array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3726690"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-201-1980-40-suatu-20230314073010.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(141) "Hubungan Linda dan Karlheinz kian merenggang karena sang suami kerap menyiksa istrinya. Si putra bungsu merencanakan pembunuhan pada ayahnya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-201-1980-40-suatu-20230314073010.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Suatu Tragedi Keluarga"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-03-14 07:30:52"
      ["content"]=>
      string(13935) "

Intisari Plus - Hubungan Linda dan Karlheinz kian merenggang karena sang suami kerap menyiksa istrinya. Setelah satu per satu anggota keluarga pergi dari rumah, si putra bungsu merencanakan pembunuhan pada ayahnya.

----------

Ketika tahun 1956 Linda menikah dengan Karlheinz Roeder umurnya baru 18 tahun. Roeder, bekas tukang bubut, setahun lebih tua. Mereka terpaksa menikah karena sudah terlanjur hamil dan Linda tidak mau anak yang dikandung tak mempunyai ayah. Sampai tahun 1961 jumlah anak sudah meningkat menjadi tiga biarpun hubungan mereka tambah lama tambah longgar. Akibatnya masa kecil anak-anak ikut suram.

Tidak heran kalau Wolfgang dan Sylvia, anak sulung dan kedua, ingin cepat berdiri sendiri. Mereka sudah meninggalkan rumah orang tua masing-masing pada usia 16 dan 14 tahun. Hanya Harald si bungsu tetap di rumah, sehingga ia tahu persis apa yang harus dialami ibunya dari ayahnya yang keji.

Namun ibunya juga bangga ayahnya toh berhasil lulus sebagai insinyur mesin lewat kursus biarpun dengan susah payah. Karlheinz juga menjadi orang kepercayaan di sebuah pabrik mesin Geisenheim. Di tempat kediamannya ia dianggap sebagai orang pandai dan berhati besar.

Sebaliknya Linda juga tahu bahwa suaminya terlalu mengejar kedudukan dan penghargaan sehingga ia menelan segala macam tablet sampai 140 buah seminggu dan tambah kecanduan alkohol. Kepribadiannya tambah kacau dan ia menjadi sumber kesulitan bagi keluarganya.

Kalau sang ayah kembali dari kerja suasana menjadi panas. Ia berteriak tak keruan tetapi setelah itu tega mendiamkan istri dan anak selama dua minggu.

Kalau mengenai seks, Karlheinz Roeder tidak mengenai lelah. Istrinya tambah lama tambah kewalahan. Lebih-lebih setelah ia minum tanpa batas. Tahun 1975 pada puncak karirnya ia dipindahkan ke kantor cabang di Berlin sebagai kepala perwakilan di sana. Linda Roeder baru merasa enaknya menjadi wanita bebas.

Setiap minggu dari Senin sampai Jumat ibu dan anak hidup tenteram dan bahagia sampai hari Jumat ayah diantarkan seorang sopir dari lapangan terbang Frankfurt, pulang ke Geisenheim. Lalu menyusul akhir minggu yang penuh derita.

Satu tahun setelah Karlheinz Roeder kembali dari Berlin, istrinya yang sudah tidak tahan lagi harus beristirahat di Bodensee selama empat minggu. Ia kembali dengan tekad meninggalkan suaminya dan ia memang berbuat demikian. Harald si bungsu yang cinta pada keluarga mengambil keputusan untuk tetap menemani ayahnya yang kini menjadi peminum. la tidak mau meninggalkan ayahnya dalam keadaan demikian katanya.

Kalau sendirian ayahnya pasti tambah lama tambah mundur. Sebaiknya ada orang yang mengurus rumah tangga, kata Harald pada dewan keluarga.

Sejak itu ia mengepel, memasak untuk ayahnya, mencuci pakaiannya dan berbelanja untuk rumah tangga. Ia malah bisa mengambil untung 5 DM (sekitar Rp.1850,-) setiap minggu dari uang belanja yang diperoleh dari ayahnya. Itulah penghasilan satu-satunya. Ia merawat ayahnya ketika sang ayah pulang dalam keadaan mabuk dan kena beling. Ia menyeret ayahnya yang besar dan tegap yang sedang mabuk itu dari mobil ke apartemen berkamar empat yang terletak di tingkat kedua. Lalu Harald juga mengambilkan anggur, jenewer dan tablet untuk ayahnya sampai tiba waktunya untuk tidur dan ia bisa memikirkan apa yang akan terjadi keesokan harinya.

Harald setiap kali mengira kalau ayahnya sedang mabuk dan merasa down, sang ayah akan bunuh diri.

Tetapi saat yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung tiba. Seperti biasanya ia memaki-maki anaknya yang sudah demikian setia membantunya. Nasib Harald menjadi bertambah buruk ketika pabrik mesin tempat ayahnya bekerja mengurangi gaji ayahnya dari 6000 menjadi 4750 DM (sekitar Rp. 2.200.000 menjadi Rp. 1.757.500) karena ayahnya sering mabuk. Pada saat itu Harald sudah merasa bahwa ayahnya mempunyai utang besar.

