array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3517218"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/tiga-nyawa-untuk-selamatkan-duni-20221009071910.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(142) "Kehidupan pasangan Kip dan Lori bak dongeng. Namun sembilan hari setelah Natal, keluarga itu ditemukan tewas mengenaskan di kediaman mewahnya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/tiga-nyawa-untuk-selamatkan-duni-20221009071910.jpg"
      ["title"]=>
      string(33) "Tiga Nyawa untuk Selamatkan Dunia"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-10-09 19:19:39"
      ["content"]=>
      string(30177) "

Intisari Plus - Kehidupan pasangan Kip dan Lori bak dongeng. Namun sembilan hari setelah Natal, keluarga itu ditemukan tewas mengenaskan di kediaman mewahnya.

-------------------

Kehidupan pasutri Kip Rennsler (34) dan Lori (28) bak sebuah dongeng. Tinggal di Pulau Bainbridge yang sangat indah, dekat Washington, tempat impian banyak orang di Amerika Serikat. Setiap 30 menit, kapal feri berseliweran pulang-pergi, mengangkut para penghuni pulau tersebut yang bekerja di Seattle. Bainbridge telah memesona para eksekutif dan profesional berpenghasilan di atas rata-rata, untuk tinggal di sana.

Karier Kip sendiri tengah menanjak, saat ia membeli rumah di pulau itu. Saat baru menginjak awal tiga puluh, ia sudah menduduki jabatan wakil presdir Old National Bank di kantor pusat Seattle. Penghasilannya yang lumayan itu pula yang membuat Lori, istrinya yang cantik yang bekerja di tempat yang sama, tidak lagi perlu bekerja. Mereka telah menikah enam tahun dan dikaruniai seorang putra: Steven “Stevie” Daniel Rennsler.

Walau terkadang Kip harus lembur, tapi dengan ditemani seekor anjing tekel dan Stevie, Lori tidak takut berada di rumah yang agak terpencil itu. Angka kejahatan di Bainbridge memang rendah. Perampok dan pemerkosa lebih memilih beroperasi di dataran kering karena bisa lebih leluasa melarikan diri melewati jalan biasa daripada harus repot dengan kapal feri.

Begitulah, keluarga bahagia ini telah melewati hari Natal keenam dengan indahnya. Lori menata lampu-lampu dan mendekorasi ruangan, sementara Stevie yang sudah agak besar begitu antusias dengan “Sinterklas”. Mereka pun menjamu para kerabat, dengan suasana gembira.

 

Noda di pesawat telepon

Tak seorang pun menyangka, sembilan hari sesudah Natal, peristiwa mengerikan terjadi di kediaman keluarga Rennsler.

Tepatnya, tanggal 3 Januari, pukul 14.21. Max Abrams, petugas di kantor sheriff Wilayah Kitsap, sedang bersiap-siap pulang ketika tiba-tiba telepon berdering.

“Tolong, Pak, cepat kirim orang ke sini!” terdengar suara seorang wanita panik di seberang sana. “Saya menemukan tetangga saya tergeletak di rumahnya, dadanya luka parah. Kelihatannya, ia sudah mati!” tambahnya.

Abrams berusaha menenangkan wanita itu, “Tolong tenang dan berhati-hati, Bu. Kami segera mengirim petugas ke lokasi.”

Begitu memperoleh alamat lengkap, Abrams langsung menghubungi Bill Clifton, kepala detektif. “Saya tidak tahu persis apa yang terjadi, Bill. Tetapi wanita yang tadi menelepon itu agaknya shock sekali. Saya sudah mengirim beberapa unit ke sana.”

Lewat darat, jarak kantor sheriff Port Orchard dengan lokasi kejadian di Ferncliff, sekitar 64 km. Clifton mengirim Sersan Don Hamrich untuk memeriksa situasi, ditemani Les Cline, ahli olah tempat kejadian perkara (TKP).

Don Hamrich tak lama kemudian menghubungi Bill Clifton. “Sebaiknya Anda cepat ke sini. Bill,” suara Hamrich terdengar tegang. “Agaknya ada kasus pembunuhan triple. Seorang pria, dengan luka tikam di dada, seorang perempuan dan seorang anak juga mati. Enggak tahu, apa masih ada lagi korban,” lapor Hamrich.

