array(3) { [0]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3800312" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/06-kalau-pemilik-departement-sto-20230711014824.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(147) "Suatu hari seseorang datang dan mengaku sebagai putra seorang pengusaha. Pertikaian pun terjadi dan berakhir dengan sang pengusaha tewas tertembak." ["section"]=> object(stdClass)#60 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/06-kalau-pemilik-departement-sto-20230711014824.jpg" ["title"]=> string(40) "Kalau Pemilik Departement Store Main Api" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:48:33" ["content"]=> string(29527) "
Intisari Plus - William Whiteley adalah seorang pengusaha sukses yang dermawan dan memiliki nama terhormat. Suatu hari seseorang datang kepadanya dan mengaku sebagai putranya. Pertikaian pun terjadi dan berakhir dengan sang pengusaha tewas tertembak.
----------
Akhir bulan Januari 1907, setelah tenang dalam waktu lama, Kota London terguncang. Suatu pembunuhan terjadi atas diri seorang pengusaha sukses dan dermawan yang punya nama terhormat. Ia adalah William Whiteley. Pembunuhan terjadi pada hari Selasa tanggal 24 Januari. Ada suatu hal yang menarik perhatian umum dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Pembunuh mengaku dirinya sebagai anak dari William Whiteley.
Menurut keterangan asisten pribadi korban, dan juga keterangan kasir departement store, kejadian naas itu dimulai dengan kedatangan seorang tamu mengaku dirinya sebagai pengacara Sir George Lewis. Semula William Whiteley enggan menerima tamu di siang itu. Ia sibuk. Apalagi ia merasa sudah lama tidak punya hubungan lagi dengan Sir George Lewis, yaitu sejak tahun 1888. Tetapi setelah termenung sejenak, akhirnya ia mengatakan kepada asistennya bahwa ia bersedia menerima tamunya. Sesibuk apapun, Sir George Lewis pernah menjadi pengacaranya dan itu melumerkan keengganannya.
Tamu diantar masuk kamar kerja William Whiteley. Asisten pribadi keluar dari kamar kerja. Di tengah kesibukan kerjanya, asisten dan kasir sempat mendengar pembicaraan majikannya dan tamu. Suatu pembicaraan yang seru. Beberapa saat kemudian terdengar majikannya berteriak.
“Tidak ada waktu lagi. Cukup sekian!”
“Ah….”
“Cukup. Nah, silahkan keluar.”
Pintu kamar kerja William Whiteley terbuka. Muncul wajah yang pucat. Yah, memang wajah William Whiteley pucat pasi. Sekilas ia menatap tajam kedua pegawainya. Lalu terdengar perintahnya tersendat-sendat.
“James, James. Cepat panggil polisi! Cepat!”
Kemudian William Whiteley berpaling lagi kepada tamu yang masih menguntit di belakangnya.
“Yah, lain kali saja. Lain kali saja lagi!” Suaranya bergetar sewaktu mengucapkan itu.
Segalanya berjalan dengan cepat. Sebelum kedua pembantunya bertindak, semuanya telah terjadi. Tamu yang tidak diundang itu mencabut pistol dari dalam jaket. Pistol tergenggam kuat dan laras mengarah ke dahi William Whiteley. Terdengar letusan dua kali. Whiteley terhuyung-huyung. Sebelum ia rebah mencium lantai, terdengar tembakan ketiga. Tamu yang sekaligus pembunuh itu mencoba menembak dirinya sendiri. Peluru menerjang pelipisnya. Dalam waktu sekejap, dua tubuh terkapar di lantai.
Sewaktu polisi tiba, William Whiteley benar-benar telah meninggal. Tetapi pembunuhnya masih hidup. Seluruh wajahnya bergelimang darah segar. Tetapi tidak terdengar erangan atau rintihan.
Pistol tergeletak di sampingnya. Ia masih sadar.
Dalam waktu yang tidak lama, berdatangan pula wartawan, ambulans, dan beberapa polisi lagi. Dengan suara terpatah-patah, pembunuh sial tersebut berusaha menjawab pertanyaan.
“Nama saya Cecil Whiteley.”
Ia masih tetap sadar sewaktu ambulans memasuki St Mary’s Hospital. Sewaktu polisi menanyakan namanya untuk urusan administrasi, sekali lagi ia mengaku.
“Nama saya Cecil Whiteley. Saya anak dari William Whiteley.”
“Ya, saya telah membunuhnya. Tetapi nyatanya saya sial.” Suaranya sudah mulai menghilang. Benar-benar menderita dia. Peluru menyobek pelipis dan merusak mata kanannya. Benarkah ia anak korban?
Sore harinya, segera peristiwa pembunuhan William Whiteley menjadi berita utama di beberapa surat kabar terbitan sore. Berita tersebut cukup menggegerkan, pembunuh mengaku dirinya sebagai anak dari William Whiteley. Siapa ia sebenarnya? Benarkah dalam keluarga Whiteley ada yang bernama Cecil Whiteley?
Keluarga korban yang telah dihubungi terus terang tidak mengakui adanya hubungan keluarga. Anak William Whiteley hanya dua, Frank dan William. Roche yang menjadi pengacara William Whiteley pun menjelaskan, bahwa tidak ada anak dari korban yang bernama Cecil Whiteley. Kecuali kalau dia anak di luar perkawinan. Tetapi mungkinkah William Whiteley punya anak haram? Sir George Lewis juga merasa tidak mengirim orangnya kepada William Whiteley. Setelah melihat wajah pembunuh, tegas-tegas ia mengatakan bahwa ia belum pernah mengenalnya. Melihatnya pun belum pernah.
Pembaca surat kabar terbitan sore harus cukup puas dengan informasi bahwa pembunuh berusia sekitar 25 tahun. Wajahnya tercukur bersih. Pada topi yang dikenakannya terdapat inisial HP. Keterangan tambahan diperoleh dari Iipatan-lipatan kertas yang ditemukan di sakunya, juga guntingan-guntingan surat. Dari sana diperoleh informasi bahwa ia sudah menikah.
Polisi berhasil mendapatkan keterangan-keterangan yang lebih penting. Kecuali pistol jenis Colt, juga ditemukan beberapa mata uang logam, guntingan-guntingan karcis, dan secarik kertas yang bertuliskan nama Smith, Payne, dan Rayner. Ada satu keterangan penting lagi. Ditemukan juga secarik kertas sobekan dari sebuah catatan yang bertulisan “William Whiteley adalah ayah saya. Bencana telah menimpanya dan juga diri saya akibat suatu penolakan. Penolakan atas suatu permohonan yang wajar. Dari seorang anak kepada ayah.” Catatan itu diakhiri dengan R.I.P.
Polisi segera menghubungi orang-orang yang bernama Smith, Payne, dan Rayner. Dengan cepat polisi berhasil memperoleh keterangan. Pada pagi pembunuhan tersebut, seorang yang bernama Rayner telah menitipkan beberapa surat keterangan di Lancaster Gate Station. Termasuk di antaranya sebuah paspor yang menunjukkan bahwa dia telah mengadakan perjalanan keliling Eropa, termasuk Rusia. Ditemukan juga alamat hotel di mana orang yang bernama Rayner bermalam.
Gerhard, pemilik hotel di mana Rayner bermalam, memberikan keterangan yang cukup berarti kepada polisi. Rayner orang yang ramah, banyak bicara, dan bergaul akrab dengan tetangga kamarnya. Dia mencatatkan namanya: Horace Rayner. Kepada tetangga kamarnya, dan juga kepada banyak orang di hotel tersebut, ia kerap kali bercerita bahwa ayahnya termasuk jutawan dari Yorkshire.
Pada hari pembunuhan, Rayner meninggalkan hotel sebelum jam 9 pagi. Dan tidak pernah kembali lagi. Sewaktu Gerhard diajak meninjau pembunuh di rumah sakit, ia tidak segera bisa mengenalinya kembali. Seluruh wajah pembunuh tertutup pembalut.
“Semoga kau lekas baik, Rayner,” katanya. Tetapi jawaban yang diterimanya sungguh mengejutkan.
“Ah .. saya tak berharap. Saya tidak ingin sembuh. Kematianlah yang saya harapkan.”
Kematian dan pemakaman Willam Whiteley menggugah kenangan dan simpati. Selain pengusaha yang sukses, almarhum juga seorang yang dermawan. Ia pun terhormat di mata masyarakat. Orang miskin mengenangnya sebagai sosiawan. Anaka-anak terlantar mengenangnya sebagai bapak yang dermawan di hari Natal. Penghormatan dalam pemakamannya benar-benar menunjukkan siapa William Whiteley. Wartawan Alfred Kineear beruntung bisa mewawancarai beberapa hari sebelum kematian William Whiteley. Ia menulis beberapa hari setelah kematian William Whiteley di Magazine of Commerce.
Berikut tulisannya, “Saya berhasil diterima di ruang pribadinya. Yah, baru pertama kali ini saya sempat bertemu dengan King of Westbournegrovia. Ruangannya indah dan mewah bak istana itu terletak di tengah departement store. Di luar ruang pribadinya, orang bisa mendapatkan apa yang dicari dan diinginkan Mulai dari jarum sampai kapal terbang, dari peti mati bekas sampai anak gajah. Dari jaket sampai permata maharaja India. Benar-benar seperti sebuah kerajaan. Toko serba ada itu berukuran raksasa. Sebagai pemilik, William Whiteley sering memberikan pelayanan yang istimewa. William Whiteley benar-benar seorang pengusaha yang sukses dan punya langganan internasional. Dunianya berada di luar jangkauan saya.”
Publik mengenal William Whiteley sebagai pengusaha yang ulet, jujur, dan seorang sosiawan. Orang juga mengenalnya sebagai tokoh besar yang masih rajin ke gereja bersama kedua anaknya yang juga menjadi direktur perusahaannya.
Catatan dari Rayner menjelang usahanya bunuh diri, sungguh-sungguh menjadi misteri. Dia menyebut dirinya sebagai seorang anak dari pengusaha besar yang agung di mata masyarakat. Masih tetap belum jelas persoalannya mengapa ia menyebut dirinya sebagai Cecil Whiteley. Masalah itu memancing pers untuk mengorek kehidupan William Whiteley. Daily Cronicle-lah yang pertama kali membeberkan suatu benang jalinan hubungan antara pembunuh dan korban. Wartawan Cronicle berhasil memperoleh keterangan dari sahabat-sahabat keluarga Rayner. Ayah Rayner adalah sahabat karib dari William Whiteley.
Menurut artikel itu, keduanya sangat akrab. Di mana ada Rayner, di situ ada Whiteley. Tetapi persahabatan itu tidak kekal. Akhirnya mereka berpisah setelah terjadi pertengkaran yang sengit. Sebab utamanya adalah wanita.
