Intisari Plus - Petualang misterius, Count Ladislaus Almasy, berburu oasis yang hilang di Gurun Pasir Libya. Petualangannya di padang gurun juga sangat membantu di masa perang. Bahkan akhirnya difilmkan.
-------------------------
Di suatu tempat, tersembunyi di Gurun Libya yang tak berujung, tersebutlah sebuah oasis indah yang ditanami pepohonan palma yang tinggi dan rimbun, dengan burung-burung berkicau yang bertengger di dahannya. Di sanalah, di reruntuhan sebuah kota kuno yang berdinding putih, seorang raja dan ratu terbaring dalam tidur yang lelap, dan pada suatu hari mereka terbangun ...
Nama oasis itu adalah Zerzura—Oasis Burung-burung Kecil. Dua pria Inggris dan Hongaria mendiskusikannya suatu hari.
"Kau benar-benar tidak memercayainya bukan?" tanya Dr. Richard Bermann, dengan senyuman girang.
Count Ladislaus Almasy, pria Hongaria itu memicingkan matanya di bawah matahari, dan menggelengkan kepalanya tidak sabar. "Kota kuno itu? Tentu tidak. Kota itu adalah mitologi Arab lama dalam Kitab al Kanuz—The Book of Hidden Treasures. Akan tetapi, orang membicarakan Zerzura selama ratusan tahun, disebutkan sejak abad ke-13. Meski demikian, menurutku semua itu tak masuk akal kecuali bagi Wilkinson."
"Wilkinson?" Dr. Bermann memandang temannya penasaran.
"Sir Gardiner Wilkinson. Dialah pria yang pertama menemukan oasis Dakhla," Almasy menjelaskan. "Penduduk setempat mengatakan padanya tentang tiga oasis ke arah Kufra. Tiga oasis tersebut telah ditemukan. Mereka juga menceritakannya tentang tiga wadi (palung sungai yang kering) lain, di jalan menuju Farafra. Diceritakan terdapat pohon palma, air terjun, reruntuhan seperti yang digambarkan dalam legenda. Zerzura ..." mata Almasy menjadi tercenung ketika ia memandang jauh. "Sekarang, bila penduduk Dakhla benar tentang oasis Kufra, mereka pasti benar tentang Zerzura?"
Dr. Bermann mengangguk. Sulit tidak setuju dengan Almasy bila ia yakin akan sesuatu. Almasy bergairah dengan segala hal yang ia kerjakan, terutama gurun pasir—dan legenda Zerzura telah membuatnya terkesima selama bertahun-tahun.
Almasy tidak sendiri dalam kecintaannya terhadap Gurun Libya (yang juga dikenal sebagai Gurun Pasir Barat), padang Sahara luas yang membentang dari Libya bagian timur hingga Sungai Nil di Mesir. Sebelumnya, sudah banyak orang lain yang tertarik datang ke Gurun Libya. Tahun 1879, penjelajah Jerman Gerhard Rohlfs menyeberanginya dari timur.
Rohlfs telah mencapai oasis Kufra di Libya, tapi nyaris mati saat perjalanan. Ia maupun untanya hampir sekarat karena kehausan, kalau saja hujan yang tidak biasa turun menyelamatkan mereka. Rohlfs menamakan tempat itu Regenfeld (padang hujan). Setelah itu, para petualang mempunyai tradisi untuk berhenti di sana dan meletakkan botol berisi rincian perjalanan mereka.
Kemudian, pada 1920-an, serangkaian penjelajah mulai menelusuri jalan melalui gurun pasir. Salah satunya seorang Mesir yang kaya-raya, Sir Ahmed Hassanein Bey. Ia menemukan dua oasis yang hilang, Arkenu dan Uweinat—tapi bukan Zerzura.
Orang Mesir yang lain, Pangeran Kemal el Din, memelopori penjelajahan dengan kendaraan traktor, sementara pria Inggris, Mayor Ralph Alger Bagnold, memburu Zerzura dengan mobil. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka yang menemukannya. Keberadaan oasis itu tetap misterius.
Pada awal 1930-an, Almasy adalah satu-satunya penjelah yang paling ambisius di daerah itu. Pada 1932, ia mengadakan penjelajahan untuk menemukan oasis secara tuntas. Ia diikuti tiga orang Inggris—Sir Robert Clayton East-Clayton, Wing Commander H. Penderal, dan katrografer (pembuat peta bernama Patrick Clayton—serta enam orang Mesir. Mereka bermaksud berburu oasis dengan mobil dan melakukan survei tambahan dari udara dengan pesawat Gypsy Moth bernama Rupert.
Rombongan utama berangkat dari oasis Kharga di Mesir pada 12 April 1932 menuju Gilf Kebir, sebuah dataran tinggi gunung yang luas di sudut tenggara Mesir. Di sanalah, Almasy yakin akan menemukan oasis yang hilang.
Pada 1930-an, penjelajahan gurun pasir telah mencapai banyak kemajuan tapi masih bercampur antara bahaya dan kegairahan. Para penjelajah harus bersikap tenang dan saling menjaga satu sama lain; di sini bukanlah tempat untuk melakukan pertentangan yang tak penting. Keempat orang Eropa itu bekerja sama dan jika mereka saling tidak suka, mereka berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. setidaknya pada waktu itu.
Mereka bergantian menerbangkan Rupert, si Gypsy Moth. Mereka diterpa badai gurun dan dahaga untuk mencapai Gilf Kebir, tempat dimulainya penjelajahan yang sesungguhnya. Ketika mereka makin mendekat, mereka sadar kalau kehabisan air. Pemecahannya cukup mudah, mereka berada dalam jarak yang mencolok dari Kufra, sebuah oasis di Libya.
"Kita harus menuju Kufra untuk mencari air sebelum meneruskan perjalanan," kata Almasy. "Tidak akan lama."
"Kufra ada di wilayah Italia," ucap Patrick Clayton keberatan. "Kita tak bisa ke sana. Mereka akan menahan kita semua,"
"Jangan bodoh," balas Almasy. "Atas dasar apa mereka melakukan itu?"
"Mereka tidak suka orang Inggris menjejaki wilayahnya—itu penyebabnya!" Clayton, yang terkenal karena ketidaksukaannya pada orang Italia, menghardik.
"Aku bukan orang Inggris," Almasy menegaskan.
"Memang bukan," kata Clayton dengan nada suara tegang. Kedua pria itu saling memandang. Sebuah momen yang aneh. Mungkin itulah tanda bahwa hari-hari penjelajahan gurun yang menggembirkan akan berakhir. Gurun pasir tidak lagi bebas dari batas; bukan lagi tempat persembunyian legenda. Dalam bayang-bayang perang, para penjelajah itu mulai memikirkan kesetiaan. Penjelajahan berarti informasi—karena seluruh pria itu tahu terlalu banyak.
"Bagaimana menurutmu, Panderel?" tanya Almasy tiba tiba.
Wing Commander itu mengangkat bahu. "Kau mungkin benar," katanya kepada Almasy. "Mereka cukup siap menyambutmu. Akan tetapi, aku tentara Inggris. Jika mau pergi, sebaiknya kau sendiri saja."
Maka, Almasy menuju ke barat, meninggalkan sisa anggota tim untuk melakukan penyergapan pertama ke Gilf itu sendirian. Orang Italia menyambutnya dengan hangat. la segera membekali dirinya dengan air dan setelah mengambil foto-foto yang menarik sekali lagi, angkat kaki menuju gurun.
Tanpa kehadiran Almasy, Sir Robert dan Panderel menerbangkan Gypsy Moth di atas Gilf Kebir. Dengan kegirangan yang amat sangat, mereka menemukan sebuah wadi panjang yang ditumbuhi banyak pohon akasia.
Mungkinkah ini wadi pertama dari tiga wadi yang dibicarakan Wilkinson? Sewaktu Almasy kembali ke perkemahan dan mendengar berita itu, ia pun bergairah. Ia yakin mereka telah menemukan Zerzura. Sekarang tugasnya mencapai wadi itu dengan mobil.
Meskipun dua pria tersebut beberapa kali terbang di atas wadi yang memikat itu, mereka tak dapat menemukan jalan masuk untuk mobil di sekelilingnya—wilayah gurun bergunung Gilf Kebir menghalangi jalan mereka. Mereka menemukan wadi lain, yang berukuran kecil dan tak berarti dibandingkan dengan yang mereka lihat dari udara. Mereka kehabisan waktu. Karena merasa putus asa, mereka pun kembali.
Rombongan ekspedisi mencapai Kairo lagi pada Mei 1932. Pada September tahun yang sama, sebuah tragedi terjadi. Sir Robert Clayton East-Clayton terjangkit infeksi virus akut. Dalam beberapa hari ia meninggal. Usianya baru 24 tahun ketika wafat.
Istrinya, Lady Dorothy, merupakan perempuan berani yang bertekad menyelesaikan penjelajahan yang telah dimulai suaminya. Ia mendiskusikan niatnya dengan Patrick Clayton di Kairo. Cara yang tepat adalah bergabung dengan teman teman suaminya, termasuk Almasy, tapi tiba-tiba, sentimen pribadi Clayton terhadap Almasy tampak mengalahkannya. Clayton tahu benar betapa inginnya Almasy melanjutkan perburuan Zerzura, tapi saat itu ia ada di luar Kairo.
"Almasy tidak akan kembali ke Kairo," Clayton berbohong. "Tapi, saya akan melanjutkan ekspedisi lain sendirian. Saya akan sangat senang jika Anda bergabung."
Lady Dorothy gembira. "Tentu saya akan ikut Anda," katanya pada Clayton. "Ngomong-ngomong, saya tak mau ditemani Almasy. Pria yang tak menyenangkan."
Lady Dorothy juga tidak menyukai Almasy. Menurut dia, Almasy tak dapat dipercaya. Lebih dari sekali, ia menolak menjabat tangan Almasy dalam pertemuan-pertemuan sosial di Kairo. Ketika Almasy kembali ke Mesir—seperti diperkirakan Clayton—Almasy menemui Lady Dorothy yang menyambutnya dengan amat dingin. Almasy mengetahui rencana Lady Dorothy untuk melanjutkan ekspedisi Zerzura dengan Clayton. Almasy jengkel, dan segera membuat rencana sendiri.
Jadilah dua ekspedisi, yang sebagian dikobarkan semangat persaingan, berangkat tahun 1933 untuk berburu wadi Zerzura yang hilang. Kali ini, ekspedisi Almasy menyertakan teman lamanya, Dr. Richard Bermann, seorang jurnalis yang amat tertarik pada legenda lama dan telah sering mendiskusikannya dengan Almasy. Mereka berangkat dari Kairo pada 14 Maret 1933 dengan empat mobil.
Penghentian pertama mereka di Abu Ballas, yang berarti Bapak Kendi. Di situlah, di dalam pasir ditimbun sekitar tiga ratus kendi air. Kendi-kendi itu ditemukan orang Dakhla pada abad ke-19, sewaktu mengejar-ngejar segerombolan perampok gurun pasir. Kendi-kendi tersebut jelas milik gerombolan perampok, yang menjadikannya sebagai pasokan air dalam operasi mereka di gurun pasir.
Dengan bergairah, Almasy membentangkan sebuah peta.
"Lihat di sini, Bermann," kata Almasy kepada temannya. "Kendi-kendi ini terletak sekitar dua pertiga dari jalan antara Kufra dan Dakhla. Ini menunjukkan siapa pun yang melalui gurun pasir perlu berhenti untuk mengambil air di suatu tempat lain juga—sekitar sepertiga dari jalan di antara dua oasis."
Jari Almasy menelusuri rute karavan tua. Ia terhenti di Gilf Kebir.
"Gilf Kebir ... Zerzura?" tanya Bermann dengan senyum.
"Mengapa tidak?" jawab Almasy.
Mereka meninggalkan Abu Ballas dan menuju ke sisi timur Gilf Kebir, berharap menemukan jalan masuk ke wadi yang mereka pernah lihat tahun sebelumnya. Mereka tidak mendapatkan hasil—tapi itu tak menyurutkan semangat sebelum mereka mendapatkan penemuan lain yang amat berarti. Setiap orang selalu berpikir bahwa tidak ada jalan melalui Gilf Kebir.
Akan tetapi, mereka salah. Padang yang luas itu sesungguhnya terbagi dua—ada sebuah celah di tengah-tengah yang mengalir dari timur ke barat. Ini bukan wadi, tapi sebuah celah besar di batu cadas. Hanya melalui celah inilah mobil dapat lewat dengan mudah.
"Sangat menarik," gumam Almasy. "Amat berguna sekali." Dengan menggunakan penemuan baru itu, mereka bergerak ke barat menuju Kufra untuk menyimpan perbekalan. Di sana, mereka mendengar kabar tentang ekspedisi lain. Patrick Clayton dan Lady Dorothy telah menemukan jalan masuk ke wadi di Gilf Kebir, dan sekarang mereka puas dan kembali ke Kairo.
"Kita ikuti jejak mereka ke wadi," Almasy segera berujar. "Kemudian kita akan melakukan ekspedisi yang lebih baik bila sudah di sana, mungkin ada petunjuk tentang dua wadi lain. Akan tetapi sebelum pergi, aku mau bicara dengan penduduk setempat."
Almasy yakin bahwa penduduk Kufra pasti tahu tentang wadi yang tersembunyi di Gilf. Meminta mereka menunjukkan wadi itu merupakan sebuah persoalan. Penduduk gurun tidak suka menceritakan rahasia mereka pada orang asing. Akhirnya, ia menjumpai seorang pemandu karavan tua, namanya Ibrahim, yang mau angkat bicara.
"Wadi yang engkau bicarakan itu Wadi Abd el Melik," ia berkata pada Almasy dalam bahasa Arab yang beraksen kuat dan ganjil. "Di dekatnya ada yang lain. Kami menamakannya Wadi Talh."
Setelah sedikit dibujuk, Ibrahim mengatakan jalan mencapai wadi kedua itu. Akan tetapi, ia menolak mengatakan tentang wadi ketiga. Puas sesaat, rombongan ekspedisi berangkat lagi.
"Wadi Abd el Melik dan Wadi Talh," Almasy termenung saat mereka berjalan. "Cuma dua. Apakah menurutmu Ibrahim tua itu jujur?"
Mereka menjejaki jalan melalui Gilf, menelusuri jalur ekspedisi Clayton, dan akhirnya menerobos ke Wadi Abd el Melik. Jalan panjang yang dihiasi pohon-pohon akasia, tapi tidak ada lagi yang dapat dikatakan tentang jalan itu. Seluruh tetumbuhan kering dan layu: ada dua air terjun cadas yang kecil, tapi hampir kering. Tempat itu hampir tidak seperti gambaran sebuah surga.
Namun, Almasy masih bertekad untuk menemukan Wadi Talh. Bersama salah seorang pria Arab, ia menyusuri rute tandus menuju puncak dataran Gilf dan mengikuti petunjuk Ibrahim. Tak lama, hampir pasti, ia akan menemukan wadi lain yang dipenuhi pepohonan akasia.
Dengan riang Almasy kembali ke kemah. Hanya satu wadi lagi yang perlu ditemukan. Merasa senang sendiri, rombongan menuju ke oasis Uweinat—di sana sekali lagi mereka menjumpai Ibrahim. Kali ini orang tua itu sedikit meluruskan keterangannya.
Waktu ia mengetahui temuan mereka, ia mengakui bahwa ada wadi ketiga, yang dinamakan Wadi Hamra—Wadi Merah. Ketiga wadi itu digunakan penggembala setempat untuk merumput ternak mereka setelah hujan musiman turun. Bila hujan tidak turun lama, tetumbuhan itu mati.
Jadi, Zerzura atau bukan? Wadi-wadi yang malang itu pasti bukan legenda yang dimaksud—bahkan Almasy yang keras hati sekalipun harus mengakuinya. Legenda tentang Zerzura tampak seperti fatamorgana yang menghilang di depan mata mereka.
Akan tetapi, itu tidak terlalu berarti; mereka telah memetakan wilayah itu dan melakukan beberapa penemuan navigasi yang penting. Dan pada saat pergantian waktu itu, mana yang lebih penting—legenda atau beberapa peta yang sempurna?
Rombongan beristirahat di Uweinat dan menjelajahi sekitarnya. Almasy, yang selalu cenderung berjalan mendahului yang lain, segera menemukan sesuatu yang luar biasa. Jauh tinggi di tebing terdapat serangkaian gua-gua kecil yang berisi lukisan batu prasejarah dalam warna-warni yang indah. Lukisan itu menggambarkan hewan-hewan peliharaan, terutama ternak, dan prajurit-prajurit yang mengusung panah.
Lukisan tersebut bukanlah yang pertama ditemukan di wilayah itu. Tahun 1920-an, ketika Sir Ahmed Hassanein Bey menemukan Uweinat, penduduk nomadik setempat mengatakan padanya bahwa jin pernah bermukim di Uweinat, dan meninggalkan gambar-gambar mereka di batu-batu cadas.
Hassanein segera mencari gambar-gambar itu dan menemukan lukisan yang menggambarkan singa, jerapah, burung unta, dan berbagai jenis antelop, dan mungkin sapi. Hassanein menilai bahwa di zaman purba daerah ini pasti jauh lebih subur dan dihuni banyak orang, yang hidup relatif makmur.
Patrick Clayton juga menemukan gua di dekat Gilf Kebir, yang berisi banyak gambar jerapah dan singa. Namun, pencarian Almasy yang nekatlah yang lebih membawa penerangan pada gua-gua ini. la dan timnya membuat catatan fotografis, dan Almasy sendiri membuat sedikit sketsa.
Akan tetapi, sekali lagi musim itu berakhir. Ekspedisi tersebut berkemas dan kembali ke Kairo. Di sana mereka mendengar bahwa rombongan Patrick Clayton tidak mendapatkan temuan lagi; dan rombongan kembali dari Gilf langsung melewati bagian tengah Lautan Pasir Raksasa—wilayah bukit pasir luas yang hampir menewaskan Gerhard Rohlfs seabad lalu—yang merupakan prestasi besar tersendiri.
