Intisari Plus - Pada malam Natal, Carmentt menjemput Geoffroy di penjara. Ia mendapatkan cuti Natal selama 50 jam. Namun alih-alih kembali tepat waktu, mereka berdua menikah dan kabur.
-------------------------
Penjara federal di St. Vincent de Paul dekat Montreal, Kanada, berdiri angker seperti sebuah puri. Letaknya di atas bukit, dikelilingi tembok batu yang kokoh. Di atas dinding tembok itu masih ada pagar besi dan di atas pagar besi itu ada kawat berduri. Bentuk atapnya segi delapan dan di tiap ujung segi itu ada menara, tempat pengawal bersenjata bedil mengawasi ke bawah.
Suatu hari, sebelum Natal 1971, padang terbuka sekeliling penjara itu kelihatan putih oleh salju, sedangkan langit tampak kelabu kotor. Angin menderu-deru menerpa tembok yang tebal.
Pagi-pagi hari itu, sebuah mobil berhenti di muka pintu penjara. Pengemudinya tetap duduk di belakang setir dan mesin mobil tidak dipadamkan. Seorang wanita turun membuka pintu. Wanita itu kecil langsing, padahal mantelnya tebal, sehingga ia seperti tenggelam dalam pakaiannya. Matanya tampak tegang.
Pintu itu membuka ke sebuah kamar tunggu. la segera mendekati sebuah jendela kecil. Di belakang jendela itu duduk seorang penjaga, sedangkan di belakangnya terdapat pintu-pintu yang terkunci kuat.
"Nama Anda?" tanya penjaga pada wanita bertubuh kecil itu.
"Carment Parent."
"Nama narapidana yang ingin ditemui?"
"Joseph Yves Geoffroy."
Penjaga itu menuliskan nomor yang disebutkan si wanita di secarik kertas.
"Silakan simpan tas Anda dilaci," katanya seraya menunjukkan dengan gerakan kepala sederet laci di sebelah kiri si wanita.
"Tidak."
Penjaga itu terkejut. Untuk pertama kalinya ia memandang wanita itu dengan penuh perhatian.
"Saya tidak akan masuk. Ia yang akan keluar."
"Dibebaskan maksud Anda? Pada hari Jumat begini? Pada malam Natal?" tanya penjaga tidak percaya.
"Tidak. Ia boleh cuti Natal selama 50 jam."
Pengawal itu merengut, seakan-akan tidak setuju dengan cuti semacam itu. Wanita itu memegang tasnya erat-erat ketika pengawal menelepon ke dalam.
Pintu besi terbuka. Yves Geoffroy melangkah ke luar. Umur nya 38 tahun. Ia pendek, hanya lebih tinggi sedikit dari wanita kecil itu. Tubuhnya kekar dan wajahnya bundar. Matanya tampak berseri-seri. Ini untuk pertama kalinya sejak hampir dari 14 bulan ia keluar dari pintu itu.
Di belakangnya ada Direktur Bagian Kunjungan dan Surat-menyurat Monsieur Alain Moreau. Di penjara Geoffroy bekerja sebagai juru tulisnya. Berkat bantuan Moreau, Geoffroy sekarang boleh cuti.
Moreau membuka pintu yang menuju ke kamar tunggu.
"Selamat hari Natal," katanya kepada Carment.
Ketika Geoffroy sudah berada di ruang tunggu pula, ia menjangkau kedua belah tangan wanita itu.
"Carment," katanya dengan suara hangat. Kemudian ia berpaling kepada Moreau, berkata sambil tertawa, "Sampai bertemu 50 jam lagi, Pak dan tidak semenit pun lebih awal."
Kawin
Pasangan itu melangkah ke luar untuk masuk ke mobil yang dikendarai oleh Philip Leclerc, bekas teman sekolah Geoffroy. Mobil meluncur menuju Gereja St. Vincent de Paul, yang letaknya tidak sampai 1 km dari penjara. Ketiga orang itu masuk menemui imam. Carment sudah mengatur agar hari itu mereka diresmikan sebagai suami-istri.
Sesudah upacara pernikahan dan menerima wejangan dari Pastor Tetterin, Philip Leclerc mengantarkan pasangan itu ke daerah pinggiran Kota Montreal, Longueuil. Mobil berhenti di sebuah rumah kecil di Ste. Catherine Street, yaitu tempat Carment tinggal. Leclerc pun minta diri.
Siang hari, sehabis makan, Carment memasuk-masukkan pakaian mereka ke koper, sedangkan Geoffroy menulis surat. Pukul 19.00 sebuah taksi datang menjemput dan Geoffroy berkata kepada sopir, "Dorval Airport."
Mereka meminta taksi berhenti di pintu bandara no. 4, yaitu pintu untuk para penumpang British Overseas Airways. Namun setelah taksi pergi, mereka tidak masuk ke pintu itu, melainkan ke pintu no. 3, untuk penumpang BOAC. "Dua untuk London dengan BOAC flight no. 1600 pukul 22.00, lalu disambung dengan British European Airways flight 782 untuk Oslo. Tiket untuk kembali masih open. Betul?" kata petugas.
Carment mengangguk dan seperti diajarkan oleh Geoffroy ia berkata, "Suami saya sedang membeli koran dulu."
Petugas kemudian mengembalikan tiket. "Ini tiket Anda, selamat hari Natal."
Geoffroy menunggu di belakang tiang sambil membaca koran. Kerah mantelnya dinaikkan, sehingga menutupi sebagian wajahnya.
Di pesawat mereka duduk diam-diam. Rasanya lama sekali sebelum pintu pesawat menutup. Pesawat menggelinding, tetapi berhenti di ujung landasan dan berbelok lagi ke terminal.
"Ibu-ibu dan Bapak-bapak," terdengar suara pilot, "karena gangguan salju kita harus kembali."
"Wah, jangan-jangan mesti menginap di sini," kata seorang pria yang duduk dekat jendela.
Carment sangat gelisah. "Yves," bisiknya. "Jangan-jangan mereka memergo ...."
"Tidak," jawab Geoffroy tegas. "Tenang saja. Tidak ada yang mencari kita. Ayo, lihat saja brosur-brosur ini.”
Empat puluh menit rasanya lama sekali. Akhirnya, mereka jadi juga terbang.
Geoffroy dan Carment bercakap-cakap dalam bahasa Prancis, sehingga pria di sebelah Geoffroy yang duduk dekat jendela tidak tahu apa yang dipercakapkan pasangan itu. Ia hanya tahu mereka melihat-lihat folder perjalanan tentang Norwegia.
Ketika Carment terlelap di bahu Geoffroy, pria pendek kekar itu duduk tetap tegak dengan mata terbuka lebar.
Louise jadi rewel
Geoffroy berasal dari keluarga kelas menengah baik-baik di Montreal. Seorang saudara laki-lakinya menjadi dokter, saudara yang lain menjadi ahli kacamata. Geoffroy sendiri ahli hukum lulusan University of Montreal.
Teman sekelasnya antara lain Jean-Pierre Goyer, yang saat itu menjadi jaksa agung Kanada. Teman sekelasnya yang seorang lagi ialah Philip Leclerc, yang juga tokoh politik di Kanada.
Geoffroy memilih bidang perdata dan berkantor di Montreal Utara. Selain memberi nasihat-nasihat hukum, ia juga melakukan jual-beli.
Istrinya, Louise Cote, berasal dari keluarga terkemuka, cantik, dan langsing. Mereka tinggal di Lac Noir, dekat Joliette, yang letaknya hampir 100 km dari Montreal. Louise memiliki usaha sendiri di bidang penjualan alat-alat dapur dan hiasan kue.
Tahun 1963, ketika Geoffroy berumur 30 tahun, lahirlah putra sulung mereka, diikuti dua anak lagi. Semuanya laki-laki. Namun bisnis Geoffroy mandek. Mereka tidak sampai gulung tikar, tetapi keadaannya payah. Kemudian rumah mereka di Lac Noir terbakar, sehingga mereka perlu membangun rumah baru di situ.
Pada umur 35 tahun tiba-tiba Geoffroy merasa khawatir. Usahanya payah dan pernikahannya pun goyah. Ia melihat hidupnya kosong dengan menyongsong hari tua.
Ia merasa kasihan kepada dirinya sendiri dan merasa tidak betah berada dekat istrinya yang juga risau. Si istri sebaliknya tambah merasa tergantung kepada Geoffroy. Ia kehilangan semangat mengurusi tokonya dan menjadi penuntut: minta uang, minta pakaian, minta perhatian, dan sering marah.
Ketidakserasian itu akhirnya mengakibatkan Louise melarikan diri ke minuman keras. Geoffroy makin segan berdekatan dengan istrinya. Ia makin sering tidak pulang dari kantornya. Ia memang mempunyai kamar tidur di sana.
Ketika pergi ke Expo 67 tanggal 8 Agustus 1968, Geoffroy yang berumur 34 tahun diperkenalkan kepada seorang guru fisika berusia 24 tahun, Carment Parent. Wanita muda itu tidak secantik Louise, tetapi lembut, hangat, tidak banyak bicara dan tenang.
Ketika seorang penjual bunga lewat, secara spontan Geoffroy menghentikannya, mengambil setangkai mawar, dan menyerahkannya dengan dua belah tangan kepada Carment yang menjadi gugup.
Carment merasa bunga itu mawar paling indah yang pernah dilihatnya. Tajuk-tajuknya yang merah jambu itu baru saja mulai merekah. Ia juga menangkap sinar mata lembut dari pria yang sudah matang itu.
Ternyata mereka merasa cocok dan Geoffroy bertanya apakah ia boleh berkunjung. Akhirnya, Geoffroy sering datang. Mula-mula mereka hanya menonton konser dan makan malam, namun kemudian Geoffroy juga menginap.