Whiteley dan Rayner berkenalan dengan dua orang gadis. Cantik dan kakak beradik. Setiap ada waktu senggang, Whiteley dan Rayner mengunjungi kedua gadis itu di Brighton.
Mengapa hubungan akrab antar mereka berakhir?
Polisi mencatat kelahiran Rayner di Teddington. Tetapi sahabat-sahabat keluarga Rayner menyebut Brighton sebagai tempat kelahiran Rayner. Apa hubungan antara kepergian Whiteley dan Rayner ke Brighton dengan keterangan sahabat Rayner bahwa Brighton-lah tempat kelahiran Rayner, si pembunuh?
Di mana ada asap, di situ pasti ada api. Maka pers semakin bersemangat mengorek lebih dalam lagi. Beberapa wartawan hilir mudik mencari keterangan ke Kota Teddington dan Brighton. Di sana diperoleh keterangan lagi. Ibu Rayner bernama Emily Turner, tetapi sudah meninggal dunia. Segera wartawan mengorek keterangan dari ibu Emily, nenek Rayner yang kebetulan masih hidup dan berdiam di Lewisham. Nyonya Turner berusia 74 tahun. Oleh News of the world dilukiskan, “Nyonya Turner walaupun sudah berusia lanjut, tetapi masih memancarkan sisa kecantikannya di masa mudanya.”
Dengan senang hati Nyonya Turner mengisahkan tentang kehidupannya. Dia mempunyai dua putri yang cantik.
“Kedua anakku memang cantik. Mereka berdua kenal baik dengan Whiteley dan George Rayner. Yang sulung bemama Lousia, adiknya bernama Emily. Waktu Luis, demikian panggilannya sehari-hari, berumur 16 tahun, ia diterima bekerja pada toko Whiteley. Nah, malahan Whiteley begitu baik kepadanya. Acapkali ia mengajak Luis berkeliling dengan mobilnya.”
Kemudian Nyonya Turner memberikan keterangan yang sampai saat itu belum diperhitungkan. Whiteley telah bercerai dengan istrinya.
“Mulai saat setelah perceraian itu, anakku Luis praktis menjadi teman istimewanya. Dia diberi rumah di Finchley. Dan di situlah akhirnya Luis melahirkan seorang anak. Luis tidak pernah dinikahi secara resmi. Anak itu sekarang... kalau tak salah jadi pelaut. Aku tidak tahu di mana sekarang. Tetapi jelaslah, ayahnya tak lain tak bukan adalah Whiteley.
Siapakah pelaut itu? Cecil Whiteley atau Horace Rayner?
Selanjutnya dikisahkan Horace Rayner adalah anak dari Emily. Kisah Emily cukup menarik pula. Semula Emily bekerja sebagai pembantu rumah tangga seorang tuan di Tavistock Square. Kemudian berkenalan dengan George Rayner. Perkenalan semakin akrab. Akhirnya Emily jadi “simpanan" George Rayner dan disembunyikan di Teddington. Dan di situlah lahir anaknya. Diberi nama Horace Rayner.
Siapakah ayah Horace Rayner? Nyonya Turner tidak memberi keterangan yang pasti. Dia hanya berkata, “Emily selalu berkata bahwa George Rayner bukanlah ayah sebenarnya dari Horace Rayner. George Rayner selalu berkata bahwa Whiteley-lah ayah dari Horace Rayner. Whiteley tidak pernah mengakuinya juga. Tetapi masalah itu tidak pernah sampai di pengadilan.”
Selanjutnya Nyonya Turner menjelaskan bahwa Horace Rayner yakin dan percaya betul jika George Rayner bukan ayahnya. Whiteley-lah ayahnya, pengukir darah dagingnya.
Kematian William Whiteley tidak hanya menimbulkan kenangan dan simpati, ternyata juga menggugah pers untuk mencari dan mengorek semua hal di balik kehidupan almarhum yang sebenarnya.
Kehidupan kaum pengusaha dan sahabat karib William Whiteley pun terguncang dan penuh tanda tanya akibat pengakuan Nyonya Turner. Benarkah William Whiteley yang selama ini terhormat dan punya reputasi baik, ternyata mempunyai kehidupan yang kelam di masa lalunya? Mungkinkah ia mempunyai “simpanan" yang kemudian melahirkan seerang anak yang akhirnya menjadi pembunuhnya sendiri?
Harian News of the World menyajikan tulisan yang menarik bagi pembacanya.
Dikisahkan beberapa tahun yang lalu, Luis menggandeng anak kecil berumur 4 tahun saat mengunjungi Whiteley. Beberapa saat, keduanya diterima Whiteley di ruang kerjanya. Kemudian Luis dan si anak kecil keluar dengan terburu-buru. Di depan orang banyak pegawai dan pembeli di toko waktu itu, Luis menuding Tuan William Whiteley dengan berteriak Iantang.
“Kaulah... Kau ingat? Kaulah ayah dari si bocah ini. Apakah kau sampai hati membiarkan darah dagingmu sendiri hidup terlantar?”
William Whiteley mengejar dan menutup mulut wanita itu dengan kedua tangannya. Tidaklah sukar untuk menduga, mungkin si bocah sebagai pembunuh William Whiteley. Demikian akhir tulisan di News of the World.
Berita-berita di surat kabar memancing George Rayner — yang kebetulan masih hidup — untuk memberikan penjelasan. Melalui pengacaranya, ia membeberkan kehidupannya sewaktu masih bersahabat dengan William Whiteley. Lebih dari 20 tahun yang lalu, Whiteley mempunyai dua pelayan cantik. Mereka adalah kakak beradik Luis dan Emily Turner. Atas prakarsa Whiteley, Emily Turner “dioper” ke George Rayner. Belum lama George Rayner bersenang-senang dengan Emily, gadis itu hamil. William Whiteley mengaku terus terang kalau bayi yang dikandung Emily ialah hasil dari hubungan asmara keduanya. Karena persahabatan yang baik, George Rayner tidak keberatan kalau Emily memberi nama bayinya dengan namanya Horace Rayner.
Setelah kelahiran Horace Rayner, George Rayner agak jemu dengan Emily. Dan akhirnya Emily menikah dengan lelaki lain. Status Horace Rayner semakin tidak menentu. Tetapi George Rayner memperlakukan Horace Rayner seperti anaknya sendiri.
Pengakuan George Rayner memperkuat pengakuan Horace Rayner. Dua cerita telah menunjuk hidung William Whiteley. Whiteley adalah ayah dari Horace Rayner.
Daily Chronicle tidak mau ketinggalan. Kepada pembacanya, koran itu juga menyuguhkan cerita yang menarik. Bekas istri William Whiteley berhasil dikorek. Janda yang telah berpisah dengan mantan suaminya sejak tahun 1881 itu ternyata tidak mengenal Rayner maupun Nyonya Turner. Semakin kuatlah dugaan, bahwa setelah bercerai Whiteley ada main dengan perempuan lain. Luis? Emily?
Berkat pemberitaan pers, simpati kepada Horace Rayner semakin meningkat. Malahan Daily Chronicle melukiskan Horace Rayner sebagai seorang yang telah lumpuh karena penderitaan dan kesedihan. Walau baru berumur 27 tahun, ia tampak seperti seseorang yang berusia 40 tahun. Wajahnya yang semula bisa dibilang tampan, sekarang telah berubah sama sekali. Mata kanannya terpaksa diganti dengan mata imitasi.
The Pall Mall Gazette, surat kabar terbaik waktu itu, menyajikan tulisan yang tidak kalah menarik. Surat kabar ini berhasil mengorek keterangan dan cerita dari orang-orang yang pernah bekerja dengan William Whiteley. Satu catatan penting dikemukakan. Para pekerja sebenarnya sedikit banyak juga mengetahui permainan majikannya. Terutama dengan pegawai-pegawai wanitanya. Tetapi karena takut kena pecat, mereka tutup mulut. Sebagai majikan, Whiteley terkenal sebagai “pemakan daun muda”.
Beberapa pegawai wanitanya banyak yang pernah diajak bermalam di apartemennya. Bagi yang mudah dijerat, Whiteley tidak segan memberi hadiah. Tetapi bagi yang menolak ajakannya, mereka diancam dengan pemecatan. Tidak jelas diceritakan, siapa yang awalnya menjadi “simpanan” Whiteley. Luis Turner atau adiknya, Emily Turner. Waktu itu usia Whiteley sekitar 40 tahun. Jadi jelas, tahun 1870 William Whiteley sudah memulai afairnya dengan Luis Turner.
George Rayner dalam hal ini sama dengan William Whiteley. Emily akhirnya menjadi simpanannya dan disembunyikan di Teddington. Tahun 1879 Horace Rayner lahir.
Setelah bercerai dengan istrinya, maka Whiteley lebih leluasa berhubungan dengan Luis. Walaupun semula hanya sebagai simpanan, akhirnya Luis melahirkan Cecil Whiteley.
Kadang-kadang Whiteley mengajak Luis ke Brighton atau Teddington mengunjungi Rayner dan sekaligus menengok Emily.
Begitu baik hati Rayner. Untuk menjaga ketenangan, Whiteley menyewa rumah di Kilburn atas nama Rayner dan rumah tersebut disediakan untuk Luis. Walaupun Rayner tak pernah menengoknya, tetapi dia tak keberatan namanya dipakai sebagai penyewa rumah. Sekarang amanlah sudah. Whiteley kembali sibuk dengan usaha-usahanya. Bila hati sepi dan rindu, Whiteley bisa menengok Luis di Kilburn.
Lebih dari 7 tahun semuanya berjalan dengan aman.
Tetapi persahabatan yang akrab harus diakhiri dengan suatu perselisihan. Semakin tua, Whiteley bukan semakin baik. Karena sudah jemu dengan Luis, diam-diam Whiteley mulai mengincar lagi Emily. Dan mulailah kesegaran masa lalu diulanginya lagi dengan Emily.
Semenjak Luis disewakan rumah di Kilburn, praktis Whiteley jarang menengoknya. la kesepian. Dasar George Rayner sekali tiga uang dengan Whiteley. Kesempatan itu dimanfaatkannya pula. Kekosongan Luis pun diisinya.
Dua sahabat sudah saling nyeleweng. Melanggar “wewenang”. Dan akhirnya sama-sama tahu dan saling tuduh.
Perselisihan memuncak. Nah, perselisihan ini menyangkut nama baik. Dan keduanya tidak mau kehilangan nama baik itu. Whiteley minta bantuan pengacara Sir George Lewis. Pengacara yang dicatut namanya oleh Horace Rayner sewaktu datang menghadap Whiteley. Diawali perselisihan tersebut, George Rayner membuka rahasia yang selama itu dipendamnya. Dia membeberkan bahwa Whiteley-lah ayah dari Horace Rayner.
