Intisari Plus - Graf ditemukan disekap di dalam bagasi Mercedesnya. Bersama polisi, ia segera menuju ke rumahnya untuk membebaskan istri dan anaknya yang disekap. Istrinya ditemukan tewas sedangkan putranya yang berusia 2 tahun tertidur lelap.
------------------
Moritz Schwarz, ingin cepat-cepat tiba di Würzburg. Jadi dikebutnya mobilnya di E5 Autobahn, jalan bebas hambatan. Sedang enak-enak meluncur, istrinya menyatakan ingin buang air. "Ah, nanti saja di Würzburg," kata suaminya.
Namun, Frankfurt - Würzburg bukanlah jarak yang bisa ditempuh dalam seperempat jam. Setelah istrinya merengek-rengek lebih dari sejam, berhenti juga Schwarz, di sebuah pompa bensin di Weiskirchen.
Ketika istrinya terbirit-birit pergi ke toilet, Schwarz duduk bersandar di belakang kemudi sambil merokok. la sudah mengemudikan mobil lebih dari enam jam. Pundak dan lengannya mulai terasa pegal-pegal.
Kira-kira 30 m di hadapannya diparkir sebuah Mercedes 500 SEC berwarna putih. Schwarz terkagum-kagum memandangi mobil mewah itu. Tiba-tiba ia terkejut karena melihat salah satu lampu belakang kendaraan itu mengeluarkan asap tipis. la segera melompat ke luar sambil membawa tabung pemadam kebakaran. Schwarz merasa sayang kalau mobil seindah dan semahal itu menjadi umpan api.
Sebelum keburu menyemprotkan tabung, ia sempat terheran-heran, karena sumber asap itu adalah segulung kain yang dijejalkan melewati lampu yang pecah. Ketika ia bengong memandangnya, kain itu bergerak-gerak seperti sengaja digoyang-goyangkan.
Tiba-tiba saja terpikir oleh Schwarz bahwa di dalam bagasi mobil Mercedes itu mestinya ada orang yang mencoba menarik perhatian.
Schwarz mengetuk bagasi dan berseru, "Ada orang di dalam?" Terdengar jawaban yang tidak jelas, tapi pasti suara manusia. Manusia yang tampaknya ingin keluar.
Bagasi itu terkunci. Jadi Schwarz berlari ke pompa bensin untuk memberi tahu pelayan pompa bensin. Pria itu tampaknya setengah percaya setengah tidak, tetapi ikut juga dengan Schwarz sambil membawa sebuah obeng besar untuk membongkar bagasi.
Ternyata alat itu tidak diperlukan, karena kunci kontak tergantung di tempatnya di dalam mobil. Begitu bagasi dibuka, tampaklah seorang pria langsing berkumis tebal meringkuk di sana. la segera bangkit.
"Istri saya! Putra saya!" teriaknya. "Mereka disandera. Tolong panggilkan polisi!"
Pedagang permata
Weiskirchen sebenarnya lebih dekat ke Frankfurt. Namun pria yang ditemukan dalam bagasi Mercedes itu, seorang pedagang permata yang tinggal di Desa Ho bach, yang letaknya cuma ± 1 km dari Aschaffenburg. Karena penyanderaan tampaknya terjadi di sana, polisi Aschaffenburg-lah yang dipanggil.
Vila megah di Am Sportplatz 16 segera dikepung oleh polisi yang mengenakan baju antipeluru, bersenjatakan senapan, pistol, dan senjata antihuru-hara. Mereka bergerak diam-diam dan bersembunyi sampai Graf tiba dari Weiskirchen. Soalnya, mereka ingin tahu dulu bagaimana keadaan di dalam.
Graf tiba lewat tengah malam dengan Mercedesnya, tetapi tidak bisa bercerita secara cermat perihal apa yang terjadi di dalam rumahnya.
Katanya, dua pria bersenjata tiba-tiba saja menyerbu masuk kira-kira pukul 22.00. la, istrinya Ursula, dan putra mereka Marco, ditawan. Seorang di antara pria itu tetap tinggal di rumah.
Pria yang seorang lagi memaksanya mengendarai mobil ke rumah orang tua Graf untuk mengambil kunci toko perhiasan Graf di Goldbach, kira-kira 1 km dari rumahnya. Kunci toko perhiasan milik Graf sengaja ditaruh di rumah orang tuanya, untuk memperlambat tindakan perampokan.
Orang tua Graf sedang tidak berada di rumah. Mengingat Ursula dan Marco disandera, Graf mengambil juga kunci itu dan mengantar si perampok ke tokonya. Setelah menguras toko, perampok menguncikan Graf di bagasi mobilnya, yang dibiarkan berada di daerah Weiskirchen. Dari dalam bagasi, Graf berhasil memecahkan kaca salah sebuah lampu mobil. Lalu dibakarnya pullover-nya untuk menarik perhatian orang yang lewat.
Musim perampokan toko perhiasan
Pada tahun-tahun itu sering terjadi penculikan orang kaya. Manfred Graf termasuk beruntung, karena ia tidak dicederai. Jika istri dan putranya bisa diselamatkan, paling- paling yang repot cuma perusahaan asuransi.
Karena perampokan di toko permata sudah terjadi beberapa jam sebelumnya, polisi menduga penyandera sudah tidak berada lagi di dalam rumah. Tapi mengapa Ursula Graf tidak menelepon polisi? Padahal saat itu rumah terang benderang. Lampu menyala hampir di setiap ruangan. Mungkinkah perampok mengikat Ursula dan putranya sebelum meninggalkan rumah?
Ataukah perampok masih berada di rumah itu, untuk mencari lebih banyak hasil rampokan lagi?
Inspektur polisi berpikir-pikir menyerbu ke dalam atau jangan? Kalau rumah diserbu, Ursula dan putranya bisa dibunuh. Namun kalau perampok diperingati, hilanglah kesempatan untuk menyergap mereka. Selama ini para pengepung bertindak sangat hati-hati, agar perampok tidak tahu bahwa rumah sudah dikepung.
Paling ideal sebetulnya kalau polisi bisa menyergap perampok pada saat mereka meninggalkan rumah. Ketika pukul 01.30 tidak ada perampok yang keluar dan tidak ada tanda-tanda kegiatan di dalam rumah, inspektur memerintahkan anak buahnya untuk menggerebek. Penyerbuan berlangsung tiba-tiba, cepat dan dahsyat, supaya penyandera tidak mendapat kesempatan untuk mencederai sandera dan agar mereka bisa dilucuti.
Ternyata polisi terkecoh. Perampok tak ada di dalam rumah. Marco yang berumur dua tahun kedapatan sedang tidur nyenyak di ranjangnya. la tidak terbangun oleh kedatangan para penyerbu. Namun, ibunya yang berumur 27 tahun didapati tergeletak di ruang tamu, dengan tengkorak remuk akibat pukulan kayu bakar. Rupanya kayu itu diambil dari kotak di sisi perapian.
