array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3606028"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/tamu-terakhir_pavel-danilyukjpg-20221212091641.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(138) "Seorang pria kedatangan tamu-tamu yang berteduh di rumahnya. Hingga datanglah tamu yang mengaku polisi dan ingin mencari penjahat narkoba."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/tamu-terakhir_pavel-danilyukjpg-20221212091641.jpg"
      ["title"]=>
      string(13) "Tamu Terakhir"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 09:16:55"
      ["content"]=>
      string(33826) "

Intisari Plus - Seorang pria kedatangan tamu-tamu yang berteduh di rumahnya. Hingga datanglah tamu yang mengaku polisi dan ingin mencari penjahat narkoba.

--------------------

Sabtu pagi ini aku sungguh merasa suntuk. Sebagai bujangan, mumpung belum punya tanggungan, biasanya aku menyempatkan diri berlibur ke luar kota setiap akhir pekan. Namun bisul di telapak kaki yang muncul pada waktu dan tempat yang salah, menyebabkan aku tidak bisa keluar rumah. Ya, sudah. Kuputuskan bersantai di rumah, menonton televisi.

Untunglah, suasana hati yang muram segera berubah setelah menonton tayangan film di TV. Aku memang penyuka film komedi, namun yang baru saja diputar ini benar-benar mengundang imajinasi. Kisahnya tentang dua orang penjahat yang saling menipu dengan kreatif, akhirnya justru tertipu oleh penipu ketiga. 

Dalam kehidupan yang sebenarnya, semudah itukah kita ditipu? Alangkah banyaknya cara untuk menipu orang. Walaupun hanya seorang pegawai kantor yang sederhana, aku cukup percaya diri dan yakin tidak akan mudah tertipu.

 

Tamu pertama

Setelah mematikan pesawat televisi, aku ke dapur melihat apa yang dapat kumakan siang ini. Tiba-tiba mendung yang telah menggantung sejak pagi tadi mencurahkan hujan cukup lebat. Segera aku menghampiri jendela depan untuk menutupnya, sebelum air hujan menerpa kisi-kisi teralis sehingga tampias ke dalam rumah. Pada saat itu tampak sekelebat bayangan pria berlari masuk ke halaman rumah dan berhenti persis di depan jendela yang akan kututup.

“Permisi, Pak,” katanya sopan. “Bolehkah saya numpang berteduh?” Sekilas terlintas di benakku film yang baru saja kutonton. Jangan-jangan orang ini penipu. Namun, rasa bersalah karena telah mencurigainya malah mendorongku untuk membuka pintu. Dia tersenyum menatapku. Lo, mengapa hanya sebelah pundaknya saja yang basah, sedangkan yang satunya kering? Dengan pandangan menyelidik, mataku menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya kulihat sebuah koran yang sudah basah di tangan kirinya. Oh, ini bukan tipuan. Maklum, koran yang dipakai melindungi kepalanya terlalu kecil, sehingga tidak dapat menutupi kedua pundaknya. Lagi-lagi kumaki diriku karena berpikir yang tidak-tidak.

“Silakan masuk,” kataku sambil membuka pintu lebih lebar. 

Sekarang aku dapat melihatnya dengan lebih jelas. Pria ini masih muda, hampir sebaya denganku. Kutaksir usianya sekitar 25 tahun. Pundak dan dadanya tegap, walaupun perutnya agak gendut. Terbungkus t-shirt biru tua dan celana jins, pria tampan dengan deretan gigi putih rapi ini rasanya tidak layak untuk dicurigai. Tapi bukankah pepatah mengatakan justru penampilan itu menipu?

“Terima kasih banyak,” katanya dengan tetap tersenyum sambil menghampiri kursi yang kutunjuk. Aku menutup pintu dan duduk juga di depannya.” 

“Saya sedang lewat tadi, tiba-tiba turun hujan lebat. Kebetulan tidak ada tempat berteduh dan semua rumah tertutup rapat, hanya pagar rumah Bapak yang terbuka. Jadi, saya langsung masuk ke sini.”

“Tidak apa-apa, sekarang memang sedang musim hujan.” 

“Untung Bapak bersedia memberi saya tempat berteduh.” 

“Hujan selebat ini biasanya hanya sebentar kok. Anda mau berangkat kerja?” tanyaku. 

“Oh, tidak,” katanya. “Saya sedang menuju rumah seorang famili. Dia minta saya untuk mengurus surat-surat rumahnya.”

