Intisari Plus - Inspektur Maigret mendapatkan laporan soal pria yang menerobos masuk ke apartemen sebagai Bapak Natal. Selain memberi hadiah, tamu di malam buta itu mencungkil lantai kamar. Apa yang dicarinya?
----------
Hari Natal itu Inspektur Maigret sarapan berdua dengan istrinya di apartemen mereka di Boulevard Richard Lenoir, Paris. Walaupun hari sudah pukul 08.00, jalan masih lengang.
Dari gedung di seberang tiba-tiba muncul dua orang wanita. Yang seorang berambut pirang, temannya berambut cokelat. Si pirang tampak ragu-ragu berangkat dan akan berbalik masuk kembali, tetapi si cokelat memaksa pergi. Wanita penjaga pintu rupanya berpihak pada si cokelat, sehingga kedua wanita itu pun menyeberangi jalan.
Madame Maigret kenal pada wanita berambut cokelat itu, yaitu Mademoiselle (Nona) Doncoeur yang tinggal di salah satu apartemen di gedung seberang.
“Rasanya mereka akan ke sini,” kata Maigret, ketika kedua wanita itu menengadahkan kepala ke arah jendela apartemen Maigret di tingkat keempat. Dugaan itu benar.
Bapak Natal memberi boneka
Mademoiselle Doncoeur, si cokelat yang berumur 40-an, kelihatan gugup, tetapi temannya yang jauh lebih muda, yang cuma mengenakan daster di balik mantelnya, tenang-tenang saja. Setengah berseloroh ia berkata, “Bukan saya Iho yang mengajak ke sini.”
Akhirnya Mademoiselle Doncoeur berhasil juga mengutarakan maksud kedatangan mereka. Katanya, mereka merasa perlu melaporkan sesuatu. Ia tinggal bersebelahan dengan Madame Martin (si pirang), yang suaminya sedang bertugas ke luar kota sebagai salesman perusahaan arloji.
Tadi pagi, sehabis pulang dari gereja, Mademoiselle Doncoeur datang ke apartemen Madame Martin, membawa kado untuk anak keluarga Martin yang sudah dua bulan terbaring di ranjang karena patah kaki. Rupanya ia datang terlalu pagi sebab Madame Martin belum bangun. Lalu berdua mereka masuk ke kamar anak perempuan berumur tujuh tahun itu.
“Saya melihat Bapak Natal. Dia kemari semalam,” cerita anak itu.
“Lho, bagaimana kau bisa melihatnya. ‘Kan gelap,” kata Mademoiselle Doncoeur.
“Ia membawa senter. Lihat Mama Loraine,” katanya sambil memperlihatkan sebuah boneka besar dan bagus dari balik selimutnya kepada Madame Martin. Anak itu menyebut Madame Martin ‘Mama Loraine’, sebab ia sebenarnya kemenakan Monsieur Martin yang tinggal bersama Madame Martin setelah ibunya meninggal.
“Bukan Anda yang memberi boneka itu Madame Martin?” tanya Maigret, memotong cerita Mademoiselle Doncoeur.
“Saya memang akan memberinya boneka tetapi tidak sebagus itu,” jawab Madame Martin.
Mademoiselle Doncoeur melanjutkan ceritanya: Kata Colette, Bapak Natal berjongkok melubangi lantai. Colette menduga agar bisa masuk ke apartemen di bawah, tempat tinggal keluarga Delormes, yang mempunyai seorang anak laki-laki berumur tiga tahun. Colette bilang, mungkin cerobong asap terlalu sempit untuk dimasuki Bapak Natal. Rupanya Bapak Natal merasa diawasi karena ia bangkit mendekati Colette dan memberinya boneka besar seraya menaruh telunjuk di bibirnya.
Setelah itu, katanya, Bapak Natal itu pergi lewat pintu yang menghadap ke lorong. Kamar itu memang mempunyai dua pintu. Pintu yang menghadap ke lorong itu setiap hari dikunci. Kedua wanita itu tidak keburu memeriksa apakah pintu itu dibuka secara paksa, sebab Mademoiselle Doncoeur terburu-buru mengajak Madame Martin melapor kepada Maigret.
“Lantai kamar itu berlubang?” tanya Maigret. Madame Martin mengangkat bahu, tapi Mademoiselle Doncoeour menjawab, “Sebenarnya bukan lubang tapi beberapa papan dilepaskan dari pakunya.”
Maigret bertanya apakah Madame Martin tahu apa kira-kira yang tersembunyi di bawah lubang itu.
“Tidak Monsieur,” jawabnya.
Dari tanya-jawab dengan Madame Martin diketahui bahwa ia sudah lima tahun tinggal di apartemen itu, yaitu sejak ia menikah dengan Jean Martin. Sebelumnya Jean sudah tinggal di sana. Tak ada suatu barang pun terganggu semalam.
Mungkinkah Jean Martin yang datang semalam karena ingin membuat kejutan bagi putrinya? Entahlah, kata Madame Martin. Setahu dia, suaminya berada di Bergerac, sekitar 700 km dari Paris dan jadwal perjalanannya sudah direncanakan jauh di muka. Jean hampir tidak pernah menyimpang dari jadwal.
Ayahnya pemabuk
Madame Martin tidak mendengar apa-apa semalam sebab kamarnya dipisahkan oleh kamar makan dengan kamar Colette.
“Anda pergi semalam?”
“Tidak, Pak Inspektur,” jawab Madame Martin tersinggung.
“Anda menerima tamu?”
“Saya tidak menerima tamu kalau suami saya sedang pergi.”
Maigret melirik pada Mademoiselle Doncoeur yang air mukanya tidak berubah. Berarti Madame Martin menceritakan yang sebenarnya.
Sebelum mendatangi Maigret, Mademoiselle Doncoeur sudah bertanya kepada penjaga pintu, kalau-kalau ia membukakan pintu buat seseorang semalam. Penjaga pintu menyatakan tidak ada seorang pun yang datang.
“Dengan siapa anak perempuan itu sekarang?” tanya Maigret.
“Sendirian. Ia biasa sendirian. Saya ‘kan tidak bisa di rumah terus sepanjang hari. Saya harus belanja, pergi ke mana-mana,” jawab Madame Martin.
“Saya mengerti. Di mana ayahnya?”
Madame Martin terpaksa menceritakan bahwa kakak iparnya, Paul, setelah kematian istrinya, jadi pemabuk. Kalau sedang tidak mabuk, ia datang menengok Colette yang sejak ibunya meninggal tinggal bersama Monsieur dan Madame Jean Martin.
Kini Paul kadang-kadang keluyuran sekitar Bastille seperti peminta-minta. Kadang-kadang ia berjualan koran di jalan.
“Mungkinkah ia datang menjenguk anaknya dalam pakaian Bapak Natal?”
“Itulah yang saya katakan kepada Mademoiselle Doncoeur, tapi ia bersikeras mengajak saya menemui Anda.”
“Karena tidak ada alasan baginya untuk mencungkil papan lantai,” kata Mademoiselle Doncoeur dengan ketus.
Maigret meminta Madame Martin menelepon suaminya untuk mengecek apakah ia masih ada di Bergerac. Karena wanita itu tidak punya telepon, Maigret meminjamkan teleponnya.
Ternyata Jean Martin masih ada di Hotel Bordeaux di Bergerac. Ketika ia berbicara dengan Maigret, kentara sekali ia cemas.
“Anda yakin istri saya dan Colette tidak apa-apa?” tanyanya. “Kalau cuma boneka sih saya bisa menduga kakak saya, tetapi pasti ia tidak akan mencungkil lantai.” Ia menyatakan akan pulang saja cepat-cepat, tetapi Maigret bilang ia akan mengawasi mereka.
Istrinya juga tidak menganjurkan suaminya pulang. “Nanti bisa merusak kesempatanmu untuk dipindahkan secara permanen ke Paris,” kata si istri. “Saya berjanji akan mengabarimu kalau ada apa-apa .... Ia sedang bermain dengan bonekanya .... Belum, saya belum sempat memberi hadiahnya. Baik, saya segera pulang untuk menyerahkannya.”
Setelah itu Maigret minta izin agar boleh menemui Colette.
Seperti dengungan tawon
Setelah kedua wanita itu meninggalkan apartemennya, Maigret menelepon markas kepolisian di Quai des Orfevres. Ia meminta anak buahnya, Lucas, untuk memberinya daftar nama hukuman yang dibebaskan dari penjara tiga bulan terakhir ini.
“Yang saya inginkan hanya yang menjalani hukuman lebih dari lima tahun,” katanya. “Periksa apakah di antara mereka ada yang pernah tinggal di Boulevard Richard Lenoir. Selain itu cari Paul Martin, seorang pemabuk yang tidak punya tempat tinggal tetap, yang sering kelihatan di sekitar Place de la Bastille. Jangan ditangkap, jangan diapa-apakan. Saya cuma ingin tahu di mana dia berada pada malam Natal.”
“Masih ada lagi: Telepon Bergerac. Ada seorang salesman bernama Jean Martin, adik Paul Martin, tinggal di Hotel Bordeaux. Tolong selidiki apakah kemarin ia menerima telepon atau telegram dari Paris. Selidiki juga di mana ia melewatkan malam Natal.”
Sehabis berpikir-pikir, Maigret bercukur dan berdandan, lalu menyeberang. Mademoiselle Doncoeur mungkin sejak tadi sudah mengawasi dari jendela apartemennya, sebab begitu Maigret tiba di tingkat empat, ia sudah menunggu di kepala tangga.
Ia mempersilakan Maigret masuk ke apartemen Madame Martin. Nyonya rumah, katanya, pergi berbelanja bahan makanan sebab khawatir toko-toko keburu tutup. Jadi ia tidak menunggu Maigret lagi.
Maigret memeriksa dapur. Di sana ada mentega, telur, sayuran, daging, dan roti. Apartemen itu rapi, tapi seperti apartemen bujangan, bukan apartemen keluarga. Rupanya tidak ditambahi apa-apa lagi sejak lima tahun yang lalu.
Colette tidur di ranjang yang terlalu besar baginya. Wajahnya bertanya-tanya tetapi kelihatan ia percaya kepada Mademoiselle Doncoeur dan Maigret.
“Mama Loraine sudah pulang?” tanyanya Maigret menggigit bibirnya. Praktis anak itu adalah anak angkat Jean dan Loraine Martin, tetapi mengapa ia tidak memanggil mama saja?
“Mama Loraine tidak percaya yang datang semalam Bapak Natal,” kata Colette ketika Maigret menanyainya sambil duduk di sisi ranjang. Saat itu Mademoiselle Doncoeur sudah meninggalkan mereka.
Dari percakapan dengan Colette, ketahuan bahwa mereka tidak pernah kedatangan tamu, baik itu teman Colette, maupun teman orang tuanya. Yang datang cuma petugas pencatat meteran gas dan listrik. Lewat pintu kamar yang selalu terbuka kalau siang, Colette mengenali suara mereka. Pernah datang seorang lain dua kali. Kedatangan pertama terjadi sehari setelah kakinya patah. Ia ingat betul sebab dokter baru pulang. Ia tidak melihat wajah orang itu, cuma suaranya saja sebab Mama Loraine menutup pintu kamar.
Mereka bercakap-cakap tetapi apa yang dipercakapkan tidak kedengaran. Kemudian Mama Loraine berkata bahwa orang itu mau menjual asuransi. Lima atau enam hari yang lalu orang itu kembali lagi malam hari, pada saat lampu kamar Colette sudah dimatikan. Kedengarannya orang itu seperti bertengkar dengan Mama Loraine sehingga Colette takut. Kemudian Mama Loraine berkata kepada Colette, orang itu dari asuransi. Colette tak usah takut dan harus cepat tidur.
Colette tidak pernah melihat wajah orang itu, tapi mengenali suaranya, walaupun perlahan, sebab seperti dengungan tawon besar.
Colette bilang, Mama Loraine sekarang sedang pergi ke toko. Karena Colette sudah punya boneka bagus dari Bapak Natal, Mama Loraine akan mengembalikan boneka dari dirinya sendiri ke toko.
Maigret bangkit memeriksa lubang di bawah papan yang dicungkil oleh Bapak Natal. Tak ada apa-apa di dalamnya, kecuali debu. Pintu juga memperlihatkan tanda-tanda dibuka secara paksa. Pembukanya tampaknya bukan profesional.
Kata Colette, Bapak Natal tidak berbicara dengannya. Mungkin cuma tersenyum, tetapi tidak jelas, sebab wajahnya ditutupi janggut.
Ketika mereka masih bercakap-cakap muncullah Madame Martin. la berpakaian lebih rapi daripada sekadar untuk berbelanja tapi menenteng tas belanjaan. Tanpa senyum ia minta maaf karena tidak bisa menunggu Maigret. Katanya, ia harus belanja banyak, takut toko-toko keburu tutup.
Maigret curiga Madame Martin pergi lebih jauh dari Rue Amelot atau Rue de Chemin Vert, tempat toko-toko yang biasa dikunjungi oleh para ibu yang tinggal di daerah mereka. Ke mana?
Majikannya lenyap
Mademoiselle Doncoeur datang untuk bertanya apakah pertolongannya masih diperlukan. Madame Martin sudah mau menjawab “tidak” tetapi Maigret buru-buru memintanya menemani Colette sementara ia berbicara di ruang sebelah dengan Madame Martin.
“Mademoiselle Doncoeur repot tidak karuan. Itulah susahnya perawan tua. Apalagi perawan tua yang mengguntingi setiap berita tentang seorang inspektur polisi tertentu yang akhirnya bisa ia undang ke gedung tempat tinggalnya,” kata Madame Martin seraya mencopot topinya.
“Anda tidak bekerja, Madame Martin?” tanya Maigret.
“Sulit untuk bekerja sambil mengurus rumah tangga dan seorang anak kecil, walaupun anak itu sudah bersekolah. Lagi pula suami saya tidak mengizinkan.”
Dari tanya-jawab Maigret tahu bahwa Madame Martin sebelum menikah bekerja di toko perhiasan dan mata uang kuno milik Monsieur Lorilleux di Palais Royal. Ia melayani pembeli, merangkap pengurus buku dan sekretaris. Kalau Monsieur Lorilleux pergi, pekerjaannya ditangani Madame Martin.
Setelah menikah dengan Jean Martin, ia masih tetap bekerja. Tapi empat bulan kemudian, ketika Madame Martin pergi ke tempat kerjanya, ia dapati pintu toko masih tertutup. Ketika lama tidak dibukakan juga, ia menelepon ke rumah Monsieur Lorilleux di Rue Mazarine. Kata Madame Lorilleux, suaminya sudah berangkat ke tempat kerja pukul 08.00 seperti biasa. Ketika majikannya itu tidak muncul juga, bersama Madame Lorilleux ia pergi ke kantor polisi untuk melapor. Sejak itu mereka tidak pernah melihat Monsieur Lorilleux lagi.
Sejak itu Jean Martin yang sudah menjadi salesman melarang istrinya bekerja lagi. Saat itu suami Madame Martin sudah mengerjakan pekerjaannya yang sama dengan sekarang.
Dari tanya-jawab, Maigret tahu beberapa hal lain, yaitu: Jean Martin sedang keluar kota waktu Monsieur Lorilleux lenyap dan toko perhiasan tidak memperlihatkan tanda-tanda diganggu. Madame Lorilleux kini hidup dari mengusahakan toko bahan makanan yang kecil saja di Rue du Pas de la Mule, karena toko lama terpaksa dijual. Anak-anaknya sekarang mungkin sudah menikah.
Maigret minta Madame Martin menggambarkan Monsieur Lorilleux.
“Orangnya lebih tinggi dari Anda. Badannya gemuk dan dandanannya sembarangan. Saya tidak tahu berapa umurnya, mungkin 50-an. Kumisnya berwarna kelabu.
“Setiap pagi ia berjalan kaki ke tempat bekerja. Biasanya ia tiba 15 menit sebelum saya datang. Orangnya pendiam dan pemurung. Sebagian besar waktunya dilewatkan dengan berkurung di ruang kerjanya yang kecil di belakang toko.”
Maigret bertanya, kalau-kalau Monsieur Lorilleux mempunyai kekasih.
“Setahu saya tidak,” jawab Madame Martin yang mulai kesal ditanyai macam-macam gara-gara tetangga sebelah usil.
Tetangga usil
“Setiap kali saya keluar pintu untuk pergi, Mademoiselle Doncoeur muncul menawarkan diri untuk menemani anak itu. Jangan-jangan laci-laci saya semua dia periksa,” keluh wanita itu.
“Tapi kelihatannya Anda berhubungan baik juga dengan dia.”
“Habis mau apa? Colette minta ia menemaninya. Suami saya juga dekat dengannya, sebab waktu menderita paru-paru basah di masa bujangan, dia yang merawatnya.”
Madame Martin marah sekali ketika ditanyai apa yang ia beli di Rue de Amelot dan Rue de Chemin Vert. Ia ambil kantung barang belanjaannya untuk digabrukkan di atas meja makan.
“Lihat sendiri!” katanya.
Maigret memeriksanya. Ada tiga kaleng sardencis, mentega, kentang, ham dan daun selada.
“Mau tanya apa lagi?” tanya wanita itu menantang.
“Nama agen asuransi Anda.”
Madame Martin memandang tidak mengerti. Ketika Maigret menjelaskan agen yang ia maksudkan, Madame Martin bilang orang yang datang itu bukan agen asuransinya. Ia cuma menawarkan dan sulit sekali bagi Madame Martin untuk menyuruhnya pergi.
Wanita itu lupa nama perusahaan asuransi yang diwakili oleh salesman itu.
“Pukul berapa Colette tidur?”
“Saya mematikan lampu kamarnya pukul 19.30, tetapi kadang-kadang ia masih ngomong sendiri sampai beberapa waktu.”
“Berarti agen itu datang lewat pukul 19.30?” tanya Maigret. Madame Martin tahu ia terjebak tapi tidak mundur.
“Ya, saat itu saya sedang mencuci piring,” katanya. “Saya tidak bisa menolak sebab orang itu sudah masuk.”
“Apakah suami Anda mengasuransikan jiwanya?”
“Ya,” jawab wanita itu.
Setelah itu barulah Maigret pamit untuk menanyai Mademoiselle Doncoeur. Ia berpesan kalau Paul Martin datang, harap ia diberi tahu.
Kenapa beli mentega lagi?
Apartemen Mademoiselle Doncoeur mirip kamar di asrama biarawati. Wanita itu mengaku sudah 25 tahun tinggal di apartemen yang sekarang. Ia tahu siapa yang tinggal di apartemen sebelahnya sebelum ditempati oleh Paul Martin.
Ia menjawab tidak pernah didatangi orang asuransi selama tiga tahun ini.
“Anda tidak suka pada Madame Martin?” tanya Maigret. Dengan malu-malu Mademoiselle Doncoeur akhirnya mengaku juga.
“Kalau saya mempunyai putra, saya tidak ingin bermenantukan Madame Martin. Apalagi Monsieur Martin sangat baik, sangat menyenangkan.”
“Madame Martin itu seperti bukan wanita,” katanya. “Betul ia merawat Colette dengan baik, tetapi tidak pernah berkata yang manis-manis kepada anak itu.”
“Colette tidak suka kepadanya?”
“Colette itu penurut. Ia mencoba bertindak sesuai yang diharapkan darinya.”
Mademoiselle Doncoeur tidak kenal dengan ayah Colette, tetapi pernah bertemu di tangga dengannya. Tampaknya ia malu bertemu orang. Wanita itu yakin bukan Paul Martin yang datang semalam, kecuali kalau ia dalam keadaan sangat mabuk. Soalnya, orang seperti Paul Martin tidak cocok bertindak seperti semalam. Setelah selesai menanyai Maemoiselle Doncoeur, Maigret pulang.