Ketika terik musim panas berlalu, Almasy sekali lagi kembali ke Uweinat. Pada kesempatan itu, ia menemukan Gua Perenang, yang sekarang terkenal, di lembah berbatu yang membentang dari Uweinat ke arah Gilf Kebir. Di sana, ditemukan lebih banyak lukisan, yang dengan jelas menggambarkan orang-orang sedang berenang.
Tempat itu memberikan bukti akhir betapa suburnya wilayah tersebut pada masa lalu. Bahkan dipastikan dahulu di situ ada danau. Mungkin inilah, bukan ketiga wadi tadi, yang memunculkan legenda kuno Zerzura—tapi siapa yang bisa bilang?
Zerzura sekali lagi menghindar dari penemuan dan ketika Eropa semakin mendekati peperangan, para penjelajah harus memikirkan hal lain. Mereka tidak bisa lagi bersikap netral. Pengetahuan mereka terlalu berharga, dan peta yang mereka buat memiliki nilai baru.
Bagi sebagian besar mereka, tidak ada pertanyaan mengenai keberpihakan mereka. Kesetiaan pada negara amat merasuk. Akan tetapi, sebagai seorang Hongaria, Almasy adalah sebuah misteri. la berada di pihak mana? Pemerintah Hongaria bersimpati pada Hitler dan fasisme, tapi tidak berarti bahwa Almasy sendiri seorang Nazi.
Ia bertindak tidak konsisten selama ekspedisi gurun pasirnya. Tahun 1932, pada perjalanan Zerzura yang pertama, ia memotret markas militer Italia di oasis Kufra, dan menyerahkannya pada teman-temannya yang berbangsa Inggris. Kemudian, pada 1933, ia memberitahukan orang-orang Italia rute timur-barat melewati Gilf Kebir.
Pembagian kesetiaan yang aneh? Mungkin saja. Akan tetapi, ia harus memilih salah satu pihak—dan akhirnya melakukannya dengan penuh gaya. Ia bergabung dengan angkatan udara Jerman, Luftwaffe, sebagai penasihat gurun pasir.
Tahun 1941, badan intelijen Jerman, Abwehr, sangat kecewa, karena tidak dapat menemukan mata-mata di belakang garis Inggris dan di Kairo. Almasy yang melihat kesempatan untuk menggunakan pengetahuannya, masuk ke dalam terobosan itu.
"Saya bisa mendapatkan dua agen Jerman ke Kairo untuk Anda," kata Almasy pada Abwehr. "Saya akan membawanya melalui Libya, melewati Kufra, dan melalui Gilf Kebir ke Kharga, dan dari sana menuju Assiut di tepi Sungai Nil.
Pada mulanya, Abwehr mencemooh. Akan tetapi, sejauh ini, seluruh usaha lain mereka telah gagal; dan jika ada orang yang dapat berada di belakang garis Inggris, Almasy-lah orangnya. Mereka mengizinkannya, dan Operation Salaam yang berani, sebutan operasi itu, diluncurkan.
Prioritas Almasy yang pertama adalah kendaraannya. Di Tripoli, ibukota Libya, dua mobil Ford Inggris yang disita, menjalani pemeriksaan yang teliti, dan disiapkan untuk perjalanan mereka mengarungi gurun. Tiga truk mengikutinya membawa perbekalan. Kemudian Almasy bertemu mata-mata Jerman, agen Eppler dan Sanstedte. Pada awal 1942, Operation Salaam siap, dan orang-orang itu berangkat.
Pengetahuan Almasy tentang Gilf Kebir-lah yang membuat misi itu berhasil. Truk-truk itu tidak mendapat kesulitan menyeberangi celah timur-barat yang ia temukan sembilan tahun lalu. Eppler dan Sandstedte diserahkan dengan selamat di Assiut pada 24 Mei 1942, setelah perjalanan yang luar biasa sepanjang 3.200 kilometer.
Perjalanan Almasy merupakan salah satu tindakan intelijen yang paling berani atas operasi militer gurun pasir Jerman; meskipun saat itu berlangsung, mereka tidak banyak memanfaatkannya.
Tak lama setelah kedatangan mata-mata itu di Kairo, Inggris menangkap operator tanpa kabel yang telah menerjemahkan pesan-pesan mereka. Dan dengan bodohnya agen-agen itu sendiri menghambur-hamburkan uang di Kairo dan mengadakan pesta-pesta mewah. Jelas tidak sulit bagi Inggris untuk mengawasi mereka.
Almasy sendiri menghilang kembali ke gurun dan berhasil menerobos di belakang garis Italia-Jerman. Inggris tidak punya banyak kesempatan menangkapnya; pencariannya yang lama atas Zerzura membuatnya sukar ditangkap seperti halnya oasis itu sendiri yang melegenda.
Kemudian
Almasy selamat dari peperangan dan menulis sejumlah buku tentang petualangannya di gurun pasir. la wafat di Salzburg, 1951. Di atas makamnya ada tulisan Arab, Abu Raml atau Bapak Padang Pasir'.
Bila Anda pernah membaca novel karangan Michael Ondaatje The English Patient, atau menonton filmnya, sebagian kisah ini bisa jadi tampak tak asing bagi Anda. Sang novelis memang memakai kehidupan petualangan yang luar biasa ini sebagai gagasan, meskipun ia banyak mengubah detail.
Katherine Clifton, kekasih Almasy dalam kisah Ondaatje, sama sekali tidak ada kesamaan dalam kenyataannya. Sebagian orang menganggap Clifton diambil dari Lady Dorothy Clayton East-Clayton, janda Sir Robert; tapi ketidaksukaan Lady Dorothy pada Almasy tampak amat nyata, dan Almasy diduga seorang homoseksual. Seperti suaminya, hidup Lady Dorothy berakhir tragis—tahun 1933 ia tewas dalam kecelakaan pesawat.
Oasis Zerzura tetap belum ditemukan.
" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309922/legenda-zerzura" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282324000) } } [1]=> object(stdClass)#46 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309920" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#47 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/penjelajahan-di-tanah-tak-berad-20220603065033.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#48 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang." ["section"]=> object(stdClass)#49 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/penjelajahan-di-tanah-tak-berad-20220603065033.jpg" ["title"]=> string(35) "Penjelajahan di 'Tanah Tak Beradab'" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:50:59" ["content"]=> string(23526) "
Intisari Plus - Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang. Padahal tim-tim lain yang melintas di rute mereka rata-rata menempuh keberhasilan.
-------------------------
Sejauh mata memandang yang tampak adalah belantara tandus. Di barat, terlihat bukit-bukit berpasir merah tak berujung. Membentang dari barat laut, tanahnya lebih rata, tapi seragam. Tak ada yang menarik untuk dilihat di selatan.
Menyapu pemandangan dengan binokulernya, satu-satunya sosok jelas yang dapat dilihat penjelajah itu terletak di barat daya. Di sana, di kejauhan, di antara kabut yang berpendar, Ernest Giles melihat gunung.
Ia mengamatinya dengan cermat. "Ada bukit barisan membentang panjang," ia memberitahukan temannya sambil merendahkan binokulernya. "Bisa berarti air. Aku perkirakan jaraknya sekitar 80 kilometer. Ke sanalah tujuan berikut kita."
William Tietkens, pria di sebelahnya, mengangguk setuju. la tidak punya banyak pilihan—Ernest Giles adalah pemimpin ekspedisi. Hanya bersama dua pria lain, Tietkens bergabung dengan Giles dalam usaha yang keras untuk menyeberangi Australia Barat.
Saat itu Januari 1874. Australia memberikan tantangan yang besar kepada penjelajah Inggris, yang ingin mempertaruhkan klaim mereka terhadap tanah "tak beradab" yang luas ini. Para penjelajah Inggris itu kurang menghormati orang-orang yang sudah lama menetap di sana, suku Aborigin yang mengenal tanah itu dengan baik.
Malahan mereka menganggap penjelajahan mencapai sudut terjauh itu sebagai tugas yang secepatnya melawan suku Aborigin di sepanjang perjalanan. Dalam perjalanan, mereka memberikan nama setiap sosok lanskap—seakan-akan tak seorang pun pernah melihat sebelumnya.
Tahun 1862, John McDouall Stuart menjadi orang kulit putih pertama yang menyeberangi benua itu dari utara ke selatan. Tahun 1872, sebuah jalur telegraf yang luas dibangun sepanjang rute Stuart. Sekarang, yang menjadi tantangan adalah menyeberangi Australia dari garis telegraf itu ke pantai barat. Kebanyakan wilayah ini merupakan gurun pasir.
Perlombaan pun dipacu. Ernest Giles melakukan usaha pertamanya tahun 1872. la mencapai Gunung MacDonnel, tapi kehabisan air dan terpaksa kembali. Ia bermaksud kembali lagi tahun berikutnya. Akan tetapi, saat itu, dua penjelajah lain juga berlomba. Mereka adalah Peter Warburton dan William Gosse. Bertekad untuk mengalahkan mereka berdua, Ernest Giles berangkat pada 4 Agustus 1873.
Pada Januari 1874, Giles telah mencapai pegunungan yang ia namakan Rawlinson Range—Pegunungan Rawlinson. Ia menjelajahi wilayah itu dan mendirikan sebuah perkemahan bernama Fort McKellar. Ia merasa kecewa, gunung-gunung itu meredup. Jauh dari mereka, menuju arah barat, tampak tidak ada apa-apa kecuali lebih banyak gurun pasir.
Ini ia ketahui ketika mengintai gunung ke arah timur laut bersama temannya, William Tietkens. Dua pria itu kembali ke kemah dan menceritakan pada yang lain—pemuda Jemmy Andrews yang baru berusia 20 tahun dan Alfred Gibson, yang jebih tua. Pada 1 Februari 1874, empat pria itu bersama lebih dari 20 ekor kuda, berangkat menuju gunung yang memikat itu.
Perjalanan itu merupakan kesalahan besar. Perkiraan Giles tentang jarak ternyata salah, dugaan lain bahwa mereka akan mendapati air juga salah. Kuda-kuda mereka kelelahan, dan di sepanjang jalan tidak ditemukan air. Ditambah lagi saat itu adalah pertengahan musim panas, yang panasnya membakar.
Segera setelah mereka mengetahui bahwa gunung itu kering, Giles sadar bahwa mereka harus kembali ke Rawlinson Range secepatnya. Mereka berjalan pada malam hari ketika temperatur lebih sejuk. Meskipun demikian, bagi sebagian kuda, jalur tersebut terlalu berat. Sesampai di Fort McKellar, empat kuda mati karena kehausan dan kelelahan.
"Mount Destruction—Gunung Penghancur—itulah nama yang paling tepat untuk tempat ini," kata Giles putus asa.
Jadi, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Tampaknya ke arah barat tidak ada apa-apa kecuali gurun pasir. Mengetahui orang lain mungkin telah mendahuluinya dalam perlombaan itu, Giles mati-matian tidak mau mengakui kekalahan. Ketika kuda-kuda kembali pulih, ia mempertimbangkan niatnya.
Akhirnya, ia memutuskan melakukan perjalanan singkat ke gurun pasir—sejauh yang dapat mereka capai dalam beberapa hari untuk melihat apa yang ada di kaki langit. Mungkin saja gurun pasir itu tidak membentang terlalu jauh; mungkin pula ia menemukan sumber air lain. Kali ini, ia tidak mau mempertaruhkan semua orang dan kuda. Ia hanya akan membawa empat ekor kuda dan seorang pria lain. Akan tetapi, mana dari tiga pria itu yang ikut dengannya?
Pilihannya adalah William atau "Tuan" Tietkens. Ia sangat cakap dan Giles menyebutnya dengan panggilan "Tuan" karena ia berasal dari kelas sosial yang sama dengannya. Mengajak Jemmy Andrews tidak mungkin. Sekalipun pekerja keras dan berkemauan, tapi Andrews masih muda, tidak berpendidikan, tidak cerdas.
Akan tetapi, pria ketiga, Alfred Gibson, menyatakan bahwa ia sangat ingin pergi bersama Giles. Seperti Andrews, Gibson juga tidak berpendidikan, tapi ia sedikit lebih tua, bersifat pemarah dan pemurung.
Giles tidak menyukainya, dan benar-benar tidak mau pergi dengannya. Ia tidak pernah mandi, sangat bau, dan selalu berbohong. Meski telah menunjukkan bahwa dirinya cukup bertanggung jawab, ia bisa bersikap ceroboh. Akan tetapi, Gibson bersikeras dan—akhirnya—Giles mengalah.
Pada 20 April, mereka mengemas seluruh barang yang diperlukan, ke atas empat kuda. Mereka membawa dua kuda, kuda berkaki pendek yang besar berwarna kemerah-merahan jenis cob, dan kuda lain bernama Darkie, serta cukup banyak perbekalan daging kuda kering dan air untuk persediaan satu minggu.
Giles menunggang kuda terbaiknya, The Fair Maid of Perth, sementara Gibson menunggang Badger, kuda yang kuat dengan stamina penuh. Mereka berangkat ke Circus, tempat terakhir di Range Rawlinson yang terdapat air. Mereka bermalam di sana, dan berangkat ke tempat yang tidak diketahui pagi hari berikutnya.
Hari itu, Gibson sedang gembira. Dia bercakap dengan bebas, sesuatu yang mengherankan Giles karena Gibson sering kali merengut dan merajuk.
"Bagaimana bisa," Gibson bertanya pada Giles, "begitu banyak orang pergi dalam ekspedisi seperti ini dan tewas?"
Giles mempertimbangkan jawabannya. "Well, Gibson," ia berkata dengan bijak. "Banyak bahaya terjadi dalam penjelajahan—selain risiko kecelakaan, tentunya. Akan tetapi, menurutku, kebanyakan orang tewas karena tidak adanya pertimbangan, pengetahuan, atau keberanian. Dan lagi, tentu saja, kita semua akan mati, cepat atau lambat."
"Aku tidak ingin mati di tempat ini," sahut Gibson.
"Aku juga tidak!" Giles menyetujui.
Setelah itu, mereka berkuda dalam kebisuan, melalui bentangan bukit pasir yang ditutupi spinifex, tumbuhan yang paling umum di gurun pasir bagian barat. Setelah beberapa jam, mereka berhenti dan membiarkan kuda-kuda beristirahat.
Saat itu, mereka sangat lapar, Giles pun mengambil sebagian daging kuda dari punggung Darkie. Giles terkejut. "Gibson!" ia berteriak. "Kupikir aku sudah bilang untuk berbekal daging kuda yang cukup untuk seminggu."
Gibson memandangnya dengan merengut. "Aku sudah melakukannya," ia bersikeras.
"Di sini, cuma cukup untuk satu orang," kata Giles dengan kesal. "Yang pasti, bukan berdua."
Ia telah menugaskan Giles mengemasi daging dan tidak memeriksanya lagi. Gibson diam, Giles menarik napas. Tak ada gunanya mempertentangkan masalah itu; mereka harus bisa memanfaatkan yang ada. Sementara waktu, mereka beristirahat di bawah rerimbunan, kemudian berangkat lagi dalam panas hari petang hari yang membakar. Menjelang malam, mereka telah mencapai jarak yang memadai.
"Empat puluh mil (65 kilometer) dalam sehari," ujar Giles sewaktu mereka memasang tenda. "Lumayan sekali."
Giles tak dapat tidur. Semut mengelilinginya di mana-mana dan ia heran melihat temannya dapat tidur sementara semut-semut merayapi badannya. Malam ini tanpa kecuali Gibson tidur nyenyak.
Saat fajar, mereka berangkat lagi dan berjalan sepanjang 30 kilometer melalui sebuah lanskap yang berangsur-angsur berganti—tapi hanya berpindah dari satu jenis gurun pasir ke lainnya. Bukit-bukit berpasir berlalu, diganti jalan berkerikil, kemudian batu-batu yang lebih besar. Berat rasanya melanjutkan perjalanan dengan berkuda.
Kemudian mereka berhenti untuk istirahat, Giles mendapati salah satu kantung air bocor. Tidak saja daging kuda yang jumlahnya sedikit untuk dimakan, persediaan air mereka pun sedikit.
"Sebaiknya kita mengenyahkan kuda-kuda pengangkut bekal," kata Giles. "Kita akan mengembalikannya. Jadi, sisa air ini untuk kita sendiri dan kuda-kuda lain."
Gile berharap, dengan nalurinya kuda-kuda itu akan mengikuti jejak yang telah mereka tempuh, dan perlahan-lahan mencapai lokasi terakhir tempat air tersedia.
"Well, aku lebih suka menunggangi cob daripada Badger," kata Gibson. "Aku akan mengirim Badger dan Darkie kembali."
Giles kelihatan ragu-ragu. "Gibson, aku pilihkan Badger untukmu karena aku tahu ia tahan menempuh jarak jauh. Ia memiliki stamina."
Gibson dengan keras kepala menggelengkan kepalanya. "Aku lebih suka cob," ia memaksa."Ia cukup bugar sekarang."
"Ya," sahut Giles dengan sabar. "Tapi, kita belum mengujinya sampai pada batas itu. Mungkin ia tidak mampu mencapainya. Kita hanya paham tentang Badger dan Fair Maid of Perth."
Gibson mengangkat bahu dengan merengut. "Aku ingin menunggang cob," ia mengulangi.
Giles menghela napas dengan jengkel. Kadang Gibson memang benar-benar ajaib. "Baiklah," kata Giles. Mereka perlu membuat keputusan dan melepas kuda-kuda itu ke jalannya. "Kau akan menunggang cob."
Keputusan itu amat penting. Giles mungkin mengingat jelas kata-katanya sendiri tentang hal ini—bahwa orang menemui ajalnya di gurun pasir karena tidak adanya pertimbangan, pengetahuan, atau keberanian ... Kesalahan serius dalam membuat keputusan baru saja dilakukan.