Ah, akhirnya saya tahu ke mana arah pembicaraan ini. Pastilah tidak lama lagi dia akan memintaku untuk mengeluarkan surat rumahku dan seterusnya. Ternyata siasatnya sangat mudah dibaca. Aku sudah bertekad akan segera mengusirnya bila dia berani meminta surat rumahku atau surat apa pun.

“Maaf, bolehkan saya numpang ke kamar mandi?” tanyanya dengan wajah polos. 

Aku tertegun sejenak. Rumahku kecil, isinya pun tidak ada yang dapat dikatakan benar-benar mahal. Tanpa sadar aku melihat sekeliling. Rupanya, ia menangkap keraguan di wajahku. 

“Kalau tidak boleh, ya, tidak apa-apa,” katanya sambil menunduk dan memegang perutnya yang agak gendut itu.

“Oh, boleh. Saya hanya merasa tidak enak karena ... kamar mandinya agak kotor,” kataku memberikan alasan sekenanya. “Silakan, itu pintunya.” 

Kuawasi pintu kamar mandi sampai tertutup. Kuyakinkan diriku bahwa tidak ada barang berharga di dalam kamar mandi yang bisa diambilnya.

Tanpa meninggalkan kewaspadaan aku berdiri di depan pintu kamarku sambil terus mengawasi pintu kamar mandi. Selama satu menit tidak ada suara apa pun, lalu terdengar suara air yang disiramkan. Tak lama kemudian dia keluar.

Aku sudah bersiap mendengar kelanjutan soal surat rumah yang tadi ketika tiba-tiba ia berkata, “Tampaknya hujan sudah reda. Kalau begitu saya permisi saja. Terima kasih untuk kebaikan Bapak.”

 

Tamu kedua

Aku begitu terkejut sehingga tidak sepatah kata pun terucap dari mulut. Bahkan sampai dia keluar rumah dan sekali lagi mengucapkan terima kasih, aku masih tertegun didera perasaan bersalah. Rasanya, ada sesuatu darinya yang menarik perhatian bawah sadarku ketika pria tadi keluar dari kamar mandi. Aku tidak tahu apa, tapi ada sesuatu. Lantaran kaget, malu yang bercampur dengan perasaan bersalah, aku tak sempat berpikir lebih lanjut.

Lantaran pengaruh film aku telah mencurigainya habis-habisan. Setiap bagian penampilannya, setiap gerakannya, setiap kata yang diucapkannya, semuanya kuawasi dengan pandangan curiga. Padahal dia hanya seorang pria malang yang kehujanan!

Walaupun belum mengucapkannya, aku terus menerus mencurigainya dalam hatiku. Itu salah juga ‘kan? 

Setelah rasa bersalahku pelan-pelan menghilang, aku mulai makan siang sambil memikirkan apa yang menarik perhatianku ketika dia keluar dari kamar mandi. Rasanya, penampilan pria ini jadi lain. Tapi apanya? Pertanyaan itu tetap tidak terjawab sampai aku selesai makan.

Di tengah suasana rumah yang sepi, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Dua orang pria bertubuh tegap berdiri persis di depan pintu. Yang seorang ramah namun tegas, terkesan menyembunyikan perasaan tegang. Sementara temannya yang bertampang sangar, mematung di sebelahnya, sambil memandangku dengan tatapan dingin.

Sang juru bicara memperkenalkan diri sebagai polisi yang sedang bertugas. la menunjukkan sebuah foto dan bertanya, “Apakah Bapak mengenal orang ini?” 

“Rasanya kenal,” jawabku. la menunjukkan foto pria tampan yang tadi pagi numpang berteduh di rumah.

“Dia baru saja datang kesini. Saya tidak tahu namanya. Dia hanya mampir sebentar, numpang berteduh karena kehujanan. Ada apa?” 

“Begini,” kata si juru bicara. “Dia ini informan polisi yang sedang dikejar penjahat. Apakah dia titip sesuatu?” 

“Tidak.”

“Apakah dia menyampaikan pesan?” 

“Tidak.”

“Apakah dia ada membawa sesuatu?” 

“Tidak. Eh, ya ada. Tapi hanya selembar koran yang sudah basah kena hujan.” 

“Apa yang dikatakannya?” 

“Dia mengaku mau ke rumah familinya untuk mengurus surat rumah. Rasanya itu saja. Begitu hujan reda, dia langsung pergi.” 

