Intisari Plus - 10 mayat ditemukan selama sebulan di Rusia. Pelakunya kemungkinan seorang psikopat.
-------------------
Juli 2003 Kota Moskwa, Rusia, geger. Selama sebulan penuh, koran dan televisi dibombardir oleh berita pembunuhan berantai yang sadis. Sepuluh mayat ditemukan di sepuluh tempat yang berbeda. Semuanya mati dalam keadaan mengenaskan. Tengkorak kepala mereka hancur seperti akibat kena pukulan benda tumpul yang dihantamkan berulang-ulang. Sebagian lagi lehernya dipotong dan tampaknya korban tewas dalam keadaan tercekik.
Sebagian yang lain ditenggelamkan di saluran pembuangan. Saking banyaknya korban pembunuhan itu, koran setempat, Kommersant, bahkan menurunkan dugaan yang lebih seram lagi: ini bukan hanya satu, tapi dua pembunuhan berantai!
“Pembunuhnya pasti seorang psikopat,” tulis koran itu.
Sejak adanya berita pembunuhan ini, setiap sudut Moskwa seolah menyimpan misteri dan ketegangan. Seakan-akan setiap sudut di kota itu dipenuhi orang-orang misterius dengan senjata di balik bajunya, yang setiap saat siap membekap mulut para pejalan kaki yang sedang berjalan sendirian, lalu membawanya ke sebuah tempat sepi untuk dihabisi. Orang-orang membicarakan berita pembunuhan berantai ini dengan bergidik. Bahkan sekadar membicarakannya pun membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Aksi pembunuhan ini mengingatkan orang-orang pada Andrei Chikatilo, pembunuh berantai paling sadis dalam sejarah Rusia modern. Andrei Chikatilo saat itu membunuh 53 wanita dan anak-anak di Kota Rostov, Rusia Selatan. Dia ditangkap dan dihukum mati pada tahun 1994. Jumlah korban kali ini memang masih jauh di bawah angka korban Chikatilo, tapi itu pun sudah membuat warga Moskwa ketakutan. Selama Agustus, langit Moskwa seperti berubah menjadi kelabu, meskipun tidak sedang mendung.
Belum reda berita pembunuhan berantai bulan Juli, tiba-tiba saja di awal September, koran dan televisi kembali dibombardir oleh berita penemuan dua mayat yang kondisinya sama persis seperti korban pembunuhan dua bulan sebelumnya. Kepala mereka hancur akibat pukulan benda tumpul. Kedua mayat itu ditemukan tak jauh dari Taman Bittsyevskiy, sebuah taman hutan yang amat luas di wilayah selatan Kota Moskwa.
Sejak berita pembunuhan seri kedua ini, Taman Bittsyevskiy yang rindang dan luas itu seperti berubah menjadi hutan belantara yang menyimpan misteri. Jumlah pengunjung menurun drastis. Orang-orang takut pergi ke sana karena khawatir menjadi korban berikutnya.
Psikopat kambuhan
Mei 2006, tiga tahun kemudian, Taman Bittsyevskiy kembali ramai oleh pengunjung. Saat itu warga Moskwa sudah melupakan kejadian pembunuhan berantai tiga tahun sebelumnya. “Untunglah manusia punya sifat pelupa,” gumam Itrinov kepada dirinya sendiri. Itrinov, petugas patroli Taman Bittsyevskiy, pagi itu sedang berada di depan teve, hendak berangkat kerja. Namun ketika ia baru saja hendak melangkahkan kaki, televisi menyiarkan sebuah berita penting. Berita pembunuhan.
Polisi kembali menemukan dua mayat korban pembunuhan di lokasi yang tak jauh dari Taman Bittsyevskiy, seperti kejadian tiga tahun lalu. Taman Bittsyevskiy lagi!
“Hati-hati, pembunuhnya beraksi lagi,” kata Gennadiv, paman Itrinov yang tinggal serumah dengannya, ketika Itrinov mengikat tali sepatu, hendak berangkat.
Tiga tahun sebelumnya, Gennadiv tiap pagi juga mengucapkan kata-kata itu. Tapi Itrinov membalasnya dengan enteng, “Ya. korban berikutnya memang aku!”
“Hati-hati dengan ucapanmu!” kata Gennadiv menimpali.
