Intisari Plus - Tidak lama lagi, André Devigny, seorang pejuang Prancis, akan menghadapi hukuman mati. Di bawah kasurnya, seutas tali terkait pada sebuah jepitan yang terbuat dari tiang lampu. Cukupkah semua itu untuk membebaskan dirinya dari penjara Montluc?
---------------------------
André Devigny berbaring di atas tempat tidur dalam sel sempit di penjara militer Montluc di Lyon, Prancis. Hari itu tanggal 20 Agustus 1943. Ia menarik selimut kumalnya untuk menutupi kepalanya, berusaha mendapatkan kehangatan dari bahan tipis tersebut. Cahaya di bawah pintu selnya memberitahunya bahwa hari sudah pagi. Saatnya untuk diinterogasi dan disiksa, sama seperti hari-hari sebelumnya dalam dua minggu ini.
Dalam kantuknya, ia masih bisa mendengar suara-suara. Seisi penjara menjadi hidup. Dari kejauhan, pintu dibanting. Penjaga berteriak. Lalu, suara langkah kaki dan gemerincing kunci-kunci terdengar mendekat. Langkah kaki itu berhenti di depan selnya dan pintu pun dibuka. Saat pintu terbuka, sinar matahari menembus masuk.
Devigny menutup kedua matanya karena silau. Tiga sipir Jerman datang menjemputnya. Salah seorang di antaranya berbicara dengan kasar dalam beberapa kata-kata Prancis yang baru dipelajari di Montluc.
"Keluar. Sekarang. Cepat."
Namun, Devigny tidak dibawa untuk disiksa. Ia dibawa ke hadapan pimpinan Gestapo, Klaus Barbie, dan diberitahu bahwa ia akan ditembak mati beberapa hari lagi. Ia digiring kembali ke selnya dengan tangan diborgol, ditinggal, dan hanya ditemani oleh pikirannya. Ia masih berumur 26 tahun, tapi hidupnya akan berakhir tragis.
Sebenarnya, Devigny tidak kaget dengan kata 'mati'. la merupakan anggota French Resistance (sebuah grup yang terus berjuang melawan pasukan Jerman yang menduduki negeri mereka selama Perang Dunia II). Empat bulan sebelumnya, di bulan April 1943, karena membunuh seorang mata-mata Jerman, ia ditangkap beberapa hari kemudian.
la dibawa ke Montluc. Penjara abu-abu yang muram ini merupakan rumah yang suram bagi banyak aktivis Resistance dan orang Yahudi yang ditahan di sini sebelum mereka dipindahkan ke kamp pembasmian. Tak ada satu pun tahanan yang bisa lolos dari Montluc.
Devigny disiksa oleh Gestapo (agen rahasia Nazi), tapi tidak membocorkan rahasia apa pun. Begitu penangkapnya sadar ia tidak akan membuka mulut, sudah waktunya untuk melenyapkannya. Devigny tidak akan menyerah begitu saja. Namun, kondisinya lemah karena disiksa dan disekap dalam penjara. Bagaimana caranya ia bisa lari dari benteng sekuat itu?
*
Ketika malam tiba, ia mulai menyusun rencananya. Sebuah senyum kecil terkembang di wajahnya. Ia menguasai trik permainan tangan, dan inilah saat yang tepat untuk mempraktikkannya. Tangannya memang diborgol, tapi itu bukan masalah baginya. Ketika tiba di Montluc, seorang tahanan menyelipkan sebuah peniti untuknya, dan ia pun belajar bagaimana membuka borgol.
Sendok makan yang diberikan pun telah ia asah menjadi tajam. Dengan semua itu, ia bisa membuka kunci pintu selnya. Saat penjaga sedang tidak berpatroli, ia menyelinap keluar dari sel dan mengobrol dengan tahanan lainnya. Matanya juga cukup awas mengawasi situasi.
Sel Devigny berada di blok lantai paling atas. Di sana terdapat jendela loteng yang digunakan untuk naik ke atap. Di antara selnya dan dunia luar, terdapat sebuah halaman, blok lain, dan tembok luar. Banyak tahap yang harus dilewatinya.
Suatu kali ketika ia menyelinap keluar ke koridor, Devigny melihat bingkai lampu yang ditinggal penjaga. Bingkai lampu yang terbuat dari tiga lembar logam itu sangat cocok dijadikan jepitan. Yang diperlukannya hanyalah seutas tali.
Sayang, Devigny tidak mempunyai tali, tapi ia memiliki pisau cukur, sebuah hadiah yang tak ternilai dari seorang tahanan lain. Ia mulai memotong baju dan selimutnya menjadi helai kain panjang. Lalu, disambung dan diperkuat dengan kawat dari tempat tidurnya, supaya tali buatan itu bisa menahan berat tubuhnya.
Devigny bekerja sepanjang malam melawan rasa kantuk yang menyerangnya. Kepalanya mengangguk-angguk karena mengantuk, tapi ia terus berjuang. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa akan ada waktu yang cukup banyak baginya untuk tidur di siang hari, saat para penjaga mengawasinya lebih ketat.
Ia membuat tali tersebut sepanjang-panjangnya, dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Jika para penjaga mau repot-repot menggeledah selnya, tentu tali itu akan mudah ditemukan, tapi mereka yakin sekali tahanan yang diborgol tangannya tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk lolos.