“OK. Tutup rapat rumah itu. Jangan biarkan ada yang masuk sampai tim identifikasi tiba,” tegas Clifton, seraya menyambar jaket dan menuju mobilnya. Sesaat ia berhenti sebentar, minta Abrams menghubungi semua petugas sheriff yang terkait. Walau cuma berjarak 1 mil ke Pulau Banbridge - tapi karena lokasi ini terpisah oleh laut, Clifton harus berputar menyusuri garis pantai Puget Sound, melewati Teluk Liberty, Silverdale, persimpangan Keyport, sepanjang 64 km.

Hanya dalam waktu sekitar 45 menit, tepatnya pukul 15.08, Clifton tiba di TKP. Garis polisi di pekarangan rumah Rennsler telah dibentangkan oleh deputi dari Kitsap County. Bisingnya bunyi sirene dan kehadiran enam petugas polisi, telah mengundang rasa ingin tahu para tetangga. Suasana suram terasa di hari yang mulai gelap itu. Wajah tegang serta kebingungan para deputi membuat suasana semakin mencekam di sekitar rumah kuning nan indah. Hamrich tampak berjaga di sekitar teras.

Saat Bill Clifton tiba di sana, ia lega melihat hanya ada mobil-mobil unit polisi di sekitar rumah korban. Antara tempat parkir mobil dan rumah Rennsler dipisahkan oleh sebuah selokan cukup lebar yang airnya mengalir ke laut. Untuk bisa sampai ke serambi depan rumah itu, para petugas penyelidik harus melintasi sebuah jembatan yang lebarnya hampir sekitar 1,5 m.

 

Mimpi buruk di TKP

Para petugas memasuki ruang keluarga yang indah bergaya country, lengkap dengan tungku perapian. Sebuah meja bar untuk sarapan dan sebuah pembatas ruangan terlihat memisahkan ruang keluarga dengan dapur rumah itu. Sekilas, keadaan di dalam rumah normal-normal saja.

Sebuah dompet wanita tersandar di pembatas antara ruang tamu dengan dapur. Di dekatnya ada beberapa buku catatan, sebuah kartu ucapan ulang tahun, serta sebuah pesawat telepon. Di pesawat telepon itu penyidik menangkap adanya noda darah tipis yang sudah mengering.

Para petugas mengitari pembatas ruangan itu, dan sampai ke sebuah ruangan lain, yang merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang kerja kecil. Keadaan yang sebelumnya normal, di sini berubah mengerikan! Semua mata petugas terpaku pada sesosok tubuh pria dalam posisi aneh, mengingatkan mereka pada upacara korban penyiksaan ritual orang Aztec. Tubuh pria telanjang bulat itu terbujur kaku, telentang di atas sebuah meja, dengan kedua tumit hampir menyentuh lantai. Kedua lengan terentang lurus dan kepala miring ke belakang.

“Ya ampun, lihat dadanya!!” kata salah seorang deputi. Tubuh pria itu nyaris sempurna. Otot-ototnya terlihat kuat dan menonjol. Ada empat luka parah di dadanya. Satu di antaranya menganga lebar, seakan ada yang ingin mengorek jantungnya keluar. Tak seorang pun dari keempat petugas berpengalaman ini pernah menyaksikan pembunuhan sekejam ini. Berusaha setenang mungkin, Les Cline memotret mayat pria itu.

Selanjutnya, rombongan bergerak menuju dua pintu kamar yang lumayan besar. Di salah satu kamar itu, mereka menemukan sosok seorang wanita, tertelungkup di atas ranjang. Wanita bertubuh ramping itu mengenakan jubah tidur satin panjang berwarna merah berikat pinggang quilt satin putih. Tubuhnya melintang di ranjang dengan kaki menggantung di pinggiran ranjang, dan kedua tangan tertekuk di bawah tubuhnya. Sebilah pisau besar berujung agak bengkok, dan pegangannya berlumuran darah yang sudah mengering, terlihat berada di sebelah kanan kepalanya.

Di dekat kaki mayat wanita tadi, terkulai seekor anjing tekel, yang juga sudah ditusuk mati.

Mata Les Cline yang tiba terakhir di ruangan itu, tertumbuk pada sebentuk benda yang menyembul dari bawah tempat tidur. Kain penutup ranjang menutupi sebagian benda itu, yang ternyata tubuh seorang anak kecil. Kedua tungkai serta kakinya terbungkus piyama. Sepertinya bocah laki-laki dalam posisi telentang itu baru berusia dua atau tiga tahun. la mati dengan luka tusukan di sisi kiri lehernya.

