array(2) { [0]=> object(stdClass)#53 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635956" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#54 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/pergulatan-di-padang-safari_davi-20230105070139.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#55 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Seorang suami yang sedang mengajak istrinya berbulan madu di Afrika, tiba-tiba mendapat ide untuk meninggalkan istrinya di padang safari." ["section"]=> object(stdClass)#56 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/pergulatan-di-padang-safari_davi-20230105070139.jpg" ["title"]=> string(27) "Pergulatan di Padang Safari" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:01:54" ["content"]=> string(35170) "
Intisari Plus - Seorang suami yang sedang mengajak istrinya berbulan madu di Afrika, tiba-tiba mendapat ide untuk meninggalkan istrinya di padang safari.
--------------------
Seorang Afrika dengan kaus oblong dan celana jengki berwarna khaki mengangkat palang gerbang. Sebuah mobil safari keluar dari kompleks penginapan, di dalamnya duduk sepasang suami-istri, Ford dan Tricia.
Ford mengendarai mobil sepanjang 2,5 km menyusuri jalan berbatu menuju gubuk resepsionis. Anehnya, Ford membayangkan perempuan lain, yaitu Marguerite yang duduk di sampingnya. Bayangan itu buyar saat Tricia mengajukan pertanyaan bernada kekanak-kanakan penuh rasa ingin tahu.
Seorang Afrika lain dalam pakaian penuh aksesori warna-warni mencolok memeriksa surat pesan tempat. Tiap pengunjung harus membayar setidaknya untuk tinggal selama seminggu. Ford melunasinya dua hari setelah memutuskan untuk berpisah dengan Marguerite dan kembali ke pangkuan Tricia untuk selama-lamanya.
“Istri saya ingin tahu berapa luas Ntsukunyane,” ujar Ford.
“Seratus ribu hektar.”
“Apa kami bisa melihat macan tutul?”
Pria itu hanya mengangkat bahu, “Siapa tahu? Semoga Anda beruntung. Seminggu di sini, Anda pasti bisa melihat singa, gajah, kuda nil, atau cheetah. Tapi macan tutul itu binatang malam, padahal tiap hari Anda harus kembali ke kamp pada pukul enam sore.” la melihat ke arloji. “Lebih baik Anda berangkat sekarang jika ingin ke Thaba, sebelum gerbang tutup.”
Hampir pukul empat sore, angin serasa mati. Ford kembali ke mobil. Tricia, dalam rok santai kuning, erat memegang bingkai jendela mobil yang terbuka. Kulitnya yang putih pucat tampak memerah. Ford memberi tahu berbagai aturan: di dalam suaka margasatwa dilarang membawa senjata api, memberi makan binatang, ngebut melebihi batas, dan membuang sampah.
“Yang terpenting, dilarang keluar dari mobil,” ujarnya.
Kembalinya suami yang “hilang”
Di banyak wilayah, suami umumnya dianggap tidak pantas, kalau tidak bisa dibilang dilarang, untuk jatuh cinta lagi. Apalagi kemudian memulai hidup baru dengan wanita lain setelah lebih dulu meninggalkan istrinya. Ford melirik Tricia sambil menduga isi pikirannya. Menilik wajahnya tertekuk, mungkinkah Tricia memikirkan hal yang sama seperti dirinya?
“Siapa di antara kita yang pertama kali melihat binatang akan dapat hadiah,” seru Tricia tiba-tiba.
“Setuju,” seru Ford sambil mengingat alasannya untuk “kembali” pada istrinya, lalu mengajaknya “berbulan madu” yang kedua ke Afrika, yang dijalaninya sekarang. Tapi ia harus berusaha keras membangkitkan rasa cintanya. Jauh berbeda dengan gelora cintanya pada Marguerite yang tak perlu dicari dan dibangkitkan.
“Siapa yang memberi hadiah?” tanyanya.
“Kamu, kalau aku yang menang, sebaliknya aku bila kamu yang menang. Hadiah untukku dari toko cendera mata di kamp.”
Ternyata Ford menang. Ia melihat seekor zebra tiba-tiba muncul dari balik kerimbunan pohon berduri di sebelah kanannya, yang tak lama kemudian disusul kawanannya. “Apa hadiah untukku?”
Ia merasakan Tricia mendekat. “Cium sayang saja,” ujarnya sambil mendaratkan bibirnya di pipi suaminya. Lucunya, Ford merasa risih.
Ford mengurangi kecepatan mobil, membiarkan kawanan zebra itu melintas. Di dekat semak berduri menjulang menara semut merah seperti yang digambarkan dalam dongeng anak-anak. Thaba masih 45 km jauhnya. Siang ini mereka tidak akan melihat satwa buas. Paling-paling impala, zebra, atau jerapah. Ford tahu karena dalam perjalanan bisnis yang terdahulu, ia sempat pergi ke Serengeti dan Kruger.
la memberikan teropong pada Tricia, menyetel ukuran, lalu mengalungkan talinya. Ford hafal betul, Tricia selalu lupa mengalungkan tali teropong dan kamera. Akibatnya, pernah kamera dan teropong kesayangan Ford jatuh dan pecah saat di tangan istrinya. Waktu itu amarahnya meledak, bahkan tak surut meski Tricia sudah minta maaf sambil terus mencucurkan air mata.
Mobil itu tanpa AC, tak heran bila sisa sekapan panasnya masih terasa, meski matahari mulai condong ke barat. Keringat kuyup membasahi kaus Ford.
Tiba di piramida batu dengan papan penunjuk ke arah Thaba, kamp utama di Wakasuthu dan Hippo Bride di atas Sungai Suthu tampak seekor babun dan bayinya duduk di atasnya. Kadang tangan kasar induk babun gesit menyusuri bulu tebal bayinya untuk mencari kutu. Melihat itu, Tricia tergelitik untuk mengulurkan tangan. Seruan gembira dan kagum keluar dari mulut Tricia. Ford tak peduli dengan perasaan istrinya, ia terus mengemudi menuju Thaba, berusaha mencapai kamp dalam sepuluh menit.
Senja sangat singkat, baru saja datang tahu-tahu sudah berlalu. Dalam remang senja, benda-benda yang pucat tampak bersinar, kicau burung pun lebih mirip suara gerutuan. Di kamp Thaba ada restoran dan toko, gubuk-gubuk beratap jerami, dan vila kayu dengan serambi. Ford dan Tricia memesan vila di sisi utara. Dari serambi mereka yang cukup tinggi di balik pagar kawat yang menjulang, tampak Sungai Suthu mengalir deras. Senja telah tiba saat mereka melangkah di atas tangga kayu, Ford menjinjing perbekalan mereka.
“Untung kita membawa pil antimalaria,” ujar Ford sambil membuka pintu gubuk. Saat lampu menyala tampak dua nyamuk di dinding. Anopheles adalah pembawa malaria, sayangnya kedua nyamuk itu tidak bisa bilang apakah mereka anopheles atau bukan.
Di kamar ada dua ranjang tunggal, sebuah meja, lampu dengan sinar redup, AC, kulkas, dan kamar mandi. Tricia meletakkan tas riasnya di ranjang dekat jendela. Dari jendela kelihatan vila-vila lain, lampu-lampu redup, dan jajaran mobil yang diparkir. Di luar kamar pun gelap gulita tanpa lampu karena listriknya dari generator.
Tricia mengajak bicara kedua nyamuk itu. “Apakah namamu Anna Phyllis? Tidak? Jangan takut, kau aman di sini. Katanya, ia Mary Jane dan suaminya John Henry.”
Ford mencoba tersenyum. Dulu ia terbiasa dengan kelakar kekanakan Tricia sampai kemudian ia bertemu Marguerite yang bijak dan dewasa. Setelah memasukkan tas ke dalam lemari tanpa membongkar isinya lebih dahulu, Ford ke kamar mandi.
Bukan bandingan WIL
Sungguh dramatis, saat itu mereka hanya satu koloni kecil manusia di dunia satwa liar, berkebalikan dengan dunia manusia yang selama ini mereka huni. Tricia berdiri di serambi, mendengarkan bunyi serangga dan kadal.
Setelah berhasil mengambil Ford kembali dari perempuan lain, sekarang ia harus berusaha mempertahankannya. Hanya ia tidak tahu cara yang lebih baik kecuali cara kuno yang selama ini dia lakukan, yang - tak cuma baginya namun juga bagi Ford - terasa kuno dan membosankan.
Dari dulu, Tricia selalu takut kepada laki-laki, dimulai dengan ayahnya. Itu sebabnya ia sengaja berpura-pura takut - yang kekanak-kanakan - untuk mengambil hati. Ford pun menikahinya karena sifat lucunya, sampai kemudian ia bertemu dengan wanita lain yang lebih dewasa.
Sementara ini cara yang ia gunakan adalah dengan menurunkan beberapa kilogram berat badannya, membeli baju-baju baru, dan menyemir rambut agar tampak lebih muda dan segar.
Ia berandai-andai tidak pernah menikah. Masa bodoh dengan alasan adat, kebanggaan, dukungan, penilaian masyarakat, atau apa pun.
Ford keluar dari kamar mandi dalam jubah mandi. “Mana obat semprot nyamuk?”
Setengah kaget Tricia menjawab, “Aku tidak tahu.”
“Apa maksudmu tidak tahu? Bukankah aku minta disimpankan dalam tas riasmu?”
Tricia membuka tas riasnya, meski sudah tahu barang itu tidak ada di sana. Ia meninggalkannya di rak kamar mandi karena dirasakan terlalu besar. Sambil menggigit bibir, ia menoleh ke Ford, “Kita bisa membeli lagi di toko.”