Sejak perselisihan tersebut, mereka tidak bisa akur lagi. Whiteley meninggalkan Luis. Sudah ada lagi gadis cantik lain yang mengganti kedudukannya di hati Whiteley. Tetapi melalui pengacara Sir George Lewis, Whiteley bersedia menanggung biaya hidup Luis dan anaknya.
George Rayner-pun senada dengan tindakan rekannya. Dia punya simpanan baru. Tetapi atas persetujuan, Horace Rayner tetap diasuhnya. Luis tetap mengasuh Cecil.
Tanggal 22 Maret 1907 perkara pembunuhan Whiteley disidangkan. Dengan wajah yang telah benar-benar berubah, Horace Rayner dihadapkan sebagai terdakwa. Hadir juga Luis. Emily sudah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Keluarga Whiteley diwakili Archibald Bodkin. George Rayner diwakili L.C. Loyd.
Selama lebih dari 1 jam Horace Rayner menceritakan kembali jalannya peristiwa pembunuhan.
Waktu itu tanggal 24 Januari 1907 saat pembunuhan terjadi.
Asisten pribadi mengantarkan sampai di ambang pintu. Sekilas Whiteley menatap dengan tajam tamunya. Tetapi sebelum ia berkata, tamu yang tak diundangnya telah menerjang maju. Tercium aroma minuman keras. Tamunya itu langsung duduk di depannya.
“Ketahuilah, sebenarnya saya datang tidak atas nama Sir George Lewis.”
“Oh, begitu. Nah, duduklah dengan tenang. Lalu utarakan saja apa keinginanmu.”
Tamu lelaki itu kelihatan gugup. Napasnya tersendat-sendat.
“Saya kira tidak ada salahnya saya berbicara sekarang, Tuan Whiteley. Anakmulah yang sekarang duduk dihadapanmu ini. Anakmu sendiri.”
“Ha?” Mata Whiteley membelalak.
“Kapan kau melihat saya? Oh, saya tak mempunyai anak setampan kau.”
“Di Kilburn. Yah, saya tinggal di sana dengan…..”
“Lalu apa keinginanmu sekarang?” Horace Rayner diam sejenak. Napasnya semakin tak teratur.
“Saya sedang mengalami kesulitan. Tak punya uang sama sekali. Sedangkan istri saya akan melahirkan lagi. Semuanya telah dijual. Saya tidak punya apa-apa lagi. Saya pun menganggur.”
“Lalu apa yang kau inginkan? Apa keahlianmu?”
“Saya tidak punya keahlian. Saya biasa kerja serabutan.”
“Itu tidak menguntungkan. Eh, tadi katamu pernah melihat saya di Kilburn?”
“Ya, benar. Ibu saya adalah Emily Turner. Anda ingat Emily Turner dan Luis Turner? Nah begini. Ibu selalu memberi nasihat. Jika saya ada kesulitan supaya menemui Anda. Karena Andalah ayah saya yang sebenarnya. Tuan George Rayner juga mengatakan demikian.”
“Ah sudahlah. Itu urusan masa lalu. Saya tidak ingin mengingat lagi. Sudahlah!”
“Tetapi saya perlu bantuan sekarang.”
Wajah Whiteley memerah. Ia marah dan suaranya pun semakin lantang.
“Cukup! Cukup!” Keduanya saling berpandangan dengan tajam.
“Kau mau membuka usaha di luar negeri?”
“Ya, mau sekali. Tetapi saya memerlukan modal untuk usaha!”
“Ah, tidak mungkin. Saya tahu banyak orang yang mencoba nasibnya di luar negeri tanpa modal. Dan ternyata bisa sukses.”
“Saya ingin pekerjaan yang pasti.”
“Saya tidak punya lowongan lagi.” Keduanya diam terpaku. Hanya mata saling tajam menentang. Wajah Whiteley pucat. Badan tamu menggigil.
“Apakah Anda benar-benar menolak memberi bantuan kepada saya?”
“Saya tidak bisa berbuat lain.”
“Anda ayah saya yang sebenarnya. Bila Anda menolak permintaan saya, ketahuilah bahwa saya berniat bunuh diri saja. Sudah bulat keputusan ini.”
“Tolol kau!”
Semua dengan cepat terjadi. Tamu yang tidak diundang menggenggam sepucuk pistol. Mata nyalang menatap Whiteley.
“Jangan main-main dengan pistol!”
Perlahan-lahan Horace Rayner memasukkan kembali pistol ke saku jaketnya. la menyobek secarik kertas dan menulis dengan cepat pesan terakhirnya. Whiteley melangkah ke pintu. Dengan cekatan Horace Rayner menerjang dan menyeretnya masuk kembali.
“Tidak ada waktu lagi. Cukup! Nah, silahkan keluar!” Dalam waktu sekejab terdengar dua kali letusan. Whiteley tewas seketika. Dua peluru menembus dahinya.
Seorang anak minta sesuatu pada ayahnya. Suatu hal yang wajar. Cerita pengakuan Horace Rayner cukup memukau.
George Rayner diminta pula untuk membeberkan kisahnya. Kisah duka baginya. Semula ia menceritakan kehidupan keluarganya. Horace mewarisi kebiasaan ibunya, yaitu gemar mabuk. Horace Rayner lebih diperlakukan seperti seorang sahabatnya alih-alih sebagai anaknya. Dalam keadaan sulit ia berkali-kali menasihati Horace Rayner.
“Bila kau perlu sesuatu, kau lebih pantas minta pada Whiteley. Sebab dialah ayahmu sebenarnya. Saya bukan ayahmu.”
Dia mengemukakan bagaimana kehidupan Horace Rayner yang sebenarnya. Kehidupan yang selalu terbelit kesulitan. Hati yang sunyi.
Pemberitaan pers, kisah pengakuan Horace Rayner, dan pengakuan George Rayner membangkitkan simpati. Malah ada usaha mengumpulkan tanda tangan untuk mengajukan petisi. Tapi oleh pengadilan yang hanya berlangsung 1 hari, tanggal 22 Maret 1907, Horace Rayner tetap dinyatakan bersalah. Tuduhan yang ditimpakannya cukup berat. Pembunuhan, pemerasan, dan perampokan. Hukuman penjara selama 12 tahun harus dijalaninya.
Selama dalam penjara Horace Rayner telah mencoba bunuh diri sampai dua kali. Tetapi selalu gagal. 2 tahun setelah ia keluar penjara, Horace Rayner meninggal dunia.
Baca Juga: Dr. Jan Czissar, Mantan Polisi Praha
" ["url"]=> string(85) "https://plus.intisari.grid.id/read/553800312/kalau-pemilik-departement-store-main-api" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083313000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3725975" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/siapakah-perampok-ulung-itujpg-20230406072023.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Selama dua tahun, perampokan terhadap mobil-mobil pengangkut uang terjadi di beberapa tempat. Kerugian ditafsir mencapai Rp720 juta, siapa pelakunya?" ["section"]=> object(stdClass)#64 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/siapakah-perampok-ulung-itujpg-20230406072023.jpg" ["title"]=> string(28) "Siapakah Perampok Ulung Itu?" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:20:37" ["content"]=> string(24840) "
Intisari Plus - Selama dua tahun, perampokan terhadap mobil-mobil pengangkut uang terjadi di beberapa tempat. Kerugian ditafsir mencapai Rp 720 juta, siapa pelakunya?
----------
Polisi bagian kriminal di Main, Wiesbaden dan Mannheim menghadapi kasus pelik. Mereka merasa sedang berhadapan dengan sekelompok penjahat berpengalaman.
Dalam waktu sekitar dua tahun, dari bulan Maret 1978 sampai Juni 1980, terjadi lima kali perampokan berani. Setiap kali yang dijadikan sasaran adalah mobil-mobil pengangkut uang. Kerugian seluruhnya ditaksir lebih dari 2,4 juta mark (± Rp 720 juta).
Dalam setiap perampokan, pengemudi mobil pengangkut uang serta pengawalnya dipaksa para perampok yang bersenjata api untuk menelungkup di lantai. Penjahat-penjahat itu akhirnya sudah begitu yakin pada kehebatan mereka, sehingga mengabaikan pemakaian topeng. Menurut keterangan para petugas yang dirampok, pemimpin penjahat adalah pemuda bertubuh kurus, dengan rambut coklat dipotong pendek serta berkumis.
Seorang pemuda kurus, tidak begitu tinggi, berambut coklat dipotong pendek dan berkumis tipis, pada awal tahun 1978 masih duduk di bangku paling belakang di sebuah sekolah menengah swasta di Wiesbaden. Sekolah itu muridnya anak-anak dari golongan berduit. Gernot Bauerhorst, putra seorang dokter yang terpandang, yang tinggalnya di desa Taunusstein-Wehen, tidak jauh dari kota Wiesbaden, bukan murid teladan. Cerdas, tapi malas dan tidak punya perhatian dalam jam-jam pelajaran, kata guru-gurunya. Gernot tidak begitu tertarik pada gadis-gadis. Perhatiannya lebih tercurah pada hal-hal yang jantan, yang penuh kekerasan. Ia gemar sekali membaca. Apalagi buku detektif yang tegang.
Awal tahun 1978 itu terjadi perkembangan yang agak aneh pada diri Gernot yang pendiam itu. Tapi semua yang mengenalnya, menganggap itu gejala-gejala puber yang biasa. Gernot membeli pistol dan sepucuk senapan berburu. Pada kawan-kawannya ia bercerita, malam-malam ia berlatih menembak di daerah pegunungan Taunus.
Beberapa minggu kemudian, pagi-pagi pukul tujuh lewat sedikit, dua orang bertopeng dan bersenjata api mencegat sebuah mobil berlapis baja yang dipakai untuk mengangkut uang. Kejadian itu berlangsung di pelataran pusat perbelanjaan Metro di Mainz-Kastel, tidak jauh dari Wiesbaden. Dengan segera peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan yang populer di Wiesbaden. Juga di kalangan teman-teman Gernot.
Pada empat orang teman yang diundangnya makan-makan, dengan santai, Gernot bercerita bahwa dialah yang melakukan perampokan berani itu. Dengan panjang-lebar ia bercerita bagaimana ia bersama dua kawannya lagi merencanakan perbuatan itu, dan kemudian melaksanakannya.
Tapi kawan-kawannya itu tidak melapor ke polisi. Tiga hal yang menghalang-halangi: belum tentu cerita Gernot itu benar, mungkin ia cuma membual saja — lalu tidak ada bukti-bukti nyata. Di samping itu mereka tidak mau dikira mengkhianati teman!