Madame Maigret, yang tidak mempunyai anak, tampaknya sependapat dengan Mademoiselle Doncoeur tentang Madame Martin, walaupun Maigret tidak berkata sepatah kata pun tentang pertemuan-pertemuan di seberang.
Sementara itu Maigret mendapat keterangan baru: Penjaga pintu yang tadinya yakin bahwa semalam tak seorang pun datang tanpa ia tahu kini merasa ragu-ragu. Soalnya, ia menjamu beberapa tamu sampai lewat tengah malam. Selain itu, setelah tidur ia tidak tahu lagi siapa yang datang dan pergi.
Maigret yakin, kalau Madame Martin merupakan orang pertama yang mendengar kedatangan Bapak Natal dari Colette, ia akan menyuruh Colette untuk tutup mulut. Tapi karena Mademoiselle Doncoeur juga hadir dan mendesaknya melapor kepada Maigret, ia terpaksa menurutinya. Mengapa ia terburu-buru pergi dengan alasan harus berbelanja, padahal di rumah bahan makanan masih banyak? Kenapa ia membeli mentega, padahal masih ada 0,5 kg di lemari es?
Risau memikirkan anak-istri
Sementara itu Lucas memberi tahu, tidak seorang pun narapidana yang dibebaskan dalam empat bulan ini pernah tinggal di Boulevard Lenoir. Maigret minta keterangan itu sebab tadinya ia menduga ada penyewa apartemen yang menyembunyikan uang atau benda curian di bawah papan lantai sebelum ditangkap polisi. Setelah keluar dari penjara tentu orang itu akan berusaha mengambil barang yang disembunyikannya. Karena kamar itu ditempati siang-malam oleh Colette, ia masuk dengan menyamar sebagai Bapak Natal.
Namun, kalau benar demikian, rasanya Madame Martin tidak akan enggan melapor kepada Maigret. Ia juga tidak akan buru-buru meninggalkan apartemennya yang baru dimasuki orang.
Lucas juga melaporkan bahwa Paul Martin sudah ditemukan. Gerak-geriknya diketahui dengan jelas. Mula-mula ia antre makan malam di tempat amal, lalu pergi ke Latin Quarter untuk membuka dan menutupkan pintu mobil para pengunjung kelab malam. Setelah itu ia menenggak minuman keras sebanyak-banyaknya sampai mabuk dan tak sadarkan diri. Pukul 04.00 ia ditemukan di Place Maubert lalu dibawa ke tempat penampungan. Ia baru bangun pukul 11.00.
Jean Martin di Bergerac pun diketahui gerak-geriknya. Ia dalam perjalanan pulang ke Paris karena merasa tidak tenang setelah menerima telepon tadi pagi. Semalam, ketika sedang di kamar makan, ada seorang pria menelepon menanyakan Martin. Sebelum Martin sempat menerimanya, hubungan telepon diputuskan. Panggilan telepon itu mengkhawatirkan Martin sehingga dalam perjamuan dengan teman-temannya ia risau terus akan keadaan anak-istrinya.
Penelepon yang mencurigakan
Maigret meminta Lucas mencari alamat manajer arloji Zenith di Avenue de l’Opera. Sementara menunggu, ia mendengarkan obrolan istrinya. Tampaknya istrinya prihatin betul dengan keadaan Colette.
“Saya tidak suka wanita itu,” kata Madame Maigret tentang Madame Martin. “Saya pernah beberapa kali bertemu dia di toko. Dia jenis orang yang sangat curiga. Timbangan diawasi dengan saksama. Uang dihitung keping demi keping, seakan-akan takut ditipu.”
Ketika itu telepon berdering. Lucas memberi alamat Monsieur Arthur Godefroy, general manager arloji Zenith di Prancis. Maigret berpesan kepada Lucas agar mencari keterangan mendetail tentang lenyapnya Lorilleux lima tahun yang lalu ke kantor polisi Palais Royal. Setelah itu Maigret menelepon Godefroy. Kata Godefroy, reputasi Jean Martin tiada cela. Minggu depan ia akan diangkat menjadi asisten manajer. Kemarin pagi seseorang menelepon Godefroy, menanyakan alamat Jean Martin, karena katanya ada urusan penting. Godefroy lupa nama pria itu. la menganjurkan si penanya untuk menghubungi Martin di Bergerac.
Mungkin si penanya itulah yang menelepon Martin pada malam Natal untuk memastikan bahwa Martin ada di Bergerac, bukan di rumahnya, pikir Maigret. Apakah dia yang semalam muncul sebagai Bapak Natal di kamar Colette?
Colette sudah dua bulan berada di kamarnya. Sebetulnya dua minggu yang lalu ia harus sudah bisa berjalan, tetapi ada komplikasi. Dalam beberapa hari lagi mungkin ia sudah bisa keluar dengan Madame Martin. Artinya kamarnya bisa dimasuki orang dengan lebih leluasa. Mengapa orang yang semalam masuk ke kamarnya itu tidak bisa menunggu?
Kolektor gambar porno
Maigret buru-buru menelepon Lucas lagi. “Cari supir taksi yang mengangkut seorang wanita berumur awal 30-an, pirang, langsing tapi kekar antara pukul 09.00 - 10.00 sekitar Boulevard Richard Lenoir. Wanita itu memakai rok setelan kelabu dan topi kelabu kecokelatan. Ia membawa tas belanjaan cokelat. Tanya ke mana ia pergi. Tidak banyak taksi tadi pagi jadi tidak akan sukar dicari.”
Tidak lama setelah itu seorang anak buah Maigret, Torrence, datang membawa Paul Martin yang menunduk saja. Ia habis menangis sebab khawatir terjadi sesuatu pada Colette.
Maigret menanyakan latar belakang pertemuan Jean dengan Loraine. Kata Paul, Jean bertemu dengan Loraine di sebuah restoran kecil dekat tempat kerja Loraine. Mereka tak lama berkenalan lalu kawin.
“Jean jujur sekali. Tidak mungkin ia menaruh benda berharga di bawah papan lantai tanpa istrinya tahu. Kalau ia pulang dari tugas ke luar kota pun, istrinya tahu pengeluarannya sampai ke sen-sennya.”
“Apakah istrinya pencemburu?” tanya Maigret. Paul enggan menjawab. “Harap Anda katakan terus terang apa yang Anda tahu. Ingat bahwa putri Anda terlibat,” kata Maigret. Paul buka mulut juga. Katanya, Loraine tidak cemburu pada wanita, tetapi cemburu soal uang. Almarhum istri Paul tidak cocok dengan Loraine, karena menurut istri Paul, Loraine itu dingin dan tertutup. Ia curiga Loraine menikah dengan Jean hanya karena Jean punya pekerjaan yang baik, rumah dan perabotan.
Paul tidak mau menjawab ketika ditanyai apakah menurut pendapatnya Loraine itu dulu kekasih Lorilleux, tetapi ia mau memberi tahu alamat dan nama keluarga Loraine sebelum menikah.
Setelah itu Maigret mempersilakan Paul ke seberang menemani anaknya sampai Maigret mengizinkan ia meninggalkan apartemen Jean Martin.
Maigret menelepon Lucas lagi, untuk menyuruhnya pergi ke bekas pondokan Loraine Boitel. Lucas harus mengorek keterangan tentang wanita itu. Apakah ia kekasih Lorilleux?
Pada kesempatan itu Lucas memberi keterangan yang diketahuinya tenang Lorilleux. Katanya, penjual perhiasan itu memiliki koleksi buku dan gambar porno di tokonya, juga sebuah dipan besar yang ditutupi sutra merah di kamar belakang. Pelanggannya banyak orang terkenal. Tempat maksiat terselubung memang bukan barang langka di daerah ini. Tapi di rumahnya Lorilleux itu bertindak sebagai orang baik-baik.
Lucas menyampaikan pula bahwa Lorilleux diketahui sering bolak-balik ke Swiss pada saat banyak terjadi penyelundupan emas. Beberapa kali ia digeledah di perjalanan, tapi tidak dijumpai bukti-bukti bahwa ia menyelundupkan benda berharga itu.
Menjelang sore, Lucas kembali dari bekas pondokan Madame Martin di Rue Pernelle. Katanya, bekas induk semang Madame Martin tak bisa ditemui sebab sudah tewas tergilas trem dua tahun yang lalu. Rumahnya kini didiami oleh seorang bekas centeng yang pernah berurusan dengan polisi, sehingga tidak sulit untuk membuka mulutnya.
Kata bekas centeng itu, Loraine tinggal tiga tahun di sana. Ia tidak menyukai wanita itu sebab pelitnya minta ampun. Ia masak di kamar padahal melanggar aturan. Centeng mengenali foto Lorilleux yang dibawa oleh Lucas. Katanya, pria itu datang ke kamar Loraine dua tiga kali sebulan sambil membawa-bawa tas. Ia selalu muncul sekitar pukul 01.00 dan pergi lagi sebelum pukul 06.00.
Semua mengenalinya
Menjelang pukul 17.00 Torrence menelepon. Katanya, ia bisa menemukan pengemudi taksi yang membawa wanita seperti yang digambarkan oleh Maigret, dari pertemuan Boulevard Richard Lenoir dengan Boulevard Voltaire tadi pagi. Wanita itu diantar ke sebuah toko tas yang buka terus pada hari Minggu maupun hari raya di Rue de Maubeuge. Maigret minta supir taksi itu dikirim ke apartemen Madame Martin untuk mengenali lalu melapor ke apartemennya.
Sementara menunggu, Maigret menelepon toko tas. Ternyata wanita yang dimaksud membeli kopor murah yang dibawanya ke bar di sebelah. Dari sana wanita itu menyeberang ke sambil menjinjing kopornya.
Maigret meminta pemilik toko tas untuk pergi ke apartemen Madame Martin. Ia hanya perlu menekan bel. Kalau wanita yang membukakan pintu benar wanita yang tadi pagi membeli tas, ia harus pura-pura menyatakan salah alamat. Kalau orang lain yang membukakan pintu, ia mesti menanyakan Madame Martin. Setelah itu ia harus menyeberang untuk melapor pada Maigret. Maigret akan mengganti semua ongkos.
“Baik, Inspektur,” kata orang itu.
Torrence sementara itu sudah menemukan supir taksi lain yang membawa wanita seperti yang digambarkan dari stasiun. Wanita itu tidak pergi ke Boulevard Richard Lenoir, tapi ke pertemuan Boulevard Beaumarchais dengan Rue du Chemin Vert. Maigret meminta supir itu dikirim kepadanya.
Sementara itu ia meminta Torrence pergi ke stasiun untuk mengecek betulkah di situ ada tas seperti yang dibeli dari toko tas di Rue de Maubeuge. Torrence tidak bisa menggeledahnya tanpa surat resmi, jadi cukup ia mencatat nomor karcis penitipan. Ia mesti mencari penjaga yang pagi menerima tas itu dan membawanya ke apartemen Madame Martin.
Kemudian bel pintu berbunyi. Ada dua orang pria di sana. Yang seorang supir taksi dan yang seorang lagi penjual kopor. Mereka berdua baru saja pergi ke apartemen Madame Martin. Betul, itulah wanita yang bertemu mereka tadi pagi.
Pukul 07.30 supir taksi yang seorang lagi melapor. “Cakepan pakai baju tidur daripada pakai setelan kelabu,” katanya dengan mata nakal.
Setelah itu Maigret mengajak Lucas ke apartemen Madame Martin. Ia menugasi Lucas segera pergi menjaga Colette. Ia akan menangani Madame Martin.
Petugas tempat penitipan barang di stasiun datang bersama Torrence. Ia juga mengenali Madame Martin. Katanya, wanita itu memasukkan resi penitipan ke tas belanjaan berwarna cokelat. “Itu tasnya!” katanya, ketika diajak ke dapur Madame Martin. Tapi di tas itu resi tidak ditemukan.
Gepokan uang
Namun, Madame Martin menyangkal keras pernah melihat keempat orang itu. Ia mengaku bahwa Lorilleux memang kadang-kadang datang, tapi katanya untuk urusan bisnis.
“Bisnis pukul 01.00?”
“Ia biasa tiba dari Swiss dengan kereta malam dan takut dirampok di jalan karena membawa-bawa banyak uang. Jadi ia menunggu pagi di rumah saya.”
“Ia membawa banyak uang waktu melenyapkan diri?”
“Tidak tahu. Ia ‘kan tidak mempercayakan semua rahasianya kepada saya,” kata Madame Martin yang merokok terus-menerus. Ketika hari semakin malam, ia sering menoleh ke lonceng. Suaminya akan tiba dengan kereta malam.
“Orang yang datang semalam tidak menemukan apa-apa di bawah papan lantai, karena Anda sudah memindahkan barang yang disembunyikan di situ,” kata Maigret.
“Saya sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal itu,” jawab Madame Martin. Maigret tidak peduli pada sanggahan itu.
“Ketika tahu ia datang, Anda memutuskan untuk memindahkan benda berharga itu ke tempat penitipan barang di stasiun.”
“Saya sama sekali tidak pernah berada dekat stasiun. Di Paris ‘kan ada ribuan wanita pirang yang mirip dengan saya.”
Maigret memerintahkan Madame Martin menulis nama dan alamatnya pada sehelai kertas. Wanita itu tidak bisa menolak. Kertas itu diserahkan oleh Maigret kepada Lucas.
“Minta kantor pos mengakurkan tulisan ini dengan tulisan pada sampul semua surat yang dialamatkan ke daerah ini, yang akan tiba malam ini. Saya bertaruh akan menemukan sebuah yang tulisannya sama dengan yang di kertas ini. Mungkin dialamatkan kepada Madame Martin. Di dalamnya ada resi.”
Untuk pertama kalinya Madame Martin kelihatan gugup, tapi ia belum menyerah.
“Anda akan menceritakan kepada suami saya tentang kunjungan Monsieur Lorilleux ke pondokan saya?”
“Kalau perlu.”
“Anda manusia kurang ajar. Jean tak tahu-menahu soal ini.”
“Tapi sial baginya, ia suami Anda.”
Kemudian Lucas muncul kembali. “Janvier akan mengurus surat itu, Pak. Saya bertemu Torrence di bawah. Katanya, pria itu ada di bawah, di bar yang letaknya dua rumah dari tempat Anda.”
Madame Martin melompat. “Pria mana?” tanyanya.
“Pria yang datang ke sini semalam. Anda pasti tahu ia akan datang kembali, sebab semalam ia tidak berhasil memperoleh yang dicarinya. Mungkin ia lebih nekat sekarang.”
“Anda tahu siapa dia?”
“Saya bisa menebak. Ia Lorilleux. la ingin meminta kembali miliknya.”
“Bukan miliknya!”
“Pokoknya, ia menganggap itu miliknya. Tiga kali ia datang tanpa hasil. Kini ia akan datang lagi dan akan heran karena Anda ditemani banyak orang di sini. Ia akan lebih bersedia berbicara daripada Anda. Menurut Anda, ia datang membawa senjata atau tidak?”
“Tidak tahu!”
“Rasanya ia bersenjata. Ia sudah bosan menunggu. Entah apa yang Anda katakan kepadanya, tetapi ia sudah tidak percaya lagi. Wajahnya sudah nekat.”
“Diam!”
“Anda ingin kami pergi supaya bisa berdua saja dengannya?” tanya Maigret. Ketika itu pukul 22.38 dan Madame Martin pun terpaksa buka mulut karena khawatir dibunuh Lorilleux. Ia mau menjawab pertanyaan Maigret. Katanya, benda berharga yang tadinya tersembunyi di bawah papan dan kemudian dititipkan ke tempat penitipan barang di stasiun itu adalah gepokan uang kira-kira 1 juta frank. Uang itu bukan milik Lorilleux melainkan kepunyaan Julian Boissy yang dibunuh Lorilleux.
Lorilleux membunuh orang itu demi uangnya karena Madame Martin yang waktu itu sudah menikah dengan Jean bilang, ia mau kabur dengan Lorilleux kalau Lorilleux bisa menyediakan cukup uang kontan. Ia ingin kaya. Ia bosan hidup miskin dan dikelilingi orang-orang yang harus menghemat sesen demi sesen untuk bisa menyambung hidup.
Sebetulnya ia tidak mencintai Lorilleux seperti halnya ia tidak mencintai Jean. Ia bersedia kabur dan hidup bersama Lorilleux hanyalah untuk sementara, yaitu sampai ia bisa mendapat uang banyak.
Ditakut-takuti
Bagaimana caranya Boissy dibunuh? Boissy, duda kaya yang pelit itu, tinggal dalam kamar sewaan. Ia sering datang ke tempat Lorilleux karena Lorilleux menyediakan sarana untuk memuaskan gairah seksualnya yang tidak normal. Devaluasi frank menyebabkan Boissy ingin menukarkan uangnya dengan emas.
Monsieur Lorilleux yang biasa menyelundupkan emas dari Swiss bersedia membelikannya emas, tetapi Boissy diminta membayar lebih dulu.
Suatu hari Boissy datang membawa uang. Madame Martin disuruh pergi dari toko. Ketika ia kembali, dilihatnya Lorilleux sedang memasukkan mayat Boissy ke kotak besar. Menurut Madame Martin, ia tidak memeras majikannya, ia cuma menakut-nakuti. la bilang para tetangga curiga, jadi sebaiknya Lorilleux menitipkan uang Boissy kepadanya untuk disembunyikan di bawah papan lantai rumahnya. Hal itu bisa leluasa dikerjakan karena suaminya sering bertugas ke luar kota. Janjinya uang itu cuma dititipkan beberapa hari. Tapi ketika dua hari kemudian Madame Martin diajak kabur ke Belgia oleh Lorilleux, ia menolak. Ia menakut-nakuti lagi Lorilleux. Katanya, seseorang yang mirip inspektur polisi menanyai dia. Lorilleux ketakutan. Madame Martin memberinya sebagian dari uang Boissy supaya Lorilleux bisa kabur ke Brussel. Ia berjanji akan menyusul beberapa hari kemudian. Janji itu palsu.
“Dikemanakan jenazah Boissy?” tanya Maigret.
Lorilleux membawanya dengan taksi ke rumah peristirahatannya di tepi Sungai Marne. Mayat itu entah dikuburkan di sana, entah dibuang ke sungai, tetapi tidak pernah ada orang yang merasa kehilangan Boissy.
Selama lima tahun, Madame Martin selalu menakut-nakuti Lorilleux lewat surat. Katanya, polisi masih selalu datang menanyai Lorilleux kepadanya. Suatu kali bahkan Lorilleux sampai pergi ke Amerika Selatan saking takutnya. Karena jarang dikirimi uang, Lorilleux jadi nekat dan datang dua kali. Madame Martin memakai Colette sebagai alasan untuk tidak bisa mengambil uang, sementara ia berusaha mengenyahkan Lorilleux lagi.
“Suami Anda akan tiba di sini sepuluh menit lagi,” kata Maigret. “Saya rasa Lorilleux juga tahu, sebab ia sudah menghubungi Bergerac dengan telepon dan bisa membaca daftar kedatangan kereta. Anda ingin menunggu dua pria itu di sini?”
“Bawa saya pergi! Saya berpakaian dulu ....”
“Di mana resi Anda?”
“Di kantor pos Boulevard Beaumarchais.”
“Suami Anda dan Colette? Mereka ditinggal saja?”
“Biar saja.”
Madame Martin menggelayut ketakutan kepada Maigret dan Lucas ketika mereka menuruni tangga. Maigret kemudian bilang bahwa ia tidak akan ikut mengantar.
Ketika melihat tidak ada mobil polisi di jalanan, Madame Martin berhenti. Ia takut berjalan kaki hanya dengan dilindungi Lucas seorang.
“Jangan takut. Rorilleux tidak ada di sini, kok.”
Madame Martin pun mengamuk karena tadinya dikibuli.