Di tempat itu mereka meninggalkan beberapa guci berisi air yang amat diperlukan sekembalinya dari perjalanan mereka nanti. Mereka beristirahat hingga panas mulai mereda, kemudian berangkat lagi menempuh 30 kilometer (20 mil). Masih tak ada tanda-tanda gurun pasir itu akan berujung. Gurun itu membentang ke seluruh penjuru, ke kaki langit, dan seterusnya.
Malam ini mereka berusaha tidur, tapi kedua kuda itu mengusik mereka. Makhluk yang putus asa itu mengendus-ngendus kantung air, ingin minum. Giles telah menggantung kantung berisi setengah liter air mereka yang terakhir di pohon. Mencium bau air itu, Fair Maid of Perth berjingkat dan merenggut kantung itu dengan giginya.
Ketika ia menarik kantung itu, sumbatnya terloncat, dan air pun memancur ke udara dan menyembur ke tanah. Giles dan Gibson memelototi kejadian itu tidak percaya, tenggorokan mereka kering dan tersedak. Sekarang, mereka hanya memiliki setengah liter air yang tersisa.
Cob bahkan lebih putus asa dari si kuda betina. Ia mengendus di sekeliling kemah dengan kalut, mencari air. Gibson memandang hewan yang malang itu dengan amat kesal.
"Seandainya aku memilih Badger," ia berujar. "Cob semakin lambat sepanjang petang ini. Aneh. Sebelumnya ia selalu kuat."
Giles diam. Lagi pula, ia bisa bilang apa?
Mereka memulai perjalanan lagi sebelum fajar, dan menyusuri jarak 15 kilometer. Di sana, di hadapan mereka, tampak sebagian barisan bukit—akhirnya pemandangan pun berubah. Sedikit lebih jauh, keadaan jelas tampak penuh harapan.
Di kejauhan terdapat barisan pegunungan, yang jaraknya kira-kira sehari perjalanan. Giles memandang pegunungan itu dengan merindu, tapi mereka telah berjalan 160 kilometer dari air yang terakhir. Keadaan tidak berjalan dengan baik.
"Giles!" Gibson yang berkuda di belakangnya memanggil. Menurutku, cob sekarat."
Giles berpaling dan memandangi makhluk yang malang itu dengan cemas. Kepala cob menggelantung rendah, ia sulit menjejakkan satu kaki di depan yang lainnya. Tidak diragukan lagi, mereka harus kembali. Secepatnya.
"Aku namakan pegunungan itu barisan pegunungan Alfred dan Marie," kata Giles dengan pandangan akhir penuh sesal ke arah mereka. "Atas nama Duke dan Duchess of Edinburgh. Aku memohon, ya Tuhan, suatu hari aku akan menjejakkan kakiku di sana."
Akan tetapi, penderitaan cob begitu mengerikan. Ia tidak mampu berjalan jauh setelah berhenti di jalurnya.
"Aku akan turun," ujar Gibson. "Kita harus menyeretnya terus."
Cob bergerak sedikit jauh, tapi kemudian kaki-kakinya roboh. Ia terkulai, matanya pudar dan berkaca-kaca. Jelas ia tak akan pernah bangkit lagi.
Giles dan Gibson kini berada dalam keadaan yang berbahaya, Dua pria dan seekor kuda—semuanya kelelahan dan nyaris tanpa bekal air. Giles turun dan membiarkan Gibson menunggang Fair Maid of Perth sementara ia sendiri berjalan kaki. Perjalanan yang sukar. Setelah satu atau dua jam, mereka berhenti dan meneguk air terakhir mereka. Giles berpikir keras.
"Gibson," katanya. "Kita tak bisa terus seperti ini. Salah satu dari kita harus terus maju dengan berkuda. Aku akan tinggal. Sekarang, dengarkan aku. Pergilah ke tempat kita menyimpan pundi air, beri minum kuda betina itu atau ia akan mati.”
“Tinggalkan air buatku sebanyak yang kau bisa. Tetaplah pada jalur yang telah kita buat, dan jangan keluar jalur. Bila kau mencapai kemah, kirim Mister Tietkens bersama air dan kuda-kuda baru. Aku akan mengikuti dan terus melanjutkan sejauh aku bisa dengan berjalan kaki."
"Baiklah," kata Gibson. "Tapi, akan lebih baik lagi kalau aku membawa kompas."
Giles ragu. Gibson tidak paham betul cara membaca kompas, ia yakin itu. Selain itu, ia hanya punya satu. Dengan enggan diberikannya kompas itu dan Gibson mengantunginya. Gibson menaiki kuda dan berangkat.
"Ingat—tetap pada jalur!" kata Giles.
"Baik," Gibson menyahut.
Dan ia pun pergi.
Dengan kepergian Gibson, Giles berjalan dengan susah payah melalui gurun pasir, dalam keadaan yang semakin haus. la tahu, pundi-pundi air itu letaknya masih 50 kilometer lagi. "Jika, aku jalan terus, aku akan mencapainya besok petang," ia berkata pada dirinya sendiri.
Dengan usaha dan tekad yang penuh, Giles mencapai pundi-pundi itu hari berikutnya. Gibson sudah di situ dan pergi, meninggalkannya sekitar sembilan liter air serta beberapa potong daging kuda asap.
Giles kelaparan dan tercekik karena kehausan, tapi ia sadar ia harus membatasi dirinya dengan hati hati. Ia duduk dan memikirkan situasi yang ada. Ia berada 100 kilometer dari Circus, dan 130 kilometer dari perkemahan.
Sekurangnya butuh enam hari bagi siapa saja untuk menjemputnya kembali. Haruskah ia cuma duduk dan menunggu, ataukah terus berjalan? Berjalan jauh berarti membawa pundi air, yang amat berat dan menyusahkan. Sebuah dilema yang amat buruk.
"Setelah mencerna dengan saksama seluruh keadaanku, aku menyimpulkan jika aku tidak menolong diriku sendiri, nasib tidak akan menolongku juga," tulis Giles kemudian. Dengan memikul pundi air yang berat, Giles terhuyung-huyung melangkah mengikut jalur—seperti yang dikatakannya pada Gibson.
Hari-hari selanjutnya berlalu dalam kesamaran. Giles hanya mampu berjalan amat lambat karena panas terik dan beban pundi. Dua puluh lima kilometer dari tempat pundi itu, ia berhenti.
"Aneh," ia bergumam sendiri.
Garis utama jejak kuda lurus di depannya, tapi jejak dua kuda yang telah mereka lepas mengarah ke selatan. Selagi ia mengamati jejak itu dengan cermat, jantungnya berdegup kencang. Jelaslah bahwa Gibson mengikuti jejak kuda-kuda yang hilang itu.
"Mungkin mereka semua akan segera kembali ke garis utama," pikir Giles. Dengan cemas ia berjalan sempoyongan mencari jejak Gibson dengan harapan Gibson menyadari kekeliruannya dan kembali. Akan tetapi, tanda-tanda Gibson tak pernah ada.
Giles terus melangkah dengan tabah, semakin lemah dan lemah. Setiap kali ia duduk beristirahat, kepalanya terasa melayang-layang ketika ia berusaha untuk mengangkatnya lagi. Ia berkali-kali terjatuh, tapi memaksakan dirinya untuk berjalan terus.
Sewaktu meneguk airnya yang terakhir, ia masih 30 kilometer dari Circus. Akan tetapi, karena sekarang ia dapat membuang pundi yang berat, ia pun melakukan usaha besar terakhir. Ia mencapai Circus waktu fajar, setelah berjalan kaki semalaman. Ketika itu tepat seminggu sejak Gibson meninggalkannya.
Giles duduk di tepi lubang mata air, lalu minum dan minum. Sekarang jaraknya hanya 30 kilometer menuju perkemahan, tempat ia akhirnya akan mendapat sedikit makanan. Akan tetapi, ia amat putus asa sehingga mencari cara lain untuk mendapat makanan.
"Ketika aku meninggalkan Circus," tulisnya, "aku memungut seekor wallaby kecil yang sekarat, yang dibuang induknya dari kantung perut. Beratnya kira-kira 60 gram dan belum berbulu rata. Begitu aku melihatnya, seperti seekor elang, aku melompat dan memakannya mentah-mentah, selagi sekarat, dengan bulu, kulit, semuanya. Rasa lezat makhluk itu tak akan pernah kulupa."
Sekarang, tak ada bahaya yang berarti, Giles mencapai 30 kilometer terakhir dan tiba di Fort McKellar ketika fajar sekitar dua hari kemudian. Ia membangunkan Mister Tietkens yang memandangnya seakan-akan dirinya hantu.
"Aku minta—makan," Giles berkata dengan suara parau.
Tietkens segera memenuhi permintaannya. "Di mana Gibson?" ia bertanya segera setelah Giles dapat berbicara dengan jelas.
Giles menggelengkan kepalanya dan mereka menyadari dengan rasa takut bahwa Gibson pasti sekarang sudah tewas. Tak ada tanda-tanda dirinya, baik di perairan Circus atau di perkemahan. Giles menceritakan Tietkens tentang jejak Gibson, dan bagaimana mereka meninggalkan jalur utama.
"Kita harus kembali dan mencarinya," ujar Giles meskipun ia hampir tidak bisa bergerak. Ketika ia cukup kuat, mereka mengemasi kuda-kuda itu dan melakukan pencarian. Namun, meski seluruh usaha dijalankan, mereka sama sekali tidak menemukan apa-apa.
Kemudian
Dengan dugaan bahwa Gibson telah tiada, Giles terpaksa mengakhiri ekspedisi itu. Ia menamakan gurun pasir itu Gurun Pasir Gibson untuk mengenang teman seperjalanannya.
Sayangnya, rombongan itu mundur dan mencapai Perairan Charlotte pada 13 Juli 1874. Di sana, Giles menerima kabar yang amat mengecewakan. Meski Gosse, lawannya, terpaksa kembali, Warburton telah mengambil rute yang lebih ke utara menyeberangi gurun yang kemudian dikenal dengan nama Gurun Pasir Raya (Great Sandy Desert). Dengan menggunakan unta, alih-alih kuda, ia telah mendahului menuju tempat Giles gagal.
Yang lebih buruk lagi, penjelajah lain—namanya John Forest—berangkat dari Perth dengan harapan menyeberangi gurun pasir dari barat. Ia juga berhasil.
Tapi, hari-hari penjelajahan Giles jauh dari kesudahan. Tahun 1875, ia mengambil rute yang lebih selatan dan mencapai pantai barat melalui Gurun Pasir Victoria Raya. Kemudian, tahun 1876, ia menyeberang kembali, kali ini melalui Gurun Pasir Gibson yang membawa sial. Ia berharap menemukan beberapa petunjuk teman lamanya itu; tapi—hingga hari ini—Gibson tak pernah ditemukan.
" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309920/penjelajahan-di-tanah-tak-beradab" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282259000) } } [2]=> object(stdClass)#50 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3258533" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#51 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/penyamaran-di-gurun-pasir_explor-20220428082319.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#52 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(108) "Isabelle Eberhardt menentang adat kebiasaan dan memilih kehidupan yang penuh romantika dan bahaya di Sahara." ["section"]=> object(stdClass)#53 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/penyamaran-di-gurun-pasir_explor-20220428082319.jpg" ["title"]=> string(25) "Penyamaran di Gurun Pasir" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:23:45" ["content"]=> string(23401) "
Intisari Plus - Isabelle Eberhardt menentang adat kebiasaan dan memilih kehidupan yang penuh romantika dan bahaya di Sahara.
-------------------------
"Aku hanyalah seorang yang nyentrik, pemimpi yang mendambakan kehidupan yang bebas dan nomadik, jauh dari dunia yang beradab...," tulis Isabelle Eberhardt pada Juni 1901. Hidupnya terdengar amat sederhana dan romantis. Kenyataannya, kehidupannya jauh dari bayangan itu. Ia menjalani kenyataan yang asing dan sulit, mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan kehidupan di bawah naungan terik matahari yang ganas Gurun Pasir Sahara.
Ia melanggar semua peraturan yang harus diikuti kaum perempuan pada zamannya; Isabelle benar-benar mengagetkan sebagian besar orang dan menjadi inspirasi bagi ribuan orang lainnya. Setelah wafat, ia dikenal sebagai 'Amazon dari Sahara' atau bagi sebagian orang: 'seorang nomadik yang baik'.
Isabelle lahir di Swiss, Februari 1877. Ibunya pelarian asal Rusia yang meninggalkan suaminya, seorang jenderal Rusia, tahun 1871. Sang ibu tak pernah mengakui siapa ayah Isabelle. Ia memberi nama gadisnya pada putrinya—Eberhardt.
Ayahnya kemungkinan adalah tutor keluarga, Alexander Trophimowsky, adalah seorang pria yang kuat dan aneh yang menanamkan pengaruh besar pada masa kanak-kanak Isabelle. Mereka tinggal di sebuah vila sederhana di luar kota Jenewa.
Trophimowsky menolak menyekolahkan Isabelle atau kakak perempuannya serta ketiga saudara laki-lakinya atau mengizinkan mereka berada di pelataran vila, sehingga mereka diisolasi dari dunia luar. Mereka semua berbahasa Prancis dan Rusia. Trophimowsky juga mengajarkan Isabelle bahasa Latin, Italia, sedikit Inggris, juga Arab.
Dalam lingkungan yang asing itu, Isabelle menjadi seorang pemimpi, keluyuran di pelataran vila sendirian. Ia membaca amat banyak buku dan mulai tertarik pada agama Islam ketika ia masih belia. Hidupnya dalam dunia angan-angan, dan ia terbiasa menemukan identitas baru bagi dirinya. Trophimowsky mendorongnya berpakaian seperti anak laki laki, dengan rambut dipangkas pendek. Siapa dirinya? Siapa ayahnya? Isabelle tak pernah benar-benar tahu.
Sepanjang itulah tumbuh keinginan dalam dirinya untuk melarikan diri. Negeri impiannya adalah Afrika Utara dan Gurun Pasir Sahara. Akhirnya, ia membujuk ibunya untuk ikut bersamanya. Mereka berangkat Mei 1897 ke Bône (sekarang Annaba), di sebelah utara Aljazair.
Di situlah Isabelle mulai menciptakan identitas 'gurun pasir'nya. Ia berpakaian bagai seorang pemuda dan menamakan dirinya sendiri Si Mahmoud Saadi, dan mengaku sebagai cendekiawan Al-Qur'an asal Tunisia. Dalam penyamaran ini, ia dapat bergaul bebas dengan warga Bône, dan segera menguasai bahasa Arab Aljazair yang menjadi bahasa percakapan. Ia merasa benar-benar aman, dan betah seperti di rumah.
Tapi, impian itu tidak bertahan. Ibunda Isabelle meninggal di Bône, dan Isabelle terpaksa kembali ke Jenewa. Dalam tahun itu, tutornya yang renta, Trophimowsky, juga wafat, meninggalkannya sedikit uang. Kini ia dapat melakukan yang ia sukai. Ketika dukacitanya telah berlalu, Isabelle sadar, ia bebas kembali ke Afrika Utara yang dicintainya.
Pada Juni 1899, ia pun berangkat ke Tunis. Di sana, sekali lagi ia menjadi Si Mahmoud Saadi, dan membuat rencana untuk memenuhi impian sepanjang hidupnya—menuju gurun pasir.
Di Tunisia dan Aljazair pada akhir abad ke-19, tidak ada jalan mudah yang menghubungkan kota-kota di gurun pasir, Satu-satunya jalan bagi Isabelle untuk mencapai tujuannya, Ouargla di Aljazair, adalah dengan berkuda ditemani para pemandu yang menunggang keledai.
Perjalanan itu penuh warna. Di sepanjang rute, sedikit air yang ditemukan, dan Isabelle terus-menerus kehausan serta menderita demam tinggi. Meskipun ada, sumur tidak selalu mudah ditemukan, terutama jika rombongan tiba malam hari. Suatu ketika mereka mencari sebuah sumur dalam gelap gulita dengan korek api sebagai satu-satunya sumber cahaya pemandu mereka. Ia dan para pemandunya tidur di bawah cahaya bintang, terbungkus dalam burnous, baju yang dipakai penduduk di wilayah itu.
Diperlukan delapan hari untuk mencapai kota Touggourt—perjalanan sepanjang 220 kilometer (135 mil). Di sana Isabelle disambut dan ia meminta izin untuk melanjutkan perjalanan ke selatan menuju Ouargla. Tetapi, semakin jauh perjalanannya semakin berbahaya, dan penguasa Prancis mengawasinya lebih dari yang ia bayangkan.
Suku nomadik di gurun pasir, Tuareg, pernah membunuh sejumlah orang Eropa yang dengan naif menyangka mereka akan mendapat sambutan. Tidaklah mengejutkan bila penguasa Prancis menolak memberinya izin untuk melakukan perjalan lebih jauh ke selatan.
Sebagai gantinya, ia melanjutkan perjalanan ke Souf, bagian Great Eastern Erg (Padang Pasir Timur Raya), yang terdiri dari sejumlah oasis yang membentang di antara bukit pasir putih bergelombang dan kolam garam. Kota utama di Souf, El Oued, menjadi tujuan Isabelle. Perjalanan itu merupakan penyeberangan gurun pasir yang sulit—memerlukan waktu lima hari untuk menyelesaikan perjalanan sepanjang 100 kilometer (60 mil).
Tapi, sesampai di sana, oasis menawan hatinya. Hingga sekarang, El Oued merupakan salah satu kota terindah di Aljazair, yang juga dikenal sebagai 'Kota Seribu Kubah' karena arsitekturnya. Rumah-rumahnya yang berkubah dicat putih, semak belukar pohon palmanya hijau dan rimbun, dan Sahara hanya beberapa langkah lagi, pasirnya yang indah membentang ke seluruh penjuru. Bagi Isabelle, rasanya seperti di rumah.