“Tricia! Toko tutup jam tujuh, sedangkan sekarang sudah jam sepuluh,” tukasnya sambil mengaduk-aduk tas hingga isinya berantakan. “Lihat semua sampah ini. Krim pembersih, alas bedak, pelembap - seperti foto model saja. Kamu pasti tidak terpikir untuk lebih mementingkan obat semprot nyamuk daripada alas bedak!”
Bibir Tricia bergetar. la merasa tak berdaya, “Tapi kita ‘kan sudah membawa pil antimalaria.”
“Itu tidak akan mengatasi sakitnya gigitan nyamuk!” geram Ford kembali ke kamar mandi sambil membanting pintu.
Marguerite pasti tak akan pernah lupa membawa obat semprot nyamuk itu. Tricia tahu Ford pasti tengah membandingkan dirinya dengan Marguerite lagi. Bahkan mungkin otaknya telah penuh dengan kenangan akan perempuan itu saat masih di perjalanan menuju Thaba. Tricia mulai terisak. Air matanya yang mengalir deras biasanya sulit dihentikan. la memutuskan untuk ganti baju dan membedaki wajah meski air mata tetap menghapus sebagian riasannya.
Mereka makan malam di restoran. Tricia dalam rok berbahan krep berbunga merah jambu tampak mencolok sebagai satu-satunya wanita yang berdandan rapi di sana. Bila di lain kesempatan Tricia bisa membayangkan orang memandanginya dengan pancaran kagum, saat ini ia merasa dicemooh. Saat mengunyah pelan potongan daging yang matang dengan roti, diliriknya bekas gigitan nyamuk di lengan Ford.
Di luar kamp tidak ada lagi lampu menyala, cuma sorot dari jendela bangunan utama dan beberapa vila. Saat semua lampu mati, hanya ada kerlip bintang menerangi gelap malam yang pekat. Meski digigiti nyamuk, Ford cepat tertidur. Sedangkan Tricia tak kunjung lelap karena suara AC. Pukul 23.00 ia mematikan mesin pendingin lalu membuka jendela. Pukul empat dini hari ia sudah terjaga, namun Tricia memilih berbaring di ranjang selama setengah jam, baru kemudian berganti pakaian untuk berjalan-jalan.
Di luar masih gelap. Embun masih bergayut di ujung-ujung rumput. Saat melewati pohon merula, kelelawar berhamburan dari gerumbul rantingnya lalu berputar-putar di atas kepala Tricia. Jika Ford di sampingnya, ia pasti sudah menjerit lalu bergelantungan di lehernya.
Kamp dan semak di dekat pagar mulai riuh dengan macam-macam suara, dengkuran, siulan, cericit, dan jerit melengking. Itu mengingatkannya pada lukisan Hieronymus Bosch, yang menggambarkan berbagai setan mengerikan. Jika mereka dapat bicara, mungkin demikian suaranya
la terus berkeliling, mengharapkan kejutan romantis. Tapi yang muncul sinar abu-abu pucat di langit menyeruak di antara awan yang terbelah. Perasaan gagal kembali mencekam, suasana itu seperti isyarat nasib buruk yang pasti - bahkan lebih pasti dari terbitnya matahari - menimpanya.
Tricia masuk ke vila berbarengan dengan saat Ford terbangun. Ford kesulitan membuka mata yang bengkak karena gigitan nyamuk. Di dinding nyamuk berjajar merata. Dengan mata setengah buta Ford bangkit dari ranjang terhuyung-huyung ke kamar mandi. Tricia yang gugup hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat.
Keluar mobil mencari bahaya
Ketika gerbang kamp dibuka pukul setengah enam, mobil-mobil safari meluncur, memulai pengembaraan mereka. Tapi Ford dan Tricia memilih sarapan karena Ford masih sulit melihat sedangkan Tricia tidak bisa mengemudi. Ketika toko buka, Ford dengan tak sabar membeli dua macam obat antinyamuk. Selain itu ia membeli kalung gading dan rok bersablon jerapah untuk istrinya karena tak tahan terus-menerus mendengar Tricia minta maaf dengan mata berkaca-kaca. Pukul sembilan, saat bengkak mata Ford mengempis, baru mereka meninggalkan kamp menuju Hippo Bridge.
Ford mengendarai mobil pelan-pelan. Ia tak banyak bicara, sedangkan matanya yang bengkak tertutup oleh kacamata hitam. Dekat Sungai Suthu ia berhenti, lalu mengamati sekeliling. Tak ada apa-apa di tepi sungai kecuali “batang pohon” yang tiba-tiba tenggelam, artinya batang itu buaya. Di sana, pukul sembilan sudah dibilang terlambat untuk melihat-lihat. Selain itu, cuma ada bangau marabu yang berdiri di atas satu kaki dengan badan membungkuk di bawah pohon yang kurus kering.
Ford merasa tak enak badan. Rasa demam itu akibat iritasi di hampir sekujur tubuhnya, berupa rasa terbakar di kulit, yang makin menjadi akibat gerakan kecil sekali pun.
Ditambah lagi kekesalan yang muncul tiap kali melirik Tricia. Mengapa ia harus kembali pada Tricia dan melakukan semua ini? Mata dan kepalanya berdenyut-denyut, suhu badannya seakan-akan naik.
Celana jins merah jambu yang tampak terlalu ketat, plus rumbai pita di blus putih membuat Tricia terlihat menggelikan. Dengan teropong Tricia menemukan sekeluarga monyet abu-abu berayun-ayun di cabang pohon peepul. la menjentik jari pada mereka melalui jendela. Akhirnya, ia membuka pintu mobil, dan membiarkannya tetap terbuka. Mata sayunya menatap Ford setengah memohon, meminta izin.
Namun, karena tidak ada tanda-tanda kehadiran binatang buas, maka, “Baik. Tapi jika petugas tahu, kita akan dapat masalah,” jawab Ford.
Tricia turun dari mobil. Pintu dibiarkan terbuka. Rumput di tepi jalan lebih dari selutut tingginya. Tak terpikir olehnya bahwa tempat itu bisa jadi persembunyian yang aman bagi anak singa atau cheetah. Ford mengambil teropong mengamati sisi lain padang karena tak tahan melihat Tricia lagi-lagi lupa mengalungkan tali kamera. Tricia tampak mengatur kamera, kera-kera sasarannya perlahan-lahan mundur menjauh. Saling berpelukan, sebelum akhirnya menutupi muka dengan lengan.
Ford perlahan melepas kacamata. Sekitar seratus meter dari tempatnya ada sekawanan kecil rusa jantan bingung mencari rumput segar. Tiba-tiba ... ia melihat dua wajah kucing saling berdekatan, tubuh mereka merapat, punggungnya bertotol-totol, Cheetah!
Seharusnya, ia menyuruh Tricia untuk cepat masuk mobil. Tapi tidak. Cheetah itu dengan anggun berselunjur, namun matanya tetap awas. Marguerite akan suka ini, ia memang suka kucing. Di rumah pun Marguerite memelihara kucing burma.
Tricia kembali ke mobil sambil dengan riang bercerita betapa manis monyet-monyet itu. Ford menjalankan mobil tanpa bicara sepatah kata pun tentang cheetah.
Sekitar pukul lima sore, kembali Tricia turun dari mobil, Ford tidak mencegah. Tricia dengan riang mendekati musang yang seketika menyingkir ke semak saat ia mengulurkan tangan. Sejam lagi di sini sudah gelap. Ford membayangkan, memacu mobil kembali ke kamp tanpa Tricia. Apa jadinya bila muncul macan tutul, si pemburu malam. Sayang, ia tak bisa melakukannya karena leher dan tangannya masih sakit, meski bengkak di matanya hampir hilang. Tiba-tiba datang sebuah mobil berisi empat pria dari arah Hippo Bridge. Mobil itu melambat, pengemudinya melongokkan kepala.
“Ia tidak boleh keluar dari mobil seperti itu,” ujarnya menunjuk Tricia.
“Memang, sudah kuberi tahu,” jelas Ford.
“Maaf, Nyonya, tahukah apa yang Anda lakukan ini sangat berbahaya?” Suaranya menggelegar bercampur kesal. Seketika tubuh Tricia kaku, wajahnya memerah meski masih mencoba tersenyum. Ia takut. Laki-laki itu sepertinya memandang rendah terhadapnya, seolah Tricia makhluk yang menjijikkan.
“Tapi tolong jangan laporkan saya,” pintanya dengan kepala menunduk. Pria itu berseru kesal, menarik kepalanya, dan mobil itu pun menderu pergi. Tricia melompat, duduk di sisi Ford.
Saat makan malam, mereka ternyata semeja dengan rombongan keempat pria tadi. Yang dipanggil Eric bicara keras-keras tentang semua yang ditemukan kelompoknya. Segerombolan singa, dua badak, hyena, antelope, dan musang langka.
“Kamu tidak akan melihat banyak hewan di rute Hippo Bridge. Lebih banyak lagi di Sotingwe. Jadi besok pagi, pergilah dulu ke Sotingwe, pasti kalian melihat singa.”
Jangankan bicara, menengok pun tidak dilakukan Eric pada Tricia. Padahal sepuluh tahun lalu, para pria di restoran mana pun pasti akan menolehkan kepala, memperhatikan Tricia.
Melintasi taman, kembali ke vila, Tricia menggelayut manja di lengan Ford. Sayangnya, “Aduh, sakit! Kena bekas gigitan nyamuk. Maaf ya,” kata Ford.