Pagi harinya, Devigny kelelahan dan tertidur. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba pintu selnya dibuka, dan ia bangun tersentak. Ia membayangkan tibalah saatnya penjaga membawanya ke hadapan regu tembak. Rasa lega menghampirinya saat ia sadar bahwa penjaga hanya membawa seorang tahanan baru ke dalam selnya.
Salah seorang penjaga menyindirnya, "Hei Devigny, kau mendapat teman di saat-saat terakhirmu."
Napi remaja itu duduk di pojok dengan wajah merengut. Tak lama, keduanya melakukan percakapan yang sangat hati-hati, saling menyelidiki satu sama lain. Sedikit demi sedikit, pendatang baru itu mengaku bernama Gimenez dan ia ditahan karena berada di pihak Resistance.
Kedatangannya merupakan masalah baru bagi Devigny. Bagaimana jika Gimenez adalah seorang mata-mata yang dikirim untuk memastikan dirinya tidak melarikan diri? Bagaimana jika demi menghindari siksaan dan hukuman untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Gimenez akan mengkhianati Devigny, memberitahukan tentang tali buatannya itu?
Bahkan, jika ia bukan salah satu dari semua itu, peraturan penjara Montluc mengatakan: seorang tahanan akan ditembak mati jika ia tidak memberitahu para penjaga bahwa teman satu selnya akan melarikan diri. Jika Devigny kabur, Gimenez harus ikut serta. Tak ada jalan lain.
Devigny tidak punya pilihan lain kecuali mempercayai orang asing ini.
"Begini," bisiknya, "Aku sudah selesai di sini. Kapan saja," Ia menarik garis di lehernya dengan jarinya.
"Aku merencanakan kabur dari sini, dan aku segera mewujudkannya. Kau harus ikut denganku. Mereka akan menembakmu jika kau tinggal, dan tidak akan membiarkan aku lolos begitu saja."
Gimenez tampak begitu ketakutan.
"Aku tidak akan membiarkan engkau kabur," jawabnya cepat. Suaranya terdengar dipenuhi rasa takut dan putus asa. Tak dapatkah kau lihat, aku sudah cukup bermasalah?"
"Terserah, kawan," kata Devigny."Tetapi jangan harap mereka tidak akan menyiksa apalagi membunuhmu, hanya karena kau masih remaja. Ikutlah denganku. Kalau kau tinggal, kau akan mati. Kalau kau kabur, setidaknya kau punya kesempatan."
Gimenez menarik napas dalam-dalam, napas yang penuh masalah.
"Baiklah," jawabnya pelan. Kemudian keduanya terdiam.
*
Maka, malam hari tanggal 24 Agustus 1943, Devigny dan Gimenez berusaha melarikan diri. Tahap pertama tidak sulit. Setelah para penjaga istirahat, kedua tahanan ini menyelinap keluar melalui jeruji pintu kayu yang sudah dilonggarkan sebelumnya. Selanjutnya, jendela loteng. Devigny berdiri di atas bahu Gimenez dan berusaha membuka kaca jendela itu.
Belum apa-apa ia sudah kelelahan, dalam hati ia bertanya-tanya apakah dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan pelarian yang pastinya akan melelahkan. Untungnya, kaca jendela itu mudah dibuka. Devigny segera naik ke atap. Gimenez menyusul menggunakan tali.
Di atap, mereka menghirup udara dingin yang segar sampai ke dalam paru-paru. Keduanya bisa merasakan udara kebebasan. Malam begitu tenang dan cerah, meski tanpa sinar bulan. Dengan diterangi cahaya lampu penjara, situasi ini sangat sempurna untuk kabur.
Cahaya lampu memang jadi satu keuntungan bagi mereka, tetapi suara sepelan apa pun akan membangunkan penjaga. Keberuntungan ada di pihak mereka lagi. Sebuah kereta melintas di sisi penjara, dan setiap sepuluh menit, kereta barang melintas dengan suara bising.
Setiap kali kereta-kereta tersebut melintas, suara bisingnya menutupi gerak-gerik mereka selama satu atau dua menit.
Mereka bergerak maju ke tepi blok, lalu melempar pandang ke bawah, melihat halaman. Mata mereka sudah terbiasa dengan gelapnya malam. Posisi penjaga terdeteksi melalui nyala api di ujung rokok yang dihisapnya, atau dari kilauan mata ikat pinggang atau bayonetnya.
Sementara itu Devigny melihat seorang penjaga yang berdiri tepat di rute jalan yang harus mereka lalui. Orang itu harus mati.
"Dengar, ini yang harus kita lakukan," bisik Devigny pada Gimenez. "Pada saat yang tepat aku akan turun dan menghadapi penjaga di situ, sementara kau tunggu di sini. Kalau kita sudah bisa lewat, aku akan bersiul satu kali. Jadi perhatikan baik-baik!"
Gimenez kelihatan sangat ketakutan.
"Kalau kita membunuh penjaga, mereka akan menembak kita di tempat!" katanya.
la kesulitan menelan air ludahnya, matanya penuh dengan rasa takut. Devigny bicara dengan tegas sambil menepuk bahu kawannya itu.
"Kita memang sudah mati, Gimenez. Kecuali kalau bisa keluar dari tempat ini."
Jam di penjara membunyikan tanda waktu tengah malam ketika mereka masih berdiri di atas atap. Seiring dengan bunyi dentang jam, terjadi rotasi pergantian penjaga. Terdengar suara salam yang datar, dan penjaga baru pun menempati posisi, berjaga di malam yang panjang. Devigny mengulurkan talinya di tengah kegelapan.