Isabelle menyelesaikan perjalanan pulang baliknya dalam beberapa pekan: sebuah perjalanan yang luar biasa bagi seorang wanita Eropa ketika itu. Yang lebih mengejutkan adalah masyarakat setempat yang ia jumpai menerimanya dengan terbuka—terutama para pemimpin agama.
Mungkinkah karena penyamarannya? Mungkin saja ... Tapi, Isabelle berbeda dari kebanyakan orang Eropa, dalam hal keikhlasannya untuk menjadi bagian dari kehidupan Afrika Utara. Ia tidak seperti para penjajah Prancis yang merampas negeri; ia meyakini agama Islam dengan penuh semangat, dan dapat membahas Al-Qur'an dan Islam secara cerdas.
Para pemimpin agama mungkin tahu bahwa mereka berbicara dengan seorang perempuan, tapi mereka memaafkannya karena Isabelle benar-benar meyakini segala perkataannya.
Isabelle kembali ke Eropa, tapi tidak lama karena gurun pasir memanggilnya kembali. Saat itu, ia memutuskan bukan cuma untuk melakukan perjalanan. Ia kembali untuk menetap di gurun pasir.
El Oued telah menawan hatinya. Di sana, pikir Isabelle, ia dapat memiliki kehidupan dengan kedamaian; ia dapat berkonsentrasi menjadi seorang penulis atau mengembangkan keyakinan agamanya. Ia akan dikelilingi pemandangan dan suara-suara yang ia senangi.
"Oh Sahara, Sahara yang mengancam, sembunyikan jiwamu yang gelap dan indah dalam kehampaan yang sunyi!" tulisnya. "Oh ya, aku mencintai negeri berpasir dan berbatu ini, negeri unta dan orang-orang primitif serta padang garam yang tandus dan luas."
Demikianlah, setelah sebuah perjalanan lain yang melelahkan dan panjang, ia tiba di El Oued dan la bersuka ria dengan kedatangannya. "Aku jauh dari semua orang, jauh dari peradaban serta kepura-puraanya yang munafik. Aku sendirian, di negeri Islam, di tengah gurun pasir, merdeka ...," tulisnya dengan riang.
Isabelle menjalani kehidupan yang sederhana, berbaur dengan masyarakat dan bertemu dan para pria suci setempat. la membeli seekor kuda dan menamainya Souf, sesuai nama wilayah itu, dan menjelajahi bukit pasir putih pada malam hari dengan berkuda. Ia menuliskan keindahan bukit pasir dan matahari yang terbenam di gurun pasir: "Ke arah barat ... matahari serupa bola darah sungguhan yang terbenam dalam cahaya emas dan merah. Lereng bukit pasir tampak terbakar di bawah barisan itu, dalam bayang-bayang yang mendalam dari waktu ke waktu."
Dalam menjelajahi bukit-bukit pasir, Isabelle sering ditemani seorang tentara Aljazair bernama Slimène, yang kemudian menjadi suaminya—meskipun persahabatan ini menjadi salah satu alasan mengapa orang beranggapan buruk tentang Isabelle. Pada umumnya, orang Eropa menganggap dirinya lebih unggul dari penduduk Afrika Utara, dan tidak bergaul dengan mereka. Kebanyakan orang sangat terkejut dengan gagasan orang Eropa benar-benar menikahi orang Aljazair. Namun bersama Slimène, dan kehidupan di El Oued, Isabelle merasa lebih bahagia dari sebelumnya.
Pada saat itu, ia mengemban kepercayaannya satu langkah lebih jauh. Ia mulai berkenalan dengan para pemimpin sekte Sufi tertua di dunia—persaudaraan Qodariah. Hanya orang-orang pilihan dapat menjadi anggota sekte ini. Dua pemimpin Qodariah, Sidi el Hussein dan Sidi el Hachemi, bersikap hangat terhadap Isabelle, meskipun hampir dipastikan mereka sebenarnya mengetahui penyamarannya itu. Tak lama kemudian, mereka mengangkatnya menjadi anggota sekte—sesuatu yang tak pernah terjadi pada seorang Eropa, apalagi perempuan.
Tapi, impian Isabelle atas kehidupan yang damai tidak bertahan. Kenyataannya, ia agak naif dengan mengira bahwa ia dapat bersembunyi begitu saja di gurun. Penguasa Prancis mengetahui tentang dirinya bahkan sebelum ia tiba, dan tanpa sepengetahuannya, ia diawasi dengan ketat selama tinggal El Oued. Mengapa mereka sedemikian mencurigainya? Isabelle tidak membahayakan siapa pun.
Permasalahannya penguasa Prancis di Aljazair takut terhadap orang-orang di sekeliling mereka. Mereka takut warga Aljazair bangkit melawan mereka, dan memperjuangkan kemerdekaannya. Isabelle, meskipun orang Eropa, adalah seorang Muslim dan mencintai penduduk setempat. Sebagian mengira ia mungkin mendorong penduduk setempat untuk memberontak melawan Prancis. Bagaimana pun, cara hidupnya mencengangkan—berpakaian seperti seorang pria, berjalan-jalan sendirian ..., dan di luar dugaan, hubungan Isabelle dengan Slimène bukan rahasia lagi. Ada desas-desus bahwa keberadaan Isabelle menimbulkan ancaman di banyak lapisan, tidak saja bagi penguasa, tapi juga pemikiran masyarakat tentang kesopanan.
Sementara itu, kehidupan Isabelle yang 'damai' semakin ganas. Cuaca di Sahara bisa menjadi kejam—angin mengaduk aduk pasir, merontokkan rumah-rumah, dan membuat kehidupan sengsara, Saat musim dingin, cuaca juga menggigit. Dan Isabelle kehabisan uang. la selalu bercita-cita menjadi penulis dan mencari uang dengan cara itu, meski tidak mudah. Sekarang, ia terlilit hutang. Dia kerap jatuh sakit, dan hampir kurang makan.
Kemudian, datang berita buruk. Angkatan bersenjata menugaskan Slimène keluar El Oued, ke kota Batna, jauh di utara. Isabelle tidak mengetahuinya. Penguasa berharap, dengan menyingkirkan Slimène, mereka dapat membuang Isabelle. Mereka yakin Isabelle akan menyusul Slimène—yang ternyata memang benar.
Sebelum Isabelle pergi, terjadi peristiwa yang luar biasa buruk. Ketika itu, ia mengunjungi beberapa teman Sufinya, dan mampir di sebuah desa bernama Béhima. Isabelle bertamu ke rumah seorang pria kaya setempat. Ia duduk di pelataran dikelilingi para anggota Qodariah lain. Saat sedang duduk tenang bersama-sama sambil membantu seorang pria muda menerjemahkan sepucuk surat, tiba-tiba ia merasakan hantaman kuat di kepalanya.
Sebelum sempat berpikir dan bereaksi, ada dua pukulan lagi, kali ini mengenai lengan kirinya. Ia menengok dan melihat seorang pria dengan kasar melayangkan sepucuk senjata ke kepalanya, dan teman-temannya anggota Qodariah melompat melindunginya. Terguncang dan bingung, Isabelle pun melompat dan berlari menuju dinding, tempat sebilah pedang bergantung. Teman-temannya telah melucuti senjata si penyerang, tapi pria itu berhasil melarikan diri.
"Akan kubawa senjata untuk menghabisinya!" penyerang itu berteriak saat menghilang.
Orang-orang Qodariah itu kembali mengurus Isabelle, yang banyak mengucurkan darah dari lukanya.
"Dengan inilah pengecut itu melukaimu!" teriak salak satu dari mereka, seraya memperlihatkan sebilah pedang yang berlumuran darah.
Tidak ada keraguan siapa penyerang itu. Beberapa orang yang hadir mengenalinya, meskipun Isabelle tidak. Namanya Abdallah Mohammed bin Lakhdar, berasal dari desa Béhima juga. Ia anggota kelompok Sufi lain bernama persaudaraan Tidjanya, sekte rival terbesar Qodariah. Pemimpin Tidjanya segera dipanggil, dan diminta menangkap pelaku penyerangan. Permintaan itu ditolak.
"Jika Anda tidak menemukannya, kami akan mengumumkan Anda membantu terjadinya kejahatan," pemimpin itu dihardik. Terpaksa, pemimpin Tidjanya itu mengirim orang untuk mencari Abdallah—sebuah tugas yang tak sulit di sebuah desa kecil. Abdallah tertangkap dan dibawa ke rumah pria kaya tempat Isabelle berbaring dalam keadaan terluka.
Abdallah dibawa ke kamar tempat Isabelle terbaring berdarah di atas selembar kasur. la belum mendapat pengobatanı untuk luka-lukanya yang cukup serius. Abdallah malah diinterogasi di hadapannya, dan Isabelle ikut mengajukan lebih banyak pertanyaan.
"Mengapa engkau melakukan hal yang buruk itu?" ia ditanya.
Pertama, Abdallah berpura-pura gila. Tapi, tak satu pun penduduk setempat mempercayainya, karena mereka amat mengenalnya. Ia pun menanggalkan kepura-puraannya, dan cuma menyatakan bahwa Tuhan telah mengirimnya untuk membunuh Isabelle.
"Tapi, kau tidak mengenalku," kata Isabelle. "Dan aku tidak mengenalmu."
"Memang tidak,"Abdallah mengiyakan. "Aku tak pernah bertemu engkau sebelumnya. Tapi, bagaimana pun, aku harus membunuhmu. Jika orang-orang ini membebaskanku, aku akan berusaha melakukannya lagi."
"Mengapa?" tanya Isabelle. "Mengapa engkau menantangku?"
"Bukan apa-apa. Engkau tidak melakukan kesalahan terhadapku. Aku tidak mengenalmu, tapi aku harus membunuhmu."
Jawabannya sama sekali tidak masuk akal.
"Tahukah engkau dia seorang Muslim?" tanya salah satu dari orang lain.
"Ya," jawab Abdallah.
Kejadian itu sangat misterius. Beberapa jam kemudian, seorang dokter tiba dari El Oued, untuk mengobati Isabelle. Isabelle amat beruntung—kain sorban telah menangkis pukulan ke kepalanya. Tanpa kain itu, bisa jadi Isabelle telah tewas dengan mudah. Cedera yang paling parah terjadi di siku kirinya, karena tersayat menembus tulang.
Menunda penyembuhan berarti Isabelle kehilangan banyak darah. Ia amat lemah. Hari berikutnya ia dipindahkan ke rumah sakit militer di El Oued, tempat ia menjalani masa penyembuhan hampir sebulan. Itulah akhir dari syair gurun pasirnya. Setelah cukup sehat, ia pergi ke utara untuk bergabung dengan Slimène di Batna.
Setelah penyerangan itu, pemerintah Prancis tetap bertekad untuk menyingkirkan Isabelle. la diasingkan dari Aljazair, dan hanya diberi izin masuk saat persidangan Abdallah, yang berlangsung empat bulan kemudian.
Sidang itu sedikit menyingkap misteri penyerangan terhadap Isabelle. Pada persidangan, Abdallah tampak menyesalinya, dan memohon ampunan Isabelle. Tapi, ia tetap tidak menjelaskan alasannya melakukan penyerangan itu. Isabelle sendiri yakin, pria itu adalah pembunuh bayaran yang dipekerjakan penguasa Prancis atau kelompok Tidjanya. Ada desas-desus bahwa Abdallah dapat melunasi hutangnya dan membeli kebun palem. Meskipun desas-desus itu benar. Abdallah akhirnya membayar perbuatannya itu. Pengadilan mendakwanya pasal pembunuhan berencana, dan ia dihukum seumur hidup kerja fisik yang keras.
Isabelle terkejut. Hukuman itu mengerikan, terutama karena Abdallah beristri dan memiliki anak. Yakin bahwa ia bukan penjahat sungguhan, Isabelle memohon penguasa agar bersikap lebih lunak. Mereka menanggapi dengan mengurangi hukuman Abdallah menjadi 10 tahun penjara.
Setelah persidangan itu, Isabelle sekali lagi dibuang ke Prancis, tempat ia hidup dengan saudara laki-lakinya di Marseilles. Slimène ikut dengannya, dan mereka menikah. Pernikahan itu memberi Isabelle hak untuk kembali ke Aljazair—tapi tanpa disadarinya, itulah kepulangan terakhirnya.
Isabelle merasa sulit untuk tinggal dalam jangka lama di satu tempat. Bahkan di Aljazair, kota-kota pantai utara tidak sepenuhnya memuaskan hasratnya. Gurun pasir, jauh di selatan selalu memanggilnya. Ketika datang kesempatan bekerja dengan angkatan bersenjata Prancis di selatan pegunungan Atlas, ia mengambilnya.
Pekerjaan Isabelle melakukan perjalanan, mendengarkan suku-suku nomadik, dan membantu melicinkan hubungan antara mereka dan penjajah Prancis. Pekerjaan itu ganjil baginya, karena ia sebenarnya bukan pendukung pemerintah Prancis. "Sekalipun gaya hidup mereka terbelakang, kesederhanaan suku Bedouin jauh lebih unggul dari orang-orang Eropa yang idiot yang menyusahkan dirinya sendiri," tulisnya. Tapi, bagian angkatan bersenjata tempat ia bekerja ingin meneruskan penjajahan dengan persuasi dan pemahaman bersama ketimbang dengan kekerasan. Isabelle merasakan itu sebagai hal yang lebih baik dari dua pilihan yang buruk.
Tentu saja, pekerjaan itu memungkinkan ia kembali ke gurun pasir. Dia pindah dari kota ke kota, dan tinggal sementara di sebuah biara, karena ia berhak berlaku seperti calon anggota Qodariah.
Tapi, kesehatannya memburuk. Seperti biasa bila berada di gurun, ia terjangkit demam yang umumnya disebabkan malaria, yang kian hari kian memburuk. Ia dibawa ke rumah sakit militer di kota Aïn Séfra, tempat pertemuan pegunungan Atlas dan Gurun Pasir Sahara. Ia menghabiskan hampir tiga minggu di sana pada Oktober 1904, sebelum keluar.
Slimène, suaminya, yang tetap berada di utara Aljazair karena tugas, datang untuk menemaninya ketika ia meninggalkan rumah sakit, 20 Oktober. Pertemuan itu berlangsung singkat karena 21 Oktober banjir bandang menyapu Aïn Séfra.
Gurun pasir adalah tempat segala hal ekstrem. Hampir setiap saat, cuaca sangat kering, panas membakar di siang hari, dan kadang dingin menggigit pada malam hari. Tapi, bila hujan turun di suatu tempat yang dekat, terutama jika ada pegunungan, akibatnya dapat menghancurkan.
Hujan tidak turun di Aïn Séfra dalam minggu-minggu terakhir. Wadi, palung sungai yang mengalir melalui kota, benar-benar kering. Tapi, di suatu tempat di pegunungan Atlas pasti turun hujan, karena tiba-tiba, pagi hari 21 Oktober, terdengar deru besar dan banjir dahsyat menyentak gunung, menyapu apa saja yang berada di jalannya. Air kuning keruh yang mengamuk menangkap sampah, batang pohon, dan semak-semak, menghantam rumah-rumah dan menghanyutkan manusia.
Waktu untuk bereaksi sangat singkat, dan banjir bandang itu berhenti secepat datangnya. Baru setelah itu kerusakan yang sesungguhnya dapat diketahui. Lebih dari 20 orang tewas di antara mereka adalah Isabelle, yang ditemukan terkubur di bawah sampah-sampah di dalam rumahnya. Melihat betapa besar ia menyelami kehidupannya, sangat mengherankan bahwa ia baru berusia 27 tahun ketika wafat.
Kemudian
Setelah kematian Isabelle, temannya mengumpulkan semua tulisan Isabelle untuk diterbitkan. Ia menjadi pahlawan perempuan yang diidamkan di lingkungan Paris. Banyak tulisan tentang dirinya, termasuk dua drama, dan orang masih memikirkan kehidupannya yang kontroversial—sampai sekarang.
Yang membuat ia menonjol di antara "petualang padang pasir" pada masanya adalah niat tulusnya untuk menjadi penduduk setempat. Ia tidak sendirian dalam melakukan penyamaran; contoh yang paling terkenal adalah penjelajah Richard Burton, yang menyamar sebagai seorang Muslim untuk memasuki kota suci Mekah. Tapi, ia seorang Kristen yang sekadar ingin memasuki tempat yang terlarang baginya. Isabelle berbeda. Meskipun identitasnya sebagai Si Mahmoud Saadi membantunya untuk bergabung, identitas itu juga yang membuatnya nyaman. Ia bukan seorang pria, bukan pula seorang Tunisia, tapi ia seorang cendekiawan Al-Qur'an seperti pengakuannya—dan karena itulah rakyat Afrika Utara mencintainya.
(Gill Harvey)
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258533/penyamaran-di-gurun-pasir" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177425000) } } [3]=> object(stdClass)#54 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3258538" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#55 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/lawrence-dari-arabia_middle-east-20220428082134.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#56 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(119) "T.E. Lawrence menumpas bangsa Turki di gurun. Namun, inikah yang menjadi tujuan pahlawan Perang Dunia I yang gagah ini?" ["section"]=> object(stdClass)#57 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/lawrence-dari-arabia_middle-east-20220428082134.jpg" ["title"]=> string(20) "Lawrence dari Arabia" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:21:54" ["content"]=> string(25295) "
Intisari Plus - T.E. Lawrence menumpas bangsa Turki di gurun. Namun, inikah yang menjadi tujuan pahlawan Perang Dunia I yang gagah ini?
-----------------------
Para pemirsa di London duduk terkesima, menyimak kata per kata.
"Anak-anak liar Ishmael itu menganggap pemimpin mereka yang tenang dan adil sebagai sosok supranatural yang dikirim dari surga untuk membebaskan mereka dari penjajah," jurnalis itu mengatakan kepada para pemirsa. "Ia berpakaian seperti penguasa Oriental. Di sabuknya terselip sebilah pedang emas bengkok yang hanya digunakan keturunan langsung Nabi Muhammad."