Clifton dan timnya mengitari ruangan itu. Mereka menatap tubuh wanita yang tergeletak di atas seprai mahal tempat tidurnya. Pada mayat wanita itu tak ditemukan setetes pun bercak darah pada bajunya, kecuali ada noda tipis di kerah jubahnya. Bill Clifton berlutut dengan hati-hati di sisi ranjang, dan mengangkat bagian belakang kerah dekat kepala jubah tidur wanita itu.

“Les,” panggil Bill dengan kedua rahangnya tampak mengatup kuat. “Lehernya tidak ada! Seperti ditembak dari jarak dekat. Coba, jangan-jangan ada pistol di balik tubuhnya!”

Dua petugas membalikkan tubuh wanita cantik berambut pirang itu. Tidak ada apa-apa. Tapi, jelas ada sesuatu yang hebat membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya. Sepertinya, seseorang telah membacok lehernya. Selain itu, ada luka tusuk pada dada - sekitar empat atau lima. Para penyidik berasumsi korban mestinya sudah mati saat lehernya menjadi sasaran.

Ketiga dinding ruang tidur itu penuh dengan cipratan dan lumuran darah. Kemungkinan pisau yang ditemukan tadi digunakan untuk menikam berkali-kali. Anehnya, hampir tidak ada tanda-tanda perlawanan.

Selanjutnya, mereka memeriksa dua atau tiga kamar lainnya. Tidak ada lagi mayat yang ditemukan. Tapi di salah satu kamar lain - agaknya kamar si anak - rupanya menjadi tempat pembantaian. Sebuah tempat tidur bertingkat terletak merapat ke dinding. Tempat tidur atas kelihatannya tidak pernah dipakai. Sedangkan kasur tempat tidur bawah berada di lantai, di samping boks bayi. Seluruh seprai dan selimut penuh dengan darah. Begitu juga kain alas boks bayi.

“Aneh!” kata Bill Clifton, “Bagaimana seseorang bisa mengeluarkan darah sebanyak ini, sampai membasahi kasur dan boks? Apalagi kalau cuma seorang anak! Saya rasa, si bocah ada di kasur ini tadinya. Makanya, pada mayatnya hampir tidak ada darah lagi,” kata Clifton.

Kamar tidur ketiga kelihatannya aman, tak terlihat tanda-tanda kekerasan. Kelihatannya kamar itu hanya dipakai untuk menyimpan barang-barang yang tidak dipakai. Kamar mandi juga bersih. Hanya di depan lemari es di dapur, ditemukan sebuah kasa pembalut dan plester, berbentuk jari. Lalu di bak cuci ganda, terlihat ada dua atau tiga cangkir teh dengan teh celup dan beberapa gelas di dalam salah satu bak cuci itu.

Para penyidik Kitsap County belum bisa mengidentifikasi kejadian ini. Mereka menemukan kotak berisi surat-surat dan banyak buku catatan di ruang keluarga maupun ruang kerja. Dari informasi para tetangga maupun kertas-kertas tadi, tak diragukan lagi mayat laki-laki tadi adalah Kip Steven Rennsler, vice president Old National Bank.

 

Informasi para tetangga

Para detektif pun mulai menanyai para tetangga Rennsler satu per satu. Rumah Rennsler memang benar-benar terpencil, sehingga kalaupun mereka berteriak atau minta tolong, pasti takkan terdengar. Belum lagi suara berisik debur ombak di pantai di sekitarnya. 

Tetangga yang tadi menelepon polisi bercerita, “Saya ke rumah Rennsler karena ada kolega Kip di bank sudah menelepon ke rumahnya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Lalu temannya itu minta tolong saya. Karena takut, saya ajak seorang pria tetangga lain. Ketika kami masuk, yang pertama kali kami lihat adalah gagang telepon yang menggantung. Ketika pria yang menemani saya itu masuk ke dalam, ia menjumpai mayat pria. Ia langsung berbalik dan keluar.”

“Tapi, saat kami masuk tadi, telepon kok tidak menggantung,” tanya Clifton. 

“Ya. Pria tetangga itu yang menaruhnya kembali secara refleks,” kata si perempuan lagi.