Ford berbaring di ranjang yang terpisah setengah meter dari ranjang Tricia. Pikirannya melayang mengingat berbagai cara binatang buas berburu. Macan tutul akan mengendap-endap di cabang, dalam hitungan detik menubruk dan menghabisi mangsanya. Sedangkan singa betina akan berburu di pagi hari, lalu membawa hasilnya untuk keluarga. Gajah akan menyenderkan tubuhnya pada mobil lalu menendang kaca jendela. Ford pernah melihat cara mereka berburu, meski cuma dalam TV. Sedangkan cheetah, ia tidak tahu pasti caranya. Ia cuma tahu cheetah pelari tercepat di dunia.
Kamar itu sangat gelap, bayangan Tricia pun tak tampak. Tapi Ford tahu, ia belum tidur. Kadang terdengar ia menahan napas, kemudian diembus keras-keras, mengalahkan berisiknya AC.
Ketahuan niatnya
Mestinya Ford bergantian menyetir dengan Tricia, sehingga tidak kehilangan banyak kesempatan melihat kehidupan liar Afrika karena harus terus berkonsentrasi ke jalan. Bertahun-tahun lalu Ford pernah mencoba mengajar istrinya mengendarai mobil. Tapi Tricia terus ceroboh hingga memancing Ford untuk selalu membentak. Terbukti benar kata orang, suami tidak akan cukup sabar untuk mengajari istrinya mengemudi. Alhasil, Tricia tak pernah lulus ujian SIM. Alasan Tricia sendiri karena si penguji membuat dia takut.
Mereka orang pertama yang keluar dari gerbang esok paginya. Pada batu piramida, bekas singgasana anak-induk babun, Ford mengambil arah ke Sotingwe.
Beberapa kilometer kemudian mereka melihat sekawanan singa. Eric dan kawan-kawannya pun sudah di sana, menyandarkan moncong kamera di ambang jendela. Kawanan itu terdiri atas dua singa betina dewasa, dua anak singa betina dan satu anak jantan dengan bulu surai yang mulai memanjang. Mereka bergoleran di jalanan. Ford parkir berhadapan dengan mobil Eric.
“Benar ‘kan kataku?” Eric meneriaki Tricia. “Kuharap Anda tidak berhasrat turun dari mobil kali ini.” Kali ini Tricia membalas perlakuan Eric semalam dengan tidak mengacuhkannya. Ia asyik memperhatikan singa.
Matahari makin tinggi, singa betina dewasa bangun dari rebahnya, lebih karena bosan, bukan karena gemeretak alat fotografi Eric. Ia berjalan pelan masuk ke semak-semak, di antara jajaran tinggi rumput, diikuti anak-anaknya dan singa betina lain. Singa-singa itu tak lepas dari amatan Ford. Sotingwe memang daerah kekuasaan singa. Jangan harap menemukan impala, jerapah, atau binatang memamah biak lainnya di sana.
Pusat safari ternyata di dekat sumber air di Sotingwe. Seekor gajah bertelinga lebar membedaki tubuh dengan debu merah yang disembur dari belalai. Tricia keluar dari mobil untuk memotret gajah. Seperti sebelumnya Ford tidak berusaha mencegah. Ia malah sibuk menggaruk bekas-bekas gigitan nyamuk yang mulai terasa gatal. Tricia yang tetap lupa mengalungkan tali kamera mendekati pinggir kolam dan berdiri pada jarak aman - menurutnya. Tanpa ia sadari ada sepasang mata tepat di permukaan kolam - apa lagi kalau bukan buaya - mengincarnya. “Awas, buaya!” Ford memperingatkan karena tidak ingin terjadi sesuatu pada Tricia. Sekarang bukan saat yang tepat. Mereka pun kembali ke Thaba untuk sarapan.
Saat sarapan, juga makan siang, mereka bersama lagi dengan Eric yang menceritakan begitu banyaknya satwa liar yang dijumpai. Di jalanan berdebu di Sotingwe menuju Suthu Bridge, di atas pohon dekat kolam sumber air ia melihat macan tutul.
“Binatang kukuh dengan bercak hitam kotak-kotak,” tutur Eric sambil mengisap cerutu.
Mendengar cerita itu, Tricia jadi kepingin melihat juga. Maka ke sanalah mereka pergi setelah makan siang. “Sekitar satu kilometer dari jembatan. Perhatikan arah ke kiri, kalian akan dengan mudah menemukan pohon bercabang kekuningan. Ada tanah terbuka, nah, cabang pohon itu ada di sisi kanan,” kata Eric.
Ford memang dengan mudah menemukan tempatnya. Sayang, satwa bertotol itu tak tampak lagi. Suasana sekitar yang sepi membuat Tricia tak tahan untuk tidak keluar dari mobil. la berlenggang menuju kolam, perlahan-perlahan melangkah ke dalamnya. Dia ambil batu-batu kecil lalu ditembakkan ke permukaan air hingga muncrat beberapa kali.
Kembali Tricia melanggar aturan dengan memetik beberapa bunga daisy. Sepasang disematkan di dua kupingnya, sedangkan yang sebatang digigit di bibirnya yang terus tersenyum, sambil menggoyang pinggul layaknya penari Spanyol.
Ford tersenyum melihat tingkah dan tawa riang Tricia. Sikap ini yang membuatnya jatuh cinta dulu, namun sikap ini pula yang tak sanggup ia hadapi terus-menerus.
Tiba-tiba keringat mengucur deras membasahi tubuh Ford. Dengan menarik napas panjang ia nyalakan mesin mobil, menjalankan pelan maju lalu mundur. Sejam lebih waktu yang tersisa untuk kembali ke Thaba. Sekarang mobilnya sudah menghadap arah ke Thaba, kakinya pun sudah di atas pedal gas, siap memacu mobil. Ia harus memutuskan, siapkah ia untuk…meninggalkan Tricia.
Dengan demikian, ia akan bebas untuk selama-lamanya. Menyerahkannya dalam gelap malam kepada singa dan macan tutul.
Belum sempat ia bertindak, muncul sebuah mobil. “Sialan!” geram Ford. Dikiranya Eric yang datang. Ternyata, mobil itu dikendarai pasangan muda dari Amerika. Salah satunya memberi salam pada Ford saat melintas.
“Cepat naik, sebentar lagi kita terlambat,” ajak Ford setengah dongkol, lalu memacu mobil begitu Tricia duduk di sampingnya. Bergidik bulu kuduk Tricia mengingat apa yang dilakukan Ford di depan matanya barusan. Berbagai khayalan berkecamuk di benak Tricia. Malam itu ia nyaris ditinggalkan sendiri di padang penuh satwa liar. Mungkinkah akan ada orang di kamp yang peduli dengan ketidakhadirannya? Tentu tidak. Malam itu Ford pasti akan memilih tinggal di vila. Esok paginya, dialah orang pertama yang bakal meninggalkan kamp. Tak perlu berhadapan dengan petugas kamp lagi untuk check-out karena toh urusan administrasi sudah diselesaikan minggu lalu.
Pembunuhan yang sempurna. Siapa yang akan mencarinya. Andai tulang belulangnya ditemukan - yang sudah dikerkah habis oleh serigala dan burung nasar - akan sulit dibedakan dengan satu set tulang impala atau rusa. Setibanya di rumah, Ford akan menceritakan pada Marguerite bahwa semua itu dilakukan hanya untuknya. Sungguh menyakitkan.
Diburu singa
Malam itu Ford sangat manis dan lembut. Mungkinkah ia khawatir semua perbuatannya di Sotingwe ketahuan?
“Aku pernah janji sekali-sekali kita minum sampanye. Bagaimana kalau malam ini? Rasanya malam ini paling tepat untuk menikmatinya.”
“Terserah kau saja,” jawab Tricia lemah. Sekembali dari Sotingwe, ia merasa sakit baik tubuh maupun hati. Ia tak berselera untuk melakukan apa pun.
Ford mengangsurkan gelas, “Untuk kita.” Lalu memesan sup, ikan, dan Wiener Schnifzel. Sambil menyendokkan makanan, Tricia berusaha meyakinkan diri, Ford memang akan mencelakainya. Ford pgsti mencoba lagi, mungkin dengan cara lain. Tapi cara apa? Yang pasti, cara termudah untuk merenggut nyawa Tricia. Bisa saja ia mengganti tablet kina dengan aspirin atau saat di hotel di Mombasa ia akan menenggelamkan Tricia di bak mandi. Tricia benar-benar merasa terancam.
Malam itu demikian menegangkan, bulan pun tak tampak. Sambil berbaring, pikiran Tricia melayang ke mana-mana. Ia tahu, perkawinan mereka sudah tak memiliki harapan, meski ia berusaha keras untuk mempertahankannya. Lebih baik ia kembali ke ibunya, biarkan saja Ford kembali ke Marguerite.
Ternyata Ford pun tak bisa memicingkan mata. Gigitan nyamuk di wajah, leher, dan kaki tak mampu mengusik lamunannya. Pikirannya melayang ke macan tutul di padang safari yang mungkin sedang berburu dengan mengandalkan naluri. Ia akan meluncur cepat dari sebuah dahan, tanpa suara menyergap buruan, menancapkan gigi-gigi tajamnya ke tenggorokan mangsanya.
Dini hari berikutnya, Ford bangun lebih awal. Saat berkeliling, ia hanya bertemu dengan petugas kamp sedang memeriksa mobil. Bengkak kakinya kaku dan serasa terbakar, jalannya pun pincang. Saat bersandar pada pohon, kulitnya terasa nyaman karena batang kuning pohon itu dingin dan lembap. Ford melepas sandal dan menyentuh pelan bengkak di kaki.