Juga setelah kedua perampokan mobil pengangkut uang yang berikutnya, masing-masing di Wiesbaden-Biebrich dan di Mainz Weisenau, Gernot Bauerhorst menyindir-nyindir di depan teman-temannya bahwa ia ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa itu.
Minatnya terhadap belajar lenyap sama sekali. Kerjanya membolos terus. Musim panas tahun 1979 ia berhenti bersekolah. Ia pergi dari rumah orang tuanya, sebuah bungalo lengkap dengan kolam renang yang dibangun di pinggir kawasan Taurius, lalu menyewa kamar di gedung apartemen yang paling elegan di Wiesbaden, Vier Jahreszeiten. la dilihat mengemudikan mobil BMW 2002 yang laju itu, kemudian berganti dengan Audi 100. Akhirnya mobil Amerika Chevrolet V8 yang besar, dengan AC serta jendela-jendela yang bisa diturun-naikkan dengan menekan tombol saja.
Gernot Bauerhorst mulai mencari kontak dengan kalangan top di Wiesbaden. Bersama dua orang temannya ia menjadi pengunjung tetap dari restoran Kraenzchen, tempat berkumpul para popper dan buaya disko. Kalau sarapan pagi, selalu di Mokka-Stube, di mana kalangan playboy kota Wiesbaden keluar-masuk. Nampaknya tidak ada yang heran melihat pemuda putus sekolah yang menganggur tapi kelihatannya banyak duit itu. Dan Gernot juga mulai gemar menghambur-hamburkan uang
Tapi ia juga memikirkan kemungkinan penanaman modal. Secara sambil lalu ia bercerita telah membeli saham perusahaan Canadian Nickel lalu saham Westinghouse Electric. Pernah pula kedua temannya yang masih tersisa dari bangku sekolah dulu ikut menyaksikan betapa seorang pedagang intan yang agak kurang bonafide penampilannya, datang menawarkan intan dari Afrika Selatan padanya. Gernot membeli intan-intan itu setelah memeriksakannya pada ahli permata dan meminta ditaksir nilainya terlebih dulu.
Gernot Bauerhorst yang dulunya pemalu dan serba kikuk, kini memamerkan sikap tahu harga diri. Walau banyak bicara, ia langsung membungkam jika ada yang menanyakan siapa saja temannya dalam melakukan perampokan. Pernah sekali ia terlanjur dan menyebutkan bahwa satu di antaranya seorang petinju amatir.
Salah satu teman lamanya dari sekolah menengah, Norbert, tergolong pemuda yang gemar bertualang nekat-nekatan. Karena itu ia sama sekali tidak merasa tersinggung ketika pada bulan Mei tahun 1980 Gernot mendatanginya dan mengajukan tawaran bekerja sama.
“Kalau kau kepingin memperoleh 100.000 mark, boleh juga kau sekali-sekali ikut,” kata Gernot. Norbert ingin melihat perkembangannya saja dulu, baru kemudian mengambil keputusan.
Kedua teman itu lantas naik mobil Gernot menuju ke kota Mannheim. Ternyata yang akan dijadikan sasaran adalah toserba Kaufhof di pusat kota. Menurut Gernot, setelah hari Sabtu panjang di toko itu terkumpul uang sampai tiga perempat juta mark. Kemudian ia menunjukkan pos polisi yang ada di dekat situ. Katanya, yang bertugas di situ polisi yang masih muda-muda — yang mungkin merasa lebih takut lagi daripada mereka.
Setelah itu ia menjelaskan jalan lari setelah perampokan dilakukan. Untuk itu disediakan dua mobil. Norbert diserahi tugas menyetir mobil yang akan dipakai melarikan diri dari Kaufhof. Ia disuruh mengambil jalan di bagian yang tertutup untuk kendaraan bermotor, di sela orang banyak yang lalu-lalang.
Tapi akhirnya Norbert tidak berani. Gernot tidak marah tapi temannya itu disuruh menutup mulut.
Beberapa hari kemudian Gernot Bauerhorst menasihati temannya itu agar mengusahakan alibi yang kuat untuk tanggal 9 Juni. Norbert lantas berusaha keras agar banyak berjumpa dengan para kenalannya. Malamnya ia mendengar berita di radio bahwa di Mainz-Ingelheim terjadi perampokan terhadap sebuah mobil pengangkut uang. Norbert agak heran karena bukankah aksi itu direncanakan akan dilakukan di Mannheim.
Beberapa hari kemudian ia berjumpa lagi dengan Gernot. Norbert bertanya mengenai kejadian itu. Gernot Bauerhorst menjawab dengan nada jengkel bahwa ia tak ada sangkut-pautnya dengan kejadian di Ingelheim. Yang Iain-lain melakukannya tanpa mengajak dia.
Sekitar saat itu — jadi awal bulan Juni 1980 — Gernot sering tampak duduk-duduk di Cafe Kraenzchen bersama seorang pemuda baik-baik yang selalu berpakaian necis. Di kalangan remaja top kota Wiesbaden, pemuda itu tersohor namanya sebagai pengemudi mobil yang tangkas.
Olaf Becker, 19 tahun, duduk di kelas terakhir sekolah menengah atas. Biasa dilihat mengendarai mobil Citroen hijau yang besar atau sepeda motor Yamaha 500 cc. Di kalangan yang tidak begitu peduli dari mana orang mendapat uang, hanya didesas-desuskan bahwa ia ikut-ikutan berdagang mobil curian.
Tanggal 16 juni terjadi lagi perampokan terhadap mobil pengangkut uang. Dan kali ini dari toserba Kaufhof di Mannheim. Menurut saksi mata, para perampok melarikan diri dengan mobil Ford Taunus putih. Kemudian menyusul perincian tentang perampokan serta cara perampok melarikan diri.
Norbert yang mendengar berita itu, langsung terperanjat. Kejadiannya persis seperti yang direncanakan oleh Gernot ketika mengajaknya melihat-lihat situasi pada bulan Mei sebelumnya.
Sementara itu di Mannheim, para spesialis dari polisi kriminal masih terus sibuk melacak jejak. Satu jejak penting sudah ditemukan yaitu mobil Ford Taunus putih yang dipakai untuk melarikan diri. Dan berdasarkan tanda bukti itu, ditambah lagi suatu kejadian yang kebetulan saja, satuan tugas khusus dari dinas kriminal polisi negara bagian, untuk pertama kalinya berhasil menemukan jejak yang cukup hangat.
Ternyata dua minggu sebelumnya seorang pensiunan di Alzey melihat dua pemuda sedang mengutik-utik sebuah mobil Ford berwarna putih. Pensiunan itu kebetulan mempunyai hobi memotret. Dan adegan yang mencurigakan itu sempat dipotret olehnya. Lalu ada lagi seorang pria tetangga pensiunan itu yang melihat bahwa sebelumnya kedua pemuda itu turun dari sebuah mobil VW Beetle berwarna oranye. Tetangga itu bahkan dicatat olehnya: RUD-AV 580.
Kedua orang yang awas penglihatannya dari kota kecil sekitar 40 kilometer di selatan Wiesbaden itu lantas melaporkan hasil pengamatan mereka pada polisi. Foto yang dibuat bahkan diserahkan sebagai tanda bukti. Tapi setelah dilakukan pengusutan waktu itu, ternyata mobil Ford yang dimaksud sama-sekali tidak dicuri. Karenanya penyelidikan tidak dilanjutkan.
Tapi kini Ford putih yang sama muncul kembali di Mannheim dan diketahui dipakai para perampok untuk melarikan diri. Jadi pemilik VW Beetle yang berwarna oranye mestinya ada sangkut pautnya dengan perampokan itu. Dengan segera diteliti dalam daftar, siapa pemilik mobil yang nomornya juga sudah diketahui polisi itu. Ternyata seorang wanita, bernama Hannelore Bauerhorst, bertempat tinggal di Taunus-Wehen.
Polisi menelepon wanita itu. Frau Bauerhorst menjelaskan, mobil itu dipakai anaknya, Gernot. Tapi saat itu Gernot tidak ada di rumah. Polisi yang menelepon mengatakan bahwa keesokan paginya akan menelepon lagi.
Pada tanggal 16 Juni itu, Gernot Bauerhorst, baru menjelang tengah malam kembali ke rumah orang tuanya. Sejak beberapa bulan ia tinggal lagi di situ, karena menurut pendapatnya, di tempat orang tuanya lebih gampang. Begitu ia masuk, kedua orang tuanya langsung bercerita tentang polisi yang menelepon. Mereka juga bertanya, ada urusan apa sampai polisi menanyakan mobil VW yang dipakai oleh anak mereka itu. Gernot menjawab bahwa mobil itu dipinjamkannya pada seorang temannya. Ia mengatakan pula persoalan itu pasti akan segera beres.
Pukul satu tengah malam Gernot pergi lagi. Ia tidak berpamitan pada orang tuanya, tapi langsung berangkat dengan Chevrolet coklat miliknya sendiri.
Menjelang matahari terbit tanggal 17 Juni, seorang petani yang gemar berburu, bernama Adolf Weber dari Hohenstein, datang ke tempat yang disewanya untuk berburu bersama seorang kawan.
“Sekitar pukul lima kurang seperempat kami melihat sebuah mobil besar diparkir di tepi jalan kecil dekat Landstrasse,” cerita Adolf Weber kemudian. “Kami mula-mula mengira, itu pasti mobil para pemburu dari desa di dekat situ. Kami lantas melanjutkan perburuan, dengan hasil seekor kijang. Sekitar setengah delapan pagi kami lewat lagi di jalan kecil itu. Dan mobil yang kami lihat sebelumnya, masih juga ada di situ. Saya lantas mengatakan pada kawan berburu saya, ‘Yuk, kita lihat ada apa dengan mobil itu.’ Yang paling dulu menarik perhatian kami, banyaknya pecahan kaca yang berserakan di tanah. Kemudian perhatian kami tertarik oleh seseorang yang ada dalam mobil. Kelihatannya seperti sedang tidur. Tapi saya mengatakan, ‘Ada sesuatu yang tidak beres di sini.’ Lalu mobil itu kami dekati lagi. Ternyata bahwa laki-laki yang seperti tidur itu sebetulnya sudah mati. Luka tembakan di kepala baru kemudian kami lihat.”
Pemburu itu cepat-cepat memberitahu polisi. Setelah diperiksa dokter jaga yang kemudian digantikan rekan yang lain, diketahui bahwa orang yang dalam mobil itu mati karena bunuh diri. Namanya Gernot Bauerhorst.