Ini kabar buruk bagi para penyidik. Berarti mereka tidak bisa memeriksa telepon yang bernoda darah itu yang kemungkinan ada bukti sidik jarinya. Ini bukan pembunuhan biasa - sepertinya pembunuhan maniak.

Wanita tadi menambahkan, saat mereka tiba di TKP, pintu dalam keadaan terbuka. Padahal di bulan Januari itu udara begitu dingin. Mungkinkah para pembunuhnya meninggalkan rumah begitu saja?

Petugas juga menelusuri pekerjaan Kip. Siapa tahu, Rennsler memiliki informasi yang dibutuhkan si pembunuh. Bukan tak mungkin ada seseorang yang menginginkan nomor kombinasi ruang besi tempat penyimpanan uang di bank, lalu menyatroni rumahnya, dan menyandera keluarganya.

Clifton mencoba membuat skenario yang cocok dengan tragedi ini. “Menurut para tetangganya, Kip setiap pagi naik feri pukul 07.10, menuju Seattle dan tiba di tempat kerjanya di kota pukul 07.45. Tetapi siapa tahu hari itu Kip sedang tidak enak badan, jadi ia diam di rumah? Lalu pelaku mengira ada anak-istrinya di rumah yang bisa dijadikan sandera, namun rencananya berantakan karena Kip ternyata ada di rumah, sehingga semuanya dibunuh,” Clifton berasumsi.

Ibu dan anak berpakaian tidur, sedangkan ayahnya ditemukan telanjang. Mungkin ia sedang atau baru mandi. Tapi Kip ‘kan berotot dan kuat. Harusnya ia dapat melawan. Atau siapa tahu ia dikeroyok?

Kemungkinan lain, istrinya yang menjadi target. Lori wanita cantik, mungkin pelaku terobsesi sering melihatnya di pantai, berbelanja, atau ke perpustakaan. Erotomania, istilah bagi orang yang terobsesi pada seseorang yang tak dikenalnya, dan ia terus “mengejar” hingga korban dikuasai. Di atas pukul 06.30, memang hanya ada Lori dan Stevie di rumah. Waktu yang pas untuk merencanakan pemerkosaan. Tetapi Senin pagi itu, ternyata semua ada di rumah. Itu yang membuat semuanya ikut jadi korban. 

Bagaimana dengan kemungkinan Kip sakit? “Tapi kalau Kip sakit, mengapa dia tidak menelepon ke kantor?” tanya seorang detektif. “Ya, kita belum tahu juga. Sebaiknya kita menanyai rekan kerjanya.”

Sementara itu, Les Cline mengumpulkan semua bukti fisik seperti rambut, ceceran darah, dan foto yang dipotret selama di tempat kejadian. Baju Kip Rennsler ada di kamar sang anak dengan cipratan darah. Aneh, darahnya masih lebih basah daripada darah di tempat lain. “Coba periksa luka tusuk di dada Kip, hitung ulang berapa luka tusuknya. Cepat!” perintah Cline.

“Ada empat luka,” jawab Mossman, asisten Cline. 

“Aneh, di kaus putih ini hanya ada tiga lubang. Apa iya, orang yang sudah menikamnya tiga kali, lalu sengaja melepaskan kaus korban untuk menikamnya sekali lagi?” Cline keheranan.

Para penyidik berasumsi, si anak dihabisi di kamar tidurnya. Lalu mayatnya dibawa dan dibaringkan di kamar tidur orangtuanya. Jangan-jangan Kip merangkak ke bawah dengan sekuat tenaga menuju telepon, namun rupanya terlambat.

 

Tidak ikut rapat

Namun, asumsi para penyidik berubah, ketika mendengar keterangan tiga rekan kerja Rennsler. Untuk pertama kalinya, para penyidik dan kepala detektif melihat ada sesuatu yang tidak pernah terpikirkan. 

“Kip belakangan ini bertingkah aneh. Tidak seperti dirinya selama ini. Ada sesuatu yang dipikirkannya, tapi tak tahu apa,” cerita seorang rekannya.

“Senin pagi ia tidak ikut rapat penting. Bagi orang lain mungkin ini biasa, tetapi untuk Kip? Ia bukan tipe seperti itu. Ia selalu tepat waktu, dan segala sesuatunya terencana dengan sangat baik. Makanya, saya meneleponnya terus-terusan.”