Graf dibawa ke markas besar polisi di Aschaffenburg, sementara polisi tetap berjaga sekeliling vila. Mobil-mobil polisi dikerahkan untuk menjemput para anggota bagian penyidikan pembunuhan dari rumah masing-masing.
Pemimpin bagian penyidikan pembunuhan, Inspektur Holgar Frank, yang berpengalaman 20 tahun segera mengerahkan anak buahnya dengan lugas. Polisi yang tadi melakukan penyerbuan dipersilakan pulang untuk beristirahat, sedangkan dokter polisi dipanggil, begitu pula juru potret, ahli sidik jari, dan para teknisi dari laboratorium polisi.
Wakil kepala bagian penyidikan pembunuhan, Sersan Detektif Kai Borchert, dikirim ke markas besar untuk meminta Manfred Graf menggambarkan wajah para perampok. Kalau gambaran Graf jelas, jalan-jalan akan diblokade dan polisi di daerah itu akan diberi tahu.
Italia, Turki, atau Yoguslavia?
Gambaran yang bisa diberikan oleh Graf kurang memadai. Katanya, kedua orang yang masuk ke rumahnya berkulit agak gelap, berambut hitam. Mata mereka pun hitam. Mereka menggunakan bahasa Jerman, tetapi dengan logat asing. la menduga mereka orang Italia. Saat itu Graf belum diberi tahu istrinya tewas.
Mencari dua orang Italia yang tidak mempunyai ciri-ciri khusus di Jerman Barat bukanlah pekerjaan yang mudah. Saat itu di Jerman Barat banyak orang Italia, Turki, dan Yugoslavia yang penampilannya mirip, yaitu berkulit warna gelap dan berambut hitam. Mereka dulu didatangkan sebagai tenaga murah untuk bekerja di pabrik-pabrik yang kekurangan tenaga. Kini mereka menetap.
"Kalau mereka melarikan diri setelah membunuh, berarti mereka kabur empat jam yang lalu," kata dr. Walter Schleicher. Saat itu pukul 03.00 lewat sedikit. "Ny. Graf meninggal tidak lebih lambat dari pukul 23.00 kemarin."
"Diperkosa?" tanya Inspektur sambil memandang jenazah yang cuma berpakaian tidur. Dr. Schleicher yang berwajah tirus menggeleng.
"Sepanjang yang bisa saya lihat, kepalanya dipukul keras sekali dengan sebilah kayu bakar dan ia meninggal seketika. Tak ada memar di tangan maupun lengan, tak ada bekas-bekas kulit maupun rambut di kukunya. Saya sangsi ia menyadari bahaya akan menimpanya."
"Ia pasti menyadari bahaya. 'Kan ia disandera," kata Sersan Borchet yang baru kembali mewawancarai Graf di Aschanffenburg. "Kalaupun tidak khawatir akan keselamatan dirinya, pasti ia takut anaknya dicelakai."
"la sedang mengandung," kata dr. Schleicher dengan sedih. "Umur kandungannya 8 atau 9 bulan. Si jabang bayi meninggal bersamanya."
“Pembunuhnya kejam. Sekali lihat pun pasti ia tahu korbannya sedang hamil tua."
"Lagi pula Ny. Graf tidak perlu dibunuh," Sersan Borchet menimpali. "Para perampok 'kan tidak terancam."
“Mungkin perampok takut Ny. Graf akan mengenali mereka kembali. Atau mereka sakit jiwa, membunuh karena senang melakukannya,” duga atasannya.
Sersan Borchet ditugasi mengawasi para teknisi, sedangkan atasannya kembali ke Aschaffenburg. Di markas besar Graf sudah diberi tahu istrinya tewas. Graf yang rupanya tegang sepanjang malam, menjadi histeris dan berteriak-teriak serta memukul-mukul tembok.
Sesudah ia agak tenang, Inspektur bertanya, apakah Graf mempunyai tempat untuk tidur hari itu. Kalau tidak ada, ia boleh tidur di kantor polisi. Graf memilih pulang ke rumah orang tuanya. Saat itu Marco masih tetap tidur nyenyak dan berada di klinik polisi.
la dibawa ke bapaknya dan mereka berdua diantarkan ke rumah orang tua Graf dalam mobil polisi. Soalnya, Graf tidak dalam keadaan mampu mengendarai mobil sendiri. Lagi pula Mercedes putihnya harus diperiksa dulu. Siapa tahu penculiknya meninggalkan sidik jari di kemudi atau di bagian lain.
Banyak keanehan
Di dalam mobil tidak dijumpai sidik jari orang lain, selain milik Manfred Graf. Tidak pula ada petunjuk atau hal-hal yang menarik perhatian, kecuali lampu yang dipecahkan oleh Graf untuk mengeluarkan pullover-nya dibakar.
Sorenya tiba laporan dari dr. Schleicher. Menurut hasil autopsi, korban tewas antara pukul 23.00 - 23.15. Tidak didapati bekas-bekas kegiatan seksual. Korban tidak melakukan pergulatan, dan tidak pula menyadari bahaya. Kadar adrenalin dalam darahnya normal.
Laporan dari laboratorium lebih pendek lagi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran pihak ketiga di vila milik Manfred Graf. Semua pintu dan jendela tidak menunjukkan bekas dibuka dengan kekerasan. Di dalam vila dijumpai perhiasan dan barang berharga lain senilai DM 0,5 juta (± Rp 638 juta). Perhiasan dan barang berharga itu tidak disentuh orang.
"Perampokan yang ganjil, penculikan yang aneh, dan pembunuhan yang tidak bisa dipahami," komentar Inspektur Frank.
"Motifnya tentu bukan perampokan. Mungkin ada orang yang sangat membenci Graf dan istrinya, lalu membunuh dengan pura-pura menyandera dan merampok."
"Tapi mengapa Graf tidak mengenali mereka?" tanya Sersan Borchert. "Mestinya yang datang itu pembunuh bayaran. Frankfurt 'kan penuh dengan orang Sisilia yang bersedia mencabut nyawa orang dengan bayaran yang tidak terlalu mahal."
"Tapi mustahil mereka mau melewatkan begitu saja barang berharga senilai DM 0,5 juta di vila? Lagi pula kalau Graf mempunyai musuh besar, mustahil ia tidak menceritakannya kepada kita?"
"Betul," jawab atasannya. "Kedua orang itu mau bersusah payah mengambil perhiasan dari toko, tetapi membiarkan begitu saja perhiasan di dalam vila. Graf tetap tidak berkata apa-apa perihal siapa yang mungkin membunuhnya. Apakah ia memberi tahu berapa banyak perhiasan yang digondol perampok?"