Aku tidak suka cara pria bertampang sangar itu memelototi seluruh isi rumahku seperti perampok mencari mangsa.

“Apakah dia masuk ke kamar Anda?” 

“Tentu saja tidak!” seruku jengkel. “Sebenarnya ada urusan apa ini?” 

“Oh, tidak apa-apa. Kami hanya ingin mencari informasi tentang dia. Terima kasih banyak untuk keterangan yang Anda berikan.” Setelah memberi hormat, keduanya pamit.

 

Tamu ketiga

Menjelang sore, pintu rumahku diketuk lagi. Kembali kujumpai dua orang pria berdiri di depan pintu. Tapi bukan dua pria yang datang tadi. Kali ini yang seorang agak kurus, yang lain agak gemuk. Keduanya mengaku sebagai polisi juga! Heran, mengapa begitu banyak polisi tertarik kepadaku.

Sambil tertawa aku berkata, “Rupanya, hari ini semua yang berhubungan dengan polisi ingin datang ke sini.” 

“Semua?” tanya yang gemuk heran. 

“Ya, tadi sudah ada informan polisi, kemudian dua orang polisi, dan sekarang Anda berdua polisi.” 

“Tadi sudah ada polisi yang datang?”

“Ya, dua orang.” 

“Apakah mereka menunjukkan tanda pengenal?” 

“Oh, saya tidak sempat menanyakan. Bagi saya tidak ada masalah.” 

“Asal Anda tahu, tidak ada polisi yang ditugaskan ke sini sebelum kami. Ini tanda pengenal kami.” Keduanya memperlihatkan tanda pengenalnya. Tapi karena tidak terlalu menyukai hal-hal yang berbau formal, tanda pengenal mereka hanya saya lirik sekilas.

“Apakah Anda mengenal orang ini?” Kali ini giliran yang kurus berbicara sambil menunjukkan sebuah foto. 

“Ini ‘kan informan polisi itu!” kataku yakin. Walaupun agak berbeda dengan foto yang tadi, namun aku dapat segera mengenalinya sebagai pria tampan yang kehujanan tadi pagi. 

“Informan polisi?” Mendengar jawaban saya, kedua polisi tersebut tampak terheran-heran. Mereka saling berpandangan.

 “Siapa yang mengatakannya?” 

“Kedua polisi tadi.” 

“Saya ulangi lagi, tak ada polisi yang datang sebelum kami.” 

“Yang saya tahu, kedua pria itu mengaku polisi,” kataku kurang senang. 

“Bolehkah kami masuk?” 

“Silakan,” kataku enggan. 

“Terima kasih,” kata yang gemuk. 

“Begini, seperti Anda lihat kami berdua adalah petugas dengan tanda pengenal resmi.”

Sejujurnya, aku tidak bisa membedakan mana tanda pengenal yang resmi dan mana yang palsu. Tapi karena malas berargumentasi aku diam saja. 

“Artinya, kedua orang yang datang sebelum kami jelas polisi gadungan,” ia melanjutkan. “Orang dalam foto ini pun bukan informan, tapi justru penjahat yang baru saja kami tangkap.”

Aku diam saja sambil tetap menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut. 

“Penjahat ini bernama Bill yang sudah lama kami incar. Tadi pagi kami berhasil menggerebek tempat tinggalnya dua blok dari rumah ini. Tiga orang temannya berhasil ditangkap, tetapi Bill lolos dengan membawa sejumlah obat terlarang yang selama ini diperdagangkannya. Dia lari ke arah rumah ini, namun sekitar setengah jam kemudian berhasil kami ringkus. Sayangnya, obat terlarang itu tidak ada lagi padanya. Bisa jadi dia telah membuangnya ke suatu tempat. Kami sedang mencarinya di seluruh daerah ini tapi belum ketemu. Menurut analisis kami, kedua orang yang datang ke sini tadi adalah anggota komplotannya yang menduga Bill telah membuang barang itu di daerah sekitar sini. Singkatnya, kami sedang berlomba dengan mereka untuk mendapatkan barang tersebut. Apakah Bill ini tadi datang kemari?” tanyanya sambil mengacungkan foto itu lagi.

“Ya,” kataku agak bingung mendengar penjelasannya. 

“Apakah dia membawa atau menitipkan sesuatu?” 

“Tidak, dia tidak bawa apa-apa dan titip apa-apa. Hanya numpang berteduh. Begitu hujan berhenti tak lama kemudian, dia langsung pamit.” 

