array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3456997"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/pembunuhan-di-asrama_taiga-ishii-20220905032352.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(134) "Universitas Galludet digemparkan kasus pembunuhan mahasiswanya. Rupanya beberapa waktu berselang, mahasiswa lain juga ditemukan tewas."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/pembunuhan-di-asrama_taiga-ishii-20220905032352.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "2 Pembunuhan di Asrama"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-09-05 15:24:37"
      ["content"]=>
      string(22792) "

Intisari Plus - Universitas Galludet digemparkan kasus pembunuhan mahasiswanya, Eric, di kamar asrama. Rupanya beberapa waktu berselang, mahasiswa lain juga ditemukan tewas. Apa latar belakangnya?

-------------------

Beberapa mahasiswa di universitas Galludet, universitas khusus tunarungu dan gangguan pendengaran di Timur Laut Washington, D.C., sedikit heran melihat kamar Eric Plunkett (19) di asrama universitas itu - Cogswell Hall - tertutup. Eric yang suka bergaul memiliki kebiasaan membuka pintunya agar ia bisa melihat siapa yang berjalan di luar. Ia bahkan sering mengundang teman-teman satu lantai di sayap barat itu, menyilakan mereka meminjam koleksi musik dan videonya. Maka, kejadian pada 28 September 2000 itu menarik perhatian beberapa orang.

Eric termasuk mahasiswa yang ramah. Selama masa orientasi di bulan Agustus, Eric berteman dengan beberapa mahasiswa dari asramanya - Thomas Minch, Joseph Mesa Jr., dan Benyamin Varner. Mereka sering ngobrol di kafe kampus. Tentu saja dengan bahasa isyarat. Mereka sepakat untuk menamai sayap barat asrama itu dengan Wild, Wild, West. Sebagai mahasiswa baru, mereka memiliki semangat besar untuk berhasil. Ada yang ingin jadi kepala koki, akuntan, pengacara, dan advokat.

Ketika sampai malam Eric tidak nongol di ruang makan, Joseph Mesa Jr. pun lapor ke pengurus asrama Thomas Koch. Ia merasakan ada sesuatu yang tak biasa dari kamar Eric. Kamar Eric gelap dan semakin membuat Koch penasaran untuk melongok. la khawatir Eric yang menderita cerebral palsy itu sakit atau cedera karena terjatuh. Saat mau masuk, ternyata pintu terkunci. Koch lalu mengambil kunci duplikat dan membuka kamar Eric. Koch langsung menyalakan lampu.

Betapa kagetnya Koch melihat pemandangan yang terpampang di depannya. Eric tergeletak di lantai di antara serakan video game, buku, dan foto foto keluarganya. Ketika Koch mencoba mendekat, ia melihat ada luka memar di wajah Eric. Tubuh Eric tak bergerak. Koch pun melangkah mundur dan memberitahukan hal ini ke pengurus sekolah. Sepertinya Eric Plunkett menjadi korban pembunuhan.

 

Kasusnya buntu

Petugas segera datang dan mengamankan tempat kejadian perkara (TKP) untuk penyelidikan. Dari luka yang ada di wajah dan leher terlihat bahwa ia diserang menggunakan kursi. Sepertinya terjadi pertengkaran sebelumnya. Melihat kenyataan bahwa sekolah ini memiliki sistem pengamanan super ketat dan lokasi yang jauh dari tetangga, polisi meyakini pelakunya berasal dari lingkungan dalam. Bisa teman sekolah atau karyawan. Seseorang yang memiliki akses ke asrama.

Banyak desas-desus penyebab terbunuhnya Eric. Salah satunya soal kebencian karena Eric mau dipilih menjadi sekretaris perkumpulan anti-gay. Nah, kelompok mahasiswa gay dituding sebagai dalang terbunuhnya Eric. Polisi tidak mau desas-desus seperti itu menambah runyam kasus pembunuhan ini. Setelah melalui penyelidikan akhirnya mereka menciduk Minch untuk diinterogasi lebih lanjut. Minch orang terakhir yang terlihat bersama Eric sebelum terjadinya peristiwa berdarah itu.

