array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3635667"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/kumis-yang-menyelamatkan_alan-ha-20230105070827.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(136) "Seorang pebisnis keturunan Irak merasa waswas ketika pesawatnya mendarat darurat di Baghdad. Pasalnya, ia seorang buronan kasus politik."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/kumis-yang-menyelamatkan_alan-ha-20230105070827.jpg"
      ["title"]=>
      string(24) "Kumis yang Menyelamatkan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-01-05 19:08:42"
      ["content"]=>
      string(33640) "

Intisari Plus - Seorang pebisnis keturunan Irak merasa waswas ketika pesawatnya mendarat darurat di Baghdad. Pasalnya, ia seorang buronan kasus politik.

--------------------

Hamid Zebari tersenyum dalam hati sambil menatap istrinya Shereen yang sedang duduk di belakang kemudi mengantarnya ke bandara. Sulit dipercaya, kehidupan mereka bisa seperti ini sejak pertama kali keluarga ini masuk ke Amerika sebagai buronan politik lima tahun lalu. Namun dari pengalaman yang mereka jalani, Hamid sadar di Amerika segalanya serba mungkin. 

“Papa kapan kembali?” tanya Nadim yang duduk di jok belakang di samping kakak perempuannya, May. 

“Saya janji, hanya dua minggu. Tidak lebih,” jawab Hamid. 

“Dua minggu itu berapa sih?” tanya Nadim lagi. 

“Empat belas hari,” Hamid menjawab sembari tertawa.

“Dan empat belas malam,” tambah istrinya saat mobil memasuki jalur yang bertanda arah menuju counter Turkish Airline. Setelah mengeluarkan barang bawaannya dari bagasi, Hamid masuk ke jok belakang. Dipeluknya May lebih dulu baru kemudian Nadim. May menangis, bukan karena ayahnya hendak pergi tetapi lantaran setiap kali mobil berhenti, ia pasti menangis. May dia biarkan membelai kumisnya yang tebal sebab dengan begitu biasanya ia berhenti menangis. 

“Empat belas hari,” ulang Nadim. Hamid memeluk istrinya dan merasakan perut buncit istrinya yang sedang hamil.

“Nanti kami jemput di sini,” kata Shereen. 

Setelah enam buah tas kosong miliknya diperiksa, Hamid menghilang masuk bandara. Ia sudah biasa menggunakan Turkish Airline, sehingga tidak perlu lagi minta petunjuk pada petugas loket. 

Setelah check-in dan mendapatkan pas naik, Hamid masih menunggu satu jam lagi sebelum dipanggil naik pesawat. Makanya ia santai saja ketika berjalan menuju gate B-27. Sewaktu lewat di depan meja check-in Pan Am pada B-5, ia melihat pesawat itu akan lepas landas sejam lebih awal dari pesawatnya; ini keistimewaan bagi mereka yang rela mengeluarkan ongkos ekstra AS $ 63.

Di ruang tunggu, seorang pramugari maskapai penerbangan Turki menyelipkan tanda nomor penerbangan 014 tujuan New York - London - lstanbul pada sebuah papan. Rencana keberangkatannya pada pukul 10.10.

Tempat duduk ruang tunggu tersebut mulai terisi kelompok penumpang kaum kosmopolitan seperti biasa: orang Turki yang mau pulang kampung menengok keluarga, orang Amerika yang mau berhemat AS $ 63, dan para pengusaha.

 

Sudah diperingatkan

Hamid pergi ke sebuah restoran, memesan kopi dan dua telur mata sapi dengan perkedel. Hal-hal sepele ini mengingatkannya pada hari-hari awal kebebasannya, serta betapa besar jasa Amerika Serikat pada dirinya. 

“Para penumpang tujuan lstanbul yang membawa anak-anak dipersilakan naik ke pesawat,” kata petugas melalui pengeras suara. 