Tricia sudah bangun ketika Ford masuk. Ia sedang duduk di ranjang, mengecat kuku-kukunya. Astaga, bagaimana mungkin ia hidup dengan perempuan yang masih sempat mengecat kuku dalam sebuah perjalanan safari seperti ini? Keluh Ford dalam hati.
Mereka keluar setelah pukul sembilan. Dalam perjalanan ke Wakasuthu mereka berpapasan dengan mobil Eric yang berlawanan arah.
“Tidak ada apa-apa di sana, kalian buang-buang waktu saja.”
“Baik, terima kasih,” balas Ford.
“Lebih baik ke Sotingwe. Kemarin kalian berhasil melihat macan tutul?”
Ford menggelengkan kepala sambil menyahut, “Kami memang tak selalu beruntung.”
Beberapa gajah tampak sedang bermain-main di sungai di Hippo Bridge, mereka saling semprot air dan dorong bahu kekar mereka. Ford berharap dapat melihat acara berburu keluarga singa. Ternyata, mereka sudah selesai berburu, tapi singa betina dan anak-anaknya masih membersihkan sisa daging pada tulang iga yang menghitam akibat darah kering. Mereka berdua hanya diam menonton. Sesaat keluarga singa pergi menuju gerombolan rumput tinggi, digantikan sekawanan serigala.
Ford kembali lagi ke tempat itu pukul empat sore saat giliran burung nasar datang untuk membersihkan tulang-tulang itu. Kaki Ford bengkak dua kali ukuran normal. Tricia diam saja. Tak berceloteh lagi, tertawa terkikik, menciumnya yang membuatnya geli, apalagi keluar mobil. Tricia pasti menyangka Ford sedang berusaha membunuhnya.
Dalam hati Ford mengaku, niat itu memang pernah muncul, tetapi hanya karena pengaruh demam. Yang sebenarnya, ia cuma ingin menakut-nakuti dan memberi pelajaran Tricia bahwa keluar dari mobil itu berbahaya. Mengapa pula ia harus membunuh Tricia? Toh, ia bisa meninggalkannya di mana saja dan ia memang telah memutuskan akan berterus terang pada Tricia sekembali ke Mombasa, bahwa mereka tidak akan bersama lagi. Pikiran itu membuat Ford tersenyum lalu berpaling ke Tricia. Mobil dihentikan di tanah terbuka dekat pohon berbatang kuning yang lembut berdaun pakis.
“Mengapa tidak turun?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Tidak ada?” ujarnya menunjuk landak sambil mengangsurkan teropong. Tricia melihat, lalu tertawa riang.
“O-oh, landak yang lucu, bukan!” tambah Ford.
Tricia menengok kursi belakang untuk mengambil kamera. Tiba-tiba ia duduk kembali, ragu-ragu akan apa yang dilakukannya. Ford melihat kebingungan Tricia.
Perlahan Ford mencabut kunci mobil, lalu meletakkannya di genggaman tangan Tricia. Wajah Tricia memerah, malu. Ford menatapnya, menikmati keragu-raguan dan kejengahan Tricia karena telah mencurigai Ford dengan begitu keji.
Meski semula ragu-ragu, Tricia menerima juga kunci itu. Ia mengambil kamera, membuka pintu mobil, menggenggam kunci kontak di tangan kiri, dan kamera di tangan kanan. Ford memukul dahi, heran melihat Tricia masih selalu lupa mengalungkan tali kamera. Tapi ia tak dapat menyusul cuma untuk membetulkannya karena kaki bengkaknya berdenyut-denyut.
Mereka berdua tak sadar, beberapa pasang mata buas menatap mereka. Keluarga singa yang beberapa jam sebelumnya hanya bisa menjilati tulang belulang kini melihat mangsa baru melangkah ke luar mobil. Keluarga singa mulai bangun, lalu perlahan melangkahkan kaki.
“Awas singa!” Ford meneriaki Tricia untuk kembali ke mobil. Ford tahu, tentu sulit bila harus memegang dua benda dalam dua tangan. Apalagi dalam keadaan gugup atau panik, orang akan bingung mengingat mana barang yang penting dan kurang penting. Karena terpeleset, Tricia ternyata memilih menggenggam kunci, sehingga kamera terjatuh.
Kamera kesayangannya hancur berkeping-keping menimpa akar pohon yang sekeras batu. Ford melompat turun dari mobil. la meringis kesakitan saat menjejakkan kaki ke tanah, menerobos rerumputan, mendekati Tricia. Beberapa kali ia terjatuh, sambil tak henti berteriak memarahi Tricia. Tricia cuma menangis ketakutan, takut pada Ford juga pada singa.
Saat singa mulai mengendap-endap, Tricia tiba-tiba berlari ke mobil melalui arah yang berbeda dengan yang dipilih Ford. Mesinnya segera dinyalakan dan mobil dijalankan. Melihat itu Ford berteriak-teriak memanggil sambil mengejar, melambai-lambaikan tangan. Tanpa ia ketahui, singa pemburu telah makin dekat dan siap untuk menerkam. Tricia sempat menengok, sambil menginjak pedal gas makin dalam. Siapa bilang Tricia tidak bisa mengemudi? Meski memang ia tak pernah punya SIM.
Teriakan Ford masih terdengar di kejauhan sampai beberapa detik kemudian, sebelum lenyap ditelan angin padang. Dari kaca spion Tricia tak melihat tubuh tegap Ford. Yang ada cuma kerumunan singa yang ditunggui serigala di kejauhan menanti sisa-sisa buruan.
Langit terang oleh warna jingga, khatulistiwa makin hitam. Dua kilometer berikutnya ia berpapasan dengan pasangan Amerika.
“Apakah ada yang menarik dari arahmu?”
“Tidak ada apa-apa,” sahut Tricia singkat, “Kalian cuma buang-buang waktu.”
Pria itu berbalik mengikuti Tricia kembali ke kamp. Dua menit menjelang pukul enam saat mereka tiba di Thaba, mobil mereka adalah yang terakhir kembali ke kamp. Gerbang pun segera ditutup rapat. (Ruth Rendell)
Baca Juga: Gara-gara Killing Me Softly
" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635956/pergulatan-di-padang-safari" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945314000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3110525" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/mobil-wolseley-yang-dikuntit-for-20220208043845.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "Tim Intisari" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(224) ["email"]=> string(24) "onlineintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(57) "Mobil misterius menjemput seorang pria dan tidak kembali." ["section"]=> object(stdClass)#60 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/mobil-wolseley-yang-dikuntit-for-20220208043845.jpg" ["title"]=> string(39) "Mobil Wolseley Yang Dikuntit Ford Sedan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:27:43" ["content"]=> string(35633) "
Intisari Plus - Dalam bulan November 1946, seorang wanita yang kelihatannya kaya raya mulai sering mengunjungi bar di sebuah hotel. Hill Hotel namanya, di Kota Reigate, tidak jauh dari Kota London.
Wanita itu cantik, pakaiannya baik, dan rambut pirangnya dipelihara sampai sebahu. Usianya kira-kira 35 tahun.
Meskipun sudah beberapa kali mengunjungi bar itu, tidak ada orang di hotel yang mengetahui siapa nama wanita tersebut. Meskipun kaum wanita di Inggris sifatnya bebas, namun tetap kedatangannya yang seorang diri itu menarik perhatian. Sopirnya selalu menunggu di luar, dalam sebuah limusin merek Wolseley.
Namun segera diketahui bahwa di antara orang yang berada di hotel itu, hanya Jack Mudie-lah yang diperhatikannya, yaitu petugas bar itu, seorang pemuda tampan yang baru berusia 26 tahun.
Rekan-rekan Jack sering menggoda bahwa ia harus berbangga menarik perhatian seorang wanita yang begitu cantik dan berada pula. Tetapi Jack selalu berdalih. "Satu-satunya yang kami bicarakan adalah maksudnya untuk mengadakan suatu pesta di rumahnya di London untuk sejumlah tamu terkemuka. Saya dimintanya untuk mengurus minuman pesta malam itu. Berarti penghasilan ekstra buat saya. Saya hanya bisa melakukannya Kamis malam, malam satu-satunya saya bebas."
Kemudian pada permulaan minggu terakhir bulan November 1946, Jack Mudie menerangkan kepada rekan-rekannya bahwa wanita berambut pirang itu akan menyelenggarakan pestanya pada hari Kamis, 28 November. Sorenya, pukul 18.00, Jack sudah selesai dengan pekerjaannya. Wanita itu akan menjemputnya dengan mobil Wolseleynya.
Buntut nomor mobilnya 101
Kamis, 28 November, pukul 18.00 benar-benar Wolseley itu berhenti di depan Hill Hotel dan Jack masuk ke dalamnya. Seorang portir hotel sempat melihat bahwa mobil Wolseley itu segera diikuti oleh sebuah Ford sedan berwarna hitam.
Pada hari Sabtu, 30 November, pukul 17.00, seorang petani melewati jalan sepi di sebuah desa kira-kira 10 km dari Kota Reigate. Secara kebetulan sekali ia melihat ke jurang di pinggir jalan. Apa yang dilihatnya membuat dia segera menelepon polisi: seorang pria terbaring telungkup dengan seutas tali di lehernya.
Dua detektif dengan seorang dokter segera datang. Dari surat-surat yang ditemukan dalam saku mayat diketahui bahwa korban adalah Jack Mudie, dengan pekerjaan sebagai petugas bar Hill Hotel, Reigate.
Dokter yang memeriksa mayat itu menarik kesimpulan, Jack mati dijerat dan menurut taksirannya kematian itu terjadi kira-kira 48 jam sebelumnya. Jadi hari Kamis, 28 November.