Maigret menunggu kedatangan Jean Martin. Dua jam lamanya mereka berbicara. Ketika ia tiba di apartemennya di seberang pukul 01.30, didapatinya istrinya tertidur di kursi.
(Georges Simenon)
Baca Juga: Seorang Korbannya Maharaja dari India
" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726829/tamu-di-malam-buta" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680784229000) } } [1]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682473" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(100) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/pak-kep-kesetrumjpg-20230213032155.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(128) "Di hari Natal, Pak Sep ditemukan tewas di depan radio kesayangannya. Dari jari-jarinya yang menghitam, ia diduga tewas kesetrum." ["section"]=> object(stdClass)#72 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(100) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/pak-kep-kesetrumjpg-20230213032155.jpg" ["title"]=> string(16) "Pak Sep Kesetrum" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:22:06" ["content"]=> string(32144) "
Intisari Plus - Di hari Natal, Pak Sep ditemukan tewas di depan radio kesayangannya. Dari jari-jarinya yang menghitam, ia diduga tewas kesetrum.
--------------------
Hari Natal tanggal 25 Desember pukul 07.30. Emily Parks, pembantu rumah tangga di rumah Septimus Tonks, masuk ke kamar kerja majikannya. Ia membawa lap, sapu dan sikat. Kamar itu gelap. Jadi ia kaget setengah mati waktu tiba-tiba terdengar suara, “Selamat pagi, saudara-saudara. Selamat Natal!”
Untung Emily sadar suara itu asalnya dari radio. Pasti majikannya lupa mematikan alat itu sebelum tidur.
Emily membuka tirai dan menyalakan lampu. Saat itulah dilihatnya majikannya duduk di muka radio, membelakangi Emily. Tubuhnya condong ke arah benda mahal itu. Tangannya berada di meja, di bawah kenop-kenop. Dadanya bersandar pada laci meja dan kepalanya menempel pada radio, seperti sedang asyik mendengarkan sesuatu dari dalam benda itu.
“Maaf, Pak,” kata Emily yang tidak menyangka menemui majikannya sepagi itu di muka radio. Septimus tidak menjawab. Mata Emily membelalak ketika mendapati majikannya masih memakai pakaian lengkap seperti yang dipakai di meja makan kemarin malam. la membuka mulutnya dan berteriak-teriak seperti gila. Chase, pelayan kepala, muncul di pintu.
“Kenapa kau?” tanyanya dengan marah. Begitu melihat Septimus, ia segera menghampiri. la membungkuk memperhatikan wajah majikannya, lalu berseru: “Astaga!” la membekap mulut Emily dan mendorongnya ke luar. Di pintu mereka berpapasan dengan Hislop, sekretaris Septimus. Hislop masih memakai kimono.
“Masya Allah, Chase. Apa-apaan, sih!”
“Silakan ke kamar kerja, Pak! Emily, pergi sana ke kamarmu!” Emily berlari turun dari tingkat dua, disambut para pembantu lain dengan penuh rasa ingin tahu.
Chase dan Hislop masuk ke kamar kerja. Chase segera mengunci pintunya. “Ia ... ia sudah meninggal,” kata Hislop. Mayat itu sudah kaku.
Jarinya hitam
Chase menunjuk ke tiga jari tangan kanan Septimus: ibu jari, telunjuk dan jari tengah. Ketiganya kehitam-hitaman. Sementara itu suara genta menggema dari radio: ding, dong, dang, ding! Chase mencabut steker dari dinding supaya suara yang mengganggu itu berhenti.
“Hislop, ada apa sih?” tanya Guy Tonks dari luar. Putra sulung Septimus itu sia-sia mencoba membuka pintu yang terkunci.
“Anda saja yang keluar memberi tahu,” kata Chase. Hislop pun pergi ke luar dan di hadapan istri serta anak-anak Septimus mengumumkan dengan suara gemetar bahwa Septimus Tonks ditemukan sudah menjadi mayat.
“Apa yang menewaskannya?” tanya Guy, ketika ia sudah ada bersama Hislop dan Chase di kamar kerja.
“Tampaknya, tampaknya ... ia…”
“Kena setrum,” potong Guy.
“Kita mesti memanggil dokter,” usul Hislop ragu-ragu.
“Oh, ya, tentu saja. Tolong panggil dr. Meadows.”
Hislop menelepon, sementara Guy kembali ke tengah ibu dan saudara-saudaranya. Dr. Meadows tinggal tidak jauh dari sana. Lima menit kemudian ia sudah tiba dan memeriksa tubuh Septimus tanpa mengubah posisinya. Ia menanyai Chase dan Hislop. Chase sangat bersemangat perihal jari-jari yang terbakar. Berulang-ulang ia menyebut kata “kesetrum”.
Dr. Meadows lalu menanyai Emily sebelum menemui anggota keluarga Septimus, yaitu Guy, Arthur, Phillipa dan istri Septimus, Isabel.
“Apa yang menyebabkan kematian?” tanya Arthur.
“Kelihatannya kesetrum. Guy, saya ingin berbicara denganmu, Phillipa, tolong dampingi ibumu. Beri kopi dengan brendi.”
Ketika sudah berdua dengan Guy, dr. Meadows menyatakan mereka harus memanggil polisi. Begitu mendengar kata polisi, Guy jadi pucat. “Mengapa mesti memanggil polisi?”
“Ayahmu kesetrum. Tanpa polisi, saya tidak bisa memberi sertifikat kematian.”
Betapapun Guy meminta agar dr. Meadows memberi surat kematian tanpa membawa-bawa polisi, dokter itu tidak mau.
“Begini saja, Nak,” kata dr. Meadows. “Saya punya teman di bagian penyidikan pembunuhan Scotland Yard. Nanti saya telepon. Sekarang kau hibur dulu ibumu.”
Inspektur Detektif Kepala Roderick Alleyn datang memenuhi permintaan dr. Meadows. Ia ditemani Inspektur Fox, seorang dokter polisi bernama Curtis, seorang juru potret dan para teknisi.
Menurut dr. Curtis, tampaknya Septimus kesetrum ketika memutar kenop radio.
Fox yang memakai sepatu karet sehingga tidak takut kesetrum, memasang steker dan radio pun mulai berkaok-kaok lagi. Steker itu lalu dicabutnya. Sementara itu tubuh Septimus yang sudah selesai diperiksa diangkut ke ruang bawah, ditemani dr. Meadows.
Ketika Meadows naik lagi ke kamar kerja, dilihatnya seorang polisi sedang memeriksa sidik jari sekitar tempat radio. Radio itu sendiri diperiksa dengan saksama. Ternyata baik-baik saja keadaannya. Cuma ada sedikit keanehan: ada lubang yang baru dibor di panel di atas kedua kenop. Lubang itu garis tengahnya kurang dari 0,5 cm. Kalau kenopnya tidak dicopot, lubang itu tidak kelihatan.
Galak
Alleyn meminta dr. Meadows menceritakan perihal Tonks dan keluarganya.
“Dia orang yang tidak menyenangkan,” kata dokter keluarga Tonks itu. “Ia seorang yang berhasil maju atas usaha sendiri, orangnya keras dan kasar.” Dr. Meadows ternyata sudah mengenalnya selama seperempat abad. “Istrinya tetangga kami dulu di Dorset. Sayalah yang menolong kelahiran semua anak-anaknya. Mereka keluarga aneh. 10 tahun terakhir ini Isabel, Ny. Tonks, mengalami neurosis. Ia takut sekali kepada suaminya. 18 bulan yang lalu saya membicarakan keadaan Isabel kepada Sep. Tapi ... ah, saya tidak boleh berbicara tentang pasien saya seperti ini.”
Tentang Septimus Tonks sendiri, menurut dr. Meadows, ia menderita tekanan darah tinggi dan jantungnya lemah. Putra sulungnya, Guy, saat ini bekerja di kantor ayahnya, sedangkan Arthur ingin belajar seni tetapi dipaksa belajar hukum. Phillipa ingin belajar main sandiwara tetapi dilarang.
“Galak pada anak-anaknya,” komentar Alleyn. Dr. Meadows yang merasa terlalu banyak mengungkapkan rahasia keluarga pasiennya lekas minta diri, tetapi di pintu ia berbalik. “Semalam ada pertengkaran hebat di sini,” katanya. “Sudah sejak lama saya memesan Hislop agar ia memberi tahu saya kalau terjadi apa-apa yang menyebabkan Isabel risau.”
“Semalam Sep meneguk banyak minuman keras dan memaki-maki Phips, maksud saya Phillipa, di kamar anaknya itu. Saat Hislop menelepon, hari sudah pukul 22.20. Katanya, Isabel sudah tidur, tetapi Sep belum berhenti mengamuk. Sementara itu semua pembantu libur. Saya pesan, kalau setengah jam lagi kemarahan Sep belum reda, harap saya ditelepon kembali. Sebaiknya Hislop sendiri jangan ikut campur. Kalau ia dengar Sep sudah keluar dari kamar Phillipa yang terletak bersebelahan dengan kamarnya, tolong ia tengok gadis itu, takut terjadi apa-apa.”
“Setengah jam kemudian, saya menelepon. Tidak ada yang mengangkat telepon. Artinya semua sudah beres, mereka sudah tidur. Jadi saya pun tidur.”
Begitulah keterangan Meadows.
Kenop maut
Sementara itu para teknisi yang memeriksa radio tidak menemukan apa pun yang bisa menyebabkan Septimus Tonks kesetrum. Pesawat radionya sempurna. Anehnya, tak ada satu sidik jari pun di alat itu!
Namun Alleyn mendapatkan keanehan lain. Ketika kenop-kenop bakelit yang menempel pada batangan baja dicabut, ada sisa-sisa kertas penyerap tinta di batangan itu.
“Biasa dilapisi kertas tinta, Fox?”
“Kertas tinta? Tidak, Pak. Buat apa?” Pentol-pentol tali penarik tirai ternyata sama persis dengan kenop radio itu. Pentol-pentol itu ia cabut hati-hati dengan tangan bersarung, lalu dipasang di batang. Ternyata pentol itu terlalu longgar.
Sepuluh menit kemudian Alleyn memanggil Guy Tonks.
“Apa yang membunuh ayah saya? Serangan otak?” tanya Guy.
“Belum tahu, harus dilakukan pemeriksaan jenazah dulu.”
Guy kaget. “Pemeriksaan resmi?” tanyanya.
“Saya kira begitu.” Alleyn bertanya siapa yang kira-kiranya mengotak-atik radio. Guy pucat dan tidak bisa berbicara.
“Kalau begitu ia meninggal gara-gara radio?” tanyanya akhirnya.
“Hal itu akan ditentukan oleh pemeriksaan jenazah.”
“Saya tidak tahu apa-apa tentang radio,” kata Guy tiba-tiba.
“Tidak seorang pun pernah menyentuhnya, kecuali ayah saya. Tidak boleh ada orang lain dekat-dekat benda kesayangannya itu.”
“Selain ayah Anda, siapa di rumah ini yang senang radio?”
“Adik saya, Arthur, pernah senang, tetapi ayah tidak mengizinkan ada radio lain di rumah ini.”
“Ada orang yang tidak puas terhadap ayah Anda di rumah ini?”
Guy Tonks mengangkat dagunya. Ia memandang tajam mata Alleyn. “Semua orang.”
Alleyn menunjuk ke dua buah tombol hitam di dalam asbak.
“Anda,tahu apa ini?”
“Tidak. Apa itu?”
“Saya kira benda inilah yang menyebabkan ayah Anda meninggal.”
Ada yang mengotak-atik
Saat itu pintu terbuka. Arthur masuk.
“Guy, ada apa, sih? Apa yang menyebabkan ayah meninggal?”
Guy menunjuk ke dua kenop di asbak. “Mereka bilang itu,” jawabnya.
Arthur kelihatan gugup dan buang muka.
“Silakan Anda pasang pada batangan untuk mengatur volume suara,” pinta Alleyn.
“Tapi itu ‘kan logam!” kata Arthur.
“Stekernya dicabut, kok.”
Arthur mengambil sebuah tombol dan memasangnya di tempat yang diminta.
“Terlalu longgar,” katanya. “Bakal copot terus.”
“Tidak copot kalau diganjal, dengan kertas penyerap tinta umpamanya.”
“Dari mana Anda peroleh benda ini?” tanya Arthur.
“Kelihatannya Anda tahu, Anda melirik ke tali penarik tirai.”
“Saya memang tahu. Soalnya, waktu ayah saya pergi tahun lalu, saya melukis Phillipa di sini dengan latar belakang tirai.”
“Eh, Pak Alleyn!” kata Guy. “Apakah Anda menuduh adik saya ....”
“Saya?” seru Arthur. “Kenapa saya?”
“Saya menemukan kertas pengisap tinta di kenop yang ada di radio,” potong Alleyn. “Kenop yang ditiru itu mirip betul dengan kenop bakelit. Dilihat sepintas lalu tidak kentara bedanya, cuma saja kenop ini dari logam.”
Arthur mengamati radio dengan saksama lalu berkata, “Kalaupun kenop metal ini dipakai mengganti kenop bakelit, tidak mungkin ayah terbunuh. la tidak akan kesetrum sebab kedua alat pengatur ini diamankan, dihubungkan dengan tanah.”
“Tapi lihatlah dua lubang yang dibor di situ,” kata Alleyn. Arthur memperhatikan lagi.
“Astaga! Dia benar, Guy,” katanya.
“Menurut Inspektur Fox, kedua lubang itu bisa dipakai untuk memasukkan kawat pengantar listrik. Dengan memanipulasi transformator, menghubungkan kawat dengan kenop dan mengotak-atik sedikit, orang yang memegang kenop bisa kena aliran listrik sekitar 300 volt.”
Arthur membantah kemungkinan itu. “Setrumnya tak cukup kuat,” katanya.
Si bungsu kepergok berciuman
“Sekarang polisi ingin tahu apa yang dilakukan oleh penghuni rumah itu semalam, sebab menurut dr. Meadows, Tonks meninggal antara 3- 8 jam sebelum ditemukan.
“Saya bertemu dengannya kurang lebih pukul 20.45,” kata Guy. “Ketika saya akan berangkat ke pesta di Savoy, saya melihatnya menyeberangi ruang tengah dari ruang duduk ke kamarnya.”
Setelah Guy pergi ternyata Arthur masih mendengar ayahnya mendiktekan sesuatu kepada Hislop. Waktu itu Hislop sebenarnya minta izin pergi merayakan Natal, tetapi ayahnya ingin Hislop menyelesaikan pekerjaan yang dianggapnya mendesak.
“Dia ‘kan biasa begitu,” kata sang putra. “Begitu ‘kan dr. Meadows?”
“Menurut Arthur, ketika ia akan pergi ke pesta pukul 22.00, ia mendengar ayahnya marah-marah kepada Hislop.”
“Pukul berapa kalian berdua pulang?” tanya Alleyn.
“Saya pulang pukul 00.12,” jawab Guy. Waktu itu didengarnya suara radio keras sekali, tetapi tak ada suara lain.
Arthur tak ingat pukul berapa tepatnya ia pulang, tetapi pasti setelah pukul 01.00. Rumah gelap dan sunyi.
“Anda punya kunci?”
“Ya, kami punya masing-masing sebuah,” kata Guy. “Kunci-kunci itu selalu digantung pada paku di lobi.” Saat ia pulang, kunci Arthur tidak ada. Ibunya tak punya kunci, sedangkan kunci Phips hilang beberapa minggu sebelumnya. Guy yakin ibu dan adik perempuannya ada di rumah, tapi Arthur tidak ada.”
Alleyn meminta mereka berdua kembali ke kamar duduk dan memanggil Phillipa.
Alleyn menjelaskan kepada si bungsu bahwa kemungkinan besar Septimus Tonks tewas kesetrum. Ia sengaja tak mau memberi kesan bahwa ia curiga Septimus Tonks dibunuh.
“Siapa yang terakhir melihat ayah Anda dalam keadaan hidup?” tanyanya.
“Saya kira saya,” jawab Phillipa dengan tenang saja. “Saya bertengkar dengannya sebelum pergi tidur.”
Mula-mula ia tidak mau menjelaskan apa yang mereka pertengkarkan, tetapi kemudian ia mengaku juga.
Katanya sekitar pukul 22.05, setelah Arthur pergi, ia memergoki sekretaris ayahnya, Richard Hislop, menangis. Richard itu sekretaris ayahnya yang paling awet, yang betah bekerja sampai dua tahun. Sekretaris-sekretaris sebelumnya tidak ada yang bertahan selama itu. Hislop sebenarnya sudah lama ingin berhenti, tetapi ia khawatir tak mendapat pekerjaan, sebab sebagai duda beranak dua, ia harus menghidupi dua anaknya yang sering sakit.
“Saat itu saya sadar bahwa saya mencintai dia dan dia mencintai saya. Ketika saya menciumnya, ayah muncul dan mengamuk. Ayah memerintahkan Richard pergi ke ruang kerja dan saya disuruhnya masuk ke kamar. Ayah berteriak-teriak memaki saya seperti orang gila. Mungkin karena ia banyak minum. Ia memang peminum. Ah, mestinya saya tidak menceritakan hal ini,” kata Phillipa seraya menutup matanya dengan tangan.
“Tapi saya tak membunuhnya. Kakak-kakak saya juga tidak. Kami tidak berani.”
Suara radio terganggu
Ketika ayah Anda berteriak-teriak, apakah ada orang yang mendengar?”
“Ibu mendengarnya. Ibu datang, tapi saya minta ibu cepat-cepat pergi. Saya tidak mau ibu terlibat. Soalnya, ayah pernah mau membunuh ibu. Kadang-kadang ayah ... kami tidak tahu apa yang sering terjadi antara ayah dan ibu di balik pintu tertutup.”
“Kemudian?”
“Kemudian ayah juga menyuruh ibu pergi. Ayah lkut pergi setelah mengunci pintu kamar saya dari luar.”
“Anda terkunci sepanjang malam?”
“Tidak, Hislop, yang kamarnya di sebelah kamar saya, mau membukakan pintu. Cuma saya larang. Ketika Guy pulang dan lewat di depan kamar saya, saya minta ia membukakannya.”
“Kakak Anda tahu apa yang terjadi?”
“Saya cuma bilang saya bertengkar dengan ayah.”
“Anda bisa mendengar bunyi radio?”
“Ya, samar-samar.”
“Anda mulai mendengarnya setelah ayah Anda kembali ke kamar kerja?”
“Saya tidak ingat.”
“Coba Anda ingat-ingat.”
“Saya coba, ya? Waktu ia memergoki Richard dan saya, rasanya saya tidak mendengar suara radio. Waktu itu ‘kan ayah baru saja selesai bekerja dengan Richard. Kemudian ketika ayah baru kembali ke kamar kerja dari kamar ibu, saya mendengar suara radio terganggu. Bising sekali, lalu sunyi. Rasa-rasanya saya mendengar gangguan sekali lagi. Oh, ya sehabis bunyi gangguan itu, radiator di sebelah tempat tidur saya mati. Saya kira listrik mati. Radiator menyala lagi kira-kira 10 menit kemudian.”
“Radio ikut berbunyi?”
“Saya tidak ingat dengan pasti seingat saya radio berbunyi lagi tak lama sebelum saya tidur.”
Sekarang giliran Chase, si pelayan kepala, ditanyai. la baru bekerja dua bulan dan akan minta berhenti akhir minggu ini. Soalnya ia tidak betah. Menurut pendapatnya, majikannya gila.
Malam itu, kata Chase, semua pelayan merayakan Natal di luar. Mereka beramai-ramai pergi pukul 21.00. Chase berangkat terakhir, pukul 22.00 lewat. Ia kembali pukul 23.20. Pelayan lain sudah kembali dan tidur. Chase sendiri juga tidur. Mereka masuk rumah lewat pintu untuk pelayan di belakang. Dari tempat mereka tak ada yang mendengar radio.
