Intisari Plus - Di daerah perbatasan Jerman Timur dan Jerman Barat kerap terjadi pembunuhan sadis. Sempat kesulitan mendapatkan jejak pembunuh keji itu, polisi akhirnya menemukan satu saksi. Ia adalah korban yang berhasil selamat.
---------------
Pada tahun 1946 dan 1947 banyak terjadi pembunuhan di daerah tidak bertuan pada perbatasan Jerman Timur dan Jerman Barat. Korban biasanya orang-orang yang menyeberang atau ingin mengunjungi sanak saudara dari Jerman Timur ke Jerman Barat. Di daerah-daerah perbatasan ini muncullah jenis penjahat baru, yakni orang yang mengaku kenal daerah perbatasan dan menawarkan jadi penunjuk jalan. Malam hari di jalan-jalan yang sepi, mereka menjadi pembunuh yang kejam.
Sejak bulan Maret 1946 hingga bulan April 1947, terjadi serentetan pembunuhan. Karena tempat dan caranya sama, diduga pelakunya sama. Semua korban menunjukkan luka yang sama pada kepala.
Pada bulan Maret 1946 ditemukan mayat seorang perempuan setengah baya di danau kecil dekat Roklum. Tampaknya ia dipukuli dengan alat yang berat, mungkin sebuah batu besar. Tidak ditemukan jejak si pelaku sedikit pun. Oleh karena itu jaksa menghentikan pemeriksaan.
4 bulan kemudian, di antara Walkenried dan Ellrich ditemukan mayat orang berusia antara 25-30 tahun. Korban dibunuh dengan martil. Barang bukti ditinggalkan pada mayat. Kepala yang rusak parah ditutupi selimut abu-abu.
Di bulan Agustus, jadi 2 bulan kemudian, di stasiun kota perbatasan Hof ditemukan bekas-bekas darah dan sepatu wanita. 20 meter dari sana, di dalam sumur dengan penutup, ditemukan mayat wanita muda. Pukulan-pukulan yang mematikan tampak di kepala. Ada juga bekas-bekas tusukan di muka serta di leher sampai ke tulang punggung. Sebuah jari dipotong dari tangan mayat.
Di semak-semak dekat jalan Quartze-Clenze pada tanggal 4 September 1946 ditemukan mayat seorang wanita muda. la dikenali sebagai Irene H. yang hidup di restoran dan hotel orang tuanya. Restoran itu letaknya dalam sebuah gubuk di jalan Quartze-Clenze, kira-kira 1.500 meter dari tempat mayat ditemukan. Pada mayat terdapat luka-luka bekas pukulan. Di tempat itu ditemukan sebuah batu besar yang berlumuran darah, yang mungkin digunakan sebagai alat pembunuhan.
Pada bulan November tahun itu juga, di perbatasan ditemukan lagi mayat yang telah membusuk. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa mayat lagi-lagi seorang wanita yang berumur 25 tahun. Kaki kanannya telah dimakan binatang-binatang liar. Pada mayat ditemukan koran Schwaebische Tageszeitung bertanggal 10 September 1946.
Tanggal 12 Desember 1946, di hutan kecil dekat Ilfeld seorang janda berusia 55 tahun bernama Lydia Sch, siuman sesudah ia pingsan dipukul. Semua barangnya dirampok. Beberapa petani menemukannya dan membawanya ke Ilfeld. Ia diberi pertolongan pertama oleh seorang dokter. Kepalanya luka-luka berat, tangan kanannya pun luka. Nyonya Sch dimasukkan ke rumah sakit dekat kota Nordhausen.
7,5 minggu kemudian barulah ia pulang ke kota asalnya, di dekat Holstein. Bulan Desember ditemukan dua jenazah wanita di dalam sebuah sumur yang dalamnya 8 meter, dekat rumah penjaga kereta api Vienenburg.
Wanita yang satu berusia kira-kira 37 tahun. Kepalanya di sebelah kiri hancur. Wanita yang lain berusia kira-kira 44 tahun. Kepalanya hancur juga.