Sementara itu Louise bertambah kurus dan sering sakit. Untuk menarik perhatian Geoffroy ia berkata ia punya kekasih, seorang Inggris bernama Dwight yang bekerja pada Air Canada. Sebaliknya dari cemburu, Geoffroy malah merasa kebetulan.
Hampir saja ia tidak bisa menahan diri untuk menceritakan bahwa ia juga punya kekasih. (Kemudian ternyata Dwight itu cuma tokoh rekaan Louise).
Dalam buku hariannya Geoffroy menulis, "Kalau ia mau berlaku gila-gilaan, saya akan menolongnya. Orang akan menyalahkan dia, karena ia yang mulai serong lebih dulu, bukan saya. Lagi pula dalam hal seperti itu, masyarakat cenderung lebih menyalahkan wanita daripada pria."
Mereka pun hidup saling menyakiti. Suatu ketika Geoffroy menyewa detektif untuk memergoki kekasih Louise, ternyata tidak ada. Kadang-kadang Louise siap bercerai, tetapi di saat lain ia mundur lagi.
Geoffroy makin sering menemui Carment, sedangkan Louise makin kurus. Dokternya memberi suntikan-suntikan vitamin, tetapi Geoffroy menyuruh hentikan, sebab tidak perlu, katanya.
Bukan karena asap
Tanggal 12 November 1969, pukul 03.20 dinihari, dr. Henri-Paul Lessard ditelepon oleh Geoffroy.
"Cepat datang! Terjadi sesuatu yang mengerikan. Saya kira istri saya mati lemas."
Dua puluh menit kemudian Lessard sudah berada di kamar pasiennya. Louise telentang di ranjang bekas terbakar. Jendela-jendela terbuka ketika itu dan udara dingin masuk ke dalam.
Wajah Louise memar dan rambut pendeknya acak-acakan. Di lehernya ada bercak merah, di dadanya ada tanda bekas cakaran dan sebelah payudaranya terbakar.
Kata Geoffroy, ia pulang dari Montreal pukul 01.00 dan pergi tidur. Sudah dua bulan ia pisah kamar dengan istrinya. Ia tidak menjenguk ke kamar si istri.
Pukul 03.00 ia terbangun karena ingin buang air kecil. Ketika itu diciumnya bau asap. Ia membuka kamar Louise dan kamar itu ternyata penuh asap. Louise dilihatnya tergeletak di lantai, ranjang terbakar, dan televisi masih menyala.
Dokter memperhatikan wajah Geoffroy yang kelihatan cukup tenang. Kata Geoffroy, ia mengambil alat pemadam api untuk memadamkan api di ranjang.
Lalu dibukanya jendela untuk mengeluarkan asap. Istrinya diangkatnya ke ranjang dan pesawat TV ia matikan. Gigi palsu istrinya keluar separuh dari mulut. Benda itu ditaruhnya di ranjang.
Karena Louise tidak bergerak, ia membuka kelopak mata istrinya dan bola mata istrinya itu tidak bergerak. Ia mengira asaplah yang menewaskan istrinya. Setelah itu diteleponnya Lessard.
Di bibir mayat ada darah dan di seprai pun ada bercak-bercak darah. Sebuah buku terbuka di meja kecil di samping ranjang dan dekat buku itu ada botol Valium. Dokter menganjurkan agar polisi ditelepon. Geoffroy bertanya, "Apa perlu? Saya lebih suka kalau tidak dilakukan autopsi. Saya khawatir kalau kabar-kabar tentang hal itu akan mengganggu putra saya, Philippe, yang kini sudah bersekolah."
Seorang wanita teman Louise dimintai tolong untuk membawa pergi anak-anak Louise dari rumah itu dan merawat mereka sementara.
Polisi datang bersama dokter ahli forensik. Sementara dokter memeriksa Louise, polisi menanyai Geoffroy. Mereka merasa sulit untuk percaya bahwa Louise tewas begitu cepat akibat kebakaran kecil itu. Selain itu tanda memar dan luka-luka pada Louise dari mana datangnya?
Sore itu juga hasil autopsi menyatakan bahwa Louise sudah tewas pada saat kebakaran terjadi. Ia dibunuh.
Geoffroy tidak pulang
Sudah banyak orang tahu bahwa Geoffroy sering cekcok dengan Louise. Jadi, otomatis ia dicurigai. Ternyata bekas darah pada bantal Louise bukanlah darah korban, melainkan darah golongan A, Rh-positif, sama seperti darah Geoffroy.
Telunjuk dan jari tengah Geoffroy memang luka. Menurut Geoffroy, luka itu diperoleh ketika membuka makanan kaleng, tetapi pihak yang berwenang memperkirakan bekas gigitan Louise.
Geoffroy dituduh membunuh istrinya. Selama setahun ia masih bisa hidup di luar dengan Carment dan putra bungsunya. Namun tuduhan terhadapnya begitu kuat, sehingga pembelanya tak berdaya, meskipun Geoffroy bersikeras ia tidak bersalah.
Juri memutuskan Geoffroy bersalah dan hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup padanya. Ia dimasukkan ke Penjara St. Vincent de Paul awal November 1970. Carment menjenguknya dengan setia.
Geoffroy tidak sama dengan penghuni penjara lain. Ia dipandang dengan segan dan mendapat pekerjaan administrasi. Hasil kerja dan kelakuannya sangat memuaskan. Di samping itu di penjara ia juga menyiapkan permintaan naik banding.
Natal tinggal setengah tahun lagi. Sekitar 400 narapidana akan diperbolehkan ‘cuti’ selama tiga hari. Karena Geoffroy menunjukkan dirinya sebagai narapidana teladan dan bisa memberi alasan kuat, ia boleh cuti 50 jam untuk merayakan Natal di luar.
Sebelumnya Geoffroy minta izin untuk menikah dengan Carment. Alasannya, dua kakaknya menderita penyakit jantung yang hebat. Kalau mereka sampai meninggal, siapa yang akan merawat ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu dengan baik?
Carment bersedia, namun tentu tidak diperkenankan oleh negara. Kalau saja mereka bisa menikah, Carment mempunyai hak untuk merawat anak-anaknya.
Kepala Bagian Kunjungan dan Surat-menyurat Alain Moreau merasa bersimpati terhadap Carment yang dilihatnya sering berkunjung. Ketulusan wanita itu terhadap si narapidana teladan tidak diragukan lagi. Karena itulah ia mau menolong Geoffroy dalam mengajukan permohonan untuk menikah.
Pihak berwenang di Ottawa pun merasa simpati ketika mewawancarai Carment yang memang tulus dan polos. Tanggal 3 November permohonan Geoffroy dikabulkan. Sebagai langkah berikutnya, Geoffroy minta cuti pada hari Natal, dan ingin menikah di saat itu. Sekali ini pun permintaannya diluluskan, karena ia dianggap bisa dipercaya.
Begitulah, pada malam Natal 1971, Geoffroy meninggalkan penjara, menikah dengan Carment dan terbang ke London. Keesokan paginya mereka sudah berada dalam pesawat yang menuju ke Oslo.
Hari Minggu, pukul 10.00, mestinya Geoffroy sudah kembali ke penjara. Mengapa ia tidak muncul? pikir petugas penjara. Ah, paling-paling ia teralang oleh cuaca. Ketika ia belum kembali juga, dikirimlah laporan pada polisi Propinsi Quebec.
Minta jasa interpol
Tiga hari setelah hari Minggu, kantor pos baru mulai bekerja lagi. Alain Moreau mendapat surat yang cap posnya tidak terbaca, tetapi dari Kanada juga.
Longueuil, 24 Desember 1971
Bapak Moreau yang terhormat. Kalau Anda membaca surat ini, Anda sudah tahu bahwa saya tidak menepati janji saya. Saya minta maaf sebesar-besarnya. Sulit sekali bagi Carment dan saya untuk menepati janji kami. Saya tidak minta Anda menyetujui apa yang saya lakukan, tapi harap Anda mengerti bahwa menunggu sia-sia membuat kami gila.
Jawaban hakim atas surat saya menginsafkan saya bahwa harapan bagi saya sudah tidak ada. Saya tidak bersalah dan ingin menikmati sedikit tahun yang tersisa dari masa muda saya. Jadi, saya pergi.
Terimalah terima kasih yang setulus-tulusnya dari Carment dan saya untuk semua kebaikan Anda selama ini. Anda selalu bertindak sebagai ‘gentleman’ dan saya harap saya juga bisa bersikap demikian.
Wasalam,
Yves Geoffroy
Jelaslah bagi Moreau bahwa Geoffroy tidak akan kembali. Karena ia sudah lima hari meninggalkan penjara, mungkin sekarang ia sudah berhasil kabur keluar dari Provinsi Quebec.
Polisi provinsi melapor ke pusat. Segera keluar perintah ke seluruh negara untuk menangkap Yves Geoffroy yang buron. Surat perintah dan gambaran tentang Geoffroy pun masuk ke dalam komputer di Pusat Informasi Polisi Kanada. Dalam surat perintah itu disertai pula keterangan tentang Carment dan tentang situasi.
Informasi ini pun tiba ke Pusat Nasional Intelijen Kejahatan di Washington D.C., AS. Di sini informasi itu dimasukkan pula ke komputer supaya mudah dicari.
Philip Leclerc ditanyai. Ternyata ia tidak tahu-menahu. Malah namanya dirugikan, karena dihubungkan dengan kaburnya Geoffroy.
Polisi menyelidiki, kalau-kalau Carment Parent memiliki atau membeli mobil untuk dipakai kabur. Ternyata ia tidak pernah mempunyai mobil dan tidak ada tanda-tanda membeli mobil.
Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan paspor untuk Carment Andree Parent tanggal 29 Juni 1971, tetapi tidak mengeluarkan paspor untuk Geoffroy. Kedubes-kedubes ditanyai, tetapi tidak pernah menerima kedatangan kedua orang itu.
Para petugas perbatasan Amerika juga tidak merasa pernah melihat kedua orang itu. Daftar penumpang pesawat terbang, bus, dan kereta api diperiksa, hasilnya nihil. "Mungkin mereka tidak meninggalkan Kanada," kata Inspektur Raymond Ebert. Atasannya, Inspektur John Burris, tidak mau percaya begitu saja.
Salah seorang tetangga Carment Parent yang ditanyai memberi keterangan bahwa Carment pernah mengajar di Afrika. Sementara itu diketahui pula bahwa saudara perempuan Geoffroy belum lama ini pergi berlibur ke Meksiko. Mungkinkah mereka ke sana?
Inspektur Burris dari Bagian Penyidikan Kejahatan memerintahkan agar status simpanan uang Carment Parent diperiksa.
"Periksa, apakah ada uang yang ditransfer, apakah ia membeli cek perjalanan, dsb.," pesannya.
Tidak lama kemudian Kopral Fresnard memberi laporan: Tanggal 16 Desember, Carment Parent membeli cek perjalanan American Express di bank dekat rumahnya dengan seluruh uangnya.
Polisi segera menghubungi American Express di New York City untuk memberi tahu nomor-nomor cek perjalanan yang dibeli Carment dan meminta agar memberi tahu kalau cek-cek itu sudah diuangkan dan di mana diuangkannya.
Bank itu mempunyai sistem komputer yang luas, yang mengawasi cek perjalanan mereka yang beredar di seluruh dunia. Maksudnya, agar mereka bisa mengganti cek yang oleh pemiliknya dilaporkan hilang atau dicuri dan melacak pemunculan cek yang dicuri atau hilang itu.
Setelah itu Burris menghubungi Interpol. Buris, Kepala Bagian Penyidikan Kejahatan, juga mengepalai Interpol Ottawa.
Interpol (International Criminal Police Organization) merupakan organisasi dunia yang independen, hampir sama seperti PBB. Gedung Sekretariat Jenderalnya ada di puncak bukit di St. Cloud, dekat Paris, Prancis.
Ke St. Cloud inilah keterangan mengenai Yves Geoffroy dan istrinya yang kini menjadi buronan disampaikan dengan kode Morse. Segeralah polisi di seluruh dunia yang menjadi anggota Interpol (kini lebih dari 125 negara termasuk Rumania dan Yugoslavia) dikabari.
Disimpan di ikat pinggang
Sekarang kita ikuti jejak Geoffroy dan istri barunya. Mereka tiba dengan pesawat British European Airways flight 782 di Goteborg, Swedia, dan harus meneruskan perjalanan ke Oslo dengan bus, karena dua bandara dekat Oslo, Norwegia, ditutup akibat cuaca buruk.
Pukul 23.00 mereka masuk ke Fonix Hotel yang kecil dekat Jl. Karl Johan yang besar. Geoffroy memperlihatkan paspornya dan mengisi formulir. Paspor Carment tidak diminta.
Dari kamar 307 mereka bisa melihat jalan di luar yang kelabu, beku, dan kosong. Esok paginya dengan kedinginan mereka keluar dan mendapatkan tidak banyak orang asing di Oslo. Mereka melihat beberapa orang Inggris, tetapi tidak ada orang Prancis.
Mereka memilih Oslo dengan harapan orang lain tidak pernah berpikir akan mencari mereka di sana. Tidak terpikir oleh mereka bahwa di ujung dunia seperti ini sulit untuk bangkit memulai hidup baru.
Saat ini Geoffroy mempunyai kira-kira $ 6.000, dari hasil penjualan miliknya yang tersisa selama tahun yang lalu. Uang itu sebagian besar berupa lembaran ribuan (dolar Kanada) dan ditaruh dalam ikat pinggangnya. Kalau uang itu ditukarkan, akan menarik perhatian. Jadi, lebih baik disimpan saja dulu.
Rencananya, mereka akan hidup hemat saja dulu, sambil mencari pekerjaan. la ingin bekerja, sedangkan Carment ingin menjadi guru bahasa Prancis.
Bagaimana caranya mencari koneksi di Oslo tanpa menarik perhatian? Pemilik hotel menganggap kedua orang tamu itu menyenangkan. Geoffroy mengaku dosen sejarah dan Carment disebutnya fisioterapis.
Setiap hari mereka menunggu kesempatan, yang tidak kunjung muncul di kota dingin yang sepi itu. Lama-kelamaan Geoffroy jadi merasa pahit. Setiap hari mereka melihat orang-orang pergi dan pulang kerja dengan dandanan necis, seperti Geoffroy ketika belum masuk penjara di Montreal.
Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri. Mereka tidak peduli pada Geoffroy. Mana mungkin mengadakan kontak dengan mereka?
Pada suatu hari Carment pergi ke bank di sebelah penginapan mereka, Bergens Privatbank, yang hanya mempunyai dua orang kasir. la menguangkan selembar cek perjalanan bernilai 100 dolar Kanada. Ternyata mudahnya memang sama seperti yang diiklankan.
Saat itu sepi, tidak ada orang lain. Kasir bertanya dengan bahasa Inggris yang fasih, "Anda menyukai Oslo?"
Carment menjadi kaget. la tidak menduga akan ditegur dalam bahasa Inggris. Dengan senyum dipaksakan ia cepat-cepat mengambil uang kronernya dan pergi. Seorang pria pendek kekar lantas menggandengnya.
Geoffroy makin risau. Sedikit demi sedikit uang simpanan mereka terpakai, sedangkan pekerjaan belum juga didapat.
Malam itu di restoran yang penuh mereka harus berbagi meja dengan seorang pria muda bernama Ole Reinhardsen, yang pernah ikut kontingen Norwegia dalam pasukan PBB di Mesir. Ia menolong Geoffroy dan Carment memesankan makanan, karena ia bisa berbahasa Inggris sedikit.
Geoffroy mengaku ia juru masak dan ingin memasarkan sandwich jenis baru yang katanya sedang populer di AS. Namun, saat ini ia ingin bekerja dulu pada orang Norwegia untuk belajar selera penduduk Oslo.
Pemuda itu menasihatkan agar Geoffroy pergi ke kantor yang mencarikan pekerjaaan sementara. "Mungkin pekerjaan itu tidak memuaskan Anda, tetapi bisa menjadi pembuka jalan," kata Reinhardtsen.
Paspor orang mati
Ke kantor Interpol di Oslo, tiba kawat mengenai buronnya Geoffroy yang disertai dengan istrinya. Kantor itu letaknya cuma beberapa blok dari Fonix Hotel. Tanggal 11 Januari buletin tentang Geoffroy dibagikan pada kantor-kantor polisi seluruh Norwegia.
Kalau saat itu Geoffroy berkelahi dengan orang lain misalnya, sehingga ia ditahan, maka ia bisa ketahuan sebagai buronan yang dicari Interpol. Namun, Geoffroy tidak berbuat yang aneh-aneh dan ia tidak diketahui berada di Oslo.
Di Kanada, Inspektur Kepala Burris menuntut bawahannya meneliti lagi surat-surat permintaan paspor sambil berbekal foto Geoffroy. Bawahannya dengan enggan memeriksa surat-surat permohonan sampai mata mereka kabur.
Pada hari ketiga, setelah mereka memeriksa lebih dari 30.000 surat, mereka menemukan surat permintaan paspor yang memakai foto persis seperti yang mereka pegang, yaitu yang dibuat di penjara. Foto itu tertempel pada surat permintaan Real Rolland Lafond, lahir 25 April 1934 (9 bulan setelah Geoffroy lahir), pekerjaan: karyawan tata usaha.
Permohonan itu dibuat 28 September 1971, tiga bulan sebelum Geoffroy kabur. Permohonan itu diminta lewat pos dan paspornya dikirim dengan pos pula, ke alamat Carment Parent.
Polisi ingin tahu, siapa orang yang namanya dipinjam oleh Geoffroy itu. Ternyata Lafond asli sudah tewas tenggelam di Danau Otter tanggal 28 Desember 1959. Ia sepupu Carment Parent! Carment rupanya memiliki surat permandian almarhum, yang dipakai untuk meminjam paspor.
Orang yang disebutkan sebagai penjamin dalam surat permohonan ialah seorang notaris setempat. Ketika diperiksa, ternyata notaris itu tidak tahu-menahu dan tanda tangan yang tertera bukanlah tanda tangannya.
Foto Geoffroy, gambaran tentangnya, dan sidik jarinya sudah dikirim ke markas Interpol di Paris. Kini anak buah Burris mengirim pula nama palsu yang dipakai Geoffroy, untuk ditambahkan pada keterangan yang sudah ada.
Oh, Pak Profesor
Suatu hari telepon Burris di Ottawa berdering. American Express di New York ingin memberi tahu: cek perjalanan yang dikeluarkan tanggal 16 Desember di Montreal, bernomor X2230157 senilai 100 dolar Kanada, baru saja diuangkan oleh Carment Parent di Bergens Privatbank di Oslo, tanggal 7 Januari.
Astaga! pikir Burris. Akhirnya, ketahuan juga mereka ada di mana. Burris mengirim pesan ke Oslo.
Di Oslo, Geoffroy masuk ke kantor yang diusulkan oleh Ole Reinhardsten.
"Oh, Tuan Lafond, saat ini tidak ada pekerjaan," jawab petugas di sana dengan bahasa Inggris terpatah-patah. Datang saja kapan-kapan, tetapi jangan dalam dua tiga hari."
Geoffroy merasa lesu. Pulang ke rumah ia dan Carment merencanakan akan pergi saja meninggalkan Oslo. Ke mana?