Pemirsa tersebut menahan napasnya. Siapa gerangan pahlawan Inggris yang mencengangkan dan romantis ini? Di manakah ia sekarang berada?
"Anak muda itu sekarang terbang dari satu tempat di London ke tempat lain, berusaha menjauhi perempuan," sang jurnalis meyakinkan para pemirsa.
Saat itu, September 1919. Perang Dunia I sudah berakhir, dengan dampak yang menakutkan. Di Eropa, jutaan warga Inggris, Prancis, dan Jerman tewas di jalan buntu menakutkan dan melelahkan di parit-parit perlindungan yang berlumpur.
Inggris dan Prancis telah mengalahkan Jerman, tapi kemenangan itu tampaknya tidak terlalu dirayakan karena kisah tentang pertempuran parit sedemikian menyeramkan untuk dikenang.
Tapi, di sini ada yang berbeda—jenis peperangan yang berbeda, dengan pahlawan yang berbeda: Lawrence dari Arabia—yang, seperti diyakini jurnalis itu, memimpin penduduk Arab seorang diri dalam sebuah revolusi melawan Turki, berperang dengan penuh keagungan untuk meraih kemenangan mengarungi gurun pasir, dengan jubahnya yang berkibar-kibar ketika ia sedang bertempur dari untanya.
Jauh dari London yang hiruk-pikuk 'berusaha terbebas dari perempuan', Thomas Edward Lawrence—nama lengkap pria itu—sedang duduk di Oxford. Ia amat terpukul, karena kegagalannya memberikan sesuatu yang dianggapnya pantas didapatkan rakyat Arab. Beberapa tahun kemudian, ia berusaha menghindar dari publisitas Lowell Thomas, jurnalis Amerika yang bermaksud baik itu.
Lawrence masuk Angkatan Udara Kerajaan dengan pangkat yang sangat rendah, dengan nama palsu John Hume Ross. Sewaktu pers mencium identitas aslinya, ia mengubah namanya lagi, kali ini menjadi Thomas Edward Shaw, dan bergabung dengan Korps Tank di angkatan bersenjata. Ia kembali ke Angkatan Udara dengan nama Shaw, masih dengan pangkat yang lebih rendah, dan menghabiskan 12 tahun berikutnya dalam penyamaran. Rekan kerjanya tak pernah menduga siapa dirinya.
Jadi, mana yang benar? Apakah 'Lawrence dari Arabia' hanya mitos yang diciptakan seorang jurnalis yang tahu betapa Inggris sangat membutuhkan dorongan moral? Atau adakah sesuatu yang sangat luar biasa dari pria kalem yang menghabiskan sisa hidupnya bersembunyi dari pers?
Hal yang sebenarnya berada di antara mitos dan kenyataan. T.E. Lawrence memulai kariernya dengan meraih gelar sarjana sejarah dari Universitas Oxford. Pada saat itulah ia tertarik pada Timur Tengah. Ia menulis tesis tentang kastel-kastel dari masa perang salib di Palestina dan Suriah, melakukan perjalanan ke kedua negara itu untuk melakukan riset, dan mulai mempelajari bahasa Arab.
Pada 1910, setelah menyelesaikan tesisnya, ia kembali ke Suriah, bekerja di sebuah penggalian arkeologis di kota kuno Karkamış. Ia tinggal di Suriah sampai awal Perang Dunia I, tahun 1914, untuk mendalami pengetahuan tentang wilayah itu dan mulai menyukai orang-orang di sekitarnya.
Saat itu, hampir seluruh Timur Tengah dikuasai bangsa Turki. Kekaisaran mereka (disebut kekaisaran Utsmaniah) membentang dari Turki hingga wilayah yang sekarang menjadi Irak. Meskipun secara resmi bangsa Turki menguasai Mesir, penguasa Mesir sebenarnya adalah Inggris, yang sedang mengincar Terusan Suez—sebuah rute penting bagi pelayaran.
Ketika Perang Dunia I meletus, Turki, Austria, dan Jerman bergabung melawan Rusia, Prancis, dan Inggris. Di Mekah, Sharif Hussein, pemimpin yang tersingkir, mempertimbangkan keputusannya. Ia dapat menyokong para pemimpin Turki; atau mendekati Inggris dengan harapan Inggris mau menolongnya meraih kemerdekaan bagi seluruh penduduk Arab—yang membentang dari semenanjung Arabia sampai Irak dan Suriah.
Inggris menyukai gagasan bahwa warga Arab berada di sisinya. Mereka akan membantu Inggris dalam pertempuran melawan bangsa Turki. Mereka setuju dengan Sharif Hussein bahwa bila revolusi Arab berhasil, Inggris akan menjamin kemerdekaan Arab setelah perang. Maka, pada 10 Juni 1916, Hussein secara simbolis membidikkan senapannya ke barak-barak Turki di Mekah. Revolusi Arab pun dimulai.
Jelas, Sharif Hussein tak mampu mengalahkan Turki sendirian. Turki memiliki angkatan bersenjata yang besar, sedangkan Sharif hanya didukung suku-suku yang tidak bersatu. Inggris harus melancarkan serangan besar sendirian dan memberikan bantuan apa pun kepada penduduk Arab. Maka, angkatan bersenjata Inggris mengirimkan perwakilan ke Mekah untuk menyelidiki segala yang diperlukan—salah seorang di antaranya adalah T.E. Lawrence.
Pada awal peperangan, Lawrence ditempatkan di bagian Intelijen Inggris di Kairo. Serta merta ia tertarik pada Revolusi Arab. la menilai revolusi itu tidak memiliki seorang pemimpin. Sharif sendiri adalah seorang tua yang suka membantah. Lawrence lantas menemui empat putra Sharif untuk mengetahui seperti apakah mereka.
Lawrence berpendapat, putra ketiga Sharif, namanya Emir Feisal, mempunyai kualitas yang dibutuhkan. Keduanya lalu berkawan baik, dan tak lama Lawrence terlibat, membantunya merencanakan kampanye gurun pasir.
Revolusi Arab mungkin tak akan menang jika pertempuran dilaksanakan secara umum, selayaknya angkatan bersenjata yang disiplin. Suku Beduin Arab adalah prajurit bengis, tapi mereka terdiri dari banyak suku yang berbeda yang cenderung berakhir dengan saling berperang.
Karena ingin memahami mereka dan mempelajari adat istiadat gurun pasir, Lawrence lalu mengamati Feisal. Lawrence terkesan pada cara Feisal menangani masalah-masalah kesukuan, yang memerlukan kesabaran luar biasa. Lambat-laun, ia mula memahami cara sebaik-baiknya memanfaatkan sumber daya penduduk Arab yang terbatas.
Tak lama kemudian, Lawrence membantu mengembangkan sebuah strategi untuk revolusi itu. Mereka akan menggunakan taktik perang gerilya untuk menyerang jalur kereta api Hejaz, yang melalui gurun pasir, dari Damaskus di Suriah, langsung ke kota suci Madinah. Ada banyak jalur kereta di gurun pasir yang tidak mungkin dapat dikawal bangsa Turki.
Dengan mengacaukan sistem transportasi mereka, orang Arab akan menghalangi usaha perang Turki, dan pada saat yang sama korban yang jatuh di pihak mereka sangat sedikit. Tentara Inggris yang lain menyetujui strategi ini dan memasok bahan peledak serta artileri lain untuk Lawrence.
Tak lama, Lawrence sendiri terlibat dalam serangan terhadap jalur kereta api itu. Ia mengerti cara menggunakan bahan peledak dan—tidak seperti kebanyakan tentara Inggris lainnya—tampaknya ia cocok dengan perang gurun pasir.
Kini ia lancar berbahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi; ia belajar menunggang unta dan ia bangga karena mampu menahan tuntutan fisik kehidupan di gurun pasir yang keras. Feisal-lah yang menyarankan agar Lawrence memakai jubah Arab. Feisal memberinya sepasang jubah indah terbuat dari sutra putih murni, yang menjadi bagian dari 'citra' Lawrence; jubah itu membantunya menyatu lebih efektif dengan para suku-suku tersebut.
Dalam perjalanannya, Lawrence sering ditemani orang Arab yang berasal dari suku atau bahkan negara yang berbeda. Sebagai seorang tentara Inggris yang berada di tengah-tengah mereka, ia harus bertindak sebagai mediator, mengatasi masalah kesukuan yang muncul sepanjang perjalanan.
Pada salah satu awal ekspedisi, seorang Maroko membunuh seorang anggota suku Beduin. Lawrence mengetahui bahwa pembunuhan ini dapat memicu pertumpahan darah, di mana teman-teman si korban diwajibkan membunuh sebagai tindak balasan. Lawrence pun sadar bahwa satu-satunya pemecahan adalah ia sendiri harus menghukum orang Maroko itu.
Karena jemu dengan kemarahan serta hasutan, dan lesu karena keganasan padang pasir, ia hampir tak mampu menembak dengan jitu. la menembak tiga kali untuk mematikan pria Maroko itu. Peristiwa itu merupakan uji coba dari permasalahan yang bermunculan kemudian.
Sementara itu, Rusia, Prancis, dan Inggris diam-diam membahas tentang pembagian kekuasaan bila mereka memenangkan perang. Siapa akan menguasai apa, dan di mana? Prancis ingin membagi bekas kekaisaran Utsmaniah dengan Inggris. Meskipun telah melakukan kesepakatan dengan Sharif Hussein, Inggris merasa berkewajiban untuk menyetujui hal itu. Hasilnya adalah perjanjian Sykes-Picot, Mei 1916.
Menurut perjanjian ini, Prancis akan menguasai Libanon, Suriah, dan bagian Turki, sementara Inggris akan menguasai Irak dan, wilayah yang sekarang menjadi Yordania. Dengan kata lain, seluruh wilayah yang berpenduduk padat dan kaya akan menjadi milik Inggris dan Prancis, sementara bangsa Arab hanya akan mendapatkan semenanjung Arabia, yang terutama terdiri dari gurun pasir.
Apakah Lawrence mengetahui isi perjanjian itu? Di kemudian hari, ia menyangkal, tapi bantahan itu sepertinya tidak meyakinkan. Ia tentu memiliki lebih banyak kecurigaan terhadap isi perjanjian itu. Bagaimanapun perjanjian itu diumumkan setelah Revolusi Rusia tahun 1917, kala Rusia menerbitkan seluruh perjanjian lama mereka.
Posisi Lawrence tampaknya bersandar pada harapan bahwa bila perang usai, Inggris akan bertindak adil untuk melindungi kepentingan-kepentingan Arab. Lawrence amat setia pada Inggris, dan yakin pada keadilan Inggris. Ia tidak mengerti mengapa Prancis harus mendapat bagian di Timur Tengah walaupun negara itu tidak melakukan pertempuran. Jika bangsa Arab sendiri yang mengalahkan Turki dan menduduki Damaskus, Inggris tak mungkin membiarkan Prancis merebut wilayah mereka bukan?
Demikianlah Revolusi Arab berlanjut. Lawrence berusaha mempengaruhi rencana angkatan bersenjata Arab untuk bergerak ke utara menuju Semenanjung Arab ke Aqaba, di Laut Merah—pelabuhan strategis penting yang dikuasai bangsa Turki. Pelabuhan itu dikawal dari laut, satu-satunya harapan untuk merebutnya adalah dari darat, melalui gurun pasir, dengan serangan bersenjata.
Lawrence mendapat bantuan yang ia perlukan, berupa seorang pemimpin suku bernama Auda abu Tayi, prajurit veteran padang pasir. Lawrence menyarankan agar mereka mendekati Aqaba melalui rute darat.
Dengan cara ini mereka dapat merekrut dukungan suku-suku yang ada di sepanjang rute, dan mereka tak akan pernah ditemukan oleh bangsa Turki. Auda setuju, rencana itu layak, dan serombongan kecil berangkat dari kota Al Wajh, 9 Mei 1917.
Perjalanan itu sulit dan melelahkan. Lawrence kembali jatuh sakit panas dan demam yang tinggi, tapi ia terus berjuang. Mereka menyeberangi jalur kereta api Hejaz, meledakkannya sebagian ketika sedang berjalan. Kemudian mereka menghabiskan pagi harinya menyeberangi padang lumpur tandus di Biseita, yang luas di gurun pasir. Tiba-tiba mereka sadar salah satu kelompok hilang. Untanya masih ada dalam rombongan—penunggangnya jelas tertidur dalam panas yang membakar dan terjatuh.
Gasim, pria yang hilang itu, adalah anggota tim Lawrence. Lawrence merasa tertekan dan harus kembali mencarinya sendiri atau kehilangan rasa hormat dari anggotanya. Maka ia membalikkan untanya dan mengarahkannya kembali ke padang lumpur.
Gasim hampir mengigau karena terik padang pasir ketika Lawrence menemukannya. Lawrence dan Gasim bertemu anggota lainnya, tapi keduanya nyaris kelelahan. Yang lebih buruk, salah satu pemimpin suku memukul pembantu Lawrence karena membiarkannya pergi sendiri.
"Memikirkan nanti malam adalah yang terburuk dari pengalaman saya," tulis Lawrence di buku hariannya.
Setelah kesulitan melalui perjalanan di padang pasir, Lawrence bertugas membujuk suku Arab lain untuk bergabung dalam revolusi itu. Karena takut Inggris akan menegakkan perjanjian Sykes-Picot, Lawrence merasa tidak enak. "Kami mengajak mereka berperang untuk kami dalam kebohongan, dan saya tidak tahan." la menulis ke salah satu teman tentaranya.
Tetapi, sudah terlambat untuk mengubah rencana itu. Suku-suku Arab mengabaikan kepentingan mereka sendiri karena terkobar dengan gagasan revolusi. Awal Juli, mereka mendekati Aqaba.
Pertemuan pertama berlangsung di utara Aqaba, di Abu el Lissan. Karena terkejut, orang-orang Turki itu tidak tahu cara mengatasi para penembak Arab yang bersembunyi di bukit. Ketika orang Arab tiba-tiba menyerang dengan kawanan untanya, orang-orang Turki itu benar-benar panik. Beberapa hari kemudian, Aqaba jatuh dan kini berada di tangan Arab.
Inggris sangat terkesan. Serangan itu membuat mereka sadar bahwa bangsa Arab cukup kuat untuk mendukung mereka mengalahkan bangsa Turki. Setelah ini, Revolusi Arab bekerja lebih erat dengan angkatan bersenjata Inggris, bergerak ke arah utara di bawah arahan Kepala Komando Inggris Jenderal Edmund Allenby. Angkatan darat Inggris maju ke utara melalui Palestina, dan Yerusalem direbut Desember 1917.
Secara keseluruhan, bangsa Arab memainkan peran penting dengan terus-menerus mengacaukan jalur kereta api ke Timur Jauh, sehingga mengalihkan bangsa Turki dari serangan utama Inggris, dan membingungkan bangsa Turki terhadap kekuatan musuhnya.
Sekarang, Lawrence mempunyai dua tugas utama. Ia terus menemani Allenby dan tentara Inggris lain, menuntut pasokan dan membahas strategi, tapi ia juga amat berkomitmen dengan pertempuran gerilya bersama bangsa Arab.
la mencintai padang pasir, terutama wilayah seperti Wadi Rum, yang bentuk-bentuk cadas padang pasirnya merupakan sebagian dari yang paling memukau di dunia. Selanjutnya, Lawrence menuliskan gambaran yang membangkitkan kenangan tentang bentangan alam yang tandus tapi indah itu.
Kenyataan perang memberikan sedikit romansa pada tempat itu. Lawrence mengalami gangguan fisk sampai pada batasnya. Meksi Lawrence seorang pemimpin terkenal, dia tidak selalu berada di garis depan. Kenyataannya, serangan ke Aqaba yang terkenal itu berlangsung tanpanya. Dalam kebingungan, Lawrence menembak untanya di kepala, dan unta pun terkulai lalu rebah.
Pada saat kampanye berlalu, Lawrence sendiri mulai merasa letih dan muak. Setelah serbuan ke kereta Turki yang menewaskan 70 orang Turki, ia menulis pada seorang teman, "Pembunuhan ini dan pembunuhan orang Turki ini mengerikan ... Kau menyerang sampai akhir dan mendapati mereka semua hancur bergeletakan."
Lebih dari itu, bangsa Turki ternyata adalah petempur yang brutal, kasar, serta bengis dalam memperlakukan musuh mereka yang luka, kadang-kadang membakarnya hidup-hidup. Akibatnya, orang Arab setuju untuk saling membunuh bila mereka terlalu terluka parah.
April 1918, Lawrence sendiri harus memberlakukan peraturan itu. Pada sebuah misi penyelidikan di belakang garis musuh, salah seorang pembantunya yang setia, Farraj, terluka parah. Ketika Lawrence dan beberapa orang lain berusaha menggotongnya, ada peringatan bahwa sekelompok orang Turki mendekat. Tak ada yang dapat diperbuat. Lawrence menggapai pistolnya dan mengarahkan ke kepala Farraj.
"Tuhan akan memberi kedamaian," Farraj bergumam sewaktu Lawrence menarik pelatuknya.
Setelah tahun 1918 berlalu, akhirnya rencana Inggris-Arab berhasil. Setelah berhasil dengan Aqaba dan Yerusalem, kadang-kadang kampanye itu tampak seperti terantuk. Tapi, pada September, orang Arab berhasil menghancurkan jalur kereta api Deraa di utara dan selatan, salah satu jalur komunikasi Turki. Pada bulan yang sama, perlawanan Inggris menyikat angkatan bersenjata Turki di Palestina.