“Setelah aku, korban berikutnya adalah kamu!” tukas Itrinov tak kalah sengit. Sepasang paman keponakan itu sehari-hari memang terbiasa saling berkata kasar, meskipun mereka tidak sedang bertengkar.
Itrinov dan Gennadiv adalah potret warga Rusia yang tak pernah tahu arti kemakmuran. Uni Sovyet telah runtuh. Rusia telah berganti-ganti pemimpin, semuanya menjanjikan kemakmuran. Tapi sejak zaman Yeltsin, Gorbachev, dan sekarang Putin, hidup mereka begitu-begitu saja.
“Barangkali memang kita harus meminta tolong kepada pembunuh berantai itu untuk mengakhiri hidup kita yang sengsara ini,” ejek Itrinov sambil ngeloyor pergi berangkat kerja.
Sehari-hari tugas Itrinov berkeliling di Taman Bittsyevskiy yang luas itu untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Tidak ada pohon tumbang, tak ada kursi taman yang rusak. Juga, tentu saja, memastikan tak ada orang yang melakukan pembunuhan di sana.
Hari itu Itrinov masuk kerja dengan perasaan aneh. Selama berkeliling di taman bersama Igor, temannya, ia merasa seperti ada seseorang menguntitnya dari belakang. Berkali-kali ia menoleh tapi tak ada tanda-tanda ada orang menguntitnya. Tiap kali melihat batang pohon besar, ia mengamatinya dengan teliti seolah-olah ada orang yang sedang bersembunyi di baliknya.
“Kamu sudah mulai kena waham!” sindir Igor.
Taman Bittsyevskiy masih dikunjungi banyak orang hari itu. Mungkin karena berita pembunuhan baru disiarkan pagi itu di teve sehingga masih banyak warga yang belum mengetahuinya.
Hingga sore hari, tak ada kejadian luar biasa di taman. Semua beres-beres saja. Menjelang malam, seperti biasa ia pulang. Di rumah, ia mendapati kertas pesan dari pamannya. “Aku menginap di rumah temanku.”
“Dasar penganggur!” gerutu ltrinov.
Gennadiv memang seorang penganggur. Satu-satunya pekerjaan tetapnya adalah menggerutu. Pagi, siang, sore, malam, ia selalu menggerutu tentang hidupnya. Ia tidak punya keluarga. Itrinovlah yang membiayai semua kebutuhan hidupnya.
Esok paginya, ketika ltrinov berkeliling di Taman Bittsyevskiy, ia kembali merasakan seolah-olah dirinya sedang dikuntit oleh seseorang. Tiap kali melihat rimbun pohon, ia mengawasinya seolah-olah ada seseorang bersembunyi di sana.
Saat makan siang, ia mendapat telepon penting. Dari kantor polisi. Sebuah berita yang membuatnya hampir saja tak percaya. Polisi menemukan mayat lagi di saluran pembuangan air di dekat Taman Bittsyevskiy.
Yang membuat dia hampir tidak percaya, berdasarkan KTP korban, polisi mengatakan bahwa mayat itu bernama Gennadiv! Tiba-tiba ia merasa gemetar, teringat gurauannya kemarin sebelum berangkat kerja, “Bisa saja korban selanjutnya adalah kamu!”
Rahasia kotak catur
“Yang saya tahu paman saya meninggalkan pesan, dia menginap di rumah kawannya. Hanya itu,” kata ltrinov saat diinterogasi polisi. la tidak tahu siapa kenalan pamannya itu. Secara tidak terang-terangan, polisi mencurigai ltrinov sebagai pembunuhnya. Lebih-lebih karena semua korban ditemukan tidak jauh dari Taman Bittsyevskiy, tempat ia bekerja. “Saya tahu Bapak mencurigai saya, tapi apakah saya punya potongan sebagai pembunuh berantai?” kata ltrinov menyindir Komisaris Polisi Chevsk yang menanyainya.
“Apakah paman Anda suka bermain catur?” tanya Chevsk.
“Catur?” ltrinov balik bertanya. Chevsk mengatakan polisi menemukan kertas di tubuh Gennadiv. Kertas itu tampaknya pesan yang memang sengaja ditinggalkan oleh si pembunuh. Ada dua pesan di situ. Pesan pertama singkat dan bernada ancaman: “Kalau kalian tidak menghentikan aku, maka aku akan segera menggenapi kotak caturku!” Tampaknya ini adalah sebuah sandi yang hanya dimengerti si pembunuh sebab Gennadiv tak pernah bermain catur.
