array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3635612"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/pembantaian-ala-nazi_paolo-chiab-20230105070921.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(135) "Seorang pria mencoba mencari penampungan pengungsi gipsi di Inggris. Namun yang ditemui adalah rekan-rekannya yang telah keracunan gas."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/pembantaian-ala-nazi_paolo-chiab-20230105070921.jpg"
      ["title"]=>
      string(20) "Pembantaian Ala Nazi"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-01-05 19:09:38"
      ["content"]=>
      string(43922) "

Intisari Plus - Seorang pria mencoba mencari penampungan pengungsi gipsi di Inggris. Namun yang ditemui adalah rekan-rekannya yang telah keracunan gas.

--------------------

Meski seorang gipsi, Michael Vlado belum pernah berkelana ke mana-mana. la puas hidup bersama istrinya di kaki Pegunungan Alp-Transilvania, Rumania, beternak kuda dan bekerja bersama anggota sukunya. la menjadi kepala suku ketika usianya lewat 40 tahun. Namun, perlakuan tak semena-mena terhadap kaum gipsi di Eropa, bersamaan dengan pergolakan politik di Eropa Timur, mengubah gambaran itu. Atas permintaan pihak Uni Eropa, ia harus pergi untuk mencari tahu kenapa orang-orang Rumania mencari suaka politik.

Itu sebabnya, pada akhir Oktober 1997 ia berada di atas kereta api menyusuri terowongan bawah laut dalam perjalanan menuju Inggris. Ribuan gipsi yang menghadapi meningkatnya perlakuan buruk di Slovakia dan Republik Czech, tergiur untuk melarikan diri setelah menyaksikan sebuah acara televisi Kanada yang memperlihatkan kedatangan imigran asal Rumania disambut baik di negeri itu. Ketika Kanada memberlakukan peraturan yang lebih ketat, perhatian mereka beralih ke Inggris.

Michael bersama Kolonel Jugger, seorang pejabat dari Uni Eropa, pergi ke Dover guna meneliti masalah itu. Setelah kereta api menyusuri terowongan bawah air Selat Inggris yang seolah tak berujung, akhirnya Michael Vlado tiba di Inggris untuk pertama kali dalam hidupnya.

Kolonel Jugger telah mengatur kendaraan untuk menjemput mereka di stasiun. Setelah pensiun dan dinas ketentaraan di bekas Jerman Barat, ia bekerja pada Uni Eropa. Berhubung ahli soal migrasi di negara-negara di Eropa, otomatis ia juga ahli tentang gipsi. “Ada bekas panti asuhan di Starkworth, kira-kira 30-an kilometer dari sini,” kata Jugger. “Pemerintah menjadikannya penampungan darurat bagi kaum gipsi yang meminta suaka, setidaknya sampai pengadilan memutuskan permohonan mereka.” Ia memberi tahu sopir tujuan mereka.

“Saya tidak tahu populasi orang Rumania di Inggris,” Michael mengaku.

“Mereka juga sering disebut kaum ‘pengelana’, istilah untuk gipsi maupun mereka yang bicara dengan bahasa Shelta. Jumlahnya sekitar 50.000 orang, 20.000 orang lainnya di Irlandia.”

“Shelta?” 

“Itu bahasa prokem, sebagian berbasis bahasa Irlandia dan hanya dipakai oleh para gipsi di Kepulauan Britania. Ini masa sulit bagi kaum nomaden di sini. Dulu, para gipsi berkemah di kawasan luar kota. Jauh dari keramaian dan tidak mengganggu, malah terkadang dimanfaatkan sebagai pekerja musiman di pertanian. Begitu jumlahnya bertambah dan tanah-tanah kosong makin berkurang, konflik mulai timbul. Masyarakat pinggir kota ini tidak mau diusik oleh kedatangan mereka.”

Mobil berbelok menuju ke arah pantai dan memasuki kota kecil Starkworth. Mirip kota-kota lain, kota ini memiliki menara jam di balai kotanya dan sebuah gereja tua.

Sampailah mereka di tujuan, yaitu sebuah bangunan besar bercat putih dikelilingi pepohonan. “Berapa orang yang dapat ditampung di sini?” tanya Michael.

“Sekitar seratus. Mungkin sekarang dihuni setengahnya.”

Ketika mendekati pintu masuk, Jugger yang berjalan di depan Michael melihat seseorang tergolek di dekat pintu. Ketika menghampiri orang itu, Michael sempat melongok ke dalam. Tampak beberapa sosok lagi terkapar di lantai.

Anak muda itu membuka matanya sekejap. “Gas,” katanya. “Mereka semua ....”

 

Pesuruh itu tahu

Peristiwa yang beberapa jam kemudian dikenal dunia sebagai “Pembantaian di Starkworth” itu semakin jelas setelah polisi dan ambulans datang. Dua orang polisi memeriksa sekeliling bangunan, mengintip ke dalam lewat jendela-jendela besar. Ketika kembali mereka melaporkan bahwa ada mayat di mana-mana.

Dua petugas berjas karet dan masker dari pasukan pemadam kebakaran yang dipanggil kemudian masuk ke dalam sambil membawa alat pengukur polusi udara. Cepat sekali mereka keluar, lalu tampak beberapa petugas lain memasang kipas besar penyedot udara yang didongakkan ke atas di pintu masuk panti.

Sejam kemudian setelah petugas mengecek ke dalam, tercatat ada 53 mayat laki-laki, perempuan, dan anak-anak, ditambah dua orang wanita relawan yang mengurusi kebutuhan para imigran. Hanya anak muda itu yang selamat dan belakangan diketahui sebagai pesuruh. Di ruang bawah tanah di dekat pipa pemanas ditemukan dua kaleng kosong. Jugger minta agar kaleng-kaleng itu diperiksa.

Wajah Jugger memerah melihat kedua kaleng itu. “Ini seperti yang dipakai di Auschwitz,” kata Jugger geram. “Tablet sianida dilarutkan dalam asam untuk menghasilkan gas hidrogen sianida yang cepat kerjanya.” 

“Saya tahu soal Auschwitz,” kata Michael. “Orang Yahudi dan gipsi dibunuh dengan gas setiap hari. Apakah Anda mau mengatakan bahwa ada orang yang sengaja membunuh mereka dengan cara seperti digunakan di kamp kematian Nazi?”

Orang Jerman itu hanya tertunduk. “Saya khawatir ada tindak kriminal di sini.”

Mereka lalu memutuskan untuk menginap, setidaknya semalam, di sebuah hotel beberapa blok dari panti asuhan. Hotel itu berlantai lima dengan ruang makan dan ruang pertemuan di lantai paling atas menghadap ke laut. Tak pelak sore itu penuh dengan acara polisi minta keterangan pada mereka dan Jugger yang sibuk bolak-balik menelepon atasannya di Brussel. Mereka berhasil menghindari pers dan diam-diam pergi mencari makanan kecil dan minuman di pub terdekat. Saat itu stasiun-stasiun televisi menyela acara reguler mereka dengan liputan yang disebut Pembantaian di Starkworth.

“55 laki-laki, perempuan, dan anak-anak tewas,” penyaji berita melaporkan, “dan satu orang berada di rumah sakit dalam kondisi yang tidak mengkhawatirkan. Meski autopsi belum selesai, polisi yakin mereka korban serangan gas hidrogen sianida yang dialirkan lewat pipa penghangat dalam bangunan itu. Kedatangan kelompok besar kaum gipsi baru-baru ini di Dover dalam rangka mencari suaka, meningkatkan ketegangan meskipun tidak terjadi tindak kekerasan sebelumnya terhadap mereka. Pemerintah memperkirakan, sekitar 800 orang gipsi Eropa telah mendarat di Dover pada minggu belakangan ini, sementara upaya untuk menyediakan akomodasi dan pendidikan tengah dilakukan.”

“Anda percaya hal itu?” tanya Michael pada Jugger. 

“Saya tidak ingin mempercayainya. Mungkin ada orang gila sedang melancarkan teror. Apa Anda dapat membantu kami dengan petunjuk itu?”

Michael memberi isyarat betapa ia pun tak berdaya. 

“Bukankah ini urusan polisi setempat dan Scotland Yard?” 

“Uni Eropa menanggung risiko besar dalam persoalan ini. Tindakan teroris yang luput dari hukum terhadap kaum imigran dapat mendorong terjadinya tindakan serupa, terhadap kaum gipsi.” 

“Dari mana saya harus mulai?” tanya Michael. “Semuanya ‘kan tewas?” 

“Si pesuruh yang selamat itu. Ia mungkin tahu sesuatu.”

 

Pertemuan rahasia

Esok harinya Starkworth hiruk-pikuk. Para kru televisi dari BBC dan jaringan TV swasta memadati jalanan kecil dengan kendaraan-kendaraan mereka. Koresponden Eropa dan Amerika berdatangan pagi itu. Tim penyidik dari Scotland Yard ada di mana-mana. Kolonel Jugger dan Michael yang belum selesai dengan sarapan mereka, dimintai keterangan oleh dua orang penyidik dari London itu. Mereka menceritakan kisah penemuan mayat-mayat itu.

“Bagaimana dengan Mr. Isaacson?” tanya salah seorang penyidik dari Scotland Yard, Inspektur Drexell. “Siapa?” tanya Michael. 

“Satu-satunya yang selamat. Orang yang Anda temukan di pintu masuk panti. Kami ingin tahu persis apa yang ia katakan.”

Jugger berpikir sebentar sebelum menjawab. “Begini, ‘Gas, mereka semua tewas.’ Bukan begitu, Michael?”

“Tidak bilang apa-apa lagi?” Mereka berdua menggeleng. “Ia sulit bernapas,” kata Michael. 

“Bagaimana kondisinya sekarang?” 

“Menurut dokter, keadaannya terus membaik,” kata inspektur.

Ketika para penyidik itu pergi, Kolonel Jugger urung menghabiskan sisa sarapannya. “Mereka mungkin ....” 

Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba seorang wanita berambut pirang dan jangkung masuk ruang makan itu. Dibalut jaket kulit hitam dan rok mini ketat serta sebuah ransel di pundaknya, wanita itu nyelonong ke meja mereka, “Siapa di antara Anda yang bernama Michael Vlado?”

“Saya,” kata Michael sembari tersenyum. 

“Katie Blackthorn, dari Skywatch World Service. Saya ingin mewawancarai Anda sehubungan dengan peristiwa pembunuhan itu.”

“Yang saya ketahui tak jauh beda dengan yang ada dalam berita-berita,” kata Michael. 

“Saya mengerti Anda seorang kepala suku yang datang kemari khusus untuk bertemu dengan para korban. Itu yang ingin saya tanyakan.”

Meski agak enggan, Michael mengikuti wanita itu menuju suatu tempat yang sepi di lobi hotel, di mana juru kameranya menunggu. “Ini Dominick,” katanya. “Ia juru kamera saya. Dominick, saya perlu tiga menit bersama Mr. Vlado, mungkin dengan latar belakang dinding itu saja.”

“Apa kabar?” sapa Dominick sambil menjabat tangan dan mengatur kamera di pundaknya. Tubuhnya besar dan tegap, rambutnya hitam. Saat itu ia mengenakan kaus oblong bergambar kelompok musik rock. la membidikkan kameranya beberapa meter dari mereka. “Siap, Katie.”

Juru kamera itu merekam beberapa cuplikan ketika Katie memperkenalkan Michael kepada pemirsa, lalu Katie mengawali wawancara dengan pertanyaan seputar dirinya sebagai kepala suku gipsi.

“Anda percaya pembunuhan itu adalah upaya untuk membendung imigrasi kaum gipsi?”

“Saya tidak tahu. Saya masih terguncang akibat peristiwa itu.”

Katie Blackthorn tersenyum. “Terima kasih, Mr. Vlado,” ucap Katie. “Cukup, Dominick.”

Dominick berhenti merekam lalu memutar kembali hasil rekamannya untuk Katie. Ketika Michael diam mengamati, terdengar telepon Katie berdering dalam ranselnya. “Blackthorn di sini.” Sepertinya bukan dari orang yang dia kenal. Telepon tidak jadi ditutup karena apa yang dikatakan si penelepon tampaknya menarik perhatian Katie. “Cubberth? Dari mana Anda tahu nomor telepon saya? Baik, di dermaga satu jam lagi.”

Katie menyimpan telepon genggamnya. “Dari penggemar,” kata Katie kepada Dominick. “Kantor yang memberi tahu nomor telepon saya. Ambil beberapa gambar gereja dan balai kota sebagai ilustrasi. Kita ketemu lagi di hotel nanti siang.”

 

Kaum gipsi melarikan diri

Michael kembali ke meja melanjutkan sarapan. “Ini mungkin baru yang pertama dari serangkaian wawancara dengan Anda,” kata Jugger.

“Wanita itu baik sekali. Saya mesti nonton di berita malam.” 

“Saya harus lapor ke orang imigrasi. Anda mau ikut?”

Michael cuma menggeleng. “Lebih baik saya keliling kota saja. Saya datang kemari untuk berbicara dengan orang gipsi dan hingga kini belum bertemu dengan satu orang pun.”

Pelayan membawakan rekening. “Baru saja ada laporan di televisi, Pangeran Charles akan tiba sore ini untuk meninjau tempat kejadian.”

Michael segera berangkat sebelum jalanan menjadi macet. Polisi sedang berjuang agar lalu lintas di jalan-jalan utama lancar. la menghampiri seorang polisi untuk menanyakan jalan menuju lokasi karavan di kota ini. “Terus saja sampai rel kereta api, lalu belok kiri kira-kira 500 meter lagi,” kata polisi. “Tapi Anda tidak akan menemukan para gipsi di sana, kalau itu maksud Anda. Mereka sudah pergi. Takut, mungkin.”

Michael menengok arlojinya, baru pukul 10.30. Ketika dua puluh menit kemudian tiba di tempat yang dituju, lapangan itu betul-betul kosong. Namun, terlihat ada seorang laki-laki tua berjalan dengan tongkatnya yang besar dan tampak bingung. Begitu dekat, Michael bisa melihat dengan jelas tongkat itu berukiran cukup rumit. la pernah melihat tongkat serupa, dibawa oleh orang-orang gipsi yang sudah tua. “Maaf, Anda gipsi?”

Orang itu menjawab dengan bahasa yang asing di kuping Michael. Lalu ia coba pakai bahasa Rumania. Masih saja omongan orang itu sulit dipahami. Akhirnya, Michael ingat bahasa Shelta. “Shelta?” kata Michael.

Wajah orang tua itu mendadak ceria, lalu ia bicara lebih pelan. “Siapa nama Anda?” tanya Michael.

“Granza Djuric. Waktu saya pergi kemarin, karavan-karavan itu masih ada di sini.”

“Ada peristiwa tragis baru saja terjadi,” Michael mencoba menjelaskan. “Orang-orang gipsi yang baru tiba dari Eropa tewas di kota ini kemarin. Warga Anda mungkin pergi menyelamatkan diri.”

Tiba-tiba dari sudut lain lapangan itu muncul seorang penunggang kuda melaju ke arah mereka. Orangnya masih muda, 20-an tahun, bajunya warna-warni menggelembung terembus angin saat memacu kudanya. “Granza!” teriak anak itu.

Granza Djuric tersenyum. “Itu Dane, cucu saya.”

Ketika penunggang kuda itu turun, Michael memberi salam. “Michael Vlado. Saya kepala suku Rom di kaki pegunungan di Rumania.”

Dane menjabat tangannya. “Dane Morgan. Kami pergi dari sini pagi-pagi sekali. Saya kira kakek saya ini sudah ada di karavan lain. Kami baru sadar kalau ia ketinggalan, makanya saya kembali.”

“Kalian pergi karena peristiwa pembunuhan itu?”

Ia mengangguk. “Mengerikan. Ada yang mengira kami pelakunya. Tapi ada yang percaya, kami korban berikutnya. Sudah saatnya kami pergi.”

“Anda sudah dengar semuanya? Apakah penduduk Starkworth menolak kedatangan gipsi lebih lanjut?”

“Sebagian mungkin begitu, tetapi mereka tinggal di sini hanya sementara.” Dane lalu berpikir sejenak. “Ada orang yang ....”

“Siapa?” 

“Namanya Cubber atau Cubberth. Ia punya laboratorium yang membuat obat-obatan semacam LSD. Beberapa minggu lalu ia mencoba menjual beberapa kepada kami, tetapi dia kami usir.”

Cubberth. Ya, Michael ingat sekarang. Dia orang yang janjian dengan Katie Blackthorn lewat telepon untuk bertemu di dermaga. Ketika menengok arloji, saat itu beberapa menit menjelang pukul 11.00. Kalau cepat sampai, mungkin masih keburu menjumpai pertemuan itu. “Mana jalan ke dermaga?” katanya pada Dane Morgan.

“Ada jalan pintas dari sini.” Ia memberi tahu Michael sebelum membantu kakeknya naik ke punggung kuda.

 

Tukang mancing itu lenyap

Panjang dermaga Starkworth kira-kira 30 m dan tampaknya menjadi tempat orang memancing di kota itu. Ada pantai yang sempit dan berbatu di sisi lain tetapi tak mengundang orang berenang di situ. Saat tiba sekitar pukul 11.15, Michael melihat ada orang sedang duduk memancing sendirian di ujung dermaga. Topinya yang lebar melindungi kepalanya dari terik matahari. Lalu tampak ada seseorang naik ke dermaga. Rambutnya agak botak, tidak pakai topi, dan tampak ragu-ragu gerak-geriknya. Akhirnya, ia berjalan menghampiri orang yang tengah memancing itu.

Michael sempat mengira si pemancing itu Katie Blackthorn yang menyamar agar luput dari perhatian wartawan lain pesaingnya. Ternyata bukan, sebab dilihatnya Katie muncul dari balik sebuah bangunan, bergegas menuju dermaga, masih mencangklong ransel. Michael mengejar Katie, tapi terlalu jauh untuk bisa tiba bersamaan di dermaga. Lelaki botak itu sudah sampai di ujung dermaga dan duduk di dekat si pemancing.

Michael baru setengah jalan ke arah mereka ketika Katie sampai di tempat kedua orang itu. la tidak tahu persis apa yang dilakukan Katie karena tubuhnya mengalangi pandangan Michael. Tiba-tiba Michael melihat wanita itu meloncat ke belakang seperti tersengat sesuatu. Topi lebar si pemancing tergeletak di dermaga dan jaketnya teronggok di bawahnya. Katie Blackthorn berteriak dan Michael cepat berlari menghampirinya.

“Ada apa?” teriak Michael. 

la berpaling ke Michael, wajahnya tampak ketakutan. “Dia mati!”

“Orang yang mancing itu?” 

“Tidak ada yang mancing di sini. Saya kira dialah orang yang bernama Cubberth.”

Tubuh lelaki botak itu merosot di tonggak kayu, lehernya sobek oleh pisau bergerigi. Michael mengamati sekeliling. “Saya tadi melihat ada orang memancing di sini.”

“Jaket dan topi itu disangga dengan gagang sapu ini. Itu yang Anda lihat.”

“Lalu siapa yang membunuh?” 

“Saya tidak tahu.”

Katie merogoh telepon genggamnya dan memencet nomor. “Polisi! Ini darurat! Ada yang tewas di dermaga Starkworth. Saya reporter televisi. Nama saya Katie Blackthorn. Ya, saya tetap di sini sampai Anda tiba.” la lalu memencet nomor lain. “Dominick, saya di dermaga. Kemarilah dan bawa sekalian kameramu!”

Beberapa saat kemudian terdengar suara raungan sirene. “Anda sedang apa di sini?” tanya Katie kepada Michael.