Teman lainnya mengingat, sekitar dua hari lalu ia melihat Kip membawa dua kotak besar seukuran kotak bir dan sebuah tas putih saat keluar dari bank. Para penyidik menemukan dua kotak dan tas yang dimaksud. Isinya bukan uang, tapi alat-alat tulis kantor yang biasa digunakannya jika bekerja di rumah.

Masih menurut rekannya, ia menelepon ke rumah Kip sebanyak dua kali pagi itu, antara pukul 09.00 - 09.30. Pertama, telepon tidak diangkat, dan yang kedua kali pukul 11.30, tapi teleponnya sibuk. “Saya penasaran, jadi saya coba berkali-kali meneleponnya, senantiasa bicara. Akhirnya, saya sampai minta operator mengeceknya, ternyata pesawat teleponnya lepas dari tempatnya.

Catatan dari Old National Bank juga tak menunjukkan adanya ketidakberesan.

 

Obsesi membantu sesama

Tetangga perempuan yang menelepon ke kantor sheriff, tiba-tiba menelepon lagi. Dia teringat, pada Minggu sore itu ia melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah Kennsler. Mobil itu milik Sally Newland, teman baik Lori. Sally memang terkejut ketika mendengar berita kematian temannya itu, tapi dia tidak sepenuhnya heran.

Menurut Sally, terakhir bertemu, ia merasa Kip bertingkah sangat aneh. la berjumpa dengan Kip yang sedang berjalan kaki bersama Stevie, dan ketika Sally menawarkan tumpangan, ia menolak dan mengatakan ingin membawa Stevie berjalan-jalan jauh. Kip juga mengatakan, Lori sedang uring-uringan. Kip minta tolong agar Sally menyampaikan pada Lori kalau ia dan Stevie baik-baik saja.

Tapi ketika Sally menemui Lori, ia justru mendapati wanita itu sedang menangis. “Lori bilang, Kip bertingkah ‘lucu’.” Seminggu terakhir ini, Kip sering menyuruh Lori menitipkan Stevie pada tetangga, agar mereka bisa berdua. Katanya Kip mau menanyakan sesuatu pada Lori yang hanya perlu dijawab ya atau tidak. Tapi Lori tak menggubris permintaan Kip.

Yang pasti, memang ada satu hal yang membuat Kip uring-uringan. Dia ingin sekali membeli sebuah penginapan kuno di sebuah hutan tropis, dekat pantai Washington. Tapi dia belum bisa memenuhi uang muka pembelian hotel itu, dan berniat meminjam sejumlah besar uang. Sudah setahun ini ia berusaha memperoleh uang untuk hotel ini.

Investasi itu bisa menjadi lompatan besar bagi pasangan muda itu, tapi Lori tidak begitu antusias. Dia tak mau kalau Kip sampai harus meninggalkan pekerjaannya, dan pindah ke Quinnault, untuk tinggal di penginapan tua yang luas itu. Namun, tampaknya Kip begitu terobsesi dengan proyek ini. Ketiadaan dana membuatnya jadi depresi.

Informasi lain datang dari Poulsbo, dari seorang wanita bernama Solveig Hanson. Wanita itu menelepon Bill Clifton untuk menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya mengenai Kip. Ia mengaku sebulan ini cukup dekat dengan keluarga Rennsler.

“Ada yang perlu saya sampaikan tentang Kip. Sesuatu yang mengkhawatirkan saya,” akunya.

Wanita menarik itu mengaku punya beberapa urusan bisnis dengan Kip, dan mereka berteman baik. Namun, “Belakangan ini Kip sering sekali menemui saya. Tapi, tingkahnya makin lama makin aneh, bahkan menakutkan. Tampaknya Kip terobsesi oleh keinginannya untuk membantu sesama. Dia merasa perlu masuk lebih dalam ke kehidupan orang lain. Idenya gila! Bukan membantu seperti orang kebanyakan,” jelas Solveig Hanson.

Caranya? “Dia datang ke rumah saya pada malam Natal lalu, dan memaksa saya menemaninya belanja keperluan rumah tangga. Dia menghabiskan AS $ 200 untuk membeli semua keperluan itu. Lalu membawa belanjaannya ke sebuah rumah keluarga miskin, meletakkan semua barang itu di depan pintu rumah tersebut.”