Setelah memikirkan pelbagai kemungkinan, mereka memilih Barcelona di Spanyol, di tepi Laut Tengah. Di sana panas, tidak seperti di Oslo ini. Di kota pelabuhan yang kosmopolitan itu pasti banyak orang asing dan mungkin juga banyak lapangan pekerjaan.
Bahasa Prancis pasti banyak dipakai dan beralih ke bahasa Spanyol lebih mudah daripada ke bahasa lain. Dengan menguasai tiga bahasa dan pendidikan hukum mungkin tidak sulit baginya mencari pekerjaan.
Interpol Oslo berkantor di gedung bekas markas besar Gestapo pada PD II. Permintaan untuk menangkap Geoffroy diterima oleh Gunnar Lund, kepala kantor pusat untuk penyelidikan kriminal.
Lekas-lekas dihubunginya Bagian Penyidikan Kriminal Oslo, Per Hagen. Berlainan dengan negara-negara Barat lain, prosedur yang dijalankan oleh polisi Norwegia dirahasiakan.
Nama detektif yang diutus mencari Geoffroy dan laporan yang dibuat si detektif disimpan dalam arsip tanpa boleh diketahui umum. Namun, mereka bisa merekonstruksi apa yang dilakukannya.
Ia mendatangi petugas yang melayani Carment di Bergens Privatbank. Petugas itu tidak ingat lagi nama wanita itu, tetapi segera mengenali foto Geoffroy. Ia membuka daftar tamu. "Tuan dan Ny. Real Lafond cuma tinggal dua malam, lalu pergi entah ke mana," katanya. Lafond meninggalkan nomor paspornya.
Di hotel kelima atau keenam, pemilik mengenali foto yang diperlihatkan si detektif. "Oh, Pak Profesor!" katanya. "Ia orang baik. Temannya juga baik, Pak Reinhardsten." (Tentu saja Reinhardsten pun kemudian ditanyai). Namun Pak Profesor dan istrinya sudah pergi. Setelah menanyai Reinhardsten, polisi juga menghubungi perusahaan-perusahaan penerbangan.
Tinggal di seberang kantor polisi
British European Airways ingat pada Lafond, karena ada ketidakberesan pada tiketnya. Lafond akhirnya minta bantuan Biro Perjalanan Winge untuk membereskan tiket itu.
Petugas di Winge ingat pada Lafond. Katanya, Lafond pergi ke Barcelona lewat Frankfurt. Mereka naik SAS dan disambung dengan Iberia. Petugas menyarankan mereka tinggal di Hotel Colon, namun Lafond ingin hotel yang lebih murah, jadi baginya dipesankan tempat di Regencia Colon.
Barcelona menyambut kedatangan Geoffroy dan Carment dengan kehangatan sinar matahari. Mereka tidak mendapat kesulitan di imigrasi. Geoffroy juga merasa betah ketika tiba di Regencia Colon. Lobi hotel itu memberi kesan hangat dengan lantainya yang merah dan dengan ukiran kayunya yang halus.
Tidak lama kemudian mereka sudah berjalan-jalan di Ramblas, jalan lebar penuh kafe terbuka di tepi-tepinya.
Operator di Interpol Mardrid menerima permintaan untuk menangkap Joseph Geoffroy, beralamat di Regencia Colon, Barcelona. Dari Madrid permintaan itu diteruskan ke Barcelona yang jaraknya sekitar 600 km ke arah timur laut.
Kasus Geoffroy diserahkan kepada Inspektur Luis Serra. "Gonzales," katanya kepada asistennya. "Ini ada kriminal kelas kakap dari Amerika Utara. la kabur keliling dunia sampai Barcelona, la memilih hotel apa, coba terka? Regencia Colon, yang tidak sampai seratus langkah dari pintu kantor kita!"
Kemudian katanya, "Coba kau lihat ke sana, tapi hati-hati." Gonzales mengangguk. la berbekal Cadix 38 di pinggangnya, lalu pergi ke Regencia Colon. Geoffroy tidak ada di lobi. Gonzales memperlihatkan foto Geoffroy pada petugas di counter dan bertanya, "Kenal orang ini?"
"Oh, Tuan Lafond, sudah pergi."
Geoffroy memang sudah pindah. Lewat operator lift, Geoffroy mengetahui ada apartemen yang akan disewakan tidak jauh dari hotel. Operator itu mengantar mereka ke Apartementos Colon dan di situ Geoffroy menyewa sebuah apartemen kecil di tingkat keenam.
Tempat itu letaknya di Via Layetana 42, sedangkan Jefatura Superior de Policia terletak hampir di seberangnya, di no. 43. Di depan gedung kokoh bertembok kelabu itu polisi bersenjata berjaga siang-malam, sedangkan polisi berpakaian preman berjalan ke luar-masuk gedung.
Dari jendela kamarnya Geoffroy senang memandang ke bawah, ke toko-toko di seberangnya. Kalau lewat di depan kantor polisi, ia mengangguk hormat kepada polisi jaga. Ia tidak membaca koran Kanada, sehingga tidak tahu apa yang terjadi di sana dan betapa banyak kolom-kolom surat kabar dimuati berita tentang pelariannya.
Yang kini merisaukan Geoffroy ialah ia perlu pekerjaan. Dari berbagai pamflet yang diperolehnya di Bandara Frankfurt, ia mengetahui bahwa Afrika membutuhkan banyak tenaga seperti dia, terutama Zaire, yang dulu bernama Kongo.
Trudeau turun tangan
Di Ottawa, Inspektur Kepala Burris merasa kecewa sekali ketika tiba berita dari Inspektur Luis Serra: Geoffroy sudah tidak ada di Regencia Colon.
PM Pierre Trudeau minta supaya kasus Geoffroy ditangani lebih baik. Bagaimana mungkin pembunuh seperti Geoffroy sampai bisa melarikan diri! Maka dikirimkanlah polisi Kanada ke Spanyol.
Di Via Layetana 43, Inspektur Serra memanggil Gonzales. "Coba kau tanyai lagi semua karyawan hotel. Siapa tahu ia berbicara sesuatu kepada salah seorang dari mereka yang bisa dijadikan kunci untuk menemukannya. Malu kan kalau sampai polisi Amerika Utara sendiri yang datang kemari untuk menyelidiki. Jangan-jangan mereka mengira kita tidak bekerja di sini."
"Bueno," kata Gonzales.
Ia menanyai setiap karyawan, sambil memperlihatkan foto. Waktu tiba giliran Victor Lopez, operator lift itu berkata,
"Aah, ini kan bapak yang sopan betul itu. Saya menolong dia mencari apartemen."
"Oh!"
"Saya tunjukkan kalau mau."
Lopez dan Gonzalez bersama-sama pergi ke Apartementos Colon. Dari jalan Lopez menunjuk ke atas.
"Di sana, di tingkat enam," katanya.
"Jangan menunjuk, goblok!" kata Gonzalez.
Gonzalez lalu masuk menemui pengurus apartemen. Lafond dan istrinya masih ada, katanya. Cepat-cepat Gonzalez menyeberang ke kantor polisi untuk menceritakan penemuannya pada Serra. Ternyata Serra sedang menerima tiga polisi Kanada.
Serra meninggalkan dulu ketiga tamu asing itu untuk mendengarkan cerita Gonzalez, lalu bersama Gonzalez dan tiga detektif lain mereka pergi ke Apartementos Colon, tentu saja berbekal Cadix 38, karena katanya, "Ia mungkin bersenjata dan pasti berbahaya."
Pengurus apartemen kaget ketika melihat kedatangan mereka. Ia disuruh tutup mulut dan diam di tempatnya, setelah ditanyai apakah Lafond dan istrinya ada di apartemen.
Seorang detektif ditempatkan di bawah supaya bisa mengawasi lift maupun tangga. Serra sendiri dengan yang lain naik ke tingkat 6. Serra mencabut senjatanya dan mendekati pintu bertanda B. Gonzalez merapatkan dirinya ke dinding di sebelah kanan pintu.
Serra mengetuk pintu. Tangan Carment masih di tombol pintu ketika Serra masuk. Kaki kiri Serra menahan pintu supaya tidak bisa ditutup lagi, sedangkan tangan kanannya menodongkan pistol.
"Polisi," katanya.
Carment menjadi pucat pasi. la tidak bisa bergerak. Matanya terbuka lebar seperti mata rusa. Tepat di seberang Serra, pintu kamar mandi membuka. Geoffroy keluar memakai jas kamar berwarna kuning.
Carment menoleh kepada Geoffroy dan ia tampak lebih takut lagi. Gonzalez memegang lengan Carment, sedangkan Serra mendekati Geoffroy.
"Polisi," katanya dalam bahasa Prancis.
"Angkat tangan."
"Ada apa?" tanya Geoffroy.
"Anda ditahan, Monsieur Geoffroy, dengan surat perintah penahanan dari Kanada."
"Geoffroy? Ah, barangkali Anda salah. Nama saya Real Lafond. Perkenankanlah saya memperlihatkan paspor saya. Paspor itu ada di meja."
Paspor diperiksa. Serra tersenyum.
"Mungkin ada kesalahan, Monsieur Lafond," katanya. "Kalau begitu atas nama pemerintah Spanyol, saya minta maaf kepada Anda. Namun, saya mempunyai surat perintah penangkapan terhadap Anda di bawah nama Joseph Yves Geoffroy.”
“Jadi, saya mesti meminta Anda ikut ke kantor saya. Dekat saja, barangkali Anda juga tahu. Semuanya akan dibereskan di sana. Sekarang silakan berpakaian dulu, seorang demi seorang. Madame Lafond lebih dulu."
Geoffroy diminta untuk tidak diborgol. Serra, seperti gentleman terhadap gentleman, setuju.
