array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3167231"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/03/02/thumbnail-intisariplus-sejarah3-20220302032512.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(154) "Dibandingkan dengan kota-kota di pesisir pantai Pulau Jawa yang kawasan Pecinannya mudah dikenali karena terkonsentrasi, tidak demikian halnya di Bandung."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/03/02/thumbnail-intisariplus-sejarah3-20220302032512.jpg"
      ["title"]=>
      string(33) "Jejak Tionghoa di Parijs van Java"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-03-02 15:28:04"
      ["content"]=>
      string(13230) "

Intisari Plus - Selain kawasan Pecinan tersebut sekarang sudah melebur dan bercampur-baur dengan kawasan perdagangan modern, banyak bangunan yang menjadi ciri khas arsitektur Tionghoa sudah mengalami perombakan, meskipun masih ada satu atau dua rumah sisa. 

Bermukimnya warga Tionghoa di Bandung tak lepas dari sejarah pemerintah Hindia Belanda  di Tanah Air.  Pada zaman itu, pemerintah Hindia Belanda membagi wilayah tempat tinggal, warga Belanda mendiami utara Bandung, warga Tionghoa di barat, dan warga pribumi di selatan.

Pemerintah Hindia Belanda membuka Keresidenan Priangan bagi pendatang baru pada 1852.  Menurut  Sugiri Setedja, peneliti dan penulis buku, dalam bukunya  Klenteng  Xie Tian Gong (Hiap Thiam Kiong & Vihara Setya Budhi) Tiga Luietnant Tionghoa di Bandung ada lima atau enam warga Tionghoa yang pertama bermukim di Bandung.  

Salah seorangnya Oiej Bouw Hoen, letnan Tionghoa pertama di Bandung, yang  jugapemilik toko dan pembuat roti. Para warga dan keluarga Tionghoa tersebut memiliki keahlian, ada yang mahir dalam pembuatan roti, pertukangan, ada pula yang menjadi pedagang yang menyediakan alat-alat kebutuhan rumah dan juga makanan. 

Keluarga-keluarga Tionghoa tersebut dan juga yang selanjutnya berdatangan membuka wilayah perdagangan. Mereka membangun kawasan pertokoan di kawasan Cibadak dan sekitarnya yang lambat-laun berkembang menjadi pusat perekonomian.  Ketika itu, warga Tionghoa bukan saja menjadi pedagang tapi juga menjadi pekerja kasar seperti buruh bangunan dan juga buruh pembangunan rel kereta api.

Yang menarik, meskipun wilayah pemukiman mereka sekarang sudah membaur dengan penduduk setempat, sisa peninggalan nenek moyang mereka mereka masih dapat ditemui.  Berada di tempat-tempat tersebut akan mengingatkan kita betapa uletnya mereka mempertahankan warisan keluarga sepanjang perjalanan zaman hingga bertahan sampai sekarang. 

 

Kawasan Pasar Baru 

Tidak jauh dari pintu selatan Stasiun Kereta Api Bandung, menyeberangi Jalan Suniaraja, saya sudah memasuki kawasan Pasar Baru.  Kawasan perdagangan itu termasuk kawasan Pecinan yang sudah membaur dengan masyarakat lokal.  Bangunan-bangunan beton di kawasan tersebut, jika diperhatikan, masih ada yang menyisakan sedikit gaya arsitektur lama, tapi sebagian besar sudah berganti rupa. 

Menjelang siang hari suasana pasar masih riuh-rendah.  Ruas jalan yang tidak terlalu lebar itu dilalui kendaraan angkot yang berjalan pelan-pelan menunggu para pembeli yang sedang berbelanja.  Segala macam tersedia di pasar itu, dari toko tekstil, toko berbagai jenis plastik, toko keperluan dapur, hingga baju jadi. 

Beberapa penjaja barang kaki lima yang menyita bahu jalan  juga tidak kalah seru, ada penjual ayam potong,  buah-buahan, nasi bungkus, dan sebagainya. Kehidupan ekonomi tampak menggeliat.  

 

Toko Kopi Kapal Selam

Setelah berjalan di sepanjang Jalan Pasar Barat  hidung saya mengendus semerbak aroma kopi yang menggantung di udara.  Wangi  yang menggoda tersebut berasal dari sebuah toko kopi sederhana tanpa papan nama yang berada di antara  jajaran toko-toko.  