Di dalam kali kecil yang mengalir dekat hutan di Abbenrose, bulan Januari 1947 ditemukan mayat seorang wanita berusia 20 tahun. Tengkorak dan otak sebelah kiri hancur.
Pertengahan bulan Februari ditemukan lagi mayat di bawah batang-batang pohon dalam hutan di daerah Dudersleben. Mayat itu seorang wanita berusia 49 tahun, di atas mata kiri dan tengkorak sebelah kanan tampak bekas pukulan. Sebuah besi yang tebalnya 3 sentimeter dan panjangnya 30 sentimeter ditemukan di tempat kejadian.
Tidak jauh dari perbatasan, di dekat kota Zorge ditemukan tengkorak manusia. Bagian dekat pelipis berlubang sebesar telur ayam. Karena badannya tidak ditemukan, tidak dapat diadakan pemeriksaan apakah telah terjadi pembunuhan. Mula-mula penduduk menyangka tengkorak itu diseret babi-babi hutan dari kuburan yang berada di dekat situ. Tengkorak ini pun milik seorang wanita muda. Tengkorak ini kelak akan berperan penting di sidang pengadilan yang kemudian diadakan di Braunschweig.
Sampai pada musim semi 1947 polisi kriminal tidak mendapat jejak pembunuh, tidak pula mendapat keterangan dari saksi yang dapat membantu mereka mengungkapkan dan membekuk si pelaku.
Pada bulan April 1947 seorang lelaki menawarkan diri untuk jadi pandu pada seorang pedagang bernama B dari Hamburg yang ingin masuk secara tidak sah ke daerah yang diduduki oleh Rusia. Si calon pembunuh ini akhirnya mabuk sesudah mendapat uang persekot dan oleh karena itu mereka tersesat. Di tengah-tengah hutan, B marah-marah padanya dan lelaki tadi marah juga.
Dengan kapak yang dibawanya ia memukul B berkali-kali sehingga B akhirnya terkapar mati. Si pembunuh merampok uang dan barang berharga dari korbannya dan melarikan diri ke Jerman Tengah. Beberapa hari kemudian si penjahat kembali lagi ke tempat kejadian. Agaknya seperti banyak penjahat lain, ia tidak dapat melepaskan diri dari daya tarik yang menggeretnya kembali ke tempat kejadian.
Ia ditahan. Namanya Rudolf Pleil, pelayan restoran berusia 22 tahun. Sesudah ditahan 7 bulan lamanya, Pleil dihukum penjara oleh Pengadilan Braunschweig karena melakukan pembunuhan kepada B disertai perampokan. Hukumannya 12 tahun 3 bulan. Ia juga dimasukkan rumah sakit jiwa.
Pada tahun 1949 ia diperiksa di poliklinik jiwa di kota Goettingen, Pleil menyatakan bahwa ia mengetahui tentang pembunuhan yang 3 tahun yang lalu terjadi di Mattierzoll. Pleil telah membuat catatan tentang pembunuhan ini dan menjahitkannya di jasnya. Pengakuan ini baru boleh dibacakan sesudah ia meninggal. la mengaku bahwa ialah si pembunuh. Pleil segera diperiksa oleh polisi kriminal. Lalu 11 pembunuhan yang tadinya tidak terungkap dapat dibuktikan. Pleil mengaku dalam pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya bahwa sebagian banyak kejahatan dilakukannya bersama kawan-kawannya: Karl Hoffmann dan Konrad Schuessler.
Hoffman ditahan di Jerman Timur dan pada tahun 1950 dikembalikan ke Jerman Barat. Pada tahun yang sama juga, Schuessler ditahan di Hamburg.
Sidang utama hakim ketuanya Luettig dan jaksanya Fuhrmann.
G.H. Mostar menyaksikan sidang pengadilan yang paling mengerikan sesudah perang dan ia menulis tentang pelaku-pelaku pembunuhan itu.