Biasa menjilati jari
Dari Chase, Alleyn mengetahui bahwa Tonks mempunyai kebiasaan aneh yaitu memutar tombol tuning dan volume sekaligus. Yang satu dengan tangan kiri, yang lain dengan kanan sekaligus. Anehnya lagi ia biasa menjilat dulu jarinya. Dokter Meadows pernah memperingatkan bahwa kebiasaan menjilat jari itu berbahaya.
Chase diminta memanggilkan Richard Hislop. Pada saat Chase meninggalkan ruangan itu Fox berkata kepada Alleyn, bahwa jari basah berbahaya sekali dipakai memegang tombol yang kontak. Apalagi kalau kedua belah tangan dipakai sekaligus memutar tombol-tombol logam.
Sementara itu diketahui bahwa di switchboard yang berada di bawah tangga, ada tanda-tanda sebuah sekring baru saja diganti. Dalam lemari di bawahnya ada potongan kabel listrik dari merek yang sama seperti yang dipakai radio dan radiator.
Hislop datang. Katanya, sehabis makan pukul 20.00, majikannya mendiktekan beberapa surat. Ia menyangkal bertengkar dengan Tonks. Namun, setelah tahu Phillipa menceritakannya kepada Alleyn, ia mengaku bahwa semalam, sebelum dipergoki berciuman dengan Phillipa, ia dimaki-maki majikannya karena membuat beberapa kesalahan. Ia menelepon dr. Meadows untuk memberi tahu pertengkaran Phillipa dengan ayahnya. Ketika suami-istri Tonks keluar dari kamar Phillipa, ia berniat menelepon dr. Meadows lagi, tetapi dicegah oleh Phillipa yang sedang dikuncikan di kamar. Ia dipesan Phillipa agar diam saja di kamarnya sendiri.
“Setelah Pak Tonks kembali ke kamar kerjanya, Anda bisa mendengar suara radio?” tanya Alleyn.
“Ya, setidak-tidaknya saya mendengar bunyi gangguan pada radio.”
“Anda tahu banyak tentang radio?”
“Tidak banyak.”
Hislop dipersilakan memanggil Ny. Tonks. Isabel Tonks kelihatan pucat seperti mayat. Alleyn menanyainya dengan lemah-lembut. Kata Ny. Tonks, malam kemarin ia tidak enak badan sehingga makan di kamar. Lalu ia mendengar teriakan-teriakan suaminya memaki Phillipa. Jadi ia naik ke kamar Phillipa. Suaminya menuduh putrinya “yang tidak-tidak”. Kemudian suaminya ikut dia ke kamarnya dan terus mengatakan “yang tidak-tidak”. Ny. Tonks menduga suaminya kebanyakan minum minuman keras.
Setelah sekitar seperempat jam marah-marah di kamar Ny. Tonks, Septimus Tonks pergi melewati kamar Phillipa. Entah ke mana, mungkin ke bawah. Ia tak bisa mendengar suara radio dari kamarnya.
Mengigau
Kini giliran Alleyn berpikir. Guy dan Arthur mempunyai alibi. Tinggal Phillipa, Ny. Tonks, Hislop dan para pelayan.
Menurut Fox, kenop bakelit pada radio sengaja diganti dengan kenop logam dari tirai. Lalu dibuatlah lubang dekat kenop supaya bisa menyetrum orang yang memegang tombol, kawat dari adaptor ke radiator dipotong. Ujung-ujungnya dimasukkan ke dalam kedua lubang itu yang dihubungkan dengan dua tombol. Jadi ada kutub positif dan negatif. Tonks memegang sekaligus kutub positif dan negatif dengan kedua tangannya yang basah sehingga setrum melalui tubuhnya. Sekering di switchboard segera meledak. Mungkin sekali pembunuh menyiapkan hal itu pada saat Sep bertengkar dengan putri dan istrinya, yaitu setelah Arthur berangkat. Ketika Sep kembali ke kamar kerjanya sekitar pukul 22.45, ia kena setrum. Pembunuh cepat-cepat memasang lagi kawat ke radiator, mengangkat kawat-kawat maut, mengganti kembali tombol dan membiarkan radio berbunyi.
“Apakah bunyi gangguan yang didengar Phillipa dan Hislop disebabkan korsleting yang membunuh Sep?” tanya Alleyn.
“Ya!” jawab Fox. Menurut Fox, untuk melakukan itu pembunuh paling-paling memerlukan waktu 15 menit. Fox curiga Hisloplah yang melakukannya.
“Ini bukan pekerjaan perempuan,” katanya.
Chase dipanggil, dimintai keterangan tentang Hislop. Kata Chase, waktu Hislop sakit, ia pernah mengigau, menyatakan ingin membunuh sang majikan.
“Tanya saja dr. Meadows,” katanya. Dr. Meadows ditelepon, diminta datang. Ia segera muncul.
“Nonsens!” katanya. “Pasti Sep kesetrum karena ulahnya sendiri. la mengotak-atik sendiri mainannya itu!”
“Mana mungkin ia membetulkannya lagi setelah tewas,” kata Alleyn.
“Tapi Anda tak bisa menangkap orang gara-gara igauannya,” jawab dokter keluarga itu.
“Tapi Hislop mempunyai motif lain,” ujar Alleyn.
“Phips?” tanya dr. Meadows.
“Ya.”
“Astaga. Anda yakin pada alasan Anda?”
“Ya!” jawab Alleyn tegas. “Saya harus melaksanakan tugas saya. Anda boleh pulang, Meadows.”
Menyimpang dari skenario
Hislop dipanggil. Ia diinterogasi. Ia mengaku membenci majikannya dan ingin membunuhnya, tetapi ia menyangkal keras membunuhnya.
“Bukan saya! Pasti orang lain!” katanya bersikeras dengan tubuh gemetar.
Tahu-tahu Chase muncul. “Surat buat Anda, Pak,” katanya kepada Alleyn. “Tadi diantar seseorang.”
Alleyn membuka sampul surat dan membaca beberapa kalimat, lalu berkata.
“Anda boleh pergi, Pak Hislop! Saya sudah mengetahui siapa yang bertanggung jawab.”
Bunyi surat itu begini:
Alleyn yang baik,
Jangan tangkap Hislop. Sayalah yang melakukannya. Saya mencintai Isabel sejak ia belum bertemu Sep. Ia tidak mau minta cerai demi anak-anak. Namun, Sep mencurigai kami dan meneror Isabel sampai hampir gila. Saya pikir, saya harus bertindak. Beberapa minggu yang lalu saya ambil kunci Phips dari gantungannya. Saya juga menyiapkan peralatan, kabel, kawat dan semuanya. Saya tahu switchboard utama ada di bawah tangga.
Saya ingin menunggu mereka semua pergi pada malam tahun baru, tetapi semalam Hislop menelepon tentang pertengkaran itu. Saya kira saya harus bertindak cepat.
Menurut Hislop, anak laki-laki dan para pelayan sedang pergi, sedangkan Phips dikunci di kamar. Saya minta ia tinggal di kamarnya dan menelepon setengah jam lagi, kalau keadaan belum tenang. Ia tidak menelepon. Ketika saya telepon, tak ada yang mengangkat. Jadi berarti Sep tak ada di ruang kerjanya.
Saya datang dan diam-diam masuk ke kamar. Lampu di ruang kerja masih menyala. Artinya Sep akan kembali ke sana. Ia memang ingin mendengar siaran tengah malam.
Saya kunci pintu dan mulai bekerja. Cuma makan waktu 12 menit. Lalu saya pergi menunggu di ruang tamu.
Sep turun dari kamar Isabel dan masuk ke kamar kerjanya. Terjadilah yang sudah direncanakan. Diam-diam saya masuk dan membereskan semuanya.
Saya menyalakan lagi radio. Saya tahu saya akan dipanggil begitu ia ditemukan meninggal. Rencananya saya akan menyatakan ia tewas karena stroke. Saya sudah memperingatkan Isabel bahwa hal itu bisa terjadi setiap waktu.
Namun, ternyata jari Sep hitam dan Chase berkoar-koar tentang hal itu dan tentang majikannya kesetrum. Hislop juga melihat jari hitam itu. Terpaksa saya harus melapor kepada polisi. Tak saya duga kalian akan mencurigai kenop.
Saya tidak mau kalian menggantung Hislop. Bersama surat ini saya lampirkan surat untuk Isabel, yang tak akan bisa memaafkan saya. Terlampir juga surat resmi untuk keperluan Anda. Kalian akan menjumpai saya di kamar saya. Saya mempergunakan sianida. Kerjanya cepat. Maaf Alleyn. Saya harap Anda maklum. Selamat tinggal!
Henry Meadows
(Ngaio Marsh)
Baca Juga: Pembantaian Ala Nazi
" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682473/pak-sep-kesetrum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301726000) } } [2]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517218" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/tiga-nyawa-untuk-selamatkan-duni-20221009071910.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Kehidupan pasangan Kip dan Lori bak dongeng. Namun sembilan hari setelah Natal, keluarga itu ditemukan tewas mengenaskan di kediaman mewahnya." ["section"]=> object(stdClass)#76 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/tiga-nyawa-untuk-selamatkan-duni-20221009071910.jpg" ["title"]=> string(33) "Tiga Nyawa untuk Selamatkan Dunia" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 19:19:39" ["content"]=> string(30177) "
Intisari Plus - Kehidupan pasangan Kip dan Lori bak dongeng. Namun sembilan hari setelah Natal, keluarga itu ditemukan tewas mengenaskan di kediaman mewahnya.
-------------------
Kehidupan pasutri Kip Rennsler (34) dan Lori (28) bak sebuah dongeng. Tinggal di Pulau Bainbridge yang sangat indah, dekat Washington, tempat impian banyak orang di Amerika Serikat. Setiap 30 menit, kapal feri berseliweran pulang-pergi, mengangkut para penghuni pulau tersebut yang bekerja di Seattle. Bainbridge telah memesona para eksekutif dan profesional berpenghasilan di atas rata-rata, untuk tinggal di sana.
Karier Kip sendiri tengah menanjak, saat ia membeli rumah di pulau itu. Saat baru menginjak awal tiga puluh, ia sudah menduduki jabatan wakil presdir Old National Bank di kantor pusat Seattle. Penghasilannya yang lumayan itu pula yang membuat Lori, istrinya yang cantik yang bekerja di tempat yang sama, tidak lagi perlu bekerja. Mereka telah menikah enam tahun dan dikaruniai seorang putra: Steven “Stevie” Daniel Rennsler.
Walau terkadang Kip harus lembur, tapi dengan ditemani seekor anjing tekel dan Stevie, Lori tidak takut berada di rumah yang agak terpencil itu. Angka kejahatan di Bainbridge memang rendah. Perampok dan pemerkosa lebih memilih beroperasi di dataran kering karena bisa lebih leluasa melarikan diri melewati jalan biasa daripada harus repot dengan kapal feri.
Begitulah, keluarga bahagia ini telah melewati hari Natal keenam dengan indahnya. Lori menata lampu-lampu dan mendekorasi ruangan, sementara Stevie yang sudah agak besar begitu antusias dengan “Sinterklas”. Mereka pun menjamu para kerabat, dengan suasana gembira.
Noda di pesawat telepon
Tak seorang pun menyangka, sembilan hari sesudah Natal, peristiwa mengerikan terjadi di kediaman keluarga Rennsler.
Tepatnya, tanggal 3 Januari, pukul 14.21. Max Abrams, petugas di kantor sheriff Wilayah Kitsap, sedang bersiap-siap pulang ketika tiba-tiba telepon berdering.
“Tolong, Pak, cepat kirim orang ke sini!” terdengar suara seorang wanita panik di seberang sana. “Saya menemukan tetangga saya tergeletak di rumahnya, dadanya luka parah. Kelihatannya, ia sudah mati!” tambahnya.
Abrams berusaha menenangkan wanita itu, “Tolong tenang dan berhati-hati, Bu. Kami segera mengirim petugas ke lokasi.”
Begitu memperoleh alamat lengkap, Abrams langsung menghubungi Bill Clifton, kepala detektif. “Saya tidak tahu persis apa yang terjadi, Bill. Tetapi wanita yang tadi menelepon itu agaknya shock sekali. Saya sudah mengirim beberapa unit ke sana.”
Lewat darat, jarak kantor sheriff Port Orchard dengan lokasi kejadian di Ferncliff, sekitar 64 km. Clifton mengirim Sersan Don Hamrich untuk memeriksa situasi, ditemani Les Cline, ahli olah tempat kejadian perkara (TKP).
Don Hamrich tak lama kemudian menghubungi Bill Clifton. “Sebaiknya Anda cepat ke sini. Bill,” suara Hamrich terdengar tegang. “Agaknya ada kasus pembunuhan triple. Seorang pria, dengan luka tikam di dada, seorang perempuan dan seorang anak juga mati. Enggak tahu, apa masih ada lagi korban,” lapor Hamrich.
“OK. Tutup rapat rumah itu. Jangan biarkan ada yang masuk sampai tim identifikasi tiba,” tegas Clifton, seraya menyambar jaket dan menuju mobilnya. Sesaat ia berhenti sebentar, minta Abrams menghubungi semua petugas sheriff yang terkait. Walau cuma berjarak 1 mil ke Pulau Banbridge - tapi karena lokasi ini terpisah oleh laut, Clifton harus berputar menyusuri garis pantai Puget Sound, melewati Teluk Liberty, Silverdale, persimpangan Keyport, sepanjang 64 km.
Hanya dalam waktu sekitar 45 menit, tepatnya pukul 15.08, Clifton tiba di TKP. Garis polisi di pekarangan rumah Rennsler telah dibentangkan oleh deputi dari Kitsap County. Bisingnya bunyi sirene dan kehadiran enam petugas polisi, telah mengundang rasa ingin tahu para tetangga. Suasana suram terasa di hari yang mulai gelap itu. Wajah tegang serta kebingungan para deputi membuat suasana semakin mencekam di sekitar rumah kuning nan indah. Hamrich tampak berjaga di sekitar teras.
Saat Bill Clifton tiba di sana, ia lega melihat hanya ada mobil-mobil unit polisi di sekitar rumah korban. Antara tempat parkir mobil dan rumah Rennsler dipisahkan oleh sebuah selokan cukup lebar yang airnya mengalir ke laut. Untuk bisa sampai ke serambi depan rumah itu, para petugas penyelidik harus melintasi sebuah jembatan yang lebarnya hampir sekitar 1,5 m.
Mimpi buruk di TKP
Para petugas memasuki ruang keluarga yang indah bergaya country, lengkap dengan tungku perapian. Sebuah meja bar untuk sarapan dan sebuah pembatas ruangan terlihat memisahkan ruang keluarga dengan dapur rumah itu. Sekilas, keadaan di dalam rumah normal-normal saja.
Sebuah dompet wanita tersandar di pembatas antara ruang tamu dengan dapur. Di dekatnya ada beberapa buku catatan, sebuah kartu ucapan ulang tahun, serta sebuah pesawat telepon. Di pesawat telepon itu penyidik menangkap adanya noda darah tipis yang sudah mengering.
Para petugas mengitari pembatas ruangan itu, dan sampai ke sebuah ruangan lain, yang merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang kerja kecil. Keadaan yang sebelumnya normal, di sini berubah mengerikan! Semua mata petugas terpaku pada sesosok tubuh pria dalam posisi aneh, mengingatkan mereka pada upacara korban penyiksaan ritual orang Aztec. Tubuh pria telanjang bulat itu terbujur kaku, telentang di atas sebuah meja, dengan kedua tumit hampir menyentuh lantai. Kedua lengan terentang lurus dan kepala miring ke belakang.
“Ya ampun, lihat dadanya!!” kata salah seorang deputi. Tubuh pria itu nyaris sempurna. Otot-ototnya terlihat kuat dan menonjol. Ada empat luka parah di dadanya. Satu di antaranya menganga lebar, seakan ada yang ingin mengorek jantungnya keluar. Tak seorang pun dari keempat petugas berpengalaman ini pernah menyaksikan pembunuhan sekejam ini. Berusaha setenang mungkin, Les Cline memotret mayat pria itu.
Selanjutnya, rombongan bergerak menuju dua pintu kamar yang lumayan besar. Di salah satu kamar itu, mereka menemukan sosok seorang wanita, tertelungkup di atas ranjang. Wanita bertubuh ramping itu mengenakan jubah tidur satin panjang berwarna merah berikat pinggang quilt satin putih. Tubuhnya melintang di ranjang dengan kaki menggantung di pinggiran ranjang, dan kedua tangan tertekuk di bawah tubuhnya. Sebilah pisau besar berujung agak bengkok, dan pegangannya berlumuran darah yang sudah mengering, terlihat berada di sebelah kanan kepalanya.
Di dekat kaki mayat wanita tadi, terkulai seekor anjing tekel, yang juga sudah ditusuk mati.
Mata Les Cline yang tiba terakhir di ruangan itu, tertumbuk pada sebentuk benda yang menyembul dari bawah tempat tidur. Kain penutup ranjang menutupi sebagian benda itu, yang ternyata tubuh seorang anak kecil. Kedua tungkai serta kakinya terbungkus piyama. Sepertinya bocah laki-laki dalam posisi telentang itu baru berusia dua atau tiga tahun. la mati dengan luka tusukan di sisi kiri lehernya.
Clifton dan timnya mengitari ruangan itu. Mereka menatap tubuh wanita yang tergeletak di atas seprai mahal tempat tidurnya. Pada mayat wanita itu tak ditemukan setetes pun bercak darah pada bajunya, kecuali ada noda tipis di kerah jubahnya. Bill Clifton berlutut dengan hati-hati di sisi ranjang, dan mengangkat bagian belakang kerah dekat kepala jubah tidur wanita itu.
“Les,” panggil Bill dengan kedua rahangnya tampak mengatup kuat. “Lehernya tidak ada! Seperti ditembak dari jarak dekat. Coba, jangan-jangan ada pistol di balik tubuhnya!”
Dua petugas membalikkan tubuh wanita cantik berambut pirang itu. Tidak ada apa-apa. Tapi, jelas ada sesuatu yang hebat membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya. Sepertinya, seseorang telah membacok lehernya. Selain itu, ada luka tusuk pada dada - sekitar empat atau lima. Para penyidik berasumsi korban mestinya sudah mati saat lehernya menjadi sasaran.
Ketiga dinding ruang tidur itu penuh dengan cipratan dan lumuran darah. Kemungkinan pisau yang ditemukan tadi digunakan untuk menikam berkali-kali. Anehnya, hampir tidak ada tanda-tanda perlawanan.
Selanjutnya, mereka memeriksa dua atau tiga kamar lainnya. Tidak ada lagi mayat yang ditemukan. Tapi di salah satu kamar lain - agaknya kamar si anak - rupanya menjadi tempat pembantaian. Sebuah tempat tidur bertingkat terletak merapat ke dinding. Tempat tidur atas kelihatannya tidak pernah dipakai. Sedangkan kasur tempat tidur bawah berada di lantai, di samping boks bayi. Seluruh seprai dan selimut penuh dengan darah. Begitu juga kain alas boks bayi.
“Aneh!” kata Bill Clifton, “Bagaimana seseorang bisa mengeluarkan darah sebanyak ini, sampai membasahi kasur dan boks? Apalagi kalau cuma seorang anak! Saya rasa, si bocah ada di kasur ini tadinya. Makanya, pada mayatnya hampir tidak ada darah lagi,” kata Clifton.
Kamar tidur ketiga kelihatannya aman, tak terlihat tanda-tanda kekerasan. Kelihatannya kamar itu hanya dipakai untuk menyimpan barang-barang yang tidak dipakai. Kamar mandi juga bersih. Hanya di depan lemari es di dapur, ditemukan sebuah kasa pembalut dan plester, berbentuk jari. Lalu di bak cuci ganda, terlihat ada dua atau tiga cangkir teh dengan teh celup dan beberapa gelas di dalam salah satu bak cuci itu.
