array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3678493"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/gara-gara-penyanyi-seronokjpg-20230213031104.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(144) "Seorang informan tewas terbunuh saat menunggu Ghote. Seorang saksi mata, remaja asal Amerika, memaparkan ciri-ciri pelakunya pada inspektur itu."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/gara-gara-penyanyi-seronokjpg-20230213031104.jpg"
      ["title"]=>
      string(26) "Gara-Gara Penyanyi Seronok"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-02-13 15:27:49"
      ["content"]=>
      string(27443) "

Intisari Plus - Seorang informan tewas terbunuh saat menunggu Ghote. Seorang saksi mata, remaja asal Amerika, memaparkan ciri-ciri pelakunya pada inspektur itu.

--------------------

“Inspektur sahib teman saya,” kata pria itu, berusaha meyakinkan. Protima, istri Inspektur Ghote, memandangnya dengan curiga. Pria itu mengenakan baju dan celana putih model India. Kelihatannya ia tidak terlalu miskin, walaupun kerah dan pergelangan tangan bajunya sudah dekil.

Pria itu mencoba tersenyum, tetapi senyumnya tidak mempan untuk melunakkan hati Protima. Istri Inspektur Ghote tetap tidak mau mengizinkannya masuk. 

“Inspektur sahib akan kembali kira-kira seperempat jam lagi. Duduk saja di taman seberang. Kalau dia datang, saya akan segera memberi tahu bahwa Anda mencarinya.”

Di seberang jalan ada gedung apartemen lain, tetapi jauh lebih bagus daripada gedung tempat apartemen Ghote berada. Di sana tinggal orang asing dan para pengusaha minyak yang kaya.

Di depan bangunan bagus itu ada taman. Lebarnya mungkin tidak sampai 4 m dan dibatasi dengan jalan oleh semak-semak. Di taman itu ada bangku besi yang tadinya dicat putih, tetapi kini tidak jelas apa warnanya. Sore hari, para pembantu rumah tangga senang mengobrol di sana, tetapi pada hari Minggu siang ini tempat itu kosong.

Tamu Inspektur Ghote melebarkan senyumnya sekali lagi. 

“Tetapi, Bu. Sebaiknya saya menunggu di dalam,” katanya. 

“Tidak,” jawab Protima tegas, sambil menutup pintu.

 

Seperti kera

Lima menit kemudian Ghote pulang dengan wajah berseri-seri. la baru saja menyaksikan putranya, Ved, bertanding kriket. Ketika Ghote menceritakan bahwa putra mereka mencetak angka 35, mata Protima berbinar-binar. Sebenarnya Protima ingin bertanya lebih saksama perihal jalannya pertandingan, tetapi ia teringat pada pria yang tadi mencari suaminya.

“Mungkin informan,” kata Ghote sambil menghela napas. “Dia pasti tahu alamat kita dari buku telepon.”

“Kenapa dia tidak menelepon saja?” tanya istrinya.

“Jelas orang seperti itu tidak memiliki telepon sendiri. Kalau menelepon dari telepon umum, bisa-bisa mereka keburu tewas ditikam sebelum membuka mulut,” jawab Ghote sambil berjalan ke luar. 

“Eh, tunggu!” seru Protima. “Minum dulu. ‘Kan kau sudah seharian berpanas-panasan.”

“Tidak usah! Informan biasanya seperti kera. Kalau dibiarkan menunggu mereka lantas berbalik pikir dan tidak jadi memberi keterangan.”

Ketika mendekati taman, Ghote mengintip dari celah-celah tanaman semak. Ternyata tidak ada orang. Wah, rupanya pria itu betul-betul seperti kera.

Ghote masuk juga melalui pintu gerbang. Taman itu kosong. Namun, ketika ia beranjak meninggalkan tempat itu, matanya menangkap sesuatu berwarna putih di bawah semak-semak dekat bangku.

Ghote berlari mendekati. Seorang pria seperti yang digambarkan oleh Protima, rebah dengan wajah mencium tanah. Di antara tulang rusuknya tertancap sebilah belati. Ia sudah tewas. Ketika Ghote membalikkan mayat, ia segera mengenali Rostam Kothawala. Rostam seorang Parsi yang kerjanya berjualan alat-alat musik. Sekali-sekali ia memberi info kepada polisi, walaupun infonya kurang bisa diandalkan.