“Saya ingat nama Cubberth ketika ia menelepon Anda di hotel tadi. Saya baru mengobrol dengan seorang gipsi lalu nama itu muncul. Saya memutuskan untuk bergabung dalam pertemuan Anda dengan orang itu.”

Inspektur Drexell termasuk salah satu yang datang pertama kali di dermaga. “Kalian sedang bersama-sama ketika menemukan mayat itu?” ia bertanya kepada Michael dan Katie sementara asistennya memeriksa mayat korban.

Michael menjelaskan ia datang persis ketika korban sedang berjalan menuju ujung dermaga. “Saya tahu Cubberth membuat janji dengan Katie Blackthorn dan mungkin dialah orangnya. Katie datang beberapa saat setelah orang itu.”

Inspektur berpaling ke arah wanita itu. “Katie Blackthorn?”

“Cubberth menelepon saya di hotel tadi pagi. Ia mengaku punya informasi tentang pembunuhan kemarin. Ia bilang ingin bertemu dengan saya di sini.”

“Lalu apa hubungan Anda dengan Cubberth?” tanya inspektur pada Michael.

“Seorang gipsi bercerita bahwa ia memiliki sebuah laboratorium di dekat sini. Ia membuat LSD dan bahan-bahan kimia lainnya. Jika ia punya sesuatu untuk disampaikan kepada pers, barangkali berkaitan dengan pembunuhan itu.”

Inspektur mengangguk. Dominick muncul sambil memanggul kameranya dan merekam situasi dermaga. “Mayatnya ada di ujung sana,” teriak Katie.

Dominick bergegas melewati mereka. “Saya tadi sedang merekam sekitar balai kota seperti yang kamu pesan. Saya punya cuplikan bagus untuk kamu.”

Sip-lah! Sekarang ambilkan saya cuplikan dengan sosok korban yang tergorok lehernya itu!”

“Bukankah Anda hanya berdua dengan korban saat ia tewas? Mr. Vlado melihat ia berjalan beberapa meter di depan Anda menuju dermaga,” kata inspektur. 

“Tadi ada orang memancing di ujung dermaga,” tutur Michael. Dominick yang memakai kaus garis-garis tampak berhenti merekam dan mengganti kaset.

“Ke mana dia sekarang?” tanya Inspektur Drexell. 

Mereka melongok ke air dan Michael melihat airnya tak dalam. Katie tidak menjawab, sebaliknya ia berkata, “Tadi pagi saya ke rumah sakit mau menemui Isaacson, pesuruh yang cedera itu. Tapi sudah tidak ada. Katanya, sudah disuruh pulang.”

“Sebelum kalian pergi, saya ingin tahu nama gipsi itu, Mr. Vlado.” 

“Dane Morgan. Ia bersama kakeknya bernama Granza Djuric. Mungkin mereka sudah meninggalkan Starkworth.”

 

Ditinjau Pangeran Charles

Mereka tiba di hotel beberapa saat menjelang tengah hari. Tanpa Drexell, Michael tidak yakin mereka boleh mewawancarai satu-satunya korban selamat dalam pembantaian itu, tetapi Kolonel Jugger mengaturnya. “Dia tidak tahu apa-apa, tapi kalian boleh mewawancarainya kalau ia mau.”

Carl Isaacson duduk di kursi dalam ruang pertemuan di lantai paling atas. Katie Blackthorn segera mengambil alih wawancara. “Seperti apa keadaan di dalam panti ketika gas itu mulai mengalir lewat pipa-pipa itu? Anda tahu apa yang sedang terjadi?” 

“Pada mulanya tidak. Saya mendengar beberapa gipsi mulai batuk-batuk dan tercekik. Lalu saya melihat Ny. Withers, salah seorang relawan, pingsan di lantai. Saat itulah saya menyadari sesuatu yang buruk sedang terjadi. Saya lari sambil berteriak minta tolong, tapi saya pingsan di dekat pintu.”

Ketika televisi disetel, tampak di layar iring-iringan kendaraan yang membawa Pangeran Charles, sementara para kru TV berebut posisi terbaik. “Ia akan meninjau panti asuhan itu,” kata Katie. la menelepon Dominick dan menyuruh dia datang ke tempat itu dengan kameranya. Jugger beranjak keluar untuk bergabung dengan panitia penyambutan.

Ketika Dominick tiba, ia menyerahkan kaset-kaset berisi rekaman tentang taman kota dan dermaga, lalu cepat-cepat keluar bergabung dengan yang lain. “Anda harus mengirim kaset-kaset itu ke London?” tanya Michael.

“Tidak. Kami mengirimnya lewat satelit dari mobil siaran kami langsung ke studio. Apa saja yang kami rekam saat ini akan muncul dalam berita petang.”

Sebelum Michael berkata lebih lanjut, sederet limusin Rolls Royce berwarna hitam muncul. Para pengawal berlompatan turun dan berkerumun di sekitar limusin utama. Michael melihat sekilas Kolonel Jugger menjabat tangan Pangeran Charles dan kamera-kamera terus menyorot mereka.

Michael menyaksikan dari jendela hotel ketika serombongan pejabat itu bergerak menuju panti asuhan dan berdiri di depan bangunan untuk difoto.

Beberapa saat kemudian di sore hari ketika kunjungan Pangeran usai, Inspektur Drexell kembali. Michael melihat ia kembali tak lama setelah Dane Morgan masuk ke hotel ditemani kakeknya.

“Anda menangkap mereka?” 

“Dane Morgan justru membantu penyelidikan kami.”

“Saya tidak melakukan kesalahan apa-apa,” Morgan menyela. “Begitu juga kakek saya. Mengapa kami harus membunuh warga kami sendiri? Kakek saya pun datang dari kawasan yang sama 60 tahun yang lalu.”

Di posko masih ada kegiatan ketika beberapa anak buah Drexell datang menyelesaikan tugas yang lain. Ia keluar sebentar untuk bicara dengan mereka dan masuk lagi bersama Kolonel Jugger yang mengikutinya dari belakang.

Drexell mengajak Michael dan si kolonel menjauh dari Dane dan kakeknya. “London minta tindakan cepat dan saya kira kita punya sesuatu. Soal Cubberth, korban yang tewas di dermaga itu, anak buah saya menemukan sebuah lab kecil di rumahnya seperti disebut Dane. Ditemukan pula tempat berisi tablet sianida dan asam seperti digunakan di panti asuhan itu. Jadi, Cubberth adalah tersangka. la mungkin bunuh diri dengan menggorok lehernya di dermaga itu.”

“Lalu bagaimana Anda menjelaskan jaket dan topi pada gagang sapu itu? Serta mengapa ia minta Katie menemuinya jika ia hanya akan bunuh diri tanpa lebih dulu mengatakan apa-apa?”

“Menurut Anda, apa yang terjadi?” tanya Drexell yang tampak ingin cepat-cepat menyelesaikan kasus ini. “Anda menduga Katie terlibat?”

“Saya tidak tahu. Saya rasa Cubberth memasok bahan-bahan kimia itu kepada seseorang dan orang itu menggunakannya. Lalu Cubberth dihabisi agar tidak bicara kepada pers. Begitu tahu bahan-bahan kimianya itu dipakai untuk kejahatan, ia ingin mengamankan diri.”

Drexell masih sibuk dengan informasi yang masuk. Michael turun mencari mobil van si Katie. Jalan antara hotel dan panti asuhan dipenuhi lima mobil van yang parkir berderet.

Ketika mendapati van Katie, Michael melongok ke dalam. “Masuk,” kata Katie. “Saya punya berita hebat. Kami sedang menyiapkan bahan untuk salah satu stasiun televisi besar di Amerika!”

“Lalu, apa artinya itu?” 

“Saya akan muncul di televisi Amerika itu dalam berita malam. Lihat rekaman ini!” Cuplikan itu dimulai dengan close-up wajah Katie yang sedang mengatur adegan. Lalu beralih ke pusat kota dan menara lonceng balai kota. “Dominick dapat cuplikan bagus di sini. Coba lihat.” Tepat tengah hari ketika lonceng berdentang, sekawanan burung terbang berhamburan ke luar menara. Adegan kembali menampilkan Katie yang berdiri di depan panti. Ia terus memutar cuplikan peristiwa hari itu termasuk pembunuhan di dermaga yang masih misterius dan kedatangan Pangeran Charles.

Dominick muncul dan berkata kepada Katie, “Ada perkembangan baru! Inspektur baru saja kembali bersama beberapa orang. Mereka terburu-buru.”

Michael mengikuti Katie yang setengah berlari, diikuti Dominick dengan kameranya. Ketika mereka sampai di lift, seorang petugas dari Scotland Yard menghadang mereka. “Maaf, hanya yang berkepentingan boleh naik. Ruang makan ditutup malam ini.”

“Saya Michael Vlado, teman Kolonel Jugger.”

“Katie Blackthorn dan ini juru kamera saya, Dominick Withers. Kami berdua ada dalam daftar Anda.”

Petugas tersenyum. “Tidak ada dalam daftar ini. Pers dilarang masuk. Anda boleh naik, Mr. Vlado.” 

“Michael, teman saya,” Jugger memulai setelah Michael duduk di ruang pertemuan.

“Apa yang terjadi?” 

“Kita menghadapi keadaan serius sekarang,” kata Drexell. “Beberapa informasi penting yang sampai ke tangan kami menunjuk pada kemungkinan tersangka baru.” 

“Maksud Anda si gipsi, Dane Morgan?” 

“Bukan, tapi Kolonel Jugger.”

 

Dendam turunan

Mendengar itu Michael seperti tersengat listrik. “Mana mungkin! Kami selalu bersama-sama dalam perjalanan. Saat terjadi pembunuhan, kami masih berada di Prancis.”

“Tolong dengarkan saya dulu,” kata inspektur. “Fakta yang kami temukan memang mengejutkan. Kolonel Jugger lahir di Jerman menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Usai perang, ayahnya diadili sebagai penjahat perang. Tuduhan yang dijatuhkan termasuk melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang gipsi dalam kamar gas di Auschwitz. Ayahnya diganjar hukuman seumur hidup tetapi belakangan dikurangi masa hukumannya karena alasan kesehatan. la dibebaskan dari penjara pada 1971 dan meninggal setahun kemudian. Betul demikian, Kolonel?”