Para penyidik Kitsap County belum bisa mengidentifikasi kejadian ini. Mereka menemukan kotak berisi surat-surat dan banyak buku catatan di ruang keluarga maupun ruang kerja. Dari informasi para tetangga maupun kertas-kertas tadi, tak diragukan lagi mayat laki-laki tadi adalah Kip Steven Rennsler, vice president Old National Bank.
Informasi para tetangga
Para detektif pun mulai menanyai para tetangga Rennsler satu per satu. Rumah Rennsler memang benar-benar terpencil, sehingga kalaupun mereka berteriak atau minta tolong, pasti takkan terdengar. Belum lagi suara berisik debur ombak di pantai di sekitarnya.
Tetangga yang tadi menelepon polisi bercerita, “Saya ke rumah Rennsler karena ada kolega Kip di bank sudah menelepon ke rumahnya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Lalu temannya itu minta tolong saya. Karena takut, saya ajak seorang pria tetangga lain. Ketika kami masuk, yang pertama kali kami lihat adalah gagang telepon yang menggantung. Ketika pria yang menemani saya itu masuk ke dalam, ia menjumpai mayat pria. Ia langsung berbalik dan keluar.”
“Tapi, saat kami masuk tadi, telepon kok tidak menggantung,” tanya Clifton.
“Ya. Pria tetangga itu yang menaruhnya kembali secara refleks,” kata si perempuan lagi.
Ini kabar buruk bagi para penyidik. Berarti mereka tidak bisa memeriksa telepon yang bernoda darah itu yang kemungkinan ada bukti sidik jarinya. Ini bukan pembunuhan biasa - sepertinya pembunuhan maniak.
Wanita tadi menambahkan, saat mereka tiba di TKP, pintu dalam keadaan terbuka. Padahal di bulan Januari itu udara begitu dingin. Mungkinkah para pembunuhnya meninggalkan rumah begitu saja?
Petugas juga menelusuri pekerjaan Kip. Siapa tahu, Rennsler memiliki informasi yang dibutuhkan si pembunuh. Bukan tak mungkin ada seseorang yang menginginkan nomor kombinasi ruang besi tempat penyimpanan uang di bank, lalu menyatroni rumahnya, dan menyandera keluarganya.
Clifton mencoba membuat skenario yang cocok dengan tragedi ini. “Menurut para tetangganya, Kip setiap pagi naik feri pukul 07.10, menuju Seattle dan tiba di tempat kerjanya di kota pukul 07.45. Tetapi siapa tahu hari itu Kip sedang tidak enak badan, jadi ia diam di rumah? Lalu pelaku mengira ada anak-istrinya di rumah yang bisa dijadikan sandera, namun rencananya berantakan karena Kip ternyata ada di rumah, sehingga semuanya dibunuh,” Clifton berasumsi.
Ibu dan anak berpakaian tidur, sedangkan ayahnya ditemukan telanjang. Mungkin ia sedang atau baru mandi. Tapi Kip ‘kan berotot dan kuat. Harusnya ia dapat melawan. Atau siapa tahu ia dikeroyok?
Kemungkinan lain, istrinya yang menjadi target. Lori wanita cantik, mungkin pelaku terobsesi sering melihatnya di pantai, berbelanja, atau ke perpustakaan. Erotomania, istilah bagi orang yang terobsesi pada seseorang yang tak dikenalnya, dan ia terus “mengejar” hingga korban dikuasai. Di atas pukul 06.30, memang hanya ada Lori dan Stevie di rumah. Waktu yang pas untuk merencanakan pemerkosaan. Tetapi Senin pagi itu, ternyata semua ada di rumah. Itu yang membuat semuanya ikut jadi korban.
Bagaimana dengan kemungkinan Kip sakit? “Tapi kalau Kip sakit, mengapa dia tidak menelepon ke kantor?” tanya seorang detektif. “Ya, kita belum tahu juga. Sebaiknya kita menanyai rekan kerjanya.”
Sementara itu, Les Cline mengumpulkan semua bukti fisik seperti rambut, ceceran darah, dan foto yang dipotret selama di tempat kejadian. Baju Kip Rennsler ada di kamar sang anak dengan cipratan darah. Aneh, darahnya masih lebih basah daripada darah di tempat lain. “Coba periksa luka tusuk di dada Kip, hitung ulang berapa luka tusuknya. Cepat!” perintah Cline.
“Ada empat luka,” jawab Mossman, asisten Cline.
“Aneh, di kaus putih ini hanya ada tiga lubang. Apa iya, orang yang sudah menikamnya tiga kali, lalu sengaja melepaskan kaus korban untuk menikamnya sekali lagi?” Cline keheranan.
Para penyidik berasumsi, si anak dihabisi di kamar tidurnya. Lalu mayatnya dibawa dan dibaringkan di kamar tidur orangtuanya. Jangan-jangan Kip merangkak ke bawah dengan sekuat tenaga menuju telepon, namun rupanya terlambat.
Tidak ikut rapat
Namun, asumsi para penyidik berubah, ketika mendengar keterangan tiga rekan kerja Rennsler. Untuk pertama kalinya, para penyidik dan kepala detektif melihat ada sesuatu yang tidak pernah terpikirkan.
“Kip belakangan ini bertingkah aneh. Tidak seperti dirinya selama ini. Ada sesuatu yang dipikirkannya, tapi tak tahu apa,” cerita seorang rekannya.
“Senin pagi ia tidak ikut rapat penting. Bagi orang lain mungkin ini biasa, tetapi untuk Kip? Ia bukan tipe seperti itu. Ia selalu tepat waktu, dan segala sesuatunya terencana dengan sangat baik. Makanya, saya meneleponnya terus-terusan.”
Teman lainnya mengingat, sekitar dua hari lalu ia melihat Kip membawa dua kotak besar seukuran kotak bir dan sebuah tas putih saat keluar dari bank. Para penyidik menemukan dua kotak dan tas yang dimaksud. Isinya bukan uang, tapi alat-alat tulis kantor yang biasa digunakannya jika bekerja di rumah.
Masih menurut rekannya, ia menelepon ke rumah Kip sebanyak dua kali pagi itu, antara pukul 09.00 - 09.30. Pertama, telepon tidak diangkat, dan yang kedua kali pukul 11.30, tapi teleponnya sibuk. “Saya penasaran, jadi saya coba berkali-kali meneleponnya, senantiasa bicara. Akhirnya, saya sampai minta operator mengeceknya, ternyata pesawat teleponnya lepas dari tempatnya.
Catatan dari Old National Bank juga tak menunjukkan adanya ketidakberesan.
Obsesi membantu sesama
Tetangga perempuan yang menelepon ke kantor sheriff, tiba-tiba menelepon lagi. Dia teringat, pada Minggu sore itu ia melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah Kennsler. Mobil itu milik Sally Newland, teman baik Lori. Sally memang terkejut ketika mendengar berita kematian temannya itu, tapi dia tidak sepenuhnya heran.
Menurut Sally, terakhir bertemu, ia merasa Kip bertingkah sangat aneh. la berjumpa dengan Kip yang sedang berjalan kaki bersama Stevie, dan ketika Sally menawarkan tumpangan, ia menolak dan mengatakan ingin membawa Stevie berjalan-jalan jauh. Kip juga mengatakan, Lori sedang uring-uringan. Kip minta tolong agar Sally menyampaikan pada Lori kalau ia dan Stevie baik-baik saja.
Tapi ketika Sally menemui Lori, ia justru mendapati wanita itu sedang menangis. “Lori bilang, Kip bertingkah ‘lucu’.” Seminggu terakhir ini, Kip sering menyuruh Lori menitipkan Stevie pada tetangga, agar mereka bisa berdua. Katanya Kip mau menanyakan sesuatu pada Lori yang hanya perlu dijawab ya atau tidak. Tapi Lori tak menggubris permintaan Kip.
Yang pasti, memang ada satu hal yang membuat Kip uring-uringan. Dia ingin sekali membeli sebuah penginapan kuno di sebuah hutan tropis, dekat pantai Washington. Tapi dia belum bisa memenuhi uang muka pembelian hotel itu, dan berniat meminjam sejumlah besar uang. Sudah setahun ini ia berusaha memperoleh uang untuk hotel ini.
Investasi itu bisa menjadi lompatan besar bagi pasangan muda itu, tapi Lori tidak begitu antusias. Dia tak mau kalau Kip sampai harus meninggalkan pekerjaannya, dan pindah ke Quinnault, untuk tinggal di penginapan tua yang luas itu. Namun, tampaknya Kip begitu terobsesi dengan proyek ini. Ketiadaan dana membuatnya jadi depresi.
Informasi lain datang dari Poulsbo, dari seorang wanita bernama Solveig Hanson. Wanita itu menelepon Bill Clifton untuk menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya mengenai Kip. Ia mengaku sebulan ini cukup dekat dengan keluarga Rennsler.
“Ada yang perlu saya sampaikan tentang Kip. Sesuatu yang mengkhawatirkan saya,” akunya.
Wanita menarik itu mengaku punya beberapa urusan bisnis dengan Kip, dan mereka berteman baik. Namun, “Belakangan ini Kip sering sekali menemui saya. Tapi, tingkahnya makin lama makin aneh, bahkan menakutkan. Tampaknya Kip terobsesi oleh keinginannya untuk membantu sesama. Dia merasa perlu masuk lebih dalam ke kehidupan orang lain. Idenya gila! Bukan membantu seperti orang kebanyakan,” jelas Solveig Hanson.
Caranya? “Dia datang ke rumah saya pada malam Natal lalu, dan memaksa saya menemaninya belanja keperluan rumah tangga. Dia menghabiskan AS $ 200 untuk membeli semua keperluan itu. Lalu membawa belanjaannya ke sebuah rumah keluarga miskin, meletakkan semua barang itu di depan pintu rumah tersebut.”
Solveig merasa terkesan dan memuji sikap Rennsler itu. “Tapi Kip marah dan minta jangan membicarakan hal itu lagi.” Sejak itu, kehadiran Rennsler mulai terasa mengganggu. “Terakhir kali mengunjungi saya, dia ngoceh seenaknya. Bicaranya sangat cepat, dan tak memberi saya kesempatan untuk bicara. Akhirnya, saya tinggalkan dia sebentar ke kamar mandi. Tapi dia mengikuti saya, dan meninju pintu kamar mandi. Dia menyuruh saya cepat, karena dia mau bicara banyak hal. Waktu itu saya betul-betul ketakutan.”
“Untungnya saya bisa mengusir dia pergi!” tutur Solveig, yang berhasil mendorong Kip secara perlahan keluar pintu rumah. Dia menambahkan, pada Minggu malam sebelum pembunuhan terjadi, telepon rumahnya berdering enam sampai tujuh kali, namun tanpa suara. Hanya embusan napas yang berat. “Saya tak bisa membuktikan itu Kip, tapi saya yakin itu dia.”
Dugaan Solveig itu terbukti lewat catatan telepon interlokal dari Brainbridge ke Poulsbo. Tercatat ada delapan panggilan yang masuk dari kediaman Rennsler ke rumah Solveig setelah tengah malam menjelang Senin pagi.
Bukan dirinya lagi
Semua keterangan di atas kian membuka mata polisi, jangan-jangan Kip Rennsler-lah monster yang menghabisi seluruh isi rumahnya. Apalagi orang-orang yang cukup dekat dengannya mengatakan, Kip “sudah bukan dirinya lagi”, dari tindak-tanduk anehnya yang mulai muncul selama dan sesudah liburan. Dia orang baik, dalam pekerjaan dan lingkungannya. Mungkin pergumulannya untuk menahan setan dalam dirinya membuat dia gila.
Jika bisa membuat Solveig Hanson ketakutan dengan hal-hal yang tak masuk akal, bukan tidak mungkin Kip melakukan hal yang sama pada istrinya. Para penyelidik seharusnya dapat melakukan “autopsi psikologis” untuk mengungkap tanda tanya besar yang masih ada. Apa yang membuat Kip Rennsler melakukan pembantaian ini?
Yang pasti, dia sama sekali tidak mendapat tekanan dari pekerjaannya karena dia pekerja yang baik. la menjadi frustrasi ketika tak berhasil mendapat pinjaman untuk membeli pondok di hutan itu.
la sangat mencintai istrinya, tetapi dia juga menghabiskan banyak waktu bersama Solveig Hanson di Poulsbo. Mungkin saja, Solveig tidak tertarik padanya, tapi jelas Kip menelepon dia berkali-kali pada pagi hari saat sesudah atau baru mau membunuh keluarganya. Mungkin juga dia merasa sangat bersalah karena hubungannya dengan wanita lain di luar pernikahan.
Seorang dokter dari Seattle yang pernah merawat pembengkakan di usus Kip beberapa waktu lalu juga mengaku, Kip memang sedang mengalami tekanan tinggi. Untuk itu, dia sempat memberikan obat penenang ringan.
Kip rupanya menceritakan kegagalannya memiliki Hotel Quinault itu pada banyak orang. Terbukti, ketika berita tragedi keluarga Rennsler tersebar luas, sejumlah orang yang sering bolak-balik dengan feri banyak yang menghubungi kantor sheriff. Beberapa temannya juga bilang, Kip Rennsler benar-benar terpukul ketika impiannya itu gagal.
“Dia pernah bilang pada saya, kalau sampai gagal membeli tempat itu dia tidak tahu bagaimana bisa menghadapi masa depannya. Walau menurut saya itu terlalu berlebihan,” salah seorang dari mereka bercerita. Teman lainnya berkomentar, Rennsler adalah seorang pesaing tulen. “Dia itu orang yang harus selalu menjadi yang terbaik dan pertama untuk semua hal. Dia banyak memenangkan berbagai pertandingan.”
Teman-teman Lori berpendapat, Kip adalah pengendali mutlak di rumah tangganya, kalau tidak mau dikatakan mendominasi. “Tapi dia sangat mencintai istrinya dan Stevie. Dan Lori pun menerima dia apa adanya.”
Saat perencanaan penguburan Kip, para patolog sudah memeriksa kalau-kalau ada keabnormalan pada otaknya, entah itu tumor atau kelainan pembuluh darah, yang membuat Kip jadi bertingkah aneh itu. Ternyata tak ditemukan apa-apa. Jadi, jelas sudah ini bukan masalah fisiologis, tapi psikologis alias kejiwaan.
Walau memang sulit diterima akal sehat, jelas Rennsler bunuh diri dengan menusuk dadanya empat kali. Tubuhnya seperti tak merasa kesakitan. Tikaman keempatlah yang berhasil membunuhnya. Tiga tikaman awal yang terlihat pada T-shirt-nya, memang menimbulkan luka dalam, tapi tidak cukup dalam sampai mengenai jantung atau organ penting. Baru pada tikaman keempat berhasil mengenai arteri utama di sebelah kanan, sehingga parunya terisi begitu banyak darah yang membuatnya kolaps.
Dia masih bisa bertahan hidup selama beberapa menit, sebelum kemudian benar-benar meninggal akibat “tenggelam” di dalam genangan darahnya sendiri. Ada luka iris di salah satu jarinya - kelihatannya sudah ada beberapa hari sebelumnya. Mungkin perban jari ini yang ditemukan detektif di dapur waktu itu. Sedangkan Lori dan Stevie diduga tewas ditikam pada dadanya saat tertidur lelap.
Bukti paling nyata
Namun teori tadi tetap akan jadi teori, jika tak diketemukan bukti. Nah, saat para kerabat diizinkan memasuki rumah kuning itu untuk membereskan apa yang perlu dibereskan, salah seorang di antara mereka menemukan setumpuk sobekan kertas pada saku jaket olahraga Kip Rennsler, yang kemudian diserahkan pada detektif. Dengan antusias mereka berusaha menyusun sobekan kertas itu, seperti sedang mengerjakan jigsaw puzzle.
Awalnya, terlihat seperti kumpulan huruf-huruf yang tidak ada artinya. Namun, makin coba disusun, makin tampil suatu pola. Para penyidik menyadari, ini sebuah surat, sepanjang 25 halaman, seperti terlihat , pada halaman yang tertera di bawahnya. Sepucuk surat yang bermakna mengerikan, walau diungkapkan secara melantur dan banyak bagian yang hilang.
Surat itu jelas ditujukan pada Lori, walau tampaknya belum sempat dibacanya. Inilah sebagian kecil isi surat yang ditulis tangan dengan banyak kata yang digarisbawahi (sebagai penekanan) itu, yang menunjukkan derasnya arus pertentangan akal sehat dan kesadaran Kip:
“... Sekarang kau menyadari mengapa aku melakukan semua ini. Apa yang kulakukan, sebenarnya tidak bisa dipercaya. Namun jelas tidak akan menyakiti siapa pun - termasuk kau atau Stevie, bahkan diriku sendiri. Tapi ini benar-benar mengejutkan, bahkan kalau aku katakan kau pasti takkan mempercayainya. Jadi, TOLONG BACA SURAT INI KERAS-KERAS! Maksudnya, walaupun kau dan aku HIDUP BAHAGIA - JELAS TIDAK DIRAGUKAN LAGI - tapi orang lain di dunia ini tidak berkesempatan untuk menikmatinya. Baik yang sudah mati maupun yang masih hidup sekarang ini.
... Ingat, aku harus melakukan semua ini di sisa hidupku. Kau harus meyakininya tanpa ragu-ragu. Siap ‘kan? Ingat, aku harus melakukan ini di hidupku. Siap?
... Kau tahu ... Di antara semua orang di masa lalu, sekarang, maupun nanti, kau dan aku, serta Stevie telah terpilih untuk melakukan ini. Mengapa kita yang dipilih? Karena di mata Tuhan sejak zaman dulu, sekarang, maupun nanti, kitalah keluarga yang terbaik. AKU JUGA SULIT MEMPERCAYAI HAL INI!!!”
Akhirnya polisi menemukan penjelasan dan bukti otentik, mengapa mereka semua terkapar mati di rumah sendiri. Kip yang telah kehilangan akal sehat, berpikir pengorbanan keluarganya dapat menyelamatkan dunia. “Sulit dipercaya, saya pikir Kip hanya stres dan butuh waktu untuk melepas ketegangan,” tegas Solveig Hanson.
Dalamnya hati, memang susah diduga. (Ann Rules)
Baca Juga: Senjatanya Dua Martil
" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517218/tiga-nyawa-untuk-selamatkan-dunia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343179000) } } [3]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400977" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/kalung-mutiara_jayden-brandjpg-20220803013743.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Sir Septimus selalu mengumpulkan keluarga dan teman untuk merayakan Natal. Namun acara tahun itu, dikacaukan hilangnya sebuah kalung mutiara." ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/kalung-mutiara_jayden-brandjpg-20220803013743.jpg" ["title"]=> string(14) "Kalung Mutiara" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:38:07" ["content"]=> string(20910) "
Intisari Plus - Sir Septimus selalu mengumpulkan keluarga dan teman untuk merayakan Natal. Namun acara tahun itu, dikacaukan hilangnya sebuah kalung mutiara.
-------------------
Sir Septimus Shale bukan orang yang banyak cingcong. Istrinya yang jauh lebih muda itu diberinya kebebasan penuh. Sir Septimus tidak peduli rumahnya yang kuno itu diberi perabot modern. la juga tidak melarang istrinya berteman dengan para seniman dan penyair yang anti tata bahasa. Bahkan ia tidak keberatan istrinya berdandan menor.
Namun, setahun sekali, pada saat Natal, istrinya harus menuruti kehendaknya. Sir Septimus bersikeras agar Natal dirayakan secara tradisional. la akan membawa keluarganya ke rumahnya yang lain, yang berada di luar kota. Para pelayan diperintahkan menggantungkan daun-daunan dan buah-buahan hiasan Natal di lampu-lampu. Radiator listrik disuruhnya dicabut dari perapian, untuk digantikan dengan kayu bakar. Lalu dikumpulkannya keluarganya dan teman-teman untuk dijamu dengan makanan. Natal gaya zaman baheula.