Hamid menelan potongan terakhir perkedelnya, lalu menenggak habis sisa kopi pahitnya. Ia sudah rindu minum kopi Turki yang disuguhkan dalam cangkir kecil. Namun kerinduan itu nyaris tak berarti bila dibandingkan dengan kenikmatan hidup yang dia peroleh di negeri bebas ini.

Hamid mengambil kopernya, berjalan menyusuri lorong menuju pesawat dengan nomor penerbangan 014. Seorang petugas dari maskapai Turki memeriksa pas naiknya dan menyilakan dia masuk. 

Ia mendapat tempat duduk di pinggir gang nyaris paling belakang di kelas ekonomi. Sepuluh kali perjalanan lagi, katanya dalam hati, ia bakal selalu naik Pan Am di kelas bisnis. Pada saat itu ia pasti sudah sanggup membeli tiket kelas bisnis. 

Setiap kali roda pesawat yang ditumpanginya lepas landas, Hamid selalu melongok lewat jendela pesawat dan mengamati negeri yang menerima suaka politiknya sampai hilang dari pandangan. 

Sudah hampir lima tahun ia dipecat Saddam Hussein dari jabatannya sebagai menteri pertanian dalam kabinet Irak. Padahal posisi itu baru dia jalani selama dua tahun. Pada musim gugur kala itu hasil panen gandum payah. Setelah tentara rakyat dan kaum tengkulak mengambil bagiannya, jatah untuk rakyat Irak kurang. Dalam kasus ini harus ada orang yang dipersalahkan dan kambing hitam yang gampang dipegang tidak lain adalah menteri pertanian.

Ayah Hamid, seorang pedagang karpet, sudah sering mengajak dia bergabung dalam bisnis keluarganya. Bahkan memperingatkan Hamid sebelum ia meninggal; jangan pernah menerima jabatan sebagai menteri pertanian. Sebab tiga menteri terakhir pimpinan departemen itu mengalami pemecatan dan setelah itu menghilang. Setiap orang Irak sudah tahu artinya “menghilang”. Namun Hamid bersikukuh menerima posisi itu.

Panen tahun pertama hasilnya memang berlimpah. Dari situ Hamid semakin yakin, jabatan menteri pertanian merupakan satu-satunya batu loncatan untuk meraih posisi yang lebih baik. Apalagi dalam setiap kesempatan, Saddam Hussein selalu menyebut dirinya sebagai “teman dekat dan teman baik saya”.

Ayah Hamid terbukti benar. Musibah itu terjadi di tahun kedua. Untunglah teman setianya yang mengalami nasib serupa membantu Hamid melarikan diri. 

Satu-satunya tindakan antisipasi yang dia lakukan selama menjadi menteri yaitu menarik uang tabungannya di bank setiap minggu. Jumlahnya sedikit lebih banyak daripada yang biasa dia butuhkan. Sisanya dia tukarkan dengan dolar Amerika pada pedagang valuta pinggir jalan, tetapi setiap kali pada pedagang yang berbeda. Itu pun dalam jumlah yang tidak mengundang kecurigaan orang.

Pada hari ia dipecat, uang yang dia sembunyikan di bawah kasur - hasil penarikan dari tabungannya di bank itu - ternyata lumayan. Hampir AS $ 11.222.

 

Minta suaka politik

Kamis berikutnya - hari akhir pekan bagi orang Baghdad - pelarian dimulai. Dengan naik bus, Hamid dan istrinya yang sedang hamil meninggalkan Baghdad menuju Erbil. Sedan Mercedes miliknya dia tinggalkan secara mencolok di halaman depan rumahnya yang besar di pinggiran kota. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali paspor dan segepok uang dolar yang disembunyikan dalam baju hamil istrinya yang longgar, serta sejumlah uang dinar untuk ongkos sampai di perbatasan.

Mustahil ada yang akan menemukan mereka di atas bus menuju Erbil di perbatasan.

Tiba di Erbil, perjalanan dilanjutkan ke Sulaimania dengan taksi. Malam harinya mereka menginap di sebuah hotel kecil jauh dari pusat kota. Namun malam itu mereka tidak mampu memejamkan mata sekejap pun karena diliputi rasa cemas menunggu datangnya pagi.