Mulai Sabtu malam sampai keesokan harinya para detektif memeriksa pengurus Hill Hotel dan para karyawan lainnya. Si manajer membuka arsipnya dan menerangkan bahwa Jack mulai bekerja pada tanggal 1 Juli 1946 dan tinggal di hotel itu juga. Sebelumnya ia bekerja di sebuah hotel di Wimbledon, hanya beberapa kilometer dari Reigate. Di situ Jack membayar makan pada seorang wanita yang membuka rumah indekos.
Perangai Jack tidak tercela.Begitu pula penilaian majikan Jack sebelumnya. Kata manajer Hill Hotel, "Jack seorang yang baik, jujur. Saya tak mengerti mengapa ada orang yang ingin membunuhnya."
Lebih dari itu manajer tak dapat memberi keterangan apa-apa. Barulah dari rekan-rekan Jack para detektif mendengar cerita tentang wanita berambut pirang yang datang dengan mobil mewah merek Wolseley dan tentang pesta yang dilayani Jack pada Kamis malam di suatu tempat di London.
Dari portir, para detektif itu pun mendengar cerita tentang mobil Ford berwarna hitam yang segera menguntit Wolseley yang dikendarai seorang sopir dan ditumpangi Jack serta wanita berambut pirang itu. Sayang, portir itu tidak memperhatikan nomor mobilnya.
Para detektif membongkar kamar Jack: banyak surat dari sanak saudara dan sahabatnya, tetapi tidak ada yang mengandung keterangan alamat atau nomor telepon wanita berambut pirang itu.
Selagi mengadakan pemeriksaan ini datanglah manajer hotel. Katanya, ada seorang tamu yang ingin berjumpa dengan para detektif itu.
Ternyata tamu itu seorang penduduk desa di mana mayat Jack ditemukan. la mendengar berita pembunuhan ini dan merasa wajib menemui polisi. Siapa tahu keterangannya dapat membantu polisi.
"Rabu, jadi sehari sebelum terjadinya pembunuhan, kira-kira pukul 18.00, ketika cuaca mulai gelap, saya kebetulan berjalan-jalan dekat jurang dan melihat sebuah mobil sedan hitam merek Ford diparkir di pinggir jalan. Saya tak sanggup melukiskan wajahnya, karena ketika mendengar langkah-langkah saya, ia buru-buru melompat ke dalam mobil dan melarikannya kencang-kencang.”
“Sebelumnya ia menghidupkan lampu mobilnya, karena itu saya bisa melihat nomor mobilnya dari belakang. Terdiri atas dua bagian. Bagian huruf tiga buah (ADC, FHK, misalnya, Red.). Bagian angkanya tiga buah juga. Hurufnya tak dapat saya tangkap, tetapi sebagian angkanya jelas sekali: 101."
Info ini berharga sekali nampaknya. Menurut portir hotel, mobil sedan hitam yang membuntuti mobil Jack itu mereknya Ford. Bila mobil Ford yang dilihat penduduk desa itu memang sama, maka ini berarti pengemudinya sengaja datang ke situ kurang dari 24 jam sebelum terjadinya pembunuhan, sekadar untuk memeriksa tempat di mana calon korbannya akan dibuang.
Para detektif itu mengucapkan terima kasih kepada penduduk desa itu. Kekurangan pada nomor mobil... 101 itu bisa dimintakan bantuan pada Scotland Yard. Tetapi siapa wanita berambut pirang yang bermaksud mengadakan pesta di rumahnya di London itu?
Tidak ada yang berambut pirang
Scotland Yard di London diberi laporan dan pada hari Senin, 2 Desember, polisi di Reigate mendapat kunjungan seorang terkemuka dari Scotland Yard, Inspektur Detektif Arthur Philpott.
Sosok tubuh Inspektur Philpott mirip seorang atlet, tetapi pandangannya seperti seorang profesor. Pakaiannya rapi. Topinya bundar (bowler hat) dan selalu ada payung hujan yang digulung ketat seperti tongkat di tangannya.
la duduk dan mendengar uraian kedua detektif yang melakukan pekerjaan persiapan. Setelah mereka selesai, Philpott memilin kumisnya dan mulai membuat lingkaran di lantai dengan ujung payungnya.
"Soal nomor mobil itu tidak sulit. Alat elektronik (IBM) di Yard yang dapat memecahkannya. Cuma tinggal menekan tombol kemudian bisa diketahui semua nomor mobil di Inggris merek Ford berwarna hitam yang nomornya mengandung 101."
Dengan tersenyum pahit Philpott melanjutkan, "Tapi wanita berambut pirang ... itu soal lain. Sayang, di Scotland Yard tak ada mesin yang dapat menyebutkan nama dan alamatnya."
"Ada dua kemungkinan. Pertama, ia sungguh-sungguh kaya dan mengadakan pesta. Dalam hal ini ia sendiri sasaran utama dari si pembunuh dan kematian Jack Mudie hanya suatu kebetulan tak disengaja."
"Kedua, ia tidak kaya dan tidak bermaksud mengadakan pesta di London. Untuk ini mengapa ia mesti mencari pengurus minuman untuk pesta itu sampai ke Reigate, di luar Kota London? Setiap pengurus restoran di London dapat menyediakantenaga yang dibutuhkan selama beberapa jam saja."
"Sudah beberapa kali terpikir oleh saya: apakah kebetulan pesta itu diadakan Kamis malam, hari di mana Jack bebas, atau sengaja ditentukan pada Kamis malam setelah wanita berambut pirang itu mengetahui bahwa Jack hanya bebas pada malam itu? Sehingga wanita itu memegang peranan sebagai perangkap untuk mengajak Jack ke luar dari hotel?"
Philpott menelepon Scotland Yard. Tak ada wanita berambut pirang yang dilaporkan hilang. Lalu ia meninggalkan Kantor Polisi Reigate untuk mengunjungi rumah di mana Jack Mudie pernah mondok sebelum bekerja di Hill Hotel.
Rumahnya bertingkat tiga. Wanita pengurus rumah pemondokan itu tinggal di tingkat pertama. "Bisa saya tolong, Tuan?" begitu Philpott disambut ramah.Philpott memperkenalkan diri dan menanyakan latar belakang Jack Mudie. Wanita itu menerangkan bahwa selama tinggal di rumahnya sampai tanggal 1 Juli Jack dikenal sebagai pemuda yang sopan santun. Pergaulannya dengan penghuni lain selalu baik.
"Penghuni lainnya siapa saja?" tanya Inspektur Philpott. Lalu penghuni rumah itu menerangkan bahwa tingkat kedua disewakan kepada sepasang suami-istri muda, Barron.
Di tingkat ketiga ada beberapa kamar. Penyewanya Jack Mudie dan seorang lagi Mayor Romer. la sahabat Tuan dan Ny. Barron.
"Tak ada orang lain yang pernah dikenal selama Jack tinggal di sini?" tanya Philpott.
Pemilik rumah pemondokan itu berpikir sebentar. Benar, pada permulaan Juni, ketika Ny. Barron jatuh sakit dan harus ke rumah sakit, ibunya, yaitu Ny. Maggie Brook, seorang janda yang agak lanjut usia, datang dari London dan mula-mula untuk merawat putrinya. Kemudian ia mengurus menantunya ketika putrinya masuk rumah sakit.
Ketika beberapa hari kemudian putrinya pulang dari rumah sakit, Ny. Maggie Brook pun kembali ke London. Jadi perkenalan Jack dengan nyonya janda itu sebentar saja.
Philpott agak kecewa. Apalagi ketika ternyata Ny. Maggie Brook (66) dan putrinya tidak berambut pirang. Tak seorang pun penghuni rumah itu yang memiliki Ford hitam, apalagi mobil mewah Wolseley.
Bekas hukuman mengganti warna mobilnya
Sementara itu mesin-mesin elektronik di Yard telah menghasilkan daftar mobil Ford hitam di seluruh negeri ini yang nomor polisinya berakhir dengan angka 101. Philpott sendiri memeriksa dan menanyai pemilik mobil tersebut. Mula-mula tak berhasil. Baru pada tanggal 10 Desember muncul sesuatu yang menarik perhatian Philpott.
Sebuah Ford hitam nomor FGP-101 dipunyai oleh sebuah perusahaan penyewaan mobil di London. Sejak Senin, 25 November 1946 mobil itu disewakan selama seminggu kepada seorang tukang kayu, Lawrence Smith. Ia tinggal di pinggir Kota London.
Tukang kayu itu mengembalikan mobil sewaannya seminggu kemudian dan membayar sewa sebanyak 14 (atau AS $ 56,42 kurs waktu itu). Menurut Philpott, jumlah itu terlampau tinggi bagi seorang tukang kayu biasa. Maka diputuskanlah untuk mendatanginya.
Usianya 30-an, bekas anggota RAF selama perang, mempunyai karier baik, berkeluarga dan mempunyai tiga anak, hanya ia sudah bercerai dari istrinya yang tinggal di Leicester bersama anaknya, jauh dari London.
Atas pertanyaan Philpot, tukang kayu itu terus terang menyatakan bahwa karena sudah bercerai ia sering bergaul dengan wanita lain. Maklum mereka suka keluar dengan laki-laki bermobil.
"Hari Senin dan Selasa malam saya keluar bersama beberapa wanita. Mengenai hari Rabu dan Kamis saya bekerja sampai jauh malam. Kalau Tuan tak percaya, tanyakanlah pada orang yang memberi saya pekerjaan waktu itu. Jadi tak mungkin saya menengok jurang maut itu pada Rabu malam atau tersangkut dalam pembunuhan yang terjadi Kamis malam."
