Intisari-Online.com - Suatu malam di Savoy Hotel, juru pintu mendengar pertengkaran suami istri dari sebuah kamar dan memeriksanya. Ketika ia memeriksanya untuk kedua kali, ia melihat sang suami sudah tewas tertembak oleh istrinya, Madame Fahmy.
----------
Dini hari tanggal 10 Juli 1923. Ujung Barat London mengalami hujan lebat. Menurut penduduk London yang pernah tinggal di daerah tropis, baru sekali itulah London tertimpa hujan selebat “hujan tropis”. Badai juga menderu-deru, mengecutkan hati siapa pun yang ketika itu masih terjaga.
Juru pintu Savoy Hotel ketika itu justru sedang meronda di lorong-lorong hotel. Suara angin dan hujan hampir meniadakan suara-suara lainnya yang timbul selarut itu. Namun juru pintu masih cukup tajam pendengarannya untuk mendengar suara manusia bersilat kata di balik sebuah pintu suite. Dia ingat suite tersebut dihuni oleh sepasang suami istri dari Mesir.
Sebagai petugas keamanan hotel, juru pintu lalu mendobrak masuk. Begitu pintu terbuka, tampak olehnya wajah-wajah bengis. Sang suami, yang menurut daftar tamu bernama Pangeran Ali Fahmy Bey, menunjuk pada beberapa carut di tubuhnya. Sang istri memperlihatkan lehernya yang tampaknya baru saja lepas dari cekikan tangan-tangan perkasa.
Tanpa mengetahui apa yang baru terjadi, juru pintu mengatakan kepada suami istri dari Mesir itu supaya tidur saja karena hari masih malam. Melihat kedua orang itu mulai beranjak menuju kamar tidurnya masing-masing, juru pintu mundur dan menutup pintu masuk suite. Ronda pun diteruskan.
Belum juga mencapai ujung lorong, Iagi-lagi dia dikejutkan suara dari balik pintu suite yang baru saja diperiksanya. Sekarang suara itu lebih mengerikan, bukan sekadar kata-kata manusia yang sedang beradu pendapat. Dia mendengar tiga letusan senjata api.
Juru pintu kontan lari menghampiri suite dan kontan pula menerobos masuk. Adegan kedua ini memperlihatkan sang suami tergeletak di lantai dan berlumuran darah. Sang istri yang mengenakan gaun tidur model baby doll tampak berdiri tertegun. Di tangannya ada sepucuk pistol yang bertatahkan mutiara.
Naluri juru pintu memerintahkan untuk segera mencari pertolongan bagi yang terluka. Tetapi yang terluka ternyata tidak memerlukan pertolongan lagi. Pangeran dari Mesir itu meninggal sudah, di lantai suite yang disewanya di Savoy Hotel, London.
Polisi London tanggal 10 Juli 1923 akhirnya menangkap pembunuh yang sama sekali tidak dapat berbahasa Inggris. Wanita itu menjadi janda setelah ia menembakkan peluru-peluru maut. Dia bebas akhirnya dari ikatan yang di mata orang modern bak rantai yang mengikat kaki budak belian. Pagi itu koran-koran London asyik dengan cerita yang tampaknya begitu saja direnggut dari Kisah 1001 Malam.
Sebelum menikah dengan laki-laki yang memiliki gelar pangeran, wanita itu memiliki nama Marie Laurent Alibert. Ia adalah orang Paris dengan potongan tubuh dan raut wajah elok menurut rata-rata orang timur. Marie Laurent sudah bercerai dari suaminya, ketika dia pertama kali berkenalan dengan Fahmy di ibu kota Prancis.
Fahmy adalah seorang yang kaya raya. Dari ayahnya, dia baru saja mewarisi harta yang nilainya sebesar satu juta pound Mesir. Ayahnya merupakan insinyur kenamaan di Mesir. Tetapi berlainan dengan sang ayah yang sangat menekuni profesinya, Fahmy sama sekali tidak mau bekerja. Kegemarannya adalah berfoya-foya dengan segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh manusia. Salah satunya tentu saja bersenang-senang dengan lawan jenis.