Rudolf Pleil dilahirkan beberapa kilometer dari perbatasan Jerman dengan Cekoslowakia. Ia baru berusia 7 tahun ketika Nazi berkuasa dan mengusir keluarganya karena mereka berasal dari Ceko. Di wilayah Ceko, hanya beberapa kilometer dari rumahnya yang lama, ayahnya membuat rumah baru dan hidup dari penyelundupan. Ayah dan ibunya memanfaatkannya untuk menyelundup, sebab tidak ada orang yang lebih mudah keluar masuk perbatasan dari pada seorang anak. Tiga kali ia dimasukkan penjara sewaktu masih kanak-kanak dan tiga kali ia tidak naik kelas meskipun sebetulnya ia bukan anak bodoh. Sesudah tiga tahun menjalankan penyelundupan, ia dapat mendirikan sebuah toko kecil untuk orang tuanya. Kini ia sudah malas menyelundup. Ia mencuri uang dari toko. Ibunya selalu memergoki ia mencuri tetapi pura-pura tidak melihat. Ayahnya jarang melihat dan memukulnya jika ia memergokinya. Akhirnya ayahnya menjadi pemabuk. Rudolf yang berumur 14 tahun membawa uang yang dicurinya dari toko ke wanita-wanita tunasusila. Tapi hal ini tidak memengaruhi hidup selanjutnya.
Ia kembali ke Jerman. Di situ ia berganti-ganti pekerjaan, karena tidak biasa bekerja keras. Penghasilannya sedikit. Ia sempat menjadi saksi yang berguna bagi polisi pada waktu ada penyerbuan orang-orang Ceko ke daerah Jerman.
Kemudian ia disuruh menjadi kacung kapal. Tadinya di kapal-kapal sungai. Ketika musim dingin kapal-kapal tidak bisa berlayar. Ia diusir kembali. Waktu ia berusia 14 tahun dan mengalami malam Natal yang sangat menyedihkan. Hal ini tidak bisa ia lupakan.
Kemudian ia ikut berlayar dengan kapal laut. Waktu Perang Dunia II meletus ia segera diberi kepercayaan sebagai penembus blokade. Ia melihat bagaimana kapal-kapal tenggelam. Ia mencari-cari kesempatan melaporkan kehilangan barang-barang yang sebenarnya tidak pernah dimilikinya. Konon pencurian-pencurian ini dilakukannya sesudah ia menderita penyakit ayan. Perpisahan dengan dunia perairan diakhiri dengan sidang pengadilan yang diadakan di atas geladak sebuah kapal. Semuanya yang sedang berdinas di pelabuhan di mana kapalnya sedang berlabuh harus ikut mendengarkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya, agar mereka itu takut menjalankan kejahatan seperti dia. Pleil menceritakannya bahwa dengan bangga ia melihat perkaranya mengundang cukup perhatian dari kalangan media massa dan penonton.
Waktu ia meninggalkan penjara, Perang Dunia II hampir selesai dan ia sudah berusia lebih dari 20 tahun. Ia terjerat dalam birokrasi Jawatan Kesehatan Nazi. Sebagai penderita ayan, ia akan dibuat mandul. Hal itu tidak sampai terjadi karena pesawat-pesawat pembom Amerika keburu menghancurkan bangsal-bangsal operasi pemandulan di kota-kota Dresden dan Chemnitz.
la dibawa ke kamp kerja Gelobtland dan di situ dipekerjakan sebagai mandor. Wah, kamp kerja itu benar-benar tempat idamannya dan Pleil masih saja senang jika mengingat keadaan di situ. Makan disediakan untuk 200 orang sedangkan tahanan hanya ada 150 orang. Mereka diberi minuman keras siang malam. “Kami minum banyak sekali,” ceritanya di ruang sidang sambil membuat gerakan minum.
la setengah mabuk waktu sekelompok tahanan wanita dan laki-laki digiring melalui Globtland ke kamp konsentrasi Dachau. Beratus-ratus tahanan, terutama perempuan, mati kelaparan. Mayat-mayat ditumpuk sesudah pakaian mereka yang kumal diambil, lalu dikuburkan begitu saja. Dari jendela kamarnya, Pleil melihat tumpukan mayat wanita. Tetapi Pleil tidak merasa ngeri, ia malah tertarik oleh sesuatu yang tidak ia pahami. 5 tahun kemudian ia menulis di buku hariannya di penjara: “Waktu itu saya merasa bahwa saya ini terpanggil untuk membunuh.”