Esok paginya dengan bus pula mereka menuju ke daerah perbukitan Kurdistan. Tiba di Zakho saat hari menjelang malam.

Bagian akhir dari pelarian mereka rupanya menjadi perjalanan yang paling menyita waktu. Mereka harus naik keledai untuk mendaki perbukitan itu. Ongkosnya AS $ 200, sebab pemuda Kurdi penyelundup itu tak mau dibayar dengan dinar. Bekas menteri pertanian Irak dan istrinya itu akhirnya berhasil dia selundupkan dengan aman hingga di perbatasan beberapa jam menjelang pagi. Sesudah itu mereka harus berjalan kaki ke desa terdekat di kawasan Turki, sehingga malamnya baru tiba di Kirmizi Renga. Mereka bermalam di stasiun sambil menunggu kereta pertama menuju Istanbul. 

Hamid dan Shereen tertidur pulas di kereta api yang menempuh perjalanan cukup lama sebelum tiba di Istanbul. Ketika terbangun pagi berikutnya, status mereka sudah berubah menjadi buronan. Yang pertama kali didatangi Hamid di kota itu adalah Bank Iz. Di situ ia menyimpan uangnya sebanyak AS $ 10.800. Dari sana baru ia ke Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk meminta paspor diplomatik dan memohon suaka politik. Suatu kali ayahnya memang pernah berkata, menteri kabinet Irak yang dipecat selalu diterima dengan tangan terbuka oleh pihak Amerika. 

Kedutaan AS akhirnya memberi Hamid dan istrinya penginapan di sebuah hotel berbintang dan segera mengirim laporan tentang “kudeta” kecil itu ke Washington. Mereka berjanji akan kembali menemui Hamid secepat mungkin. Sambil menunggu, Hamid memanfaatkan waktu untuk mengunjungi pasar karpet di bagian selatan kota, yang sering dikunjungi ayahnya dulu. 

Banyak pedagang karpet yang masih ingat pada ayahnya: seorang pria jujur yang suka menawar kalau membeli karpet dan peminum kopi berat, juga sering membicarakan anak lelakinya yang terjun ke dunia politik. Mereka senang berkenalan dengan Hamid.

Pasutri ini akhirnya memperoleh visa setelah satu minggu menunggu. Mereka lalu diterbangkan ke Washington atas biaya pemerintah AS, termasuk biaya tambahan atas kelebihan beban bagasi berupa 23 buah karpet Turki.

Lima hari Hamid diperiksa secara intensif oleh pihak CIA. Mereka berterima kasih karena ia telah bekerja sama dan memberikan informasi yang berharga. Akhirnya, ia diizinkan memulai babak baru kehidupannya di Amerika. Hamid, istrinya, berikut 23 karpet naik kereta api menuju New York. 

Enam minggu mereka baru berhasil menemukan tempat yang pas untuk menjual karpetnya. Toko itu ada di lantai bawah gedung Manhattan sayap timur. Sementara Hamid menandatangani perjanjian sewa toko selama lima tahun, Shereen memasang nama baru mereka yang berbau Amerika di atas pintu toko. Tiga bulan pertama, tak satu pun karpetnya terjual. Padahal uang tabungan sudah makin menipis. Namun menjelang akhir tahun, 16 dari 23 karpetnya laku terjual. Karena itu ia perlu segera berangkat lagi ke Istanbul membeli karpet untuk persediaan.

 

Dihukum mati

Empat tahun berlalu. Toko keluarga Zebari pindah ke ruko yang lebih besar di sayap barat. Hamid belum ingin mengatakan pada istrinya bahwa semua ini baru permulaan dan bahwa Amerika merupakan negara yang serba mungkin. 