Saking gelapnya, ia tidak tahu apakah tali itu bisa sampai menyentuh tanah atau tidak. Ketika tali sudah tidak bisa diulur lagi, ia mengayunkan dirinya melewati pipa dan mendarat di sisi sebelah blok. Karena tidak hati-hati, tangannya terluka terkena kawat pada talinya. Ia masih beruntung.
Talinya cukup panjang sampai menyentuh halaman. Di sana ia menunggu, berlindung di bawah bayang-bayang, dan begitu kereta api melintas, ia berlari sekuat tenaga seberang halaman. Di hadapannya berdiri seorang penjaga.
Devigny melihat sekilas pada penjaga itu dengan rasa iba. Di sana, penjaga itu berdiri, bosan, menunggu giliran jaganya habis, mungkin merindukan sarapan hangat dan kasur empuk. Tetapi, demi menyelamatkan dirinya dan kabur dari situ, Devigny terpaksa membunuhnya.
Penjaga tersebut membalikkan tubuh ke arahnya, Devigny pun muncul dari balik bayang-bayang. Ia mencekik leher penjaga itu dan membunuhnya dengan bayonetnya sendiri.
Mayat penjaga itu diseret untuk disembunyikan di balik bayang-bayang. Sepatu botnya mengeluarkan suara karena diseret. Devigny menunggu sebentar, mencoba mengetahui kalau-kalau perkelahian singkat tadi terdengar penjaga lain, tetapi malam itu masih sesunyi sebelumnya.
Ia bersiul dengan nada rendah, dalam sekejap Gimenez sudah bersamanya. Jalan menuju blok selanjutnya aman, tapi Devigny gemetar karena kelelahan dan rasa takutnya tadi, bahkan terlalu lemah untuk memanjat tembok.
“Kau pergi duluan,” bisiknya pada Gimenez.“Aku kehabisan tenaga untuk memanjat."
Setelah memanjat tembok, Gimenez mengulurkan tali itu pada Devigny yang membuatnya sadar bahwa rekan sepenanggungannya ini berperan penting dalam pelarian mereka, dan bukanlah penggangu seperti yang ia duga sebelumnya.
Mereka bergegas menyeberangi atap blok itu, lalu mengintip ke sekeliling. Mereka sudah berada di tepi luar penjara. Di depan, berdiri tembok setinggi lima meter memisahkan mereka dengan kebebasan.
*
Tetapi, ketika sedang merayap di atap, suara decit aneh menusuk telinga mereka.
"Apa itu?" tanya Gimenez.
Mereka segera tahu sumber suara tersebut. Di bawah, seorang penjaga mengendarai sepeda berkeliling di antara bangunan penjara. Ia berkeliling di antara gedung setiap tiga menit.
Begitu dekatnya mereka dengan kesuksesan, Devigny sudah tidak sabar untuk segera lolos dari penjara. Sel mereka kosong, kaca jendela loteng terbuka, dan yang paling buruk: mayat seorang penjaga terbaring di balik bayang-bayang.
Kapan saja, seorang penjaga lainnya akan menemukan bukti-bukti adanya usaha untuk kabur lalu menyalakan alarm. Dalam setiap menit yang berjalan, risiko ketahuan semakin besar. Namun, Devigny menyimpan semua itu dalam hatinya. Ia tidak ingin membuat Gimenez panik.
Kemudian, peluang mereka untuk lolos semakin buruk saja.
"Dengar," kata Devigny, "Aku bisa mendengar suara di bawah. Pasti ada dua orang penjaga tepat di bawah kita"
Tetapi, ketika sepeda dikayuh menjauh, mereka sadar bahwa penjaga itu berbicara pada dirinya sendiri tadi. Keduanya menghela napas panjang sebagai tanda kelegaan dan kesiapan mereka untuk melaksanakan langkah terakhir.
Bersamaan dengan dentang jam tiga kali, Devigny melempar tali ke luar tembok. Bingkai lampu terkait di tembok. Mereka mengikat ujung lainnya ke cerobong asap dan bersiap untuk menyeberang.
Pada waktu itu, penjaga bersepeda tadi memutuskan untuk beristirahat. Ia memarkir sepedanya tepat di bawah mereka dan berdiri di sana sambil mendesah.
Devigny dan Gimenez tak percaya mereka begitu sial. Menit demi menit berlalu, mereka menunggu alarm dibunyikan. Di ufuk timur, sinar pucat menyentuh ujung langit. Fajar tiba sebentar lagi. Untungnya penjaga itu tidak pernah menengadah ke atas dan melihat tali mereka. Ia kembali menaiki sepedanya dan pergi.
Sekarang atau tidak selamanya. Namun ketegangan terlalu jelas bagi keduanya. Devigny berbicara dengan lembut, "Kau pergi dulu Gimenez, aku menyusul.
"Tidak," sahut remaja itu ketakutan "Bagaimana jika tali itu putus? Bagaimana jika aku ketahuan dan ditembak? Bagaimana jika aku jatuh? Kau duluan, aku menyusul."
Kesabaran Devigny sampai pada batasnya. Ia mengancam, "Pergi sekarang, atau kuhabisi kau."
Bisikan percakapan berlangsung di antara mereka. Tiba tiba Devigny melompat ke tali dan menarik tubuhnya secepat mungkin. Gimenez mengikutinya tak lama kemudian. Meski sudah di luar tembok, keduanya terus menarik tubuh masing-masing, sampai mereka tiba di tempat yang cukup rendah untuk melompat.