Rupanya sebelum itu Gernot masih mempertimbangkan akan melarikan diri. Dalam mobilnya ditemukan sebuah tas pakaian, pisau cukur, sikat gigi serta paspornya. Selain itu juga ada tas kamera, yang menurut kesaksian teman-temannya kemudian pada hari itu tak pernah dilepaskan dari pegangannya. Isinya: 130.500 mark. Lebih dari setengah hasil perampokan di Mannheim, sehari sebelumnya. Sedang 103.500 mark sisanya lenyap bersama pelaku perampokan yang satu lagi.
Tanggal 19 Juni, Olaf Becker, anak seorang arsitek harus menempuh ujian lisan tahap terakhir pendidikannya di sekolah menengah atas. Menurut guru-gurunya, Olaf pasti bisa lulus dengan mudah. Tapi sehari sebelumnya ia menelepon orang tuanya, entah dari mana.
“Dari dulu kan aku ingin bertualang keliling dunia!” katanya agak ketus. “Aku akan muncul setahun lagi.” Dan sejak itu jejak Olaf hilang. Polisi mencarinya karena dialah yang akrab dengan Gernot pada hari-hari terakhir sebelum tanggal 16 Juni. Selain itu, Olaf juga tersohor di kalangan remaja top di kotanya sebagai pengemudi mobil yang ulung!
Setelah kematian Gernot Bauerhorst, masih ada tiga pemuda lagi yang juga menghilang dari rumah masing-masing. Manfred Andreas, 23 tahun, anak pegawai negeri dari Rheindorf Bechtolsheim. Manfred ingin menjadi petinju amatir dan setiap hari berlatih memukul karung tinju di rumah orangtuanya. Lalu Thomas Andreas, 20 tahun, saudara sepupu Manfred. Anak pengusaha tangga konstruksi bangunan. Sedang yang ketiga Dietmar Egelhoff, 24 tahun, anak pengusaha kebun anggur di Alzey.
Tiga tahun sebelumnya, Manfred Andreas masih duduk sebangku dengan Gernot Bauerhorst di sekolah swasta pilihan di Wiesbaden, tempat Gernot dulu bersekolah. Lewat Andreas, anak dokter itu kemudian berkenalan dengan kawannya yang dua lagi.
Karena ada dugaan keras bahwa ketiga pemuda itu ikut terlibat dalam kasus perampokan yang dilakukan oleh Gernot, maka polisi Jerman Barat lantas menghubungi Interpol. Tapi berminggu-minggu berlalu tanpa hasil sedikit pun.
Setelah peristiwa bunuh diri Gernot Bauerhorst, tiga orang pemuda yang berpakaian jeans yang sudah luntur serta t-shirt, mengembara melintasi benua Eropa. Mereka membawa ransel-ransel besar. Tanggal 23 Juni mereka naik kereta api dari Innsbruck, Austria, menuju ke selatan. Setelah beberapa kali mampir sebentar di Bolzano, Milano, Roma dan Napoli, tanggal 26 Juni mereka tiba di Palermo. Dari situ mereka naik kapal yang menuju ke Tunis.
Tiga pemuda yang kesannya seperti mahasiswa sedang melancong itu kemudian menyewa kamar di hotel mewah kota Tunis, yaitu di Africa. Sewa kamar satu malam 140 mark. Dengan gaya turis, mereka melancong di kota pelabuhan Afrika Utara itu. Kalau makan, selalu di restoran yang mahal-mahal. Setelah tiga hari berada di Tunis, mereka membeli tiket ke Casablanca, dengan perusahaan penerbangan Saudi Arabian Airlines. Di tempat membeli tiket mereka juga menanyakan kemungkinan terbang lebih lanjut ke Amerika Selatan.
Hari Rabu tanggal 2 Juli, beberapa saat sebelum pukul 12 siang, ketiga pemuda itu menyerahkan barang-barang mereka ke bagian bagasi di Pelabuhan Udara Tunis-Carthage. Setelah barang jinjingan diperiksa dengan x-ray, mereka diperbolehkan lewat.
Tapi saat itu seorang petugas keamanan di situ merasa agak heran. Cuaca saat itu begitu panas namun dua dari ketiga calon penumpang itu tetap memakai jaket mereka. Petugas itu lantas memanggil mereka kembali kemudian melakukan penggeledahan.
Terasa kantong-kantong jaket kedua pemuda itu terisi penuh dengan sesuatu. Ketiga-tiganya lantas dipersilahkan masuk ke kamar pemeriksaan. Di situ diminta agar isi kedua jaket dikeluarkan. Isinya, menurut protokol pemeriksaan petugas bea cukai di pelabuhan udara itu: 286.650 franc Prancis, 143.250 franc Swiss, 40.400 mark Jerman Barat dan 61.670 dolar Amerika. Nilai keseluruhannya, lebih dari 400.000 mark Jerman. Pihak bea cukai Tunisia menyita paspor ketiga pemuda itu, yang ternyata dikeluarkan atas nama Dietmar Egelhoff, Thomas Andreas dan Manfred Andreas.
Pihak Tunisia menyangka berhasil menangkap tiga orang pedagang narkotika internasional yang hendak pergi ke Maroko untuk membeli barang dagangan terlarang itu di sana. Tapi ketika ditanyakan ke Biro Interpol di Tunis, diperoleh keterangan.
“Ketiga tahanan itu tidak dicari lewat Telex internasional. Tidak ada indikasi bahwa mereka anggota sindikat narkotika.”
Keterangan Biro Interpol itu tidak tepat. Permintaan tolong pihak kepolisian Jerman Barat pada Interpol untuk menangkap ketiga pemuda itu karena disangka ikut terlibat dalam perampokan, hanya belum sampai saja saat itu di Tunisia. Para pemuda itu lantas memaparkan kisah yang menarik pada para petugas yang menahan mereka.
“Uang ini kami peroleh dari orang tua kami yang kaya,” kata mereka. “Dengannya kami disuruh membeli tanah di Amerika Selatan untuk keluarga kami. Soalnya Republik Federal Jerman menghadapi ancaman negara-negara tetangganya yang komunis dan karena itu kami disuruh menanamkan uang yang diperoleh dengan jujur ini di luar negeri yang aman.”
Tapi pihak bea cukai Tunisia tetap keras. Uang tunai yang nilainya 400.000 mark (± Rp 120 juta) lebih serta ketiga paspor disita. Selain itu juga diajukan perkara ke pengadilan atas dakwaan pelanggaran devisa. Thomas, Dietmar dan Manfred tidak dimasukkan dalam penjara tahanan, tapi mereka tidak diperbolehkan meninggalkan kota Tunis.
Kepada mereka diserahkan uang beberapa ratus mark sebagai uang saku. Ketiganya lantas mencari penginapan murah di Hotel de Paris yang kumal. Di situ mereka merundingkan kemungkinan melarikan diri serta mengatur rencana-rencana ke arah itu. Mereka bertanya-tanya di mana bisa dibeli paspor palsu. Tapi paspor palsu mahal harganya. Tidak lama kemudian uang mereka tersisa sedikit, sehingga terpaksa menumpang makan di kantin mahasiswa yang harga makanannya sangat murah.
Tanggal 2 Agustus 1980, ketiga pemuda itu putus asa. Secara sukarela mereka melaporkan diri ke kedutaan besar Jerman Barat dengan permintaan agar secepat mungkin dipulangkan ke tanah air.
Kedutaan besar Jerman Barat lantas menghubungi jawatan kepolisian kriminal negara bagian Hessen di Wiesbaden. Kepala satuan tugas khusus, Rudolf Werner, bersama komisaris besar Erich Lill langsung terbang ke Tunis. Tapi setelah itu dimulailah perjalanan yang berliku-liku bagi kedua petugas kepolisian dan juga bagi ketiga pemuda yang disangka keras terlibat dalam kasus-kasus perampokan besar itu.
Mereka harus melewati rintangan-rintangan berbagai paragraf hukum pidana Jerman, Tunis dan hukum-hukum internasional. Pihak Tunisia tetap berkeras, ketiga pemuda Jerman itu mula-mula harus diajukan ke pengadilan di sana atas kesalahan melanggar peraturan devisa negara Tunisia. Sedang pihak kejaksaan Jerman pada mulanya tidak mau mengajukan permintaan ekstradisi secara resmi.
“Ketiga pemuda itu sendiri yang ingin kembali ke Jerman,” demikian pendapat pihak kejaksaan. “Cara begitu, jauh lebih cepat, daripada kalau harus memakai prosedur ekstradisi resmi; yang umumnya bertele-tele dan memakan waktu lama.”
Jadi untuk sementara Dietmar Egelhoff, Manfred dan Thomas Andreas terpaksa meringkuk dalam tahanan Tunisia. Dalam pembicaraan dengan kedua petugas kepolisian Jerman yang datang dari Wiesbaden, Dietmar Egelhoff mengakui bahwa ia ikut bersama Gernot Bauerhoff dalam keempat kasus perampokan yang pertama.
“Tapi di Mannheim saya tidak ikut,” katanya berkali-kali. Mengenai Manfred dan Thomas, ia tidak mengatakan apa-apa. Manfred bersikap dingin.
“Saya tidak bersalah, sampai bisa dibuktikan bahwa saya melakukan suatu tindak pidana,” katanya. Sedang Thomas Andreas berkeras menyatakan bahwa ia sama sekali tidak ada urusannya dengan segala kejadian itu. Cuma secara kebetulan saja ia ikut lari, katanya.
Dietmar, Manfred dan Thomas, sama sekali tidak bertampang penjahat. Sukar rasanya membayangkan mereka melakukan perampokan dengan darah dingin.
“Sayang, mereka itu sebetulnya anak baik-baik,” kata Komisaris Besar Erich Lill.
Hal itu juga dirasakan oleh ayah Gernot Bauerhorst. Pagi-pagi tanggal 17 Juni, dokter itu kebetulan mendapat giliran sebagai dokter jaga. Karenanya dr. Albrecht Bauerhorst bergegas datang ketika ada panggilan polisi yang mengatakan bahwa di suatu jalan kecil di tepi Landweg ditemukan mayat seseorang yang diduga mati karena bunuh diri. Tragedi yang kemudian terjadi di jalan kecil itu, dalam protokol polisi tercatat sebagai berikut:
“Begitu dr. Bauerhorst sampai di tempat mayat ditemukan, ia langsung jatuh pingsan. Mayat yang terkapar dalam mobil ternyata Gernot — putranya sendiri.”
Seorang dokter lain terpaksa dipanggil untuk memeriksa mayat Gernot dan menyatakan pemuda itu benar mati karena bunuh diri. Ayahnya sendiri tidak mampu melakukan tugas itu. Ia tidak habis pikir, apa sebabnya putranya itu sampai bisa merampok.