Kini ia sudah merasa sebagai warga Amerika. la pasrah dan menerima keadaan kalau dirinya tak mungkin kembali ke tanah air selama Saddam masih berkuasa. Rumah dan segala kekayaannya sudah lama dikuasai pihak pemerintah Irak. Hukuman mati pun sudah dijatuhkan tanpa kehadirannya. 

Setelah singgah di London, pesawat yang dia tumpangi mendarat di Bandara Kemal Ataturk Istanbul beberapa menit lebih awal dari jadwal. Seperti biasa Hamid memesan losmen langganannya, lalu menyusun rencana dan membagi waktu selama dua minggu. Ia bahagia sekali bisa berada kembali di tengah hiruk-pikuk Kota Istanbul.

Ada 31 pedagang yang akan dikunjungi karena rencananya ia harus pulang ke New York dengan membawa paling tidak 60 karpet. Itu artinya selama 14 hari kopi kental Turki akan terus mengguyur tenggorokannya. Ia juga perlu waktu lama untuk tawar-menawar, karena harga yang ditawarkan biasanya tiga kali harga jadinya. 

Menjelang akhir hari ke-14, Hamid berhasil memborong 54 buah karpet, modalnya AS $.21,000 lebih sedikit. Ia hati-hati dalam memilih karpet; hanya karpet yang diminati konsumen New York yang sangat kritis yang dia pilih. Ia yakin karpet yang dia beli sekarang ini akan menghasilkan hampir AS $ 100.000. Merasa sukses dalam perjalanan kali ini, Hamid lalu mengambil penerbangan Pan Am paling awal untuk pulang ke New York.

Ia berharap segera bertemu Shereen dan kedua anaknya. Pramugari pesawat Pan Am dengan aksen New York dan senyum ramahnya itu justru semakin membuat suasana hatinya seolah-olah sudah berada di rumah. Setelah makan siang disajikan dan malam menonton film, dalam kondisi setengah tidur Hamid bermimpi apa yang kelak akan ia alami di Amerika. Barangkali nanti anak laki-lakinya juga terjun ke dunia politik seperti dia. Tapi apakah Amerika memungkinkan adanya seorang presiden keturunan Irak menjelang tahun 2025? Hamid tersenyum dalam hati lalu jatuh tertidur.

 

Pendaratan darurat

Ladies and gentlemen,” suara berat beraksen Amerika Selatan meluncur dari pengeras suara, “this is your captain. Maaf kalau mengganggu acara Anda menikmati film suguhan kami atau membangunkan Anda yang sedang beristirahat. Ada sedikit masalah pada mesin sebelah kanan. Namun tidak perlu khawatir, peraturan otoritas penerbangan federal mewajibkan kita mendarat di bandara terdekat untuk perbaikan sebelum melanjutkan perjalanan. Setidaknya diperlukan waktu lebih dari satu jam untuk itu. Kami jamin perbaikan akan diusahakan selesai secepat mungkin.”

Mendadak Hamid terbangun mendengar pengumuman itu.

“Kita tidak akan meninggalkan pesawat karena ini bukan pendaratan yang dijadwalkan. Namun Anda bisa bercerita kepada keluarga di rumah bahwa Anda sempat mengunjungi Baghdad.”

Begitu pilot menyebut kata terakhir itu, Hamid merasa seluruh tubuhnya lemas. Kepalanya terkulai. Seorang pramugari bergegas menghampirinya.

“Anda tidak apa-apa, Pak?”

Hamid mendongakkan kepalanya dan menatap wajah pramugari itu. “Saya harus menemui kapten, segera. Segera.”

Melihat Hamid tampak begitu cemas, si pramugari segera mengantarnya menemui kapten. 

“Kap, ada penumpang yang ingin bicara dengan Anda. Penting.”

“Biarkan dia masuk,” kata suara dari dalam. Kapten berbalik dan melihat Hamid yang tampak gemetaran. “Apa yang bisa saya bantu, Pak?”