“Pak, kami tidak membawa surat penggeledahan dan kami juga tidak menganggap Bapak seorang tersangka. Namun jika Bapak mengizinkan, kami ingin memeriksa sebentar ruangan ini. Boleh?” 

“Tentu saja. Silakan. Tidak jadi masalah.”

“Tadi dia duduk di mana?” 

“Setelah masuk, ia langsung duduk di sini,” kataku sambil menunjuk kursi yang tadi diduduki pria yang dimaksud. 

Dengan cekatan dan kecermatan luar biasa, polisi yang kurus meraba-raba bagian bawah dan belakang kursi. Lantaran tidak menemukan apa-apa, ia lalu beranjak memeriksa meja dan kursi lain. Berikutnya lemari bagian atas, samping, bawah, dan belakang. Hanya butuh waktu sebentar, lalu ia mengangkat bahu dan menggeleng.

Rekannya yang gemuk tampak tercenung menyaksikan temannya tanpa hasil. 

“Apakah ada orang lain yang bersama Anda?” katanya. 

“Tidak, saya tinggal sendirian di sini.” 

“Baiklah, mungkin kami mesti mencari di tempat lain. Apakah masih ada yang ingin Bapak sampaikan pada kami mengenai Bill ini?”

Aku menggeleng. 

“Kalau begitu, terima kasih atas kerja sama Bapak,” katanya sambil beranjak menuju pintu, “Kami tidak bermaksud menakut-nakuti, tapi bila kedua orang yang mengaku polisi tadi itu muncul lagi sebaiknya Bapak waspada dan segera menghubungi kami.” Lalu ia menjelaskan bagaimana caranya untuk menghubungi mereka.

Aku mengantar mereka keluar rumah dengan perasaan tidak menentu. Siapa yang dapat kupercayai? Bill? Kedua orang yang mencari informan polisi? Atau kedua orang yang menuduhnya penjahat? Setiap ada tamu datang, aku mempercayai apa yang dikatakan. Namun, kedatangan tamu berikutnya malah membuat aku meragukan yang datang sebelumnya. Apakah masih ada yang akan datang hari ini? Aku tidak yakin. Yang pasti ini bukan sekadar masalah orang kehujanan yang ingin berteduh.

 

Mereka datang lagi

Malam itu aku tidak bisa memejamkan mata. Sambil berbaring di tempat tidur kurenungkan hal-hal yang baru saja terjadi. Semuanya aneh dan tidak jelas. Absurd. Uniknya, rentetan kejadian dari pagi sampai sore ini justru membuatku melupakan rasa sakit bisul di telapak kaki. 

Peristiwa demi peristiwa berkelebat satu per satu melintas di depan mataku seperti potongan-potongan film. Saat itulah aku baru tersadar atas rasa penasaranku pada keanehan penampilan Bill ketika dia baru keluar dari kamar mandi. Ya, benar! Perutnya!

Ketika berbicara dengannya di depan pintu rumah, aku sudah merasa aneh. Perutnya yang agak gendut kurang sesuai dengan pundak dan dadanya yang tegap. Setelah keluar dari kamar mandi perutnya jadi datar, tidak gendut lagi. Walaupun tadi aku tidak langsung menyadarinya, sekarang semuanya menjadi begitu jelas. Dadaku berdebar kencang ketika menyadari hal ini. Artinya, pasti ada sesuatu yang ditinggalkannya di dalam kamar mandiku! Polisi tadi mengatakan obat terlarang? Heroin, sabu, atau ekstasi?

Memang, belakangan ini media massa gencar memberitakan soal narkoba. Kejahatan yang berhubungan dengan jual beli dan pemakaian narkoba semakin marak. Alangkah ngerinya kalau aku terlibat dalam bisnis obat terlarang ini. Tanpa sadar tubuhku meloncat turun dari tempat tidur. Aku meringis ketika bisul di kakiku menyengat karena kaki terlalu keras menginjak lantai. Sambil terpincang-pincang kesakitan, setengah berlari aku menuju kamar mandi.  

Kamar mandiku kecil dan biasa-biasa saja. Jika mau menyembunyikan sesuatu, di mana kira-kira tempat yang paling cocok? Aku teringat film yang mengisahkan tokohnya menyembunyikan bungkusan benda berharga di dalam tempat air kloset. Tanpa pikir panjang, kuangkat tutup keramik itu, seraya melongok ke dalamnya. Ternyata tidak ada apa-apa. Dengan perasaan kecewa kukembalikan tutupnya.