Si tukang kayu menerangkan bahwa ia tak pernah kenal orang bersama Jack Mudie. Yang memberi pekerjaan sampai jauh malam kepadanya adalah Honourable Thomas John Ley yang mendiami sebuah rumah indah di Beaufort Gardens yang sedang diperbaikinya.
Philpott mengenai nama Ley, seorang penduduk London yang miskin di masa kecilnya. Kemudian dalam usia delapan tahun pindah ke Australia di mana dia menjadi ahli hukum dan hartawan, dan pernah menjadi anggota parlemen, bahkan juga sebagai pendidik, menteri perburuhan, menteri perindustrian, dan akhirnya sebagai menteri kehakiman untuk negara bagian New South Wales. Kemudian ia pindah ke Inggris, usianya hampir 70 dan kaya luar biasa.
Philpott mengunjungi Honourable Thomas Ley di rumahnya yang memang sedang diperbaiki. Ketika Philpott menyebut-nyebut perkara pembunuhan Jack Mudie seketika itu juga Ley memperlihatkan perhatian yang besar. Bukankah ia pernah menjadi menteri kehakiman di Australia? Lalu ia bercerita tentang pengalamannya sebagai ahli hukum di benua itu.
Pada suatu saat ia berhenti lalu berkata lagi, "Maaf, Tuan datang untuk menanyakan tentang Lawrence Smith, si tukang kayu? Memang Rabu dan Kamis ia bekerja di sini sampai jauh malam. Lemari buku saya harus diselesaikan karena hari Jumat tukang cat akan datang."
Philpott meninggalkan rumah bekas menteri kehakiman itu dengan perasaan kecewa. Nama Lawrence Smith dicoretnya dari daftar tersangka. Kini ia mengunjungi seorang pemilik mobil Ford sedang hitam lain.
Carmichael namanya dan tinggal di London. Nomor polisi mobilnya HKG-101. Ternyata Carmichael pernah dihukum karena menipu. Pembantunya dalam penipuan ini adalah seorang wanita yang tidak dikenal namanya.
Perhatian Inspektur Philpott makin besar oleh karena seminggu setelah Jack Mudie mati dibunuh, Carmichael mengecat biru mobil Fordnya yang tadinya hitam itu.
Surat aneh
Carmichael dibayangi oleh orang-orang Philpott, sedangkan dia sendiri pergi ke Hill Hotel untuk memeriksa kamar Jack Mudie. Segel yang mengunci kamar itu dirusak.
Di antara surat-surat yang ada di situ, tak satu pun yang menyebutkan nama Carmichael, tetapi ada dua dokumen yang amat menarik perhatiannya. Kedua surat itu ditujukan kepada Jack Mudie. Kedua-duanya ditulis di atas kertas surat yang memakai nama perusahaan "Connaught Properties Ltd., King William Street, London" dan ditandatangani oleh manajer perusahaannya.
Surat yang pertama tertanggal 10 Juli 1946 menerangkan bahwa Ny. Maggie Brook adalah seorang anggota direksi perusahaan Connaught tersebut. Tetapi perusahaan tersebut tidak dapat menghubungi Ny. Maggie Brook, sedangkan tanda tangan nyonya tersebut dibutuhkan
untuk sejumlah cek.Cek terlampir pada surat yang ditujukan kepada Jack Mudie. Dapatkah Jack Mudie menyampaikan cek itu kepada Ny. Maggie Brook agar dapat ditandatanganinya?
Demikianlah intisari surat yang mengherankan itu: sebuah perusahaan yang tak dapat menghubungi direksinya lalu minta pertolongan orang lain. Apa hubungan antara perusahaan ini dengan Jack Mudie atau dia dengan nyonya janda berusia 66 tahun itu?
Surat yang kedua tertanggal 13 Juli. Isinya mengaku menerima cek yang dikembalikan Jack tanpa berisi tanda tangan Ny. Maggie Brook. Surat yang ditandatangani oleh manajer perusahaan Connaught itu menerangkan lebih jauh:
"Saya ingin menegaskan Tuan Mudie yang terhormat bahwa saya tidak mengerti insiden ini. Saya tidak pernah menulis surat kepada Tuan tertanggal 10 Juli. Demikian juga saya tidak pernah mengirim cek kepada Tuan. Bila Tuan memiliki surat atas nama saya, jelaslah bahwa surat itu palsu. Rupanya orang yang tak dikenal itu menyalahgunakan buku cek perusahaan kami, tapi saya tentu paham bagaimana harus menjumpainya. Saya mohon maaf bahwa Tuan telah terganggu."
Inspektur Philpott membandingkan tanda tangan kedua surat itu dan harus mengakui bahwa keduanya berbeda. Ia berpikir dan teringat pada percakapannya dengan wanita pemilik rumah indekos yang pernah ditinggali Jack Mudie.
Ketika masih tinggal di sana, Jack dan Mayor Romer menyewa kamar di tingkat paling atas, sedangkan tingkat dua ditinggali pasangan Barron. Ketika Ny. Barron sakit, ibunya, yaitu Ny. Maggie Brook, menginap di rumah itu. Rupanya nyonya inilah yang menjadi anggota direksi perusahaan Connaught.Tetapi ini tidak memecahkan teka-teki kedua surat itu. Cek yang disertakan pada surat pertama itu ternyata tidak sah. Suratnya sendiri palsu. Karena Jack mengembalikan cek itu dan menuntut keterangan tertulis mengenai ini berarti ia tak senang menerima cek tersebut.
Inilah pikiran Inspektur Philpott. Menarik tetapi tetap gelap. Akhirnya, kedua surat itu dimasukkan kembali ke dalam kantung bajunya dan meskipun sudah hampir malam ia pergi juga ke Wimbledon, ke rumah indekos Jack dulu.
Kali ini ia tidak minta bertemu dengan pemilik rumah itu, melainkan dengan penyewa tingkat kedua, suami-istri Barron. Hanya Ny. Barron yang ada di tempat. Suaminya bersama Mayor Romer (yang menyewa kamar di tingkat tiga) sedang main bridge di luar kota.
Ny. Barron tidak bersedia memberi keterangan tentang ibunya dan hubungannya dengan perusahaan Connaught. "Lebih baik bicara dengan suami saya saja," katanya. "Besok ia bisa menerima Tuan." Tetapi sebelum Inspektur Philpott pergi, wanita itu masih bersedia memberi alamat ibunya di Cromwell Road, London.
Dari pelayan rumah di Cromwell Road itu Inspektur Philpott mendengar bahwa Ny. Brook tidak ada di rumah, tetapi sedang makan malam di sebuah restoran tak jauh dari situ.
Philpott segera dapat menentukan siapa Ny. Brook. Di seluruh rumah makan itu hanya ada satu wanita yang sudah putih rambutnya, namun masih nampak sisa-sisa kecantikannya dahulu. Di seberang mejanya duduk seorang pria yang sudah setengah ubanan. Mereka berdua sedang asyik membicarakan sesuatu.
Philpott berjalan memutar untuk melihat wajah teman makan Ny. Brook. Ketika jelas wajahnya, jantung Inspektur Philpott berdetak lebih kencang. Ternyata pria itu adalah Yang Terhormat Thomas John Ley, sarjana hukum, bekas Menteri Kehakiman Australia.
Mengapa Ley berada di sini? Untuk suatu tugas detektif? Mustahil! Ley hanya bisa mengetahui hubungan antara Pembunuhan Jack. Brook bila ia pernah melihat kedua surat yang dikirim kepada Jack. Tak masuk di akal kalau Ley mengetahui isinya.
Ketika Ley dan Ny. Brook meninggalkan restoran, Philpott mengikuti mereka. Ia masih sempat melihat Ley mencium wanita itu di depan pintu rumahnya, lalu meneruskan perjalanannya dengan sebuah taksi.
"Sepupu" yang boros
Philpott pun pulang dan merenungkan apa yang dialaminya. Keesokan harinya ia bertemu dengan detektif yang membayangi Carmichael. Laporan itu sudah diduganya lebih dulu: yaitu Carmichael tak ada sangkut-pautnya dengan kematian Jack.
Ketika Jack dibunuh, Carmichael sedang berada di Irlandia bersama mobil Ford hitamnya. Sekembali dari perjalanannya itu ia memang mengecat mobilnya menjadi biru, tetapi ini atas permintaan istrinya agar sesuai dengan warna rok yang baru dibelinya
Dalam pembicaraann dengan manajer perusahaan itu pertanyaan pertanyaan yang diajukan disusun secara hati-hati oleh Philpott.
Ia tak mengatakan bahwa ia sedang menyelidiki perkara pembunuhan. Nama Jack pun tak disebutnya. Namun begitu baiknya susunan pertanyaan hingga ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Pemegang saham utama dan presiden direkturnya adalah Honourable Thomas John Ley. Ia datang ke kantor hanya kadang-kadang untuk memeriksa buku dan korespondensi, akan tetapi kantornya yang sesungguhnya adalah di tempat kediamannya sendiri. Ny. Maggie Brook anggota direksi perusahaan itu hanya secara formal, berkat pengangkatan Ley sendiri.
Di samping manajer perusahaan, hanya satu orang yang dapat menguasai buku cek perusahaan dan orang itu adalah Thomas Ley sendiri. Mengenai hubungan antara Ley dan Ny. Maggie Brook, manajer itu segan memberi keterangan meskipun akhirnya tertumpah juga dari mulutnya.