“Betul,” kata Jugger dengan suara lirih. “Apakah dosa para ayah juga harus ditanggung oleh anak-anaknya?”

“Setelah apa yang terjadi pada ayah Anda, mungkin kebencian terus tumbuh dalam diri Anda terhadap kaum gipsi.”

“Justru sebaliknya, saya curahkan hidup saya untuk menghapus kejahatan yang pernah dilakukan ayah saya.”

“Tapi tindakan itu dilakukan dengan senjata yang sama seperti yang kita dapatkan di Starkworth. Ini lebih dari sekadar kebetulan.”

Michael merasa harus memotong pembicaraan. “Bagaimana dia bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan, Inspektur?”

“Saya kira kita sepakat bahwa Cubberth dipaksa menyiapkan bahan-bahan kimia yang diperlukan atau bahkan sebagai kaki tangan seseorang. Sebaliknya, tidak ada alasan untuk melenyapkan Cubberth. Taruhlah kita berpikir lebih jauh. Barangkali ia dibayar untuk memasok bahan-bahan kimia itu dan menyerang orang-orang gipsi di panti asuhan dengan bahan itu. Jika Kolonel Jugger menyewanya dan tiba setelah peristiwa pembunuhan, jelas dia sama sekali tidak bisa dicurigai.”

“Anda tidak punya bukti atas tuduhan itu!” sergah Michael.

“Kami punya bukti fisik dari rumah Cubberth. Dengan penyelidikan sedikit lagi, saya kira akan kita dapatkan siapa yang menyewa Cubberth.”

Michael yang berada di sudut ruangan itu berjalan menuju jendela besar yang menampakkan pemandangan air laut yang bergulung-gulung. Pikirannya teraduk-aduk. Pada arah yang lain, ia melihat gelap malam mulai meliputi Starkworth. Hari makin larut, burung-burung di menara lonceng kota tak tampak lagi.

Michael kembali ke mejanya. “Tolong panggil para wartawan dan juru kamera kemari. Saya akan mengungkapkan siapa pembunuh Cubberth dan ke-55 orang itu berikut alasannya.”

 

Ingin membunuh ibunya

Semula inspektur tidak setuju. Sebenarnya ia belum ingin mengungkapkannya kepada pers sebelum tahu persis apa yang terjadi. Michael mengajak inspektur ke tempat menyendiri dan berbicara cukup lama di situ. Akhirnya, “Baik. Kita coba,” Kata Drexell.

Beberapa saat kemudian ruang pertemuan itu dipadati wartawan dan juru kamera TV. Malam makin menyelimuti Starkworth.

Michael melangkah ke mikrofon, matanya menatap Katie yang berdiri di baris depan. Kolonel Jugger telah mengumpulkan mereka yang terkait dengan kasus ini, termasuk Dane Morgan dan kakeknya Granza dalam ruang pertemuan itu. Seorang petugas membawa Carl Isaacson, satu-satunya yang selamat dalam tragedi, masuk ke ruangan itu juga.

“Saudara-saudara, maafkan bahasa Inggris saya pas-pasan,” kata Michael. “Saya datang dari pelosok desa di Rumania, tapi saya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan persaudaraan. Saya sendiri gipsi, juga kepala suku, tetapi saya telah bekerja sama dengan pihak kepolisian Rumania untuk membongkar sejumlah tindak kejahatan.”

Katie mengangkat tangan untuk bertanya, tetapi Michael mencegah karena nanti ada waktunya. “Mungkin pertanyaan paling besar adalah bagaimana orang sanggup melakukan kejahatan yang begitu mengerikan. Itu mengingatkan peristiwa pembantaian serupa di Auschwitz terhadap orang-orang Yahudi dan kaum gipsi, yang juga dibunuh dengan cara serupa pada masa Perang Dunia II. Apakah itu pekerjaan teroris atau orang gila?”

“Bagi saya, titik terang terbongkarnya kasus ini muncul tadi pagi ketika warga setempat bernama Cubberth terbunuh di dermaga. Sebelumnya saya sudah diberi tahu, Cubberth mengolah LSD dan bahan kimia lain di laboratorium di rumahnya, dan menjualnya sebagian kepada para gipsi di wilayah ini. Anak buah Inspektur Drexell menemukan bukti bahwa di rumahnya Cubberth mengolah bahan kimia yang dipergunakan untuk membunuh ke-55 orang itu. Si pembunuh sudah pasti menyewa Cubberth untuk melakukannya.”

Kali ini Katie tak tahan untuk tidak bertanya. “Bagaimana Anda tahu Cubberth bukan bunuh diri?” teriaknya.

Michael menjawab, “Cubberth menelepon dan meminta Anda menemuinya di dermaga tadi pagi. Apa yang ingin dia katakan pada Anda? Bahwa ia telah membunuh mereka semua? Yang lebih masuk akal, ia akan menyampaikan sesuatu yang ia ketahui tentang pembunuhan di panti itu dan siapa orang di belakangnya. Teori ini didukung oleh peristiwa pembunuhan terhadap Cubberth di ujung dermaga saat Anda datang hendak menemuinya.”

“Tetapi apa yang terjadi dengan si pembunuh?” 

“Bagaimana si pembunuh menghilang begitu saja, itu sederhana sekali. Jaket dan topi itu dia gunakan untuk menyamar. Cubberth menghampiri orang itu, mengira Andalah yang duduk di sana. Si pembunuh menggorok lehernya lalu menghilang di ujung dermaga dengan cara masuk ke dalam air sewaktu Anda berjalan mendekatinya. Saya perhatikan air di bagian itu tidak begitu dalam dan si pembunuh naik ke daratan lewat bawah dermaga. Pandangan Anda terfokus pada Cubberth serta jaket dan topi itu sehingga Anda tidak melihatnya. Hal serupa juga terjadi pada saya ketika mengikuti Anda ke sana. Si pembunuh berhasil meloloskan diri tapi pembunuhan itu meninggalkan petunjuk yang saya perlukan untuk mengetahui identitasnya.”

“Ia tidak meninggalkan petunjuk apa-apa,” Katie membantah. Konferensi pers itu berubah menjadi dialog antara mereka berdua namun dicatat oleh pers dunia.

“Coba pikirkan lagi. Bagaimana si pembunuh tahu Cubberth akan datang ke dermaga? Cubberth tidak berkata kepadanya dan saya melihat Cubberth sendirian berjalan ke dermaga. Si pembunuh sudah berada di ujung dermaga. Jadi, ia tidak membuntuti korbannya. Si pembunuh pasti sudah tahu sebelumnya kalau akan ada pertemuan itu. Saya ada di samping Anda ketika Cubberth menelepon Anda lewat telepon genggam, persis ketika Anda selesai mewawancarai saya. Anda tidak mengatakan apa isi percakapan itu, tetapi Anda menyebut nama Cubberth, waktu, dan tempat pertemuan. Itulah yang perlu diketahui si pembunuh.”

“Tetapi tidak ada orang lain lagi di sana kecuali Anda dan saya!” sergah Katie. 

Michael menggeleng. “Masih ada orang lain. Juru kamera Anda, Dominick.” 

Saat Michael berkata begitu, Dominick berhenti merekam dan meletakkan kameranya di lantai. Semua mata tiba-tiba tertuju pada Dominick. “Ini sih gila!” katanya marah.

“Oh ya? Si pembunuh basah kuyup setelah menyeberang ke daratan lewat bawah dermaga. Anda mengenakan kaus oblong bergambar kelompok musik rock waktu sarapan tadi. Tetapi ketika kemudian Katie memanggil Anda agar datang ke dermaga untuk merekam adegan pembunuhan, Anda sudah ganti dengan kaus garis-garis.”

Dominick membasahi bibirnya sambil maju beberapa langkah. Di belakangnya, Katie Blackthorn mengambil kamera Dominick. la memanggulnya dan mulai merekam. “Saya tidak berada di dermaga sampai Katie memanggil saya,” kata Dominick. “Saat itu saya ada di alun-alun merekam cuplikan menara balai kota. Anda bisa melihat di kasetnya.”

“Saya sudah melihatnya,” tutur Michael. “Anda merekamnya tepat pada tengah hari, terbukti dengan adegan burung-burung yang beterbangan karena takut bunyi lonceng. Sebuah gambar yang bagus, tetapi itu justru menjadi bukti bahwa Anda berada di sana hampir satu jam setelah pembunuhan itu, bukan pada saat Cubberth terbunuh.”

Wajah Dominick memucat, sementara Inspektur Drexell bergerak mendekatinya. “Mengapa saya harus melakukan perbuatan gila itu?” katanya pura-pura tidak mengerti. 

“Saya tidak bisa menjelaskan persisnya,” kata Michael. “Tapi yang jelas bukan orang gipsi, ‘kan? Mereka hanya kedok bagi Anda untuk menutupi motif yang sebenarnya, yaitu semacam motif meledakkan sebuah pesawat hanya karena jngin membunuh satu orang saja di dalamnya. Tadi, ketika petugas menghadang kami di pintu, Katie menyebut nama Anda dengan Dominick Withers. Salah seorang relawan yang tewas oleh gas beracun adalah Ny. Withers. Siapa wanita itu? Istri atau mantan istri Anda, barangkali?”

Dominick seperti makin ditelanjangi. Sebelum Drexell atau yang lain bergerak, Dominick berteriak lalu membenturkan diri pada kaca jendela yang menghadap ke laut.

Katie Blackthorn merekam semua peristiwa itu, tetapi akhirnya pihak stasiunnya memutuskan untuk tidak menayangkan peristiwa bunuh diri salah seorang karyawannya pada berita malam itu. Katie kembali ke London pagi harinya dan Kolonel Jugger datang menemui Michael untuk sarapan.