Sekarang ini cuma masalah menjaring sisa angkatan bersenjata Turki sebelum mereka mundur ke Damaskus. Tanggal 26 September 1981, Lawrence menerima kabar bahwa dua divisi Turki menuju ke utara mengikutinya, satu rombongan terdiri dari enam ribu tentara dan rombongan yang lain terdiri dari dua ribu tentara. Ia dan teman-teman pemimpinnya menganggap pasukan mereka sudah cukup untuk mengalahkan divisi yang lebih kecil.
Mereka bertemu prajurit Turki di utara pedesaan Tafas dekat Deraa, yang memaksa mereka berbalik, dan mengikuti orang-orang Turki itu menyusuri desa Tafas sendiri. Mereka menyaksikan pemandangan yang menakutkan. Bangsa Turki telah membunuh semua perempuan dan anak-anak, Lawrence sendiri melihat perempuan hamil yang dihunus dengan sebuah bayonet.
Sheik desa itu, prajurit bernama Talal, bertempur bersama Lawrence. Sewaktu melihat yang menimpa penduduk desanya, ia meraung dalam kedukaan dan menyerang orang Turki. Kini semua orang Arab mengamuk. Lawrence dan pemimpin lain sedemikian muak sehingga mereka memberi perintah "jangan membawa tawanan"—berarti harus membunuh semua orang Turki, baik yang menyerah atau tidak.
Orang-orang Arab menyambar orang Turki dengan geram karena perbuatan mereka itu, dan akibatnya, tak lama, mereka menguasai Deraa. Selanjutnya, mereka menjadi liar, menjarah dan menyembelih orang Turki sebagai balas dendam atas pembunuhan di Tafas. Lawrence kemudian menggambarkannya sebagai "salah satu malam saat manusia kehilangan akal."
Sementara itu, sebagian angkatan darat Arab menyikat divisi Turki yang lebih besar. Dalam beberapa hari, sekitar lima ribu orang Turki dibunuh dan delapan ribu ditawan. Akhirnya, mereka ditawan di Damaskus.
Inggris mengizinkan angkatan darat Arab berpawai ke Damaskus di depan mereka, sebagai pengakuan terhadap hak-hak bangsa Arab atas wilayah itu. Lawrence ikut dan menyaksikan sambutan masyarakat yang meriah. Sheik Hussein diangkat menjadi Raja Arab, dan Feisal memasuki kota sebagai wakilnya dengan kemenangan. Untuk sementara, perjanjian Sykes-Picot dilupakan.
Setelah terburu-buru membantu para pemimpin Arab menciptakan ketertiban di Damaskus, Lawrence pergi secepatnya. Tampaknya ia tertekan. Ia tahu bahwa posisi Arab genting, dan satu hal: perjuangan Feisal baru saja dimulai. Karena letih, Lawrence baru terbang ke London empat hari kemudian.
Hampir dipastikan, tuntunan Prancis segera menghapus impian Feisal. Pada akhir tahun 1920, hasil penyelesaian damai menyerahkan Libanon dan Suriah pada Prancis. Untuk menenangkan orang Arab, Inggris menjadikan Feisal raja di Irak di bawah pengaruh tak langsung mereka; mereka memberikan wilayah yang disebut Trans-Jordan (sekarang Yordania) kepada Abdullah, saudara laki-laki Feisal, dalam sebuah perjanjian serupa. Satu-satunya wilayah yang langsung dikuasai orang Arab adalah Arabia itu sendiri. Seorang lawan setempatnya, Ibnu Saud, segera menyingkirkan Hussein dari kekuasaan. Keluarga Ibnu memberi nama wilayah itu Saudi Arabia.
Kemudian
Lawrence memainkan bagian penting dalam perundingan pascaperang, memperjuangkan hak Arab untuk merdeka. Meskipun hasil akhir lebih baik dari yang ia takuti, hasil itu sangat berbeda dari pandangan yang mengobarkan Revolusi Arab. Jelas, Lawrence merasa Inggris mengkhianati bangsa Arab.
la diberi banyak penghargaan dan medali atas dinas kemiliterannya, termasuk Distinguished Service Order. Ia memulangkan semuanya kembali. Yang menambah kekecewaan banyak orang, ia mulai menarik diri dari masyarakat.
Tapi, legenda 'Lawrence dari Arabia' mulai tumbuh, sebagian besar berkat jasa jurnalis dan pembicara Lovell Thomas yang melangsungkan serangkaian tur untuk mengangkat moralitas. Lawrence sendiri menganggapnya tak masuk akal bahwa ia diistimewakan; mengingat banyak tentara Inggris lain yang terlibat dalam revolusi itu, dan ia sendiri pasti tak akan pernah menjadi pemimpin Arab. Ia mengakui bahwa Lovell Thomas menyebarkan "kebohongan panas".
Namun, Lawrence mulai menuliskan sendiri kisahnya tentang revolusi itu dalam Seven Pillars of Wisdom. Kisah itu memberikan sumbangan bagi legenda, dan sebagian sejarawan mengakui bahwa kisah itu memelintir dan membesar-besarkan fakta.
Seven Pillars of Wisdom banyak berisi gambaran romantis tentang gurun pasir, pandangan yang diidealkan tentang Emir Feisal, dan kisah-kisah pertempuran yang dramatis. Buku itu juga menganggap tidak penting peran Inggris dalam mengalahkan bangsa Turki. Akibatnya, perdebatan tentang Lawrence terus berlanjut dan ia tetap menjadi sosok yang membingungkan.
Baru diketahui bahwa pada tahun 1934, Lawrence didekati sutradara film Alexander Korda yang ingin membuat film dengan judul Lawrence of Arabia. Lawrence jengkel. "Mungkin yang ia maksud saya, dan saya punya pandangan yang kuat mengenai keengganan film seperti itu. Maka, saya menjawabnya bahwa ia mungkin harus mendiskusikan niatnya itu sebelum membuka mulutnya yang bodoh itu" tulisnya.
T.E. Lawrence tetap bekerja di Angkatan Udara hingga tahun 1935, ketika ia berusia 46 tahun. Baru tiga bulan setelah pensiun, ia tewas dalam kecelakaan sepeda motor di dekat rumahnya di Dorset.
Tapi, gagasan itu terus mengalir. Tahun 1962, 27 tahun setelah kematian Lawrence, sutradara film yang lain, David Lean, benar-benar membuat film berjudul Lawrence of Arabia, yang dibintangi Peter O'Toole sebagai Lawrence. Film itu menjadi film klasik dan memastikan bahwa gambaran romantis perang di gurun pasir, dengan heroismenya, jubah sutra yang berkibar-kibar dan unta-unta yang menyerang, dihidupkan untuk memikat imajinasi jutaan orang.
(Gill Harvey)
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258538/lawrence-dari-arabia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177314000) } } [4]=> object(stdClass)#58 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3258519" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#59 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/dua-lelaki-dan-anjingnya_go2afri-20220428081944.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#60 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Selama Perang Dunia II, dua ahli geologi Jerman bersembunyi di belantara Gurun Pasir Namib. Tujuan mereka—sekadar bertahan hidup." ["section"]=> object(stdClass)#61 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/dua-lelaki-dan-anjingnya_go2afri-20220428081944.jpg" ["title"]=> string(24) "Dua Lelaki dan Anjingnya" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:20:05" ["content"]=> string(23096) "
Intisari Plus - Selama Perang Dunia II, dua ahli geologi Jerman bersembunyi di belantara Gurun Pasir Namib. Tujuan mereka—sekadar bertahan hidup.
----------------------
Tampaknya dunia akan gila. Ketika itu tahun 1940, Perang Dunia II baru saja meletus, dan tentara Jerman berada di seantero Eropa. Nun jauh di Afrika, dua warga Jerman, Henno Martin dan Hermann Korn, mendengarkan berita di radio dengan ketakutan. Hawa panas peperangan itu bahkan dapat dirasakan sampai di Windhoek, ibukota Namibia, tempat mereka menetap.
Warga Jerman ditangkapi, khawatir kalau dianggap anggota Nazi, kemudian dijebloskan di kamp tawanan. Mungkin saja giliran Henno dan Hermann tidak lama lagi tiba ....
Suatu sore, di beranda, Henno dan Hermann berpikir keras. Mereka adalah ahli geologi dan tidak mau terlibat dalam peperangan yang tidak beralasan dan menumpahkan darah. Mereka pun tidak terima jika mereka ditawan hanya karena berwarga negara Jerman.
"Kau tahu apa yang dapat kita lakukan," kata Hermann dengan suara pelan.
"Apa?" tanya Henno penasaran.
"Kita selalu bilang jika perang meletus, kita akan bersembunyi di gurun."
Henno menatapnya. Benar—mereka pernah mengumbar lelucon itu. Tapi, bisakah mereka melakukannya? Mereka tidak tahu sampai kapan perang akan berakhir, mungkin saja berlangsung tahunan.
"Bagaimana dengan Otto?" tanya Henno.
"Otto?"Hermann memandang anjing mereka, yang balik menatap seperti biasa dengan mata berbinar dan ekor yang dikibas-kibaskan. "Tentu kita akan mengajaknya."
Sepanjang perjalanan ke gurun, Otto menjadi teman setia mereka. Sampai saat itu, tak ada alasan untuk mengurungkan niat mereka ke gurun. Keputusan segera diambil. Mereka memuati truk dan berangkat. Gurun Pasir Namib menawarkan banyak tempat persembunyian. Mereka mempercayakan nasib baik mereka pada gurun yang ganas itu sampai perang usai.
Dalam empat hari, mereka sudah mengumpulkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mereka membawa makanan pokok—makanan kering dan makanan kaleng, teh, kopi, gula pasir, dan selai, ditambah dengan perbekalan mewah seperti cokelat dan brandy. Mereka membawa beberapa peralatan dapur—pisau yang tajam dan belanga.
Mereka perlu kantung tidur, selembar terpal, dan beberapa lembar pakaian; Hermann dan Henno menambahkan peralatan jahit dan perlengkapan P3K. Untuk truk, mereka butuh banyak bahan bakar, suku cadang, dan perkakas. Apa lagi?
"Biolaku," kata Hermann dengan tegas. "Aku tak akan meninggalkannya."
Yang terpenting dari semua perlengkapan itu adalah radio dan senjata. Melalui radio mereka bisa mendengar berita penting dari dunia luar dan perkembangan perang. Radio menyala dari baterai di truk dan akan mengabarkan saat yang aman untuk keluar dari gurun, sementara senjata adalah nyawa mereka.
Cadangan makanan harus dijatah dengan cermat, dan mungkin tidak akan cukup untuk menghidupi mereka. Jika ingin bertahan hidup, mereka harus berburu. Senapan adalah alat berburu yang terbaik, sayangnya semua sudah disita pada awal perang. Mereka hanya memiliki sepucuk senapan laras panjang dan pistol—tidak ideal, tapi harus berfungsi.
Dengan truk sarat muatan, mereka bergerak sepanjang rute yang mereka ketahui sulit ditelusuri. Tidak banyak orang kulit putih yang mengenal gurun pasir sebaik mereka. Mereka berjalan menuju sebuah ngarai rahasia di jantung Gurun Pasir Namib.
Gurun Namib membentang di sebelah barat Namibia, sebuah daratan yang panjang berbatasan dengan laut. Bagian utara pantai itu dikenal dengan nama Skeleton Coast (Pantai Kerangka). Nama itu berasal dari korban kecelakaan kapal laut di masa lalu—mereka yang beruntung mencapai pantai tapi tidak menemukan air dan makanan untuk bertahan hidup, akhirnya tewas di gurun pasir yang kejam.
Sebagian gurun terdiri dari beberapa bukit pasir yang amat menakjubkan di dunia, bergelombang naik dan turun dalam corak warna kuning tua dan oranye. Bukit pasir ini memberi sedikit tempat bernaung atau kehidupan bagi kedua pelarian ini, sementara daerah lain bercadas dan dialuri ngarai yang dalam. Di sini, terdapat mata air—dan bila ada air, berarti ada kehidupan.
Dengan truk, Henno dan Hermann menempuh rute berbahaya, menerobos ke puncak ngarai Kuisib. Di situ, mereka berhenti dan mengamati pemandangan—sebuah bentangan darat yang sepi dan liar dengan batu-batu cadas menjulang dan jurang kecil yang dalam, tebing terjal, dan—jauh di bawah—palung ngarai berpasir.
"Mereka tidak bakal menemukan kita di sini," ujar Hermann.
Lega rasanya menyadari hal itu, tapi juga sedikit menakutkan. Tempat ini seluruhnya belantara, hewan paling kuat sekalipun harus berjuang untuk bertahan hidup. Bagaimana mereka yakin bisa mengatasinya?
Sudah terlambat untuk kembali. Henno dan Hermann meninggalkan truk di atas jurang, lalu menelusuri jejak zebra ke dalam ngarai, mencari air dan tempat tinggal. Palung sungai kering menandakan hujan tidak turun pada tahun itu. Tapi, masih terdapat cukup mata air.
Yang menggembirakan mereka, ada ikan di salah satu kolam mata air—ikan mas yang gemuk dan sehat. Hermann berhasil menangkapnya dengan tangan kosong. Itulah tangkapan pertama! Mereka segera membuat api unggun, memasak, dan menyantapnya.
Mereka terus menyusuri ngarai hingga tiba di semacam gua, sebuah batu cadas menggantung yang memberikan perlindungan memadai. Hermann dan Henno memutuskan gua itu menjadi rumah mereka.
Selama dua hari berikutnya, mereka mengeluarkan bekal dari truk, dan menjadikan gua itu senyaman mungkin. Selanjutnya, mereka menyembunyikan truk di bawah sebuah tebing yang menggantung sehingga tidak terlihat dari udara.
Henno dan Hermann merasa sangat lapar. Mereka telah menghabiskan sebagian bekal pasta, tapi tidak mau makan lagi. Setiap hari mereka menjatahkan secangkir terigu untuk sarapan pagi, yang dicampur dengan air dan satu sendok teh selai. Selain itu, tidak ada lagi yang dapat dikerjakan kecuali mencari makanan lebih banyak.
Menangkap lebih banyak ikan adalah jalan keluar yang nyata, meski tak mudah. Keberuntungan mereka pada hari pertama tidak terulang lagi. Henno dan Hermann membuat alat pancing dengan kabel, tapi mereka hanya mendapat katak. Lalu, dengan perut keroncongan, mereka memutuskan berburu. Perjuangan untuk bertahan hidup pun dimulai.
Dalam perjalanan ke ngarai, mereka mendapati jejak kawanan ternak liar—seekor banteng jantan, seekor lembu, dan anak sapi. Yang lebih menyenangkan, tak lama kemudian mereka melihat seekor banteng jantan sedang merumput di dasar ngarai. Tapi, bagaimana bisa mendekat untuk menembak?
"Aku akan kembali kemari dengan Otto dan senapan," kata Henno. "Kau terus siap dengan pistolmu. Bau badanku akan menggiring banteng jantan itu ke arahmu."
Ide yang bagus. Henno beranjak dengan hati-hati, tak ingin mengusik makhluk besar ini. Ia merangkak lebih dekat, dan semakin dekat ... Kemudian banteng jantan itu menengok. Sapi itu memandang Henno dan menyerang. Henno menembakkan senapan langsung ke wajah sang banteng. Banteng itu tetap maju.
Pada menit terakhir, Henno melompat ke bukit bercadas, keluar dari kejarannya. Banteng jantan itu menatapnya. Peluru kecil yang dilontarkan dari senapan Henno (yang biasanya dipakai untuk perburuan ringan seperti berburu burung) sedikit menggoresnya.
Tapi, sekarang Hermann berlari dan menembak dengan pistolnya. Peluru itu mengenai belakang telinga banteng, dan hewan besar itu pun terkulai ke tanah seperti batu.
"Sudah mati?" tanya Hermann terengah-engah.
Henno menyambit kepala banteng jantan itu dengan batu, hanya untuk memastikan. Secepat itu pula, banteng kembali berdiri tegak—benar-benar hidup! Sekarang, Otto—sangat girang—menyergap banteng itu dan mencengkeram hidungnya. Hermann mendekat, dan menembak dahinya. Tak ada pengaruh. Sang banteng cuma menggoyang-goyangkan kepalanya, sambil melempar Otto ke udara.
Otto kembali berdiri tapi kini ia menyeringai. Berburu tidak seasyik perkiraannya. Sekali lagi Hermann menembak belakang telinga banteng itu. Seperti sebelumnya, tembakan itu membuatnya kelengar dan terjatuh ke tanah lagi—hanya bangun bila sudah pulih.
Sekarang jelas si banteng makin lemah, hanya dapat memandang Hermann dan Henno dengan kesal. Mereka kelelahan dan kehabisan peluru karena tidak menyangka akan menjalani pertempuran sesengit itu.
"Kita harus pulang dan mengambil peluru lagi," ujar Hermann. "Dan merencanakan cara menghabisinya."
Henno mengangguk. "Kita juga harus membawa kantung tidur, dan segala sesuatu yang diperlukan. Banteng itu terlalu besar untuk diseret ke gua. Kita harus tinggal di sini sampai habis memakannya."
Mereka tertatih-tatih kembali ke gua, mengambil pisau, tali, kuali, dan alat-alat lain. Banteng jantan itu sekarang terkulai, tapi tetap berjuang untuk bangun dan menyerang lagi sewaktu Henno dan Hermann mendekat. Dua peluru lagi masih belum bisa mematikannya.
Mereka tahu, mereka harus jantungnya. "Tapi, di mana letak jantung makhluk sebesar itu?" tulis Henno kemudian. "Baik Hermann atau aku belum pernah menyembelih lembu jantan dan kami tidak tahu caranya ... Ketika itu, Hermann dan aku agak terguncang. Peristiwa ini mengejutkan, dan kami jadi malu karena tidak mampu membereskan persoalan ini."
Akhirnya, mereka punya ide untuk mengikatkan seutas tali di sekeliling tanduknya dan mengikatkan tali itu ke sebatang pohon, sehingga banteng itu tidak dapat bergerak. Kemudian, dengan rasa lega yang luar biasa, mereka menebas tenggorokannya.
