luar Kota Dallas. “Ia salah satu karyawan terbaik kami,” kata Suzie Leslie, manajer Marina. “Tak pernah tekor sedikit pun saat ia mendapat giliran sebagai kasir. Ia juga ramah dan ringan tangan pada pelanggan.”
Tahun demi tahun berlalu. Peggy Jo hilang kontak dengan Cherry dan Karen. Nancy, saudara perempuannya, meninggal karena kanker. Desember 2002 ibunya meninggal dalam usia 83 tahun. Ia merasa sangat kehilangan. Di pemakaman, Peggy dan Pete yang sempat tak akur gara-gara ulah Peggy, rukun kembali.
Suara mirip wanita
Pada musim semi 2004, Peggy Jo membeli mobil bekas Frontier RV (semacam mobil rumah) dari seseorang di Marina seharga AS $ 6.400. Uangnya masih kurang AS $ 500, tapi ia berjanji akan melunasinya nanti. Ia bilang pada Suzy, yang kemudian jadi teman baiknya, “Akan mengumpulkan uang agar bisa pergi ke Pulau Padre atau Meksiko dan tinggal di pantai seperti yang selalu ia dambakan.”
Peggy Jo menjual atau membagi-bagikan semua mebel di town house-nya, dan menjual Volvo tuanya. Pot-pot tanaman ditaruh begitu saja di beranda para tetangga, lalu dia pergi begitu saja dengan mobil rumahnya.
Selama beberapa minggu Peggy Jo menetap di tempat parkir umum di dekat Danau Ray Hubbard. Ia sering memancing atau menyusuri pantai danau sambil menyaksikan kawanan burung bangau terbang melintas air. Kadang Michelle datang mengunjunginya di malam hari. Mereka duduk di kursi lipat di samping mobil. “Kadang ia menyetel radio mendengarkan rock’n roll lama,” kata Michelle. “Bibi juga senang menikmati matahari terbenam sebelum masuk ke mobil untuk memasak daging fajita dengan irisan bawang bombai. Ia melakukan segalanya sendiri, dengan caranya sendiri. Bibi sungguh menyukai kebebasan.”
Di akhir musim panas 2004, Peggy Jo meninggalkan pesan telepon buat Carla Dunlap, teman lain Peggy di Marina. “Dalam pesan itu ia menanyakan kabar saya dan bilang akan memulai melakukan perjalanan,” kata Carla. Lalu katanya, “Apa pun yang terjadi padaku, ingatlah aku selalu sayang padamu.”
John, suami Carla, mencoba menyusul dan menemui Peggy di tempat parkir dan hendak memberinya sedikit uang, tapi Peggy sudah menghilang.
Beberapa bulan kemudian, ada yang bilang melihatnya di sekitar Danau Texoma dan Danau Lavon. Yang lain mengatakan melihat dia mengendarai mobil rumahnya di kota-kota di Texas Timur. Yang lain lagi melihat Peggy di Tyler pada Oktober 2004, bersamaan dengan peristiwa perampokan di Guaranty Bank yang terletak di pinggir selatan kota itu. Menurut para kasir, perampoknya seorang lelaki tua berperut buncit dan berkumis tipis; bertopi koboi warna gelap, baju gombrong, dan sarung tangan. Kepada kasir perampok itu berkata, “Serahkan uang, semuanya. Jangan ada yang diberi tanda dan bom tinta.” Setelah menerima uang, ia kabur dengan mobilnya.
Kata salah seorang kasir kepada agen FBI, suara si perampok terdengar seperti suara wanita. Kumisnya pun terlihat seperti dilem dan perutnya tampak seperti diganjal.
Mungkin kalau Steve Powell masih aktif di FBI, ia tahu siapa perampok itu. Sayangnya Powell sudah pensiun.
Namun, para agen FBI yang melakukan penyelidikan malahan tertawa saat dibilang perampoknya seorang perawan tua berumur 60 tahun yang mengendarai mobil rumah dengan gorden jendela warna ungu.