Dengan dibantu penerjemah, detektif bertanya ke Minch soal kedekatannya dengan Eric. Dari interogasi itu terungkap bahwa Minch terlibat perdebatan dengan Eric sehari sebelum terjadi pembunuhan. Bahkan sempat terjadi baku hantam. Atas dasar itulah polisi menyimpulkan bahwa Minch membunuh Eric. la didakwa melakukan pembunuhan tingkat kedua. Keputusan ini dirasa aneh bagi banyak mahasiswa. Terlebih yang mengenal Minch. Orangtua Minch juga tidak percaya anaknya menjadi pembunuh.

Ketika tuduhan itu dibawa ke meja pengadilan, jaksa tidak bisa mendakwa Minch sebagai pembunuh Eric sebab kurangnya bukti-bukti. Para detektif yang menyelidiki kasus ini mengelak dengan menyatakan bahwa mereka sudah bekerja keras dan mengambil kesimpulan, Minch adalah tersangka utama mereka.

Selama pemeriksaan, Minch diberhentikan untuk sementara dari sekolah. Menurut pembantu rektor, hal itu demi keselamatan Minch sendiri. Soalnya ada laporan bahwa Minch diancam oleh mereka yang percaya dialah pembunuh Eric. Bagi Minch pemberhentian itu adalah kiamat. Mimpi bersekolah di Gallaudet pun sirna sudah.

Penyelidikan sudah diintensifkan namun sampai Natal tiba, polisi tidak jua beranjak ke tingkat yang lebih tinggi. Kasus Eric Plunkett pun seperti buntu. Kasusnya baru diangkat lagi setelah tahun berganti. Pada 2 Februari, Minch muncul di hadapan para juri untuk menjelaskan apa yang ia katakan kepada penyidik. la juga menyampaikan contoh tulisan tangan ke juri untuk diperiksa. 

Juri akhirnya mengambil keputusan: Minch tidak bersalah!

 

Transaksi misterius

Kasus Eric belum selesai tiba-tiba saja asrama Cogswell Hall dikejutkan dengan berita pembunuhan lagi. Kali ini korbannya Benjamin Varner, mahasiswa berusia 19 tahun, yang tinggal di lantai empat. Kamarnya penuh darah dan berantakan. Sepertinya terjadi perkelahian yang hebat. Polisi segera datang dan memeriksa. Mereka tidak habis pikir, dua kejadian pembunuhan terjadi di asrama yang sama.

Hasil autopsi menunjukkan bahwa Benjamin ditusuk berkali-kali di kepala, dada, dan leher. Salah satu paru-parunya terkena, tenggorokannya terbuka, dan pisau setidaknya menusuk tengkorak kepala di satu titik. Sama seperti Eric, Benjamin juga sendirian di kamar. Polisi tidak bisa menemukan senjata yang dipakai untuk membunuh, baik di kamar atau di tempat lain. Namun ada ceceran darah dari kamar Benjamin sampai pintu keluar asrama.

Polisi berkesimpulan bahwa pelaku terluka. Mereka lalu mengumpulkan contoh darah untuk diperiksa sehingga bisa mengidentifikasi pelaku. Di situ juga ada bekas tapak sepatu yang menginjak genangan darah, yang diidentifikasi sebagai tapak sepatu Nike. Dua pembunuhan yang terjadi di asrama yang sama itu menunjukkan, pelakunya pasti memiliki kunci kartu sebab asrama ini hanya bisa dimasuki oleh seseorang yang memiliki kunci kartu.

Pencarian di luar asrama menemukan jaket dengan percikan darah dan pisau yang digunakan untuk membunuh Benjamin di tempat sampah. Para detektif juga memperoleh fakta bahwa sehari sebelum kejadian Benjamin gagal bertemu dengan dua temannya, seperti yang sudah direncanakan. Benjamin juga tidak pergi ke sekolah. Janji dengan dokter pun dibatalkan. Ibunya, yang selalu diberi kabar setiap hari, tidak lagi menerima e-mail atau telepon sejak 1 Februari. Berbeda dengan Eric, Benjamin termasuk pemalu dan jarang terlibat dalam kegiatan kampus. Mahasiswa tekun ini memiliki keinginan menjadi akuntan. Ia dari San Antonio.

