Intisari Plus -
Sumenep terletak di bagian timur Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. Ia menjadi kota salah satu kota tua yang telah berdiri sejak abad 13. Toponimi Sumenep pun bervariasi, mulai dari kisah Songenneb yang dipercaya tercantum dalam kitab Pararaton, sampai pembahasan toponimi Sumenep mulai dari Poerwaredja, Soemekar, hingga Sumenep versi J.Hageman.
------------------
Dalam Bijdragen to de kennis van Residentie Madura (1858) yang terbit dalam Tijdschrift voor Nederlandshe Indie, J. Hageman menyebutkan bahwa sejak Tirta Negara berkuasa menggantikan Tjakranegara II pada tahun 1751, kata Sumenep digunakan secara resmi sebagai arti “air yang menetap mengendap” – bezonke water.
Saat ini, Sumenep terkenal dengan julukan kota batik, kota ukir, bahkan yang terbaru adalah kota keris. Di kota tua ini terdapat dua bangunan ikonik berarsitektur paduan, perpaduan langgam Jawa, Arab, Cina, dan Eropa – Masjid Jami dan Keraton Sumenep.
Masjid Jami (1779-1787) dan Keraton Sumenep (1781) dibangun oleh Panembahan Sumala (Sumolo). Pada masa sebelumnya, Tirta Negara dan istrinya (Gusti Raden Ayu Rasmana) telah membangun Keraton Dhalem atau Kerato Pajagalan pada mulai tahun 1751-1762.
Panembahan Sumala dikisahkan menunjuk seorang arsitek dari bangsa Cina, yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Lauw Piango untuk merancang desain masjid dan keraton Sumenep. Karya sang arsitek masih dapat Anda lihat saat ini! Para penjaga Masjid Jami dan Keraton secara turun temurun mengetahui tentang sang arsitek. Mereka juga menyebutkan, Lauw Piango dimakamkan di komplek pemakaman Cina yang terletak di desa Pangarangan.
Safiudin (56) adalah juru kunci makam yang mewarisi jabatannya dari sang ayah. Tak banyak informasi yang bisa ia sampaikan mengenai makam arsitek yang konon datang ke Sumenep pada tahun 1740 pasca peristiwa “Chineesche Moord” pembunuhan orang-orang Cina di Batavia itu.
“Iya benar, itu makam arsiteknya Masjid Jami dan keraton. Bapak hanya nunjuk itu, tapi tidak tahu itu tulisannya Cina,”ujar Safiudin menunjuk bong Cina warna putih yang terbenam dalam rimbunnya semak, perdu, dan rerumputan.
Dari enam belas makam Cina, hanya makam bercat putih tersebut yang berangka tahun paling tua. Memang tak banyak informasi dari nisan. Namun, setidaknya dari nama di nisan, tertera Liu Yu Shan (dalam bahasa Hokkian: Lauw Giok (Gek) San).
Mungkin saja nama Lauw Piango adalah nama keduanya, mengingat orang Cina yang baru datang ke tempat baru kerap menggunakan nama baru.
Nisan tersebut menyebutkan, Lauw meninggal pada 1785 atau tahun ke-50 masa pemerintahan Kaisar Qian Long (1735-1796). Ia memiliki dua orang anak laki-laki dan dua perempuan yang mendirikan nisan tersebut yaitu, Liu Wen Zhui, Liu Wen Xiao, Liu Feng Niang, dan Liu Jin Niang.
Informasi terakhir, Lauw tua berasal dari Tong An di Provinsi Fujian (Hokkian), sebuah desa yang didirikan pada masa Dinasti Jin (282 M), menjadi kabupaten pada masa Dinasti Tang (933M), dan saat ini bagian dari Distrik Xiamen di Provinsi Fujian.
Nisan berpulas warna putih tersebut berada di komplek pemakaman Cina. Di sekeliling makam tua itu terdapat 15 makam berlanggam Cina lainnya dan rata-rata merupakan makam dengan aksara Cina bermarga Lauw atau Liu.
Makam tersebut makam-makam baru yang dibangun sekitar tahun 1900-an awal hingga tahun 2000-an. Karena beraksara Cina, tak heran, penjaga makam atau juru kunci tak mengenal dari masa apa makam tersebut berasal.