Masing-masing jatuh dengan suara pelan. Mereka sudah bebas, Penjara tidak mempunyai seragam, jadi Devigny dan Gimenez bisa berbaur dengan para buruh yang berangkat kerja ke sebuah pabrik pagi itu. Pada saat sel kosong mereka dan mayat penjaga diketahui, dua buronan itu sudah jauh menghilang di daerah luar kota.
Selanjutnya
André Devigny kabur ke Swiss, lalu pergi ke Afrika Utara untuk bergabung dengan angkatan bersenjata Prancis. Setelah perang berakhir, Presiden Prancis Jenderal De Gaulle menganugerahinya medali Cross of Liberation, dan mengangkatnya menjadi agen rahasia senior Prancis.
Pada 1957, seorang sutradara kebangsaan Prancis bernama Robert Bresson memproduksi film yang mengisahkan pelarian dari Montluc. Film tersebut mengambil lokasi syuting di penjara, bahkan para pemerannya juga menggunakan tali yang sama seperti yang digunakan Devigny dan Gimenez. Devigny diminta menjadi penasihat produksi. Ia pensiun tahun 1971, dan meninggal tahun 1999.
Gimenez, rekan sepelariannya, tidak terlalu beruntung karena ditangkap kembali. Walau nasibnya tidak diketahui secara pasti, kemungkinan besar ia dihukum mati.
Kepala penjara, Klaus Barbie, kabur ke Bolivia setelah perang. Ia ditangkap dan dibawa ke Montluc pada 1983. Ia diadili dan dijatuhi hukuman seumur hidup atas dakwaan kejahatan perang, kemudian meninggal pada 1991. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)
Intisari Plus - Beberapa kasus pembunuhan dan perampokan terjadi di Prancis. Pelakunya, berkeliling ke beberapa tempat untuk melakukan aksinya. El Bandito sempat membuat polisi dan detektif kewalahan.
------------------
Lyon, Prancis Selatan, tanggal 18 Februari 1983, pukul 03.15. Lobi Hotel Bristol yang menghadap ke stasiun sangat lengang. Cuma ada dua orang pria di situ. Yang seorang adalah resepsionis hotel, merangkap penjaga malam dan penjaga pintu. Namanya Angelo Perret.
Pria yang seorang lagi adalah tamu hotel. la sedang menunggu pacarnya pulang bekerja di kelab malam. Pintu lift terbuka dan seorang pria berumur awal 30-an keluar. la berjalan mengeliling lobi, lalu masuk lagi ke lift.
"Penghuni kamar no. 306," kata Perret kepada tamu hotel. Tak lama kemudian pintu lift terbuka lagi. Penghuni kamar no. 306 muncul kembali. Sekali ini ia membawa koper kecil yang ditaruhnya di atas meja. Koper itu dibukanya dan tiba-tiba saja kedua pria di lobi hotel itu sudah ditodong dengan senjata api yang dikeluarkan dari koper itu. Penghuni kamar no. 306 itu memberi perintah dalam bahasa Prancis yang sangat buruk ucapannya, sehingga sulit dipahami.
Tamu hotel yang refleksnya sangat cepat, keburu menyuruk ke belakang meja paling dekat. Dari sana dilihatnya penghuni kamar no. 306 menaruh senjata apinya, lalu menghunus sebilah belati besar yang ditikamkannya ke perut Perret. Perret mengaduh dan terhuyung-huyung melarikan diri menuju ruang tempat menyimpan seprai dsb.
Kesempatan itu digunakan oleh tamu yang bersembunyi di belakang meja untuk melarikan diri ke kamarnya melewati tangga. la mengunci pintu, lalu meraih telepon. Namun, tanpa bantuan resepsionis yang menangani switchboard ia tidak bisa menelepon ke mana-mana. Saking takutnya, ia mendorong meja dan perabot apa saja yang bisa digesernya untuk mengganjal pintu.
Seperempat jam kemudian telepon di kamarnya berdering. Pacarnya marah-marah, karena ia tidak menunggu di lobi. Lobi kosong!! Tamu itu memberanikan diri untuk turun ke lobi. Betul kosong! Dari sana ia menelepon polisi. Baru setelah polisi datang ia berani pergi ke ruang yang tadi dimasuki Perret. Resepsionis hotel berbintang tiga itu ternyata sudah tewas kehabisan darah.
Tamu itu bisa menjelaskan dengan cukup rinci bagaimana rupa si pembunuh. Pria itu berumur antara akhir 20-an dan awal 30-an, katanya. Kulitnya berwarna agak gelap. Rambutnya yang hitam jatuh ke kening. Kumisnya yang tipis pun hitam. Penampilannya memberi kesan ringkih. Bahasa Prancisnya sulit dipahami, karena lafal Spanyolnya sangat kental.
Polisi memeriksa daftar tamu hotel itu. Kamar no. 306 dihuni oleh Fernando Dome. Setelah dicek, ketahuan baik nama maupun alamat yang tertera di daftar tamu itu palsu.
Memangsa penjaga malam lagi
Dua jam setelah Angelo Perret ditikam, yaitu pada pukul 05.15 itu juga, Alain Cardot (23) menata meja untuk sarapan para tamu bersama wanita pelayan bernama Yvonne Fischer (53). Cardot adalah penjaga pintu Hotel Ibis di Valence, 90 km di sebelah selatan Lyon. la sedang kebagian tugas berjaga malam.