Ketika Linda Roeder melarikan diri dari rumah, ia tidak membawa sepeser pun, biarpun ia berbuat demikian dengan sepengetahuan anak-anaknya, Wolfgang (polisi), Sylvia dan Harald. Namun dua bulan setelah itu ia sudah mendapat cukup uang untuk menyewa rumah kecil di Eltville tak jauh dari rumahnya semula. Waktu itulah ia meminta kepada Harald untuk mengambilkan tiga piringan hitam dari rumah. Kemudian ketahuan oleh ayahnya barangnya hilang. Ia marah sekali dan memasang kunci tambahan pada ruang duduk. Harald kini hanya bisa ke kamarnya dan dapur kalau ayahnya tidak di rumah. Ia juga tidak bisa menelepon biarpun ia menghadapi ujian sebagai perawat anak-anak di sebuah sekolah di Geisenheim.

Ketika Karlheinz pada suatu hari hilang tak berbekas, orang mulai bertanya-tanya. Tiga hari setelah ada laporan hilang, polisi menemukan sebuah Audi merah yang dicurigai. Polisi menghubungi istrinya. Si istri langsung menelepon putrinya Sylvia: “Ayah kecemplung ke dalam sungai Rhein,” katanya.

Sylvia menangis. Kemudian pada hari itu juga Wolfgang pulang dari cutinya. Ia bekerja sebagai polisi. Malam itu juga ia mengajak Harald ke sungai Rhein. “Alangkah sedihnya kalau dipikir bahwa dia mengapung di situ. Bagaimanapun juga ia ayah kita,” kata kakak itu kepada adiknya.

Baru dua minggu kemudian orang mulai curiga, apakah ini benar kasus bunuh diri. Tanggal 5 Juli ditemukan koper di sebelah danau di hutan. Barang itu diserahkan kepada polisi Ruedersheim tetapi kemudian dicatat sebagai “barang rongsokan” dan diantarkan ke bagian barang yang ditemukan. Dari situ dimasukkan ke dalam kendaraan sampah Hattenheim untuk dimusnahkan.

Namun seorang pekerja yang ingin tahu membukanya dan segera berlari ke atasannya: “Lihat di dalamnya ada sisa permadani yang berdarah dan sebuah topi dengan lubang mata seperti yang dipakai perampok.”

Kepala polisi minta supaya koper itu dikembalikan ke kantor polisi Wiesbaden.

Untuk pertama kalinya Harald dicurigai. Ia diperiksa secara cermat dan tanggal 26 Juli polisi yang menangani kasus itu memanggil Wolfgang Roeder yang sedang tugas di Ruedesheim. 

“Herr Roeder,” katanya dengan nada seorang teman. “Ayah Anda kan hilang. Kami telah menemukan koper dengan inisial R. Apakah mungkin ini miliknya?”

Wolfgang Roeder menjawab spontan: “Saya tidak tahu, tetapi adik saya Harald pasti tahu. Kalau ia benar-benar tahu, hari Jumat pukul sembilan saya akan singgah ke sini lagi....”

Harald waktu itu sudah bingung sekali. Malam itu juga ia pergi ke ibunya di Eltville, menangis sejadi-jadinya lalu mengaku: “Saya yang membunuh ayah.”

Ia mengakui hal itu lagi ketika ia sudah lebih tenang. Wolfgang kemudian juga datang. Kakaknya tetap tenang. Ia memberi tahu pengacara Ludwigshafen, Axel Borstorff (37) lewat rekan-rekannya dan juga polisi Wiesbaden. Sore itu juga mayat ayahnya dikeluarkan dari air.

Namun mereka belum mau mempercayai Harald bahwa ia melakukan semuanya ini sendiri. 

Pada tanggal 9 Agustus diadakan rekonstruksi pembunuhan itu di apartemen tempat tinggal mereka. Yang digunakan sebagai contoh ialah boneka yang biasa digunakan untuk riset percobaan tabrakan oleh pabrik mobil. Harald berteriak ketika ia melihat boneka itu. Namun kemudian sebuah kamera video membuat gambar bagaimana ia memukul boneka itu dengan sebuah tongkat besi yang harus menggambarkan ayahnya. Untuk kedua kalinya ia harus melakukan “pembunuhan” lagi. Ia mendemonstrasikan bagaimana ia menurunkan ayahnya yang sudah dibungkus dalam kantong sampah lewat jendela. Akhirnya orang yakin bahwa yang dikatakan Harald benar. Ia telah melakukannya sendiri. Waktu itu umurnya 17 tahun 8 bulan.