Dua pembunuhan itu membuat pihak universitas mengetatkan keamanan. Kamera pengintai dipasang, hanya ada satu akses keluar masuk. Mereka juga mencatat nomor polisi kendaraan yang keluar-masuk kampus. Cogswell sendiri akhirnya dikosongkan dan siswa yang tinggal di situ dipindahkan ke asrama lain. Toh banyak yang masih khawatir dengan sistem keamanan itu.

Polisi mulai menanyai para mahasiswa apakah pada saat kejadian ada yang berada di Cogswell Hall atau di sekitar kamar Benjamin. Mereka juga ingin tahu siapa yang mematikan sistem alarm, meskipun polisi tahu Benjamin diperkirakan meninggal pada siang hari. Karena pelaku terluka, maka polisi pun menyisir para siswa yang memiliki luka baru. 

Kali ini polisi bersungguh-sungguh mencari bukti agar kasusnya bisa disidangkan segera. Salah satu yang dikejar adalah transaksi tabungan sebab sepertinya buku cek milik Benjamin hilang. Setelah diperiksa memang ada penguangan cek di Riggs Bank pada Jumat, 2 Februari. Detektif minta rekaman video bank itu. Setelah melihat pelaku, mereka tahu siapa orang yang kemungkinan telah melakukan kejahatan. Dalam salah satu kolom di cek tertera “laptop bekas”. Padahal di kamar Benjamin tak ada laptop, baik bekas atau lainnya.

Ahli grafologi dari dinas rahasia menganalisis tulisan yang ada di cek dan memastikan bahwa itu bukan tulisan Benjamin. Karena memprioritaskan orang dalam, maka tulisan tangan di cek tadi dibandingkan dengan tulisan tangan para mahasiswa, terutama yang ada kaitannya dengan Eric dan Benjamin. Akhirnya ditemukan yang mirip: Joseph Mesa, mahasiswa baru yang tinggal seasrama dengan korban. Sosok Mesa juga mirip dengan sosok yang ada di video bank. Polisi pun bersiap menangkap Mesa. Maka, 10 hari setelah pembunuhan, polisi memiliki seorang tersangka.

 

Kesalahan tak termaafkan

Mesa, 20 tahun, berasal dari Barigada, Guam. Beberapa bukti yang ada mengarahkan dia sebagai pembunuh Benjamin: ada luka baru di tubuhnya, sidik jarinya cocok dengan sidik jari yang ditemukan di kamar Benjamin, tulisan tangannya cocok dengan tulisan tangan di cek. Polisi masih menunggu analisis darah, tapi tanpa itu pun mereka sudah yakin untuk menangkap Mesa.

Setelah beberapa kali disidik, Mesa mengakui kejahatannya. “Jujur saja, saya yang melakukan hal itu,” katanya kepada seorang detektif. Versi Mesa, ia ke kamar Benjamin setelah pukul 21.00 pada 1 Februari untuk merampoknya. Benjamin ada di sana dan Mesa bertanya apakah Benjamin memiliki buku cek. Ia juga melihat pisau sepanjang sekitar 10 cm tergeletak di dekat microwave. Mesa bercerita bahwa ia meraih pisau dan menusukkan ke leher bagian belakang. Begitu Benjamin tersungkur di lantai Mesa lalu menggorok leher Benjamin. Ia lalu mengambil buku cek dan mengisinya dengan angka AS $ 650. Mesa juga mengakui membunuh Eric Plunkett dan bilang keduanya merupakan sasaran yang gampang. 