"Tidak. Tapi mestinya ia tahu. la hadir karena harus membukakan lemari besi bagi si perampok."
"la bungkam, mungkin karena ia ingin mengelakkan pajak. la lebih suka kehilangan isi lemari besinya daripada hartanya ketahuan jawatan pajak. Aku berani bertaruh, barang-barang itu diasuransikan."
Sersan Borchert melirik. "Anda seakan-akan menuduh Graf membunuh istrinya," katanya. "Tapi bagaimana caranya ia bisa dikuncikan di bagasi mobilnya?”
"Kalau ada orang dibunuh, yang pertama dicurigai selalu pasangannya," atasannya menjelaskan. "Perihal mengunci diri di dalam bagasi sih gampang. Kalau dibanting 'kan pintu bagasi mengunci sendiri."
"Kalau memang Graf yang bersalah, sulit bagi kita untuk membuktikannya," kata Borchert. "Tentu ia sudah menyiapkan rencana matang sejak lama dan menutup semua kemungkinan yang bisa kita ambil untuk mencekalnya. Orang itu tidak bodoh.”
"Tidak terlalu pandai juga," kata atasannya. "Kalau saja barang-barang berharga di dalam rumah lenyap, kita bisa termakan oleh ceritanya. Tapi ia terlalu serakah atau mungkin khawatir harta itu tidak akan dikembalikan oleh konco-konconya."
"Kalau kita bisa membekuk mereka, mungkin mereka akan buka mulut."
"Tidak mungkin. Pertama kita tidak bisa mengaitkan mereka dengan pembunuhan. Tak ada sidik jari dan mungkin mereka sebelumnya pernah bertemu dengan korbannya. Kalaupun Graf bersumpah bahwa mereka yang membunuh, pernyataannya tidak didukung oleh bukti-bukti dan tidak akan diakui di pengadilan."
"Gambaran Graf tentang mereka pun mungkin gambaran palsu. Lagi pula mereka mungkin sudah kabur ke luar negeri sekarang. Kalau benar Manfred Graf menyuruh membunuh istri dan anaknya yang masih dalam kandungan, ia sungguh kejam, padahal kita tidak mampu menjebloskannya ke penjara!"
Mencari orang ketiga
Inspektur Frank berpikir-pikir. Kalau Manfred Graf yang membunuh istrinya, motifnya mungkin karena ada orang ketiga. Entah Graf mempunyai pacar, entah istrinya mempunyai kekasih. Siapa tahu si istri minta cerai dan menuntut setengah dari harta Graf.
Inspektur Frank lantas meminta bawahannya menelepon ke pengadilan yang mengurus perceraian. Baik Ursula maupun Manfred ternyata tidak pernah mengajukan permintaan cerai.
Keluarga dan teman-teman Ursula didatangi. Mereka memberi keterangan bahwa Ursula hidup berbahagia dengan suaminya. Setelah itu giliran keluarga dan teman-teman Manfred yang ditanyai oleh polisi. Mereka menjawab bahwa Manfred dan Ursula hidup rukun-rukun saja.
Diketahui pula bahwa Manfred Graf yang berumur 28 tahun itu meneruskan usaha mertuanya yang kini sudah pensiun. la mengambil alih toko mertuanya di Golbach, sehingga toko perhiasan itu bisa berjalan terus. Setengah dari toko itu milik Ursula.
"Ah, sekarang kita mempunyai motif," kata Inspektur Frank, "la tidak bisa menceraikan istrinya tanpa kehilangan setengah dari yang sekarang dimilikinya. Kehilangan setengah dari hartanya akan mengenyahkan usahanya."
"Tapi tak ada tanda-tanda ia bermaksud menceraikan istrinya," sanggah anak buahnya.
“Coba selidiki lebih saksama," perintah atasannya yang masih penasaran.
"Mungkin lebih baik kita selidiki istrinya lebih dalam. Siapa tahu anak yang sedang dikandungnya bukan anak Graf." Contoh darah dan jaringan bayi dalam kandungan itu maupun darah dan jaringan ibunya diperiksa. Darah mereka sama golongannya dengan Manfred Graf. Ini berarti Manfred Graf bisa saja ayah si bayi, tetapi belum tentu.
Sersan Borchert meneliti lagi kehidupan Ursula Graf selama delapan bulan terakhir dari hidupnya. Hasil penelitian yang lama itu bisa dirumuskan hanya dengan empat kata: Ursula tidak punya pacar!
Kini Sersan Borchert meneliti Graf. Sebab bisa saja Graf yang mempunyai pacar, lalu ketahuan oleh istrinya dan si istri mengancam akan minta cerai.
Tampaknya sekali ini pun penyelidikannya tidak akan menghasilkan apa-apa. Cuma saja pada hari-hari libur dan pada akhir minggu Graf tidak pernah ada di rumah. Ke mana? Menurut mertuanya, menantunya tergila-gila main golf.
Graf memang pergi main golf, tetapi tidak sesering yang dikatakannya kepada mertuanya. la juga bukan pemain golf yang mahir. Menurut para caddy, jangankan dengan tongkat golf, dengan raket tenis pun bola golf pasti sering luput dari pukulannya.
"Mungkin ia mempraktikkan olahraga lain yang tidak terlalu banyak menuntut kemahiran," Sersan Borchert berolok-olok.
"Olahraga apa? Di mana? Dengan siapa?" tanya atasannya dengan serius.
"Belum tahu, Pak. la berhati-hati, sehingga sulit dibuntuti."
"Buntuti terus!" perintah Frank.
Bisa menghilang
Manfred Graf selalu lenyap pada akhir minggu, tanpa diketahui ke mana perginya. Diketahui ia selalu pergi ke Bandara Frankfurt dan lenyap di sana, padahal ia tidak menumpang pesawat mana pun.
"Mestinya ia mengadakan pertemuan dengan seorang wanita di bandara," Borchert menyimpulkan.
"Untuk apa? Untuk saling berpegangan tangan di kafetaria sambil menghadapi secangkir kopi?" tanya atasannya.
Inspektur Frank ingat, Graf itu kaya. Mungkin ia mempunyai pesawat sendiri atau mencarter pesawat. Berarti orang yang ingin ditemuinya tinggal jauh.
Sersan Borchert turun tangan sendiri. la pergi ke Bandara Frankfurt. Ternyata Manfred Graf tidak mempunyai pesawat sendiri, tidak pula mencarter pesawat. Tidak perlu. Soalnya, ada yang disebut executive air-taxi service, taksi udara untuk melayani para eksekutif.
Dengan mendekati para pilot taksi udara itu, Sersan Borchert tahu di mana Manfred Graf melewatkan akhir minggu.
"Di Hannover, Pak," lapor Sersan Borchert kepada Inspektur Frank. "Jauh sih tidak, cuma 500 km. Tapi ongkos taksi udaranya selangit."