Solveig merasa terkesan dan memuji sikap Rennsler itu. “Tapi Kip marah dan minta jangan membicarakan hal itu lagi.” Sejak itu, kehadiran Rennsler mulai terasa mengganggu. “Terakhir kali mengunjungi saya, dia ngoceh seenaknya. Bicaranya sangat cepat, dan tak memberi saya kesempatan untuk bicara. Akhirnya, saya tinggalkan dia sebentar ke kamar mandi. Tapi dia mengikuti saya, dan meninju pintu kamar mandi. Dia menyuruh saya cepat, karena dia mau bicara banyak hal. Waktu itu saya betul-betul ketakutan.”

“Untungnya saya bisa mengusir dia pergi!” tutur Solveig, yang berhasil mendorong Kip secara perlahan keluar pintu rumah. Dia menambahkan, pada Minggu malam sebelum pembunuhan terjadi, telepon rumahnya berdering enam sampai tujuh kali, namun tanpa suara. Hanya embusan napas yang berat. “Saya tak bisa membuktikan itu Kip, tapi saya yakin itu dia.”

Dugaan Solveig itu terbukti lewat catatan telepon interlokal dari Brainbridge ke Poulsbo. Tercatat ada delapan panggilan yang masuk dari kediaman Rennsler ke rumah Solveig setelah tengah malam menjelang Senin pagi.

 

Bukan dirinya lagi

Semua keterangan di atas kian membuka mata polisi, jangan-jangan Kip Rennsler-lah monster yang menghabisi seluruh isi rumahnya. Apalagi orang-orang yang cukup dekat dengannya mengatakan, Kip “sudah bukan dirinya lagi”, dari tindak-tanduk anehnya yang mulai muncul selama dan sesudah liburan. Dia orang baik, dalam pekerjaan dan lingkungannya. Mungkin pergumulannya untuk menahan setan dalam dirinya membuat dia gila.

Jika bisa membuat Solveig Hanson ketakutan dengan hal-hal yang tak masuk akal, bukan tidak mungkin Kip melakukan hal yang sama pada istrinya. Para penyelidik seharusnya dapat melakukan “autopsi psikologis” untuk mengungkap tanda tanya besar yang masih ada. Apa yang membuat Kip Rennsler melakukan pembantaian ini?

Yang pasti, dia sama sekali tidak mendapat tekanan dari pekerjaannya karena dia pekerja yang baik. la menjadi frustrasi ketika tak berhasil mendapat pinjaman untuk membeli pondok di hutan itu.

la sangat mencintai istrinya, tetapi dia juga menghabiskan banyak waktu bersama Solveig Hanson di Poulsbo. Mungkin saja, Solveig tidak tertarik padanya, tapi jelas Kip menelepon dia berkali-kali pada pagi hari saat sesudah atau baru mau membunuh keluarganya. Mungkin juga dia merasa sangat bersalah karena hubungannya dengan wanita lain di luar pernikahan.

Seorang dokter dari Seattle yang pernah merawat pembengkakan di usus Kip beberapa waktu lalu juga mengaku, Kip memang sedang mengalami tekanan tinggi. Untuk itu, dia sempat memberikan obat penenang ringan.

Kip rupanya menceritakan kegagalannya memiliki Hotel Quinault itu pada banyak orang. Terbukti, ketika berita tragedi keluarga Rennsler tersebar luas, sejumlah orang yang sering bolak-balik dengan feri banyak yang menghubungi kantor sheriff. Beberapa temannya juga bilang, Kip Rennsler benar-benar terpukul ketika impiannya itu gagal.

“Dia pernah bilang pada saya, kalau sampai gagal membeli tempat itu dia tidak tahu bagaimana bisa menghadapi masa depannya. Walau menurut saya itu terlalu berlebihan,” salah seorang dari mereka bercerita. Teman lainnya berkomentar, Rennsler adalah seorang pesaing tulen. “Dia itu orang yang harus selalu menjadi yang terbaik dan pertama untuk semua hal. Dia banyak memenangkan berbagai pertandingan.”

Teman-teman Lori berpendapat, Kip adalah pengendali mutlak di rumah tangganya, kalau tidak mau dikatakan mendominasi. “Tapi dia sangat mencintai istrinya dan Stevie. Dan Lori pun menerima dia apa adanya.”

Saat perencanaan penguburan Kip, para patolog sudah memeriksa kalau-kalau ada keabnormalan pada otaknya, entah itu tumor atau kelainan pembuluh darah, yang membuat Kip jadi bertingkah aneh itu. Ternyata tak ditemukan apa-apa. Jadi, jelas sudah ini bukan masalah fisiologis, tapi psikologis alias kejiwaan.