Marie Laurent begitu terpesona dengan kejantanan Fahmy. Berkat kemurahan hati pria itu yang dilimpahkan padanya, Marie Laurent menjadi begitu penurut. Ia seperti wanita-wanita lainnya yang sebelum itu memasuki kehidupan Fahmy. Marie Laurent mengikuti Fahmy terus dalam perjalanan bersenang-senangnya. Mereka ke Deauville, Biarritz, Nice, dan Venice. Di siang hari, pasangan itu berbaring sambil bermalas-malas dan menikmati hangatnya sinar matahari. Malamnya mereka bercengkerama di hotel bak dua ekor kucing dewasa.
Di akhir musim panas yang membawa kenangan indah itu, Marie Laurent mendapat hadiah perhiasan yang entah berapa ribu pound harganya. Fahmy sendiri pulang ke Mesir.
Tidak sehari pun terlewati tanpa saling mengirim telegram cinta dari Lembah Nil ke Lembah Seine. Sayangnya Marie Laurent tidak bisa berbahasa Arab dan Fahmy tidak dapat berbahasa Prancis dengan baik. Isi telegramnya cukup jelas, intinya adalah keduanya tidak bisa kehilangan satu sama lain.
Lalu dari Mesir datang telegram yang memberi tahu bahwa Fahmy sakit keras dan Marie Laurent diminta untuk datang secepatnya.
“Kau tidak sakit!” teriak Marie Laurent ketika dilihatnya Fahmy berdiri di antara ribuan penjemput di pelabuhan. Fahmy membalasnya, “Bagaimana saya bisa sakit kalau engkau disini?” Sudah barang tentu Marie Laurent tidak marah ditipu demikian. Dia malahan kontan mengiyakan ketika Fahmy mengusulkan agar Marie Laurent berpindah agama agar bisa menikah dengan Fahmy. Bagi wanita Prancis yang sudah telanjur bercerai, ganti suami dan ganti agama sama mudahnya.
Marie Laurent kini bernama Madame Ali Fahmy Bey, karena Fahmy katanya bergelar “pangeran”. Tetapi Marie Laurent tidak mendapatkan gelar seperti suaminya di Mesir. Bagi Marie Laurent sudah lumayan, dia sudah menjadi istri Fahmy dan bukan gundiknya.
Hak antara istri dan gundik bisa berbeda. Tetapi bagi Fahmy, kewajiban semua wanita di sekelilingnya sama. Semua harus tinggal di harem yang dijaga ketat oleh para budak negro. Semua adalah pemuas nafsu suami.
Mesir sama sekali bukanlah surga dunia bagi Marie Laurent. Kesehatannya makin menurun dan kecantikannya memudar. Ia tidak memperoleh perawatan medis yang diperlukan. Hingga ia kembali ke Eropa, Marie Laurent mengikuti perjalanan suaminya yang memang tidak pernah betah tinggal di satu tempat yang sama.
Kali ini Fahmy ke Inggris. Dari Dover mereka berkereta ke London. Di kota itu tersedia sebuah suite di Savoy Hotel. Mme Fahmy ketika itu sudah sakit parah. Kesempatan berada di London itu digunakan Mme Fahmy untuk berkonsultasi dengan spesialis wanita.
Dokter Inggris menemukan Mme Fahmy sebagai rongsokan wanita, korban perlakuan semena-mena dari Iaki-laki yang sangat sadis. Mme atau Madame Fahmy harus dioperasi jika ia mau hidup lebih lama lagi. Ditunjukkannya alamat seorang spesialis di Paris.
Tiba di hotel, Mme Fahmy segera memerintahkan pelayan pribadinya supaya mengemasi koper-kopernya untuk berangkat ke Paris. Tetapi belum selesai koper-koper itu ditutup, Fahmy tiba-tiba kembali.
“Apa artinya semua ini?” tanya Fahmy.