"Enggak tahu kalau makam yang lain. Ada juga yang sering datang ke sini ziarah itu kalau bulan Cina. Kebanyakan dari Surabaya,"ujar Safiudin.
Patuh pada orang tua
Satu yang pasti, makam tua Liu Yu Shan merupakan satu makam yang selalu ditunjuk sebagai makam sang juru gambar desain Masjid Jami dan Keraton Sumenep. Walau makam itu diselubungi perdu, ia telah menjadi penanda kontribusi orang Cina peranakan terhadap kebudayaan Indonesia, kebudayaan multikultur yang membentuk jati diri Indonesia masa kini.
Pengaruh kebudayaan Cina di Sumenep tampak kentara ketika saya mengunjungi makam raja-raja Sumenep yang disebut Asta Tinggi. Begitu memasuki komplek makam yang dibangun pada 1750, kemegahan langgam Eropa sangat terasa. Mengagumkan!
Beraneka nisan dengan langgam masa Hindu-Buddha hingga era Islam pun tampak memenuhi area pemakaman para raja dan kerabatnya. Tiga komplek makam utama di bagian sayap kiri mengejutkan saya yang baru pertama kali menjejak Asta Tinggi.
Ya, gebyok dalam dan luarnya berlanggam Cina serta dipenuhi ukiran ragam hias flora fauna khas Cina dengan aneka simbolismenya. Makam Asta Tinggi bagi saya tampak sebagai sebuah taman seni yang sarat pesan keberagaman dan bentuk penerimaan masyarakat Madura pada budaya luar.
Ya, Madura, pernah disebut-sebut dalam kronik Cina Yingya Shenglan yang ditulis Mahuan tahun 1416 dan Shun Feng Xiang Songyang ditulis era Dinasti Ming (1368-1398) tepatnya pada masa Ekspedisi Cheng He. Dalam kronik Yingya Shenglan, Madura disebut Zhong Jia Luo (Groeneveldt dalam Notes on The Malay Archipelago and Malacca membuat transkripsinya dengan sebutan Tiong Ka La).
Dituliskan bahwa: “Tiong Ka La terlihat hijau, dengan gua-gua besar dan memiliki tiga pintu masuk. Di wilayah tersebut dihuni sekitar 20.000 orang. Agrikulturnya seperti di Jawa, cuacanya selalu hangat. Tradisi masyarakatnya masih asli. Mereka tidak memiliki pemimpin namun mereka patuh pada orang yang dituakan.
Laki laki dan perempuan memiliki rambut yang digelung, pakaiannya dari katun, mengenakan sarung bergaris. Mereka merebus air laut dan membuat garam, serta membuat arak dari fermentasi beras ketan. Barang ekspornya berupa kijang, burung beo, katun, biji cokelat, dan kain kasa. Barang impornya berupa perak dan sutera motif bunga.”
Dalam kronik Shun Feng Xiang Song yang ditulis anonim diperkirakan disusun 1430- 1571, Madura disebut Wuliuna Shan (Gunung Wuliuna). Madura menjadi tempat pemberhentian ketika kapal ekspedisi Cheng He berlayar menuju Pulau Timor.
Diperkirakan bahwa Madura, terutama Sumenep, sudah ramai oleh orang Cina yang menetap sejak Abad 17. Hal itu seperti yang ditulis Claudine Salmon dalam artikelnya The Han Family of East Java, Enterpreneurship and Politics 18-19 Century yang terbit di jurnal Archipel tahun 1991.
Lebih lanjut, Salmon juga menyebut adanya keluarga marga Han yang menyebar di Madura terutama di Bangkalan, Sumenep dan Sampang. Di Sumenep, ada klenteng yang dibuat marga Han bernama Baoshan Linggong dengan dewa utamanya Dewi Samudera.
Pada 1901, paling tidak terdapat 4.000 orang Cina di Madura, setara dengan jumlah mereka di Madiun dan Karawang. Namun lebih besar dari jumlah orang Cina di Yogyakarta dan Probolinggo.