Seorang pria berkumis hitam tipis muncul ke ruang tempat sarapan itu, meminta secangkir kopi. Sebelum wanita pelayan sempat memenuhi permintaannya, si Kumis Tipis sudah mengeluarkan sepucuk senjata api dari balik jasnya. Karena ketakutan, Cardot dan Fischer tidak melawan saat mereka diikat ke kursi. Mulut mereka disumpal dengan serbet makan.
Si Kumis Tipis mencoba membuka laci uang elektronik, tetapi tidak berhasil karena tidak tahu caranya. Dengan tenangnya ia melepaskan Cardot dari kursi, tetapi tidak membuka ikatan tangan penjaga pintu itu.
Cardot dibawa ke hadapan alat itu, lalu dada kirinya ditusuk perlahan-lahan dengan sebilah pusut. Karena tusukan ke arah jantung itu makin lama makin dalam, Cardot menjadi panik. Terpaksa ia menjelaskan cara membuka laci uang itu.
Di dalamnya cuma ada uang 300 frank. Saking mengkalnya, si Kumis Tipis menghantam wajah Cardot dan Fischer beberapa kali dengan senjata apinya.
Lima hari kemudian, tanggal 23 Februari, si Kumis Tipis muncul di tempat parkir bawah tanah Solhotel di Cannes, sekitar 250 km dari Valence. la naik lift sampai tingkat paling atas, lalu lewat atas ia melompat ke balkon dan memasuki kamar yang sedang ditiduri oleh sepasang turis Belanda, Jan dan Katarina Smidt.
Jan ditodong, tetapi ia melawan. Akibatnya, kakinya ditikam. Terpaksa Jan menyerah. Si Kumis Tipis mengambil uang mereka sebesar 700 frank dan perhiasan mereka yang cuma sedikit. Karena tidak puas, si Kumis merobek-robek paspor mereka sampai menjadi robekan kecil-kecil dan menginjak-injak kacamata Jan sampai hancur. Setelah itu ia keluar lewat pintu.
Keesokan harinya, malam-malam ia mendatangi Hotel Palma di Cannes juga. Korban sekali ini Robert Bergel (56), resepsionis hotel. Si Kumis marah karena Bergel tidak mau membuka lemari besi. Jadi, Bergel diikatnya di kursi, lalu tangannya ditikam. Ketika Bergel tetap membandel, pahanya yang ditikam. Lama-kelamaan Bergel takut mati juga. Terpaksa kombinasi kunci lemari besi ia beri tahu. Si Kumis berhasil menguras 5.000 frank.
Anjing gila
Tentu saja kasus di Solhotel dan Hotel Palma ini dilaporkan ke polisi Cannes. Penodong di dua tempat itu memiliki penampilan yang mirip, sehingga diduga orangnya sama. Polisi pun menyebarkan sketsa wajah si Kumis Tipis ke seluruh negara, lengkap dengan keterangan perihal kejahatan yang dibuatnya.
Polisi Lyon dan Valence pun menghubungi rekan mereka di Cannes. Dibentuklah suatu komisi khusus untuk menangkap si Kumis Tipis. Komisi itu dikepalai oleh Inspektur Jules Grandin dari bagian penyidikan kriminal di Cannes.
Mereka segera mendapat laporan perihal kasus baru. Tanggal 1 Maret, wanita pembersih kamar di Hotel Brice di Kota Nice, masuk ke kamar no. 7. Didapatinya lantai kamar mandi digenangi darah. Darah itu berasal dari seorang pria berumur 57 tahun, Nicolas Defeo, yang malam itu bertugas sebagai resepsionis hotel.
Kamar no. 9 yang terletak di sebelahnya dihuni oleh seorang tamu yang mengaku bernama Antonio Arrete. Saat itu Arrete sudah tidak ada di kamarnya. la digambarkan masih muda, berkulit gelap, ringkih, dan berkumis hitam tipis. Bahasa Prancisnya seperti keluar dari mulut "sapi betina Spanyol".
"Pembunuh itu bukan sapi betina, tetapi anjing gila!" komentar Inspektur Grandin. "Bayangkan saja: ia tidak mengubah penampilannya, ia sering menyerang dan selalu berpindah-pindah." Nice adalah kota pantai juga seperti Cannes dan jaraknya cuma 30 km dari Cannes.
"Kita mesti memberi tahu polisi di seluruh Prancis agar waspada dan membantu kita mencari. Kalau kita kurang cepat, pembunuh itu pasti akan makan korban jiwa lagi. Sekarang saja sudah dua orang tewas."
Karena dua kejahatan terakhir terjadi di pantai L. Tengah yang disebut Cote d'Azur, maka hotel-hotel berbintang tiga sepanjang pantai wisata itu diberi tahu agar waspada. Si Kumis Tipis biasanya mengunjungi hotel kelas itu. Untunglah saat itu belum musim liburan, sehingga tidak terlalu banyak hotel yang buka.
Ternyata sasaran si Kumis Tipis bukan Cote d'Azur, melainkan lebih ke utara, yaitu Grenoble. Korbannya penjaga pintu lagi! Brahim Mrabat (28) sedang bertugas malam di Savoie Hotel ketika disatroni si Kumis Tipis. Pria asal Aljazair itu diringkus, lalu dijejalkan ke bilik telepon di lobi. Penyerangnya meninggalkan dia dengan menggondol 2.000 frank.