“Saya Hamid Zebari, warga Amerika,” katanya. “Jika pesawat mendarat di Baghdad, saya pasti akan ditangkap, disiksa, lalu dihukum mati,” ucapnya tergagap-gagap. “Saya ini buronan politik. Anda mesti paham, pemerintah Baghdad tidak akan segan-segan membunuh saya.”

Kapten pilot itu cepat menyadari bahwa Hamid tidak membual. “Tolong ambil alih, Jim,” katanya kepada kopilot. “Saya mau bicara dengan Pak Zebari. Panggil saya kalau sudah dapat izin mendarat.”

Kapten lalu mengajak Hamid duduk di bagian kosong di kabin kelas bisnis.

“Tolong Anda jelaskan masalahnya pelan-pelan,” kata kapten.

Hamid pun bercerita mengapa ia melarikan diri dari Baghdad dan bagaimana ia datang serta menetap di Amerika. Menjelang akhir cerita, kapten menggeleng dan tersenyum, “Tidak perlu panik,” katanya meyakinkan Hamid. “Kita tidak akan keluar dari pesawat sehingga paspor penumpang tidak akan diperiksa. Kalau mesin sudah beres, kita segera terbang kembali. Sebaiknya Anda tetap duduk di sini supaya bisa berbicara dengan saya kapan saja.”

 

Berdoa khusuk

“Sekali lagi, di sini kapten pilot. Kita sudah mendapat izin mendarat dari Baghdad. Sekarang kita mulai turun dan dalam dua menit lagi kita mendarat. Pesawat akan berhenti di ujung landasan tempat para teknisi sudah menunggu. Setelah problem kecil itu teratasi, kita segera terbang kembali.”

Serta-merta terdengar tarikan napas lega dari para penumpang, nyaris bersamaan. Sementara itu Hamid justru memegang erat-erat sandaran tangan. Ia terus gemetaran dan berkeringat dingin selama 20 menit menjelang pendaratan, bahkan nyaris jatuh pingsan ketika roda pesawat terasa menyentuh permukaan bumi tanah kelahirannya. 

Matanya mengintip lewat jendela saat pesawat meluncur melewati terminal bandara yang sangat ia kenal. Tampak pasukan bersenjata sedang berjaga-jaga di atas atap dan pintu-pintu yang menuju ke jalur pendaratan. Ia berdoa kepada Tuhan secara khusuk.

Dalam 15 menit berikutnya yang terdengar hanyalah suara mobil van melaju melintasi kawasan pendaratan, yang kemudian berhenti tepat di bawah mesin pesawat sebelah kanan. 

Hamid melihat dua orang teknisi membawa tas besar berisi peralatan keluar dari kendaraan, naik ke derek kecil yang dikerek ke atas hingga sejajar sayap pesawat. Mereka tampak mulai mengendurkan sekrup-sekrup pelat. 40 menit kemudian terlihat mereka mengencangkan sekrup-sekrup itu kembali sebelum dikerek turun. Van itu kemudian menuju terminal. 

Hamid merasa lega. Ia mengencangkan sabuk pengaman dengan penuh harap untuk segera terbang. Detak jantungnya menurun. Namun ia merasa masih belum normal, kecuali kalau pesawat sudah lepas landas dan merasa yakin kalau para teknisi itu tidak kembali lagi. Selama beberapa menit berikutnya suasana senyap. Tak ada tanda-tanda pesawat bergerak. Keadaan ini justru membuat Hamid bertambah cemas. Pintu kokpit terbuka, tampak kapten berjalan mendekatinya dengan senyum getir menghias bibirnya.

“Sebaiknya Anda bergabung dengan kami di atas,” kata kapten dengan suara berbisik. Hamid melepas sabuk pengamannya dan dengan malas mencoba berdiri. Dengan rasa tak menentu ia mengikuti kapten masuk kokpit, kakinya terasa lemas seperti benang. 

“Para teknisi belum berhasil menemukan kerusakan. Maka kita diminta meninggalkan pesawat dan menunggu di ruang transit sampai pekerjaan mereka selesai,” kata kapten. 