“Saya mau ke Paris. Menjalani operasi di sana demi kesehatan saya!” jawab Mme Fahmy.
“Siapa bilang itu perlu?” tanya Fahmy kembali.
Mme Fahmy masih cukup jujur untuk menceritakan kunjungannya ke dokter spesialis. Meledaklah amarah Fahmy. Fahmy mulai menggerayangi istri Prancisnya. Perlakuannya itu dibalas oleh sang istri dengan cakaran-cakaran kuku panjangnya. Perkelahian terhenti oleh terbukanya pintu suite. Itulah adegan pertama yang disaksikan oleh juru pintu yang sedang meronda di lorong-lorong Savoy Hotel.
Beberapa bulan sebelumnya di Kairo, Mme Fahmy menulis kepada pengacaranya, Maitre Assouard. Dalam suratnya ia menuturkan bahwa ia mengalami siksaan-siksaan sadis dari suaminya. Salah satunya ketika berselisih, Fahmy tiba-tiba mengambil sebuah Al-Qur'an dan mengucapkan sumpah “Bilahi, engkau akan mati oleh tangan saya!”
Sejak itulah Mme Fahmy selalu berada dalam ketakutan. Pasalnya, sewaktu-waktu dia bisa mati oleh tangan suaminya. Amarah suaminya di Savoy Hotel 10 Juli 1923 merupakan tanda bagi Mme Fahmy bahwa saatnya telah tiba. Itulah sebabnya Mme Fahmy mengambil pistol dengan gagang bertatahkan mutiara dari kamarnya. Ia menembakkan tiga pelurunya ke arah Fahmy. Fahmy roboh ke lantai. Itulah adegan kedua yang disaksikan juru pintu.
Pada suatu hari di bulan September 1923, ruang nomor satu Old Bailey di London penuh sesak. Dalam boks tertuduh tampak Mme Fahmy. Dia mengenakan jaket hitam ketat yang dihiasi oleh bulu binatang di bagian lehernya. Kepalanya ditutup dengan topi hitam pekat.
Sidang pengadilan yang diketuai Hakim Swift menyediakan seorang penerjemah untuk Tertuduh. Suara penerjemah yang rendah dan berat itu makin berat kedengarannya bagi Tertuduh. Itu karena yang pertama disampaikannya sudah pasti kalimat-kalimat tuduhan perbuatan. Bila ia terbukti salah, maka hukuman mati sudah menanti. Mme Fahmy didampingi 2 pembela, Sir Edward Marshall Hall dan Sir Henry Curtis-Bennett atas permintaan Pengacara Freke Palmer.
Pemeriksaan perkara itu juga menarik perhatian orang banyak karena perbedaan hukum yang berlaku di Prancis dan Inggris dalam apa yang sering disebut sebagai ‘crime of passion’, ‘crime passionelle’ atau kejahatan akibat salah meluapkan cinta. Di Prancis dalam hal itu dilindungi dengan semacam kode tak tertulis, sedangkan di Inggris hukum tertulislah yang berlaku. Dari Mesir datang pula Maitre Assouard yang segera menyelesaikan urusannya dan berlayar ke London.
Ketika sampai gilirannya untuk berbicara kepada juri, Marshall Hall menegaskan bahwa Tertuduh yang sedang dipertimbangkan mati hidupnya itu pernah diteriaki oleh suaminya. Kata Fahmy padanya, “Engkau tidak akan lepas dari saya. Dalam waktu 24 jam engkau akan mati.”
Marshall Hall mengungkapkan pula soal surat yang isinya meminta agar Mme Fahmy jangan sekali-sekali pulang kembali ke Mesir. Satu kalimat, kata Marshall Hall, pernah membuat Mme Fahmy jatuh pingsan. “Waspada botol kecil berisi racun, senjata ampuh yang tidak terdengar suaranya maupun tampak rupanya!”