Pesan kedua seperti menunjukkan ia sama sekali tidak merasa bersalah dengan pembunuhan itu, “Aku telah membantu pria ini mengatasi kesengsaraan hidupnya. Kini ia sudah tenang!”
Pesan kedua ini sempat membuat Itrinov curiga, karena selama beberapa bulan terakhir, Gennadiv memang selalu mengeluhkan hidupnya yang sengsara. Bahkan sesekali ia mengumpat pemerintah yang ia nilai tidak becus mengelola negara.
Kadang ia mengucapkan sumpah serapah kepada Roman Abramovich, miliarder Rusia yang memiliki klub sepak bola Chelsea. Katanya, Abramovich menikmati kekayaan di atas penderitaan warga Rusia. Tiap kali televisi menyiarkan pertandingan sepak bola Chelsea, ia selalu mematikan teve lalu keluar rumah dengan membanting pintu.
Pernah sekali waktu ia menjadi uring-uringan seharian setelah mendengar berita di teve bahwa Rusia telah melunasi semua utang kepada IMF dengan devisa yang diperoleh dari ekspor minyak bumi. Pendeknya, berita apa saja tentang kemakmuran Rusia atau warga Rusia selalu membuatnya naik darah. Jika sedang marah, biasanya ia sulit tidur sampai harus menenggak obat tidur.
Tapi apa hubungan itu semua dengan kematian Gennadiv?
Setelah interogasi itu, selama setengah hari, Chevsk dan Itrinov memeriksa seluruh isi rumah Itrinov. Tapi tak ada petunjuk apa-apa. Ketika Chevsk kembali ke kantor polisi, tiba-tiba Itrinov teringat sesuatu. Pamannya, jika sedang menerima telepon, suka mencatat nomor telepon di meja. la pun segera memeriksa meja telepon. Benar saja, meja itu penuh dengan coretan angka-angka dan huruf. Semrawut sekali.
Apakah mungkin ada petunjuk dari angka-angka dan huruf yang semrawut itu? Dengan sangat teliti, Itrinov mencatat nomor-nomor itu. Karena tulisan di meja semrawut, banyak angka yang ditulis beberapa kali. Ada enam belas susunan angka yang diduga sebagai nomor telepon. Itrinov mencoba menghubungi nomor-nomor itu satu demi satu. la tidak berpikir bahwa tindakannya itu mungkin saja akan mengganggu kerja polisi. Nomor pertama yang dihubungi ternyata telepon apotek langganan Gennadiv kalau sedang membeli obat sulit tidur. Nomor kedua tidak bisa dihubungi. Nomor ketiga milik tukang leding langganan mereka. Begitu seterusnya.
Beberapa nomor tak bisa dihubungi. Alhasil hingga nomor terakhir tak ada petunjuk sama sekali. Itrinov akhirnya hanya bisa pasrah dan termangu-mangu di atas tempat tidur. Ia dikenai wajib lapor, esok pagi harus ke kantor polisi lagi. Esok harinya, begitu bangun dari tidur singkat yang hanya beberapa jam, ia langsung menuju meja telepon untuk mencoba menghubungi nomor telepon yang kemarin belum bisa dihubungi. Tapi belum sempat ia meraih gagang, telepon berdering.
Ternyata dari Chevsk. “Jangan lupa datang ke kantor polisi hari ini,” katanya. Spontan mulutnya menjawab, “Baik, Pak!” tapi hatinya mengumpat, “Sialan!”
Ia kembali melihat catatan nomor telepon kemarin, sambil sekali lagi membandingkan dengan coretan pamannya. Dilihat satu-satu. la mengamati, ada satu nomor telepon yang mungkin salah salin. la menulisnya sebagai angka 6, padahal mungkin saja itu angka 4.
Ia mencoba menghubungi nomor baru itu. Tersambung! Dada Itrinov berdegup. Dug dig dug dag dig dug. Tapi tidak ada yang mengangkat. Karena telepon tak juga diangkat, ia menutupnya. Degup jantungnya masih berpacu, seolah-olah ia sudah menemukan pelaku pembunuhan. Tapi buru-buru ia tersenyum kecut ketika ingat sindiran kawannya saat ia merasa dibuntuti seseorang di Taman Bittsyevskiy. “Kamu sudah kena waham!”