“Daripada begini lebih baik saya mati dalam tabrakan pesawat,” keluh Hamid dengan gemas. 

“Tenang, Pak Zebari. Sudah ada jalan keluarnya. Anda nanti mengenakan seragam awak kabin cadangan sehingga bisa terus bersama kami dan menggunakan semua fasilitas awak pesawat. Paspor Anda tidak akan diminta untuk diperiksa.”

“Tapi kalau ada orang yang kenal saya….”

“Begini, Anda cukur kumis, lalu pakai seragam opsir penerbang, kacamata hitam, dan topi. Ibu Anda sendiri pun pasti tak bakalan mengenali Anda.”

Hamid terpaksa mencukur klimis kumis tebal kebanggaannya. Bekasnya jadi kelihatan pucat. Tapi pramugari senior itu tak kurang akal. Ia memoles kulit Hamid yang pucat itu dengan make-upnya hingga sama dengan bagian lain. Hamid masih belum yakin. Tapi setelah memakai seragam kopilot dan mengaca di toilet ia harus mengakui, kalau ada yang bisa mengenalinya, orang itu pasti luar biasa.

 

Bertemu pandang

Para penumpang turun lebih dulu, lalu diangkut dengan bus bandara menuju terminal utama. Sebuah van muncul untuk mengangkut para awak pesawat yang sengaja bergerombol melindungi Hamid. Meski begitu, semakin dekat ke terminal, Hamid semakin bertambah cemas.

Petugas keamanan tidak menaruh perhatian ketika rombongan awak pesawat itu memasuki gedung. Petugas membiarkan mereka mencari tempat duduk sendiri di bangku-bangku kayu di ruangan yang berdinding putih itu. Satu-satunya hiasan di ruangan itu hanyalah potret besar Saddam Hussein lengkap dengan seragamnya sambil menenteng senjata kalashnikov. Hamid tak sanggup menatap foto “teman baik dan teman dekatnya” itu.

Di sekitar mereka juga ada para awak pesawat lain yang sedang menunggu naik ke pesawat mereka. Tetapi Hamid tidak berani mengajak bercakap-cakap dengan salah satu dari mereka.

“Mereka awak pesawat Prancis,” kata si pramugari senior. Pramugari itu lalu duduk di sebelah kapten pilot Air France itu dan mengobrol.

Kapten pilot Prancis itu bilang pada si pramugari bahwa mereka akan terbang ke Singapura lewat New Delhi. Bersamaan dengan itu Hamid melihat seorang laki-laki yang sangat dia kenal berjalan masuk ke ruangan. Gawat! Pikirnya. Dia ‘kan Saad al-Takriti, anggota pasukan pengawal Presiden Saddam. Dari tanda pangkat di pundaknya, tampaknya sekarang ia menjabat sebagai kepala satuan pengamanan bandara.

Hamid berdoa mudah-mudahan orang itu tidak memandang ke arahnya. Al-Takriti berjalan hilir mudik, menatap sekilas para awak pesawat Prancis dan Amerika itu, tapi matanya sempat “belanja”, melirik kaki-kaki ramping para pramugari cantik yang dibalut stocking hitam.

Kapten menyenggol bahu Hamid. Hampir saja tubuhnya copot dari kulitnya saking terkejut karena tegang. 

“Tenang, tenang. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa kepala teknisi sedang mengatasi kerusakan pesawat, maka mestinya tidak akan lama lagi.”

Hamid menatap pesawat Air France di kejauhan dan sempat melihat sebuah van berhenti di bawah mesin sebelah kanan pesawat Pan Am. Seorang lelaki dengan pakaian kerja berwarna biru melangkah ke luar dari kendaraan itu dan naik ke sebuah crane kecil.

Hamid berdiri untuk mengamati lebih dekat dan bersamaan dengan itu Saad al-Takriti berjalan kembali masuk ruangan. Tiba-tiba al-Takriti berhenti melangkah, lalu keduanya saling bertatap mata sebentar, sebelum Hamid cepat-cepat duduk kembali berlindung di samping kapten. Al-Takriti menghilang dari pandangan, masuk ke sebuah ruangan bertanda “Dilarang Masuk”.