Tambah kurang ajar
Walaupun gambaran tentang si Kumis cukup jelas, jati dirinya tidak seorang pun tahu. la tiba-tiba saja muncul, entah dari mana, lalu merampok, melukai, dan membunuh di pelbagai tempat. Hampir bisa dipastikan ia orang Spanyol, tetapi tanpa memiliki sidik jarinya, polisi Spanyol tidak bisa mengindentifikasi penjahat itu.
Inspektur Grandin mengirimkan tim penyidik ke Grenoble. Mereka tiba hari itu juga, pukul 20.30. Sejam kemudian, seseorang bernama Rene Foucher ditembak pahanya di tempat parkir bawah tanah milik gedung apartemen yang ditinggalinya.
Tadinya Foucher mendengar suara-suara yang mencurigakan dari tempat parkir. Karena takut mobilnya dicuri, ia turun memeriksa. Di sana ia berhadapan dengan seorang pria muda berkumis tipis. Si Kumis menyuruh Foucher enyah dengan bahasa Prancis campur Spanyol. Buru-buru Foucher menyingkir. Namun karena sayang memikirkan mobilnya, ia kembali. Saat itulah si Kumis menembak pahanya lalu pergi.
Foucher bersusah payah mencapai telepon. Beberapa menit setelah laporannya masuk, polisi sudah mengurung tempat itu. Polisi yang sedang tidak bertugas dipanggil untuk membantu menyisiri daerah itu. Rumah demi rumah didatangi. Stasiun kereta api dan terminal bus dijaga ketat. Hasilnya, 14 orang diciduk.
Sebagian besar dari 14 orang itu ketahuan melakukan pelbagai pelanggaran, tetapi si Kumis Tipis tidak ditemukan di antara mereka. Tanggal 9 Maret, pembunuh buronan polisi itu malah muncul di Toulon, pangkalan AL Prancis yang letaknya kira-kira 30 km di sebelah timur kota Marseille. Sekali ini ia menculik dan memperkosa seorang pelayan toko yang cantik, yaitu Marie-Christine Artus yang berusia 18 tahun.
Gadis pirang yang menarik itu pulang dari tempat kerjanya pukul 19.00. Di dalam lift ia bertemu dengan seorang pria bercelana jins dan kaus biru tua. Pria muda itu berkumis tipis.
Begitu pintu lift tertutup, pria itu mencabut senjata api yang ditodongkannya ke kepala Marie-Christine. Dalam bahasa Prancis yang patah-patah ia memaksa ikut ke apartemen Marie-Christine. Karena ketakutan, Marie-Christine menurut. Di dalam apartemen, Marie-Christine mencoba menakut-nakuti si Kumis. Katanya, pacarnya sebentar lagi datang, lebih baik si Kumis pergi. Di luar dugaan, pemuda ini malah menantang, "Kita tunggu dia," katanya.
Pacar Marie-Chrisitine benar-benar datang. la disambut dengan moncong senapan sampai nyalinya ciut.
"Kami ditunggu teman-teman," katanya berbohong. "Mereka pasti curiga kalau kami tidak muncul."
"Telepon mereka. Batalkan janji!" perintah si Kumis.
"Kami tidak punya telepon." Si Kumis menyatakan akan mengantar Marie-Christine ke telepon umum. Pacar gadis itu disuruh menunggu di apartemen dan diancam jangan berani melapor kepada siapa pun.
Marie-Christine menganggap ini kesempatan untuk memberi isyarat kepada orang lain perihal keadaannya. la tidak menelepon teman, sebab mereka memang tidak berjanji untuk bertemu dengan siapa pun sore itu. la menelepon orang tuanya, memberi tahu ia beralangan datang malam ini. Sebenarnya ia tidak berjanji untuk datang. la berharap mereka menangkap isyaratnya.
Orang tua Marie-Christine memang menangkap isyarat putri mereka. Buru-buru mereka pergi ke apartemen anaknya itu. Mereka menemukan pacar anaknya sedang kebingungan. Si Kumis ternyata tidak membawa sanderanya kembali ke apartemen. la mengambil kunci mobil dari tas korbannya. Marie-Christine dipaksanya menunjukkan mobilnya. Setelah itu ia menodong gadis itu agar mengemudikan kendaraannya ke arah utara.
"Mau ke mana kita?" tanya Marie-Christine sambil menangis.
"Ke mana saja!" jawab penculiknya.
"Siapa kamu?" tanya korbannya.
"Panggil saja aku El Bandito!"
Di perjalanan El Bandito membual. Katanya, ia datang dari Uruguay. Dibukanya kancing bajunya, sehingga tampak bekas luka panjang di dadanya. "Aku pelarian politik! Pejuang kemerdekaan!" bualnya. “Mereka menangkapku, menggebuki aku dengan kawat berduri. Aku kabur! Pacarmu beruntung. Kalau tadi ia berani melawan, aku kebiri dia!"
Ketika tiba di Cavaillon, El Bandito memesan sebuah kamar untuk mereka berdua di Pergola Hotel. Mereka menginap di sana. Keesokan harinya Marie-Christine disuruh mengemudi ke Saint-Raphael di Cote d'Azur. Letak tempat itu cuma 15 km dari Cannes. Dekat stasiun, Marie-Christine dilepaskan. "Ini untuk membayar bensin!" kata El Bandito seraya melemparkan uang 200 frank.