Ia merasa susunan angka-angka di depannya itu sebagai sesuatu yang sungguh aneh. Ketika angka 6 ia ganti angka 4, segala sesuatunya langsung berbeda. Ia mengamati angka-angka yang lain. Di salah satu nomor, ia menemukan sepertinya ada kemungkinan lain. Di kertas, ia menyalin angka 5, padahal tulisan di meja mungkin saja angka 8.
Ia tekan angka baru itu. Tersambung lagi! Dadanya kembali dag dig dug dag dig dug. Tak ada yang mengangkat lagi. Beberapa detik kemudian, telepon tersambung ke mesin penjawab otomatis. Bunyi mesin penjawab itu membuat Itrinov tersenyum, “Jika Anda mendengar suara ini, mungkin saja saya sedang berada di rumah. Saya memang sedang tidak ingin mengangkat telepon, karena saya sedang menghindari seseorang yang sangat menyebalkan. Tinggalkan nomor telepon Anda, nanti akan saya hubungi. Jika Anda tidak saya hubungi berarti Anda adalah orang yang menyebalkan itu.”
“Sialan!” lagi-lagi Itrinov mengumpat, kali ini dengan sedikit tersenyum. Ia berpikir mungkin suatu saat nanti ia perlu memakai mesin penjawab seperti itu.
Pagi itu ia memenuhi panggilan Chevsk. “Saya punya sesuatu, mungkin berguna,” kata Itrinov. Lalu ia memberikan dua nomor telepon yang sejam sebelumnya ia hubungi. Chevsk hanya mengangguk-angguk kecil mendengar cerita Itrinov. Dia juga ikut tersenyum ketika Itrinov bercerita tentang mesin penjawab yang lucu itu. “Mungkin pembunuhnya memang punya selera humor yang baik,” kata Chevsk berseloroh.
Chevsk lalu keluar ruangan. Cukup lama. Baru setengah jam kemudian ia kembali. Di tangannya ada beberapa lembar catatan. “Saya telah memeriksa identitas pemilik nomor telepon ini. Tapi saya harap Anda tidak mengacaukan penyelidikan kami. Karena itu kami menyarankan Anda tidak usah menghubungi dua nomor ini,” katanya. Itrinov hanya diam saja. Sebelumnya ia tidak pernah berurusan dengan polisi dan ia juga tak mau menambah urusan. Karena itu ia iyakan saja permintaan Chevsk.
Korban berikutnya teman kerja
Berdasarkan penyelidikan Chevsk, pemilik nomor telepon pertama adalah seorang pria pegawai pasar swalayan. Namanya Pichushkin. Ketika Itrinov diperlihatkan foto orang itu, ia hanya mengangkat bahu karena merasa tidak kenal. Pemilik nomor kedua bernama Yugarinov. Itrinov juga tidak kenal. Lelaki kedua ini sedikit misterius. Ia tercatat pernah memiliki tiga KTP dengan alamat yang berbeda-beda.
Penyelidikan berlangsung cepat. Yugarinov, sekalipun pernah punya beberapa kartu identitas, sama sekali tak pernah punya catatan kriminal. KTP-KTP itu ternyata hanya ia gunakan untuk membuat kartu kredit di banyak tempat. Kawan-kawan di kantornya mengatakan Yugarinov sering didatangi debt collector. “Pantas saja mesin penjawabnya seperti itu.” kata Itrinov kepada Chevsk.
“Andai saja dia berutang ke IMF, tentu saat ini semua utangnya sudah lunas,” seloroh Chevsk menimpali. Kebetulan, hari itu mereka membaca berita tentang rencana Presiden Putin melunasi semua utang luar negeri Rusia dengan keuntungan dari ekspor minyak bumi yang harganya terus naik. Sampai di situ, mereka tak menemukan indikasi keterlibatan Yugarinov.
Penyelidikan selanjutnya diarahkan ke target kedua: Pichushkin. Rupanya orang kedua ini juga tak kalah misterius. Teman-teman di pasar swalayan tempat ia bekerja mengenal ia sebagai pria yang dingin. Bicaranya kasar, kadang seperti orang yang kena sakit jiwa. “Rusia memang penuh dengan penderita sakit jiwa,” kata Chevsk.