Tidak ada tempat lain? Tunggu sebentar! Di pojok aku selalu meletakkan ember tempat pakaian kotor yang akan dicuci. Kuangkat pakaian-pakaian kotor tersebut dan terlihatlah apa yang menjadi sumber malapetaka sepanjang hari ini. Gila!

Di dasar ember terlihat dua bungkusan plastik bening. Yang satu isinya berbentuk bubuk dan yang lainnya pil. Kuangkat keduanya, masing-masing beratnya kira-kira hampir 1 kg. Jadi, benar juga apa yang dikatakan oleh kedua polisi yang tadi datang belakangan. Ini benar-benar kejahatan narkotika kelas kakap.

Sempat kupandangi bungkusan di kedua tanganku. Walaupun belum tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, kuputuskan membawa bungkusan-bungkusan ini ke kamar. Kuletakkan di bawah bantal di tempat tidur. Sebaiknya aku segera menghubungi kedua polisi tadi.

Ketika membuka pintu kamar untuk menuju meja telepon yang terletak di ruang tamu, aku terkesiap melihat bayangan orang di jendela. Semua lampu di ruang tamu dan dapur telah kupadamkan. Selain lampu di kamarku, satu-satunya lampu yang menyala adalah lampu di luar rumah. Jadi, aku dapat melihat dengan jelas bayangan dari luar rumah tanpa khawatir akan terlihat.

Bayangan itu bergerak perlahan dan agak membungkuk. Siapa? Billkah? Atau kedua penjahat temannya, atau justru polisi tadi? Kemudian muncul bayangan kedua. Segera kukenali yang kedua ini sebagai bayangan dari pria yang bertampang sangar tadi. Jadi, kedua bayangan ini menandakan penjahat datang lagi.

Bayangan mereka tidak tampak lagi setelah melewati jendela. Segera kuputuskan untuk menelepon kedua polisi tadi. Baru saja gagang telepon kuangkat, terdengar bunyi jendela dicungkil dari luar. Dengan panik aku meletakkan gagang telepon dan terburu-buru melangkah ke kamarku, suatu tindakan refleks untuk melindungi diri.

Karena terburu-buru, aku menginjak sesuatu di lantai. Tidak jelas apa, tapi yang pasti tepat di bagian bisul di kakiku. Aku benar-benar tidak dapat menahan diri untuk tidak menjerit kesakitan. Sambil menutup mulut untuk menahan rasa sakit, aku terhuyung-huyung mencari tempat untuk bersandar. Malangnya, aku menabrak rak yang berisi banyak pajangan patung-patung kecil kesayangan ibuku sehingga rak itu jatuh dengan semua patung di atasnya, disertai bunyi yang cukup riuh.

Suara cungkilan di jendela terhenti. Sunyi sejenak, lalu diganti dengan suara kaca jendela pecah dan sesosok tubuh mendobrak jendela. Astaga! Mereka sudah masuk ke ruang tamuku. Pada detik yang sama tiba-tiba seluruh lampu di rumah padam. Dengan tidak menghiraukan rasa sakit di kakiku, aku lari tanpa bersuara ke kamarku, masuk dan mengunci pintu. Tentu aku dapat dengan mudah melakukan hal ini karena aku tahu letak pintu kamarku walau dalam gelap. Tapi aku yakin kedua penjahat itu tentunya tidak tahu. Ternyata dugaanku meleset.

Dalam tempo kurang dari lima detik pintu kamarku sudah digedor-gedor. Aku mundur sampai ke pojok, lemas dan bingung tak tahu harus berbuat apa. Aku tidak punya senjata, tidak punya alat apa pun untuk melawan, bahkan tidak punya cukup keberanian untuk berkelahi melawan kedua penjahat itu. Namun, dalam keadaan bingung pun sempat terpikir kenapa semua lampu di rumahku padam? Ada yang memadamkan listrik? Siapa? Yang pasti bukan kedua penjahat itu, karena mereka membongkar dan mendobrak jendela. Berarti ada orang lain yang datang malam ini.

Suara gedoran di pintu tidak berkurang. Tiba-tiba terdengar suara kaca pecah lagi, disertai suara bentakan. Aku hanya dapat menahan napas ketika terdengar suara seperti orang sedang berkelahi, tepatnya beberapa orang sedang berkelahi. Karena tidak tahu harus berbuat apa, dalam gelap aku duduk di tempat tidurku. Tanpa sengaja tanganku menyentuh kedua bungkusan yang rupanya sedang diincar.