Dengan menarik napas panjang Ghote merogohi saku-saku pakaian mayat. Tahu-tahu ia dikejutkan oleh seruan dalam bahasa Inggris beraksen Amerika.

“Saya melihatnya! Saya melihatnya! Orang ini mati ‘kan? Saya melihat pembunuhnya!”

 

Saksi mata

Seorang pemuda belasan tahun yang bertubuh jangkung dan berambut merah berlari mendekati. Ghote pernah melihatnya beberapa kali pada hari-hari terakhir ini. Ghote menduga ia putra salah seorang Amerika yang tinggal di salah sebuah apartemen di gedung dekat taman itu. Mungkin ia, sedang liburan sekolah dan mengunjungi ayahnya di India.

Ghote menegakkan tubuh dan memperkenalkan dirinya.

Yeah, Inspektur. Saya Red Miller. Redmayne Miller. Penikamnya berlari ke sana.” Pemuda itu menunjuk ke jalan. “Saya jelas melihatnya. Ia bersorban dan berjanggut.”

“Kau melihatnya dari jendela apartemenmu.”

“Ya. Cepat kejar, Inspektur! Nanti dia keburu lenyap!”

“Dari jendela apartemenmu, saya kira kau tak mungkin bisa melihat ke jalan.”

“Tidak, tapi....” 

“Jadi, dari mana kau tahu pria bersorban itu berlari ke jalan?”

“Ya, mestinya ke sana. Habis, mau ke mana lagi? Cepat dong, Inspektur, kirim berita radio ke semua pos polisi. Saya bisa menggambarkan orang itu. Ia memakai sorban. Tingginya kira-kira sama dengan saya. Tapi ... eh, eh.” 

“Apa warna sorbannya?”

“Mmm ... biru! Eh, merah! Oh, mestinya saya ingat, tapi waktu itu saya begitu kaget melihat dia menikam orang ini. Kalau tidak biru, ya merah, kemerah-merahanlah!”

“Bajunya?” 

Pemuda itu berpikir keras. “Sialan! Tidak ingat tuh. Kenapa tidak saya perhatikan, ya?”

“Jadi percuma ‘kan kalau kita mengirim kabar ke semua pos polisi? Yang bisa kita lakukan saat ini ialah memeriksa isi saku-saku pakaiannya. Dia informan.”

“Oh! Pak Inspektur, tadi sebelum penikamnya datang, orang ini berjongkok di sini, seperti anak kecil bermain tanah.”

Ghote berlutut di tempat yang ditunjukkan oleh Red. 

“Dia seperti menggali-gali,” kata Red pula. Ghote ikut menggali-gali. Beberapa sentimeter di bawah tanah yang seperti debu, ia menemukan paan-daan, yaitu kotak sirih kecil. Ia membuka kotak itu. Ada beberapa kerat pinang, sebongkah kecil kapur, setengah lembar daun sirih, selembar karcis bus, dan sepotong kertas tebal yang sudah lusuh.

“Buat apa benda ini dikubur?” tanya Ghote seperti kepada dirinya sendiri. Ia membalik-balik karcis dan karton. Di balik karcis bus ada tulisan “Radha Berseri”. Anak Amerika itu cuma tahu kalau Radha adalah nama wanita India.

“Apa sih itu?” tanyanya. 

“Mungkin kode buat saya,” jawab Ghote.

“Pak Inspektur, kalau melihat lagi si pembunuh itu, saya akan mengenalinya.”

“Tapi saya ‘kan tidak mungkin mengumpulkan ribuan orang Sikh di Bombay ini untuk Anda pandangi seorang demi seorang.”

Red tampak kecewa. “Pak Inspektur, beri tahu saya ya, kalau Anda menemukan sesuatu. Ingat lo, saya ini saksi mata.”

Ghote memandang pemuda itu. Tampaknya ia begitu menggebu-gebu untuk ikut menangkap pembunuh Rustom Kothawala.

“Karena kau saksi mata, ya bolehlah,” jawabnya, tanpa berniat membuka rahasia penyidikan.