Ny Maggie Brook adalah piaraan Ley sejak 23 tahun silam, sejak suaminya meninggal di tahun 1923. Mereka hidup bersama dan lalu berpisah pada saat pembunuhan Jack terjadi. Jadi hanya bersifat sementara, karena rumah Ley sedang diperbaiki.
Philpott pun mendapat keterangan bahwa Ley mempunyai rekening di Midland Bank, tak jauh dari kediaman Ley. Philpott ke sana dan bercakap-cakap dengan pembesar bank itu. Keterangan yang didapatnya membuka matanya.
Selama beberapa bulan Ley hanya membayar £ 10 setiap minggu kepada tukang kayu. Tetapi tidak lama setelah Jack dibunuh, Ley membuka rekening untuk si tukang kayu itu sebesar £ 3OO. Jarang sekali Ley mengeluarkan uang banyak sekaligus, kecuali selama dua minggu terakhir dalam bulan November itu, yaitu £ 550 kontan.
Menurut pembesar bank, dalam bulan Juni dan awal Juli, Ley pun mengambil uang dalam jumlah besar, juga untuk membiayai seorang detektif pribadi. Inspektur Philpott mengunjungi detektif itu yang segera mengeluarkan sehelai catatan dari arsipnya: Ley datang pada tanggal 1 Juni. la mempunyai seorang saudara sepupu yang sudah lanjut usianya - Ny. Maggie Brook namanya - juga kaya hanya agak boros. Ia suka menghambur-hamburkan uang, terutama kalau didekati seorang pria.
"Menurut Ley, ia sanggup mengawasi saudara sepupunya itu selama ia berada di London. Tetapi karena wanita itu dalam bulan Juni baru saja berangkat ke Wimbledon untuk merawat putrinya, maka Ley agak khawatir. Ley minta kepada kantor detektif itu untuk mengawasi rumah di mana Maggie Brook menginap, di Wimbledon, dan melaporkan setiap pria yang datang ke Sana."
"Nah, permintaan itu kami kabulkan. Bukan suatu pekerjaan yang sulit. Ternyata Ny.Maggie Brook hanya mengenai tiga pria yang juga berdiam di rumah itu, yaitu menantu lelakinya, Arthur Barren, penyewa kamar yang namanya Mayor Romer, dan seorang penyewa juga bernama Jack Mudie, penjaga bar."
Tanya Philpott, "Pada permulaan Juli, Jack Mudie pindah dari Wimbledon. Apakah Tuan juga mencari tahu ke mana ia pindah?"
"Ya. Ia pindah ke Hill Hotel, di Reigate. Ley menyuruh saya mencari tahu itu karena katanya Jack Mudie meminjam uang dari Ny. Maggie Brook."
Harus memberi laporan setiap jam
Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari ini Inspektur Philpott datang ke kantor Scotland Yard. Orang-orangnya yang tadinya membayang-bayangi Carmichael kini diperintahkan mengawasi gerak-gerik Lawrence Smith, si tukang kayu.
"Smith mempunyai alibi saat Jack Mudie dibunuh, tetapi alibinya adalah Ley. Tapi kini tampaknya Ley sendiri tersangkut dalam pembunuhan dan ia juga memberi banyak uang kepada tukang kayu. Mungkin juga kepada orang lain. Misalnya kepada wanita berambut pirang dan sopirnya yang selalu mengendarai mobil Wolseley, juga sopir Ford hitam itu. Mungkin kita bisa mendapat banyak kepastian dari si tukang kayu."
Malam itu ketika Inspektur Philpott kembali mengunjungi rumah keluarga Barron, ia bertemu dengan tuan rumah dan kawannya, Mayor Romer Philpott mewawancarai mereka bersama-sama. Pada saat Philpott menyebut nama Ley, kedua pria itu saling memandang dengan air muka mencerminkan kekhawatiran dan perasaan marah.
"Sekalipun kaya dan orang penting, Ley orang edan. Ia tidak sadar bahwa dia dan Ny.Maggie Brook sendiri sudah hampir 70 tahun. Ley sangat pencemburu. Ketika wanita itu tinggal di sini merawat putrinya,
Ley tengah malam menelepon dan meminta keterangan apa yang dilakukan wanita itu setiap jam selama satu hari itu. Ia menuduh wanita itu main gila dengan sang mayor karena kebetulan Mayor Romer tinggal serumah," tutur Arthur B.
"Kemudian ketika istri saya masuk rumah sakit, Ley menuduh Ny. Brook main gila dengan saya, menantu lelakinya sendiri!"
"Beberapa hari setelah istri saya pulang dari rumah sakit, Ley mendadak datang ke sini pada pukul 02.00 pagi buta dan menuntut agar Ny. Brook segera berangkat bersamanya ke London. Tindakannya tidak keruan dan bahasanya kasar. Ia menuduh wanita itu berbuat serong dengan Mayor Romer, saya, dan Jack Mudie yang diam di tingkat tiga. Ley berteriak-teriak seperti orang gila. Untuk menenangkannya, Ny. Maggie Brook mengemasi pakaian lalu berangkat."
"Akhirnya, pada permulaan Juli, Ley mencoba beberapa kali memancing saya dan Mayor untuk pergi ke satu tempat yang sepi. Tetapi tak kami hiraukan."
Seluruh keterangan Barron ini diperkuat oleh Mayor Romer. Inspektur Philpott berpamitan. Mukanya serius. Mulutnya terkunci rapat. Setiba di kantornya di London ia menerima laporan dari anak buahnya yang membayangi tukang kayu, Lawrence Smith.
Ia sudah selesai dengan tugasnya di rumah Ley. Ia banyak membeli pakaian baru dan kepada beberapa kawannya ia mengatakan akan meninggalkan Inggris. Mungkin untuk beremigrasi ke Afrika Selatan.
Inspektur Philpott mendapat pikiran baru. Dia mengadakan konferensi dengan beberapa wartawan Scotland Yard. Sampai begitu jauh pembunuhan Jack ini hanya mendapat sedikit perhatian dari pers. Beritanya dimuat di halaman belakang. Tak ada salahnya kalau
beritanya dibuat lebih mencolok.Philpott menentukan bahwa semua fakta terpenting boleh disiarkan kepada pers, kecuali penyebutan nama si tukang kayu, Ny. Brook, dan Thomas Ley. Sebaliknya, tekanan harus diletakkan pada wanita berambut pirang yang dalam hari-hari terakhir di bulan November sering
naik mobil Wolseley yang dikemudikan sopirnya (di Inggris jarang orang mempunyai kendaraan pribadi berikut sopir. Maka sinyalemen di atas tidak begitu sulit, Red.).Sabtu, 14 Desember 1946, Inspektur Philpott bangun pagi. Di pinggir jalan dibelinya sejumlah harian pagi dan ia merasa puas bahwa liputan pers Scotland Yard mendapat tempat di halaman depan.
Pak Inspektur menengok mantan jago tinju
Ia pergi ke kantornya. Ia menanti perkembangan sambil menulis perkara itu. Tak lama sebelum tengah hari teleponnya berdering. Ternyata telepon dari agennya yang membayangi Lawrence Smith.
Smith pergi ke sebuah rumah minum di Kota Brixton dan di rumah minum itu ia dikunjungi. Dua penduduk Brixton: John Buckingham Senior, seorang mantan jago tinju, dan John Junior, anaknya.
"Buckingham Senior memiliki sebuah perusahaan yang menyewakan mobil lengkap dengan sopirnya. Salah satu mobil mewah yang disewakannya adalah limusin Wolseley dan sopirnya adalah anaknya sendiri. Barangkali ada baiknya bila Pak Inspektur sekali-kali datang menengok."
"Saran ini dianggap tepat oleh Philpott. Secepat mungkin ia menumpang kereta api bawah tanah. Setiba di Brixton ia mendekati rumah minum.
Kebetulan pada saat itu datang sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang anak muda 20-an. Ia keluar dari mobil itu bersama seorang wanita cantik kira-kira 35 tahun dan berambut ... pirang sampai sebahunya.
Mereka masuk dan sesaat kemudian datang mobil lain. Di dalamnya adalah salah seorang agen Philpott sendiri.
Inspektur Philpott memberi isyarat dan mengajak agen itu bicara di tempat lain. la menuturkan: "Beberapa saat sebelumnya si tukang kayu bertengkar dengan Buckingham Senior dan Junior di sebuah pojok rumah minum itu dan selama pertengkaran itu Buckingham Senior menunjuk pada berita di halaman depan surat kabar pagi itu. Lalu Buckingham Senior menyuruh putranya menjemput seseorang. Dia saya ikuti. Ternyata ia pergi ke suatu rumah beberapa kilometer dari sini dan membawa wanita yang barusan masuk. Ia bernama Lilian Bruce, istri seorang kondektur bus. Kemudian saya ikuti mereka ke sini."
Seperempat jam kemudian Lawrence Smith, Ny. Lilian Bruce, dan kedua Buckingham keluar dari rumah minum. Kedua Buckingham dan wanita berambut pirang itu memasuki sebuah mobil, sedangkan Lawrence Smith menuju stasiun kereta api bawah tanah.
Philpott masih melihat bagaimana kedua orangnya menguntit Smith. Lalu Philpott dengan seorang agen lain menaiki mobil polisi yang tidak memakai tanda-tanda kepolisian dan mengikuti mobil yang ditumpangi Buckingham dan Ny. Lilian Bruce.
Mobil ini berputar-putar selama satu jam di Kota London. Rupanya mereka sedang menentukan ke mana mereka akan pergi.