Lalu ia kembali mencari nafkah di perbatasan, sekali ini perbatasan Jerman Timur-Jerman Barat dan disertai pelanggaran perbatasan nilai-nilai rohani.
Bagi Pleil, adanya perbatasan Jerman Timur-Jerman Barat memunculkan kenang-kenangan masa kanak-kanak. Itu adalah kenang-kenangan penyelundupan dan mendapatkan uang dengan cara mudah. Ia mondar-mandir lagi melanggar perbatasan, menghasilkan uang dari kesedihan dan kebingungan sesama manusia. Ia berjualan di seberang perbatasan Jerman Barat, apa yang didapatnya di Jerman Timur. Sekali ini lebih mengasyikkan, sebab bukan barang saja yang menjadi bahan penyelundupan, akan tetapi juga manusia. Beribu-ribu jumlahnya.
Kini ia bukan anak-anak lagi, ia seorang laki-laki dewasa. Ia telah menikah, menjadi pembantu petugas polisi. Tetapi pekerjaan itu tidak memuaskan baginya. Suatu kali tidak sengaja ia melukai seorang asing. Orang ini menggerung dan berdarah. Waktu itu Pleil merasa gairah aneh yang dialaminya di kamp kerja timbul kembali. Gairah yang memuaskan. Wanita tidak memberinya kepuasan. Mereka tidak suka bergaul dengannya. Ia sedih. Akhirnya ia berkenalan dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua dan keji. “Mereka itu harus dibuat tidak bergerak,” saran orang itu, “Saya akan membantumu.” Lalu pembunuhan yang tiada hentinya di perbatasan dimulai.
Biasanya kawan Pleil yang dinamakan “si diplomat” memulai perkenalan. Sering ia menyediakan senjata, kapak atau pisau, kadang-kadang belati juga sudah cukup. Kadang-kadang yang memukul dari belakang kawannya itu, kadang-kadang Pleil. Si kawan tadi biasanya mengambil hasil perampokan yang tidak seberapa, yang kemudian mereka bagi. Tetapi wanitanya selalu untuk Pleil. Adakalanya Pleil juga berani melakukan pembunuhan sendiri saja. Sekali dalam keadaan mabuk yang sangat, ayannya kambuh. Ketika tersadar ia melihat di sebelahnya sesosok mayat wanita berpakaian ski.
Sekali waktu seorang wanita berkata padanya, “Saya tidak bergairah untuk hidup.”
Pleil berkata, “Kalau demikian saya bisa membunuh Anda!”
Wanita itu tertawa mendengar “olok-olok” itu dan waktu ia merasakan pukulan martil yang pertama ia hanya tampak keheranan-heranan....
“Dorongan yang memaksa untuk membunuh sangat kuat,” begitu kata Pleil pada petugas-petugas dan hakim yang memeriksa. Waktu mereka tidak percaya akan apa yang diceritakannya, maka ia meminta agar matanya diikat. Dan dari tujuh martil, ia memilih yang dipakainya sebagai alat pembunuh.
“Tetapi,” kata Pleil, “saya hanya bertindak karena saya tidak bisa berbuat lain. Orang yang satunya tadi hanya mau merampok dan keji. Saya tidak pernah keji. Si diplomat memotong kepala korban dengan pisau penerjun payung. Saya tidak tahan. Sampai kini saya masih memimpikan peristiwa itu.”
“Oleh karena itu saya berpisah dengannya.” Orang itu menurut keterangan Pleil bernama Karl Hoffmann, berusia 37 tahun dan penyelundup seperti dirinya. Hoffmann, yang tidak lebih besar namun lebih kekar dari pada Pleil yang mengarah ke gemuk, berdiri tegak di depan juri dan tidak mau mengaku melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Ia berkenalan dengan Pleil waktu mereka bersama-sama menjadi penjual berkeliling di sesuatu perayaan Natal di rumah Pleil, katanya. Tetapi ia tidak pernah melakukan pembunuhan, sendiri maupun bersama-sama Pleil. Ia tidak pernah berada di Hof, di tempat menurut Pleil telah terjadi pembunuhan.