Pihak keluarga Peggy Jo sendiri tentu tidak pernah menaruh curiga kalau Peggy bakal kembali beraksi. Secara berkala sepanjang musim gugur tahun 2004 dan penghujung tahun 2005, Peggy Jo menelepon mereka lewat wartel sekadar kasih kabar tentang dirinya. Suatu petang, Michelle sempat menghampiri Peggy Jo yang sedang belanja di Wal Mart di Garland. Pada 4 Mei 2005 Pete kebetulan sedang berada di Kaufman County, timur Dallas, saat mendengar kabar mobil Peggy Jo tampak diparkir di dekat danau kecil di lahan pertanian milik seorang kerabat.
“Saya temui dia di sana. Kami bertemu sekitar satu jam.” kata Pete. “Setelah itu ia bilang mau bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan dan memulai petualangan. Kami berpelukan, ia tampak bahagia.”
Cuma pistol mainan
Esok paginya, Peggy Jo bangun lalu merapikan tempat tidurnya. Di kapstok baju di dekatnya tampak sejumlah pakaiannya yang lebih bagus: beberapa jins biru, celana panjang warna khaki, dan enam blus. Namun, pagi hari itu ia memilih mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang berwarna hitam. Lalu ia memakai pewarna bibir dan perona pipi. Rambutnya yang sudah beruban itu disisir rapi. Setelah memakai topi dan kacamata hitam yang praktis menutupi setengah bagian wajahnya, Peggy naik ke mobil rumahnya dan meluncur menuju ke Tyler.
la memarkir mobilnya di seberang Guaranty Bank, yang pada Oktober tahun sebelumnya dirampok. Sambil membawa tas hitam, ia masuk lewat pintu depan. Saat melewati lobi terbaca tulisan, “Anda Perlu Sarana Yang Benar Untuk Mewujudkan Mimpi Anda”. Kepada seorang kasir bank ia berkata, “Ini perampokan. Serahkan semua uang. Jangan coba-coba menghidupkan alarm.”
Kasir itu menyerahkan semua uangnya yang ada di laci: AS $ 11.241! Hati Peggy berdetak kencang. Ini jumlah yang besar, seperti hasil perampokan di Mesquite tahun 1992. Yang mesti ia lakukan segera adalah keluar dari bank, membawa mobil ke arah selatan hingga tiba di Meksiko untuk memulai hidup baru di kawasan pantai.
Namun, karena terburu-buru, Peggy membuat kesalahan. Ia lupa memeriksa bom tintanya. Saat ia berjalan melewati pintu keluar, bom itu meletus, menodai uangnya dengan tinta merah. Asap merah mengepul dari tasnya ketika ia menyeberang jalan menuju ke mobilnya.
Kepulan asap itu menarik perhatian. Pasangan muda bernama Chris dan Courtney Smith yang sedang naik mobil meninggalkan Wal Mart juga melihat Peggy Jo. Mereka tidak tahu, orang yang mereka lihat itu laki-laki atau perempuan. “Tapi saya yakin itu si perampok,” kata Courtney, yang sempat menghubungi 911 lewat HP, sementara Chris mengejar dengan mobilnya untuk membuntuti mobil Peggy Jo.
Kebetulan pagi itu sejumlah agen FBI dan petugas polisi Tyler sudah keluar dari markas dengan mobil patroli. Mereka memang sedang memburu perampok bank. Tiga buah bank di wilayah Tyler baru-baru ini disatroni perampok. Pihak berwajib yakin jika dua-tiga orang kulit hitam adalah pelakunya.
Saat radio polisi mengabarkan kasus perampokan di Guaranty Bank, Jeff Millslagle, agen senior yang juga kepala kantor FBI di Tyler, baru saja mulai mewawancarai seorang pemuda kulit hitam yang tertangkap sedang mengendarai mobil curian. Millslagle dan sejumlah agen FBI lantas menuju ke TKP.