Pengakuan terakhir itu membuat terkejut polisi. Mereka lalu memutar ulang ingatan mengapa dulu mereka bisa salah menangkap Minch sebagai pembunuh Eric. Para detektif ternyata melupakan beberapa petunjuk kunci. Fakta bahwa dompet Eric hilang dari kamar seharusnya membantu mereka untuk mengarahkan bahwa motifnya perampokan. Dari situ mereka bisa menelusuri transaksi keuangan. Pada kenyataannya, kartu debit Eric digunakan pada hari kematiannya. Sebagai tambahan, Mesa sudah memiliki jejak pencuri kartu debit. Di samping itu, ia yang pertama kali mengabarkan ke petugas soal pintu yang tertutup di kamar Eric. Harusnya polisi memeriksa Mesa. 

Saat mayat Eric ditemukan, tak ada pendataan rutin dari barang-barang Eric di kamar itu, yang dapat mengetahui barang apa saja yang hilang. Detektif juga gagal untuk menindaklanjuti pembelian barang menggunakan kartu. Tak seorang polisi pun yang meminta rekaman transaksi di perbankan sampai rekaman itu terhapus karena memori sudah penuh. 

Lalu saat interogasi Minch, ia ditangkap untuk kasus pembunuhan segera setelah ia mengakui memukul Eric saat berdebat. Minch tidak mengakui membunuh, tetapi detektif menyimpulkan bahwa Minch mengaku membunuh ke penyelia. Pendeknya, mereka membuat banyak kesalahan yang tak termaafkan. Para polisi mengakui kesalahan ini. “Kita harus bertanggung jawab,” kata kepala asisten eksekutif polisi Terrance W. Gainer. “Kita harus melakukan yang terbaik,” tambahnya.

Polisi lalu menggeledah kamar Mesa yang sekarang pindah ke Krug Hall. Di kamar Mesa ditemukan sepasang sepatu Nike bersimbah darah dan baju yang penuh dengan noda darah. Barang-barang itu disita polisi sebagai barang bukti. Polisi juga menemukan dua kartu kredit milik korban. Setelah dianalisis sepatu itu cocok dengan tapak sepatu yang tertinggal di luar kamar Benjamin.

Pengacara Mesa, Ferris Bond, berharap kliennya dapat dilepaskan dengan alasan ia tidak memiliki rekam jejak kriminal. Hakim menolak permintaan itu: Mesa tetap di penjara sampai awal sidang, sebab dengan keluarganya tinggal di Guam dikhawatirkan ia akan keluar negeri. Keluarga Mesa sudah diberitahu. Ayahnya kaget; dan bersikeras anaknya bukan orang yang kejam. Apakah dakwaan itu benar?

Keluarga kedua korban juga diberitahukan perihal penangkapan Mesa. Termasuk ke pengacara Thomas Minch. Kakak Eric kaget sebab pernah menjumpai Mesa di kamar Eric beberapa waktu silam. Saat ditanya siapa, Eric menjawab, “Teman saya.” Beberapa hari kemudian Mesa membunuh Eric untuk merampas kartu kreditnya.

Pada pemakaman Benjamin Varner, teman-temannya bercerita tentang keinginan Benjamin untuk berkeliling dunia dan ingin membuat dunia lebih baik. Keluarga Benjamin juga hadir di pemakaman itu dan menyatakan bahwa Benjamin pasti memaafkan pembunuh. “Ia pasti memaafkan begitu kehidupan tercerabut dari tubuhnya. Ia orang yang penuh kasih,” kata Dianne Varner.

Beberapa tahun sebelumnya Benjamin berpindah agama, menjadi penganut Muslim setelah melalui pergumulan batin dalam mempelajari agama-agama dunia. Semenjak berubah itu nilai-nilai sekolahnya bertambah bagus. Ia pun menjadi tutor bagi teman-temannya. Benjamin begitu dekat dengan ibunya sehingga saat harus kuliah di Gallaudet pada bulan Agustus itu ia menangis karena harus berpisah. Namun sang ibu meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Keduanya berpisah dalam tangisan. Benjamin mengirim e-mail setiap malam, salah satunya bercerita ia bertemu dengan seorang pemuda dari Guam - Joseph Mesa.