“Wanita itu ibunya, bukan bekas istrinya,” katanya kepada Michael. “Saya kira kita tidak akan pernah tahu lebih dari itu. Dominick tinggal di Maidstone, setengah perjalanan menuju London, maka tidak sulit bagi dia untuk naik kendaraan kemari dalam setengah jam dan menyiapkan gas dari Cubberth di panti asuhan itu.” (Edward D. Hock)

Baca Juga: Dendam Masa Lalu

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635612/pembantaian-ala-nazi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945778000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355897" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/pelarian-mussolini-di-puncak-gun-20220701063900.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Komandan Jerman membebaskan Mussolini, sang diktator Italia, dari penjaranya di Apennine. Apakah pesawat yang membawanya terlalu kecil untuk dirinya?" ["section"]=> object(stdClass)#64 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/pelarian-mussolini-di-puncak-gun-20220701063900.jpg" ["title"]=> string(35) "Pelarian Mussolini di Puncak Gunung" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:40:01" ["content"]=> string(22040) "

Intisari Plus - Komandan Jerman membebaskan Mussolini, sang diktator Italia, dari penjaranya di Apennine. Apakah pesawat yang membawanya terlalu kecil untuk dirinya?

---------------

Diktator Nazi, Adolf Hitler, duduk di ruang rapat di markas rahasianya yang disebut "Sarang Serigala" di Rastenburg, tersembunyi jauh di dalam hutan Prusia Timur. Pemimpin Jerman itu sangat geram. Dia baru mendengar kabar bahwa teman dan sekutunya, Benito Mussolini, seorang diktator Italia yang kejam selama dua puluh tahun ini, baru saja digulingkan dan ditangkap pengikutnya sendiri.

Kabar yang baru diterimanya itu memang kurang lengkap, tapi cukup dalam untuk memperingatkan Hitler dan sekutu Nazi-nya. Mussolini sangat terkenal di Italia, hingga membawa pasukannya bertempur dalam Perang Dunia II berdampingan dengan Nazi Jerman. 

Diktator Italia itu ingin menaklukkan daerah baru untuk membangun Kerajaan Italia baru yang diharapkannya dapat menandingi kemegahan Kerajaan Romawi dua ribu tahun yang lalu. Namun, hal itu tidak dapat terwujud. Rakyat Italia tidak ingin peperangan, dan banyak prajurit Italia menolak untuk berperang.

Sejak awal perang meletus, segala sesuatu tidak berjalan baik di Italia. Koloni Italia sebelum perang—Afrika—mengalami kekalahan. Pasukan Italia yang dikirim untuk membantu Jerman menginvasi Rusia, menderita luar biasa. Lalu, di musim panas tahun 1943, Inggris, Amerika, dan sekutu lainnya menginvasi Italia selatan dan memperluas kekuasaan mereka mencapai Roma.

Pada 25 Juli 1943, Mussolini diundang menemui raja Italia, Victor Emmanuel III. Sang raja memberitahunya bahwa karena Italia kalah perang, Mussolini menjadi "orang yang paling dibenci di seluruh Italia". Marshall Pietro Mussolini diangkat menjadi kepala negara bagian di tempat ia tinggal. Kemudian Mussolini ditahan dan dimasukkan ke dalam ambulans, dan dibawa ke tempat rahasia.

Hitler tidak hanya mengkhawatirkan temannya. Ia prihatin jika Mussolini tidak lagi menguasai Italia. Mereka mungkin akan berdamai dengan musuh Jerman, atau lebih buruk lagi, memihak lawan. Ratusan dari ribuan tentara Jerman di negara itu harus menguasai Italia sebagai musuhnya, bukan sekutu, tetapi hal tersebut sama sekali tidak membantu Jerman.

Pemimpin Nazi itu sadar, masalah tersebut hanya dapat diselesaikan dengan menemukan Mussolini dan membantunya meloloskan diri. Begitu ia bebas, Jerman bisa menggunakan tentaranya untuk menyatakan dirinya sebagai pemimpin Italia.

Namun, Italia yakin Jerman akan memikirkan segala cara untuk membebaskan Mussolini, jadi mereka menyembunyikannya dengan sangat hati-hati. Yang diperlukan Hitler adalah misi penyelamatan yang nekad. Ia mengumpulkan para ajudannya dan membagikan apa yang ada di benaknya. Siapa yang akan mereka tunjuk untuk melaksanakan misi tersebut?

"Führer," kata sang ajudan, "Aku tahu siapa yang cocok untuk tugas itu."

*

Maka, pagi itu 26 Juli, SS Sturmbannführer Otto Skorzeny berdiri dengan gugupnya di luar kantor "Sarang Serigala". Skorzeny pernah melihat pemimpin Jerman itu sebelumnya, tapi hanya dari kejauhan, di sebuah parade akbar militer. Sekarang ia akan bertemu muka dengannya.

Hal pertama yang menjadi pusat perhatian orang ketika melihat Skorzeny adalah tubuhnya yang besar. Dengan tubuh yang sangat tinggi dan kekar seperti seekor banteng, sosoknya sangat mengesankan. 

Hal kedua yang jadi titik perhatian adalah bekas luka di pipi kirinya. Luka itu didapatnya saat ia masih menjadi mahasiswa di Viena. Pada 1920-an, berduel adalah hal yang populer di kalangan mahasiswa perguruan tinggi. 

Skorzeny turut ambil bagian dalam 15 duel. Walaupun Nazi melarang kegiatan tersebut, ia tetap memegang teguh filosofi Nazi Hitler sejak 1920-an.

Skorzeny terpilih dari antrean panjang pasukan militer, dan memiliki bakat menjadi seorang pemimpin yang nekad. Sepertinya ia kecanduan bahaya. Ketika Nazi akhirnya berkuasa dan melarang kegiatan duel, ia pindah haluan ke balap motor. 

Pada waktu Perang Dunia II meletus, ia bergabung dengan SS (cabang militer Jerman yang terdiri dari pasukan elite Nazi). Ia bertempur dengan penuh keberanian bersama divisi Totenkopf (Death's Head) di Yugoslavia dan Rusia. 

Namun, ia dijangkiti penyakit dan diperintahkan untuk kembali ke Jerman, dan ia selanjutnya diberi tugas membentuk satu unit pasukan komando SS (unit khusus yang akan melaksanakan misi yang berbahaya dan berisiko tinggi). 

Skorzeny telah memperkenalkan pusat pelatihan komando miliknya sendiri, dan kini ia diberi kesempatan untuk membuktikan apa yang dapat dilakukan anak buahnya.

Hitler memberi salam Skorzeny dengan formalitas tinggi, dan memberitahukannya berita tertangkap serta hilangnya Mussolini.

Pemimpin Nazi itu menggarisbawahi kekhawatirannya tentang kemungkinan Italia akan menyerah. Ia memerintahkan Skorzeny segera terbang ke Italia untuk menyelamatkan temannya. Kode rencana itu adalah Operation Eiche (Operasi Pohon Ek). 

Tak ada risiko yang tak dapat ditangani. Begitu Mussolini bebas, Italia dan Jerman dapat segera bekerjasama dalam perang.

Pertemuan pun selesai. Skorzeny membungkuk penuh rasa hormat dan memberi salam Nazi, lalu diantar keluar. Ia meyakinkan Hitler bahwa ia mampu membebaskan Mussolini, atau tewas dalam misi. 

Sambil berjalan keluar, ia sadar bahwa dirinya akan melaksanakan misi yang akan mengubah nasib seluruh bangsa. Pikirannya bekerja cepat memikirkan cara mewujudkan misi yang kelihatannya tidak mungkin dilaksanakan. 

Jika ia tahu lokasi Mussolini berada, ia bisa segera menyusun rencana pelarian. Namun, untuk sementara ini ia harus menahan dirinya, sampai berita mengenai pemimpin Italia yang digulingkan itu sampai ke telinganya.

*

Penantian dimulai. Mata-mata Jerman menyusup ke mana saja mereka bisa. Diam-diam, teknisi radio Jerman menyadap segala kegiatan komunikasi untuk mendapatkan informasi. Situasi saat itu sangat sulit. 

Bagi kebanyakan rakyat Italia, khususnya mereka yang kehilangan ayah atau anak laki-laki, Mussolini memang orang yang paling dibenci di seluruh Italia, tapi masih banyak orang Italia, khususnya di kalangan militer yang masih mendukungnya. 

Suasana pengadilan naik turun. Pertama-tama, Mussolini dibawa ke kepulauan Ponza, dekat Roma. Lalu, ia dipindahkan ke sebuah markas Angkatan Laut Italia di La Maddalena, sebuah pulau di kepulauan Sardinia. 

Di sana, Skorzeny merencanakan melakukan penyelamatan berbahaya dengan perahu motor berkecepatan tinggi, tapi sebelum ia sempat melaksanakannya, Mussolini sudah dipindah lagi. Butuh beberapa minggu lamanya untuk mendapatkan petunjuk baru yang menginformasikan lokasi Mussolini.

Sementara itu, ada peristiwa baru terjadi di Italia. Pada 8 September 1943, pemerintahan Badolio memerintahkan semua pasukan untuk berhenti melawan Inggris dan Amerika, dan Italia berhenti berperang. 

Pasukan Jerman di Italia segera menduduki basis utama militer dan melucuti pasukan Italia sebisa mereka, dan berusaha mencapai Roma. Namun, masih ada kemungkinan Italia berbalik melawan mantan sekutunya itu.

Skorzeny diuntungkan dengan semua kejadian tersebut. la segera mengetahui bahwa Mussolini ditahan oleh seorang Jenderal Italia bernama Gueli. Ketika pesan rahasia Gueli berhasil disadap, mereka mendapatkan lokasi Mussolini disekap, dan Skorzeny segera beraksi.

*

Mussolini telah diterbangkan ke sebuah tempat peristirahatan musim dingin, yaitu sebuah hotel bernama Albergo-Rifugio, dekat Gran Sasso yang merupakan puncak tertinggi gunung Apennine. 