“Kayaknya ia memperhatikan saya,” kata Hamid. Make-up di bekas kumisnya tampaknya mulai luntur menuruni bibirnya.

 

Paspor diperiksa

Kapten menghampiri pramugari senior itu dan menyela obrolannya dengan kapten Prancis. Wanita itu mendengarkan instruksi atasannya kemudian menanyakan sesuatu yang lebih serius pada kapten Prancis itu.

Saat al-Takriti keluar lagi dari ruangan kantornya dan menghampiri kapten Amerika, Hamid merasa wajahnya pasti terlihat pucat. 

Dengan suara cukup keras al-Takriti berkata, “Kapten, saya minta Anda menunjukkan manifes, jumlah awak pesawat Anda, sekalian paspor mereka.”

“Kopilot saya yang membawa semua paspor mereka,” jawab kapten. “Nanti saya temui Anda sambil membawa paspor-paspor itu.” 

“Terima kasih,” kata al-Takriti. “Kalau paspor sudah terkumpul, bawa semuanya ke ruangan saya untuk saya periksa. Sementara itu saya minta anak buah Anda tetap di sini. Dalam situasi apa pun mereka jangan coba-coba meninggalkan gedung ini tanpa seizin saya.”

Kapten menghampiri kopilotnya meminta paspor seraya membisikkan perintah yang membuat kopilotnya terkejut. Dengan menenteng paspor-paspor itu kapten masuk ke ruang keamanan. Persis ketika itu sebuah bus berangkat dari ruang transit membawa awak Air France ke pesawat mereka. 

Saad al-Takriti menaruh ke-14 paspor itu di atas meja. la tampak senang ketika memeriksa paspor satu demi satu. Tetapi begitu selesai, ia berkata dengan wajah heran, “Saya tidak salah, Kapten, saya hitung tadi ada 15 awak mengenakan seragam Pan Am.”

“Anda pasti keliru,” kata kapten. “Kami hanya berempat belas.”

“Kalau begitu, akan saya periksa lagi lebih teliti, betul begitu, Kapten? Tolong kembalikan paspor-paspor ini ke pemiliknya masing-masing. Andaikata ada yang tidak memiliki paspor, mereka harus melapor ke saya.”

“Tapi seperti Anda ketahui, ini melanggar hukum internasional,” kata kapten. “Kami sedang melakukan transit, dan karena itu, di bawah Resolusi PBB no. 238, tidak ada ceritanya kami harus mengikuti hukum negeri Anda.”

“Jangan banyak bicara, Kapten. Kami tidak menggunakan resolusi PBB di Irak. Seperti Anda ketahui, sesuai kepentingan kami, Anda bahkan melanggar hukum di negeri kami.”

 

Nyaris ketahuan

Kapten sadar ia hanya buang-buang waktu dan tidak punya bahan untuk menggertak lagi. Ia sengaja mengumpulkan paspor-paspor itu dengan perlahan sekali sebelum al-Takriti membawanya kembali masuk ruang transit. Saat mereka memasuki ruangan itu para awak pesawat Pan Am yang tadinya duduk menyebar di bangku-bangku mendadak berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir, ke sana-kemari, sambil dengan sengaja saling berbicara keras-keras.

“Perintahkan mereka duduk,” kata al-Takriti di tengah suasana hiruk pikuk di ruangan itu.

“Apa kata Anda?” tanya kapten sambil berlagak memasang telinganya.

“Suruh mereka duduk!” teriak al-Takriti.

Kapten memberi perintah setengah hati dan beberapa saat kemudian mereka pun duduk. Tetapi masih saja bercakap-cakap dengan suara keras.

“Suruh mereka diam!” 

Kapten berkeliling ruangan pelan-pelan sambil menyuruh anak buahnya satu demi satu agar jangan berbicara terlalu keras.