Hari berikutnya, anak buah Chevsk memata-matai Pichushkin. Ternyata ia setiap hari berangkat kerja menggunakan kereta api bawah tanah dari stasiun metro yang berada persis di seberang Taman Bittsyevskiy. Tapi sejauh itu, tak ada indikasi apa-apa. Hari ketiga, keempat, kelima, keenam, tetap tak ada petunjuk apa pun. Diam-diam Itrinov merasa menyesal karena telah menyebabkan Pichushkin menjadi tertuduh hanya karena ia mengganti angka nomor telepon.
“Mungkin memang aku sudah kena waham!” pikirnya. Lagi-lagi ia ingat kata-kata temannya ketika ia merasa dikuntit seseorang di Taman Bittsyevskiy. “Rusia memang penuh dengan penderita sakit jiwa.”
Sebulan sesudah kematian Gennadiv, Itrinov sudah hampir lupa dengan kasus kematian Gennadiv. Di suatu sore yang sepi, ketika ia sedang berkeliling di Taman Bittsyevskiy yang luasnya berhektar-hektar itu, ia melihat seseorang yang membuat dirinya merasakan waham yang dulu pernah ia alami.
Dari jarak yang cukup jauh, ia melihat seseorang mirip Pichushkin berjalan seorang diri di antara pepohonan lebat di taman. Kedua tangannya direntangkan dengan wajah mendongak ke atas, seolah-olah ia sedang menikmati aroma pepohonan dan lumut di Bittsyevskiy. Itrinov hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, karena khawatir ia sedang mengalami halusinasi akibat waham.
Ia cubit lengannya kuat-kuat. Terasa sakit. Berarti memang apa yang dialaminya itu nyata. Ia sebetulnya ragu karena ia sendiri belum pernah bertemu Pichushkin. Ia hanya pernah melihat fotonya di kantor polisi. Sambil bersembunyi di balik rerimbunan pepohonan. Itrinov terus mengawasi pria yang mirip Pichushkin itu. Saat berada di balik rerimbunan pohon, ia kembali teringat pengalaman wahamnya saat ia merasa ada seseorang menguntitnya dari balik pohon. “Apa orang itu juga merasakan itu sekarang?” pikirnya.
Ia melihat pria itu keluar dari sebuah tempat yang selama ini hampir tak pernah Itrinov lewati ketika ia sedang berpatroli. Karena luasnya berhektar-hektar, tak mungkin semua Taman Bittsyevskiy dilewati oleh petugas patroli. Dari jauh, Itrinov tak bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukannya. Tak lama setelah itu pria tersebut meninggalkan Bittsyevskiy menuju stasiun metro.
Ketika merasa kondisi sudah aman, Itrinov memeriksa tempat yang baru saja dikunjungi pria itu. la terbelalak ketika melihat di situ ada beberapa botol kosong Vodka, sebagian botol itu pecah. Yang membuatnya semakin curiga, bagian luar botol-botol itu tampaknya kena bekas darah yang warnanya sudah pudar. Tanpa membuang waktu, ia segera menghubungi Chevsk. Tak butuh waktu lama, Chevsk langsung berada di Bittsyevskiy.
Ketika sedang berada di Taman Bittsyevskiy, Chevsk mendapat telepon dari kantornya. Sebuah berita tentang orang hilang, korbannya seorang perempuan bernama Marina Moskalyova. Yang mengejutkan, perempuan itu adalah pegawai di pasar swalayan tempat Pichushkin bekerja!
Malam itu juga Chevsk memutuskan untuk menggerebek rumah Pichushkin. Ketika polisi tiba di rumah Pichushkin dan mendobrak pintu rumah, Pichushkin sedang berada di ruang tengah. Saat itu ia sedang duduk menghadap sebuah meja. Di mejanya terdapat sebuah kertas lebar yang bergaris-garis, membentuk kotak-kotak mirip sebuah papan catur yang besar.
“Papan catur! Tak salah lagi,” pikir Chevsk. Meskipun belum mendapatkan bukti apa-apa, ia sudah begitu yakin ketika melihat papan catur itu.
Saat polisi mendobrak pintu, Pichushkin sempat terperanjat. Namun hanya beberapa detik setelah itu, wajahnya tampak kembali dingin. Sebelum polisi menanyakan apa-apa, ia sudah mengaku, “Kalian datang lebih cepat dari yang aku bayangkan.”