Di sana, seratus tiga puluh kilometer dari Roma, ia dijaga ketat oleh dua ratus lima puluh pasukan Italia. Lokasi tersebut merupakan pilihan yang paling tepat, karena terpencil dan akses ke dunia luar hanya melalui kereta gantung.

Skorzeny menimbang-nimbang pilihannya. Mustahil menyerang dari bawah, terlalu berbahaya mengirim pasukan parasut karena akan terbawa arus angin dan hancur berkeping-keping terhantam tebing gunung. 

Satu-satunya pilihan yang ada adalah pesawat layang. Pesawat layang pun juga sangat berbahaya. Pesawat layang memang barang yang licin, tapi tidak akan mengeluarkan suara apa pun. Semakin dipikirkan, sepertinya ide tersebut semakin bagus. Bahkan, pesawat layang adalah alat yang sempurna. 

Mereka akan mendarat diam-diam di hotel sebelah, dan anak buahnya dapat bergegas mencari Mussolini sebelum pasukan Italia sadar apa yang sedang terjadi. Setidaknya, begitulah harapannya.

Tanggal 10 September, Skorzeny naik pesawat dan terbang di atas hotel, memotret titik-titik di mana ia akan mendaratkan pesawat layangnya, dan rencana pun segera dilaksanakan. 

Tanggal 12 September dipilih sebagai hari penyerangan, dibantu seorang Jendral Italia bernama Soleti, pendukung setia Mussolini. Skorzeny menyuruh Soleti memerintahkan pasukan Italia untuk tidak menembak mereka.

*

Jadi, pada serangan pagi tersebut, pasukan komando SS milik Skorzeny bersama sejumlah tentara parasut Luftwaffe, berkumpul di landasan markas Angkatan Udara Practica di Mare, Roma. 

Mereka berdiri menunggu pesawat layang mereka dipersiapkan sambil makan sebanyak-banyaknya, siapa tahu itu adalah makanan terakhir yang mereka makan.

Namun, sebelum mereka terbang dengan pesawat layang tersebut, pesawat Amerika terbang di atas mereka dan menjatuhkan bom di landasan. Para prajurit terkejut. Walaupun tak ada yang terluka, ada beberapa lubang bom di landasan.

Setelah inspeksi singkat, Skorzeny tetap memutuskan bahwa pesawat layangnya masih bisa lepas landas dalam kondisi tersebut, dan penyerangan tetap dilaksanakan sesuai rencana. 

Semuanya ada dua belas pesawat layang yang diterbangkan anak buah Skorzeny, lengkap dengan para pembom. Tetapi, pada pukul setengah satu siang, saat mereka mulai lepas landas satu persatu, kejadian buruk menimpa mereka. Dua pesawat menabrak lubang dan jatuh saat akan lepas landas, termasuk pesawat yang tadinya diperintahkan Skorzeny untuk memimpin penyerangan tersebut. 

Sekarang harus ia sendiri yang memimpin. Di pesawat layangnya yang sempit, ia berdesakan dengan perlengkapannya sendiri, bahkan tak dapat bergerak dan tak dapat melihat arah ke mana mereka terbang. Maka, dengan bayonet ia membuat lubang di sayap pesawatnya yang terbuat dari kain kanvas tipis, untuk memperluas pandangannya.

Dalam perjalanan, dua pesawat layang lainnya terpisah dari rombongan dan hilang di balik awan. Sekarang hanya ada mereka berdelapan. Satu jam kemudian, pesawat hampir mendekati targetnya, maka mereka melepaskan para pembom yang segera membelok supaya suara mesin mereka tidak terdengar oleh pasukan Italia di bawah sana. 

Pesawat layang mendarat tanpa suara di hotel bagaikan burung asing yang menakutkan. Namun, saat mereka semakin dekat dengan tempat pendaratan yang telah ditentukan Skorzeny, ia baru sadar ternyata tempat tersebut lebih sempit dan lebih berbahaya daripada yang ia duga sebelumnya. Tempat tersebut dipenuhi batu-batu, sangat landai dan curam sampai ke jurang yang dalam.

Sudah terlambat untuk mundur. Skorzeny telah berjanji pada Hitler akan membebaskan Mussolini, apa pun risikonya. Dengan kasar ia memerintahkan pilotnya untuk mendarat, kemudian pesawatnya menabrak padang rumput berbatu. Ia bernasib sial. Sehabis pendaratan yang penuh guncangan, pesawatnya berhenti kira-kira delapan belas meter dari hotel.

Berharap tidak diadang oleh rentetan tembakan senapan, Skorzeny dan anak buahnya segera keluar dari pesawat layang dan menuju pintu masuk hotel. Herannya, tak satu pun peluru yang ditembakkan. 

Mungkinkah pasukan Italia telah diringkus? Atau mungkin Jenderal Soleti yang telah berkomplot dengan Skorzeny telah memerintahkan pasukan untuk tidak menembak serta membujuk mereka untuk tidak menjaga hotel?

Di dalam hotel, Skorzeny melihat dua orang perwira Italia sedang mengoperasikan radio komunikasi. Ia menendang radio itu, membantingnya hingga hancur berkeping-keping, kemudian lari menuju tangga utama hotel. 

Di lantai pertama, ia beruntung langsung melihat Mussolini di kamar pertama yang ia masuki. Dua orang perwira Italia yang menjaganya langsung dilumpuhkan. Kini pemimpin Italia itu ada di tangannya la segera memerintahkan pasukan Italia agar menyerah.

Situasi sempat hening beberapa saat, tapi akhirnya perwira tinggi Italia menerima kekalahan itu. Sepotong kain putih digantung di jendela hotel, dan seorang kolonel Italia memberikan segelas anggur merah. 

Herannya, tak satu pun peluru yang ditembakkan selama penyerangan yang berlangsung kira-kira empat menit itu. Malah, saat pasukan Italia menyerah, pesawat layang terakhir mendarat di luar hotel. Satu-satunya satunya pasukan yang terluka hanyalah pasukan pesawat layang Jerman yang gagal lepas landas tadi.

*

Sejauh ini segalanya berjalan mulus. Mussolini kini berada di tangan Jerman, Skorzeny masih harus membawanya pergi jauh sebelum alarm berbunyi dan pasukan Italia tambahan datang untuk menghentikan segala usaha mereka. 

Hal itu sama berbahayanya dengan penyerangan awal. Tadinya ia berniat membawa pemimpin Italia itu dengan kereta gantung yang ada di samping hotel, tapi sekarang cara terbaik untuk itu adalah terbang. 

Di atas sana, sudah ada pesawat mata-mata yang digunakan untuk tugas memata-matai misi ini. Pesawat dengan dua tempat duduk ini bisa lepas landas dan mendarat di lahan yang sempit. Pesawat inilah yang bisa membawa Mussolini keluar dari Italia.

Skorzeny menyuruh pilot membawa pesawat itu turun. Anak buahnya segera membersihkan padang rumput dari batu batu dan potongan-potongan pesawat layang yang hancur, supaya tempat mendarat pesawat tersebut lebih aman. 

Pesawat kecil itu mendekat lalu mendarat di hadapan mereka. Mussolini masuk dan duduk di samping pilot, sementara Skorzeny menyelinap di belakangnya. 

Sang pilot bersikeras penumpang pesawat tidak boleh lebih dari tiga orang, tapi Skorzeny merasa bertanggungjawab atas Mussolini dan tidak akan melepaskannya dari pandangannya sampai mereka berdua kembali dengan aman di Jerman.

Pesawat itu benar-benar kelebihan beban. Sang pilot menyetel mesin pada kondisi kekuatan penuh sekaligus menginjak rem. Anak buah Skorzeny memegangnya dari luar untuk menjaga kestabilan pesawat. 

Lalu, pedal rem diangkat, para prajurit melepaskan pegangannya, dan pesawat kecil itu berguncang mencoba naik. Sebelum sempat benar-benar mengudara, pesawat itu menukik ke pinggir gunung dan terjerembab di lembah. Kondisi di bawah nampak mengkhawatirkan, untunglah sang pilot berpengalaman tinggi. 

Ia berhasil membuat pesawat itu naik, melayang di atas gunung dan terbang menuju Roma.

Kram di kokpit yang sempit, Skorzeny mengalami penerbangan yang tidak nyaman, dan tertekan mendengar suara pemimpin Italia ini mengutuki penangkapnya melawan kebisingan suara mesin pesawat. 

Hanya pada saat roda pesawat ini menyentuh landasan markas Angkatan Udara Jerman di Roma-lah, Skorzeny bisa tenang. Ia telah berjanji pada Hitler untuk membebaskan temannya. Sekarang, di sinilah dirinya, duduk di samping diktator Italia itu, aman di tangan Jerman, dan keduanya masih hidup untuk menceritakan kejadiannya.

 

Selanjutnya

Begitu mereka tiba di Roma, Skorzeny dan Mussolini nak pesawat yang lebih besar menuju Viena, dan melanjutkan perjalanan menuju "Sarang Serigala" di Prusia Timur. Hitler sudah berada di bandara menunggu untuk memberi salam saat mereka tiba nanti. Ia sangat bersemangat bertemu dengan temannya lagi.

Kaburnya Mussolini seperti memperpanjang nasib sial Italia dalam peperangan, dan tidak menghentikan pemerintahan Marshal Badogio untuk berpindah pihak pada tahun 1943. Ironisnya, pelarian itu menentukan nasib Mussolini. 

Ketika mereka bertemu di Prusia Timur, Hitler terkejut dengan penampilan diktator Italia itu. Sepertinya ia telah menyusut dan tidak dapat dikenali lagi. 

Hitler juga kecewa melihat Mussolini kehilangan nafsu atas kekuasaan. Yang diinginkannya hanyalah pulang ke rumahnya di Romagna, bertemu dengan keluarganya lagi, dan pensiun. Tetapi Hitler tidak menginginkan semua itu.