Di ruang sidang kemudian terjadi duel kata yang menegangkan antara hakim ketua dan Hoffmann.
“Pada mulanya Pleil tidak menyebut-nyebut Anda,” kata ketua. “Ia mengaku berbuat kejahatan yang tidak mungkin dilakukan sendiri.”
“Kalau begitu, maka orang lain yang ikut berbuat, bukan saya,” kata Hoffmann.
“Anda dikenal kembali orang oleh lima orang saksi di Hoff yang telah melihat Anda pada hari dan tempat kejadian.”
“Kalau demikian, saksi-saksi itu salah,” kata Hoffmann.
“Anda telah menawarkan pisau penerjun payung Anda kepada salah seorang saksi,” kata ketua, “dan kepada yang lain yang juga telah diminta kesaksiannya, Anda telah menawarkan jam bekas seorang korban.”
“Saya tidak pernah memiliki pisau penerjun payung, meskipun di Italia pernah hidup bersama sekelompok penerjun dan mengetahui bagaimana rupa pisau itu. Jamnya tidak pernah saya lihat.”
“Dalam mimpi menurut kesaksian seseorang, Anda pernah berteriak-teriak ‘Rudolf, mengapa kamu mengkhianatiku?’”
“Si Pleil berdusta,” kata Hoffmann.
Hakim ketua memutuskan tanya jawab yang tanpa guna.
“Ia babi kotor,” kata Pleil, “Akan tetapi si Schuessler adalah orang baik.” Dan ia melihat dengan penuh rasa persahabatan, ya hampir-hampir mesra ke arah tertuduh ketiga, orang yang tertampan dan termuda dari kelompok tiga penjahat itu.
Konrad Schuessler baru saja berusia 18 tahun waktu Pleil berkenalan dengannya. Kini ia berusia 22 tahun dan pernah berdinas 2 tahun di legiun asing. Badannya langsing dan berotot, mukanya tampan dengan hidung yang terlampau besar dan matanya bening. Keningnya yang rendah, yang ditutupi oleh rambut hitam lebat, memberi kesan kurang cerdik. Mungkin dulu ia tampak lebih tampan. Ia jenis orang yang disukai wanita dan jenis lelaki seperti inilah yang ingin dikuasai Pleil.
Pada saat Pleil mencoba untuk meloloskan diri dari kekuasaan Hoffmann, ia mencari seseorang yang disukai wanita, untuk umpan begitulah.
Mula-mula Pleil membujuknya untuk melakukan pencurian mantel, yang mengakibatkan anak berusia 18 tahun ini diganjar 9 bulan penjara.
Ketika Schuessler dikeluarkan dari penjara, Pleil menunggunya di depan pintu. Ia meyakinkan Schuessler bahwa ia tidak bisa pulang pada hari-hari Natal tanpa hadiah. Nah, hadiah “kecil-kecil” itu mudah didapat dengan memukul dan merampok orang yang ingin melalui perbatasan. Schuessler mulai terlibat.
Pleil memukuli seorang wanita setengah baya. Schuessler mendengar perempuan itu berteriak dan ikut memukulinya agar diam. Keduanya kemudian merampok wanita itu, yang 4 tahun kemudian, akan menjadi saksi satu-satunya dari semua korban dan dapat hadir pada sidang pengadilan. Pada waktu itu kedua penjahat ini menyangka perempuan itu sudah meninggal.