Malam itu mereka melahap daging. Tapi, setelah itu mereka harus mulai mengawetkan sisa daging banteng itu. Daging cepat membusuk di bawah terik matahari. Mereka pun memotongnya, tapi tak satu pun peluru menembus tengkorak keras makhluk itu. Hermann dan Henno memotong daging menjadi irisan-irisan tipis untuk dikeringkan, menjadi biltong, sebutannya di penjuru Afrika Selatan.
Sisa daging harus diasapi di atas api kecil. Teknik itu cukup rumit sehingga kedua pria itu harus berusaha berkali-kali sebelum berhasil. Selanjutnya daging banteng liar itu menjadi hidangan sarapan pagi, makan siang, dan makan malam pada hari-hari selanjutnya.
Membunuh banteng jantan adalah kesulitan utama dan pertama yang mereka temui ketika berburu. Mereka segera tahu bahwa pembunuhan seperti itu merupakan cara hidup yang brutal dan putus asa. Dengan sumber daya yang terbatas, mereka harus memikirkan kepentingan sendiri dan tidak bisa bersikap belas kasih.
Sering kali, peluru mereka hanya melukai seekor hewan, dan mereka harus menyeret hewan itu berjam-jam untuk menghabisinya. Terkadang sang hewan benar-benar kabur. Bila si hewan terluka cukup parah, Henno dan Hermann hanya perlu menunggunya sampai melemah dan terkulai. Mereka tidak boleh membuang-buang peluru yang berharga agar sang hewan mati dengan bersih dan cepat.
Makan daging terus-terusan segera jadi membosankan, dan mereka berusaha mencari cara baru untuk menangkap ikan mas di kolam mata air. Akhirnya, mereka menemukan ide cemerlang untuk membuat jaring dari batang tanaman tamarisk dan celana dalam, yang kemudian mereka jadikan semacam pukat yang diletakkan di air di antara mereka. Usaha itu berhasil—dan untuk sementara, mereka memiliki banyak ikan untuk makan malam.
Tapi, kolam mata air itu lama-kelamaan mengering. Jelas, sumber makanan ini tidak akan tersedia selamanya. Lebih-lebih mereka memergoki ada pihak lain yang memanfaatkan kolam itu. Ikan mas di kolam itu dijarah pada malam hari. Jejak kaki menunjukkan pelakunya—seekor hiena.
Henno kesal. "Aku tak akan membiarkan hiena menjarah ikan kita!" cetusnya. "Aku akan mengintai dan menembaknya."
"Jangan bodoh," ujar Hermann. "Jika kau berada di sekitar sini, ia akan mengendusmu. Dan bagaimana pun, kau tak bisa menembaknya dalam gelap."
Tapi, Henno nekat. Ia mengambil kantung tidurnya menuju kolam mata air dan berdiam di situ menunggu. Pada malam pertama, tak terjadi apa-apa. Paginya Henno kembali ke gua dengan tangan hampa.
Hermann menyambutnya dengan senyum mengejek serta secangkir kopi. Hermann jelas tidak menyangka temannya itu akan berusaha lagi. Tapi Henno jengkel karena sikap Hermann. Ia pun kembali berjaga pada malam berikutnya.
la baru tidur sejenak sewaktu mendengar lolongan hiena yang menakutkan dari dekat. Ia menggapai senapan sewaktu hiena terus melolong dan mengaum. Mengerikan; tidak ada hewan lain di gurun pasir yang bersuara seperti itu. Tapi, cuma suara itu yang diperlukan Henno. Meskipun ia tidak dapat melihat makhluk seram itu, ia cuma mengarahkan senapan ke asal suara. Yang menggembirakannya, lolongan itu terhenti dan berganti dengan tangis kesakitan.
"Kena kau!" pikirnya, dan Henno meringkuk kembali di kantung tidurnya, lalu mendengkur sampai pagi hari.
Siang harinya, ia bangun dan mengamati tempat itu. Terdapat jejak yang ganjil, yang menunjukkan hiena tersebut tidak bisa lagi menggunakan kaki belakangnya. Ia mereka-reka seberapa jauh hiena itu dapat menyeret badannya. Henno mengikuti jejak tersebut sampai akhirnya ia menemukan hewan itu gemetar ketakutan di bawah pohon akasia.
la tidak mau menyia-nyiakan sisa pelurunya. Sebagai gantinya, Henno mulai memukuli belakang kepala hiena dengan batu-batu. Sebuah perjuangan lagi yang panjang dan mengerikan sebelum sang hiena akhirnya rubuh. Lelah, tapi entah bagaimana ia merasa menang. Henno menguliti hiena itu dan membawa kulitnya ke gua. Kali ini Hermann tidak menertawakannya.
Hari-hari berlalu, merajut satu sama lain. Henno dan Hermann mengamati musim yang berganti, dan harus membuat penyesuaian. Kolam ikan mas mereka mengering, dan mereka mulai menderita sakit kepala karena kekurangan vitamin.
Mereka sadar, untuk mengatasi hal itu, mereka perlu minum darah lebih banyak dan makan daging mentah. Mereka menjadi kreatif. Mereka membuat sosis dari darah gemsbok dan memakai ususnya sebagai kulit.
Hermann dan Henno juga mulai kehabisan garam dan air—dua unsur penting untuk bertahan hidup. Seperti hewan-hewan di sekelilingnya, mereka pun harus berpindah untuk mencari kedua unsur itu.
Rezeki tak akan mendatangi mereka di gua. Maka, mereka pun berjalan melalui ngarai yang tandus, di menahan rasa dahaga dan lapar, sampai menemukan cadangan garam dan mata air tawar.
Dalam salah satu pencarian itu, mereka beristirahat sejenak di bawah batu cadas untuk meneduhkan diri. Tanah yang mereka duduki dipenuhi kutu pasir, karena sebelum mereka duduk di situ sudah banyak hewan berada di tempat itu.
"Menurutku, aku baru saja digigit kutu," kata Hermann tiba-tiba sambil menggoyang-goyangkan tangannya. Kutu itu menggigit telapak tangannya—tidak mengejutkan, di lingkungan seperti itu. Tapi, dalam beberapa detik, ia mulai melunglai.
"Hermann!" seru Henno merasa khawatir sewaktu Hermann terkulai ke tanah. "Kau tidak apa-apa?"
"Kepalaku ..., "Hermann merintih. Henno memandangnya. Dari sekujur tubuh Hermann keluar bercak yang aneh. Henno segera mencari-cari kutu yang telah menggigit Hermann.
"Lihat ini!" Henno berseru, sewaktu menemukannya. Kutu itu penuh dengan darah yang sudah menghitam dan lama. Darah Hermann jelas keracunan akut karena gigitan itu—dan ia tidak dapat melihat apa pun. Ia muntah banyak.
"Aku tidak bisa melihat," ia berguman. "Aku buta."
Karena panik, Henno mengiris gigitan kutu itu dan membubuhkan sedikit kalium permanganat (semacam antiseptik) ke dalam lukanya. Tak ada lagi yang dapat ia lakukan. Hermann hampir tidak bisa berdiri, dan sekarang nyaris buta, tapi Henno menggiringnya ke gua kecil di dekat situ. Mereka menghabiskan sisa hari dan malam di sana, menunggu racun surut.
Belum sampai petang berikutnya, Hermann merasa cukup kuat untuk bergerak lagi. Musibah itu merupakan kejadian menakutkan, yang menunjukkan betapa rapuhnya kehidupan mereka di alam belantara.
Sewaktu musim demi musim berlalu perlahan-lahan, keberuntungan mereka pun berubah. Saat kering, mereka terpaksa meninggalkan rumah pertama mereka untuk mencari air; mereka menetap di beberapa tempat, berkemah di tempat yang tersedia cukup air untuk mempertahankan hidup.
Ada juga saat kelimpahan setelah hujan musiman, yang mengembalikan kehidupan gurun pasir secara dramatis. Henno selanjutnya menceritakan kekuatan dahsyat banjir bandang, dan pemandangan indah saat empat ribu ekor springbok merumput bersama-sama setelah hujan.
Otto melalui semua peristiwa itu bersama mereka. Anjing itu tak pernah lelah berburu, meskipun dua kali diseruduk tanduk gemsbok. Ia mempelajari cara bertahan hidup seperti halnya manusia, dan Henno serta Hermann dibuat takjub oleh cara hewan-hewan, bahkan hewan peliharaan, beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang berubah.
Namun, secara keseluruhan, Hermann dan Henno melemah, dan terus-menerus merasa lapar. Sewaktu musim kering kedua datang menyengat, mereka merasa terlalu lemah untuk berburu.
Mereka putus asa. Suatu hari, seekor tokek sedang melata, dan Henno menyergapnya. Ia menangkap ekornya saat setengah badan tokek itu masuk ke dalam batu cadas. "Daging tokek itu memberi kami dua porsi hidangan enak," tulis Henno. "Dagingnya kenyal dan putih, rasanya campuran antara daging ayam dan ikan salmon."
Tak lama, Hermann mulai jatuh sakit parah. Ia menderita nyeri punggung, yang bertahap menyebar ke tungkainya, dan akhirnya ke leher dan kepalanya. Henno berusaha keras untuk merawatnya, menembak hewan buruan segar, yang mereka makan mentah-mentah. Tapi, tampaknya tak ada yang menolong.
Hermann jelas perlu ke dokter. Ia tak mampu berburu lagi, dan bahkan hanya bisa merangkak. Hanya ada satu yang dapat mereka lakukan, meninggalkan gurun pasir, meskipun mereka sudah penat. Dengan berat hati, Henno mempersiapkan truk dan berjalan melalui jalan yang tandus kembali ke Windhoek.
Henno tidak menyerah begitu saja. Ia mengantar Hermann dan kembali lagi ke gurun pasir bersama Otto. Tapi, teman-teman membujuk Hermann untuk mengatakan tempat persembunyian Henno, dan tak lama polisi menemukannya.
Seperti yang sudah mereka duga, kedua warga Jerman itu ditahan di penjara; tapi sebentar. Mereka dipindahkan ke rumah sakit, tempat Hermann mulai pulih dari sakitnya. Ia menderita kekurangan vitamin B.
Selanjutnya keduanya harus menghadapi persidangan. Mereka dikenai banyak dakwaan, besar dan kecil, termasuk tidak membayar perizinan anjing mereka. Tapi mereka beruntung. Petualangan Hermann dan Henno sedemikian luar biasa sehingga mereka bebas dari hukuman dengan sedikit denda.
Tragisnya, setelah benar-benar sembuh, Hermann Korn tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, tahun 1946. Otto hidup selama beberapa tahun, kemudian menghilang secara misterius. Henno Martin melanjutkan hidup di Namibia, dan menulis buku tentang perjuangan dua setengah tahun mereka di Gurun Pasir Namib. Buku itu berjudul The Sheletering Desert. Cerita ini ditulis berdasarkan kisahnya.
(Gill Harvey)
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258519/dua-lelaki-dan-anjingnya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177205000) } } [5]=> object(stdClass)#62 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3258528" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#63 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/indiana-jones-asli_dinopediajpg-20220428081755.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#64 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Penjelajah Roy Chapman Andrews berani bergelut melawan bandit, badai, dan ular di Gurun Pasir Gobi. Apakah ia mendapatkan yang dicarinya?" ["section"]=> object(stdClass)#65 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/indiana-jones-asli_dinopediajpg-20220428081755.jpg" ["title"]=> string(18) "Indiana Jones Asli" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:18:17" ["content"]=> string(26341) "
Intisari Plus - Penjelajah Roy Chapman Andrews berani bergelut melawan bandit, badai, dan ular di Gurun Pasir Gobi. Apakah ia mendapatkan yang dicarinya?
------------------------
Saat barisan unta yang panjang itu berangkat di bawah bayang-bayang Tembok Raksasa Cina, pimpinan kawanan unta itu memulai nyanyian misterius dan aneh, sebuah doa agar selamat dari roh-roh jahat.
Unta-unta yang membawa banyak beban itu digiring ke padang luas Gurun Pasir Gobi di Mongolia. Selain berbekal doa, para pria itu semuanya membawa senapan. Mereka sadar akan menghadapi lebih banyak makhluk halus yang ditakuti sebelum perjalanan mereka usai.
Seorang pria tinggi bertubuh atletis mengamati 75 ekor unta itu berlalu menjauhinya. Ketika yakin bahwa unta-unta itu aman dalam perjalanan, dengan riang ia berbalik dan kembali menuju mobilnya. Banyak yang harus ia kerjakan.
Unta-unta itu hanyalah bagian dari ekspedisi besar yang ia pimpin. Pria bernama Roy Chapman Andrews itu adalah salah satu penjelajah Amerika yang paling terkenal pada abad ke-20.
Roy Chapman Andrews, 38 tahun, memilki reputasi sebagai petualang yang tak mengenal rasa takut. Ia telah menjelajahi banyak negeri Timur Jauh, Asia Tenggara, dan ia pernah terdampar dua minggu di sebuah pulau bergurun pasir. la membunuh ular piton sepanjang 20 kaki (sekitar 6 meter), memburu macan pemakan daging manusia, dan menyaksikan gua-gua opium Jepang.
la lolos dari kematian akibat batang bumbu beracun, angin taifun di laut, dan serangan ikan hiu. Sebagai tambah ketenarannya, ia pernah menjadi mata-mata Amerika di Timur Jauh selama Perang Dunia Pertama. Andrews bukan cuma petualang, tapi juga ahili zoologi, yang memiliki keterampilan membuat hewan awetan dan pemahaman unik tentang paus. Saat itu, Maret 1922, ia baru mengawali petualangan terbesar di sepanjang kariernya.
Andrews bekerja di American Museum of Natural History di New York. Direktur Museum itu, Henry Osborn, yakin bahwa manusia pertama bukan berasal dari Afrika, tapi dari jantung benua Asia. Tapi, hal itu belum terbukti sehingga Andrews mengajukan sebuah proposal yang berani.
Mengapa tidak mengirimkan ekspedisi besar ke Gurun Gobi untuk menguji kebenaran teori Osborn? Ekspedisi itu dapat berlangsung lima kali musim panas, dan Andrews mengepalai berbagai tim ilmuwan yang berpengalaman. Osborn menyukai ide itu—dan Andrews adalah orang yang ideal untuk melaksanakannya.
Sewaktu pers Amerika mengendusnya, timbul kehebohan. "Ilmuwan mencari tulang-belulang manusia kera," The New York Times memberitakan "'Mata Rantai Hilang': Ekspedisi mencari sisa manusia purba di belantara Gobi," The Washington Post menegaskan.
Sumbangan dari orang-orang terkaya di New York pun mulai mengalir, segera terkumpul US$ 250.000 yang diperlukan—jumlah yang amat banyak pada saat itu, setara dengan lebih dari US$ 5 juta untuk nilai uang sekarang. Dan sekitar sepuluh ribu orang menulis kepada Andrews, memohon untuk ikut serta dalam ekspedisi tersebut.
Meskipun demikian, ketika mengamati rombongan kereta untanya memulai prosesi yang lambat menuju gurun pasir, Andrews menganggap luar biasa kalau idenya menjadi kenyataan. Ekspedisi Asia Tengah, nama ekspedisi itu, benar benar berlangsung.
Rombongan unta itu membawa perbekalan bagi Andrews dan ilmuwan lain yang berangkat dengan lima mobil Dodge beberapa pekan kemudian. Mereka berangkat tanggal 17 April 1922 dari markas mereka di Kalgan, Tiongkok, menuju tempat yang suka disebut Andrews 'Great Unknown'.
la sadar betul, mereka mengambil risiko yang amat besar—kenyataannya hampir tak pernah ada fosil yang ditemukan di Mongolia. Tapi, sekarang tekanan dibebankan pada Andrews untuk menemukannya sebagian.
Gurun Pasir Gobi penuh dengan bahaya, terutama pada waktu itu. Ganas dan tidak bersahabat. Gurun tersebut penuh perangkap bagi kendaraan Dodge yang kerap kali tenggelam ke dalam tanah yang lembek atau pasir hingga batas jari-jari bannya. Terdapat padang kerikil yang luas, bukit-bukit berbatu tajam, dan tonjolan-tonjolan bercadas, serta padang bukit berpasir yang luas.
Iklim berubah secara dahsyat; temperatur dapat turun di bawah titik beku, dan segala jenis badai menjadi ancaman tanpa henti. Terutama badai pasir dapat menyapu tanpa terduga, menderu dengan ganas, dan menumpas apa saja yang dilaluinya.
Kendaraan Dodge amat bergantung pada rombongan unta, yang mengangkut bahan bakar, minyak, dan suku cadang. Tapi bagi unta-unta itu sekalipun, bertahan di gurun pasir tidaklah mudah. Kerap kali cuma ada sedikit yang bisa mereka makan, dan tanpa makanan mereka cepat lelah karena beratnya beban.
Tapi, yang terpenting, baik rombongan unta dan kendaraan Dodge harus berurusan dengan ancaman para bandit. Keadaan politik di Tiongkok dan Mongolia tidak stabil. Akibat perang sipil dan pemberontakan yang terus-menerus meletus, jumlah bandit perampok meningkat.
Mereka kadang bergabung bersama dalam kelompok yang ganas dan bengis berjumlah sampai seribu orang. Mereka merampok apa pun yang berharga yang melewati Gobi, membunuh tanpa ampun. Orang-orang Andrews harus terus berjaga: mereka semua membawa senapan laras panjang dan pistol.
Tapi, ketika musim pertama ini mulai, para ilmuwan segera melupakan bahaya itu. Begitu banyak spesies hewan di gurun pasir untuk dicatat. Tim tersebut mengamati keledai liar yang berlari-lari bebas dalam kawanan yang besar. Para ilmuwan telah mengetahui keberadaan mereka, tapi sebelumnya tak pernah berkesempatan untuk mengamati dari dekat.