Para siswa yang mengenal Mesa masih tidak percaya dengan berita bahwa Mesa-lah pelaku pembunuhan. Salah seorang siswa yang dulu teman satu SMA-nya yakin betul bahwa Mesa bukan orang yang sanggup membunuh seseorang. Tapi ada yang bilang juga bahwa Mesa sering dirundung masalah. Bekas teman sekamar bahkan melihat ulahnya mencopet uang dari siswa lain. Namun pembawaan Mesa memang ramah dan penuh hormat. Terkesan ia anak baik-baik. Akan tetapi cerita masa lalu Mesa tak seindah yang diperlihatkannya. Ia pernah mencuri kartu debit temannya dan mengambil beberapa ribu dolar. Namun ia kemudian mengembalikannya. 

Didakwa dua pembunuhan, sidang Mesa dijadwalkan November 2001.

 

Kembali mengamankan barang bukti

Sidang bulan November menjelang. Namun ada kabar ditunda. Hakim Robert Richter meminta Mesa menjalani uji kejiwaan di RS St. Elizabeth untuk memeriksakan kondisi kejiwaannya pada saat peristiwa kriminal terjadi. Mesa juga akan dievaluasi bagaimana reaksi mental dan emosinya saat tidak sejalan dengan strategi pengacaranya. Richter menginginkan Mesa harus menjalani sidang untuk dua kasus pembunuhan, sedangkan Bond, pengacara Mesa, berharap dua kasus itu sidangnya dipisah. Jadi ada dua sidang untuk dua kasus pembunuhan. Bond juga berusaha untuk menahan bukti yang ditemukan selama polisi mencari di kamar asrama Mesa, namun hakim memutuskan bahwa jaksa dapat menggunakan barang-barang tersebut.

Sementara itu, Mesa memiliki rencana pembelaan tersendiri. Pada bulan Maret dan April 2002 ia menulis surat ke pacarnya, Melani de Guzman, dan meminta bantuan untuk berbohong menyatakan bahwa dirinya menderita kelainan sakit mental. “(Cara) ini tidak benar. Tapi saya berharap akan berjalan sesuai harapan, bagaimanapun caranya,” begitu salah satu isi suratnya. Ia juga mengirim surat ke saudara iparnya di Guam untuk mengajak dia menghancurkan barang bukti.

Tim penuntut federal adalah Asisten Jaksa Jeb Boasburg dan Jennifer M. Collins. Pendapat mereka sederhana: Mesa secara metodis memilih orang khusus untuk dirampok dan dibunuh sehingga ia bisa membeli beberapa barang untuk dirinya dan pacarnya. Bond berpendapat lain. Frustasi sepanjang hidup karena ketakmampuannya berkomunikasi memicu kelakuan buruk Mesa. Di kepalanya terngiang-ngiang kata untuk membunuh. Dua tangannya diperintahkan untuk melakukan apa yang ada di pikiran dan Mesa tidak bisa mencegahnya. Jadi, pada saat pembunuhan di dua tempat, Mesa secara hukum gila. (Bond sepertinya tidak menjelaskan soal kurangnya penyesalan yang dalam setelah pembunuhan.)

Saat sidang Mesa memerlukan penerjemah sehingga jalannya sidang lebih lama dibandingkan dengan sidang pada umumnya. Jendela ruang pengadilan ditutup dan Mesa diberi pembatas untuk bertukar pendapat dengan pengacaranya, yang tentu saja dilakukan menggunakan bahasa sandi. Ketika semua sudah menempati posisi masing-masing, sidang segera dimulai.

Jaksa penuntut menghadirkan pengakuan Mesa yang direkam dalam video saat pemeriksaan. Tergambar jelas mengapa Mesa memilih target Eric. Menurut Mesa, Eric yang memiliki kelainan cerebral palsy tentulah target yang mudah. Pemuda yang lemah plus sangat terbuka, termasuk kamarnya. Mesa dengan begitu bisa mengambil barang tanpa ketahuan. Maka, suatu malam Mesa pun menuju kamar Eric. Dari belakang ia mencekik Eric dan menekan terus sampai Eric jatuh ke lantai. Mesa kemudian menggunakan kursi untuk memukul Eric berulang kali sampai benar-benar meninggal. Mesa lalu menuju ke meja Eric dan mencari kartu debit. Rencananya ia akan keluar asrama besok untuk membeli beberapa barang untuk dirinya dan pacarnya.