Tapi apakah sebelumnya ia tidak pernah merasa curiga ketika Gernot yang umurnya baru sekitar 26 tahun tahu-tahu berhenti bersekolah, pindah ke apartemen mewah dan nampak memiliki uang yang berlebih-lebihan? Sebagai dokter yang terpandang, mungkin dr. Bauerhorst terlalu sibuk.
Lagi pula, bukankah mereka itu keluarga baik-baik?
(Stern)
Baca Juga: Akhir Petualangan El Bandito
" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553725975/siapakah-perampok-ulung-itu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680808837000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304523" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/baunya-bukan-main_christopher-jo-20220603021306.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(126) "Sudah sebulan Ny. Elsie Beier mencium bau tidak sedap di dapurnya. Bersamaan dengan itu, beberapa pelacur tua mendadak hilang." ["section"]=> object(stdClass)#68 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/baunya-bukan-main_christopher-jo-20220603021306.jpg" ["title"]=> string(17) "Baunya Bukan Main" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:13:30" ["content"]=> string(31425) "
Intisari Plus - Sudah sebulan Ny. Elsie Beier mencium bau tidak sedap di dapurnya. Bersamaan dengan itu, beberapa pelacur tua mendadak hilang. Uniknya, pelacur yang hilang ini memiliki kesamaan yaitu ompong.
-------------------------
Di dapurnya yang kecil dan gelap, Ny. Elsie Beier mengendus-endus. Heran, sudah sebulan ini dapurnya bau. Cepat-cepat dijerangnya air, lalu ia menyingkir ke kamar duduk. Di sini pun agak bau, tetapi cuma samar-samar, sehingga bisa tertahankan.
"Wah, si Heinz mesti ditegur lagi nih," pikirnya. "Kalau ia tidak berbuat apa-apa untuk menghilangkan sumber bau ini, aku akan pindah dari sini.”
Heinz adalah pengurus rumah tua di Jl. Zeiss 74 itu. Rumah tua bertingkat di bagian Kota Hamburg yang disebut Ottensen itu dijadikan beberapa flat kecil. Heinz bertugas sebagai pengurusnya dengan imbalan sebuah kamar sempit di bagian belakang gedung.
Rumah tua memang sering berbau, tetapi uang sewanya biasanya rendah, sehingga janda berpensiunan kecil seperti Ny. Beier bisa tinggal di situ. Namun, baunya tidak seperti ini. Entah bau apa.
Tempat WTS tua beroperasi
Ny. Beier sudah tinggal di rumah itu sejak bulan Januari 1962 dan kini akhir bulan Agustus 1974. Sebetulnya ia berniat melewatkan sisa hidupnya di situ. Namun, kalau terus ada bau seperti ini ia tidak tahan. Bisa-bisa umurnya jadi pendek.
Sebenarnya sudah sejak awal Agustus Ny. Beier mengadu kepada Heinz. Heinz lantas meminta Fritz Honka, si peronda malam yang tinggal di flat atas, dan Klaus Kienzle, si tukang sapu yang tinggal di flat bawah, untuk memeriksa WC mereka. Tindakannya cuma sampai di situ.
Permintaannya entah dilaksanakan entah tidak dan Ny. Beier juga tidak tahu, apakah kedua orang yang tinggal di bagian atas dan bawah flatnya itu melakukan sesuatu untuk memperbaiki WC mereka. Yang diketahuinya hanya Honka pernah pulang membawa tablet-tablet penghilang bau.
Rupanya tablet itu, tidak mempan dan malah memperburuk keadaan, karena sekarang tercium dua macam bau yang kontras, bau aneh busuk yang memuakkan dan bau tablet.
Setelah setiap hari mengeluh tanpa digubris seorang pun, akhirnya tanggal 1 November 1974 Ny. Elsie Beier pindah dari Jl. Zeiss 74.
Di tempat baru ia harus membayar sewa lebih mahal, tetapi ia bersedia mengeluarkan jumlah itu dengan senang hati, sebab di tempat yang lama baunya sudah keterlaluan.
Tidak lama setelah ia pindah, flatnya disewa oleh seorang pelaut Norwegia bernama John Fordal. Ia tidak pernah mengeluh perihal bau dan bahkan mungkin tidak tahu kalau flatnya berbau. Soalnya, pria berumur 46 tahun itu biasanya dalam keadaan mabuk kalau sedang berada di darat.
Jangankan mencium, mendengar atau melihat pun mungkin ia serba kacau. Bagi Fordal, tempat itu cocok, karena Ottensen letaknya tidak jauh dari tempat hiburan St. Pauli yang terkenal itu, dengan Reperbahn sebagai jalan utamanya.
Di ‘pusat asmara’ itu bukan cuma banyak bar dan panti pijat dengan wanita-wanita muda dan pelaut pelbagai bangsa, tetapi juga para pelacur tua, para pelayan bar yang mabuk dan manusia-manusia lain yang membuang-buang sisa hidupnya di sana.
Dekat tempat itu juga ada Monumen Bismarck, yang ironisnya dipenuhi gelandangan mabuk pada malam hari. Para pelacur tua juga banyak di sini. Kadang-kadang mereka tidak bisa mengharapkan imbalan yang lebih dari sebungkus rokok atau segelas bir.
Kejahatan tidak jarang terjadi di daerah-daerah itu. Saling cekik atau saling gebuk sampai minta pertolongan polisi dianggap sudah lumrah. Sering kali polisi Hamburg tampak menjemput mayat dengan alat pengangkut mayat dari metal. Kadang-kadang juga dengan karung.
Tiga tahun sebelum Ny. Beier pindah, umpamanya, dua anak keluarga Ernst Schmidt yang tinggal di lantai dasar Jl. Zeiss 74 menemukan kepala manusia di sebuah halaman pabrik coklat yang sudah berhenti berproduksi. Tempat itu letaknya tiga blok dari rumah mereka.
Diperkirakan kepala itu sudah menggeletak cukup lama, namun anehnya keadaannya cukup baik dan juga tidak dimangsa tikus yang banyak di Ottensen. Polisi memeriksa halaman pabrik itu dan menemukan dua lengan, dua tungkai, dan dua payudara. Keadaannya cukup baik.
Dr. Ludwig Strauss dari Bagian Pengusutan Kejahatan di Kepolisian Hamburg merendam bagian-bagian mayat itu di pelbagai cairan kimia atau setidak-tidaknya dalam usaha mengembalikan mayat ke bentuk semula, ke bentuk yang bisa dikenali.
Digebuki dengan kaki kursi
Beberapa bulan kemudian kepala itu dipotret dan sidik jari tangan mayat bisa diambil. Walaupun wajah kepala mayat tidak bisa kembali ke bentuk semasa masih hidup, namun sidik jari mayat memungkinkan polisi mengenali korban sebagai Gertraude ‘Susi’ Braeuer yang lahir dekat Dresden pada tahun 1929.
la mengungsi dari Jerman Timur tahun 1956 dan sejak itu, kecuali selama beberapa tenggang waktu, ia menjadi pelacur berizin. Polisi memiliki sidik jarinya, karena ia pernah berurusan dengan yang berwajib akibat mabuk pada tanggal 6 Juli 1969. Ia juga sedang dicari-cari, karena melakukan kejahatan.
Pada akhir tahun 1969 diketahui ia meninggalkan profesinya untuk hidup bersama penggali sumur bernama Burkhard Stern. Mereka tinggal di Groot Osterfeld, serumah dengan ayah Burkhard Stern, yang umurnya sudah 80 tahun. Stern berniat menikahi bekas wanita penghibur itu.
Di sebelah rumah tempat mereka tinggal, hiduplah seorang penjaga pintu bernama Winfried Schuldig. Namanya aneh juga, sebab schuldig dalam bahasa Jerman artinya berdosa atau bersalah.
Tanggal 20 Januari 1970, penjaga pintu yang beratnya hampir 100 kg itu mengundang Burkhard Stern dan Gertraude Braeuer untuk minum-minum di rumahnya. Tahu-tahu Schuldig dan Gertraude bermesraan secara di luar batas di depart mata Stern.
Tentu saja Stern marah. Mereka berkelahi. Keesokan paginya Stern dijumpai remuk kepalanya di depan pintu rumahnya. Schuldig mengaku ia membela diri, sedangkan Gertraude yang sudah sadar dari mabuk mengaku menggebuki kepala Stern dengan kaki kursi yang copot.
Ketika sedang menunggu perkara disidangkan di pengadilan, Gertraude mencuri uang pensiun ayah Burkhard Stern dan menghilang. Schuldig dibebaskan dari hukuman, karena tidak ada orang yang bisa menyangkal bahwa ia membela diri.
"Akhirnya, kini kita tahu juga apa yang terjadi pada Gertraude Braeuer," kata Inspektur Frank Luders dari Bagian Penyidikan Kejahatan. "Coba periksa Schuldig, dia mempunyai alasan untuk membunuh Gertraude Braeuer." Ternyata Schuldig juga tidak tahu perihal nasib Gertraude dan tidak ada indikasi bahwa ia tahu.
Dr. Strauss tidak bisa memastikan kapan Gertraude tewas. Ia memperkirakan wanita itu dibunuh pada akhir tahun 1970, tetapi tidak dapat memastikan bulannya. "Kalau tubuhnya ditemukan, saya bisa tahu lebih banyak. Kalau seperti sekarang, saya tidak tahu sebab kematiannya," katanya.
Kemudian seorang polisi yang ditugaskan melacak menemukan seorang saksi yang bertemu Gertraude setelah tanggal 7 September 1970. Jadi, setelah Schuldig dibebaskan. Berarti tidak ada motif bagi Schuldig untuk membunuh wanita bekas tetangganya itu.
Mulai bulan Agustus 1974 polisi Hamburg mulai menerima laporan perihal wanita-wanita yang lenyap. Berbarengan dengan itu Ny. Elsie Beier tidak henti-hentinya mengeluh rumahnya bau.
Sebenarnya di masa itu wanita lenyap bukanlah masalah langka di dunia Barat. Banyak gadis remaja ketika itu meninggalkan keluarga mereka untuk hidup di komune atau untuk mencari kebebasan. Banyak di antara mereka jatuh ke dalam jaringan pelacuran.
Sebagian masuk ke bordil atau harem di Afrika Utara dan Timur Tengah. Ribuan gadis yang lenyap dan tidak pernah ditemukan lagi itu mempunyai persamaan mereka muda, cantik, dan bodoh. Namun, para wanita yang dilaporkan lenyap pada polisi Hamburg menjelang akhir 1974 itu bukanlah wanita muda atau cantik, tetapi memang bukan wanita yang cerdas.
Anna Hahn dilaporkan lenyap pada tanggal 3 Agustus 1974. Ia lahir di Thuringen tahun 1920. Ketika tentara Amerika memasuki Jerman pada akhir PD II umurnya 25 tahun. Tidak lama kemudian ia mendapat ‘pelindung’ bangsa Amerika dan sembilan bulan kemudian melahirkan putra kembar.