Andrews menembak beberapa hewan untuk dipamerkan, dan mencatat secara rinci tingkah laku mereka. Yang lebih penting, para ilmuwan mulai menemukan fosil. Fosil hewan purba: ikan, kodok, serangga, hewan pengerat, dan mamalia kecil lain yang telah lama punah.
Tapi, bagaimana dengan manusia pertama? Tidak ada. Fosil mirip manusia sama sekali tidak ditemukan. Sebagai gantinya, ada yang lain—sesuatu yang tak diduga. Dinosaurus. Bukan saja dinosaurus tua, tapi spesies baru, yang tak pernah dijumpai sebelumnya.
Salah satu spesies yang pertama timbul dari formasi cadas yang terkikis adalah makhluk aneh dari periode Cretaceous, (antara 135 dan 65 juta tahun lalu) dengan paruh seperti seekor burung beo. Mereka menamakannya Psittacosaurus mongoliensis, yang artinya 'tokek burung beo dari Mongolia'.
Tim menjadi heboh. Mereka tidak khawatir akan pulang dengan tangan hampa. Mereka bekerja amat keras, bertekad untuk memanfaatkan temuan tersebut sebaik-baiknya. Tapi, menjelang bulan September, temperatur udara mulai menurun dan keadaan Gurun Gobi lebih mengerikan dari sebelumnya. Mereka harus pergi, dan kembali saat musim semi.
Sewaktu mencari jalan ke arah utara menuju ibukota Mongolia, Urga, tim tersebut tersesat di padang pasir yang luas. Tempat itu tampak tak berujung. Selama tiga hari mereka mencari tanda-tanda kehidupan, atau jejak untuk melangkah.
Tiba-tiba, mereka menemukan sekelompok kecil tenda suku nomadik Mongolia yang disebut yurt. Andrews menghampiri kelompok itu untuk minta pertolongan, meninggalkan yang lainnya menunggu kabar. Sementara menunggu, sang juru foto, Shackelford, keluar dari mobil Dodge-nya untuk meregangkan kakinya. Ia melihat ada tonjolan aneh dari batu cadas di dekatnya. Karena penasaran, ia berjalan menuju tonjolan itu untuk melihat dari dekat.
Yang ia temukan, mencengangkan. Di depannya terdapat sebuah kawah besar dari tebing batu pasir yang dramatis, terukir menjadi bentuk-bentuk yang fantastis akibat terkikis selama bertahun-tahun. "Kelihatannya seperti kastel zaman pertengahan dengan puncak menara dan menara-menara kecil, beraneka warna di bawah cahaya petang, pintu gerbang yang besar, dinding dan benteng ...," tulis Andrews.
Memesona. Tapi, yang lebih penting, di atas permukaan bebatuan cadas itu tergeletak fosil. Ratusan jumlahnya. Dengan sangat bergairah, tim segera memancangkan tendanya, dan mulai menjelajah. Tempat itu, seperti yang ditulis Andrews, 'surga bagi palaeontologis'. Mereka menamakan tempat itu "Tebing Menyala' (Flaming Cliffs).
Dengan tergesa-gesa, para ilmuwan mengumpulkan apa yang bisa mereka temukan. Di antara temuan itu ada sepotong kulit telur yang membatu—mungkinkah ditinggalkan burung purba? Tapi, penggalian itu berpacu dengan waktu. Mereka terpaksa harus segera pergi, dan dengan dipandu penduduk setempat, melanjutkan perjalanan ke ibukota. Angin beku dan bahkan terpaan salju mulai menyerang Gobi. Mereka harus keluar sebelum padang pasir mengubur mereka.
Yang pasti, Flaming Cliffs menunggu saat mereka kembali nanti.
American Museum dan pers New York amat bergairah menanti berita tentang ekspedisi itu. Andrews tak pernah malu-malu, ia suka mengumumkan kegiatannya. Sesampai di Urga ia segera mengirim telegram yang panjang. "Hasil-hasil temuan ilmiah melebihi harapan terbaik kami,"Andrews mengumumkan.
Osborn amat gembira dengan berita itu. Ia membalas, "Anda telah menggoreskan sebuah bab baru dalam sejarah kehidupan di muka bumi." Andrews melakukannya lagi. Reputasinya naik. Saat musim dingin berlalu dan waktunya memulai ekspedisi kedua, nama Andrews mulai harum di Amerika.
Pada April 1923, Andrews dan timnya kembali ke Kalgan, Tiongkok. Mereka segera menyadari, sejak perjalanan yang terakhir, bahkan mungkin bahaya tidaklah berkurang. Ancaman bandit menjadi lebih buruk. Beberapa pedagang Rusia baru-baru ini dirampok dan dibunuh dengan sadis, dan tentara Kalgan tidak becus mengatasi masalah ini. Para ilmuwan tahu mereka harus tetap berjaga dan membawa banyak senapan untuk menghalau para bandit.
Mereka tidak perlu menunggu lama datangnya bahaya. Ketika Andrews sedang berkendara dekat tempat bangsa Rusia diserang, tiba-tiba ia melihat kilatan sinar matahari dari sebuah laras senapan. Kilatan itu berasal dari puncak bukit di dekatnya. Sewaktu ia menghampiri, Andrews dapat melihat seseorang yang berkuda. Terburu-buru, ia menarik pistol dan menembaknya. Orang berkuda itu menghilang. Tapi, sewaktu mobil berputar ke sebuah sudut, yang dilihat Andrews bukan cuma seorang penunggang kuda, tapi tiga orang.
Andrews segera berpikir. Tidak ada waktu untuk berpaling dan bila berbalik ia akan ditembak. "Tahu bahwa seekor pony Mongol tak akan pernah berdiri berhadapan dengan raungan kendaraan bermotor, aku bermaksud menyerang."
Benarlah. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan penuh ke arah kuda-kuda itu. Mesin mobil meraung. Kuda para bandit tersebut panik dan mulai melompat dan meringkik ketakutan. Para bandit yang tidak mampu mengambil senjatanya, juga mulai panik. Hanya ada satu hal yang dapat mereka lakukan—berbalik dan melarikan diri secepat mungkin.
Tim telah bertahan. Mulai sekarang, tidak ada lagi serangan bandit—hanya jalan yang tandus dan panjang di gurun pasir menuju Flaming Cliffs, tempat para ilmuwan melanjutkan pencarian fosil. Segera setelah memasang tenda di sana, perburuan dimulai.
Musim sebelumnya memberikan harapan besar bagi tim tersebut, dan mereka tidak kecewa. Tulang-tulang fosil yang bertebaran itu segera diketahui sebagai kerangka utuh dan tengkorak yang tersimpan dengan baik. Kebanyakan adalah makhluk Cretaceous aneh yang berjalan dengan empat kaki dan memiliki kepala bertulang aneh, berujung melengkung mirip paruh beo.
Para ilmuwan menamakannya Protoceratops andrewsi yang diambil dari nama pemimpin mereka yang berani. Secara kasar, nama itu berarti dinosaurus bermuka tanduk pertama milik Andrews.
Tapi, penemuan yang lebih revolusioner belum juga muncul. Pada 13 Juli 1923, salah seorang ilmuwan, George Olsen, membuat pengumuman pada saat seluruh anggota tim duduk bersantap siang.
"Saya menemukan beberapa fosil telur pagi ini," kata Olsen datar.
Semua orang memandang ke arahnya. Tampaknya tidak mungkin—mereka telah menetapkan bahwa palung fosil berasal dari periode Cretaceous, masa yang terlalu awal bagi kehidupan burung-burung besar.
Sepanjang pengetahuan setiap orang saat itu, dinosaurus tidak bertelur. "Kami tidak menanggapi ceritanya dengan sangat serius," tulis Andrews. Tapi, setelah makan siang, mereka semua melihat yang ditemukan Olsen. Kepala ahli palaeontologi, Walter Granger, tidak dapat mempercayai penglihatannya. Tidak diragukan lagi bahwa fosil di hadapan mereka adalah telur—tapi bukan telur burung.
"Itu telur reptil!" seru Granger. "Dan itu berarti ... telur dinosaurus."
Temuan itu merupakan yang pertama. "Jelas bahwa dinosaurus benar-benar bertelur dan kita telah menemukan spesimen pertama yang dikenal ilmu pengetahuan," tulis Andrews. Temuan itu sungguh menghebohkan.
Masih ada lagi. Sewaktu sarang burung ditemukan, kerangka lain menyusul—bukan seekor Protoceratops, tapi makhluk mirip burung yang aneh. Tampaknya makhluk itu mati pada saat mencari sarang telur. Mereka menamakannya Oviraptor philoceratops, yang berarti 'pencuri telur yang menyukai dinosaurus berwajah tanduk'. Ekspedisi Asia Tengah benar-benar melebihi semua harapan.
Di tengah seluruh kegembiraan itu, Andrews merasa khawatir. Sewaktu mobil-mobil Dodge tiba dengan selamat di Flaming Cliffs, unta-unta yang membawa perbekalan belum juga sampai. Rombongan kehabisan makanan.
Tapi, saat itu makanan tidaklah terlalu sulit, karena banyak antelop untuk diburu—tapi masalah menjadi serius bila tim itu terdampar di gurun pasir selama musim dingin. Lantas, apa yang terjadi dengan karavan itu? Apakah rombongan unta itu tewas dalam perjalanan? Apakah seluruh karavan diserang bandit?
Andrews mengutus beberapa pembantu Mongol-nya untuk mencari unta-unta itu. Tapi, pencarian itu nyaris berakhir dengan bencana. Salah seorang dari mereka diserang, dan nyaris mati. Ia dapat kembali ke Flaming Cliffs dalam keadaan setengah hidup. Keadaan tampak buruk. Ada kabar dari orang tua bijak yang lewat dan mengaku sebagai ahli nujum.
"Karavan masih jauh," kata orang tua itu. "Rombongan unta itu sekarat. Tapi, Anda akan menerima berita dalam tiga hari."
Benar juga. Empat hari kemudian, salah seorang pencari itu menemukan karavan. Para penunggang unta itu tidak mampu menemukan makanan untuk unta di gurun pasir yang tandus. Mereka berusaha keras menemukan tempat merumput.
Meskipun demikian, banyak unta mati. Ketika karavan akhirnya sampai di Flaming Cliffs, hanya 39 dari 75 ekor unta yang tetap hidup. Peristiwa itu merupakan kenangan yang suram tentang bahaya yang mereka semua hadapi.
Namun, dengan cadangan bahan bakar yang cukup di perkemahan, anggota tim tahu mereka dapat kembali ke peradaban. Jumlah fosil yang banyak dengan hati-hati dimasukkan ke punggung unta-unta yang tersisa. Berita tentang telur dinosaurus bakal mengguncang dunia.
Sekembali di Amerika, Andrews mendapat sambutan bak seorang pahlawan. Semua orang terjangkit demam dinosaurus. Ambisi Andrews pun berkembang. Ekspedisi Asia Tengah harus berlanjut untuk sepuluh tahun, bukan lima! Andrews mengawali tur penggalangan dana singkat yang meliputi 'pelelangan' salah satu fosil telur. Harganya US$ 5.000. Nilai yang amat tinggi saat itu.
Tapi, semua publisitas itu berpengaruh negatif juga. Pihak pemerintah Mongolia segera menyadari bahwa Andrews mengambil banyak barang berharga dari Gurun Pasir Gobi, sementara mereka hanya mendapatkan sedikit sebagai imbalan. Terbukti, untuk mendapatkan izin ekspedisinya berangsur-angsur semakin sulit.
Akan tetapi, pada awal 1925, Andrews kembali. la mendesak pihak pemerintah Mongolia untuk memberi izin, dan akhirnya mereka mengabulkannya. Namun, mulai saat itu, ia ditekan untuk meninggalkan temuan-temuannya di Mongolia, dan tidak mengirimkannya ke Amerika. Andrews adalah seorang patriot yang kuat dan sikap Mongolia membuatnya jengkel.
Pihak Mongolia bukanlah satu-satunya masalah pada musim itu. Badai pasir mengamuk, dan rombongan karavan kehilangan banyak unta. Bergerak dari Flaming Cliffs, wilayah bukit pasir, ngarai, dan batu cadas sering kali tidak mungkin dilalui truk.
Selanjutnya, mendekati akhir musim, ketika malam semakin dingin, rombongan perkemahan kedatangan tamu tak diundang. Andrews yang pertama mencium bahaya itu. Ular! Tiga ekor ular berbisa yang tertarik kehangatan di perkemahan melata ke arah tenda. Andrews memberi tanda bahaya—terlambat. Ular ada di mana-mana: di sekeliling tempat tidur, di sepatu mereka ...
Orang-orang menyerang kawanan ular tersebut dengan ganas, memakai perkakas, senjata, kapak, atau apa saja yang ada di tangan. Anehnya, tak seorang pun tergigit. Mereka membunuh 47 ular berbisa seluruhnya. Tapi, masalah belum berakhir. Para ilmuwan itu terpaksa membongkar tenda dan pindah. Musim dingin di gurun sekali lagi memaksa mereka kembali ke peradaban.
Meskipun ada masalah, Andrews membuktikan bahwa Gurun Pasir Gobi—seperti yang ia katakan—benar-benar "surga bagi para ahli paleontologi." Tapi, sekarang ia bukan satu-satunya orang yang menyadari hal itu, impiannya tentang penggalian sepuluh tahun mulai pudar.
Baik Tiongkok maupun Mongolia tidak menyukai kegiatannya. Lagi pula, kondisi politik di Tiongkok dan Mongolia masih membara. Perang sipil meletus di Tiongkok, dan Andrews menyaksikan banyak pembunuhan yang mengerikan di Beijing dan di mana saja. la sendiri nyaris kena tembakan beberapa tentara Tiongkok yang bengis. Musim tahun 1926 harus ditinggalkan.
Andrews bersikeras untuk tidak menyerah. Ia berusaha melaksanakan ekspedisi lain tahun 1927. Segalanya tampak bersekongkol menentangnya: perang sipil Tiongkok, penguasa (seperti sebelumnya), jumlah bandit yang meningkat, dan cuaca yang ganas di Gurun Pasir Gobi yang merusak peralatan dan menyobek-nyobek tenda. Bekerja menemukan fosil dalam keadaan seperti itu hampir tidak mungkin.
Kemudian secara tidak sengaja Andrews menembak dirinya. Ia sedang berburu antelop, dan menyandang revolver di pinggulnya. Ia menekan pelatuk dan revolver meledak ke kaki kirinya. Peluru itu menyobek pahanya dan menembus di bawah lututnya. Untunglah, tim dokter bisa mengobati luka itu, tapi Andrews sembuh dalam keadaan payah. Badai gurun yang terus mengamuk, menyebabkan penderitaan yang amat sangat bagi setiap orang. "Sering kali aku harus membenamkan kepalaku ke dalam selimut agar tidak menjerit," tulisnya.
Berhadapan dengan kesulitan yang dahsyat itu, tidak ada lagi perjalanan selama tiga tahun. Pada 1930, Andrews kembali memimpin Ekspedisi Asia Tengah ke gurun pasir. Sekali lagi, meskipun ada bahaya, ada temuan yang luar biasa. Salah satunya adalah makhluk seperti gajah raksasa dengan gigi-gigi seperti sekop, rata dan luar biasa besar di ujung belalainya.
Para ilmuwan menamakannya Platybelodon (yang berarti: gajah berbelalai sekop) dan mereka gembira mendapati si induk dan bayi berbaring berdekatan.
Namun, jelas sudah bahwa hari-hari ekspedisi akan berakhir. Perlawanan dari penguasa Tiongkok semakin besar. Andrews dipaksa meninggalkan Tiongkok untuk terakhir kali tahun 1932. Ia kembali ke Amerika, di mana reputasinya yang bersinar menjamin kariernya yang cerah sebagai pembicara, penulis, dan akhirnya direktur American Museum of Natural History.
Kemudian
Ekspedisi-ekspedisi tersebut tak pernah menemukan 'Mata Rantai yang Hilang'. Teori Osborn salah—atau masih tetap harus dibuktikan. Tapi, penemuan dinosaurus itu adalah temuan yang terbesar yang pernah dilakukan.
Penemuan selanjutnya menunjukkan bahwa telur dinosaurus itu bukanlah milik Protoceratops, seperti yang diperkirakan Andrews dan timnya. Telur itu milik Oviraptor philoceratops, dinosaurus yang mereka temukan 'sedang mencari' sarang. Jadi Oviraptor bukan dalam rangka mencuri telur, tapi mengeraminya.
Tidak seluruhnya benar juga bahwa telur-telur itu merupakan telur dinosaurus pertama yang pernah ditemukan. Tahun 1859, sekumpulan telur ditemukan di French Pyrenees. Sebuah makalah memaparkan hal itu, tapi saat itu tidak dipedulikan.
Berkat film layar lebar seperti Jurassic Park, hampir semua orang mengetahui sebagian dinosaurus yang ditemukan Andrews. Yang paling terkenal adalah Velociraptor ('pencuri lihai'), karnivora ganas yang digambarkan dalam film memiliki gigi setajam pisau dan naluri berburu yang mematikan.
Lalu, bagaimana dengan Indiana Jones? Banyak yang membandingkan Roy Chapman Andrews dengan pahlawan dalam film petualangan fiksi itu, dan menganggap dialah sosok yang asli.
Pencipta Indiana Jones, George Lucas, selalu menyangkalnya. Tapi, tidak ada keraguan bahwa Andrews memikat imajinasi seluruh generasi Amerika sebagai penjelajah yang berani dan tak kenal takut menghadapi rintangan. Tak seorang pun yang mirip dirinya, sebelum atau sesudahnya; jadi dapat dibayangkan bagaimana ia memengaruhi seorang penulis, mungkin secara tidak sadar.
Roy Chapman Andrews meninggal 11 Maret 1960 pada usia 76 tahun.
(Gill Harvey)
" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258528/indiana-jones-asli" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177097000) } } }