"Buat pedagang permata yang baru dapat warisan dari istri, jumlah sekian sih kecil," jawab Frank.
"Minggu depan, mesti ada orang kita yang menunggu dia di Hannover," perintahnya.
"Saya saja, Pak. Saya sudah lama ingin pergi ke Hannover," jawab Borchert. Walaupun tidak menumpang taksi udara, Borchert tiba lebih dulu dari Graf. Soalnya, ia memang berangkat lebih awal.
Setelah mengetahui siapa yang ditemui oleh Manfred Graf di sana, ia menelepon atasannya. "Pak, wanita itu namanya Karin Best, pedagang permata juga. Mungkin lebih kaya daripada Graf. Umurnya 30 dan cakep banget. la belum menikah. Saya tidak segera pulang, karena menyelidiki dia dulu. Setahu saya wanita ini juga merahasiakan hubungannya karena ia mempunyai tunangan."
"Oh, kalau begitu aku paham sekarang. Graf dan Nona Best mabuk kepayang, tapi ada pengalang bagi kebahagiaan mereka, yaitu Ny. Graf. Nona Best yang sudah berumur 30 tidak mau memutuskan hubungan dengan tunangannya sebelum Graf pasti akan menikahinya.”
“Graf tidak mau menceraikan Ny. Graf, karena hartanya akan surut, padahal sekarang ia sudah kalah makmur dari pacarnya. Jadi dengan atau tanpa sepengetahuan pacarnya, ia melenyapkan pengalang kebahagiaan mereka dengan menyewa pembunuh. Sekarang Nona Best bisa memutuskan pertunangannya, karena Graf sudah bebas untuk menikah kembali."
"Rasanya sih memang mereka akan menikah, Pak. Tapi menyeleweng dengan pedagang permata lain 'kan tidak membuktikan Graf membunuh istrinya. Saya sangsi Nona Best tahu perihal pembunuhan itu."
"Kau ingat kadar adrenalin dalam darah Ny. Graf? Wanita itu sama sekali tidak terkejut atau ketakutan ketika katanya ia disandera. Saya yakin ia tidak disandera. la sedang duduk-duduk membaca majalah di ruang duduk sambil menonton televisi. Lalu suaminya diam-diam menghantam kepalanya dengan kayu bakar. Ny. Graf mungkin tidak sempat tahu apa yang menimpanya."
Borchert menyambung atasannya. "Lalu Graf mengambil kunci toko dari rumah orang tuanya yang kosong, membuka lemari besi, menyembunyikan isinya di tempat lain, menyetir mobilnya ke daerah Weiskirchen dan mengunci diri di bagasi. Mungkin lampu ia pecahkan lebih dulu supaya pasti ada lubang."
Darahnya di rompi
Manfred Graf didatangi polisi. Mobilnya pun dibawa untuk diperiksa. la marah sekali dan membantah membunuh istrinya. la meminta pengacaranya mendampinginya dan mengancam polisi.
Penahanan terhadap Graf sengaja dilakukan pada Jumat malam. Pengadilan baru akan buka pada hari Senin, sehingga tidak mungkin bagi pengacara Graf untuk menghubungi pengadilan dengan segera.
Akhir minggu itu Graf tidak bisa pergi ke Hannover. Sementara ia mendekam di sel polisi, para teknisi laboratorium polisi bekerja dengan tekun mencari bekas-bekas darah di mobil dan pakaian Graf. Kalau betul ia yang membunuh istrinya, pasti pakaiannya terciprat darah.
Laboratorium polisi memiliki peralatan canggih yang bisa menemukan bekas-bekas darah itu. Serat-serat wol yang ditemukan pada kayu bakar pemukul kepala Ursula Graf, ternyata cocok dengan serat-serat wol di salah sebuah sweater milik Graf.
Menurut pengurus rumah tangganya, bukan Graf yang mengangkut kayu-kayu itu ke perapian, melainkan dia, sedangkan perapian itu belum pernah dipakai tahun itu. Tidak ada alasan Graf memegang-megang kayu itu.
Yang lebih penting, noda bekas darah sebesar uang logam ditemukan di salah sebuah rompi milik Graf. Berdasarkan sistem pengiriman cucian ke binatu, diketahui rompi itu dipakai pada hari pembunuhan. Walaupun sudah dicuci, noda darah itu bisa ditangkap oleh peralatan laboratorium polisi.
Diperkirakan, darah Ursula Graf muncrat mengotori pakaian Manfred Graf. Pakaian itu disingkirkan (mungkin dibakar) oleh Manfred. Lalu ia mandi dan berganti pakaian. Tubuhnya bersih, tetapi mungkin ada darah di rambutnya yang tidak ia lihat. Darah itu menempel di bagian dalam rompinya, ketika ia mengenakan rompi itu.
Di dalam bagasi pun didapati beberapa bekas darah Ursula Graf. Darah itu pasti bukan darah Manfred Graf, sebab ketika hari itu tubuhnya diperiksa dengan saksama di kantor polisi, ia tidak luka sedikit pun.
Manfred Graf tetap menyangkal membunuh istrinya. la tetap bersikeras tidak bersalah di hadapan pengadilan padatahun 1988. Karena bukti-bukti lemah dan pengacaranya hebat, sidang makan waktu tiga bulan.
Di pengadilan Graf tidak mau mengulangi pernyataannya yang pertama pada polisi, sebab rupanya ia menyadari kelemahan pernyataan itu. Di luar dugaan pengadilan menganggapnya bersalah melakukan pembunuhan dan pada tanggal 7 Juli 1988 ia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Tak ada bukti-bukti bahwa Karin Best mengetahui atau terlibat pembunuhan ini. (John Dunning)
Intisari Plus - Serangkaian pemerkosaan dan pembunuhan terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pelakunya tidak meninggalkan jejak apa pun kecuali golongan darah yang tertinggal pada korban. Ini membuat pihak kepolisian hampir menyerah untuk menemukan siapa pelaku kasus bengis ini.
------------------
Gabriele Roesner, seorang gadis Jerman berusia 23 tahun, sepulang dari bekerja merasa ingin berjalan-jalan mencari angin di hutan dekat Langen, ± 7 km di selatan Frankfurt. Sejak itu ia tidak kembali ke rumah. Tentu saja, orang tuanya cemas dan melapor kepada polisi. Polisi pun segera mengadakan pencarian.
Gabriele Roesner akhirnya ditemukan tak jauh dari jalan setapak di hutan itu. Namun, ia sudah menjadi mayat. Pakaiannya masih lengkap. Hanya gaunnya tersingkap dan pakaian dalamnya terkoyak. Menurut hasil autopsi, gadis itu tewas dicekik dan diperkosa oleh seseorang yang memiliki golongan darah B. Hanya itu.