Bunyi pukulan dan empasan masih terdengar, ditambah makian yang tidak jelas, lalu terdengar bunyi tembakan. Satu kali, lalu satu kali lagi. Bunyinya seakan bergema di dalam telingaku, tapi baru kali ini aku mendengar suara tembakan yang benar-benar nyata dari jarak yang begitu dekat, hanya beberapa langkah dariku.

“Nyalakan lampu,” terdengar suatu suara seperti kukenal. Tak lama kemudian listrik menyala dan terdengar suara memanggilku. “Pak, buka pintunya, ini polisi.”

Dengan lega aku mengenalinya sebagai suara polisi yang datang tadi. Kubuka pintu sedikit, kulihat ruang tamuku yang sudah terang sekarang. Kedua polisi itu menatapku. 

“Anda terluka?” 

“Tidak,” kataku sambil menarik napas. “Anda datang tepat waktu.” 

“Kami melihat kedua. penjahat ini mendobrak jendela. Jadi, kami mematikan lampu agar lebih mudah menyergap. Mengapa mereka kembali? Apakah Bill meninggalkan sesuatu?”

“Ya.” 

“Kenapa tadi tidak anda katakan?” 

“Karena saya lupa dan juga Anda tidak tanya ‘kan? Tadi dia masuk ke kamar mandi.” 

“Jadi, Bill meninggalkan sesuatu di kamar mandi?” 

“Ya ....” 

Sebelum sempat kujelaskan bahwa aku sudah memindahkan kedua bungkusan tersebut, kedua polisi itu telah menyerbu ke kamar mandi. Aku tidak suka melihat sikap kedua polisi ini yang kurang simpatik.

Ketika keduanya sedang mengaduk-aduk kamar mandiku, aku punya kesempatan untuk melihat kedua penjahat yang tergeletak di lantai ruang tamuku. Keduanya rupanya ditembak. Yang seorang tergeletak tidak bergerak. Aku tidak dapat melihat ekspresinya karena ia dalam posisi tertelungkup. Tapi kuduga ia telah tewas. Darah kental yang mulai menggenang di lantai dekat dadanya membuatku merasa akan muntah. Kualihkan pandanganku kepada yang seorang lagi. Kelihatannya ia masih hidup, sedikit bergerak-gerak tanpa suara. Aku tak tahan melihat keduanya. 

Kedua polisi itu muncul dengan wajah penuh tanda tanya. 

“Tidak ada apa-apa di kamar mandi.” 

“Barangnya sudah saya pindahkan.” 

“Katakan di mana kamu sembunyikan barang itu!” Sambil mencengkeram bajuku, polisi itu menodongkan pistolnya ke daguku. 

“Cepat katakan,” yang satunya ikut berteriak.

 

Tamu keempat

Belum pernah aku ditodong pistol seperti sekarang ini. Tapi aku sama sekali tidak takut, malah jengkel. Sebagai penegak hukum sebenarnya polisi tidak boleh bersikap seperti ini. Amat keterlaluan, emangnya aku penjahat. 

“Anda tidak boleh menodong saya seperti ini!” 

“Kenapa tidak?” 

“Karena Anda polisi dan saya bukan penjahat,” kataku mantap.

Keduanya tersenyum. “Berita baiknya, Anda benar. Polisi tidak boleh berbuat seperti ini. Berita buruknya, kami bukan polisi.” 

“Tapi tadi siang kalian mengaku polisi.” 

“Sebenarnya kami dari kelompok yang bermusuhan dengan kelompok mereka,” katanya sambil menunjuk kedua orang yang terkapar di lantai. “Bill juga anggota mereka dan dia melarikan barang kami.” 

Sekarang aku benar-benar ketakutan. Sekujur tubuhku terasa gemetar. Apes benar nasibku hari ini.

“Cepat tunjukkan barang itu. Waktu kami tidak banyak. Bunyi tembakan tadi pasti akan menarik perhatian orang di sekitar ini.” 

“Apakah kalian akan membunuhku?” tanyaku kecut. 

“Apakah kamu akan bersaksi tentang kami?” 

“Tidak,” kataku yakin. 

“Apakah kamu akan mengenali kami?” 