Mata al-Takriti menyapu bangku-bangku ruang transit. Sementara itu kapten melirik keluar ke arah jalur keberangkatan dan melihat pesawat Air France itu bergerak menuju landasan pacu.

Al-Takriti mulai menghitung. Ia terlihat geram ketika hanya menemukan 14 awal pesawat Pan Am di ruangan itu. Matanya menyapu seluruh ruangan dengan tatapan marah dan sekali lagi ia menghitung. 

“Keempat belas awak pesawat kami ada di sini,” kata kapten setelah menyerahkan kembali paspor itu ke pemiliknya masing-masing. 

“Di mana orang yang tadi duduk di samping Anda?” tanya al-Takriti sambil menuding kapten.

“Maksud Anda pramugari senior saya?”

“Bukan. Awak pesawat yang bertampang Arab.”

“Tidak ada orang Arab di antara anak buah saya,” kapten meyakinkannya.

Al-Takriti menghampiri pramugari senior itu. “Ia tadi duduk di samping Anda. Make-up di bekas kumisnya kelihatan luntur.”

“Yang duduk di sebelah saya kapten pesawat Air France,” kata si pramugari.

 

Menguber pesawat

Ketika Saad al-Takriti membalikkan badan dan menatap keluar, ia melihat pesawat Air France di ujung landasan pacu siap untuk lepas landar. Ia segera memencet tombol telepon genggamnya saat mesin jet itu dihidupkan. Al-Takriti berteriak-teriak memberi perintah dengan bahasanya sendiri. 

Saat itu semua mata awak pesawat Amerika tertuju pada pesawat Air France, sambil berharap pesawat itu segera bergerak. Sementara itu suara al-Takriti semakin meninggi saja setiap kali bicara.

Air France 747 melaju dan dengan perlahan mulai mengumpulkan tenaga untuk mengudara. Terdengar Saad al-Takriti berteriak memaki-maki sambil berlari ke luar ruang transit dan meloncat ke sebuah jip terbuka. Tangannya tampak menunjuk-nunjuk pesawat yang sedang akan tinggal landas itu dan memerintahkan sopir untuk mengejarnya.

Jip itu melejit, meluncur kencang, dan menerobos melewati celah-celah di antara pesawat yang sedang parkir. Saat mencapai landasan pacu, jip itu pasti berlari 140 km per jam. Beberapa ratus meter kemudian jip berhasil melaju sejajar pesawat Air France. Al-Takriti tampak berdiri di jok depan, badannya bersandar pada kaca depan sambil melambaikan tinjunya ke arah kokpit pesawat.

Kapten Prancis itu membalasnya dengan memberi hormat dengan tangannya. Ketika roda pesawat Boeing 747 itu terangkat, sorak kegembiraan membahana di ruang transit.

Kapten Amerika tersenyum dan berbalik ke arah pramugari seniornya. “Nah, teori saya terbukti ‘kan! Orang Prancis itu pasti akan berbuat apa saja untuk menolong kita.”

Hamid Zebari mendarat dengan aman di New Delhi enam jam kemudian. Segera ia menelepon istrinya untuk memberi tahu semua peristiwa menegangkan yang dia alami. Pagi berikutnya ia terbang dengan pesawat Pan Am kembali ke New York di kelas bisnis. Ketika Hamid keluar dari terminal bandara, istrinya melompat dari mobilnya dan menghamburkan diri ke pelukan suaminya.

Nadim menurunkan kaca jendela lalu berkata, “Papa keliru. Dua minggu itu 15 hari.” Hamid tersenyum pada anak lelakinya itu. Sementara May malah menangis, bukan karena mobil mereka mendadak berhenti, tetapi justru karena ia ketakutan melihat ibunya memeluk seorang pria “tak dikenal”. (Jeffrey Archer)



Baca Juga: Demi Santunan Asuransi

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635667/kumis-yang-menyelamatkan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945722000) } } }