Polisi tidak menemukan secuil pun identitas lain si pembunuh. Mereka juga tidak curiga kalau pembunuhan di Langen pada hari Kamis, 8 Mei 1980, itu akan merupakan awal dari suatu rangkaian pembunuhan. Mereka cuma bisa menduga, pembunuhan itu dilakukan oleh seorang penjahat seksual yang berasal dari kota besar.
Sebelum kematiannya, Gabriele diketahui sudah tidak gadis lagi. Namun, dari hasil autopsi juga diketahui bahwa dalam perkosaan itu ia sempat melawan, sebab pada pangkal pahanya ada luka memar.
Bagian penyelidikan kriminal Frankfurt tidak bisa berbuat banyak. Sersan Detektif Max Busch, yang bertugas menangani kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di wilayah pinggiran Frankfurt bagian selatan itu, selain mendatangi tempat kejadian juga mengadakan wawancara dengan orang tua korban.
Sersan yang bertubuh gemuk dan lamban ini, wajahnya muram, semuram hasil-hasil penyelidikan yang diperolehnya. Menurut dugaannya, nama si pelaku tercatat dalam dokumen polisi, sebab pembunuhan itu mungkin bukan yang pertama kali dilakukannya. Sayangnya, tidak diperoleh cukup petunjuk tentang identitas si pembunuh.
Akhirnya, atasan Busch, Inspektur Detektif Karl Dorner, menilai kasus Gabriele itu sebagai yang ‘tak terlacak’. Berkas laporan itu kemudian disimpan bersama dengan dokumen lainnya.
Bunga liar bertebaran
Namun, dokumen tentang terbunuhnya Gabriele Roesner tak urung dibuka-buka lagi, ketika sebulan setelah tewasnya Gabriele, dilaporkan terjadi pembunuhan lagi. Korban kali ini pun seorang gadis yang ditemukan tewas, 1 km dari hutan Langen.
Peristiwanya tidak jauh berbeda dengan kasus Gabriele. Sabtu sore, 14 Juni, Regina Barthel (14), berjalan-jalan di hutan Heusenstamm. Sejak itu gadis yang masih duduk di bangku sekolah menengah itu pun tidak kembali ke rumah.
Orang tuanya, yang tinggal di Dietzenbach, tak jauh dari Langen, begitu yakin bahwa kasus Gabriele menimpa anak gadisnya pula. Mereka tidak hanya melapor ke polisi, tetapi segera pergi mencari anak mereka di hutan itu.
Bersama beberapa tetangga, kerabat, kawan-kawan, dan sepasukan polisi Dietzenbach - maklum Dietzenbach merupakan sebuah desa kecil - orang tua Regina menelusuri hutan itu.
Ternyata operasi pencarian itu tak memerlukan orang sebanyak itu. Regina dijumpai tergeletak tak bernyawa di tempat terbuka, dekat jalan kecil di hutan itu. Pakaiannya compang-camping. Di sekitar tempatnya terbaring, tampak bunga liar yang terlepas dari ikatannya, bertebaran di mana-mana. Regina juga diperkosa dan dibunuh.
Korban kali ini ditinggalkan dalam keadaan lebih parah daripada Gabriele Roesner. Selain mengalami perdarahan hebat di bagian bawah pusarnya, korban juga ditikam dengan, yang belakangan diketahui, pisau berburu.
"Ada luka bekas tikaman," kata Sersan ketika melaporkan informasi yang diperoleh dari polisi di Dietzenbach kepada Inspektur. "Mayat korban sedang dikirim kemari untuk autopsi.”
"Bagus," ujar Inspektur. "Agaknya kedua kasus ini punya unsur yang sama, baik tempat maupun waktu. Masing-masing korban sedang berekreasi."
Sampai jatuhnya korban yang ketiga, Inspektur masih juga belum menyadari bahwa kasus pembunuhan beruntun sedang berlangsung.
Pelacur kaya
Peristiwa pembunuhan yang ketiga ini cuma diketahuinya dari berbagai surat kabar dan laporan yang terus mengalir ke mejanya. Pembunuhan itu terjadi di Offenbach, yang berbatasan dengan Frankfurt dan tak lebih dari 15 km dari Langen, dan Dietzenbach. Offenbach memiliki bagian yang menangani penyelidikan kasus-kasus kriminal sendiri.
Korban ketiga ini sama sekali berbeda dengan dua korban sebelumnya. Kedua korban di Langen dan di Dietzenbach sama-sama gadis terhormat. Sedangkan korban di Offenbach itu seorang pelacur. Namanya Annedore Ligeika (28).
Sama dengan kasus Gabriele Roesner, Ligeika pun tewas dicekik. Tidak di hutan, tetapi di ranjangnya sendiri. Namun, tidak dijumpai tanda-tanda perlawanan yang menunjukkan bahwa Ligeika diperkosa.
Kasus yang menimpa Ligeika ternyata juga menyimpan teka-teki. Tidak ditemukan petunjuk apakah korban dirampok sebagaimana motif yang sering dijumpai dalam kasus pembunuhan terhadap pelacur. Untuk sementara, kasus Ligeika hanya dimasukkan dalam kategori pembunuhan terhadap pelacur yang memang sering terjadi di kawasan itu.
Dilihat dari daftar pelanggan yang rajin kencan dengannya, Ligeika adalah wanita yang terampil dan berbakat di bidangnya. Pantas kalau profesinya mampu mengeruk banyak uang dari kantung lelaki hidung belang. Belum lagi barang-barang yang memenuhi flat tempat tinggalnya.
Lagi-lagi si pelaku pergi tanpa meninggalkan petunjuk apa pun, kecuali bahwa ia memiliki golongan darah B.
Lagi-lagi golongan darah B
Di wilayah Frankfurt, hampir 140 ribu orang bergolongan darah B. Bagian Penyelidikan Kriminalitas Offenbach tak sanggup mengungkap tabir kematian Annedore Ligeika hanya dengan petunjuk yang minimal itu. Seperti kasus yang ditangani Inspektur Dorner, kasus yang menimpa pelacur itu pun dimasukkan dalam kategori ‘tak terlacak’.
Pembunuhan atas Annedore Ligeika tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengarah kepada suatu seri pembunuhan. Tanda-tanda itu baru terlihat setelah tewasnya Fatima Sonnenberg pada tanggal 7 Februari 1981.
Akan tetapi hanya pembunuhan atas Ligeika dan Sonnenberg yang menunjukkan kemungkinan mereka dibunuh oleh orang yang sama. Belum ditemukan alasan, apakah kedua kasus pembunuhan terakhir itu juga punya hubungan dengan kasus Gabriele Roesner dan Regina Barthel.
Kasus Ligeika dan Sonnenberg itu serupa. Fatima Sonnenberg yang berdarah Algeria dan berusia 42 tahun, juga seorang pelacur. Bedanya cuma Fatima sedikit lebih kaya daripada Arinedore Ligeika.