Begitu El Bandito lenyap di antara 0rang-orang dekat stasiun, Marie-Christine berlari ke sebuah kafetaria untuk menelepon polisi. Tak lama kemudian ia sudah dikelilingi polisi. Saat itu Marie-Christine baru tahu kalau penculik dan pemerkosanya itu tak lain daripada pembunuh yang sedang dicari-cari polisi.
Pak kolonel disandera
Gambaran yang dimiliki oleh polisi mengenai El Bandito bertambah lengkap berkat keterangan Marie-Christine Artus. Pembunuh itu memiliki tanda bekas luka panjang di dada dan di ibu jari tangan kanannya.
Walaupun polisi Saint-Raphael gesit menangani pengaduan dari korban El Bandito, tetapi bandit itu sendiri lolos.
Stasiun Saint-Raphael ramai karena kereta yang datang dan pergi cukup kerap. Tidak ada orang yang ingat pernah melihat pria yang mempunyai ciri sebagaimana El Bandito.
"Jangan-jangan dia tidak naik kereta, cuma pura-pura saja masuk ke stasiun. Mungkin ia masih bersembunyi di Saint-Raphael," kata Inspektur Grandin.
Dugaan Pak Inspektur keliru. Tanggal 12 Maret El Bandito muncul di Marseille. la mencoba masuk ke apartemen seorang ibu guru cantik bernama Maryse Blanc. Cara yang dipergunakannya sama dengan yang dipakainya pada Marie-Christine Artus. Cuma saja ibu guru ini lebih cerdik dan lebih cekatan. Begitu ditodong masuk ke apartemennya, ia membanting pintu dan menguncinya, sehingga El Bandito tertinggal di luar.
Korban urung itu lalu berteriak-teriak sekuat tenaga sehingga para tetangga keluar. El Bandito terpaksa mengambil langkah seribu. Namun bandit itu tidak jera. Sore itu juga ia berhasil merampok dan memperkosa Ny. Paule Lecornu tidak jauh dari sana. Polisi Marseille pun dikerahkan ke jalan-jalan, sehingga di mana-mana tampak polisi berkeliaran.
Hari itu juga El Bandito naik ke atap sebuah gedung apartemen mewah di 9 rue de la Visitation. Seperti pernah dilakukannya, ia melompat turun ke balkon sebuah apartemen. Pukul 20.00 hari itu, Kolonel (Purn.) Jean Coguillot dan istrinya, Yvette, menjadi sandera El Bandito. Karena mereka melawan, paha kolonel ditembak penyandera. Istrinya luka di bahu. Putri mereka, Therese, turun dari kamarnya di tingkat yang lebih atas, karena mendengar suara tembakan. la dipaksa menyerahkan uang 2.000 frank, arloji, beberapa cincin, dan perhiasan lain.
El Bandito meninggalkan apartemen lewat pintu. Begitu El Bandito pergi, Therese menelepon polisi. Dalam waktu beberapa menit saja, polisi sudah tiba. Namun, Elbandito sudah raib.
Kembali ke sarang harimau
“Sungguh keterlaluan," kata Inspektur Grandin. "Penjahat itu merampok, memperkosa, mencederai, dan membunuh di depan mata, tanpa kita mampu menangkapnya. Padahal kita tahu jelas bagaimana rupanya, cara kerjanya, dan bahkan kita memiliki contoh cairan maninya!"
Dokter polisi berpendapat El Bandito itu waras, karena tindakannya rasional, tujuannya jelas. Cuma saja orang ini tidak mengindahkan moral. Apa yang diinginkannya akan diambil. Apa yang mengalanginya akan dihabisi.
Polisi Uruguay tidak memiliki berkas kejahatan El Bandito, Fernando Dome, maupun Antonio Arrete. Jelas itu bukan nama aslinya atau nama yang biasa ia pakai. la berbahasa Spanyol, tetapi negara yang berbahasa Spanyol banyak.
Seakan-akan ingin menantang polisi, El Bandito datang ke Cannes. Hari itu tanggal 17 Maret. (Kemudian polisi baru tahu bahwa hari itu El Bandito berulang tahun ke-35). la naik ke atas atap gedung di 8 rue du General Ferrie.
Lewat atap ia berhasil masuk ke kamar tidur Pierre dan Paulette Cohen. Karena tamu tak diundang itu membawa senjata api dan belati, suami-istri lanjut usia itu tidak berani berkutik. Apalagi mereka takut cucu perempuan mereka yang sedang tidur di kamar sebelah dicederai.
Tanpa banyak cingcong mereka membiarkan harta mereka dikuras, berupa uang 8.000 frank dan 200.000 lira, ditambah sejumlah perhiasan dan buku cek.
Cohen disuruh menandatangani cek sebesar 20.000 frank. Lalu El Bandito berkata, ia ingin menginap supaya besok pagi bisa mencairkan uang tanpa kesulitan bersama suami-istri itu di bank. la meminta dimasakkan makan malam dan bahkan dikeramaskan karena katanya rambutnya sudah kotor. Kedua suami-istri itu terpaksa menurut.
Keesokan paginya mereka menemani El Bandito ke bank. Setelah mengambil uang, suami-istri Cohen diantarkan kembali ke apartemennya. El Bandito mengucapkan terima kasih, sambil mengancam akan mencederai kalau mereka cepat-cepat melapor ke polisi. Cohen menunggu seperempat jam sebelum menelepon yang berwajib. Polisi mengawasi dengan ketat semua jalan keluar dari Cannes.