Kalau Red Miller bersemangat untuk diikutsertakan, sebaliknya dengan Asisten Komisaris Joshi dari Mabes.

“Walaupun dia informan, Ghote, tapi dia ‘kan cuma teri. Tidak mungkin kau melibatkan Mabes. Serahkan saja perkara ini kepada polisi setempat.”

“Tapi, Pak, kita ‘kan mendapat kunci berupa tulisan ‘Radha Berseri’. Rasa-rasanya itu menunjukkan seorang penari atau penyanyi yang tampil entah di mana di Bombay ini. Mana mungkin seorang subinspektur dari kantor polisi setempat menanganinya?”

“Pokoknya tidak, Ghote. Kita ‘kan sudah kewalahan menangani banyak kasus. Kasus yang menyangkut orang-orang berpengaruh mesti didahulukan, dong. Paham?”

 

Dasar bocah

Dilarang menangani kasus ini, Ghote penasaran.

Ia teringat kepada Red Miller. Ia ingin meminta pemuda itu berkeliling kota, meneliti poster-poster di pelbagai tempat pertunjukan. Siapa tahu ketemu poster Radha Berseri.

Seperti diduga oleh Ghote, Red sangat senang mendapat tugas itu. 

“Ingat, ya!” pesan Ghote berulang-ulang. “Jangan sekali-kali kau gegabah bertindak sendiri. Kau cuma harus menemukan poster itu. Kau tidak boleh melakukan tindakan apa pun. Berbahaya! Mengerti?”

“Mengerti, Pak Inspektur! Percaya deh kepada saya. Saya ‘kan sudah besar.” 

“Berapa umurmu?” 

“Enam ... eh, jalan enam belas.”

Celaka! pikir Ghote. Melihat sosok tubuh Red, tadinya Ghote menyangka anak itu berumur 18. Ternyata baru 15! Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin ia menarik kembali tugas yang sudah diberikannya.

Red menjalankan tugasnya dengan bersemangat. Ketika lewat di pusat Kota Bombay yang penuh sesak dengan taksi, ia melihat sebuah poster kecil bertuliskan: RADHA BERSERI dalam acara tarian yang seronok dan aduhai.

Yang membuat semangatnya melonjak keras adalah: dari pintu sempit di sebelah poster itu, ia melihat seorang pria keluar dan pria itu tidak lain daripada si Sorban yang menikam Rostam Kothawala! Ia mengenali cara pria itu berjalan dan pundak kanannya yang kelihatan kaku serta lebih tinggi daripada pundak kirinya.

Red tidak bisa menahan diri. Ia melompat turun untuk menguntit. Saking bernafsunya, ia lupa membayar taksi. Sopir taksi itu, seorang Sikh, marah dan berteriak-teriak. Si Sorban yang diincar Red menoleh. Saat itu Red meneriakinya. Si pembunuh cepat-cepat mengambil langkah seribu, sambil dikejar oleh Red. Mereka menubruk pejalan kaki, peminta-minta, kuli, pedagang ....

Si pembunuh masuk ke balik tenda kios penjual meethai, yaitu daging manis berbentuk kerucut. Red menyusul dan menubruk meethai sampai berantakan.

Di sanalah ia diringkus penduduk dan digiring ke kantor polisi. Ayahnya terpaksa membayar ganti rugi. Ghote menarik napas panjang, ketika mengetahui berapa banyak uang yang dikeluarkan ayah Red. Rupanya para penjual mencari kesempatan untuk memeras orang Amerika yang kaya raya itu. Ghote sungguh menyesal. Ia merasa ikut bersalah.

 

Radha Berseri

Radha Berseri ditemukan Ghote sedang berlatih menari dengan iringan musik harmonium. Tempat berlatih itu berupa sebuah kamar sempit yang cat dindingnya sudah mengelupas. Letaknya di belakang panggung kabaret merangkap restoran di Colaba Causeway.

Ketika Radha sudah selesai berlatih dan pemain harmonium sudah pergi, Ghote menghampiri. Radha ketakutan didatangi perwira polisi. Akhirnya dengan enggan ia mengaku bahwa ia kenal dengan Rostam Kothawala, penjual alat-alat musik.

“Anda memberi tahu dia bahwa Anda dipaksa membayar uang perlindungan?” tanya Ghote.