Fatima juga melakukan hubungan intim dengan laki-laki berdarah B dan ditemukan tewas dicekik, diduga oleh lelaki itu juga, di ruang masuk flatnya di Rodgau, wilayah pinggiran Frankfurt. Tak ada uang atau barang yang hilang di tempat kejadian.
Karena kedua kasus pembunuhan pelacur itu memiliki persamaan, para detektif pun menyelidikinya sebagai dua insiden yang mungkin saling berkaitan.
Meski begitu toh misteri pembunuhan itu tidak berhasil diungkapkan, sebab dari kasus Sonnenberg memang tidak dijumpai petunjuk yang lebih daripada kasus Ligeika.
Dua Regina
Polisi berharap, bila korban berikutnya juga seorang WTS, maka teka-teki pembunuhan ini akan semakin terungkap. Ternyata perhitungan polisi meleset. Korban kali ini justru seorang gadis berusia 16 tahun, Beatrix Scheible. Beatrix, seperti Regina Barthel, adalah pelajar sekolah menengah. Lima hari menjelang Natal tahun 1981, ia berjalan-jalan di sebuah taman kota di Frankfurt, yang hampir seluas hutan Heusenstamm.
Orang tuanya segera melapor ke polisi, setelah anak gadisnya tak kunjung tampak batang hidungnya sampai waktu makan malam. Untungnya, sebelum berangkat Beatrix memberi tahu orang tuanya ke mana ia pergi, sehingga memudahkan operasi pencarian. Seperti Regina Barthel, Beatrix tewas akibat luka tikaman dan ia pun diperkosa.
Tentu saja, hasil olahan komputer segera mengundang perhatian para detektif, sebab antara kasus Beatrix dan Barthel serta Gabriele banyak dijumpai kesamaan. Beatrix dan Gabriele, keduanya ditemukan tewas di tempat yang serupa meski kejadiannya berselang dua tahun. Penyelidikannya pun sama-sama menemui jalan buntu. Bedanya cuma Beatrix lebih tua daripada Gabriele yang tewas lebih karena dicekik.
Seperti juga kasus Gabriele Roesner dan Regina Barthel, kasus Beatrix juga ditangani Inspektur Dorner, walaupun insiden itu terjadi di luar wilayah kerjanya.
Kasus Beatrix itu tampaknya tak banyak membantu Inspektur mengungkapkan misteri pembunuhan ini, meski kemungkinan seri pembunuhan itu kini tampak semakin jelas. Inspektur masih belum menemukan petunjuk identitas si pembunuh yang lebih daripada sebelumnya.
Tak pelak lagi, kasus-kasus pembunuhan itu jadi berita utama dalam berbagai media massa. Di satu surat kabar tertulis judul berita yang menyebutkan "Penderita Kelainan Seks yang Misterius Menebarkan Kepanikan di Wilayah Frankfurt".
Judul berita itu tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya. Pembunuhan terhadap wanita bermotif seksual bukanlah barang baru dalam masyarakat modern. Kejadian semacam itu tidak lagi membangkitkan rasa panik pada sebagian besar masyarakat. Buktinya, hutan rekreasi dan taman kota masih juga dikunjungi banyak gadis dan wanita muda. Mungkin hanya beberapa yang merasa takut. Mereka justru lebih merasa ngeri bila harus menyeberangi jalan di tengah kota.
Begitu juga Regina Spielmann (17), putri seorang profesor di Offenbach. Hari Minggu pagi, 9 Mei 1982, ia pergi hiking di hutan Heusenstamm.
Andaikata Regina tahu bahwa sekitar dua tahun yang lalu terjadi pembunuhan terhadap seorang gadis yang namanya sama dengan dirinya, niscaya ia akan mengurungkan niatnya itu.
Namun, Regina Spielmann toh bernasib sama dengan Regina Barthel, yang dua tahun lebih muda daripadanya. Regina Spielmann ditemukan tewas, juga karena luka tikaman pisau berburu.
Tidak menganiaya, tidak merampok
Inspektur Dorner kini yakin betul bahwa ia sedang berhadapan dengan kasus pembunuhan beruntun, walaupun belum diketahui persis, siapa saja korbannya.
Menurut dugaannya, korban-korban pembunuhan beruntun itu ialah Barthel, Scheible, Spielmann, dan mungkin Roesner. Sementara itu dua wanita penghibur, Ligeika dan Sonnenberg, dinilai tidak termasuk di dalamnya.
Banyak dijumpai hal yang sama antara kasus Barthel, Scheible, dan Spielmann. Ketiga korban masih sama-sama duduk di bangku sekolah menengah, sama-sama masih gadis, dan ketiganya diperkosa. Dua dari ketiga korban itu bahkan tewas di tempat yang sama, yaitu di hutan Heusenstamm. Senjata yang digunakan untuk membunuh pun sejenis, dan pelakunya sama-sama bergolongan darah B.
"Pembunuhnya pasti orang yang sama," kata Inspektur tampak cemas. "Saya khawatir, pembunuhan ini jadi berlarut-larut, mengingat sangat kurangnya petunjuk yang bisa membongkarnya. Apakah tidak ada kemungkinan insiden ini berkaitan dengan kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di masa lalu?"
Sersan Busch menggeleng. "Tidak, kalau itu merupakan pembunuhan beruntun, Gabriele Roesner tentunya korban yang pertama. Selama sepuluh tahun terakhir ini, kita tidak pernah menghadapi kasus yang begitu gelap seperti ini."
Memang belum ditemukan titik terang pada kasus ini. Pembunuhan keenam wanita itu tidak menjurus kepada tindakan sadistis. Si pembunuh tidak menganiaya korban. Tidak merampok. la pun tidak memotong bagian tubuh tertentu atau mengambil pakaian tertentu dari si korban. la tidak memaksa korban dengan perlakuan seks yang aneh-aneh. Hanya dua hal yang pasti dilakukannya, memperkosa dan membunuh korbannya.
Melalui media massa, polisi mengimbau wanita dan gadis-gadis yang pernah diperkosa atau lolos dari usaha perkosaan, agar menghubungi pihak kepolisian. Maksudnya, supaya polisi bisa mengorek dari mereka paling tidak sedikit keterangan tentang identitas pelaku. Meski identitas pelapor dirahasiakan, toh laporan yang masuk di meja polisi hanya sedikit.
Namun, setelah diselidiki, tak satu pelaku pun yang punya kaitan dengan kasus pembunuhan yang sedang dirisaukan itu.