Walau memang sulit diterima akal sehat, jelas Rennsler bunuh diri dengan menusuk dadanya empat kali. Tubuhnya seperti tak merasa kesakitan. Tikaman keempatlah yang berhasil membunuhnya. Tiga tikaman awal yang terlihat pada T-shirt-nya, memang menimbulkan luka dalam, tapi tidak cukup dalam sampai mengenai jantung atau organ penting. Baru pada tikaman keempat berhasil mengenai arteri utama di sebelah kanan, sehingga parunya terisi begitu banyak darah yang membuatnya kolaps.

Dia masih bisa bertahan hidup selama beberapa menit, sebelum kemudian benar-benar meninggal akibat “tenggelam” di dalam genangan darahnya sendiri. Ada luka iris di salah satu jarinya - kelihatannya sudah ada beberapa hari sebelumnya. Mungkin perban jari ini yang ditemukan detektif di dapur waktu itu. Sedangkan Lori dan Stevie diduga tewas ditikam pada dadanya saat tertidur lelap.

 

Bukti paling nyata

Namun teori tadi tetap akan jadi teori, jika tak diketemukan bukti. Nah, saat para kerabat diizinkan memasuki rumah kuning itu untuk membereskan apa yang perlu dibereskan, salah seorang di antara mereka menemukan setumpuk sobekan kertas pada saku jaket olahraga Kip Rennsler, yang kemudian diserahkan pada detektif. Dengan antusias mereka berusaha menyusun sobekan kertas itu, seperti sedang mengerjakan jigsaw puzzle.

Awalnya, terlihat seperti kumpulan huruf-huruf yang tidak ada artinya. Namun, makin coba disusun, makin tampil suatu pola. Para penyidik menyadari, ini sebuah surat, sepanjang 25 halaman, seperti terlihat , pada halaman yang tertera di bawahnya. Sepucuk surat yang bermakna mengerikan, walau diungkapkan secara melantur dan banyak bagian yang hilang.

Surat itu jelas ditujukan pada Lori, walau tampaknya belum sempat dibacanya. Inilah sebagian kecil isi surat yang ditulis tangan dengan banyak kata yang digarisbawahi (sebagai penekanan) itu, yang menunjukkan derasnya arus pertentangan akal sehat dan kesadaran Kip:

“... Sekarang kau menyadari mengapa aku melakukan semua ini. Apa yang kulakukan, sebenarnya tidak bisa dipercaya. Namun jelas tidak akan menyakiti siapa pun - termasuk kau atau Stevie, bahkan diriku sendiri. Tapi ini benar-benar mengejutkan, bahkan kalau aku katakan kau pasti takkan mempercayainya. Jadi, TOLONG BACA SURAT INI KERAS-KERAS! Maksudnya, walaupun kau dan aku HIDUP BAHAGIA - JELAS TIDAK DIRAGUKAN LAGI - tapi orang lain di dunia ini tidak berkesempatan untuk menikmatinya. Baik yang sudah mati maupun yang masih hidup sekarang ini. 

... Ingat, aku harus melakukan semua ini di sisa hidupku. Kau harus meyakininya tanpa ragu-ragu. Siap ‘kan? Ingat, aku harus melakukan ini di hidupku. Siap? 

... Kau tahu ... Di antara semua orang di masa lalu, sekarang, maupun nanti, kau dan aku, serta Stevie telah terpilih untuk melakukan ini. Mengapa kita yang dipilih? Karena di mata Tuhan sejak zaman dulu, sekarang, maupun nanti, kitalah keluarga yang terbaik. AKU JUGA SULIT MEMPERCAYAI HAL INI!!!”

Akhirnya polisi menemukan penjelasan dan bukti otentik, mengapa mereka semua terkapar mati di rumah sendiri. Kip yang telah kehilangan akal sehat, berpikir pengorbanan keluarganya dapat menyelamatkan dunia. “Sulit dipercaya, saya pikir Kip hanya stres dan butuh waktu untuk melepas ketegangan,” tegas Solveig Hanson. 

Dalamnya hati, memang susah diduga. (Ann Rules)


Baca Juga: Senjatanya Dua Martil

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517218/tiga-nyawa-untuk-selamatkan-dunia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343179000) } } }