Dibutakan oleh cinta
Serra masuk lebih dulu ke ruang kantornya. Ketiga polisi Kanada bangkit. Mereka sudah ditinggalkan Serra 28 menit. Serra tampak gembira.
"Messieurs," katanya dalam bahasa Prancis. "Saya ingin memperkenalkan rekan Anda setanah air, Monsieur Geoffroy."
Geoffroy yang masuk setelah Serra berkata cepat, "Nama saya Lafond."
"Ah, Geoffroy," kata Kopral Fresnard. "Senang bertemu kembali dengan Anda."
Ketika itu di Kanada, Inspektur Kepala Burris baru saja tiba di kantornya. Teleponnya berbunyi. Kopral Fresnard ingin memberi laporan. Geoffroy sudah tertangkap.
Geoffroy diekstradisi dan tanggal 13 Maret ia dan Carment dikembalikan ke Kanada. Tanggal 19 Februari 1973, keduanya dinyatakan bersalah. Hukuman seumur hidup dijatuhkan pada Geoffroy ditambah lagi dengan hukuman penjara dua tahun, karena kabur dari penjara. Carment yang membantunya, dibebaskan karena dianggap dibutakan oleh cinta.
Carment menjenguk Geoffroy sesering yang diperkenankan. Bulan madu mereka hanya berlangsung 73 hari, padahal mereka mengharapkan bisa bersama-sama selama bertahun-tahun.
(David Nevin)
Intisari Plus - Gara-gara tersambar petir, seseorang bisa sembuh dari penyakit menahun. Fenomena Time Twin dari Raja George II ternyata mengagumkan. Sepasang saudara punya jadwal melahirkan anak yang sama.
---------------------------------------
Tiga Puluh Lima Tahun Botak
TAHUN 1971, seorang pengendara truk jarak jauh, Edwin Robinson, menjadi buta dan hampir tuli akibat kecelakaan hebat di jalan. Para dokter memberi tahu, harapannya kecil untuk bisa sembuh.
Selama bertahun-tahun, ia mencoba menyesuaikan diri dengan kemalangannya. Suatu hari, ketika badai mengamuk, ia pergi ke halaman belakang rumahnya untuk memeriksa ayam-ayam peliharaan yang disayanginya. Ketika ia melewati sebuah pohon poplar, petir menyambar dan ia pingsan.
Dua puluh menit kemudian ia tersadar dan ternyata ia bisa melihat kembali, bahkan lebih baik daripada sembilan tahun sebelumnya. Pendengarannya pun pulih sepenuhnya.
Sebulan setelah kecelakaan itu, ia mendapat bonus tambahan. Ia menceritakan kepada The New York Times bahwa rambut mulai tumbuh kembali di kulit kepalanya yang botak. Padahal sudah 35 tahun ia botak dan tadinya mengira kebotakan itu akibat keturunan, suatu kondisi yang harus ia terima seperti kebutaan dan ketulian.
Sama dengan Raja
SALAH satu kasus terkenal mengenai Time Twin (orang yang dilahirkan pada waktu yang bersamaan tetapi bukan saudara kandung) dialami oleh Samuel Hemming. la lahir pada hari yang sama dan waktu yang sama dengan George II, yaitu 4 Juni 1738.
Sang rakyat jelata dan raja berpenampilan sangat mirip dan hidup mereka berjalan mengikuti garis yang mirip pula, walaupun tentu saja tingkatnya berbeda. Hemming mulai menjadi tukang besi pada hari George naik takhta.
Keduanya menikah 8 September 1761. Jumlah anak mereka sama dan jumlah anak laki-laki dan perempuannya sama. Mereka jatuh sakit dan mengalami kecelakaan pada waktu yang bersamaan dan keduanya meninggal 19 Januari 1820 karena hal yang sama.
George IV juga memiliki orang yang bak pinang dibelah dua dengannya. Time Twin-nya. itu lahir pada jam yang sama dengannya. Cuma saja kembarannya pembersih cerobong asap yang dianggap rendah, tapi sama tersohornya dalam perkara berjudi, merayu perempuan, dan menghamburkan uang.
Keduanya juga tergila-gila pacuan kuda. Pangeran memacu kuda, si pembersih cerobong asap memacu keledai. Ketika pangeran disepak kuda, hari yang sama itu juga "kembarannya" disepak keledai. Keduanya memerlukan waktu yang sama untuk pulih dan ketika pengeran bangkrut, begitu pula si pembersih cerobong asap.
Dua Kelahiran
TANGGAL 7 November 1984, Gail McClure dan saudara perempuannya, Carol Killian, melahirkan bayi perempuan di Lutheran Hospital, Mesa, Arizona. Jarak kelahiran anak mereka cuma satu jam. Tiga tahun kemudian, hal yang sama mereka ulangi lagi di rumah sakit itu.
Tanggal 11 Februari 1987, Gail mendapat anak laki-laki, Benjamin. Empat puluh lima menit kemudian Carol mendapat seorang anak perempuan lagi, Christie, lewat bedah caesar yang dilakukan oleh dokter yang menolong kelahiran keempat anak itu.
"Sesudah pengalaman pertama, kami sepakat untuk mengulanginya lagi," kata Gail. "Kami mencoba untuk merencanakan hari kelahiran pada bulan Maret, tetapi kami keburu hamil lebih dulu. Lalu kami tidak membicarakannya lagi, karena kami kira rencana sudah kacau."
Baru setelah hamil tiga bulan mereka menyadari bahwa hari kelahiran anak-anak mereka diperkirakan sama lagi. Gail sebenarnya diramalkan melahirkan tanggal 1 Februari dan Carol seminggu kemudian. "Ternyata ia menunggu saya," kata Gail. "Menakjubkan tidak?"
Mengandung Bersamaan
TIGA kakak-beradik dari keluarga Kelley di New York, hamil pada saat yang bersamaan tahun 1981. Februari 1982, mereka melahirkan berselang tidak lebih dari 34 jam.
Tahun 1982, Margaret Wright (27) dan kakaknya, Dianne (29), melahirkan bersama-sama. Oktober 1984, Margaret kembali ke rumah sakit untuk melahirkan lagi. Demikian pula adiknya, Wendy (23). Keduanya menderita mulas bersama-sama, tetapi Margaret melahirkan enam jam lebih dulu daripada Wendy. Putra Margaret, Samuel, beratnya 4 kg. Wendy mendapat anak perempuan, Heidi, yang beratnya 3,35 kg. Keduanya ditempatkan berdampingan di kamar bersalin dan dokter hilir mudik dari yang satu ke yang lain. Menurut kedua wanita itu, kelahiran bareng itu benar-benar kebetulan. "Saya tercengang ketika tahu Wendy hamil," kata Margaret. "Sebetulnya kami diramalkan melahirkan beda dua minggu, tetapi kami berdua berdoa supaya bisa melahirkan bareng. Ketika saatnya tiba, doa kami dikabulkan. Wendy melahirkan terlambat seminggu dan saya terlalu cepat seminggu." "Kami berdua menderita mulas bersamaan. Saya sangat tertolong mengetahui Margaret sama kesakitannya dengan saya. Saya terus-menerus meyakinkan diri saya bahwa saya akan bisa melewatinya karena Margaret bisa."
Menulis Tentang Angin
CAMILLE Flammarion, astronom Prancis yang termasyhur di abad XIX, merupakan juga seorang peneliti okultisme. Penelitiannya terutama tentang pemunculan hantu-hantu yang mungkin ada hubungannya dengan soal hidup setelah mati.
Dalam bukunya L'Inconnu (The Unknown,Yang Tidak Dikenal), yang diterbitkan pada 1900, ia mencatat bahwa ketika ia sedang menulis mengenai angin dalam karya besarnya tentang atmosfer (JJAtmosphere), angin kencang menjeblakkan jendelanya, mengangkat kertas-kertas yang tidak dibundel, yang baru saja ditulisinya dan membawanya pergi. Beberapa hari kemudian, ia terheran-heran menerima cetakan percobaan dari penerbitnya. Isinya bab yang hilang terbawa angin itu. Angin menerbangkan kertas-kertas itu ke jalan yang dilalui oleh kurir penerbitnya. Orang itu sering bertindak sebagai kurir bagi Flammarion. Ia memunguti kertas-kertas yang berserakan dan membawanya ke penerbit seperti biasa
Teka-teki Silang
PERSIAPAN Sekutu untuk menyerbu ke Eropa tahun 1944 dirahasiakan dengan sangat rapat. Tiap langkah operasi militer yang disebut dengan sandi "Operation Overlord (Aktivitas Tuan Tanah)", diberi nama sandi sendiri-sendiri. Di antara yang paling penting terdapat Neptune, sandi untuk rencana angkatan laut; Omaha dan Utah mengacu pada dua pantai Prancis tempat pendaratan akan dilakukan, dan Mulberry adalah nama sandi pelabuhan-pelabuhan buatan yang akan digunakan untuk memasok daerah-daerah pantai yang diduduki paling awal sebelum penyerbuan dilakukan.
Tiga puluh tiga hari sebelum tanggal penyerbuan yang direncanakan, nama-nama itu mulai muncul d teka-teki silang di Daily Telegraph yang terbit di London. Tanggal 2 Juni, hanya 4 hari sebelum penyerbuan dilancarkan, sandi Overlord muncul, sebagai padanan untuk "tokoh penting seperti ini kadang-kadang mencuri juga".
Pihak sekuriti mendatangi kantor-kantor Telegraph di Fleet Street, karena yakin mata-mata Nazi sudah mengetahui rahasia ini. Yang mereka temukan ternyata seorang guru sekolah yang kebingungan, bernama Leonard Dawe. Ia sudah mengumpulkan teka-teki silang dari koran selama 20 tahun. Ia berhasil meyakinkan para petugas sekuriti yang menginterogasinya bahwa ia tidak bersalah. Ia memang tidak bersalah, kecuali melakukan suatu kebetulan yang menggemparkan.