Sambil menebarkan jaring-jaring yang lebih luas, Inspektur Dorner menyusun daftar pembunuhan bermotif seksual yang ‘tak terlacak’. Atau usaha pembunuhan yang gagal di wilayah Frankfurt dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Ternyata Frankfurt merupakan kota yang menghadapi cukup banyak kasus pembunuhan bermotif seksual. Itu terlihat dari daftar panjang yang disusun Inspektur Dorner. Di dalamnya termasuk juga kasus Annedore Ligeika dan Fatima Sonnenberg.
Namun, Inspektur masih belum menemukan alasan untuk mengaitkan kasus kedua WTS itu dengan pembunuhan lainnya. Dari enam kasus yang diselidikinya, hanya empat yang diduga sebagai korban pembunuhan beruntun, yang pada tanggal 3 November 1983 kemudian bertambah jadi lima korban.
Jago lari
Hari itu Simone Newin, mahasiswi berusia 22 tahun, melakukan joging di taman kota Offenbach, la memang melakukannya setiap hari.
Sebagai pelari rupanya ia kalah cepat dibandingkan dengan si pembunuh, sebab kemudian ia ditemukan tewas dicekik. Si pembunuh benar-benar cekatan. Betapa tidak. Setelah diperkosa, leher korban dijeratnya dengan celana joging gadis itu.
Taman kota Offenbach itu letaknya dekat dengan tempat-tempat kejadian lainnya, terutama dari hutan Heusenstamm. Karena itu Newin diduga termasuk korban pembunuhan beruntun.
Walaupun Inspektur, Sersan, dan sejumlah teknisi serta berbagai ahli segera mendatangi tempat kejadian, ternyata juga tidak ditemukan petunjuk sama sekali dalam kasus itu. Semalaman mereka menghabiskan waktu di tempat itu.
"Tidak bisakah Anda memberikan kesimpulan, Walter?" tanya Inspektur.
Dr. Walter Oberle cuma menggelengkan kepalanya. Pria bertubuh gemuk pendek dan berambut agak pirang di kiri-kanan ini dipandang sebagai pakar medis yang beken di kalangan polisi Frankfurt. Ia bergabung dalam tim itu menyusul pembunuhan atas Beatrix Scheible.
"Penjahat itu mungkin tenaganya hebat," ujar Walter. "Korban berada dalam kondisi fisik yang prima, tapi rupanya si pembunuh lebih banyak menemui kesulitan menangkap seekor kelinci daripada menyergap wanita itu."
"Maksud Anda si pembunuh punya tenaga luar biasa seperti seorang binaragawan, pegulat, atau semacam itu?" tanya Sersan Busch.
"Tidak," jawab dr. Walter. "Orang itu biasa saja, tapi mungkin di atas rata-rata pria. Bisa jadi ia malah tak pernah berolahraga sama sekali, tapi hampir pasti orangnya masih muda. Saya kira usianya di bawah 30, yang masih punya dorongan seks yang kuat."
"Ya," kata Inspektur. "Dorongan seks yang kuat. Sangat, sangat kuat. Apakah Anda merasakan tempat ini berkesan erotis, sehingga bisa membawa keinginan orang untuk melakukan hubungan seksual?"
Taman itu jauh dari kesan erotis. Suhu udara di tempat itu saja -2°. Angin di awal musim dingin yang menggigit berembus kencang, menyusup di sela-sela batang pepohonan yang gundul tak berdaun. Langit di atasnya begitu suram, membuat lampu-lampu kota di kejauhan sana sepertinya malas bersinar. Angin kencang yang sekali-sekali berembus, menerbangkan debu dan daun-daun kering.
"Barangkali penjahat itu menderita obsesi," guman Sersan. "Saya sendiri mungkin tak tahan berjoging di tempat seperti ini."
Tunggu satu korban lagi
Malam semakin larut, dingin pun kian menggigit. Namun, Inspektur dan Sersan masih tetap bersabar, menunggu para petugas penyidik menyelesaikan tugas di taman itu.
Suasana dalam ruangan kantor di markas detektif jelas lebih nyaman daripada di taman Offenbach. Hangat dan terang. Kopi panas dan sandwich keju yang lezat, semakin menghangatkan suasana ruangan itu.
"Apa kali ini mereka menemukan suatu petunjuk?" tanya Sersan seraya menelan roti isi keju dan mengaduk-aduk kopinya.
"Tidak," jawab Inspektur. "Tadi sebelum meninggalkan taman itu, aku omong-omong dengan pimpinan petugas penyidik. Memang mereka mengumpulkan beberapa barang, seperti puntung-puntung rokok dsb. Tetapi tak ada satu barang pun yang tampaknya punya kaitan dengan pembunuhan itu."
"Lalu apa yang mesti kita lakukan?" ujar Sersan.
"Apa yang dapat kita lakukan, maksudmu?" tanya Inspektur bernada getir. "Tunggu satu korban lagi."
Inspektur tampaknya mengkal dan merasa frustrasi menghadapi kasus pembunuhan yang misterius ini. Kasus ini semakin menarik perhatian sebagian besar masyarakat, sehingga Inspektur merasa kariernya bakal tersendat gara-gara tak sanggup membongkar kasus itu. Barangkali sampai penghujung tahun itu, ia tak sempat lagi membuka tabir pembunuhan misterius ini, sebab dalam musim dingin ini ada kemungkinan ia dicopot dari tugasnya.
Celakanya, atau mungkin untungnya, 23 hari kemudian Inspektur dihadapkan lagi pada kasus pembunuhan lain.
Sabtu, 26 November 1983, seorang gadis bernama like Rutsch (21) ditemukan tewas di hutan dekat kampung kelahirannya, Babenhausen. Apa yang dilakukannya di tempat itu tidak diketahui secara persis. Letak Babenhausen hanya sepelemparan batu dari Langen, Dietzenbach, dan hutan Heusenstamm.
Inspektur bersama anak buahnya segera menuju ke tempat kejadian. Namun, mereka pun kembali dengan tangan kosong. Petunjuk tentang identitas si pembunuh juga tak lebih dari kasus-kasus sebelumnya.
Hasil autopsi menunjukkan, like Rutsch diperkosa oleh seseorang yang bergolongan darah B. Gadis itu pun tewas oleh pisau yang menggoreskan luka yang sama dengan Regina Barthel, Beatrix Scheible, dan Regina Spielmann.
"Rasakan kalau satu saat nanti dia berbuat kesalahan," ujar Sersan dengan geram. Kali ini Inspektur cuma diam membisu.
Digagalkan supir taksi
Kala itu waktu menunjukkan pukul 15.30, tanggal 29 November. Di Jl. Bockenheim, yang menghubungkan pusat kota dengan wilayah Bockenheim bagian barat, beberapa pengendara sepeda motor dan pejalan kaki menyaksikan suatu adegan yang ganjil.
Seorang lelaki muda bertubuh tegap berkumis tipis, tiba-tiba menyergap seorang gadis remaja. Gadis naas itu diseretnya ke balik semak-semak.