Setelah memaksa mereka menelan makanan mode zaman bedil sundut itu, mereka diajaknya main tebak-tebakan, lalu diakhiri dengan main sembunyi-sembunyian di dalam gelap.
Karena Sir Septimus kaya-raya, tamu-tamunya menurut saja. Mungkin ada juga yang merasa bosan, tetapi mereka tidak menyatakannya.
Kebiasaan lain yang dilakukan oleh Sir Septimus setiap malam Natal ialah menghadiahkan sebutir mutiara kepada putrinya, Margharita, yang kebetulan berulang tahun tanggal 24 Desember. Walaupun mutiara itu tidak terlalu besar, yaitu cuma lebih besar sedikit dari kacang polong, tetapi kualitasnya tinggi. Tidak heran kalau kalung milik Margharita sampai masuk kolom gosip di koran-koran.
Hai, mana kalungmu?
Malam Natal itu Sir Septimus menyerahkan butir mutiara yang ke-21. Penyerahan dilakukan dalam pesta yang dimeriahkan dengan dansa dan pelbagai pidato.
Keesokan malamnya, tanggal 25 Desember, ada perjamuan lagi, walaupun tamunya cuma sebelas orang. Mereka itu: John Shale (adik Sir Septimus) dengan istrinya dan anak mereka, Henry dan Betty; Oswald Truegold (tunangan Betty) yang berambisi menjadi anggota parlemen; George Comphrey (kemenakan Lady Shale) yang berumur 30-an; Lavinia Prescott (teman George); Joice Trivett (teman Henry); Richard dan Beryl Dennison (kerabat jauh Lady Shale) yang hidup berfoya-foya di kota tanpa seorang pun tahu dari mana sumber keuangannya. Masih ada seorang lagi: Lord Peter Wimsey, bujangan putra almarhum Duke of Denver yang kaya-raya. la diundang dengan harapan akan tertarik pada Margharita.
Selain mereka hadir pula sekretaris Sir Septimus, yaitu William Norgate dan sekretaris Lady Shale, Nona Tomkins. Tanpa kehadiran dua orang yang terakhir itu, pesta Natal tidak akan terselenggara dengan lancar.
Sesudah menyantap sup, ikan, kalkun, daging panggang, puding, kue-kue, buah-buahan dan meneguk lima macam anggur, sebagian orang merasa ingin sekali buru-buru mencium bantal. Margharita yang di lehernya terkalung mutiara pun sudah kelihatan lelah. Tetapi tuan rumah masih ingin mengajak tamu-tamunya mengikuti pelbagai permainan di ruang duduk yang terletak di tingkat kedua. Permainan itu dari tahun ke tahun hampir sama saja.
Mula-mula mereka main 'berebut kursi', diiringi oleh permainan piano Nona Tomkins. Selesai berebut kursi, mereka 'berburu sandal'. Siapa lagi yang kebagian menyediakan sandal untuk disembunyikan lalu dicari-cari kalau bukan Nona Tomkins.
Setelah itu mereka main 'Dumb Crambo'. Dalam permainan ini ada orang yang kebagian pura-pura bisu. la harus 'menerjemahkan' sepatah kata dengan gerakan-gerakan, sementara yang lain mencoba menerka apa yang dimaksudkannya.
Setelah permainan yang penuh gerak itu, William Norgate mengusulkan agar mereka main permainan yang tidak terlalu melelahkan. Sir Septimus memilih main tebak-tebakan lain yang sifatnya lebih tenang. Nama permainan itu: 'Binatang, Sayuran atau Mineral'. Setelah itu rencananya mereka akan main sembunyi-sembunyian.
Orang yang mendapat giliran terakhir untuk menebak dalam permainan 'Binatang, Sayuran dan Mineral' adalah Oswald Truegold. la dikurung dulu di ruangan sebelah, sementara yang lain merundingkan benda apa yang harus ditebak oleh Truegold.
Pada saat itulah Sir Septimus tiba-tiba berseru kaget, "Hai, Margy! Mana kalungmu?" Putrinya tenang-tenang saja. "Tadi saya lepaskan, Ayah. Takut putus dipakai main 'Dumb Crambo'. Tuh ada di meja. Eh, mana dia? Disimpan Ibu, ya?"
“Tidak!" jawab ibunya cemas. "Kalau Ibu lihat sih pasti Ibu simpankan. Ceroboh betul sih, kamu!"
"Eh, barangkali Ayah bergurau, nih. Disembunyikan Ayah, ya?"
Sir Septimus menyangkal keras. Semua orang segera mencari. Di ruang yang rapi dan tidak penuh sesak oleh perabot itu tidak banyak tempat untuk menyembunyikan kalung.
Setelah sepuluh menit mencari tanpa hasil, Richard Dennison yang tadi duduk dekat dengan meja jadi tampak serba salah.
"Wah, sangat tidak enak nih bagi saya," keluhnya kepada Wimsey.
Semua digeledah
Saat itu Oswald Truegold yang 'disimpan' di ruangan sebelah, menjengukkan kepalanya dari pintu. "Lama betul, sih!" katanya. Orang-orang lain baru ingat kepada Truegold yang terlupakan dan juga ingat bahwa dalam permainan 'Dumb Crambo' tadi mereka mempergunakan juga ruangan sebelah. Ruang itu pun ikut diperiksa dengan saksama. Siapa tahu Margharita tadi lupa meletakkan kalungnya di sana.
Setelah setengah jam mencari, tetap saja kalung itu tidak ditemukan.
"Mestinya ada di salah satu dari ruangan ini," kata Wimsey. "Ruangan sebelah tak punya pintu, sedangkan tak satu pun dari kita keluar dari ruang duduk ini." Sementara itu jendela-jendela yang berdaun tebal terkunci rapat.
Akhirnya William Norgate yang efisien memberi usul, "Saya kira, Sir Septimus, beban pikiran kita akan hilang kalau kita semua digeledah."
Sir Septimus kaget. Sungguh tak pantas tamu-tamunya digeledah. Namun, para tamunya malah menyokong usul Norgate. Jadi pintu pun dikunci, lalu semua digeledah. Kaum pria di ruang duduk, sedangkan kaum wanita di ruangan sebelah.
Hasilnya tetap nihil. Cuma saja ketahuan isi kantung masing-masing. Lord Peter Wimsey membawa-bawa catut, kaca pembesar dan meteran yang bisa dilipat. la memang terkenal sebagai saingan Sherlock Holmes. Oswald Truegold membawa-bawa dua pil untuk menambah darah, yang dibungkusnya di secarik kertas.
Henry Shale mengantungi buku saku The Odes of Horace, sedangkan John Shale berbekal lilin merah untuk menyegel, sebuah jimat kecil dan uang logam 5 shilling.
George Comphrey membawa gunting lipat dan tiga kotak gula! Gula itu jenis yang biasa disuguhkan di restoran-restoran dan restorasi kereta api. Apakah itu gejala kleptomania?
Norgate yang efisien itu di luar dugaan membawa-bawa sekelos benang putih, tiga utas tali dan dua belas peniti yang tercocok di kartu. Orang-orang lain baru maklum ketika mengingat bahwa sekretaris Sir Septimus itu bertugas mengawasi dekorasi ruangan.
Semua jadi terbahak-bahak ketika giliran Richard Dennison digeledah. Soalnya, ia membawa-bawa kotak bedak dan setengah kentang. Konon kentang itu penangkal encok, sedangkan benda yang lain milik istrinya.
Seperti anjing pelacak
Di ruangan tempat wanita, penemuan malah lebih gawat lagi. Nona Tomkins membawa buku ramalan garis tangan, tiga jepit rambut dan foto bayi.
Beryl Dennison membawa kotak rokok yang memiliki ruang rahasia. Sebuah surat yang sangat pribadi ditemukan dalam pakaian Lavinia Prescott. Betty Shale membawa catut pencabut alis dan sebungkus puyer putih. Katanya, obat sakit kepala.
Semua tegang ketika di tas Joyce Trivett ditemukan seuntai mutiara. Namun, segera ketahuan bukan itu yang mereka cari. Mutiara itu selain kecil-kecil juga sintetis. Penggeledahan tidak memberi hasil yang diinginkan.
Lalu ada yang mengusulkan agar Sir Septimus memanggil polisi. Sir Septimus jelas tidak mau, sebab ia tidak ingin menjadi bahan berita. la yakin kalung mutiara itu masih ada di sana. Jadi sebaiknya diperiksa lagi dengan saksama. "Ehm, apakah Lord Peter Wimsey yang banyak pengalaman dalam, ehm, peristiwa-peristiwa misterius bisa menolong?" tanyanya.
"Eh?" sahut Wimsey, "Oh, tentu, tentu." Yang lain memberi dukungan.
"Saya coba, ya?" katanya. "Apakah Anda sekalian keberatan kalau Anda semua duduk di ruangan lain? Tapi saya minta Sir Septimus mendampingi saya sebagai saksi.”
Semua tak keberatan. Wimsey menggiring mereka ke ruangan dalam, lalu bersama Sir Septimus memeriksa ruang tamu dan ruangan di sebelahnya sekali lagi. la bukan cuma merangkak-rangkak di lantai, tetapi juga menengadah ke langit-langit. Ketika ia merangkak-rangkak itu Sir Septimus cuma bisa berjalan mengikuti di belakang. Adegan itu mirip anjing yang sedang diajak berjalan-jalan oleh tuannya. Tak ada sejengkal lantai pun dan tak ada sebuah sudut pun dilewatkan.
Di kamar sebelah, pakaian-pakaian yang ada diperiksa satu demi satu. Hasilnya tak ada. Akhirnya Wimsey telungkup di lantai, mengintip ke kolong sebuah lemari baja, yaitu satu-satunya perabot berkaki pendek di sana.
Tampaknya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. la menggulung lengan bajunya dan berusaha menjangkau sesuatu yang terletak jauh di kolong. Ketika ia tidak berhasil mencapai benda yang ia inginkan, dikeluarkannya meteran lipat dari sakunya untuk dijadikan alat penolong. Ternyata benda yang ia keluarkan itu sebatang jarum.
Bukan jarum biasa, melainkan jarum yang halus, mirip yang dipakai oleh ahli serangga untuk menancapkan binatang koleksi mereka yang kecil-kecil. Panjangnya-paling-paling 2 cm. Ujungnya lancip dan pentulnya kecil.
"Astaga! Apa, sih itu?"
"Ada pengumpul kumbang atau serangga di sini?" tanya Wimsey sambil memeriksa benda itu.
“Saya yakin tidak ada. Coba saya tanyakan."
"Jangan!" cegah Wimsey. la memandang ke lantai yang licin berkilat, yang memantulkan wajahnya.
“Ah, sekarang saya tahu di mana mutiara-mutiara itu," kata Lord Peter Wimsey tiba-tiba. "Tapi saya tak tahu siapa yang mengambilnya. Harap jangan Anda katakan kepada siapa-siapa kita menemukan jarum ini. Persilakan saja semua tamu untuk kembali ke kamar masing-masing. Tolong kunci ruangan ini dan simpan kuncinya. Sebelum sarapan nanti kita tangkap malingnya."
Jadi centeng
Walaupun Sir Septimus merasa tercengang, ia menurut. Malam itu Lord Peter Wimsey bergadang mengamat-amati pintu ruang tamu. Tak seorang pun datang ke dekat tempat itu.
Lord Wimsey membuat catatan: Dalam permainan tebak-tebakan 'Binatang, Sayuran atau Mineral', mereka masing-masing mendapat kesempatan berada sendiri dalam ruangan sebelah. Cuma Joyce Trivett dan Henry Shale yang masuk berdua. Lady Shale, Margharita dan Wimsey tidak kebagian masuk ke sana.
Siapakah yang kira-kiranya di antara sebelas orang yang paling naksir kalung? Semua, kecuali Sir Septimus. Kedua sekretaris selama ini bisa dipercaya, tapi bukan tak mungkin mereka menginginkan benda berharga itu. Suami-istri Dennison terkenal besar pasak daripada tiang. Betty Shale membawa puyer putih yang misterius. Obat bius? Di kota ia juga bergaul di kalangan orang-orang yang tak terlalu bersih. Henry tampaknya 'tak berbahaya', tapi siapa tahu Joyce Trivett mendorongnya? Comphrey diketahui pernah berspekulasi dan Oswald Truegold sering taruhan dalam pacuan-pacuan kuda.
Ketika para pelayan sudah muncul, Wimsey berhenti mencentengi pintu. la pergi ke tempat sarapan. Ternyata ia sudah didahului Sir Septimus, istrinya dan anaknya. Tak lama kemudian tamu-tamu lain muncul. Suasana agak kikuk. Seakan-akan sudah berjanji, tak seorang pun menyebut-nyebut soal kalung.
Nanti membawa sial
Sehabis sarapan, Oswald Truegold-lah orang pertama yang berani bertanya, "Malingnya tertangkap, Wimsey?"
"Belum," jawab Wimsey dengan acuh tak acuh.
Sir Septimus yang sudah bersekongkol dengan Wimsey lantas berkata. "Sungguh menyebalkan. Hr'rm! Tak ada jalan lain daripada melapor kepada polisi, saya kira."
"Pada hari Natal pula! Hr'rm! Merusakkan suasana. Rasanya muak melihat hiasan ini semua," katanya seraya menunjuk ke kertas-kertas warna dan dedaunan hijau yang menghiasi dinding.
"Angkat sajalah! Hr'rm! Bakar!"
"Ah, jangan. Sayang!" kata Joyce. "Kita 'kan sudah bersusah-susah mengerjakannya."
"Biarkan saja, Paman," kata Henry Shale. "Paman terlalu memikirkan mutiara itu. Pasti nanti ketemu."
"Anda ingin James dipanggil untuk membenahinya?" tanya Norgate, sang sekretaris.
"Tidak usah!" kata Comphrey. "Kita saja yang membereskannya. Kita perlu menyibukkan diri untuk melupakan kerisauan."
"Baik!" kata Sir Septimus. "Mulai saja sekarang! Sebal!" la merenggut sebuah cabang tanaman holly dari atas perapian dan melemparkannya ke api. Segera juga lidah api menjilat-jilat.
"Bagus buat kayu bakar," kata Richard Dennison. la melompat untuk merenggut mistletoe (benalu yang berdaun dan berbunga kekuning-kuningan serta berbuah putih bulat-bulat) dari lampu gantung.
“Eh, nanti membawa sial kalau diturunkan sebelum tahun baru," komentar Nona Tomkins.
"Itu 'kan cuma takhayul. Semua kita turunkan, dari atas tangga dan di ruang tamu juga."
"Tidak. Lord Peter bilang mutiaranya tak ada di situ. Pintu ruang tamu sekarang sudah dibuka. Ya, 'kan Wimsey?"
“Ya. Mutiaranya sudah dibawa pergi dari sini. Saya belum tahu bagaimana. Tapi saya yakin. Saya pertaruhkan reputasi saya deh!" jawab Wimsey.
"Kalau begitu, ayo deh, Lavinia," ajak Comphrey. "Kau juga Dennison. Kita berlomba ke ruang tamu. Saya akan menangani ruangan di sebelahnya."
“Tapi 'kan polisi akan datang," kata Dennison. "Semua harus dibiarkan seperti semula."
"Persetan dengan polisi," teriak Sir Septimus. "Mereka tak mau daun-daunan."
Dua puluh dua jarum pentul
Oswald Truegold dan Margharita sudah menjambreti holly dan daun ivy dari tangga sambil tertawa-tawa. Semua berpencar. Wimsey diam-diam masuk ke ruang duduk yang sedang diobrak-abrik. Didapatinya George Comphrey dan Lavinia Prescott sedang tertawa-tawa.
"Bantu, dong!" kata Lavinia kepada Wimsey. Wimsey diam saja. la menunggu sampai ruangan bersih lalu menemani mereka ke ruangan bawah. Api perapian sedang menjilat-jilat, karena mendapat umpan. la berbisik kepada Sir Septimus.
Sir Septimus mendekati George Comphrey dan menyentuh bahunya. "Lord Peter ingin berbicara denganmu, Nak," katanya. Comphrey terperanjat dan dengan enggan mengikuti Sir Septimus.
"Pak Comphrey," kata Wimsey. "Saya kira ini milik Anda," katanya seraya mengangsurkan telapak tangannya. Di situ ada 22 jarum halus berpentul kecil.
Buah benalu
"Untung Anda menyadari kehilangan kalung itu sebelum permainan sembunyi-sembunyian. Kalau kehilangan ketahuan setelah itu, artinya ruangan yang harus kita selidiki lebih banyak lagi. Lagi pula mustahil pintu semua ruangan mesti kita kunci? Si Pencuri akan lebih leluasa mengambilnya dari tempat persembunyian," kata Wimsey setelah semuanya beres.
"la pernah hadir pada pesta Natal sebelumnya dan tahu pasti akan ada tebak-tebakan 'Binatang, Sayuran dan Mineral'. Jadi ia menyediakan jarum. Ketika Nona Shale mencopot kalung pada saat main 'Dumb Crambo', ia mendapat kesempatan. la cuma tinggal menyambar kalung dari meja pada saat mendapat giliran masuk ke ruangan sebelah.
Sedikitnya ia mempunyai waktu lima menit untuk sendirian di sana, yaitu pada saat menunggu kita merundingkan kata apa yang harus ditebaknya. la memutuskan benang dengan pisau sakunya, lalu membakar benang-benang itu di perapian. Mutiara-mutiara ditancapkannya ke benalu dengan jarum.
Benalu itu tergantung tinggi di lampu gantung, tetapi ia bisa mencapainya dengan berdiri di meja kaca, yang bisa diseka agar tidak meninggalkan bekas. la yakin pasti tidak ada orang yang ingat memeriksa benalu. Mutiara-mutiara itu 'kan mirip buah benalu.
Saya tidak teringat untuk memeriksanya kalau saja tidak ada sebatang jarum pentul yang jatuh. Jarum pentul itu membuat saya berpikir: jangan-jangan kalung itu sudah digunting benangnya dan mutiaranya disimpan tidak dalam bentuk untaian lagi.
Saya mengambil benalu itu semalam dan menemukan semua mutiara di sana. Kaitan kalung pun ada di situ, di antara daun-daunan. Ini dial"
“Saya tahu Comphreylah orang yang kita cari ketika ia mengusulkan agar kita membereskan sendiri dekorasi Natal dan ia memilih ruangan sebelah. la pasti kaget sekali ketika melihat mutiara yang disembunyikannya sudah hilang."
"Anda segera tahu mutiara itu tergantung di benalu ketika Anda menemukan jarum?" tanya Sir Septimus.
"Ya."
"Tapi 'kan waktu itu Anda sama sekali tidak menengadah."
"Oh, saya melihat pantulannya di lantai yang hitam berkilat. Saat itu saya heran, kok buah benalu mirip betul mutiara," jawab Lord Peter Wim. (Dorothy L Sayers)
" ["url"]=> string(59) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400977/kalung-mutiara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659533887000) } } [4]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304506" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/dijemput-seorang-wanita-mungil_y-20220603021201.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Pada malam Natal, Carmentt menjemput Geoffroy di penjara. Ia mendapatkan cuti Natal selama 50 jam. Namun mereka berdua menikah dan kabur." ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/dijemput-seorang-wanita-mungil_y-20220603021201.jpg" ["title"]=> string(30) "Dijemput Seorang Wanita Mungil" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:12:25" ["content"]=> string(43472) "
Intisari Plus - Pada malam Natal, Carmentt menjemput Geoffroy di penjara. Ia mendapatkan cuti Natal selama 50 jam. Namun alih-alih kembali tepat waktu, mereka berdua menikah dan kabur.