Untung saja  saya ditemani Linda warga Bandung yang  mengetahui keberadaan toko tersebut. Dari bagian luar, toko tersebut terlihat bergaya lama dengan dua jendela besar di kanan kiri pintu masuk. Penutup jendelanya pun model lama, berupa lipatan daun jendela yang dapat ditarik.   

Penataan di dalam toko seadanya saja.  Karung-karung  berisi biji kopi diletakkan di atas lantai, rak-rak di tembok berisi kardus, karung dan juga kemasan pembungkus kopi.  Ada tiga mesin penggiling yang terlihat tua tapi masih berfungsi baik. Timbangannya pun masih menggunakan loyang dengan anak  timbangan,  yang sudah jarang saya temui di pertokoan di pasar-pasar. Pendek kata, berada di toko ini ingatan saya kembali ke toko-toko lama.

Tak henti-henti hidung saya membaui wangi kopi yang nikmat.  Wangi itu bersumber dari aneka jenis kopi dari penjuru Nusantara yang memang disediakan toko yang  dijalankan secara tradisional dan turun-termurun itu.  Kapal Selam merupakan merek dagang dari kopi yang digiling di toko yang sudah berdiri sejak 1930 tersebut.   Pemiliknya adalah keturunan Tionghoa yang sekarang diteruskan oleh generasi ketiga. 

Biji-biji kopi yang disediakan di Toko Kopi Kapal Selam itu didatangkan dari  berbagai daerah penghasil kopi di Indonesia. Sebut saja, kopi Gayo, kopi Toraja, kopi Lampung, kopi Bajawa, yang sudah diolah terlebih dulu di tempat terpisah. “Di toko kopi ini kita bisa belajar mengenal kopi-kopi dari berbagai daerah penghasil kopi di Nusantara,” ujar Linda.  

Para pembelinya adalah pelanggan tetap dan setia, bukan hanya perorangan, tapi juga cafe.  Walaupun dari luar toko tidak terlihat tanda apa pun, mereka yang sudah tahu akan mampir untuk membeli jenis kopi favorit mereka di situ.

 

Toko Jamu Babah Kuya

Bersebelahan dengan  Toko Kopi Kapal Selam adalah Toko Jamu Babah Kuya.  Meskipun ada kata “jamu”, bukan jamu dalam kemasan yang dijual di toko itu melainkan bahan-bahan mentah untuk meracik jamu.  

Bahan-bahan yang berasal dari akar, daun, batang, biji, serta bunga tumbuh-tumbuhan yang sudah dikeringkan, atau biasa dalam farmasi disebut simplisia, itu ditata di dalam kotak-kotak kayu yang besar di tengah-tengah toko yang padat. Sementara simplisia-simplisia lain dalam jumlah banyak disimpan di dalam tong-tong plastik  yang diberi label dan diletakkan di samping tembok. Ada juga simplisia yang sudah dikemas dalam plastik dalam ukuran tertentu yang tertata di rak.  

Pelanggan toko terlihat hilir-mudik dan Koh Hendra, yang merupakan generasi ke-5 dari pemilik toko, melayani mereka dengan cermat. Ada pembeli yang menanyakan simplisia untuk mengatasi keluhan tertentu. Koh Hendra, seperti sudah hapal di luar kepala, merekomendasikan simplisia tertentu. 

Seperti halnya di Toko Kopi Kapal Selam, alat penimbang yang digunakan juga masih tradisional, dengan loyang kuningan dan anak timbangan, sistem pembayarannya juga tunai.

Toko Jamu Babah Kuya sudah lama dikenal karena sejak tahun 1800-an toko ini sudah berdiri, seperti yang tertulis di dinding toko.  Pendirinya pria  Tionghoa bernama Tan Sioe.  Toko jamu tersebut merupakan contoh  perpaduan dari budaya Peranakan dan budaya lokal. Karena reputasinya sebagai toko yang menjual simplisia berkualitas, hingga sekarang toko itu tetap bertahan. Sering juga, Toko Jamu Babah Kuya menjadi tujuan wisatawan.

 

Kawasan Cibadak 

Tahu Talaga 

Jika melewati nomor 277 di Jalan Jenderal Sudirman kita akan menghirup wangi kedelai rebus segar yang bisa meneteskan air liur. Di situlah pabrik tahu tertua di Bandung berada. Penanda Tahu Talaga menggiring saya  masuk ke dalam gang. Menyempil di dalam gang itu terdapat tempat pembuatan tahu terbuka, yang menjadi asal semerbak harum  kedelai rebus.