Tak lama setelah kejadian itu Mesa berniat membunuh teman sekamarnya. Namun mengingat risiko ketahuan lebih besar akhirnya ia pun mengurungkan niatnya dan hanya mencuri kartu kredit saja. Selepas Natal, Mesa mulai bokek lagi. Mengetahui Benjamin Varner tinggal sendirian di kamar dan memiliki banyak uang, Mesa pun mengarahkan targetnya ke Benjamin. Karena badan Benjamin lebih besar dibandingkan dengan Eric, Mesa membekali diri dengan pisau. Benar saja, saat Mesa menikam, Benjamin pun melawan dengan sengit. Setelah meninggal, Mesa meninggalkan ruangan Benjamin begitu saja.

Karena tak mendengar berita kematian Benjamin keesokan harinya, Mesa berusaha kembali ke kamar Ben untuk mengambil barang-barang miliknya dan buku cek Benjamin. Ia memungut jaket miliknya yang penuh darah dan pisau yang digunakan untuk membunuh lalu memasukkannya ke sebuah tas dan melemparkannya di tong sampah di luar asrama. Namun ia lupa menghapus jejak darah dari sepatunya. Juga lupa menghapus jejak-jejak sidik jarinya. Karenanya, ia kemudian tertangkap. Dalam rekaman itu Mesa mengaku bersalah.

Tiga psikiater yang diminta jaksa penuntut umum untuk memeriksa Mesa menyatakan bahwa Mesa mengalami depresi dan antisosial tapi waras dan pura-pura sakit - berpura-pura terganggu jiwanya. Namun pakar dari pihak pembela memiliki analisis lain. Menurut dia, Mesa menderita sesuatu kondisi langka yang dikenal dengan Intermittent Explosive Disorder (IED), yang membuatnya tidak bisa mengontrol tindakan. Pakar itu juga menyinggung masa kecil Mesa yang sering disiksa ayahnya karena ketidakmampuannya berkomunikasi. Hal ini membuat ia tak terkontrol saat marah dan tak jarang melakukan hal-hal yang mengerikan. Ia merasa diasingkan dari keluarga dan tak dicintai. (Dalam wawancara dengan media lokal ayahnya tidak menyadari bahwa perilakunya itu memengaruhi anaknya di masa depan - tapi begitulah cara mendidik anak di Guam. Ia tidak tahu ada yang lebih baik.)

Melalui penerjemahnya Mesa mulai melantur dalam pembelaannya. Ia menyatakan bahwa niat membunuh itu datang tiba-tiba dan seperti ada “setan” di bahunya yang membisiki dia untuk merampok. Namun, merampok mengapa harus disertai dengan membunuh? Pada akhirnya alasan tak logis itu kandas. Begitu juga dengan diagnosis IED. Juri hanya butuh waktu tiga jam untuk memutuskan bahwa Mesa bersalah untuk dua kasus pembunuhan tingkat pertama.

Wajah pemuda yang diberi julukan “Seperti Orang Kaya” ini tanpa ekspresi begitu mendengar keputusan juri melalui penerjemahnya. Keluarganya tidak hadir karena surat pemberitahuannya terlambat. Bulan Juli Mesa dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.

Bond mencoba naik banding dengan alasan bahwa Mesa tidak mengerti hak-haknya saat ia melakukan pengakuan. Sebagai tambahan, saat itu juga tak jelas bahwa penerjemah polisi menerjemahkan dengan tepat hasil interogerasi dengan polisi. Banding itu ditunda.

Thomas Minch direhabilitasi hak-haknya. 

Cogswell Hall diubah dari asrama menjadi bangunan serbaguna. Sebuah bangunan peringatan didirikan untuk mengenang korban. (Katherine Ramzland) 






" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553456997/2-pembunuhan-di-asrama" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391477000) } } }