-------------------------
Penjara federal di St. Vincent de Paul dekat Montreal, Kanada, berdiri angker seperti sebuah puri. Letaknya di atas bukit, dikelilingi tembok batu yang kokoh. Di atas dinding tembok itu masih ada pagar besi dan di atas pagar besi itu ada kawat berduri. Bentuk atapnya segi delapan dan di tiap ujung segi itu ada menara, tempat pengawal bersenjata bedil mengawasi ke bawah.
Suatu hari, sebelum Natal 1971, padang terbuka sekeliling penjara itu kelihatan putih oleh salju, sedangkan langit tampak kelabu kotor. Angin menderu-deru menerpa tembok yang tebal.
Pagi-pagi hari itu, sebuah mobil berhenti di muka pintu penjara. Pengemudinya tetap duduk di belakang setir dan mesin mobil tidak dipadamkan. Seorang wanita turun membuka pintu. Wanita itu kecil langsing, padahal mantelnya tebal, sehingga ia seperti tenggelam dalam pakaiannya. Matanya tampak tegang.
Pintu itu membuka ke sebuah kamar tunggu. la segera mendekati sebuah jendela kecil. Di belakang jendela itu duduk seorang penjaga, sedangkan di belakangnya terdapat pintu-pintu yang terkunci kuat.
"Nama Anda?" tanya penjaga pada wanita bertubuh kecil itu.
"Carment Parent."
"Nama narapidana yang ingin ditemui?"
"Joseph Yves Geoffroy."
Penjaga itu menuliskan nomor yang disebutkan si wanita di secarik kertas.
"Silakan simpan tas Anda dilaci," katanya seraya menunjukkan dengan gerakan kepala sederet laci di sebelah kiri si wanita.
"Tidak."
Penjaga itu terkejut. Untuk pertama kalinya ia memandang wanita itu dengan penuh perhatian.
"Saya tidak akan masuk. Ia yang akan keluar."
"Dibebaskan maksud Anda? Pada hari Jumat begini? Pada malam Natal?" tanya penjaga tidak percaya.
"Tidak. Ia boleh cuti Natal selama 50 jam."
Pengawal itu merengut, seakan-akan tidak setuju dengan cuti semacam itu. Wanita itu memegang tasnya erat-erat ketika pengawal menelepon ke dalam.
Pintu besi terbuka. Yves Geoffroy melangkah ke luar. Umur nya 38 tahun. Ia pendek, hanya lebih tinggi sedikit dari wanita kecil itu. Tubuhnya kekar dan wajahnya bundar. Matanya tampak berseri-seri. Ini untuk pertama kalinya sejak hampir dari 14 bulan ia keluar dari pintu itu.
Di belakangnya ada Direktur Bagian Kunjungan dan Surat-menyurat Monsieur Alain Moreau. Di penjara Geoffroy bekerja sebagai juru tulisnya. Berkat bantuan Moreau, Geoffroy sekarang boleh cuti.
Moreau membuka pintu yang menuju ke kamar tunggu.
"Selamat hari Natal," katanya kepada Carment.
Ketika Geoffroy sudah berada di ruang tunggu pula, ia menjangkau kedua belah tangan wanita itu.
"Carment," katanya dengan suara hangat. Kemudian ia berpaling kepada Moreau, berkata sambil tertawa, "Sampai bertemu 50 jam lagi, Pak dan tidak semenit pun lebih awal."
Kawin
Pasangan itu melangkah ke luar untuk masuk ke mobil yang dikendarai oleh Philip Leclerc, bekas teman sekolah Geoffroy. Mobil meluncur menuju Gereja St. Vincent de Paul, yang letaknya tidak sampai 1 km dari penjara. Ketiga orang itu masuk menemui imam. Carment sudah mengatur agar hari itu mereka diresmikan sebagai suami-istri.
Sesudah upacara pernikahan dan menerima wejangan dari Pastor Tetterin, Philip Leclerc mengantarkan pasangan itu ke daerah pinggiran Kota Montreal, Longueuil. Mobil berhenti di sebuah rumah kecil di Ste. Catherine Street, yaitu tempat Carment tinggal. Leclerc pun minta diri.
Siang hari, sehabis makan, Carment memasuk-masukkan pakaian mereka ke koper, sedangkan Geoffroy menulis surat. Pukul 19.00 sebuah taksi datang menjemput dan Geoffroy berkata kepada sopir, "Dorval Airport."
Mereka meminta taksi berhenti di pintu bandara no. 4, yaitu pintu untuk para penumpang British Overseas Airways. Namun setelah taksi pergi, mereka tidak masuk ke pintu itu, melainkan ke pintu no. 3, untuk penumpang BOAC. "Dua untuk London dengan BOAC flight no. 1600 pukul 22.00, lalu disambung dengan British European Airways flight 782 untuk Oslo. Tiket untuk kembali masih open. Betul?" kata petugas.
Carment mengangguk dan seperti diajarkan oleh Geoffroy ia berkata, "Suami saya sedang membeli koran dulu."
Petugas kemudian mengembalikan tiket. "Ini tiket Anda, selamat hari Natal."
Geoffroy menunggu di belakang tiang sambil membaca koran. Kerah mantelnya dinaikkan, sehingga menutupi sebagian wajahnya.
Di pesawat mereka duduk diam-diam. Rasanya lama sekali sebelum pintu pesawat menutup. Pesawat menggelinding, tetapi berhenti di ujung landasan dan berbelok lagi ke terminal.
"Ibu-ibu dan Bapak-bapak," terdengar suara pilot, "karena gangguan salju kita harus kembali."
"Wah, jangan-jangan mesti menginap di sini," kata seorang pria yang duduk dekat jendela.
Carment sangat gelisah. "Yves," bisiknya. "Jangan-jangan mereka memergo ...."
"Tidak," jawab Geoffroy tegas. "Tenang saja. Tidak ada yang mencari kita. Ayo, lihat saja brosur-brosur ini.”
Empat puluh menit rasanya lama sekali. Akhirnya, mereka jadi juga terbang.
Geoffroy dan Carment bercakap-cakap dalam bahasa Prancis, sehingga pria di sebelah Geoffroy yang duduk dekat jendela tidak tahu apa yang dipercakapkan pasangan itu. Ia hanya tahu mereka melihat-lihat folder perjalanan tentang Norwegia.
Ketika Carment terlelap di bahu Geoffroy, pria pendek kekar itu duduk tetap tegak dengan mata terbuka lebar.
Louise jadi rewel
Geoffroy berasal dari keluarga kelas menengah baik-baik di Montreal. Seorang saudara laki-lakinya menjadi dokter, saudara yang lain menjadi ahli kacamata. Geoffroy sendiri ahli hukum lulusan University of Montreal.
Teman sekelasnya antara lain Jean-Pierre Goyer, yang saat itu menjadi jaksa agung Kanada. Teman sekelasnya yang seorang lagi ialah Philip Leclerc, yang juga tokoh politik di Kanada.
Geoffroy memilih bidang perdata dan berkantor di Montreal Utara. Selain memberi nasihat-nasihat hukum, ia juga melakukan jual-beli.
Istrinya, Louise Cote, berasal dari keluarga terkemuka, cantik, dan langsing. Mereka tinggal di Lac Noir, dekat Joliette, yang letaknya hampir 100 km dari Montreal. Louise memiliki usaha sendiri di bidang penjualan alat-alat dapur dan hiasan kue.
Tahun 1963, ketika Geoffroy berumur 30 tahun, lahirlah putra sulung mereka, diikuti dua anak lagi. Semuanya laki-laki. Namun bisnis Geoffroy mandek. Mereka tidak sampai gulung tikar, tetapi keadaannya payah. Kemudian rumah mereka di Lac Noir terbakar, sehingga mereka perlu membangun rumah baru di situ.
Pada umur 35 tahun tiba-tiba Geoffroy merasa khawatir. Usahanya payah dan pernikahannya pun goyah. Ia melihat hidupnya kosong dengan menyongsong hari tua.
Ia merasa kasihan kepada dirinya sendiri dan merasa tidak betah berada dekat istrinya yang juga risau. Si istri sebaliknya tambah merasa tergantung kepada Geoffroy. Ia kehilangan semangat mengurusi tokonya dan menjadi penuntut: minta uang, minta pakaian, minta perhatian, dan sering marah.
Ketidakserasian itu akhirnya mengakibatkan Louise melarikan diri ke minuman keras. Geoffroy makin segan berdekatan dengan istrinya. Ia makin sering tidak pulang dari kantornya. Ia memang mempunyai kamar tidur di sana.
Ketika pergi ke Expo 67 tanggal 8 Agustus 1968, Geoffroy yang berumur 34 tahun diperkenalkan kepada seorang guru fisika berusia 24 tahun, Carment Parent. Wanita muda itu tidak secantik Louise, tetapi lembut, hangat, tidak banyak bicara dan tenang.
Ketika seorang penjual bunga lewat, secara spontan Geoffroy menghentikannya, mengambil setangkai mawar, dan menyerahkannya dengan dua belah tangan kepada Carment yang menjadi gugup.
Carment merasa bunga itu mawar paling indah yang pernah dilihatnya. Tajuk-tajuknya yang merah jambu itu baru saja mulai merekah. Ia juga menangkap sinar mata lembut dari pria yang sudah matang itu.
Ternyata mereka merasa cocok dan Geoffroy bertanya apakah ia boleh berkunjung. Akhirnya, Geoffroy sering datang. Mula-mula mereka hanya menonton konser dan makan malam, namun kemudian Geoffroy juga menginap.
Sementara itu Louise bertambah kurus dan sering sakit. Untuk menarik perhatian Geoffroy ia berkata ia punya kekasih, seorang Inggris bernama Dwight yang bekerja pada Air Canada. Sebaliknya dari cemburu, Geoffroy malah merasa kebetulan.
Hampir saja ia tidak bisa menahan diri untuk menceritakan bahwa ia juga punya kekasih. (Kemudian ternyata Dwight itu cuma tokoh rekaan Louise).
Dalam buku hariannya Geoffroy menulis, "Kalau ia mau berlaku gila-gilaan, saya akan menolongnya. Orang akan menyalahkan dia, karena ia yang mulai serong lebih dulu, bukan saya. Lagi pula dalam hal seperti itu, masyarakat cenderung lebih menyalahkan wanita daripada pria."
Mereka pun hidup saling menyakiti. Suatu ketika Geoffroy menyewa detektif untuk memergoki kekasih Louise, ternyata tidak ada. Kadang-kadang Louise siap bercerai, tetapi di saat lain ia mundur lagi.
Geoffroy makin sering menemui Carment, sedangkan Louise makin kurus. Dokternya memberi suntikan-suntikan vitamin, tetapi Geoffroy menyuruh hentikan, sebab tidak perlu, katanya.
Bukan karena asap
Tanggal 12 November 1969, pukul 03.20 dinihari, dr. Henri-Paul Lessard ditelepon oleh Geoffroy.
"Cepat datang! Terjadi sesuatu yang mengerikan. Saya kira istri saya mati lemas."
Dua puluh menit kemudian Lessard sudah berada di kamar pasiennya. Louise telentang di ranjang bekas terbakar. Jendela-jendela terbuka ketika itu dan udara dingin masuk ke dalam.
Wajah Louise memar dan rambut pendeknya acak-acakan. Di lehernya ada bercak merah, di dadanya ada tanda bekas cakaran dan sebelah payudaranya terbakar.
Kata Geoffroy, ia pulang dari Montreal pukul 01.00 dan pergi tidur. Sudah dua bulan ia pisah kamar dengan istrinya. Ia tidak menjenguk ke kamar si istri.
Pukul 03.00 ia terbangun karena ingin buang air kecil. Ketika itu diciumnya bau asap. Ia membuka kamar Louise dan kamar itu ternyata penuh asap. Louise dilihatnya tergeletak di lantai, ranjang terbakar, dan televisi masih menyala.
Dokter memperhatikan wajah Geoffroy yang kelihatan cukup tenang. Kata Geoffroy, ia mengambil alat pemadam api untuk memadamkan api di ranjang.
Lalu dibukanya jendela untuk mengeluarkan asap. Istrinya diangkatnya ke ranjang dan pesawat TV ia matikan. Gigi palsu istrinya keluar separuh dari mulut. Benda itu ditaruhnya di ranjang.
Karena Louise tidak bergerak, ia membuka kelopak mata istrinya dan bola mata istrinya itu tidak bergerak. Ia mengira asaplah yang menewaskan istrinya. Setelah itu diteleponnya Lessard.
Di bibir mayat ada darah dan di seprai pun ada bercak-bercak darah. Sebuah buku terbuka di meja kecil di samping ranjang dan dekat buku itu ada botol Valium. Dokter menganjurkan agar polisi ditelepon. Geoffroy bertanya, "Apa perlu? Saya lebih suka kalau tidak dilakukan autopsi. Saya khawatir kalau kabar-kabar tentang hal itu akan mengganggu putra saya, Philippe, yang kini sudah bersekolah."
Seorang wanita teman Louise dimintai tolong untuk membawa pergi anak-anak Louise dari rumah itu dan merawat mereka sementara.
Polisi datang bersama dokter ahli forensik. Sementara dokter memeriksa Louise, polisi menanyai Geoffroy. Mereka merasa sulit untuk percaya bahwa Louise tewas begitu cepat akibat kebakaran kecil itu. Selain itu tanda memar dan luka-luka pada Louise dari mana datangnya?
Sore itu juga hasil autopsi menyatakan bahwa Louise sudah tewas pada saat kebakaran terjadi. Ia dibunuh.
Geoffroy tidak pulang
Sudah banyak orang tahu bahwa Geoffroy sering cekcok dengan Louise. Jadi, otomatis ia dicurigai. Ternyata bekas darah pada bantal Louise bukanlah darah korban, melainkan darah golongan A, Rh-positif, sama seperti darah Geoffroy.
Telunjuk dan jari tengah Geoffroy memang luka. Menurut Geoffroy, luka itu diperoleh ketika membuka makanan kaleng, tetapi pihak yang berwenang memperkirakan bekas gigitan Louise.
Geoffroy dituduh membunuh istrinya. Selama setahun ia masih bisa hidup di luar dengan Carment dan putra bungsunya. Namun tuduhan terhadapnya begitu kuat, sehingga pembelanya tak berdaya, meskipun Geoffroy bersikeras ia tidak bersalah.
Juri memutuskan Geoffroy bersalah dan hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup padanya. Ia dimasukkan ke Penjara St. Vincent de Paul awal November 1970. Carment menjenguknya dengan setia.
Geoffroy tidak sama dengan penghuni penjara lain. Ia dipandang dengan segan dan mendapat pekerjaan administrasi. Hasil kerja dan kelakuannya sangat memuaskan. Di samping itu di penjara ia juga menyiapkan permintaan naik banding.
Natal tinggal setengah tahun lagi. Sekitar 400 narapidana akan diperbolehkan ‘cuti’ selama tiga hari. Karena Geoffroy menunjukkan dirinya sebagai narapidana teladan dan bisa memberi alasan kuat, ia boleh cuti 50 jam untuk merayakan Natal di luar.
Sebelumnya Geoffroy minta izin untuk menikah dengan Carment. Alasannya, dua kakaknya menderita penyakit jantung yang hebat. Kalau mereka sampai meninggal, siapa yang akan merawat ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu dengan baik?
Carment bersedia, namun tentu tidak diperkenankan oleh negara. Kalau saja mereka bisa menikah, Carment mempunyai hak untuk merawat anak-anaknya.
Kepala Bagian Kunjungan dan Surat-menyurat Alain Moreau merasa bersimpati terhadap Carment yang dilihatnya sering berkunjung. Ketulusan wanita itu terhadap si narapidana teladan tidak diragukan lagi. Karena itulah ia mau menolong Geoffroy dalam mengajukan permohonan untuk menikah.
Pihak berwenang di Ottawa pun merasa simpati ketika mewawancarai Carment yang memang tulus dan polos. Tanggal 3 November permohonan Geoffroy dikabulkan. Sebagai langkah berikutnya, Geoffroy minta cuti pada hari Natal, dan ingin menikah di saat itu. Sekali ini pun permintaannya diluluskan, karena ia dianggap bisa dipercaya.
Begitulah, pada malam Natal 1971, Geoffroy meninggalkan penjara, menikah dengan Carment dan terbang ke London. Keesokan paginya mereka sudah berada dalam pesawat yang menuju ke Oslo.
Hari Minggu, pukul 10.00, mestinya Geoffroy sudah kembali ke penjara. Mengapa ia tidak muncul? pikir petugas penjara. Ah, paling-paling ia teralang oleh cuaca. Ketika ia belum kembali juga, dikirimlah laporan pada polisi Propinsi Quebec.
Minta jasa interpol
Tiga hari setelah hari Minggu, kantor pos baru mulai bekerja lagi. Alain Moreau mendapat surat yang cap posnya tidak terbaca, tetapi dari Kanada juga.
Longueuil, 24 Desember 1971
Bapak Moreau yang terhormat. Kalau Anda membaca surat ini, Anda sudah tahu bahwa saya tidak menepati janji saya. Saya minta maaf sebesar-besarnya. Sulit sekali bagi Carment dan saya untuk menepati janji kami. Saya tidak minta Anda menyetujui apa yang saya lakukan, tapi harap Anda mengerti bahwa menunggu sia-sia membuat kami gila.
Jawaban hakim atas surat saya menginsafkan saya bahwa harapan bagi saya sudah tidak ada. Saya tidak bersalah dan ingin menikmati sedikit tahun yang tersisa dari masa muda saya. Jadi, saya pergi.
Terimalah terima kasih yang setulus-tulusnya dari Carment dan saya untuk semua kebaikan Anda selama ini. Anda selalu bertindak sebagai ‘gentleman’ dan saya harap saya juga bisa bersikap demikian.
Wasalam,
Yves Geoffroy
Jelaslah bagi Moreau bahwa Geoffroy tidak akan kembali. Karena ia sudah lima hari meninggalkan penjara, mungkin sekarang ia sudah berhasil kabur keluar dari Provinsi Quebec.
Polisi provinsi melapor ke pusat. Segera keluar perintah ke seluruh negara untuk menangkap Yves Geoffroy yang buron. Surat perintah dan gambaran tentang Geoffroy pun masuk ke dalam komputer di Pusat Informasi Polisi Kanada. Dalam surat perintah itu disertai pula keterangan tentang Carment dan tentang situasi.
Informasi ini pun tiba ke Pusat Nasional Intelijen Kejahatan di Washington D.C., AS. Di sini informasi itu dimasukkan pula ke komputer supaya mudah dicari.
Philip Leclerc ditanyai. Ternyata ia tidak tahu-menahu. Malah namanya dirugikan, karena dihubungkan dengan kaburnya Geoffroy.
Polisi menyelidiki, kalau-kalau Carment Parent memiliki atau membeli mobil untuk dipakai kabur. Ternyata ia tidak pernah mempunyai mobil dan tidak ada tanda-tanda membeli mobil.
Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan paspor untuk Carment Andree Parent tanggal 29 Juni 1971, tetapi tidak mengeluarkan paspor untuk Geoffroy. Kedubes-kedubes ditanyai, tetapi tidak pernah menerima kedatangan kedua orang itu.
Para petugas perbatasan Amerika juga tidak merasa pernah melihat kedua orang itu. Daftar penumpang pesawat terbang, bus, dan kereta api diperiksa, hasilnya nihil. "Mungkin mereka tidak meninggalkan Kanada," kata Inspektur Raymond Ebert. Atasannya, Inspektur John Burris, tidak mau percaya begitu saja.
Salah seorang tetangga Carment Parent yang ditanyai memberi keterangan bahwa Carment pernah mengajar di Afrika. Sementara itu diketahui pula bahwa saudara perempuan Geoffroy belum lama ini pergi berlibur ke Meksiko. Mungkinkah mereka ke sana?