Polisi Berkuda Kanada
KETIKA Ny. C.L. Watt dari Adelaide, Australia Selatan, masih gadis remaja, ia ingin sekali bertemu dengan "seorang dari polisi berkuda Kanada yang penuh glamor itu".
Setelah dewasa, ia pergi ke Kanada. Namun selama hampir tiga tahun di sana, cita-citanya belum terkabul juga. Kemudian ia harus pergi dari Vancouver ke Toronto dengan menumpang Canadian Pacific Railway. Suatu malam, di restorasi kereta yang penuh sesak, ia diberi tempat duduk satu-satunya yang masih kosong di meja untuk empat orang. Ketiga tempat lain diisi tiga pria. Yang seorang berseragam angkatan darat, yang seorang berpakaian sipil, dan yang ketiga seorang pemuda berambut pirang yang tampak keren dalam seragam lengkap Mountie (polisi berkuda Kanada), jas merah dsb.
Dua pria lain mengajaknya bercakap-cakap, tetapi Mountie yang jangkung dan tampan itu mula-mula cuma duduk diam mendengarkan, lalu dengan tegas ia berbicara, "Anda orang Australia?" Ny. Watt mengiakan. "Saya juga!"
Polisi Berkuda Kanada itu orang Australia! Peristiwa kebetulan itu ternyata tidak berakhir di situ. Ia menanyakan tempat asal Ny. Watt di Australia. Ternyata ia juga berasal dari Adelaide dan bahkan dari pinggiran kota yang sama, Semaphore.
"Dari sekian banyak anggota Polisi Berkuda Kanada, satu-satunya yang saya temukan setelah tiga tahun ternyata berasal dari kota saya," kenang Ny. Watt. "Sekarang saya sudah menjadi manula, tetapi saya sering mengenang pertemuan dengan Mountie saya di masa yang sudah lama silam."
Greenberry Hill
THE New York Heraldic November 1911 memberitakan bahwa Sir Edmundbury Godfrey dianiaya dengan kejam sampai tewas di tempat bernama Greenberry Hill. Tiga orang yang diadili untuk kejahatan itu dan kemudian dihukum gantung bernama Green, Berry, dan Hill.
Intisari Plus - Tak banyak yang tahu latar belakang keluarganya, masa kecil, serta tingkahnya yang kadang-kadang susan dimengerti. Namun harus diakui, kesan pertama yang terpancar dari wanita ini secara keseluruhan menarik.
Dari rambut pirangnya yang cepak tersisir rapi ke belakang, ditambah perawakannya yang langsing, boleh dibilang Lizzie Tilford termasuk wanita yang tidak begitu sulit membuat pemuda jatuh hati. Kenyataan itu sangat disadari Lizzie, bahkan sejak ia masih gadis.
Sejarah perkawinannya mencatat nama tiga pria yang pernah singgah dalam hidupnya. Namun yang lebih membedakan dia dari teman-teman sebayanya adalah keberanian mengambil keputusan penting yang kadangkadang berdasarkan pada alasan naif.
Bayangkan! Hanya demi uang 5 shilling, enteng saja ia memutuskan menikahi Fred Yates, pria tampan yang baru dikenalnya beberapa minggu. Pasalnya, ia merasa gengsi bertaruh dengan cewek-cewek teman sekolahnya. "Bagi saya itu merupakan tantangan yang orang lain tidak berani melakukan," akunya.
Bahtera perkawinan dini yang terjadi pada saat usia Lizzie baru 15 tahun itu pagi-pagi sudah harus kandas, bahkan sebelum sempat berlayar. "Kami sempat hidup bersama selama seminggu sebelum akhirnya berpisah. Sejak itu saya tak pernah melihatnya lagi," ujarnya.
Bagaikan sesuatu yang tak bisa dipercaya, setelah itu, Lizzie berkecimpung dalam banyak kegiatan sosial. Juga aktif dalam kegiatan keagamaan yang mempertemukannya dengan William Walker. Pria inilah yang kemudian menjadi suami keduanya.
Tahun 1928, pasangan ini pindah ke Woodstock, Kanada, dengan keempat anaknya. Semula Walker mencoba untuk menjadi petani tapi dasar memang tidak berbakat, upayanya gagal.
Kehidupan Walker semakin tragis. la jatuh sakit, menjadi buta, dan tersiksa berbulan-bulan sebelum akhirnya meninggal tanggal 19 Februari 1929. Menurut laporan dokter, penyebab kematiannya tumor otak.
Untuk menyambung hidup sehari-hari, Lizzie dengan ketabahan yang luar biasa bekerja di sebuah pabrik sepatu. Waktu senggangnya digunakan untuk praktik sebagai peramal nasib, bakat spiritual yang memang sudah dimilikinya sejak dewasa. Pelanggannya tak hanya kaum wanita Woodstock, melainkan juga kaum pria.
Kegiatan yang cukup sibuk itu mempertemukannya dengan seorang pria berumur 31 tahun, Tyrrell Tilford. Nampaknya Lizzie yang kala itu sudah mendekati setengah abad tertarik juga.
Tanpa perlu "pacaran" lama, tanggal 10 November 1930, untuk ketiga kalinya Lizzie menikah meski nampaknya kedua orang tua Tyrrell tidak begitu menyukai sang menantu.
Tapi toh mereka tetap berbaik hati dengan membuatkan rumah bagi pasangan ini di pojok halaman belakang kediaman mereka yang luas di Cronyn Street.
Jeritan di pagi hari
Bahtera perkawinan pasangan ini nampaknya lancar-lancar saja, sampai suatu ketika terjadilah sebuah musibah. Jumat pagi, 29 Maret 1935, James Tilford (74) mertua Lizzie, mendengar suara pintu belakang rumahnya diketuk berulang kali.
Menurut perkiraannya pastilah itu ulah si Dino, anjing mereka yang semalam lupa masuk rumah. Karena merasa terganggu, akhirnya ia memutuskan untuk membuka pintu. Dilihatnya Tyrrell dalam keadaan menyedihkan.
Wajahnya biru sembap, dengan posisi setengah berlutut tangannya gemetar mencoba meraih gerendel pintu. Begitu pintu dibuka, Tyrrell sempoyongan tersuruk ke rumah.
Setelah dipapah ke ranjang, Tyrrell bergumam, "Ayah, aku mau mati." Dadanya nampak sesak, napasnya terengah-engah. "Aku kena racun arsenik. Lihatlah lidahku, nyaris terkoyak-koyak." Dalam keadaan demikian, Tyrrell sempat mengatakan bahwa ini semua gara-gara Lizzie dan dua anaknya.
Tyrrell juga melaporkan, .melihat Bill Blake, teman istrinya yang selalu bertandang ke rumah mereka pura-pura ingin belajar ilmu meramal, pernah mengintipnya dari balik tirai jendela kamar tidurnya. Saat itu ia mendengar suaranya, "Gila, ia memiliki racun yang cukup untuk membunuh 20 orang."
Kemudian Tyrrell meminta ibunya menelepon apotek milik Keith untuk menanyakan apakah ada kiriman racun arsenik ke rumah mereka. Jawaban yang didapat, sudah berminggu-minggu tidak ada pesanan obat dari mereka.
"la bohong, Bu!" potong Tyrrell begitu mendengar jawaban dari toko tersebut lewat ibunya. Sementara itu dengan perawatan seadanya, Tyrrell beristirahat di rumah orang tuanya.
Terdorong oleh rasa curiga, Tilford memanggil dokter keluarga mereka, dr. Hugh Lindsay. Setelah dicocokkan, ternyata kapsul-kapsul obat pusing kepala yang biasanya diberikan dr. Lindsay berbeda dengan apa yang dibuat dan diberikan Lizzie kepada Tyrrell.
Sabtu malam, kondisi Tyrrell semakin memburuk kalau tidak boleh dibilang sekarat. "Tolong panggilkan Lizzie," pintanya kepada saudarasaudaranya.
Merasa tidak suka sang suami berada di rumah mertua, begitu datang Lizzie langsung membujuk Tyrrell. "Sayang, kau 'kan tahu," kata Lizzie lirih sambil menggenggam tangan suaminya, ... mestinya kau tak perlu ke sini."
Namun dengan perlahan Tyrrell mendorong tubuh istrinya. "Kau telah tega dan sadar meracuniku, Lizzie. Tak lama lagi aku akan mati." Ketika wanita ini mencoba untuk menenangkan suaminya serta menghibur, sang mertua lan tas memotong, "Hei perempuan bodoh, tidakkah kau lihat putraku sedang sekarat?"
"Sayang, jangan berkata begitu. Percayalah, kau tidak akan meninggalkan kita," katanya tanpa memperhatikan hardikan sang mertua.
"Ya, aku akan segera mati," desak Tyrrell, "Kalau aku mati, kau akan bebas memiliki pacarmu Bill Blake dan tanah pertanian itu."
Dengan melihat anggota keluarganya yang lain ia melanjutkan, "Setelah aku meninggal, lakukan autopsi. Periksalah isi perutku, pasti ada racun arsenik. Lizzie, kau telah membunuh dua suamimu terdahulu tapi setelah ini kau tak akan bisa lagi melakukannya."
Merasa dipojokkan oleh suami beserta keluarganya dengan menahan amarah Lizzie lalu menelepon apotek Keith, menanyakan apakah dia mengirimkan racun arsenik ke rumah.
Sengaja ia menjauhkan gagang telepon dari telinga agar orang-orang di rumah itu bisa mendengar jawaban dari sana. "Kalau memang tidak ada kiriman arsenik, saya minta kau jadi saksi." katanya.