“Tidak! Tidak! Tidak, Pak Inspektur,” jawab wanita itu ketakutan.

“Nona Radha, saya akan bertanya. Jangan menjawab dulu sebelum Anda berpikir. Anda membayar uang perlindungan?”

Lama gadis itu tidak menjawab. Ketika ia membuka mulut juga, jawabannya cuma berupa bisikan.

“Inspektur, mereka mengancam akan menyayat-nyayat wajah saya.”

Ghote memerlukan waktu lama pula untuk mengetahui dengan jelas apa yang terjadi. Menurut Radha, seminggu sekali dua orang pria datang ke rumahnya, untuk mengambil semua uangnya. Salah seorang di antaranya bernama Iqbal Singh, cocok dengan gambaran Red tentang pembunuh Rostam Kothawala.

Kata Radha, ia berutang harmonium pada Rostam. Berulang-ulang Rostam menagih, ia belum sanggup membayar juga. Akhirnya Radha membuka rahasia, bahwa uangnya setiap kali diambil oleh Iqbal Singh.

Setahu Radha, Iqbal Singh cuma orang suruhan, sebab Iqbal pernah berkata ia mempunyai bos.

Ghote melapor kepada Asisten Komisioner Joshi. Joshi tetap tidak memperbolehkan Ghote turun tangan.

“Itu ‘kan urusan polisi setempat,”‘ dalihnya.

Jadi Ghote memutuskan untuk bekerja sendiri, dengan risiko dipecat. Red bersikeras ikut. Ghote sebenarnya membutuhkan pembantu, tetapi ia enggan mengajak bocah itu. Ternyata ia kalah gigih dari Red yang merengek terus.

“Kita harus menangkap basah mereka,” kata Ghote. “Sulitnya mereka itu berdua. Kalau kita kejar, kemungkinan besar mereka akan berpencar. Aku akan mengejar Iqbal Singh, kau mengejar kawannya.”

Supaya tidak mencolok, Red menyembunyikan rambutnya di bawah topi lebar. Pada hari kedua pemeras itu biasa datang ke tempat Radha. Ghote dan Red datang ke gang kecil di sebelah poster Radha. Red pura-pura menjadi turis, sedangkan Ghote berlagak sebagai calo yang membujuk-bujuk turis untuk menukarkan uang asing.

 

Dikibuli

Benar saja Iqbal Singh datang dengan temannya yang bertubuh kecil. Setelah keluar, mereka masuk ke kios pedagang meethai yang pernah diseruduk Red. Rupanya mereka membeli makanan itu. Beberapa menit kemudian si Kecil keluar sendirian. Sebelum ia keluar, kelihatan Iqbal Singh menjejalkan sesuatu ke saku si Kecil. Uang? Apakah si Kecil yang akan mengantarkan uang ke bos? Jadi siapa mesti mengikuti siapa?

Ghote merasa serba salah. Kalau Red disuruh mengikuti si Kecil, ia khawatir Red tidak bisa menguasai diri pada saat melihat bos. Kalau disuruh mengikuti Iqbal, bisa berbahaya juga, sebab Iqbal itu pembunuh.

“Kita berdua mengikuti si Kecil,” kata Ghote kepada Red. 

“Kenapa bukan mengikuti Iqbal?” 

“Yang disuruh memegang duit ‘kan si Kecil.” 

“Yakin, Pak, yang tadi dijejalkan itu duit?” 

“Ayo!” Red mengekor Ghote. Mereka menguntit si Kecil yang masuk ke daerah lampu merah Kamathipura. Di sini si Kecil berhenti menonton anak-anak bermain judi. Sampai sejam ia masih belum beranjak juga. Ghote menjadi mangkel karena merasa dikelabui. Ia segera mendekati pemimpin anak-anak itu dan berbisik. Anak-anak itu menyingkir. Ghote segera memegang pundak si Kecil.

“Eh, aku ingin berbicara denganmu!” katanya. Si Kecil mengaku bernama Govind Khotkar. Ghote mencatat alamatnya.

“Kau meminta uang dengan ancaman,” kata Ghote. “Hukumannya paling sedikit lima tahun kerja paksa.”