Akhirnya, mobil itu menuju ke pusat Kota London. Philpott merasa tertarik sekali ketika melihat bahwa mobil berhenti di depan kantor polisi itu dari pintu belakang. Ketika ia tiba, di meja tulisnya sudah ada berita tiga tamu yang menunggunya.
Pintu terbuka dan ketika tamu itu masuk, Inspektur memilin kumisnya dan menyebut nama mereka masing-masing hingga mereka terkejut dan ternganga.
Yang paling dahulu berbicara adalah Buckingham Senior. Secara terus terang ia bercerita sebagai berikut: Buckingham mengurus perusahaan mobilnya dari sebuah hotel di West End, bagian terbaik Kota London. Thomas John Ley sering makan di situ dan pada pertengahan November Ley bertanya, apakah ia bersedia melakukan suatu pekerjaan berat dengan bayaran sebanyak gaji setahun! Buckingham menyanggupinya. Ia pikir Ley seorang sarjana hukum dan mantan menteri kehakiman. Tentu segala sesuatu yang diperbuatnya tak akan bertentangan dengan hukum.
Menurut Ley, Jack Mudie telah memperkosa dua anak gadis dan ia ingin bertemu dengan Jack itu untuk memberi pelajaran kepadanya. Saran Ley adalah agar Buckingham dengan bantuan seorang wanita cantik memancing Jack ke rumah Ley di London, di mana sejumlah pengacara akan hadir memeriksanya kemudian menyerahkannya kepada polisi.
Ley mengirim Smith kepada Buckingham untuk menyusun suatu rencana pekerjaan. Akhirnya, putra Buckingham dan Ny. Lilian Bruce diikutsertakan. Ley menyediakan banyak uang.
Dengan mobil Wolseley yang dikendarai putra Buckingham, Ny. Lilian Bruce berlagak seperti wanita hartawan dan sering mengunjungi Hill Hotel, di mana Jack bekerja. Pada malam tanggal 28 November Ny. Lilian Bruce dengan "sopirnya" pergi ke Hill Hotel untuk penghabisan kalinya dan menjemput Jack.
Buckingham Senior dan Smith mengikuti dari belakang dengan sebuah Ford hitam. Setibanya di rumah Ley di London ternyata tak ada tamu lain selain mereka. Tidak ada pengacara. Apalagi polisi. Buckingham menerima sebuah sampul berisi uang dan bersama Lilian dan putranya pergi ke sebuah rumah minum untuk membagi uang itu.
Buckingham Senior atas nama anaknya dan Ny. Lilian Bruce memprotes bahwa mereka tahu Jack akan dibunuh. Ketika mereka tinggalkan Jack di rumah Ley, Jack masih hidup di bawah pengawasan Ley dan Smith.
Beberapa hari kemudian mereka bertemu dengan Smith yang menerangkan bahwa Jack telah menandatangani suatu keterangan dan sesudah itu dikirim ke luar negeri. Baru setelah membaca harian pagi itu ia tahu Jack menjadi korban pembunuhan.
Ia segera menelepon Smith dan mengajaknya bertemu di rumah minum Brixton. Mereka menuduh Smith melibatkan mereka dalam suatu kejahatan serius. Smith meminta mereka tutup mulut saja.
Surat pancingan
Philpott memasang pipanya dan menghirup tanpa berkata apa-apa. Suasana terasa mencekam sekali.
Telepon berdering. Ternyata dari seorang agen yang membuntuti Smith. "Ia sedang mengisi kopernya dan tampaknya mau melaporkan diri."
"Tangkap dia dan bawa kemari," perintah Philpott.
Tanya-jawab Inspektur Philpott dengan Lawrence Smith sore itu tidak begitu lancar. Ia mengaku ikut memancing Jack Mudie ke rumah Ley, tapi tak lama sesudah Buckingham pergi ia pun meninggalkan rumah Ley. Waktu itu Jack masih hidup. Ia sendiri pergi ke Kota Leicester, di mana ia menghabiskan Kamis malamnya sampai Senin pagi bersama istri yang telah diceraikannya dan dengan anak-anaknya.
Tapi pemeriksaan yang dilakukan Scotland Yard bertentangan hasilnya. Menurut para tetangga, Smith baru datang di rumah bekas istrinya pada hari Jumat. Jadi ada kemungkinan bahwa Smith Kamis malam itu masih di rumah Ley, mengangkut mayat Jack, dengan mobil Ford hitam itu ke jurang, di mana akhirnya mayat Jack ditemukan. Jurang yang sehari sebelumnya diperiksanya.
Keterangan keempat orang sewaan Ley ini cukup memberatkan Ley sendiri. Namun Phil pott tidak segera turun tangan. Selama beberapa hari ia mengawasi rumah Ley. Pada suatu sore ia mengajak sekretaris Ley ketika sedang berjalan ke luar untuk pulang. Meskipun segan pada mulanya, namun akhirnya mau juga dia bercerita.
Sebagaimana sudah lama diduga Inspektur Philpott, Ley-lah yang memalsukan surat dan tanda tangan manajernya sendiri, yang dikirimkannya kepada Jack Mudie beserta sejumlah cek yang katanya harus ditandatangani oleh Ny. Maggie Brook.
Sekretaris itu tidak mengerti mengapa bosnya bertindak begitu, tetapi Philpott dapat mengemukakan suatu teori yang masuk akal. Thomas John Ley seorang tua bangka yang amat pencemburu terhadap nyainya yang sudah 66 tahun itu.
Bila Jack Mudie mengirimkan cek itu ke alamat Ny. Brook, itu merupakan bukti bahwa ia tahu di mana wanita itu tinggal dan lebih dari itu lagi, ini mungkin berarti ada hubungan gelap antara mereka. Tetapi Jack menolak cek itu.
Tipu muslihat Ley gagal, karena Jack memang tidak bersalah dan tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan perempuan yang bisa jadi neneknya itu.
Namun sekretaris itu dapat membuktikan bahwa Ley tetap menyangka yang bukan-bukan pada Jack. Ley mendiktekan beberapa pucuk surat yang mengandung segala macam ancaman terhadap Jack.
Tetapi kemudian Ley mendapat pikiran lain. Surat-surat itu tak jadi dikirim. Sekretaris itu masih mempunyai catatan stenonya. Setelah lama dibujuk-bujuk, akhirnya sekretaris itu menyerahkan catatannya kepada Inspektur.
Potretnya tidak diturunkan
Pada tanggal 28 Desember 1946, sebulan setelah Jack meninggal, Inspektur Philpott mengunjungi mantan menteri kehakiman itu dan dengan hormat mengundangnya ke Scotland Yard. Ley rupanya tidak tahu bahwa ia akan ditangkap Sikapnya riang saja.
Perkara pengadilan Thomas John Ley dan Lawrence Smith menggemparkan tanah Inggris dan Australia, terutama karena Ley sendiri membela dirinya dan dalam pembelaan memperlihatkan dirinya sebagai pembohong besar.
Ia menyangkal segala-galanya. Tidak kenal Jack Mudie. Orang itu tidak pernah berada di rumahnya. Juga tidak pernah mendengar tentang Buckingham dan Ny. Lilian Bruce. Uang yang diberikannya kepada Smith itu pinjaman belaka. Menyewa orang untuk menculik Jack? Absurd. Nonsens!
Ny. Maggie Brook memberi kesaksian bahwa Ley memang memfitnah dia berbuat serong dengan Jack Mudie dan banyak pria lain. Selama sepuluh tahun terakhir ini ia tak pernah melakukan hubungan seksual dengan Ley, karena pria ini sudah impoten.
Ny. Lilian Bruce dan kedua Buckingham dipanggil untuk memberi keterangan. Mereka dibebaskan, kecuali Buckingham Senior, karena ketahuan melakukan desersi dari tentara selama perang. Ia dimasukkan ke penjara.
Sementara itu datang pula kabar angin dari Australia bahwa meskipun Thomas Ley pernah punya kedudukan tinggi di Australia, ternyata namanya tidak begitu bersih. Pernah dua lawannya dalam pemilihan umum mendadak hilang tidak berbekas. Sebagian orang berpendapat bahwa Ley ada sangkut-pautnya dengan menghilangnya dua tokoh lawan politiknya itu.
Ironis sekali bahwa selama menjadi menteri kehakiman, Ley pernah menolak permintaan ampun seorang pembunuh dengan kata-kata berikutnya: "Perkara ini perkara pembunuhan dan untuk itu tidak ada pengampunan."
Baik Ley maupun Smith dinyatakan bersalah membunuh Jack dan dijatuhi hukuman gantung. Kemudian hukuman si tukang kayu diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Ley diperiksa oleh tiga orang dokter ahli jiwa. Kata mereka, pikiran Ley tidak beres dan menyarankan agar Ley tidak dikirim ke tiang gantungan, tetapi ke rumah sakit jiwa. Orang yang paling hartawan yang pernah masuk rumah sakit! Beberapa bulan kemudian ia mati wajar di situ pada tanggal 24 Juli 1947.
Mungkin Smith masih hidup di penjara. Ley sudah dikuburkan. Akan tetapi potret Thomas John Ley masih tergantung di Kementerian Kehakiman di Sydney bersama dengan menteri kehakiman lainnya.
Pernah diadakan saran agar potret itu disingkirkan, akan tetapi Perdana Menteri Australia menolaknya. "Biarkan di situ. Dishonourable (Yang Tidak Terhormat) Thomas John Ley adalah jenis orang yang harus merupakan peringatan bagi para menteri kehakiman yang akan datang. (The Waiting Wolseley)
" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553110525/mobil-wolseley-yang-dikuntit-ford-sedan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348463000) } } }