Tempat pedagang berlabuh
Cukup panjang kisah masuknya orang Cina di Madura, hal ini memungkinkan adanya pertukaran budaya, saling serap dan saling bertoleransi ada orang Madura dan orang Cina. Sejatinya, Madura memiliki sejarah panjang dengan berlapis kebudayaan.
Madura pernah berada di bawah kerajaan Hindu Kediri (1042-1222), Singhasari (1222-1292), Majapahit (1293-1500). Nama dan asal-usul Madura tercatat dalam Negarakertagama (1365) karangan Empu Prapanca yang ditulis pada masa Majapahit. Di situ ditunjukkan, daratan Madura menjadi satu dengan Pulau Jawa.
Saking ramainya Jalur Sutera Maritim dan Jalur Rempah di kawasan timur Nusantara, Madura juga menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang Arab, Cina dan lainnya sampai kemudian bangsa Eropa datang berburu rempah-rempah. Tak heran, banyak bentuk akulturasi budaya yang membentuk identitas Madura dan masyarakatnya saat ini termasuk ciri arsitektur yang khas di Madura.
Rumah Bheley atau Sekot Pacenan (Gaya Pecinan) ada di seantero Madura. Saya menemukan salah satunya di kawasan pantai utara Madura, tepatnya di Desa Masaran dan Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan. Saya menyusuri pantai utara desa Labuhan – Masaran di Bangkalan, ditemani seorang warga, Mohammad Sahril (48).
Angin semilir dari kawasan pantai yang menjadi tempat konservasi mangrove desa Labuhan menambah pemandangan asri lanskap desa pesisir pantai utara Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Terbersit, mengapa namanya Labuhan?
“Labuhan dulu tempat berlabuhnya kapal-kapal orang Cina dan pedagang asing kata orang-orang tua dulu,” ujar Mohammad Sahril pelopor pelestarian mangrove sekaligus penggiat pariwisata di desa Labuhan dan Masaran.
“Ada turunan Cina yang menikah di sini, keluarga muslim di desa sini,” ujarnya. Saya tidak mengganti penggunaan kata Cina dengan kata Tionghoa karena Pak Sahril lebih memilih menggunakan kata Cina.
"Ya di sini nyebutnya Cina, Cena ya. Biasa begitu, tidak pakai Tionghoa," ujarnya dengan singkat ketika saya menanyakan apakah kata Tionghoa atau Cina yang lebih sering digunakan masyarakat desa Masaran dan Labuhan.
Motif banji
Saya menyusuri garis pantai hampir sepanjang 2 km yang menghubungkan dua desa yaitu Labuhan dan Masaran.
Tak lama berjalan, mata saya tertumbuk pada beberapa rumah tradisional dengan desain arsitektur yang unik. Salah satu rumah yang saya jumpai berupa rumah mungil berukuran 7 m x 4 m. Atapnya pelana dengan hiasan pada ujung bubungan atap seolah tampak pengaruh Cina pada bubungannya.
Ada varian lain rumah yang cukup lebar dengan lebar sekitar 8 m dan panjang sampai 15 m. Semua rumah-rumah tersebut menghadap ke arah utara berhadapan dengan pantai. Langgamnya tampak seperti paduan antara Cina, Madura, Jawa, bahkan bernapas Majapahitan.
Perhatian saya tertuju pada ukiran gebyok depan rumah tersebut. Ukiran ragam hias bunga, sulur, dedaunan khas ragam hias Jawa menghiasi pinggiran pintu dan gebyok kayu. Menariknya, terdapat motif swastika alias “banji”- (Wan Zi dalam Bahasa Mandarin) yang artinya sepuluh ribu – di setiap rumah-rumah itu. Seolah menjadi motif pakem, motif banji menjadi motif utama yang menghiasi kanan kiri pintu utama rumah-rumah yang disebut Bheley dan berdinding anyaman bambu tabing itu.
Motif banji pun tersemai bersama motif Cina lainnya di barang-barang rumah tangga seperti ranjang, daun pintu dan jendela, kotak penyimpanan keris, dan peti angkut upeti kuna. Terbanyak motif Cina peranakan terdapat pada ranjang-ranjang khas berukuran sekitar 1,5 m x 2 m dengan atap tepi dan atap ranjang berukir motif pakemnya yaitu sepasang kilin, singa, burung hong, naga, tepian banji, serta bunga teratai.