Bersama dengan Schuessler, Pleil dapat menjalankan kejahatan-kejahatannya. Di dekat Vienenhurg, mereka menemukan rumah penjara kereta api yang kosong. Jendela dan pintunya sudah rusak. Mereka membuat api di dalam rumah itu. Apinya tampak dari jauh di malam musim dingin 1947. Dua orang wanita yang tertarik oleh kehangatan api menyala, datang ke rumah tadi. Si Schuessler yang tampan segera saja mendapat kepercayaan wanita-wanita yang mencari perlindungan itu dan mereka masuk tanpa curiga. Oleh Pleil keduanya dipukul mati dengan tongkat besi yang berat. Meskipun demikian, Pleil masih memberikan alat pemukul pada Schuessler, yang sekali lagi memukul. Kemudian kedua wanita dirampok dan dilemparkan ke dalam sumur. Apa yang sebelumnya dikerjakan Pleil tidak tampak oleh Schuessler, yang diharuskan berdiri di luar untuk menjaga.
Kemudian sementara Pleil meneruskan membunuh, Schuessler pergi ke Maroko, ke legiun asing, ke Oran di Aljazair dan ke Vietnam. Ibunya menyurati bahwa ia dicari-cari oleh polisi. Schuessler menyatakan bahwa ia tidak dikeluarkan dari legiun dan bahwa di legiun ia dinasihati agar berganti nama dan melupakan semuanya. Akan tetapi ia melarikan diri untuk kembali ke Hamburg.
Ia ditangkap dan akhirnya mengaku waktu dihadapkan dengan Pleil yang menyatakan, “Kamu boleh menceritakan yang sebenarnya, Konrad!” Selama sidang ia mengakui kesalahannya. Sesudah itu jiwanya tidak pernah tenang. Ia membenci Hoffmann seperti Pleil. Pleil tidak hentinya menyatakan bahwa Schuessler sebenarnya tidak bersalah bahwa pemuda itu dipaksa. Apakah Pleil takut menjadi orang seperti Hoffmann?
“Apa yang telah saya kerjakan memang itu seharusnya saya kerjakan,” kata Pleil. “Setiap orang berhak untuk berlaku seperti yang sudah ditakdirkan. Tetapi Hoffmann tidak boleh berlaku demikian dan Schuessler juga tidak. Tapi Hoffmann memaksa saya sedangkan saya memaksa Schuessler. Hoffmann bersalah terhadap saya dan saya bersalah terhadap Schuessler.”
Hanya beberapa kali selama 3 minggu persidangan, Pleil si pembunuh menangis. Sekali ia tertawa. Ia menangis lama dan terisak-isak, sedangkan tertawanya sebentar dan keras.
Ia menangis pada waktu seorang saksi menceritakan tentang masa kecilnya dan orang tuanya. Tentang ayahnya yang selalu mabuk. Tentang ibu yang bersikap mesra, yang selalu menyembunyikan pencurian-pencurian kecil yang dilakukan anaknya. Ia terharu mendengar cerita bagaimana ia pada waktu kecil membagi-bagikan hasil curian kepada kawan-kawan, bagaimana ia selalu ingin menjadi pemimpin kelompok dan mempertanggungjawabkan segala kejahatan orang lain.
Mungkin si penjahat menangis karena ia pernah menjadi seorang anak yang tidak berdosa. Ataupun mungkin karena sebagai anak kecil bernama Rudi ia sebenarnya tidak jahat, tapi berubah menjadi pembunuh sesudah Perang Dunia berakhir.
Ia tertawa waktu seorang tahanan lain yang dungu diperiksa karena berhasil ia tipu. Tadinya para petugas menyangka bahwa Pleil melakukan beberapa pembunuhan lain (terbukti bukan dia yang melakukan) di perbatasan Niedersachten pada tahun-tahun sesudah Perang Dunia berakhir. Waktu itu hilang lebih dari 200 orang dan hingga kini tidak pernah ditemukan kembali. Pleil membujuk orang dungu tadi untuk mengakui sembilan dari sejumlah pembunuhan yang tidak terungkap (detail-detail pembunuhan ia ketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan). Katanya, “Bila diperiksa, mengaku saja. Mungkin engkau akan mendapat rokok yang dapat kita bagi.”