Tim pembela juga berhasil memohon pada hakim, agar Tertuduh diletakkan di boks saksi ketika bersaksi. Dan kemudian, apabila sampai pada hal-hal yang mesra, penerjemah diganti dengan pengacara wanita dari Prancis, Maitre Odette Simon. Ia sangat mahir berbahasa Inggris.
Kisah Tertuduh dimulai dengan perkenalannya dengan Fahmy, seorang pria yang sangat dominan. Awalnya ia menjadi kekasih dan kemudian sebagai calon suami. Tibalah pernikahan, yang dalam waktu beberapa jam saja merubah semua menjadi neraka bagi Mme Fahmy. Tindak tanduk Fahmy menjadi kasar. Fahmy menyewa budak-budak negro yang jadi kasim untuk mengawasi segala gerak-gerik Tertuduh.
Hadirin mendengar bagaimana, menurut Tertuduh, Fahmy mengucapkan sumpah demi Al-Qur'an untuk membunuhnya. Bagaimana Fahmy menembakkan peluru-peluru ke dekat telinganya, agar Tertuduh menurut dan mau melayani segala kemauan serta nafsu Fahmy. Katanya, Tertuduh pernah pula mengalami rahang copot akibat tamparan Fahmy.
“Mengapa Anda tidak meninggalkan dia saja?” tanya Marshall dengan tiba-tiba. Ia mewakili pertanyaan yang muncul di benak para juri.
“Kalau dia ramah, saya pun mencintainya,” jawab Tertuduh. “Tetapi dia pernah mengatakan, bahwa dia akan merusak saya dengan pasir dan air keras. Saya sangat takut padanya. Saya tidak dapat meninggalkannya.”
Sampai di sini Marshall Hall memotong lagi kisah Mme Fahmy dan memimpinnya hingga Mme Fahmy segera memulai bagian kisahnya. Saat di mana bumi Mme Fahmy runtuh di Savoy Hotel dalam amukan badai hujan. Tidak seorang pun dari hadirin tampak menyandarkan punggungnya, ketika tertuduh memulai bagian ini.
“Saya pergi ke atas, ke kamar tidur, seorang diri,” kata Tertuduh lirih. Pernyataannya diterjemahkan oleh Maitre Odette Simon dalam bahasa Inggris yang tidak kalah lirihnya.
“Hari itu hujan badai mengerikan. Saya selalu takut mendengar halilintar. Malam itu saya juga terlalu takut untuk tidur. Suami saya datang dan mengetuk pintu kamar tidur. Ketika saya tidak segera membukanya, dia memukul-mukul pintu dan berteriak-teriak. ‘Buka! Buka, ayo buka! Engkau tidak seorang diri!’ Pintu saya buka. Saya lalu minta uang untuk bekal perjalanan. Saya masih mengenakan pakaian malam.
“Dia mengajak saya untuk pergi ke kamar tidurnya, untuk melihat betapa banyak uang yang dimilikinya. Ada lembaran-lembaran satu pound Inggris, 2.000 frank Prancis. Saya minta bekal untuk ke Prancis. Kata suami saya, ‘Akan saya beri, asal engkau berbuat sesuatu untuk saya.’
“Dia mulai menarik-narik baju saya. Saya lari mencapai telepon, tetapi telepon berhasil direnggutnya dari tangan saya. Itu membuat tangan saya seperti terkilir.”
Tertuduh berhenti sejenak untuk mengatur napas yang sudah terengah-engah. Lalu sambungnya,
“Tiba-tiba dia memegang leher saya, katanya, ‘Akan saya bunuh kau sekarang.’ Ibu jarinya menunjam pada tenggorokan saya, sementara jari-jari lainnya menjepit bagian samping dan belakang leher saya. Saya tendang dan pukul dia. Dia mundur dan berkata, ‘Saya bunuh kau sekarang!’ Saya pukul dia sekali lagi. Saya lari menghampiri pintu masuk. Dia terus memukul saya di mana-mana dan meludah ke muka saya.”