Dengan jumlah pasukan yang besar di Italia, khususnya di utara, Jerman mampu menguasai sebagian besar Italia, dan Mussolini tetap dijadikan sebagai pemimpin di daerah utara. 

Rasa bencinya terhadap Hitler mulai tumbuh, dan selama perang ia tak lebih dari hanya sekadar boneka Jerman. Saat perang berakhir, ia ditangkap pasukan gerilya Italia. 

Pada waktu ia dihadapkan pada regu penembak, ia mendapatkan kembali semangat yang mendorongnya untuk menjadi penguasa selama dua puluh tahun. Ia membuka kancing bajunya dan meminta mereka menembaknya di dada.

Mayatnya dibawa ke Milan dan digantung terbalik di alun alun kota. Hitler bersumpah bahwa ia tidak akan mengalami hal yang sama. Dalam kondisi hampir terkalahkan, ia menembak dirinya sendiri dan meninggalkan pesan agar mayatnya dibakar.

Serangan di Gran Sasso mengantar Skorzeny pada ketenaran. Di Jerman, penyelamatan yang dilakukannya membuat dirinya dianggap sebagai pahlawan, tetapi bagi musuhnya ia dianggap sebagai pria cerdik yang paling kejam di Jerman. 

Skorzeny memimpin misi berbahaya lainnya sebelum perang berakhir, termasuk di bagian utara Eropa di mana pasukan Jerman yang berbahasa Inggris memakai seragam Amerika, lalu mengendarai tank dan jip membuat garis depan tentara Sekutu panik dan kocar kacir.

Setelah perang, Skorzeny menyewakan bakat khususnya pada tentara yang jahat. Sama seperti mantan anggota Nazi, ia pergi ke Amerika Selatan dan ia membantu polisi Argentina menjadi pasukan paling brutal di seluruh Amerika Selatan. 

Ia juga disebut-sebut terlibat dalam gerakan organisasi Odessa yang menyelundupkan kriminalis mantan anggota Nazi ke Amerika Selatan, agar mereka tidak dihukum atas kejahatan yang mereka lakukan.

Kemudian ia menetap di Spanyol, yang pada saat itu merupakan salah satu negara yang bersimpati pada mantan anggota Nazi. Di sana ia menjadi konsultan mesin yang sukses. Ia meninggal pada 1975, setelah mengalami penyakit menyiksa yang berkepanjangan. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(80) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355897/pelarian-mussolini-di-puncak-gunung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700801000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246667" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/5_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420081533.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Yang satu agen Inggris yang canggung, satunya tampak senantiasa murung. Keduanya bertugas menghabisi Hitler dan Gestapo Nazi yang sangat kejam." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/5_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420081533.jpg" ["title"]=> string(20) "Penangkapan di Venlo" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:43:57" ["content"]=> string(17215) "

Intisari Plus - Yang satu agen Inggris yang canggung, satunya tampak senantiasa murung. Keduanya bertugas menghabisi Hitler dan Gestapo Nazi yang sangat kejam.

---------------------------------------

Saat itu, 21 Oktober 1939, Perang Dunia II baru saja mulai. Di Zutphen, sebuah kota di Belanda, hujan turun mengetuk-ngetuk atap sebuah limosin Buick. Di belakang stir, Sigismund Best menyesuaikan posisi kaca spion dan melirik lewat kaca jendela mobilnya. Tiba-tiba mobil lain datang. Seorang pria melompat. Best memiringkan tubuhnya untuk membuka pintu dan pria itu duduk di sebelahnya. Suara limousin itu menderu dan mulai berjalan, wiper-nya bergerak ke kiri dan ke kanan.

Best terlihat seperti tipe gentleman Inggris. Tubuhnya tinggi, dengan sikap seorang aristokrat, dia menggunakan spat (kain yang dahulu digunakan oleh para pria di atas sepatu, untuk menutupi pergelangan kaki, dengan kancing di sisinya dan dikaitkan di bawah sepatu), dia bahkan menggunakan monocle (alat yang berfungsi seperti kacamata tapi hanya untuk satu mata). Tapi itu semua adalah tipu daya. Best sebenarnya separuh berdarah India. Dia juga seorang mata-mata. Dia tinggal di Belanda dengan seorang istri Belanda, dan menjalankan bisnis kecil-kecilan meng sepeda, tapi sebenarnya dia adalah anggota cabang Z—kelompok independen yang dibentuk sebagai bagian dari Dinas Intelijen Khusus Inggris (Special Intelligence Service—SIS).

Rasa percaya diri Best sangatlah mengesankan. Dia dapat berbicara dalam empat bahasa, dan selama Perang Dunia dia berhasil membuat jaringan mata-mata yang sukses di belakang garis musuh. Saat ini dia sedang mencoba membuat kontak dengan seorang Jerman yang kecewa dan ingin melawan Hitler dan Nazi. Sejauh yang dapat dia sampaikan, segala sesuatu berjalan dengan baik.

Best telah dihubungi beberapa minggu yang lalu oleh salah seorang agennya, seorang pengungsi yang melarikan diri dari penyiksaan di Jerman. Orang ini mengenal banyak pegawai tingkat tinggi dalam ketentaraan Jerman dan dia telah meyakinkan Best bahwa di sana ada banyak orang yang diam-diam tidak suka pada Hitler. Orang-orang ini tengah membangun kekuatan untuk melakukan gerakan perlawanan. Best telah menyelidiki secara mendalam dan dia dapatkan nama seorang tentara yang juga terlibat dengan gerakan perlawanan tersebut—Hauptmann Schaemell. Orang inilah yang sekarang duduk bersamanya di dalam mobil.

Best fasih berbahasa Jerman, dan dua orang ini bercakap-cakap dalam bahasa Jerman tentang musik klasik sepanjang perjalanan di luar kota. Di Arnhem, mereka menjemput dua orang kolega Best, seorang tentara Inggris bernama Mayor Seven dan seorang tentara Belanda bernama Kapten Klop. Meskipun Belanda mengambil sikap netral saat itu, Klop membantu pihak Inggris. Dia ingin merahasiakan kebangsaannya, jadi dia berpura-pura menjadi seorang Kanada dan menggunakan nama Coppens. Itu adalah nama samaran yang sangat meyakinkan. Klop pernah tinggal beberapa tahun di Kanada, dan negara itu adalah sekutu Inggris.

Best terus mengendarai mobil itu. Schaemell, pikirnya, sebuah tangkapan yang bagus. Selama dalam perjalanan, orang Jerman itu membuat daftar tentara yang sangat ingin melihat kejatuhan Hitler dan menandai nama seorang jenderal penting yang dipersiapkan untuk memimpin perlawanan. Schaemell berjanji membawa jenderal itu dalam pertemuan mereka berikutnya, yang akan diadakan pada 30 Oktober.

Yang tidak diketahui Best adalah bahwa pihak Jerman sudah selangkah lebih maju darinya. Pengungsi yang memperkenalkannya pada Schaemell sebenarnya adalah seorang mata-mata Jerman—Franz Fischer namanya. Informasi tentang gerakan perlawanan yang didengar Best sebenarnya tidak ada. Bahkan Schaemell sendiri juga ada. Dia sebenarnya adalah Walter Schellenberg—29 tahun bekas pengacara yang sekarang memimpin Dinas Intel Luar Negeri Jerman. Selain memata-matai Best, dia juga ingin menghabisinya.

Rencana Schellenberg sangatlah sederhana. Setelah minggu depan, dia ingin membuat agen Inggris dan Belanda merasa aman, dengan berpura-pura menjadi teman kerjasama Dia kemudian akan memikat mereka dalam pertemuan yang akan memudahkannya menembus SIS dan mengetahui bagaimana operasi mereka.

Pertama-tama Schellenberg harus meyakinkan Best bahwa dia sungguh-sungguh bekerja melawan Nazı. Ketika dia kembali ke Belanda dari Jerman pada 30 Oktober, dia membawa dua orang teman tentaranya. Salah satunya berambut perak, dengan ketampanan model lama yang membuatnya seolah-olah seperti seorang aristokrat yang merasa kecewa dan menunggu waktu untuk menjatuhkan Nazi. Itu memang penyamaran yang masuk akal—banyak orang dari kalangan atas Jerman yang memandang Hitler sebagai orang biasa yang baru saja menjadi kaya.

Mereka menyeberang perbatasan, menuju Arnhem, tempat yang disetujui Best untuk pertemuan mereka. Tapi Best tidak ada di sana. Mereka menunggu. Setelah tiga per empat jam, ketika mereka mulai berpikir untuk pergi, mereka melihat dua bayangan mendekati mobil mereka. Tapi mereka bukanlah agen Inggris yang mereka tunggu. Mereka adalah petugas kepolisian Belanda. Mereka masuk ke dalam mobil Schellenberg dan dengan kasar memerintahkan untuk berjalan menuju ke kantor polisi.

Ini sama sekali bukan rencana Schellenberg. Dia bermaksud menipu mereka, tapi sekarang tampaknya mereka justru menangkapnya. Kepala Dinas Intelijen Luar Negeri tentu sangat berharga.

Di kantor polisi, Schellenberg dan teman-teman tentara nya diperiksa dengan teliti. Pakaian dan barang-barang mereka diperiksa dari atas sampai bawah. Di dalam saku tas salah satu teman Schellenberg yang terbuka dan siap diperk terdapat sekantung kecil aspirin. Sayangnya, itu bukan aspirin biasa. Aspirin itu adalah tipe khusus yang dikeluarkan untuk SS (schutzstaffel), korps militer elite Nazi, dan berlabel SS Sanitaetschauptamt (obat dinas utama khusus untuk SS) Ketika Schellenberg melihat pil-pil itu, wajahnya pucat pasi.

Schellenberg berpikir cepat, dia melihat ke sekeliling ruangan. Beruntunglah dia, karena petugas polisi yang memeriksa barang-barang sedang sibuk dengan tas lainnya. Dengan tangkas Schellenberg mengambil bungkusan aspirin itu dan menelan semuanya bersama dengan bungkusnya. Rasa pahit masih terasa di mulutnya ketika terdengar ketukan di pintu. Yang datang adalah Klop alias Coppens, teman agen Best. Schellenberg hanya dapat mengkhawatirkan hal terburuk yang akan datang.