Bulan April tahun 1979 Harald sebetulnya sudah ada niat untuk menghabisi nyawa ayahnya. Waktu itu ia membuat catatan pertama. Ia membuat suatu sketsa rencana dan danau di hutan di dekat rumahnya sudah dipikirkan sebagai kemungkinan tempat membuang ayahnya. Dalam rencana yang diberi judul “Aksi Dunia Utuh”, ia menulis di atas selembar kertas apa saja yang diperlukan untuk niat keji itu:

Sepatu olahraga diperlukan dan sebuah kaos wanita. Sebuah selubung kepala dengan lubang mata dan sebuah tongkat besi.

Tanggal 3 Juli pagi Harald sudah mempunyai segala yang diperlukan di rumah, tetapi ia belum yakin akan melaksanakan rencananya. Namun waktu itu ayahnya memanggilnya ke kamar duduk. Di situ ia diperlihatkan surat dari sebuah bank di Muenchen, “Teguran Terakhir”. Dan di situ juga disebut-sebut kemungkinan “pelaksanaan hukuman” kalau sisa hutang sebesar 80.282,57 DM (sekitar Rp. 29,7 juta) tidak dibayar dalam delapan hari. Jumlah itu termasuk ongkos menagih dan keterlambatan membayar.

“Sekarang ibumu akan merasa ia harus ikut membayar,” kata Karlheinz Roeder dengan nada penuh kebencian. 

Saat itu Harald tiba-tiba memegang kerah ayahnya lalu menariknya ke kursi sambil berteriak: “Saya tidak terima.” 

Lalu Harald lari ke kamarnya untuk mengambil tongkat besi yang disembunyikan di belakang lemari. Kepala ayahnya dipukul dua kali. Rupanya ia masih belum yakin bahwa ayahnya mati. Ia masih mengikat leher ayahnya erat-erat dengan kaos kaki wanita.

Waktu itu pukul 9.45, Karlheinz Rocder meninggal. 14 jam kemudian anaknya berhasil mengeluarkan mayat dari rumah. Semua dilakukan sesuai dengan rencana “Aksi Dunia Utuh”.

Mayat ayahnya dimasukkan ke dalam dua kantong sampah biru. Sebelumnya dibalut dengan seprai dan diikat rapat dengan tali nilon. Bungkusan itu kemudian diangkat keluar jendela kamar mandi dan menurunkannya ke tingkat kedua.

Tiba-tiba talinya putus dan bungkusan itu jatuh dengan suara keras di lantai batu di depan pintu ruang bawah tanah.

Wanita yang tinggal di bawah terbangun. Namun karena dia sudah terbiasa dengan Roeder yang sering jatuh karena mabuk, ia tidak terlalu curiga di atas agak gaduh.

Tidak lama kemudian Harald keluar rumah dan melihat dengan hati lega bahwa bungkusannya tidak pecah. Dengan hati-hati ia menyeretnya ke garasi di mana mobil Audi merah ayahnya diparkir. Pukul empat pagi, ketika hari mulai cerah bungkusan mayat sudah berada di bagasi yang terkunci.

Malam berikutnya Harald membawa Audinya ke danau. Ia melepaskan semua pakaiannya kecuali celana berenang. Bungkusan mayat itu ditaruhnya di atas kasur yang ditiup dan sambil berenang ia mendorongnya ke tengah. Dengan susah payah ia menurunkan bungkusan itu dari kasur angin dengan bantuan sepotong pipa. Akhirnya kasur itu terguling dan bungkusan pun tenggelam. Kemudian ia mengenakan pakaian baru. Pakaian yang digunakan ketika ia melakukan pembunuhan, beberapa potong permadani yang berdarah dan barang lain yang tidak diperlukan, dimasukkan ke kopor serta dibuang ke semak-semak. Mobil ayahnya diparkir di tempat orang dilarang parkir, kuncinya dibiarkan di mobil dan Harald pulang berjalan kaki. Waktu itu ia yakin bahwa orang pasti mengira ayahnya telah bunuh diri seperti sudah sering diperkirakan orang.

Sungguh menyedihkan bahwa ide untuk menyingkirkan itu demi ibunya yang kini berumur 41 tahun. Pikirnya kalau ayahnya sudah tiada, “dunia utuh” yang didambakannya akan pulih kembali.

Harald kini dimasukkan ke penjara anak-anak di Frankfurt Hoechst dan memerlukan beberapa waktu sebelum ia bisa menulis surat kepada ibunya. Sebelum kejadian ini Harald seorang anak periang. Dalam surat kepada ibunya ia menulis tentang dia sendiri dan motif perbuatannya yang lebih jelas dari keterangan psikiater yang akan memeriksanya:

“Sampai ketemu lagi, saya hanya mempunyai harapan bahwa kita suatu keluarga yang baik, yang tahu bagaimana bisa tetap bersatu.” Harald masih harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan pengadilan.

(Friedhelm Weeremeider dan Lisselotte Fischer)

Baca Juga: Dalang dalam Selimut Pengawalan

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726690/suatu-tragedi-keluarga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678779052000) } } }