Sementara itu Tyrrell yang nampak pucat, dengan suara tersengal-sengal karena sulit bernapas memanggil ibunya ke ranjangnya seraya berkata, "Aku akan menciummu untuk yang terakhir kalinya. Ma."
Tanpa tahu harus berbuat apa, kedua suami istri gaek itu lantas ke luar ruangan, meninggalkan Lizzie yang sedang menjaga Tyrrell. Hari itu Tyrrell segera dipindahkan ke rumahnya sendiri.
Menggali kuburan
Senin pagi ketika bangun tidur, Ny. James Tilford mendengar suara orang berteriak-teriak dari arah rumah Tyrell. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke luar, tapi tidak mendapatkan apa-apa.
Untuk mengobati rasa penasaran ia segera menelepon rumah anak-menantunya. Kebetulan yang menerima Lizzie. "Bu,ia baik-baik saja. Kemarin sudah bisa makan bistik, aprikot, bahkan es krim."
Tapi kelegaan yang dirasakan nyonya tua cerewet ini tak berlangsung lama. Keesokan harinya telepon rumahnya berdering, memberitahukan bahwa Tyrrell telah meninggal pukul 05.00.
Dr. Lindsay yang baru saja datang dari luar kota, merasa kebingungan ketika dimintai visum kematian Tyrrell. Tapi setelah berkonsultasi dengan petugas kamar mayat dan jaksa setempat, ia membuat visum et lepeitum kematian Tyrrell akibat influenza dan serangan jantung.
Sama sekali ia tidak menyinggung-nyinggung soal racun arsenik, yang menurutnya hanya merupakan gosip semata. Tentu saja yang paling panik sepeninggal Tyrrell adalah Lizzie. Kekhawatiran ibu 4 anak ini terutama kalau keluarga Tilford melapor kepada polisi.
Di pemakaman, ia mengatakan sesuatu kepada temannya, "Untuk meyakinkan jenazah almarhum tidak diapa-apakan, saya sendiri yang memandikannya." Lizzie baru nampak lega setelah yakin tubuh suaminya tidak diautopsi, sampai saat diturunkan ke liang lahat. "Hal yang sama juga saya lakukan terhadap suami pertama (Mungkin yang dimaksudkan adalah Walker)."
Meski yakin suaminya sudah dikuburkan, toh malam hari ia tetap resah, tidak bisa tidur. Ia lalu menyuruh-salah seorang anaknya menjaga kuburan Tyrrell agar tidak digali orang.
Ketika Frank Tilford, salah seorang adik suaminya menelepon, Lizzie langsung mengadu bahwa keluarga Tilford tetap saja melancarkan tuduhan bahwa dialah dalang kematian suaminya. "Saya tidak terima tuduhan itu. Mana buktinya? Tunggulah, akan saya tuntut! Mereka harus membuat permintaan maaf di semua surat kabar terbitan Kanada."
Selang beberapa hari kemudian, beredar gosip ternyata ada bekas-bekas bungkus racun strychnine danarsenik di rumah keluarga Lizzie. Konon, racun itu dipakai untuk memberantas tikus. Bak luka lama yang digaruk, gosip itu segera meracuni keluarga Tilford. Tom serta saudara-saudara Tyrrell memutuskan untuk menyelidiki apakah memang betul Lizzie membeli racun.
"Astaga, Lizzie!" kata Tom suatu hari ketika masuk ke rumah Lizzie, "Kauharus mengusir tikus-tikus ini.Ada seekor yang menabrak kakiku ketika masuk tadi."
"Tom, di sini tak pernah ada tikus!" jawab Lizzie serta merta. la juga menyangkal, tidak ada secuil punracun tikus di rumah itu. "Kalau nggak percaya, nanti saya tanyakan kepada almarhum abangmu," ujar Lizzie.
"Bagaimana kau bisa lakukan hal itu?"
"Bagiku gampang! Kau 'kan tidak percaya soal kebatinan," katanya.
Tanpa sepengetahuan Lizzie dan anak-anaknya, keluarga Tilford menghubungi polisi untuk menyelidiki kasus kematian Tyrrell.
Suatu malam, dengan diterangi cahaya lampu minyak kuburan Tyrrell digali. Beberapa anggota badannya diambil untuk dianalisis di laboratorium forensik. Sebelum fajar menyingsing jenazahnya sudah dikuburkannya kembali seperti semula.
Prof. Joselyn Rogers, dari Universitas Toronto yang terkenal dengan julukan Detektif Kimia sehubungan dengan keterlibatannya dalam beberapa penyelidikan kriminal, tanpa banyak kesulitan berhasil mendapatkan jawaban atas teka-teki penyebab kematian si korban. la menemukan 2 butir arsenik dalam perut Tyrrell, jumlah yang lebih dari cukup untuk mematikan seseorang.
Saksi kunci
Proses penyelidikan polisi berlangsung agak lamban. Buktinya, sebulan kemudian kasus pembunuhan ini baru diajukan ke meja hijau. Saksi pertama yang diajukan adalah Victor King. Pemuda kurus 19 tahun ini sehari-harinya bertugas sebagai asisten apoteker Keith.
Dari buku ekspedisi penjualan obat dan zat kimia yang dipegangnya, tercatat ada order pengiriman arsenik 2 ons ke rumah Tilford tertanggal 20 Maret. Isabella (16), putri Lizzie yang meneken tanda terimanya. Tanda tangan ini bisa dibuktikan di buku pengiriman tersebut.Demikian ia bersaksi.
Isabella yang dipanggil menjadi saksi pada kesempatan berikutnya mengakui dan membenarkan hal tersebut. "Ketika kiriman arsenik ter sebut datang, saya sedang di rumah bersama kakak, William.
Atas perintah ayah (Tyrrell) saya menelepon apotek Keith memberi tahu tentang arsenik tersebut, pukul 02.00 - 02.30. Ayah memang ingin memakainya untuk membunuh tikus di gudang."
"Saat itu, ibu Anda berada di mana?" tanya jaksa.
"Di pesta ulang tahun temannya. la pergi dari rumah kira-kira pukul 01.30."
"Anda tahu Pak King?" "Ya."
"Setelah menerima barang, Anda lantas membayar Pak King?"
"Ya, 2 sen. Ayah sendiri yang mengambil duit dari kantung bajunya."
"Apa yang kemudian Anda lakukan dengan racun tersebut?"
"Ketika Ayah ke luar ke pintu belakang, saya memberikan kepadanya. la lalu pergi ke gudang."
"Apakah Anda memberitahu ibu Anda?"
"Tidak. Ayah melarang saya melakukan itu. Katanya, saya nanti bisa celaka."
"Kapan ayah Anda mengeluh sakit?"
"Hari berikutnya. Kemudian ibu menyuruh memanggil dr. Lindsay."
"Apakah Anda tahu, sebelumnya ayah Anda pernah muntah-muntah seperti itu?"
"Ya, di hari Valentine, ketika ia terlalu banyak makan es krim."
"Apa yang dilakukan ibu Anda ketika ayah Anda sakit?"
"Ia merawatnya."
"Pernahkah Anda menceritakan tentang racun arsenik tersebut kepada ibu Anda?"
"Ya, sebelas hari setelah ayah dimakamkan."
Ketika mengucapkan kalimat terakhir ini, Isabella terlihat tak mampu lagi menahan tangisnya. Ia tersedu-sedu menyeka air matanya dengan sapu tangan. Jaksa pun mempersilahkan ia mundur.
Hutchinson Keith, sang apoteker, memberi kesaksian dengan versi yang berbeda. Ia mengaku sudah kenal Ny. Lizzie Tilford sejak beberapa tahun dan sering menerima pesanan obat dari keluarga ini.
Pada tanggal 20 Maret tersebut, kira-kira pukul 12.30 Ny. Tilford meneleponnya, "Saya mau beli arsenik. Sejak suamiku mengumpulkan kertas-kertas bekas dan barang rombengan, sekitar rumah penuh dengan tikus," Kata Keith menirukan Lizzie.
Atas permintaan langganannya itulah ia kemudian mengirim arsenik 2 ons. Ia yakin si pemesan via telepon itu benar-benar Ny. Tilford. Ia kenal betul suara Lizzie yang khas aksen Inggrisnya. Untuk kedua kalinya Victor King dipanggil ke meja saksi.
Menurut pengakuannya setelah bicara dengan Keith, 10 menit kemudian Ny. Lizzie kembali menelepon. "Kapan kalian mengirim pesanan saya? Soalnya, saya pergi ke pesta ke luar rumah." King juga masih ingat bahwa beberapa hari setelah kematian Tilford, ia ketemu sekali lagi dengan Lizzie ketika ia mengirimkan pesanan minuman ke rumah. Saat itu Lizzie bertanya, "Kenapa tanganmu gemetar?"
"Oh, tidak. Kenapa saya harus gemetar?" jawabnya.
"Lo, kau 'kan yang membawa racun arsenik tersebut ke sini," Ny. Tilford berkata sambil tersenyum penuh arti.
Dalam persidangan lanjutan tanggal 11 Juni, Lizzie sudah dinyatakan sebagai tersangka. Artinya bila memang tuduhan jaksa terbukti tiang gantungan penjara wilayah Oxford sudah menunggunya.
Untuk memperoleh tambahan bukti-bukti lain yang memperkuat dakwaannya, pihak yang berwajib mengadakan penggalian kuburan suami kedua Lizzie, William Walker.
Hasilnya, dalam tubuhnya tidak ditemukan secuil pun tanda-tanda atau petunjuk adanya racun yang mematikan. Meski demikian banyak pula orang yang tidak percaya kalau Walker tewas secara wajar.