Demikian adegannya ketika juru pintu hotel tiba-tiba mendobrak masuk untuk yang pertama kalinya. Cerita Mme Fahmy selanjutnya,
“Saya pikir dia mau pergi kembali ke kamar tidurnya. Tetapi ternyata dia masih berdiri di tempat semula, malahan berkata, ‘Akan saya balas kau.’ Dia mencoba menerkam saya, tetapi tangan saya berhasil menangkis terkaman itu.”
“Lalu apa yang terjadi dengan pistol itu?” tanya Marshall Hall kembali menyela. Tertuduh menjawab bahwa dia tidak mengetahui persis apa yang kemudian terjadi.
“Tahu-tahu suami saya sudah tergeletak di lantai. Saya berlutut di dekatnya. Saya pegang tangannya dan kata saya, ‘Manis, itu bukan apa-apa. Bicaralah, oh, bicaralah padaku.’”
Dalam pembelaannya, Marshal Hall mengeluarkan pula sepucuk surat yang ditulis oleh Mme Fahmy di hadapan Maitre Assouard pada tanggal 22 Januari 1923. Sebuah bukti bahwa selama 6 bulan penuh Tertuduh hidup dalam ketakutan, jangan-jangan hidupnya direnggut begitu saja oleh suaminya. Bunyi suratnya demikian,
“Saya, Marie Laurent Alibert, dalam keadaan sehat jiwa dan raga, dengan ini menuduh bahwa apabila saya mati akibat kekerasan atau lainnya, maka pastilah Ali Bey turut serta dalam usaha untuk menghilangkan nyawa saya. Kemarin, 21 Januari 1923, pada jam 3 siang, dia mengambil Al-Qur'an, menciumnya, meletakkan tangan di atasnya, dan bersumpah akan membalas besok atau dalam minggu, bulan, 3 bulan itu. Pokoknya saya harus musnah di tangannya. Sumpah itu diangkatnya tanpa sebab apa pun, entah itu cemburu atau kelakuan jahat lainnya. Dan bukan pula karena saya merengek-rengek. Saya menginginkan dan menuntut keadilan bagi anak dan keluarga saya.”
Tetapi ketika berbicara langsung kepada juri, Marshall Hall mendramatisasi adegan yang terjadi antara kunjungan juru pintu yang pertama dan kedua. Diulanginya lagi kisah Mme Fahmy di Savoy Hotel pada malam badai itu, dengan mengacungkan pistol bergagang mutiara dan membidikkan larasnya ke arah dahi ketua juri. Ditunggunya sampai 12 pasang mata anggota juri menatap senjata maut itu. Lalu kata Marshall Hall,
“Tanpa disadarinya, benda ini meletus.”
Bunyi “tus” pada akhir kalimat disertai dengan jatuhnya pistol dari tangan Marshall Hall ke lantai di depan ujung sepatunya.
Pembelaan Marshall itu juga diperkuat dengan keterangan ahli balistik terkenal Robert Churchill. Ia mengatakan bahwa pistol semacam itu memang sangat mudah sekali meletus. Dengan demikian penembakan itu mungkin hanyalah kecelakaan saja.
Juri memerlukan waktu 1 jam tepat untuk berembuk. Ketika ketua juri menyampaikan pendapat mereka bahwa Tertuduh “tidak bersalah”, Tertuduh memegang pinggiran boks erat-erat sambil berkata lirih, “Merci.”
Janda yang malang itu keluar dari Old Bailey sebagai manusia yang bebas dari segala tuduhan dan tuntutan. Mme Ali Fahmy Bey, terlahir Marie Laurent Alibert, dibawa oleh saudaranya ke Prince’s Hotel di Jermyn Street. Hari berikutnya, dia tampak menjual kisahnya pada sebuah koran yang sangat populer di Inggris. Ketika penggal pertama kisahnya terbit, Marie Laurent sudah berada di Paris lagi untuk mencoba melanjutkan hidupnya setelah perkawinannya kandas total.
(Leonard Grdbble)
Baca Juga: 7 Menit Itu Misteri
" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806923/mme-ali-fahmy-beynee-alibert" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310368000) } } }