Kilin merupakan symbol panjang umur, kebijaksanaan, kebahagiaan, dan harapan memiliki keturunan yang baik; singa merupakan mahluk penjaga dan pelindung; burung hong dan naga ada simbol yin-yang simbol harmoni maskulin feminin; tepian banji adalah simbol kesejahteraan; teratai simbol kesucian.
Banji, sejatinya adalah ragam hias swastika dalam kebudayaan Hinduisme dan Budhisme yang kemudian menjadi salah satu motif ragam hias dalam kebudayaan Cina. Banji telah digunakan oleh masyarakat Kebudayaan Indus Mohenja Daro (2.500 – 1.500 SM) sebagai lambang keberuntungan.
Di Cina, lambang swastika awalnya menjadi karakter yang berarti 4 wilayah di penjuru dunia, pada tahun 700 M, digunakan menjadi kata “wan”, artinya sepuluh ribu, simbol jumlah yang tak terbatas. Tidak hanya menjadi motif religius di tempat-tempat sakral, namun juga menjadi motif simbolik yang digunakan untuk keberuntungan, kesejahteraan, keabadian.
Hasil dari TKI
Penanda lain penggunaan simbol Cina adalah penggunaan motif bunga teratai untuk dua buah pasak menonjol di pintu depan rumah bheley. Demikian pula dengan motif bunga teratai atau lotus, yang menjadi simbol kemurnian dan kesucian dalam Budhisme dan kebudayaan Cina.
Sayang, warga Labuhan tak lagi mengenal makna-makna simbol yang terukir di rumah tradisional itu. “Rumah milik warga, rumahnya Umbrah, Tohari, Ramla, Tinggal, Sumidah, bukan Cina,”ujar Sahril tentang 6 rumah yang tersisa.
“Rumah-rumahnya terutama ukiran-ukiran itu jadi buruan kolektor,” ujar Sahril yang menjelaskan bahwa rumah-rumah tersebut pernah memenuhi sudut kampungnya sekitar 30-an tahun. Rumah-rumah tradisional itu pun kini terkepung rumah megah berlantai dan berdinding keramik.
“Hasil warga menjadi TKI di Malaysia,” ungkap Sahril sambil menceritakan banyaknya warga desanya yang mengadu nasib ke negeri jiran. Sahril pun menyayangkan hilangnya rumah-rumah tradisional Labuhan beserta furniturnya.
“Tinggal sisa itu saja, furnitur kuno ya sudah tidak ada, semoga rumah-rumah ini tetap ada,”pungkasnya.
Saya memahami kegelisahan Sahril, namun saya dapat memahami kebutuhan warga yang memilih mendirikan bangunan baru dibanding mempertahankan rumah tradisionalnya. Tak apa, perubahan itu bagian dari dinamika perjalanan perkembangan bangsa.
Satu hal yang menarik dalam perjalanan saya adalah menyusuri jejak Ong Hok Ham yang menemani G. William Skinner dari Universitas Cornell pada tahun 1957 saat meneliti jejak orang Cina di Madura. Di situ saya mengenal tipe sebaran masyarakat Cina Indonesia yang berbeda dari wilayah lainnya.
Uniknya, masyarakat Cina di Madura banyak melebur dan berasimilasi sempurna di Madura. Bahkan, banyak keluarga Cina yang telah lebih dari 6 generasi memeluk agama Islam. Mereka juga menolak disebut mualaf di sepanjang Pulau Madura hingga Pulau Sapudi dan Pulau Kangean.
Perjalanan menyigi pecinan di Madura memberikan pesan kuat pada saya bahwa perjalanan budaya toleransi pada perbedaan telah berlangsung lama dan menjadi bagian dari pembentukan identitas bangsa Indonesia.
" ["url"]=> string(88) "https://plus.intisari.grid.id/read/553167684/cina-madura-sudah-enam-generasi-jadi-muslim" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1646313799000) } } }