“Idih! Apa buktinya?” kata orang itu. 

“Apa yang dimasukkan Iqbal Singh ke sakumu di kios meethai?”

Dengan senyum kemenangan, si Kecil membiarkan Ghote membuka kancing sakunya. Ia merogoh saku itu dan mengeluarkan segepok foto setengah porno! Ghote naik pitam, tetapi ia selalu bisa cepat mengendalikan dirinya.

Ia menggertak si Kecil, yang ternyata tidak selicin Iqbal. Si Kecil secara tidak sadar mengakui bahwa mereka memungut uang dari sana-sini. la tidak tahu ke mana uang itu disetorkan oleh Iqbal.

“Aku menyaksikan kau memeras seorang penari bernama Radha,” gertak Ghote. “Orang Amerika itu juga,” Ghote melanjutkan sambil menunjuk Red. “Kesaksian kami sudah cukup untuk mengurungmu di penjara. Tapi aku ingin memberimu satu kesempatan.”

Si Kecil ciut nyalinya. Wajahnya menjadi pucat. “Kesempatan apa?” tanyanya.

“Minggu depan, kalau kau dan temanmu itu menagih uang, ikuti dia. Lalu beri tahu aku, ke mana uang itu disetorkan.”

“Lalu datang ke Pasar Crawford pukul 13.00,” pesan Ghote. “Temui aku di tenda penjual pisang. Tahu tempatnya?”

“Tahu, Pak,” jawab si Kecil dengan jinak.

 

Red lenyap

Pukul 13.00 si Kecil belum kelihatan batang hidungnya.

“Ia terlambat, Pak Inspektur,” kata Red. Ghote sebetulnya tidak mau mengajak Red, tetapi anak itu mendengar perjanjiannya dengan Khotkar, sehingga tidak bisa dicegah untuk hadir. Ghote berulang-ulang berpesan agar Red jangan gegabah bertindak.

Akhirnya mereka melihat juga Khotkar muncul di tengah kerumunan orang yang berjual-beli di pasar berumur 100 tahun itu. Pada saat Khotkar berada kira-kira 7 m dari mereka, tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu terjerembap ke depan. Wajah Ghote mendadak pucat. Orang di sekitar Khotkar menjadi panik.

Ghote menerobos ke arah sumber kepanikan. Si Kecil Khotkar terbujur tewas. Sebilah pisau menembus rusuknya. Rupanya si bos mengirim pembunuh untuk membungkam mulutnya. Mungkin Iqbal Singh, mungkin orang lain. Ternyata tidak seorang pun di pasar itu tahu siapa penusuk Khotkar.

Darah Red serasa mendidih. 

“Gila! Tepat di depan hidung kita!” gumamnya. 

“Tenang. Kita tidak bisa berpikir kalau sedang marah,” Ghote mengingatkan.

Tidak lama kemudian darah Red mendidih lagi, gara-gara Asisten Komisioner Joshi tetap tidak mengizinkan Mabes bertindak, walaupun sudah ada dua korban terbunuh. Ghote memutuskan untuk turun tangan, walaupun mesti dipecat. 

Pada hari Radha mesti membayar upeti lagi, tiba-tiba saja Ghote teringat kepada Red. Jangan-jangan anak itu nekat menguntit Iqbal Singh. Cepat-cepat Ghote mencari anak itu di tempat tinggalnya. Red tidak ada. Dengan khawatir Ghote memanggil taksi, yang disuruhnya ngebut ke tempat Radha.

Radha cuma sendirian. “Tadi Iqbal datang seperti biasa,” katanya. “Tapi temannya bukan yang biasa datang.”

“Apakah Anda melihat seorang pemuda Amerika?” tanya Ghote cemas. 

“Tidak. Eh, ada. Saya melihatnya di jalan, ketika Iqbal Singh dan temannya keluar.”

Ghote berlari ke luar. Kebetulan taksi yang tadi ditumpanginya masih ada. Pengemudinya sedang meramu sirih. Ghote melompat masuk ke kendaraan itu.

“Saya polisi, Cepat pergi ke kios penjual meethai di perempatan. Tahu?” 

“Tahu, sahib.” 