Pabrik tahu atau tepatnya industri rumahan tahu itu dibuka oleh Liauw Pak Phin, warga Tionghoa daratan, yang menikah dengan gadis dari Talaga, Cikijing, Bandung, Ma Illot. Mereka membuat pabrik tersebut tahun 1923, dari situlah nama Tahu Talaga diambil. 

Pabriknya sendiri lebih mirip dapur terbuka. Pembeli dapat melihat proses produksi tahu mulai dari bahan mentah cair hingga menjadi tahu. Proses pembuatan tahu berjalan dengan higienis.  

Karena tidak menggunakan bahan pengawet, produksi harian tahu secukupnya. Tahu yang diproduksi hari itu akan dipasarkan hari itu juga.  Kualitas tahu yang baik tersebut sudah dikenal oleh para pelanggan tetap Tahu Talaga. 

Tanpa promosi, produk Tahu Talaga  telah merambah ke restoran dan pasar swalayan.  Setelah lebih dari seabad, produksi tahu masih berjalan dan sekarang dikelola oleh Hendra Gunawan, cucu dari pendiri Tahu Talaga. 

 

Klenteng Xie Tian Gong

Luas, begitulah kesan ketika memasuki pelataran menuju Klenteng Xie Tian Gong yang terletak di Jalan Klenteng. Seperti di kebanyakan klenteng warna merah mendominasi seluruh bangunan yang sangat kental dengan arsitektur Tiongkok itu. Di ujung atapnya  yang bersusun dua terdapat patung naga berhadap-hadapan yang mencolok. 

Tembok luarnya dihiasi dengan lukisan timbul yang menggambarkan cerita.  Warnanya menyala dan tajam. Lukisan timbul yang lebih kecil juga terdapat di bagian dalam klenteng. Di altar utamanya, terdapat tiang-tiang tinggi bertuliskan aksara Tiongkok. Klenteng tersebut termasuk dalam cagar budaya yang tidak dapat dirombak.

Kekhasan arsitektur Tiongkok itu tidak terlepas dari sejarah pembangunan klenteng tersebut. Pelopor pembangunan klenteng adalah Tan Hay Hap yang juga salah seorang Tionghoa pertama yang tinggal di Bandung. Beliau adalah saudagar yang sukses lahannya meliputi perkebunan jati seluas 2 hektare, yang sebagian dijadikan lokasi klenteng sekarang.  

Klenteng, menurut Tionghoa.Info adalah tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan dengan penganut agama Konghuchu. Karena itu, klenteng disamakan dengan tempat ibadah agama Konghuchu.

Untuk pembangunan klenteng, Tan Hay Hap  mendatangkan arsitek, ahli bangunan, dan bahan-bahan bangunan langsung dari Tiongkok.  Pada akhir abad ke-19 berdirilah klenteng yang dinamakan Shend Di Miao yang berarti Istana Para Dewa.  Klenteng sempat berganti nama menjadi Klenteng Xie Tian Gong atau Hiap Thian Kong pada 1917 akibat renovasi.  

Pada masa Orde Baru setelah peristiwa1965,  Klenteng Xie Tian Gong bersalin nama menjadi Vihara Satya Budhi. Perubahan nama tersebut untuk mengantisipasi gerakan anti-Tionghoa yang digelorakan pemerintah Orde Baru saat itu.

Sejak 1999 setelah Presiden Abdurrahman Wahid, presiden keempat, mencabut Inpres Nomor 14/1967  yang dikeluarkan Presiden Suharto yang melarang segala hal yang berbau Tionghoa, nama Klenteng Xie Tian Gong digunakan lagi. Warga Bandung menyebutnya Klenteng Gede karena memang paling besar dan juga tertua di Kota Bandung. 

Selain kedua kawasan tersebut di atas, masih ada kawasan  lain yang juga dianggap sebagai daerah Pecinan, seperti di sekitar Jalan Pecinan Lama.

Mengantisipasi perubahan zaman, tahun 2019 Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Bandung untuk pertama kalinya menggelar Open House Imlek Lintas Agama di Kota Bandung. Tujuannya untuk menjaga silaturahmi di antara masyarakat. 

Waktu berjalan, zaman berubah, sekat-sekat yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda sudah tidak berlaku lagi. Tuntutan zaman membuat kita bergantung satu sama lain. Memang sudah saatnya kita membangun jembatan, bukan tembok. 

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553167231/jejak-tionghoa-di-parijs-van-java" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1646234884000) } } }