Meminjam telepon
Selama masa persidangan, penampilan Lizzie yang tenang tidak pernah berubah sedikit pun. Duduk diam di kursi terdakwa. Setiap keterangan saksi selalu didengarnya dengan tekun. Kadang-kadang tangannya membuat catatan di notes kecil yang selalu dibawanya.
Semakin hari jalannya sidang semakin menggiring posisi Lizzie sebagai tersangka. Meski tetap bertahan pada sikapnya yang tenang dan tak terpancing keterangan saksi, toh akhirnya emosi Lizzie sempat meledak ketika saudara perempuan Tyrrell, Annie, melukiskan keadaan dapur tempat kejadian perkara.
Annie mengaku mendengar dari telinganya sendiri Tyrrell berteriak, "Kau telah membunuh dua orang suamimu terdahulu, tapi setelah ini kau tak bisa lagi melakukannya."
"Apa yang dikatakannya bohong!" Lizzie berteriak sambil matanya berkaca-kaca, persis setelah Annie meninggalkan mimbar saksi. "Saya tidak bisa melanjutkan sidang ini. Semoga Tuhan memberi belas kasih kepada anak-anak saya." Setelah mengucapkan kalimat itu ia terkulai jatuh pingsan.
Proses peradilan yang sepintas berjalan lancar ini, terasa agak janggal karena baik jaksa penuntut maupun majelis hakim tak berhasil mengungkapkan motif apa di balik kasus pembunuhan ini. Pun ketika jaksa menggiring tersangka pada motif perebutan uang asuransi, alasannya juga tidak begitu kuat.
Seorang petugas asuransi memberikan kesaksian, beberapa hari sebelum kejadian itu, Lizzie beberapa kali meneleponnya untuk mengecek berapa besar jumlah uang asuransi Tyrrell.
Ternyata hanya 300 dolar, jumlah yang relatif sama seperti yang dimiliki almarhum suami keduanya, William Walker. Terlalu kecil untuk diperebutkan, apalagi uang itu hanya cukup untuk biaya pemakaman.
Kesaksian-kesaksian berikutnya memberi sedikit gambaran hakim untuk mencari kejelasan motif meski tetap kelihatan samar. Saksi Agnes Allen, saudara Tyrrell, mengatakan ketika pasangan Tilford ini menjenguknya beberapa hari sebelum kematian Tyrrell, Lizzie memintanya merekayasa surat wasiat Tyrrell yang akan mewariskan semua hartanya kepada Lizzie.
Sementara Keith, dalam satu kesaksiannya menyatakan Lizzie pernah datang ke tokonya meminta kapsul kosong yang katanya akan dimasuki serbuk pelangsing tubuh Kenyataan ini oleh jaksa penuntut kemudian dikaitkan dengan isi kesaksian Ny. Allen berikutnya.
Suatu siang Lizzie keluar dari kamar tidur Tyrrell dengan sebuah kapsul yang oleh suaminya dikatakan tidak manjur untuk mengobati sakitnya. Lizzie kemudian raembuang isi kapsul itu ke dalam tungku perapian.
Persidangan selanjutnya semakin tidak menguntungkan bagi Lizzie, apalagi ketika tampil saksi yang mengejutkan, yakni Ny. Catherine Argent, teman Lizzie yang berulang tahun.
Pesta yang dihadiri Lizzie itu berlangsung pada hari yang sama ketika arsenik di kirim ke rumah Lizzie. Pada hari itu Lizzie membawa kue bidadari ke pesta. Tak seorangpun yang makan roti itu mengeluh sakit atau mati.
Namun, bukan kue tersebut yang menjadi perhatian majelis hakim. Di tengah pesta, Lizzie permisi pinjam telepon pada tuan rumah (kemungkinan besar ia menelepon apotek untuk menanyakan apakah arsenik pesanannya sudah dikirim ke rumah). Tak berapa lama kemudian ia juga ditelepon putrinya, Isabella.
"Aku lagi memesan arsenik," ujar Lizzie kepada temannya Catherine, "dan Bella sangat takut menerima pesanan itu."
Pada hari tepat meninggalnya suaminya, Lizzie menelepon Ny. Argent, "Tyrrell sudah meninggal," katanya. "Kau ingat arsenik yang kuceritakan dulu?"
Sebulan setelah kematian Tyrrell, Isabella disuruh mengantarkan surat ibunya kepada Argent, yang berisi .... Pihak kepolisian telah menginterogasi Bella. Bella memberi keterangan bahwa saya datang ke rumahmu pukul 01.00 dan pulang sekitar pukul 05.00. Kalau polisi mengecek, tolong bilang hal yang sama. Bakarlah surat ini.
Kejadian penting ini diungkapkan dengan jelas oleh Argent di depan sidang.
Hukum kaum lelaki
Masa persidangan yang melelahkan ini akan segera berakhir. Oktober yang cerah memancarkan kelembutan sinar matahari menembus kisi-kisi jendela gedung pengadilan yang bersuasana panas.
Saat itu anggota dewan juri, yang semuanya lelaki, memasuki ruang tertutup untuk merumuskan putusan. Gedung itu penuh sesak dengan para wanita, di antaranya malah ada yang bawa makanan dan minuman, seakan mereka takut melewatkan detik-detik penting yang harus disaksikannya: Betapa tidak? Bagi penduduk Kanada peristiwa ini termasuk amat langka.
Selama lebih dari setengah abad belum pernah ada seorang terpidana wanita dihukum mati. Selama itu pula para juri selalu berusaha mati-matian untuk memberi hukuman seringan mungkin kepada setiap tersangka wanita. Sebagian hadirin saat itu pun mengharap, Lizzie Tilford diselamatkan dari tiang gantungan.
Ketika hari menginjak siang, pengunjung semakin penuh. Apalagi penonton pertandingan boling dari lapangan yang terletak di depan pengadilan berpindah semua ke ruangan sidang, menambah gaduhnya suasana.
Akhirnya, pada tengah hari tim juri keluar ruangan dan membacakan keputusannya: Lizzie terbukti bersalah. Mendengar keputusan itu seketika tubuh Lizzie lunglai dan terjerembap, jatuh ke depan dengan gumam lirih tak terdengar.
".... tersangka harap di bawa ke tempat eksekusi yang sudah ditetapkan ...,"ujar pimpinan majelis hakim.
"Oh, Tuhan, ini tidak benar, itu tidak adil," ujar Lizzie setelah siuman. "Oh,ini fitnah dan jebakan. Fitnah! Semoga Tuhan melimpahkan rahmatNya kepada arwah Tilford." Lizzie akhirnya meratap sejadi-jadinya di kursi.
"... dan ia akan digantung sampai kematian menghentikannya," lanjut hakim, berbareng dengan teriakan protes para hadirin wanita.
"... semoga Tuhan memberi rahmat dan pengampunan kepada arwah Anda," kata hakim mengakhiri putusannya.
Muncul protes
Pada tanggal 30 November seorang wartawan Detroit Times, berhasil menyelinap masuk ke sel Lizzie setelah menipu sipir penjara dengan mengaku sebagai petugas kantor pengacara sang napi. "Gara-gara gosip saya masuk penjara," ujarnya kepada Williams, sang wartawan.
"Mereka menuduh saya ingin melenyapkan suami saya untuk bisa menikah dengan William Blake. Ini kebohongan besar! Blake adalah teman anak saya, Norman. Ia sama sekali tidak berarti bagi saya."
Menurut pengakuan Lizzie, ia memang sempat memberi pelajaran ilmu membaca rajah tangan kepada Blake. Ia memang pria yang berbakat untuk itu. Blake (42), akhirnya memang membuka praktik meramal nasib di Toronto.
Sebuah lembaga swasta yang memperjuangkan hak asasi wanita di Woodstock meminta kepada Mahkamah Agung agar pelaksanaan hukuman gantung atas diri Lizzie 17 Desember ditinjau kembali atau paling tidak ditunda sampai berakhirnya pesta Natal.
Sementara itu dukungan lain pun muncul. Seorang kolumnis Harian Toronto Stai menegaskan, nasib Lizzie harus diubah. Meski kenyataannya dijatuhi hukuman karena pembunuhan, sebenarnya ia bukan manusia kejam dan berjiwa pembunuh.
Pengalamannya sebagai sukarelawan berbagai yayasan sosial haruslah dipertimbangkan dalam menjatuhkan putusan. Itulah sebabnya Lizzie harus diselamatkan dari kematian berdasarkan rasa kemanusiaan, yakni kodratnya sebagai wanita.
Pasalnya, mekanisme yuridis yang dipakai untuk menjerat Lizzie ke tiang gantungan itu semuanya disusun oleh dan demi kepentingan masyarakat pria. Buktinya, anggota juri pengadilan Lizzie pun semuanya pria. Kaum wanita hanya ikut berperan kecil.
Selama ini utang budi kaum pria terhadap wanita secara umum sudah sedemikian besar sehingga cukup untuk memberi pengecualian, melepaskan nyawa wanita.
Toh, pada akhirnya keputusan tinggal keputusan. Semua usulan dan protes masyarakat tentang kasus ini tak ada yang mampu mengubah nasib Lizzie. Sesuai tanggal yang ditetapkan, wanita peramal yang cantik ini harus menghadapi malaikat maut.
Saat itu salju mulai turun mengiringi langkah-langkah Lizzie, yang menolak untuk disuntik morfin, berjalan menyeberangi halaman penjara menuju tangga penggantungan.
Tanpa bisa berkata-kata kerudung hitam dikenakan menutupi kepalanya. Sementara kedua kakinya diikat. Diiringi sepi, penentuan nasib manusia bernama Lizzie ini berlangsung kurang dari 45 menit. Sementara teka-teki kehidupannya masih terus dibicarakan orang sampai bertahun-tahun kemudian. (Frank Jones)
" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124186/racun-dan-cinta-lizzie" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890551000) } } }