Jantung Ghote berdebar-debar. Apakah Iqbal Singh singgah ke kios itu seperti biasa? Rasanya demikian. Dan taksi Ghote melihat Iqbal yang bersorban dan pundaknya miring itu berdiri bersebelahan dengan seorang rekannya yang kurus. Tetapi di mana Red? Ah! Dia ada dekat penjual lotre.

Tanpa diduga-duga, Red menyeberang ke arah Iqbal yang jangkung sambil berteriak, “Pembunuh! Tertangkap kau sekarang!”

Dengan lengannya yang besar dan kokoh, ia mencengkeram Iqbal seperti beruang menerkam mangsa. Ghote keluar dari taksi dan berusaha mencari jalan di antara kendaraan roda empat yang berjajar rapat dan sepeda yang mengisi setiap sentimeter jalanan.

Walaupun besar dan kuat, Red bukanlah anak jalanan. Ghote melihat Iqbal Singh mengentakkan kakinya ke kaki Red yang cuma dilindungi sepatu kets. Red kesakitan dan tanpa terasa mengendurkan pelukannya. Saat itulah Iqbal Singh menghunus pisaunya.

Ghote menghambur ke depan dan membetot pakaian Iqbal Singh ke belakang, sehingga pisaunya luput mengenai Red. Namun Red terjungkal. Kini si Sorban menghadapi lawan barunya. Tikamannya yang pertama menyerempet lengan kiri atas Ghote. Inspektur itu merasa nyeri yang membakar. 

Sebagai polisi, Ghote kenyang berlatih olahraga bela diri. Jadi ia mempraktikkan ilmunya dengan menendang selangkangan si Sorban. Tendangannya mengenai sasaran, tetapi tidak telak. Si Sorban mundur, tetapi tampaknya tidak terlalu kesakitan. la memasang ancang-ancang untuk mengayunkan belatinya sekuat tenaga. Ghote mencoba mengangkat lengannya yang luka, tetapi lengan itu tidak mampu menuruti perintah otaknya.

Sesaat kemudian dunia kelihatan gelap dan Ghote merasa ajalnya sudah tiba. Tahu-tahu terjadi kehirukpikukan yang luar biasa. Suara peluit polisi dan derap sepatu. Dalam waktu sekejap saja sejumlah pria berseragam khaki menyerbu ke arah si Sorban. Si Sorban berbalik dan melompat ke atas atap kios, lalu turun ke balik kios. Ketika polisi menyusul, ia sudah lenyap.

Asisten Komisaris Joshi berdiri di depan Ghote pada saat dokter polisi merawat luka yang tidak henti-hentinya mencucurkan darah di lengan Inspektur itu.

“Pak!” kata Ghote dengan nada marah. “Hampir saja Anda terlambat. Mana anak Amerika itu? Dia selamat?”

“Selamat!” 

Beberapa hari sebelumnya, setelah Ghote meninggalkan kantor Joshi, Asisten Komisaris itu berpikir-pikir. “Jangan-jangan benar juga si Ghote!” Jadi ia memerintahkan anak buahnya untuk turun tangan, walaupun terlambat. 

Cuma saja ia tidak mau mengakui kesalahannya. Ia malah menyesali Ghote.

“Aku memutuskan untuk menangkap para cecere pemeras itu, supaya bisa membekuk bosnya. Eh, kau mengacau, sehingga kami tidak berhasil menjaring seorang pun.”

Ghote bangkit, walaupun dunia serasa berputar-putar. 

“Pak, tidak perlu cecerenya deh! Tangkap saja langsung bosnya. Itu tuh di belakang Anda. la penjual meethai. Dua minggu yang lalu, ketika mengamati mereka, saya kira Iqbal Singh membayar meethai. Ternyata ia menyetorkan uang pungutan. Kios itu ‘kan cuma pelabi untuk menutupi perbuatannya.”

Ghote harus mengambil risiko. Bisa saja ia salah. Namun, ternyata ia benar. Si bos diringkus dan digiring ke kantor polisi. Dengan terpaksa Asisten Komisioner Joshi berkata, “Ghote, aku tahu kau memang selalu bisa diandalkan.”

(Thomas At)

Baca Juga: Hutang Mata Dibayar Mata

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553678493/gara-gara-penyanyi-seronok" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676302069000) } } }