Potret-potretan
Menjelang tengah hari, El Bandito sudah berada di Saint-Raphael lagi. la pergi ke sebuah toko perhiasan milik suami-istri Veron-Roque di rue Gounod. Sang Istri meminta El Bandito menunggu suaminya datang. El Bandito menyatakan akan kembali. Sambil menunggu ia pergi memesan kamar di hotel yang berdekatan, yaitu Hotel Geneve. Pemilik hotel, Maurice Chenaud, memberinya kamar no. 41. Sama sekali tidak terpikir oleh Ny. Veron-Roque dan Chenaud bahwa tamu mereka tidak lain daripada pembunuh yang sedang dicari-cari polisi.
Di restoran hotel, El Bandito makan dengan lahap. Lalu di kamarnya ia bercanda dengan wanita pembersih kamar yang dipotretnya beberapa kali, ia juga meminta wanita itu memotretnya beberapa kali.
Dari hotel, El Bandito kembali ke toko perhiasan Veron-Roque. Pemilik toko menaksir dua cincin mirah seharga 40.000 frank, sedangkan sebuah cincin zamrud dan dua cincin berlian dihargai di atas itu.
Esok paginya, ketika Claude Veron-Roque dan Maurice Chenaud menerima koran, jantung mereka serasa copot. Soalnya, di halaman depan terpampang sketsa El Bandito, pembunuh, perampok, dan pemerkosa yang nekat. Pelayan pembersih kamar di Hotel Geneve bahkan pingsan!
Pemilik toko perhiasan dan pemilik Hotel Geneve segera menghubungi polisi. Kamar no. 41 dikepung. Seperti yang sudah-sudah, El Bandito tidak ditemukan. Cuma saja pembunuh itu rupanya berniat kembali, sebab ia meninggalkan tiga senjata api, sebilah belati, sejumlah peralatan maling, dan juga sebagian besar perhiasan Ny. Cohen, di samping uang sebanyak 50.000 frank.
Karena ia pernah berkata akan pergi ke Marseille kepada Veron-Rogue, maka beberapa puluh polisi ditempatkan di Stasiun Saint-Raphael. Beberapa puluh lagi berjaga di hotel. Polisi Cannes diberi kamar dan mereka pun bergegas datang.
Jatuh hati
Beberapa menit sebelum pukul 20.00, seorang inspektur berpakaian preman melihat seorang pria muda berkumis hitam tipis turun dari kereta api yang baru datang dari Marseille. Ketika pria itu mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji, kelihatanlah ibu jarinya memiliki parut bekas luka.
Inspektur itu memberi isyarat kepada anak buahnya. Tiba-tiba saja El Bandito mendapatkan dirinya ditelikung, sementara moncong sebuah pistol polisi ditodongkan ke depan hidungnya. Sekelilingnya orang-orang berpakaian preman mengurung rapat. Dalam waktu beberapa detik saja, semua senjata yang dibawanya sudah dilucuti.
"Que pasa?! (Apa yang terjadi?!)" serunya kaget tapi loyo karena menyadari dirinya tidak berdaya. Inspektur membuka kancing baju El Bandito. Tampaklah bekas luka besar di dada, seperti yang digambarkan oleh Marie-Christine Artus. Identifikasi El Bandito positif. Petualangannya pun berakhir di situ.
El Bandito diangkut ke markas besar polisi di Cannes. la tidak melawan dan mengakui semua tuduhan. Perihal dirinya, ia masih mencoba mengibuli polisi. Katanya, namanya Pedro Hechauge, kelahiran Uruguay, tetapi warga negara Spanyol. Istrinya, Maria Fernandez, berada di Madrid. Padahal ia bernama Fernando Alonso de Celada, kelahiran Buenos Aires, Argentina. Tidak banyak diketahui perihal orang tuanya, tetapi ia sendiri sudah menjadi pelanggan penjara sejak berumur 13 tahun. Jarang sekali ia hidup di luar penjara selama lebih dari setahun.
Tanggal 13 Februari 1979, ia menikah dengan seorang wanita yang cuma dikenal sebagai Azbiga. Di mana Azbiga sekarang tidak diketahui. Tahun 1980 Fernando melarikan diri dari Argentina. "Tak tahan menghadapi istri," begitu alasannya. Berturut-turut ia pergi ke Brasil, Kepulauan Kanari, dan Spanyol. Di ketiga negara itu ia sempat dipenjara. Januari 1983 ia tiba di Prancis.
El Bandito dihadapkan ke meja hijau tanggal 2 November 1987. Di sini ia mungkir memperkosa. Katanya, wanita-wanita korbannya yang merayu ia untuk bercumbu. la juga menyangkal merampok keluarga Cohen. Katanya, suami-istri lanjut usia itu begitu jatuh hati kepadanya, sampai ia disuruh menginap, dimasaki hidangan malam, dan dikeramasi. Mereka juga dengan sukarela menyerahkan harta benda mereka kepadanya.
Tak diketahui apakah para juri percaya kepadanya. Namun yang jelas ia tidak bisa memberi alasan bahwa Angelo Perret dan Nicolas Defeo secara sukarela meminta disembelih olehnya.
Beberapa ahli psikologi dipanggil sebagai saksi ahli. Hampir semua menyatakan Fernando Alonso de Celada waras dan berbahaya bagi manusia lain apabila dibiarkan berkeliaran.
Juri rupanya sependapat dan hakim pun menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada pria yang menamakan dirinya El Bandito itu. (John Dunning)
" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350708/akhir-petualangan-el-bandito" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530932000) } } }