Biasanya, orang-orang tidak peduli. Namun, kali ini tidak. Mereka yang melihat kejadian itu segera bergerak menuju ke tempat laki-laki dan gadis itu lenyap di balik semak-semak.
Mereka nyaris terlambat. Bagaikan anak kucing yang tak berdaya di tangan kukuh si penyerang, gadis itu tergolek di atas tanah. Gaunnya tersingkap sampai pinggangnya, sementara lelaki itu berusaha merenggut celana dalam si gadis. Rupanya gadis itu tak mudah menyerah, maka terjadilah pergumulan di balik semak-semak itu.
Seorang sopir taksi segera melaporkan kejadian itu lewat radio kontrolnya. Laki-laki itu pun segera digiring ke markas polisi. la dituduh melakukan usaha perkosaan, namun segera dibebaskan dengan syarat tidak meninggalkan kota itu sampai kasusnya didengar. Penahanan dan jaminan terhadap pelakunya dinilai tidak perlu.
Lelaki itu sudah menikah, punya anak perempuan berusia tiga tahun, dan memiliki pekerjaan tetap. Namun, tindakannya itu bukan yang pertama kali dilakukannya. Interogasi terhadap orang itu baru akan dilakukan pada 1 Februari 1984, mengingat kasus-kasus semacam itu dilaporkan sering terjadi. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari.
Tukang listrik
Musim dingin kali ini memang semakin tidak menyenangkan bagi Inspektur Dorner dan Sersan Busch. Di satu pihak mereka berharap agar tidak terjadi lagi pembunuhan, namun di sisi lain mereka merasa pesimis bisa mengungkapkan kasus-kasus yang sedang mereka hadapi.
Pembunuhan memang tidak terjadi lagi. Namun, kasus-kasus yang sedang mereka tangani juga tidak menunjukkan perkembangan apa-apa. Bahkan pemberitaan tentang kasus-kasus itu berangsur-angsur lenyap dari berbagai halaman surat kabar.
Meskipun demikian, Inspektur tidak akan menyerah begitu saja, kecuali kalau dikehendaki oleh atasan lantaran dinilai tidak becus menangani kasus-kasus itu. la tidak akan membiarkan pembunuh yang telah menewaskan korban paling tidak enam wanita itu, bebas berkeliaran memakan korban.
Karena itu Inspektur segera tertarik ketika ia menerima laporan dari salah satu sektor kepolisian yang telah menangkap seorang laki-laki yang tampaknya tahu banyak tentang pembunuhan beruntun itu.
Jumat, 3 Februari 1984, Inspektur segera memerintahkan Sersan Busch untuk menangkap kembali orang yang dicurigai itu dan membawa hasil rekaman pengakuan orang itu.
Orang itu adalah tersangka dalam kasus di Jl. Bockenheim. Namanya Michael Wolpert. Usianya 25 tahun. Ia bekerja sebagai tukang listrik dan tinggal di Kampung Neu-Isenburg.
Wolpert akan dibebaskan kembali, jika ternyata ia tidak punya sangkut paut dengan kasus pembunuhan gadis-gadis dan kasus hutan Heusenstamm.
Saling tukar pasangan hidup
Di hutan Heusenstamm paling tidak terjadi dua insiden. Pertanyaan-pertanyaan pun lalu diarahkan ke sana.
Wolpert mengelak, tetapi ia menghadapi para penyidik yang profesional. Kecurigaan mereka terhadap Wolpert bertambah besar. Para penyidik itu pun segera menghubungi Inspektur Dorner.
Inspektur lantas melanjutkan interogasi itu dan menugasi Sersan untuk menyelidiki lebih jauh mengenai latar belakang Wolpert. Wolpert memang sudah menikah dan memiliki anak perempuan berusia tiga tahun. Anehnya, ia justru tinggal seatap dengan wanita lain dan seorang anak perempuan. Wanita itu namanya Heidrun Mahler (22) dan anak perempuan itu Sonja.
Istrinya sendiri, Ilonka, juga berusia 22 tahun, dan anak perempuan mereka, Jessica, malah tinggal serumah dengan Detlev Mahler (26), bekas teman sekolah Wolpert. Mahler dan Wolpert sama-sama tukang listrik.
"Tukar-menukar suami-istri itu berlangsung pada bulan Juni 1982. Masing-masing merasa bahagia. Mereka mengaku tidak ada masalah, malah merasa begitu akrab seperti keluarga umumnya. Michael Wolpert maupun Detlev Mahler adalah para pekerja keras. Mereka pun sangat diperhatikan oleh majikan mereka.
Inspektur tak habis pikir. Wolpert hidup bersama dengan dua wanita muda dan cantik. Tampaknya hampir tidak mungkin Wolpert merasa perlu memperkosa wanita lain.
Namun kenyataannya, sudah dua kali Wolpert melakukan perbuatan yang melanggar hukum, yakni memamerkan tubuhnya di depan gadis-gadis. Yang pertama dilakukannya pada tahun 1973, dan atas ulahnya itu, ia dikenai denda. Yang kedua pada tahun 1982, Wolpert dijatuhi hukuman enam bulan yang ditangguhkan.
Dikurung seumur hidup
Rupanya memang ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Michael Wolpert. Namun, dari wajahnya yang polos, tetapi cukup menarik, sulit dipahami bahwa dia itu seorang pembunuh. Meski begitu, Inspektur tidak mau menyerah sebelum tahu benar latar belakang apa yang mendorong Wolpert sampai berbuat begitu.
Selain mengakui membunuh keenam gadis itu, Wolpert juga mengaku telah membunuh Annedore Ligeika dan Fatima Sonnenberg, dua pelacur itu.
Para psikolog tidak bisa menarik kesimpulan mengenai apa yang tidak beres dalam diri Michael Wolpert. Yang jelas Wolpert memang memiliki gairah seks yang berlebihan, seperti diutarakan oleh istrinya sendiri dan juga Heindrun Mahler.
Namun, kedua wanita itu juga menyatakan bahwa Wolpert itu orangnya halus, lembut, tidak pernah menunjukkan sikap kasar dan kejam. Tak heran kalau kedua wanita itu tidak percaya mendengar Wolpert mengaku sebagai pelaku dalam kasus perkosaan dan pembunuhan gadis-gadis itu.
Bahkan Wolpert sendiri pun tidak bisa menjelaskan mengapa dirinya bisa berbuat seperti itu.
Hanya satu yang disepakati oleh para psikolog yang ikut menangani kasus ini: terlalu berbahaya membiarkan Wolpert bebas berkeliaran di luar.
Karena itu pada tanggal 24 Mei 1985, Wolpert dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Meski tidak ada jaminan bahwa ia bisa menjadi normal kembali, toh selama dalam penjara ia senantiasa menerima terapi dari seorang psikiater.