Ketika pria AS itu akan kembali ke negerinya, ia setuju kedua putranya itu dibawa dengan pertimbangan mereka akan lebih sejahtera hidup di sana daripada hidup bersamanya di Jerman. Maklum saat itu ia dijuluki pelacur oleh orang-orang senegaranya.
Tidak lama kemudian Anna Hahn muncul di St. Pauli sebagai pelacur berizin. Seiring dengan menanjaknya umur, kariernya merosot. Hal itu terlihat dari tarifnya. Mula-mula bayarannya senilai AS $ 25, lalu $ 10, $ 5, dan akhirnya berapa saja.
Tempat tinggalnya juga ikut berubah, dari apartemen di studio, lalu ke kamar sewaan, dan akhirnya ia terdampar di Monumen Bismarck. Karier yang menyedihkan, tetapi merupakan ciri khas dari pelacur St. Pauli itu tercatat rapi di berkas polisi bagian pemberi izin dan penginspeksi pelacur.
Menurut berkas itu pada akhir tahun 1968, Anna Hahn yang hampir berumur 49 tahun menderita pelbagai penyakit dan kecanduan alkohol. Jelas tidak lama lagi penyakit atau alkohol akan merenggut hidupnya yang menyedihkan itu.
Sebetulnya jaminan sosial di Jerman baik sekali. Kalau saja ia mengajukan permohonan untuk ditolong, ia akan diberi tempat berteduh, dirawat, diobati, diberi makanan yang baik, dan diajarkan keterampilan. Syaratnya cuma satu: berpisah dari alkohol.
Justru itulah yang dirasakan sangat berat olehnya dan oleh rekan-rekannya. Hidup rasanya terlalu berat tanpa minuman keras. Jadi, mereka lebih suka mati di bar daripada hidup di tempat yang layak.
Jadi penjaga WC
Anehnya, di bar pula terjadi mukjizat pada Anna. Beberapa saat sebelum hari Natal tahun 1970, ia bertemu dengan orang ‘sekampung’ di Bar Sarung Tangan Emas. Thomas Beuschel yang berasal dari Thüringen juga bekerja sebagai pelayan.
Umurnya 34 tahun. Orangnya kekar dan tampan. Ia membawa Anna pulang dan di rumahnya Anna mendemonstrasikan keahliannya yang diperoleh berkat kariernya yang lama dan memasakkan bebek gaya Thüringen.
Mungkin Beuschel doyan betul bebek, sebab bulan April 1971 mereka menikah. Ketika itu Anna berumur 51 tahun dan berpenyakitan. Beuschel berhasil menyelamatkannya. Namun tunggu dulu: betulkah pria tampan yang masih muda itu berhasil?
Beuschel pelayan yang baik, karena ia lekas mendapat pekerjaan di sebuah restoran yang baik di Hamburg. Ia berusaha agar istrinya mendapat pekerjaan sebagai penjaga kebersihan WC wanita. Usahanya itu berhasil.
Rupanya Anna tidak tertarik pada WC. Persenan dari para pemakai kamar kecil dibelikannya minuman keras murahan. Dalam keadaan mabuk ia bertingkah laku kurang senonoh di depan restoran. Tidak ayal lagi ia dipecat dan celakanya, suaminya juga, padahal Beuschel tidak tahu-menahu.
Setelah itu Thomas Beuschel tidak berusaha mencarikan lagi pekerjaan bagi istrinya. Anna jadi kesepian. Kalau suaminya bekerja, ia pergi ke Bar Sarung Tangan Emas. Kadang-kadang kalau Beuschel tidak mendapati istrinya di rumah, ia pergi ke bar untuk menengok apakah istrinya ada di sana, apakah istrinya sedang mabuk atau sadar.
Siang tanggal 3 Agustus ia singgah di bar itu. "Pergi sana," gumam istrinya yang sedang setengah sadar. "Tinggalkan aku sendiri." Itulah terakhir kalinya ia melihat istrinya.
Keesokan harinya istrinya tidak ada di sana. Ia mencari ke beberapa bar. Tidak ada juga. Akhirnya, ia melapor kepada polisi.
"Barangkali Anda mempunyai dugaan mengenai apa yang mungkin terjadi pada diri istri Anda?" tanya polisi yang bertugas di Bagian Orang Hilang. Thomas Beuschel kelihatan gelisah. "Sungai Elbe?" gumamnya.
Petugas merasa dugaan Beuschel itu mungkin benar, sebab sungai besar itu sering dijadikan tempat mengakhiri kebosanan hidup oleh para pelacur St. Pauli. Namun, sekali ini polisi tidak berhasil menemukan mayat Anna Beuschel di sungai maupun di darat.
Seperti kasus Gertraude Braeuer, kasus ini pun masuk ke dalam berkas Kasus Tidak Terpecahkan.
Malam Natal 1974 Frieda ‘Rita’ Roblick lenyap setelah terakhir kali tampak di Bar Sarung Tangan Emas pukul 16.00. Wanita itu berumur 57 tahun, pemabuk dan pemegang surat izin untuk bekerja sebagai pelacur.
Catatan mengenai Frieda Roblick di kantor polisi sudah banyak, karena ia jarang bisa menahan diri untuk tidak merampok pelanggannya sebelum meninggalkan mereka. Pada saat lenyap itu sebetulnya ia sedang menjalani hukuman percobaan. Jadi, ia wajib lapor pada hari-hari tertentu.
Petugas yang mencatat kewajibannya melapor itulah yang mengadu bahwa Frieda tidak muncul-muncul.
Minta bantuan ‘burung kenari’
Kasusnya pun masuk ke berkas Kasus TidakTerpecahkan, tetapi tidak lama kemudian ada yang menyodorkan berkas itu kepada Inspektur Luders dengan catatan kasus itu ada persamaannya dengan kasus Anna Beuschel, yang terjadi empat setengah bulan sebelumnya.
Kedua wanita itu sudah agak lanjut usianya dan pelacur yang sudah sangat merosot kariernya. Kedua-duanya pemabuk. Mereka bertubuh kecil dan ... ompong. Gigi penting untuk identifikasi. Kedua-duanya tampak terakhir kali di Bar Sarung Tangan Emas.
"Persamaan itu menarik, siapa tahu ada artinya," kata Inspektur Luders. Polisi yang mempunyai gagasan memberi catatan itu kepada Luders, yang tidak mengatakan apa-apa. Ia pergi membongkar berkas Kasus Tidak Terpecahkan dan kembali membawa kasus Gertraude Braeuer
"Ini juga ada persamaannya. Cuma saja wanita itu lebih muda," katanya. "Namun, ia ditemukan terakhir kali bukan di Sarung Tangan Emas."
"Atau siapa tahu di situ juga," kata Luders. "Apakah sebaiknya kita menempatkan petugas untuk memasang mata dan telinga di sana?" tanya Inspektur Luders.
"Jangan, Pak. Mereka akhirnya jadi pemabuk juga. Lebih baik minta tolong pada salah satu ‘burung kenari’ yang sudah telanjur jadi pemabuk," jawab anak buahnya. Yang dimaksud dengan burung kenari ialah para pelacur yang sering dimintai bantuan oleh polisi untuk menjadi mata dan telinga mereka di tempat-tempat semacam itu. Para burung kenari itu mendapat upah untuk keterangan mereka yang membantu polisi.
Pada bulan Januari 1975 seorang pelayan restoran terkemuka merasa agak cemas, ketika tidak melihat Ruth Schult muncul. la bukan pacar wanita itu dan sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan wanita bertubuh kecil yang umurnya 52 tahun itu. Cuma saja Ruth Schult setiap siang pasti duduk di bangku taman seberang restoran untuk memakan bekalnya berupa roti dengan sedikit sosis.
Selama bertahun-tahun wanita itu seperti bagian dari pemandangan di tempat itu pada siang hari, sehingga ketidakhadirannya terasa oleh si pelayan. "Jangan-jangan wanita itu sakit," pikirnya.
Pelayan itu tahu bahwa wanita itu bernama Ruth Schult. Jadi ketika sudah beberapa hari ia tidak muncul, pelayan itu melapor pada polisi. Polisi memberi perhatian yang lebih dari biasanya, karena Ruth Schult memiliki kualifikasi fisik maupun moral yang sama seperti korban-korban langganan Sarung Tangan Emas.
Anehnya, orang-orang yang bekerja dan biasa mengunjungi Sarung Tangan Emas seperti Anna Beuschel dan Frieda Roblick, Ruth Schult pengunjung tetap bar itu.
Diketahui Ny. Schult itu tidak mempunyai gigi asli lagi. Ia sudah memulai profesinya sebagai pelacur pada umur muda tahun 1948. Kemudian ia bertemu dan menikah dengan seorang duda kaya bernama Schult. Cuma saja karena tidak bisa mengekang diri dalam menghadapi alkohol dan bersikap komersial pada seks, ia diceraikan tidak lama setelah menikah.
Ia pun menjadi pelacur di Koln, Dusseldorf, dan kemudian kembali lagi ke St.Pauli di Hamburg. Makin lama giginya makin sedikit, sementara kariernya makin suram. Tanggal 9 Maret 1974 yang dingin ia ditangkap, karena secara demonstratif berbuat tidak senonoh di muka umum di Monumen Bismarck. Setelah menjalani hukuman singkat, ia kembali melaksanakan pekerjaannya dan berkunjung lagi ke Sarung Tangan Emas.
Beberapa hari sebelum lenyap, ia bercerita di bar itu bahwa ia tidak lama lagi akan menikmati ‘padang rumput yang lebih hijau’. Teman-temannya menafsirkan ia akan hidup bersama seorang pria.
Setelah sebulan kasusnya diselidiki, polisi menghadapi jalan buntu. Walaupun demikian, polisi cerdas yang bekerja di bawah Inspektur Luders tetap penasaran.
"Tidak mudah menyembunyikan mayat di Kota Hamburg," katanya. "Biasanya identitas jelas dari korban mengantar kita pada si pembunuh. Ini kita ketahui dengan jelas dari identitas semua korban, tetapi ...."
"Namun, kita 'kan tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati, kecuali Braeuer," kata Luders.
"Yang jelas mereka tidak akan dikirim ke Afrika Utara atau Timur Tengah. Bisa-bisa penyalurnya disate orang sana," jawab bawahannya.
Lantas dikemanakan keempat wanita itu? Apakah kasus mereka saling berhubungan?