Inspektur Burris dari Bagian Penyidikan Kejahatan memerintahkan agar status simpanan uang Carment Parent diperiksa.
"Periksa, apakah ada uang yang ditransfer, apakah ia membeli cek perjalanan, dsb.," pesannya.
Tidak lama kemudian Kopral Fresnard memberi laporan: Tanggal 16 Desember, Carment Parent membeli cek perjalanan American Express di bank dekat rumahnya dengan seluruh uangnya.
Polisi segera menghubungi American Express di New York City untuk memberi tahu nomor-nomor cek perjalanan yang dibeli Carment dan meminta agar memberi tahu kalau cek-cek itu sudah diuangkan dan di mana diuangkannya.
Bank itu mempunyai sistem komputer yang luas, yang mengawasi cek perjalanan mereka yang beredar di seluruh dunia. Maksudnya, agar mereka bisa mengganti cek yang oleh pemiliknya dilaporkan hilang atau dicuri dan melacak pemunculan cek yang dicuri atau hilang itu.
Setelah itu Burris menghubungi Interpol. Buris, Kepala Bagian Penyidikan Kejahatan, juga mengepalai Interpol Ottawa.
Interpol (International Criminal Police Organization) merupakan organisasi dunia yang independen, hampir sama seperti PBB. Gedung Sekretariat Jenderalnya ada di puncak bukit di St. Cloud, dekat Paris, Prancis.
Ke St. Cloud inilah keterangan mengenai Yves Geoffroy dan istrinya yang kini menjadi buronan disampaikan dengan kode Morse. Segeralah polisi di seluruh dunia yang menjadi anggota Interpol (kini lebih dari 125 negara termasuk Rumania dan Yugoslavia) dikabari.
Disimpan di ikat pinggang
Sekarang kita ikuti jejak Geoffroy dan istri barunya. Mereka tiba dengan pesawat British European Airways flight 782 di Goteborg, Swedia, dan harus meneruskan perjalanan ke Oslo dengan bus, karena dua bandara dekat Oslo, Norwegia, ditutup akibat cuaca buruk.
Pukul 23.00 mereka masuk ke Fonix Hotel yang kecil dekat Jl. Karl Johan yang besar. Geoffroy memperlihatkan paspornya dan mengisi formulir. Paspor Carment tidak diminta.
Dari kamar 307 mereka bisa melihat jalan di luar yang kelabu, beku, dan kosong. Esok paginya dengan kedinginan mereka keluar dan mendapatkan tidak banyak orang asing di Oslo. Mereka melihat beberapa orang Inggris, tetapi tidak ada orang Prancis.
Mereka memilih Oslo dengan harapan orang lain tidak pernah berpikir akan mencari mereka di sana. Tidak terpikir oleh mereka bahwa di ujung dunia seperti ini sulit untuk bangkit memulai hidup baru.
Saat ini Geoffroy mempunyai kira-kira $ 6.000, dari hasil penjualan miliknya yang tersisa selama tahun yang lalu. Uang itu sebagian besar berupa lembaran ribuan (dolar Kanada) dan ditaruh dalam ikat pinggangnya. Kalau uang itu ditukarkan, akan menarik perhatian. Jadi, lebih baik disimpan saja dulu.
Rencananya, mereka akan hidup hemat saja dulu, sambil mencari pekerjaan. la ingin bekerja, sedangkan Carment ingin menjadi guru bahasa Prancis.
Bagaimana caranya mencari koneksi di Oslo tanpa menarik perhatian? Pemilik hotel menganggap kedua orang tamu itu menyenangkan. Geoffroy mengaku dosen sejarah dan Carment disebutnya fisioterapis.
Setiap hari mereka menunggu kesempatan, yang tidak kunjung muncul di kota dingin yang sepi itu. Lama-kelamaan Geoffroy jadi merasa pahit. Setiap hari mereka melihat orang-orang pergi dan pulang kerja dengan dandanan necis, seperti Geoffroy ketika belum masuk penjara di Montreal.
Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri. Mereka tidak peduli pada Geoffroy. Mana mungkin mengadakan kontak dengan mereka?
Pada suatu hari Carment pergi ke bank di sebelah penginapan mereka, Bergens Privatbank, yang hanya mempunyai dua orang kasir. la menguangkan selembar cek perjalanan bernilai 100 dolar Kanada. Ternyata mudahnya memang sama seperti yang diiklankan.
Saat itu sepi, tidak ada orang lain. Kasir bertanya dengan bahasa Inggris yang fasih, "Anda menyukai Oslo?"
Carment menjadi kaget. la tidak menduga akan ditegur dalam bahasa Inggris. Dengan senyum dipaksakan ia cepat-cepat mengambil uang kronernya dan pergi. Seorang pria pendek kekar lantas menggandengnya.
Geoffroy makin risau. Sedikit demi sedikit uang simpanan mereka terpakai, sedangkan pekerjaan belum juga didapat.
Malam itu di restoran yang penuh mereka harus berbagi meja dengan seorang pria muda bernama Ole Reinhardsen, yang pernah ikut kontingen Norwegia dalam pasukan PBB di Mesir. Ia menolong Geoffroy dan Carment memesankan makanan, karena ia bisa berbahasa Inggris sedikit.
Geoffroy mengaku ia juru masak dan ingin memasarkan sandwich jenis baru yang katanya sedang populer di AS. Namun, saat ini ia ingin bekerja dulu pada orang Norwegia untuk belajar selera penduduk Oslo.
Pemuda itu menasihatkan agar Geoffroy pergi ke kantor yang mencarikan pekerjaaan sementara. "Mungkin pekerjaan itu tidak memuaskan Anda, tetapi bisa menjadi pembuka jalan," kata Reinhardtsen.
Paspor orang mati
Ke kantor Interpol di Oslo, tiba kawat mengenai buronnya Geoffroy yang disertai dengan istrinya. Kantor itu letaknya cuma beberapa blok dari Fonix Hotel. Tanggal 11 Januari buletin tentang Geoffroy dibagikan pada kantor-kantor polisi seluruh Norwegia.
Kalau saat itu Geoffroy berkelahi dengan orang lain misalnya, sehingga ia ditahan, maka ia bisa ketahuan sebagai buronan yang dicari Interpol. Namun, Geoffroy tidak berbuat yang aneh-aneh dan ia tidak diketahui berada di Oslo.
Di Kanada, Inspektur Kepala Burris menuntut bawahannya meneliti lagi surat-surat permintaan paspor sambil berbekal foto Geoffroy. Bawahannya dengan enggan memeriksa surat-surat permohonan sampai mata mereka kabur.
Pada hari ketiga, setelah mereka memeriksa lebih dari 30.000 surat, mereka menemukan surat permintaan paspor yang memakai foto persis seperti yang mereka pegang, yaitu yang dibuat di penjara. Foto itu tertempel pada surat permintaan Real Rolland Lafond, lahir 25 April 1934 (9 bulan setelah Geoffroy lahir), pekerjaan: karyawan tata usaha.
Permohonan itu dibuat 28 September 1971, tiga bulan sebelum Geoffroy kabur. Permohonan itu diminta lewat pos dan paspornya dikirim dengan pos pula, ke alamat Carment Parent.
Polisi ingin tahu, siapa orang yang namanya dipinjam oleh Geoffroy itu. Ternyata Lafond asli sudah tewas tenggelam di Danau Otter tanggal 28 Desember 1959. Ia sepupu Carment Parent! Carment rupanya memiliki surat permandian almarhum, yang dipakai untuk meminjam paspor.
Orang yang disebutkan sebagai penjamin dalam surat permohonan ialah seorang notaris setempat. Ketika diperiksa, ternyata notaris itu tidak tahu-menahu dan tanda tangan yang tertera bukanlah tanda tangannya.
Foto Geoffroy, gambaran tentangnya, dan sidik jarinya sudah dikirim ke markas Interpol di Paris. Kini anak buah Burris mengirim pula nama palsu yang dipakai Geoffroy, untuk ditambahkan pada keterangan yang sudah ada.
Oh, Pak Profesor
Suatu hari telepon Burris di Ottawa berdering. American Express di New York ingin memberi tahu: cek perjalanan yang dikeluarkan tanggal 16 Desember di Montreal, bernomor X2230157 senilai 100 dolar Kanada, baru saja diuangkan oleh Carment Parent di Bergens Privatbank di Oslo, tanggal 7 Januari.
Astaga! pikir Burris. Akhirnya, ketahuan juga mereka ada di mana. Burris mengirim pesan ke Oslo.
Di Oslo, Geoffroy masuk ke kantor yang diusulkan oleh Ole Reinhardsten.
"Oh, Tuan Lafond, saat ini tidak ada pekerjaan," jawab petugas di sana dengan bahasa Inggris terpatah-patah. Datang saja kapan-kapan, tetapi jangan dalam dua tiga hari."
Geoffroy merasa lesu. Pulang ke rumah ia dan Carment merencanakan akan pergi saja meninggalkan Oslo. Ke mana?
Setelah memikirkan pelbagai kemungkinan, mereka memilih Barcelona di Spanyol, di tepi Laut Tengah. Di sana panas, tidak seperti di Oslo ini. Di kota pelabuhan yang kosmopolitan itu pasti banyak orang asing dan mungkin juga banyak lapangan pekerjaan.
Bahasa Prancis pasti banyak dipakai dan beralih ke bahasa Spanyol lebih mudah daripada ke bahasa lain. Dengan menguasai tiga bahasa dan pendidikan hukum mungkin tidak sulit baginya mencari pekerjaan.
Interpol Oslo berkantor di gedung bekas markas besar Gestapo pada PD II. Permintaan untuk menangkap Geoffroy diterima oleh Gunnar Lund, kepala kantor pusat untuk penyelidikan kriminal.
Lekas-lekas dihubunginya Bagian Penyidikan Kriminal Oslo, Per Hagen. Berlainan dengan negara-negara Barat lain, prosedur yang dijalankan oleh polisi Norwegia dirahasiakan.
Nama detektif yang diutus mencari Geoffroy dan laporan yang dibuat si detektif disimpan dalam arsip tanpa boleh diketahui umum. Namun, mereka bisa merekonstruksi apa yang dilakukannya.
Ia mendatangi petugas yang melayani Carment di Bergens Privatbank. Petugas itu tidak ingat lagi nama wanita itu, tetapi segera mengenali foto Geoffroy. Ia membuka daftar tamu. "Tuan dan Ny. Real Lafond cuma tinggal dua malam, lalu pergi entah ke mana," katanya. Lafond meninggalkan nomor paspornya.
Di hotel kelima atau keenam, pemilik mengenali foto yang diperlihatkan si detektif. "Oh, Pak Profesor!" katanya. "Ia orang baik. Temannya juga baik, Pak Reinhardsten." (Tentu saja Reinhardsten pun kemudian ditanyai). Namun Pak Profesor dan istrinya sudah pergi. Setelah menanyai Reinhardsten, polisi juga menghubungi perusahaan-perusahaan penerbangan.
Tinggal di seberang kantor polisi
British European Airways ingat pada Lafond, karena ada ketidakberesan pada tiketnya. Lafond akhirnya minta bantuan Biro Perjalanan Winge untuk membereskan tiket itu.
Petugas di Winge ingat pada Lafond. Katanya, Lafond pergi ke Barcelona lewat Frankfurt. Mereka naik SAS dan disambung dengan Iberia. Petugas menyarankan mereka tinggal di Hotel Colon, namun Lafond ingin hotel yang lebih murah, jadi baginya dipesankan tempat di Regencia Colon.
Barcelona menyambut kedatangan Geoffroy dan Carment dengan kehangatan sinar matahari. Mereka tidak mendapat kesulitan di imigrasi. Geoffroy juga merasa betah ketika tiba di Regencia Colon. Lobi hotel itu memberi kesan hangat dengan lantainya yang merah dan dengan ukiran kayunya yang halus.
Tidak lama kemudian mereka sudah berjalan-jalan di Ramblas, jalan lebar penuh kafe terbuka di tepi-tepinya.
Operator di Interpol Mardrid menerima permintaan untuk menangkap Joseph Geoffroy, beralamat di Regencia Colon, Barcelona. Dari Madrid permintaan itu diteruskan ke Barcelona yang jaraknya sekitar 600 km ke arah timur laut.
Kasus Geoffroy diserahkan kepada Inspektur Luis Serra. "Gonzales," katanya kepada asistennya. "Ini ada kriminal kelas kakap dari Amerika Utara. la kabur keliling dunia sampai Barcelona, la memilih hotel apa, coba terka? Regencia Colon, yang tidak sampai seratus langkah dari pintu kantor kita!"
Kemudian katanya, "Coba kau lihat ke sana, tapi hati-hati." Gonzales mengangguk. la berbekal Cadix 38 di pinggangnya, lalu pergi ke Regencia Colon. Geoffroy tidak ada di lobi. Gonzales memperlihatkan foto Geoffroy pada petugas di counter dan bertanya, "Kenal orang ini?"
"Oh, Tuan Lafond, sudah pergi."
Geoffroy memang sudah pindah. Lewat operator lift, Geoffroy mengetahui ada apartemen yang akan disewakan tidak jauh dari hotel. Operator itu mengantar mereka ke Apartementos Colon dan di situ Geoffroy menyewa sebuah apartemen kecil di tingkat keenam.
Tempat itu letaknya di Via Layetana 42, sedangkan Jefatura Superior de Policia terletak hampir di seberangnya, di no. 43. Di depan gedung kokoh bertembok kelabu itu polisi bersenjata berjaga siang-malam, sedangkan polisi berpakaian preman berjalan ke luar-masuk gedung.
Dari jendela kamarnya Geoffroy senang memandang ke bawah, ke toko-toko di seberangnya. Kalau lewat di depan kantor polisi, ia mengangguk hormat kepada polisi jaga. Ia tidak membaca koran Kanada, sehingga tidak tahu apa yang terjadi di sana dan betapa banyak kolom-kolom surat kabar dimuati berita tentang pelariannya.
Yang kini merisaukan Geoffroy ialah ia perlu pekerjaan. Dari berbagai pamflet yang diperolehnya di Bandara Frankfurt, ia mengetahui bahwa Afrika membutuhkan banyak tenaga seperti dia, terutama Zaire, yang dulu bernama Kongo.
Trudeau turun tangan
Di Ottawa, Inspektur Kepala Burris merasa kecewa sekali ketika tiba berita dari Inspektur Luis Serra: Geoffroy sudah tidak ada di Regencia Colon.
PM Pierre Trudeau minta supaya kasus Geoffroy ditangani lebih baik. Bagaimana mungkin pembunuh seperti Geoffroy sampai bisa melarikan diri! Maka dikirimkanlah polisi Kanada ke Spanyol.
Di Via Layetana 43, Inspektur Serra memanggil Gonzales. "Coba kau tanyai lagi semua karyawan hotel. Siapa tahu ia berbicara sesuatu kepada salah seorang dari mereka yang bisa dijadikan kunci untuk menemukannya. Malu kan kalau sampai polisi Amerika Utara sendiri yang datang kemari untuk menyelidiki. Jangan-jangan mereka mengira kita tidak bekerja di sini."
"Bueno," kata Gonzales.
Ia menanyai setiap karyawan, sambil memperlihatkan foto. Waktu tiba giliran Victor Lopez, operator lift itu berkata,
"Aah, ini kan bapak yang sopan betul itu. Saya menolong dia mencari apartemen."
"Oh!"
"Saya tunjukkan kalau mau."
Lopez dan Gonzalez bersama-sama pergi ke Apartementos Colon. Dari jalan Lopez menunjuk ke atas.
"Di sana, di tingkat enam," katanya.
"Jangan menunjuk, goblok!" kata Gonzalez.
Gonzalez lalu masuk menemui pengurus apartemen. Lafond dan istrinya masih ada, katanya. Cepat-cepat Gonzalez menyeberang ke kantor polisi untuk menceritakan penemuannya pada Serra. Ternyata Serra sedang menerima tiga polisi Kanada.
Serra meninggalkan dulu ketiga tamu asing itu untuk mendengarkan cerita Gonzalez, lalu bersama Gonzalez dan tiga detektif lain mereka pergi ke Apartementos Colon, tentu saja berbekal Cadix 38, karena katanya, "Ia mungkin bersenjata dan pasti berbahaya."
Pengurus apartemen kaget ketika melihat kedatangan mereka. Ia disuruh tutup mulut dan diam di tempatnya, setelah ditanyai apakah Lafond dan istrinya ada di apartemen.
Seorang detektif ditempatkan di bawah supaya bisa mengawasi lift maupun tangga. Serra sendiri dengan yang lain naik ke tingkat 6. Serra mencabut senjatanya dan mendekati pintu bertanda B. Gonzalez merapatkan dirinya ke dinding di sebelah kanan pintu.
Serra mengetuk pintu. Tangan Carment masih di tombol pintu ketika Serra masuk. Kaki kiri Serra menahan pintu supaya tidak bisa ditutup lagi, sedangkan tangan kanannya menodongkan pistol.
"Polisi," katanya.
Carment menjadi pucat pasi. la tidak bisa bergerak. Matanya terbuka lebar seperti mata rusa. Tepat di seberang Serra, pintu kamar mandi membuka. Geoffroy keluar memakai jas kamar berwarna kuning.
Carment menoleh kepada Geoffroy dan ia tampak lebih takut lagi. Gonzalez memegang lengan Carment, sedangkan Serra mendekati Geoffroy.
"Polisi," katanya dalam bahasa Prancis.
"Angkat tangan."
"Ada apa?" tanya Geoffroy.
"Anda ditahan, Monsieur Geoffroy, dengan surat perintah penahanan dari Kanada."
"Geoffroy? Ah, barangkali Anda salah. Nama saya Real Lafond. Perkenankanlah saya memperlihatkan paspor saya. Paspor itu ada di meja."
Paspor diperiksa. Serra tersenyum.
"Mungkin ada kesalahan, Monsieur Lafond," katanya. "Kalau begitu atas nama pemerintah Spanyol, saya minta maaf kepada Anda. Namun, saya mempunyai surat perintah penangkapan terhadap Anda di bawah nama Joseph Yves Geoffroy.”
“Jadi, saya mesti meminta Anda ikut ke kantor saya. Dekat saja, barangkali Anda juga tahu. Semuanya akan dibereskan di sana. Sekarang silakan berpakaian dulu, seorang demi seorang. Madame Lafond lebih dulu."
Geoffroy diminta untuk tidak diborgol. Serra, seperti gentleman terhadap gentleman, setuju.
Dibutakan oleh cinta
Serra masuk lebih dulu ke ruang kantornya. Ketiga polisi Kanada bangkit. Mereka sudah ditinggalkan Serra 28 menit. Serra tampak gembira.
"Messieurs," katanya dalam bahasa Prancis. "Saya ingin memperkenalkan rekan Anda setanah air, Monsieur Geoffroy."
Geoffroy yang masuk setelah Serra berkata cepat, "Nama saya Lafond."
"Ah, Geoffroy," kata Kopral Fresnard. "Senang bertemu kembali dengan Anda."
Ketika itu di Kanada, Inspektur Kepala Burris baru saja tiba di kantornya. Teleponnya berbunyi. Kopral Fresnard ingin memberi laporan. Geoffroy sudah tertangkap.
Geoffroy diekstradisi dan tanggal 13 Maret ia dan Carment dikembalikan ke Kanada. Tanggal 19 Februari 1973, keduanya dinyatakan bersalah. Hukuman seumur hidup dijatuhkan pada Geoffroy ditambah lagi dengan hukuman penjara dua tahun, karena kabur dari penjara. Carment yang membantunya, dibebaskan karena dianggap dibutakan oleh cinta.
Carment menjenguk Geoffroy sesering yang diperkenankan. Bulan madu mereka hanya berlangsung 73 hari, padahal mereka mengharapkan bisa bersama-sama selama bertahun-tahun.
(David Nevin)