Ternyata Klop datang untuk menyelamatkan mereka. Dia meminta maaf yang sedalam-dalamnya untuk ketidaknyamanan yang harus mereka rasakan. Dia meyakinkan mereka bahwa itu semua terjadi karena kesalahpahaman. Tapi Schellenberg tidak bodoh. Dia sangat mengerti apa yang sedang terjadi. Pihak Inggris dan Belanda masih mencurigai mereka, dan yang baru saja terjadi adalah sebuah ujian untuk mengungkapkan siapa sebenarnya mereka. Jika polisi berhasil menemukan sesuatu yang mencurigakan, seperti aspirin SS, mereka akan ditahan. 

Schellenberg sangat beruntung. Kertas perak pembungkus aspirin mencegah penyerapan obat itu dalam perutnya, yang jika terjadi dapat merusak tubuhnya.

Sejak saat itu, semua berjalan mulus bagi pihak Jerman. Mereka menuju ke markas besar SIS di Hague, dan dijamu dengan minuman anggur dan makan malam secara mewah. Hari berikutnya, Schellenberg dan teman-temannya diberi sebuah radio set dan nama panggilan. Mereka diminta untuk terus berhubungan melalui radio itu, dan pertemuan berikutnya akan segera diatur. Mereka saling berjabat tangan dan segera kembali ke perbatasan Jerman.

Setelah beberapa minggu, Schellenberg melakukan kontak harian dengan kelompok Best. Dua pertemuan berikutnya dijalankan, dan dia sekarang sangat yakin bahwa mereka menerimanya secara penuh.

Tapi kemudian hal yang tidak diharapkan terjadi. Gangguan itu tidak lain datang dari Heinrich Himmler kepala SS. Ada sebuah rencana pembunuhan yang ditujukan untuk Hitler—sebuah bom meledak tidak lama setelah dia meninggalkan sebuah perayaan di Munich. Hitler yakin bahwa SIS ada di balik rencana itu, dan meminta agar Best dan teman-temannya segera ditangkap.

Schellenberg memprotes keras. Ini dapat merusak rencana yang sudah dipikirkannya dengan hati-hati.

"Pihak Inggris sudah dapat kita bodohi," dia berdalih. "Coba pikirkan, berapa banyak informasi yang dapat aku pancing keluar dari mereka."

Tapi Himmler berucap pendek, "Sekarang, dengarkan aku. Tidak ada tetapi, yang ada hanya perintah Fuhrer—yang akan kau kerjakan."

Jadi, itulah yang terjadi.

Karena tidak ada pilihan, Schellenberg membuat rencana. Dia sudah menyusun agenda pertemuan berikutnya dengan pihak Inggris—di Venlo, sebuah kota kecil di perbatasan Belanda-Jerman. Dia sekarang menghubungi Alfred Naujocks dari SS dan membentuk satu pasukan yang terdiri dari 12 anggota SS untuk bergabung dengannya. Schellenberg memberi penjelasan singkat dan segera menuju perbatasan dengan orang-orang tersebut.

Naujocks berkarakter kejam, yang dikenal sebagai "orang yang memulai Perang Dunia II". Dua bulan sebelumnya, dia dan satu pasukan yang berisi orang-orang pilihan menggunakan seragam petugas kepolisian. Mereka berpura-pura melakukan penggerebekan pada sebuah stasiun radio milik Jerman di perbatasan Jerman-Polandia. Situasi ini memberikan kesempatan pada pihak Nazi untuk mengklaim bahwa mereka telah diserang Polandia, dan menjadi sebuah alasan untuk meyakinkan bangsa mereka sendiri, juga masyarakat dunia, untuk menyerang Polandia yang ingin mereka jadikan koloni Jerman.

Anehnya, Naujocks tidak terkesan pada Schellenberg, dan kemudian menjulukinya "si kecil bermuka pucat". Dia bertanya-tanya apakah dia sanggup menjalankan tugas mereka yang pasti sangat berbahaya ini.

Pertemuan dengan Best dilaksanakan pada pukul 02.00, di Cafe Backus, yang disituasikan sebagai wilayah netral, tidak dikuasai pihak manapun, di perbatasan Jerman-Belanda. Schellenberg merasa sangat gelisah dan memesan sebuah brandy untuk mengurangi ketegangan.

Akhirnya, pada pukul 15.20, hampir terlambat setengah jam, mobil Buick milik Best muncul. Mobil itu berbelok menuju gang di samping cafe. Best dan Klopk tapi Steven tetap tinggal di dalam mobil. Schellenberg berjalan seolah-olah akan menyambut mereka, tapi saat itu juga terdengar suara tembakan dan deru sebuah mobi ujung jalan. Itu adalah pasukan SS yang sejak tadi mengintai dari sisi jalan lain. Mobil itu mengarah tepat ke tengah-tengah arena tembak-menembak itu. Situasi ini melanggar semua peraturan tentang keadaan netral— Belanda tidak dalam keadaan perang dan pasukan Jerman tidak punya hak untuk melintas perbatasan. 

Kekacauan terjadi begitu cepat. Klop menarik pistol dan menembak ke arah Schellenberg yang berlari ke sisi yang lain. Mobil pasukan SS berhenti di ujung gang. Ada prajurit yang tergantung di pintunya dan dua senapan mesin bertengger di spatbor depan. Klop menunduk dan mengubah arah bidikannya. Dia melepaskan tembakan, dan sekali lagi menembak, nyaris mengenai Naujocks di kursi depan. Dia melompat dan membalas tembakan dari balik pintu mobil yang terbuka, sementara anak buahnya berpencar untuk melindunginya, senjata mereka terus menyalak.

Naujocks berlari ke arah Schellenberg dan berteriak di depannya "Pergi dari sini! Setelah ini, giliranmu kena tembak!"

Schellenberg menunduk mengitari sudut untuk menghindari tembakan dan berlari mendekati seorang prajurit SS. Sayangnya, orang ini tidak mendapat briefing dan tidak mengenali Schellenberg. Orang itu mengira dia adalah Best, karena keduanya sama-sama memakai kacamata. Prajurit itu menangkapnya dan menodongkan pistol ke wajahnya. 

Jangan bodoh," kata Schellenberg. "Jauhkan senjata itu dariku!"

Terjadilah pertarungan dan prajurit SS itu menarik pelatuk pistolnya. Schellenberg memegang tangannya dan merasa sebutir peluru berdesing di atas kepalanya. Saat itu Naujocks berlari dan memberitahu prajurit tersebut bahwa dia menangkap orang yang salah untuk kedua kalinya dalam satu hari, dia mungkin telah menyelamatkan nyawa "si kecil bermuka pucat".

Schellenberg memandang ke sekeliling sudut dan melihat Klop sudah terjatuh. Dia tertembak dan sekarang mencoba menyeberang jalan, dia menembakkan sisa-sisa peluru yang masih ada di pistolnya, tapi itu semua tak berguna. Senapan mesin ditembakkan dan mengenai lututnya, dia beringsut hingga akhirnya tak sadarkan diri. Saat juga pasukan SS menyeret Best dan Steven masuk ke dalam mobil mereka. Dua orang anggota SS berhenti untuk mengangkut Klop juga, mengikatnya ke mobil seperti sekarung kentang, tapi dia sudah mati. Mobil Jerman itu dijalankan memasuki wilayah mereka sendiri dengan deru mesin yang sangat keras dan jejak karet yang terbakar di atas aspal.

Setelah mereka meninggalkan lokasi, terasa ada keheningan yang aneh. Orang-orang yang akan melintas perbatasan dan para penjaga bermunculan dari pintu dan rumah-rumah, dan berdiri dengan mulut terbuka—tak bergerak. Asap mobil, karet yang terbakar, dan bau sisa-sisa selongsong peluru menyengat tajam. Genangan darah di mana-mana, kilauannya menambah suramnya suatu sore di musim gugur yang hampir lewat.

Operasi ini menghasilkan sukses besar untuk Schellenberg. Dia banyak belajar tentang metode SIS dan memusnahkan cabang kelompok Z di Belanda. Ancaman besar bagi Nazi telah dihapuskan oleh operasi ini dan perang baru berlangsung selama dua bulan.

 

Kelanjutannya

Insiden Venlo itu merupakan kesalahan besar yang memalukan pihak Dinas Rahasia Inggris dan menimbulkan reaksi hebat. Hitler memanfaatkan momen ini sebagai alasan untuk menyerang Belanda, tahun 1940, dengan mengklaim bahwa peristiwa ini membuktikan Belanda tidak netral sama sekali. Selanjutnya, ketika warga Jerman yang sungguh-sungguh bertentangan dengan Hitler mencoba untuk menghubungi agen intelijen Inggris, mereka diperlakukan dengan penuh kecurigaan dan pendekatan ini tidak pernah berhasil.

Setelah penangkapan, Best dan Steven diinterogasi oleh pihak Jerman dalam waktu yang sangat lama, dan mereka memberikan banyak informasi, Steven bahkan membawa daftar seluruh agen Inggris di Belanda saat dia masuk dalam perangkap Jerman.

Kedua orang ini dikirim ke kamp konsentrasi Sachsenhausen sampai akhir masa perang. Mereka bebas ketika kamp itu berhasil direbut pasukan Amerika pada April 1945. Steven meninggal pada 1965 dan Best tahun 1978.

Karir Schellenberg terus menanjak. Dia menjadi Kepala Intelijen Luar Negeri Nazi. Setelah perang, dia menetap di Italia, dan meninggal pada 1952. Naujocks juga selamat dari perang dan meninggal pada 1960.

 

 

---

Nukilan dari buku:

TRUE SPY STORIES

Kisah Nyata Mata-Mata Dunia

Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246667/penangkapan-di-venlo" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818637000) } } }