Malam itu Pichushkin digelandang ke kantor polisi.
Psikopat sejak remaja
Esok paginya Moskwa geger. Sekalipun proses pengadilan Pichushkin belum dimulai, televisi dan koran-koran sudah menyiarkan berita menghebohkan: Pembunuh Berantai Telah Ditangkap! Mereka menyebut pria kelahiran 9 April 1974 itu sebagai “Maniak Taman Bittsyevskiy”. Ada juga yang menyebutnya Psikopat Kotak Catur!
Sejak itu, setiap hari media massa dibombardir dengan berita tentang Alexander Pichushkin. Berdasarkan catatan kepolisian, jaksa menuntut Pichushkin dengan tuduhan telah membunuh 49 orang. Namun mendengar tuduhan itu, ia malah tertawa, “Korban saya bukan 49 orang tapi 61 orang! Lihat saja papan kotak catur saya!”
Di papan kotak catur yang dibawa oleh Chevsk, Pichushkin memang memberi coretan di 61 kotak. Tiap kali selesai membunuh korbannya, ia mengisi kotak caturnya. Saat ditangkap itu, ia baru saja mengisi kotak catur untuk Marina, korban terakhir. Masih ada 3 kotak lagi yang kosong. la bahkan mengaku telah melakukan pembunuhan sejak tahun 1992, alias 14 tahun sebelumnya!
Korban pertama itu teman sekolahnya, yang waktu itu disangka mati karena bunuh diri, melompat dari jendela. Kepada hakim, ia mengaku gemar bermain catur dan terobsesi untuk memecahkan rekor Andrei Chikatilo, kriminal paling berbahaya di Rusia yang ditangkap dan dihukum mati tahun 1994. Saat itu Chikatilo membunuh 53 wanita dan anak-anak di Kota Rostov, Rusia Selatan.
Kebanyakan korban Pichushkin orang-orang tua. Sebagian di antara mereka adalah penganggur, termasuk Gennadiv. “Aku telah menyelamatkan mereka dari hidup yang sengsara!” katanya dengan pandangan mata dingin. Para korban itu dibunuh dengan cara diajak mabuk dulu dengan Vodka. Setelah korbannya mabuk, ia memukulnya dengan palu atau botol Vodka sampai korban tewas. Sebagian besar korbannya dihabisi di taman hutan Bittsyevskiy. Mayat mereka dibuang di sekitar taman.
“Hidup tanpa membunuh orang seperti hidup tanpa makanan! Saya benci mendengar orang mengeluhkan hidup mereka. Karena itulah saya antarkan mereka ke kehidupan yang lain. Saat melihat orang-orang itu sekarat, saya memperoleh kepuasan seperti sedang orgasme!” katanya.
Saat ditanya mengapa memilih Taman Bittsyevskiy, ia mengaku dulu pernah punya anjing kesayangan. Anjing itu sering ia ajak berjalan-jalan di taman itu. Saat anjingnya mati, mayatnya dikubur di taman. Menurut pengakuan orangtuanya, sejak kematian anjingnya itu, Pichushkin mengalami gangguan jivva. Di kuburan anjingnya itulah, Pichushkin menghabisi beberapa korbannya. Jika ia melakukan pembunuhan di luar taman. Sesudah menghabisi korbannya, ia selalu mengunjungi kuburan anjingnya.
Saat persidangan berlangsung, terjadi silang pendapat soal hukuman. Sebagian hakim dan mayoritas warga Moskwa menghendaki Pichushkin dihukum mati karena kejahatannya yang luar biasa itu. Namun, Rusia sudah menghapus hukuman mati sejak tahun 1996, dua tahun setelah Chikatilo dieksekusi. Karena tak ada lagi hukum mati, maka hakim memutuskan menghukum Pichushkin seumur hidup.
Ketika terjadi silang pendapat soal hukuman buat dirinya, Pichushkin mengejek para hakim, “Anda semua ini kerjanya bertele-tele. Saya bisa dengan tegas memutuskan nasib 61 orang sendirian! Kalau saja saya tidak tertangkap, maka saya akan menggenapinya hingga 64! Sementara Anda sekalian? Hah, memutuskan nasib satu orang saja tidak becus!” (BBC)
Baca Juga: Kado Ultah
" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517238/psikopat-skakmat" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343061000) } } }