Dalam beberapa menit sepasukan petugas dan warga yang penasaran seperti Chris dan Courtney Smith persis berada di belakang mobil Peggy saat ia masuk ke jalan raya. Karena jalanan menanjak, mobil Peggy tak bisa dipacu kencang. Asap knalpotnya sampai mengepul.
Peggy Jo mencoba menginjak gas kuat-kuat, lalu menginjak rem secara tiba-tiba dan membelokkan mobilnya masuk ke kompleks perumahan kelas menengah di pinggir kota. Tapi sebelum ia mencapai ujung jalan, beberapa mobil polisi menyalip laju mobilnya. Polisi dengan rompi antipeluru berlompatan keluar dari mobil sambil menggenggam senjata api, beberapa memegang senapan. Seorang polisi bersembunyi di semak tanaman bunga, seorang yang lain merunduk di balik pohon.
Menit demi menit berjalan. Karena gorden jendela mobil Peggy tertutup rapat, polisi tak bisa mengintip ke dalam. Seorang polisi yang berada dekat mobil rumah itu lalu berteriak, “Keluar dari mobil, sekarang. Anda sudah dikepung.”
Beberapa menit sudah berlalu.
Akhirnya, Peggy Jo masuk ke kamar tidurnya. Pistol Magnum kaliber .357 berisi peluru tersembunyi di balik bantal. Tapi ia tidak menyentuh senjata api itu. Sebaliknya, ia mengambil pistol mainan yang selalu ia simpan di kamar tidur. Ia sengaja membeli pistol mainan itu, siapa tahu nanti dibutuhkan untuk mengancam kasir bank saat merampok.
Peggy Jo berjalan ke pintu dan membukanya. Ia berkacak pinggang. Para polisi yang mengepung mobilnya tidak percaya dengan apa yang mereka lihat: seorang wanita sederhana bertopi lebar dan sepantaran nenek mereka.
“Kalian pasti akan membunuh saya,” kata Peggy Jo.
“Jangan berkata begitu,” kata salah seorang polisi.
“Kalian mau bilang, kalau saya keluar dengan senjata di tangan dan mengarahkannya ke kalian, kalian takkan menembak saya?”
“Tolong, jangan lakukan itu!” teriak polisi yang lain.
Tapi Peggy melangkah keluar, tangannya menggenggam pistol mainan. Nyaris serentak dengan Peggy Jo mengarahkan “pistolnya”, empat polisi menembakkan senjata apinya. Timah-timah panas menghunjam ke tubuhnya nyaris bersamaan. Tubuhnya roboh ke depan, meninggalkan suara berdebum.
Saat tubuhnya menyentuh tanah, ia masih sempat melepas kacamata hitamnya. Sesaat ia menengadahkan kepalanya. Pagi di bulan Mei itu, sinar matahari tampak berkilau. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut. Terdengar pula suara dekut burung merpati. Peggy menatap ke arah dedaunan lebat pohon karet yang sedang berbunga di atasnya. Setelah itu ia menutup mata untuk selama-lamanya.
Setelah bukti-bukti dalam kasus perampokan Guaranty Bank pada Oktober 2004 dipelajari, Millslagle memastikan kalau Peggy Jo pelakunya.
Sekitar 30 anggota keluarga Tallas dan beberapa teman Peggy Jo berkumpul di taman pemakaman Kota Kaufman untuk mengikuti upacara pemakaman. Salah seorang saudara lelaki Michelle membacakan ayat dari Kitab Suci lalu berkata, “Saya yakin, beberapa menit menjelang kematiannya, ketika duduk di dalam mobilnya dan merenungkan nasibnya, Peg sedang berdamai dengan Tuhan.” (Skip Hollansworth)
Baca Juga: Jika Joki Balas Dendam" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517242/bob-si-koboi-ternyata-perempuan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343003000) } } }