“Tidak,” kataku makin pasrah. 

“Di mana barang itu?”

“Di kamar, di bawah bantal,” kataku cepat. 

Yang seorang masuk ke kamarku, tidak lama kemudian dia keluar dengan membawa bungkusan-bungkusan itu di tangannya. Sambil tersenyum dia berkata, “Yah, terpaksa kami tetap akan membunuhmu.” 

Lidahku terasa kelu mendengar ancaman tadi. Keringat dingin di keningku semakin banyak. Butir-butiran keringat itu jatuh menetes ke hidung dan pipiku. Sementara kaki terasa lumpuh tak kuat menyangga tubuh. Tiba-tiba terdengar sebuah suara asing membentak, “Jangan bergerak!”

Dua orang berdiri di dekat jendela, rupanya diam-diam telah masuk lewat jendela yang sudah rusak setengah terbuka karena didobrak tadi. Selama ini aku justru tidak terlalu memperhatikan jendela itu.

Hanya dalam hitungan detik setelah suara bentakan itu, semuanya berlangsung begitu cepat. Penjahat yang menodongku tadi langsung mengalihkan pistolnya ke arah dua orang yang baru masuk tadi. Bunyi pistol menyalak ... dor! ... dor! Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah bertiarap di lantai, mengerutkan tubuh menjadi sekecil mungkin, lalu melindungi kepala dengan kedua tanganku. Tidak sempat kuhitung berapa kali bunyi tembakan terdengar. Tahu-tahu keadaan sudah menjadi sangat sepi. Beberapa saat kemudian sebuah sentuhan lembut terasa di bahuku.

“Bangun Pak, keadaan sudah aman.” 

Aku melihat kedua pria yang muncul barusan itu berdiri di sampingku. Sementara di lantai sekarang terbaring empat tubuh bergelimpangan. Dengan gemetar aku mencoba berdiri. 

“Anda berdua siapa?” tanyaku hati-hati. 

“Kami polisi.” 

Mau tidak mau dalam suasana mencekam dan rumah berantakan ini aku tak bisa menahan geli. Sudah terlalu banyak pengakuan seperti itu yang kudengar hari ini.

“Maaf, saya tidak percaya Anda polisi,” kataku sambil menjauh sedikit dari mereka. Kutunjuk keempat orang yang terkapar di lantai itu seraya berkata, “Mereka semua mengaku polisi juga.”

“Kami akan memanggil bantuan,” kata salah seorang dari mereka sambil mengeluarkan radio komunikasi. 

“Anda benar-benar polisi? Mengapa kalian bisa sampai kemari?” tanyaku pada yang sedang tidak sibuk bicara. 

“Kami sebenarnya sedang melakukan tugas rutin membuntuti mereka karena kami yakin mereka terlibat dalam jaringan obat terlarang. Ketika mereka terlihat masuk ke rumah Anda, dengan mengendap-endap kami menyusul. Ketika terdengar suara tembakan, kami mau langsung menyerbu masuk. Sayangnya teralang seorang anggota kelompok yang berjaga-jaga di luar. Setelah berhasil meringkusnya, kami menyerbu masuk. Untung belum terlambat.”

Aku baru percaya, setelah rumahku dipenuhi oleh puluhan polisi, setelah orang yang tewas dan terluka diangkut oleh petugas medis, setelah rumahku akhirnya dibersihkan dan dirapikan kembali seperti semula.

Tampaknya mereka tahu aku tidak terlibat dalam perkara obat terlarang ini. Mereka juga dapat memahami bila aku sudah terlalu lelah untuk menjawab berbagai pertanyaan. 

Aku berjanji besok pagi akan ke kantor polisi untuk menjawab semua pertanyaan sehubungan dengan peristiwa ini.

Akhirnya, mereka meninggalkanku dengan membawa pergi kedua bungkusan plastik tadi. Dua orang polisi sengaja ditinggal untuk berjaga-jaga di sekitar rumahku sampai pagi, supaya aku merasa aman dan lebih tenang. 

Semua ketegangan sepanjang hari ini baru berakhir pukul dua dini hari. Aku berharap kini dapat tidur nyenyak setidaknya sebentar saja. Semoga aku tidak pernah lagi kedatangan tamu seperti hari ini. 

Baca Juga: Misteri Matinya sang Konglomerat

 

" ["url"]=> string(58) "https://plus.intisari.grid.id/read/553606028/tamu-terakhir" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670836615000) } } }