Banyak potongan mayat
Tanggal 17 Juni 1975 lonceng-lonceng pemadam kebakaran berbunyi di Stasiun Pemadam Kebakaran Altona dan St. Pauli. Di Jl. Zeiss 74 terjadi kebakaran. Api dilaporkan tampak di flat yang disewa pelaut John Fordal di tingkat dua, pukul 03.37.
John rupanya tertidur, sementara lilin menyala terus sampai habis dan api itu menyambar ranjangnya. Pelaut itu sendiri enak saja tidur sampai sebagian ranjangnya dan peralatan lain terbakar. la terbangun karena kepanasan dan merangkak ke luar jendela sampai berhasil mencapai tangga darurat.
Ketika tiba di jalan ia masih belum sadar betul dari mabuknya. Ia didapati duduk di tepi jalan, ketika barisan pemadam kebakaran datang.
Api di flatnya cepat bisa dipadamkan, namun sudah keburu merambat ke flat yang lebih atas, bahkan sampai membakar atap. Sebagian besar atap sempat terbakar sebelum api berhasil ditaklukkan kira-kira pukul 06.30.
Seisi rumah no. 74 itu tentu saja diungsikan. Penghuni flat paling atas, Fritz Honka, saat itu sedang bekerja, sebab ia penjaga malam, sehingga anggota barisan pemadam kebakaran mendobrak pintu flatnya. Mereka tak tahu di dalam tidak ada orang.
Ketika Walter Aust yang berumur 31 tahun berada dalam kegelapan di ruang gudang di sebelah kamar Honka, ia hampir muntah, karena selain bau asap dan kain-kain terbakar, juga bau busuk. Tangannya yang bersarung memegang benda panjang hangus, yang semula dikiranya kayu.
Namun, alangkah kagetnya ia ketika di ujung benda itu ada sepatu sandal berwarna keemasan. Ia baru sadar kalau benda itu tungkai wanita.
"Mein Gott, Erwin!" teriaknya kaget memanggil rekannya. "Ada orang terkurung sampai hangus di sini. Wanita." Pemimpin barisan pemadam kebakaran, Erwin Schuen, cepat-cepat muncul bersama anak buahnya, Wilfrid Harz.
Harz menyorotkan lampu senternya. Tungkai itu cuma berupa kulit pembungkus tulang yang sudah kering, coklat, dan keriput. Rupanya seperti tungkai mumi dan baunya busuk. Sesaat ketiga petugas pemadam kebakaran itu berpandangan.
"Mestinya potongan mayat itu sudah lama ada di sini,"kata Schuen. Ia berjongkok dan menyingkapkan setumpuk kain-kainan dari sebuah sudut, sementara Harz mengarahkan lampu senternya ke sana. Di bawahnya tergolek mayat kering.
Mayat itu cuma memakai pullover warna merah anggur. Wajahnya seram, sebab bagian matanya sudah bolong, sedangkan rahangnya tidak bergigi.
"Panggil polisi, Walter," perintah Schuen. "Ini bukan wewenang kita."
Polisi segera tiba, namun sebelum itu Schuen dan teman-temannya sudah menemukan sebuah kantung plastik biru menggembung di bawah tumpukan batu bara. Kantung plastik itu meletus waktu batu bara mereka gali. Gas berbau busuk segera membuat mereka berlarian ke tangga dan berhenti memeriksa sampai bau busuk banyak berkurang.
Karena polisi mendapatkan keterangan bahwa gudang itu boleh dimasuki oleh semua penghuni rumah no. 74 dan bahwa api berasal dari flat John Fordal, pelaut itu ditahan dengan dugaan ia menyebabkan kebakaran untuk menyembunyikan pembunuhan.
Inspektur Luders dan Sersan Detektif Max Peters ikut datang dan memerintahkan penyelidikan di seluruh tingkat.
Pukul 07.45 Fritz Honka pulang dari tempat kerjanya. Saat itu polisi sudah menemukan empat mayat. Mereka menarik kesimpulan bahwa hanya Honka seorang yang bisa menyembunyikan mayat itu di sana. Di kamar Honka, polisi menemukan kartu tanda pengenal dua orang wanita, yaitu Irmgard Albrecht dan Anni Wachtmeister. Diperkirakan kedua wanita itu termasuk dua mayat yang ada di sana.
Tukang cekik
Honka terbengong-bengong melihat bekas-bekas kebakaran.
"Kami polisi kriminal. Apa yang Anda ketahui mengenai dua wanita ini?" tanya Inspektur Luders seraya memperlihatkan kartu tanda pengenal kedua wanita itu. Honka melirik kartu itu.
"Mereka pernah hidup bersama saya," katanya. "Tetapi mereka pergi dan tidak pernah kembali mengambil kartu mereka. Kalau ingin bertemu mereka, cari saja di Sarung Tangan Emas."
Luders kecewa lagi. Ia sudah yakin Honka pembunuh, tahu-tahu sikapnya sama sekali tidak memperlihatkan kesan yang menguatkan dugaan itu.
Honka ditahan juga. Sementara dokter polisi memeriksa mayat, polisi pergi menyelidiki ke Sarung Tangan Emas.
Fritz Honka, yang biasa dipanggil Fiete, dilahirkan pada tahun 1940. Bulan Juli 1971 ia merayakan ulang tahunnya berbarengan dengan pelacur bernama Erika Kynast yang genap berusia setengah abad. Ketika itu mereka hidup bersama di di rumah no. 74 tersebut.
Erika bertubuh kecil dan ompong. Karena Honka menyakiti dia, ia melawan. Honka menjeratnya dengan kaus kaki nilon sampai matanya melotot, tetapi ia berhasil menendang selangkangan bujangan itu dan kabur ke kantor polisi dengan kaus kaki nilon masih melilit lehernya.
Honka ditahan, tetapi ia menyatakan penyesalannya. Katanya, ia mabuk ketika itu. Karena peristiwa semacam itu sering terjadi di Ottensen dan St. Pauli, ia dibebaskan.
Setelah itu wanita-wanita silih berganti tinggal di flatnya. Umumnya mereka ditemukannya di Sarung Tangan Emas atau di Elbschloss Keller. Karena ia tidak kikir mentraktir minum, termasuk pada polisi, ia cukup populer di kedua tempat itu dan selalu ada wanita yang berhasil diajaknya ikut. Kebanyakan cuma tinggal dua tiga hari di flatnya.
Teman yang menginap untuk jangka waktu lama baru diperolehnya bulan April 1972. Irmgard Albrecht yang berumur 47 tahun bertubuh kecil dan ompong, biasa bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Ia bosan menyikat lantai, tetapi doyan betul minum. Ajakan Honka berarti liburan dari membersihkan rumah orang lain, selain mendapat makanan, alkohol, dan penginapan gratis. Ternyata Honka itu kejam dan pencemburu.
Irmgard Albrecht dikuncikan di kamar, kalau ia sedang bekerja atau pergi dari rumah. Irmgard sebetulnya tidak terlalu terganggu, cuma saja kadang-kadang di situ tercium bau busuk. Ketika ia mengeluh, Honka ikut mengendus-endus. "Betul bau busuk," katanya.
Jadi, ia membeli satu peti berisi beberapa kaleng obat semprot untuk menghilangkan bau. (Saat itu Ny. Elsie Beier yang tinggal di flat di bawah flat Honka belum mencium bau busuk, sebab flatnya juga lebih luas dan tidak sesumpek flat Honka).
Persis di hadapan tangga, bersebelahan dengan flat Honka, ada gudang yang bisa dimasuki siapa saja. Namun, tidak ada orang lain yang merasa perlu memakai gudang itu, kecuali Honka yang menaruh batu bara dan barang-barang yang tidak terpakai lagi di situ.
Bulan Agustus, ketika suhu udara naik, Irmgard Albrecht mencium bau lebih busuk lagi, tetapi Honka sendiri tidak peduli.
Namun, suatu malam Honka bertengkar dengan wanita lain yang diundangnya ke flat itu. Wanita itu dicekiknya, tetapi berhasil kabur untuk melapor kepada polisi. Sekali lagi Honka ditahan, tetapi dibebaskan lagi setelah mendapat peringatan keras dari polisi.
Bulan Mei 1973 hubungan Honka dengan Irmgard Albrecht putus dan wanita itu meninggalkan rumah no. 74 secara baik-baik. Katanya, ia tidak tahan bau busuk di situ.
Hampir dua tahun kemudian baru ada wanita lain yang menetap di flat Honka, yaitu Annie Wachtmeister (52), ompong, bertubuh kecil, pelacur. Saat itu tanggal 16 Maret 1975. Pada bulan Agustus 1974 polisi sudah menghadapi teka-teki lenyapnya beberapa wanita yang sudah melewati umur setengah baya, bertubuh kecil, ompong, pelacur.
Tanggal 12 Juni Annie Wachtmeister secara tiba-tiba meninggalkan flat tanpa membawa barang-barangnya. Katanya, nanti saja kapan-kapan ia ambil. Kepada setiap orang yang mau mendengarkan ocehannya di Sarung Tangan Emas, ia menyatakan bahwa ia tidak tahan karena dua hal: Honka itu kasar dan flat itu bau setengah mati.
Ia pernah mengeluh perihal bau itu kepada Honka dan pria itu membelikan obat penghilang bau, yang ternyata tidak mempan.
Dari pemeriksaan polisi diketahui tubuh yang ditemukan petugas pemadam kebakaran di bawah kain-kainan cuma terdiri atas tubuh dan bagian bawah tungkai. Lengan, paha, dan payudara ditemukan di dalam kantung plastik dalam keadaan membusuk.
Kemungkinan besar mayat itu tidak bisa dikenali. Dari empat mayat, hanya satu yang bisa langsung dikenali, yaitu tubuh tanpa lengan, tungkai, kepala, dan payudara yang dianggap sebagai tubuh Gertraude Braeuer. Seperti diketahui, kepala dan anggota badan wanita itu ditemukan di halaman pabrik coklat pada bulan November 1971.
Di atas tubuh mayat itu ada mayat lain yang tidak rusak, yang mengering dan kemudian dinyatakan sebagai tubuh Frieda Roblick. Mayat lain yang terpotong-potong dan ditumpukkan di belakang pintu dinyatakan sebagai Anna Beuschel. Fritz Honka mengaku bahwa mayat yang satu lagi ialah Ruth Schult. Wanita-wanita yang hilang dari Sarung Tangan Emas sudah ditemukan.
Menurut Honka, wanita-wanita itu ia bunuh dengan dicekik, karena tidak mau menuruti keinginannya. Mereka ortodoks, katanya. Ia mengaku pada saat itu berada di bawah pengaruh alkohol. Pemotongan mayat ia lakukan agar mudah untuk menyembunyikannya.
Fritz Honka dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
(John Dunning)
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304523/baunya-bukan-main" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265610000) } } }