Jika dibacakan hasil pemeriksaan mayat-mayat korbannya yang mengerikan, ia segera memberi keterangan seadanya, seakan-akan penuh kepuasan. Jika para anggota keluarga korban menangis, ia menundukkan kepala, tetapi ini ia kerjakan karena begitulah perbuatan yang patut. Jika diterangkan bahwa ia sangat cepat mengingat kembali tempat-tempat kejadian, ia tersenyum bangga. Tidak, ia tidak mempunyai perasaan takut, akan tetapi ia punya rasa humor. Pernah sekali ia dikeluarkan dari sebuah restoran, ia kembali dengan menggunakan jenggot palsu. Ia minum bir dengan para petugas polisi yang mengeluarkannya dan senang bahwa mereka tidak mengenalnya kembali. Waktu jaksa mengusirnya keluar, untuk melunakkan hati jaksa mengirimkan bunga yang ditemukannya di penjara dan menulis, “Biarlah bunga berbicara.” Ia dapat membuat lelucon yang berani tetapi baik.
Sebenarnya ia cocok bergaul dalam lingkungan lelaki saja. Ia disenangi di sana. Tidak ada seorang pun dari sekian banyak saksi yang menyangka bahwa orang gemuk, berkaki pendek, dan selalu melucu itu dapat melakukan pembunuhan. Sedangkan Hoffmann, yang mukanya keji, gaya jalannya khas dan suaranya sangat tinggi, tampak seperti penjahat. Orang yang hanya melihatnya sekali saja mengenalnya kembali sesudah beberapa tahun karena ciri-ciri khasnya yang tidak bisa dilupakan.
Pleil tidak mempunyai ciri khas. Orang tidak akan mengenalnya kembali dengan mudah. Tetapi ada juga yang ingat akan kerapiannya berbusana, (waktu menghadap pengadilan setiap hari ia berganti dasi), keramahan, dan selera humornya.
Dua orang ahli mencoba menerangkan tabiat Pleil. Yang seorang ahli psikiatri dan yang seorang lagi ahli kedokteran pengadilan. Sang psikiater menemukan empat komponen yang menyebabkan Pleil melakukan pembunuhan. Itu adalah ia berpenyakit ayan ringan, seorang peminum kuat, dan ada gejala sadis dalam tabiatnya dan masa perang (di mana Pleil dibesarkan) serta masa sesudah perang (di mana ia membunuh).
Semuanya tadi menyebabkan si anak perbatasan menjadi angin topan dalam bentuk manusia, yang lari melewati perbatasan negaranya, merusak apa yang ditemukannya di perjalanan.
Ahli kedokteran pengadilan melihat Pleil dari sudut lain. Pleil sangat cerdas, katanya, sebenarnya ia cukup cerdas untuk melihat bahwa perbuatannya sangat jahat. Lagipula ia mempunyai kemauan yang cukup kuat untuk berbuat sesuai dengan kecerdasannya tadi. Akan tetapi ia tidak memiliki perasaan sama sekali. Itu benar. Hanya beberapa kali selama persidangan Pleil mencoba untuk berpura-pura kasihan pada para korban. Ia tidak berhasil meskipun sebenarnya ia aktor yang baik. Akhirnya tidak dicobanya lagi. Jadi apakah seorang manusia yang tidak punya perasaan sama sekali mempunyai pengertian untuk keagungan jiwa dan hidup manusia? Inilah yang tidak normal dalam jiwa Pleil, kata ahli.
Sidang menjatuhkan hukuman yang sama bagi Pleil, Hoffmann, dan Schuessler. Ketiga lelaki itu harus menjalankan sisa hidupnya di belakang tembok penjara karena telah melakukan pembunuhan-pembunuhan yang sangat keji. Pembunuhan-pembunuhan itu tidak bisa diampuni.
Karena penjahat-penjahat seperti Pleil, tidak akan dikejutkan oleh hukuman yang diberikan manusia dan mereka tidak akan dapat diperbaiki.
Pada tanggal 18 Februari 1958, Rudolf Pleil mengadili dirinya di Penjara Celle. la ditemukan tergantung di dalam selnya. Sebagian orang menyatakan jika ia membebaskan diri.
(Gerhart Herrmann Mostar dan Robert A Stemmle)
Baca Juga: Salah Hitung
" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761005/hanya-satu-korban-masih-hidup" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802736000) } } }