Intisari Plus - Charley mendapat tugas mencari jejak pencuri lukisan Scream. Masterpiece karya Edvard Munch itu bernilai £ 37 juta itu ternyata jejaknya tak mudah ditelusuri.
-------------------
Senin pagi di bulan Mei 1994 telepon di kantor saya berdering. Yang menelepon ternyata pimpinan saya, John Butler. Bicaranya tidak berbelit-belit, “Charley, kamu sudah dengar tentang perampokan Munch?”
Tentu saja saya sudah mendengar tentang perampokan itu. Edvard Munch, pelukis terkenal asal Norwegia yang hidup dari tahun 1863 sampai 1944, terkenal dengan lukisan “Scream”. Itu lo, lukisan yang menggambarkan orang sedang berteriak sambil memegang kedua pipinya, berdiri di dekat sebuah pagar dermaga. Lukisan ini ada sekitar 50 versi.
Sepertinya Munch sudah tahu bahwa lukisan ini akan menjadi karya masterpiece. Karena itu, ia mengopi dalam jumlah besar. Versi terbaik lukisan ini adalah karya pertama yang berukuran 91x74 cm, menggunakan kapur pastel di atas karton dalam bingkai emas. Nilainya £ 37 juta dan tergantung di galeri nasional di Oslo.
Tanggal 12 Februari 1994, lukisan itu dicuri dengan memecahkan kaca dan hanya berlangsung dalam waktu kurang dari semenit! Pencuri sebelumnya mematikan alarm gedung sehingga kehadirannya tidak terdeteksi. Lima belas menit kemudian baru polisi datang dan tidak menemukan barang bukti, kecuali tangga dan kartu pos dengan tulisan “Terima kasih atas penjagaan yang kurang ketat”.
Menjadi pegawai museum
Tentu saja saya mengetahui soal perampokan itu. Sebelum bertugas di kepolisian Eropa sekarang ini, saya adalah petugas penyelidik benda seni di Scotland Yard. Sejak itu saya tertarik dengan urusan pencurian benda seni. Umumnya orang tidak pernah tahu bahwa di balik pencurian karya-karya seni terkait bisnis internasional yang sangat besar. Karya-karya seni yang berhasil dicuri dapat dijadikan sebagai alat pembayaran untuk obat-obatan terlarang; dengan surat-surat palsu, karya-karya seni itu bisa digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit jutaan Pound sterling di bank.
Pencurian “Scream” bisa terjadi karena energi pemerintah sedang tercurah ke Olimpiade Musim Dingin Lillehammer. Dari penyidikan awal yang dipimpin oleh Inspektur Kepala Leif Lier diperoleh beberapa nama yang dicurigai sebagai pelaku. Pertama adalah aktivis antiaborsi yang menyedot perhatian selama Olimpiade. Pelaku lain yang dicurigai adalah Paul Enger, pencuri benda seni dan bekas pemain klub sepakbola Valerenga. Namun keduanya memiliki alibi kuat bahwa mereka bukan pelakunya. Lier kemudian menghubungi Scotland Yard, sampai akhirnya Kepala Detektif Inspektur John Butler menghubungi saya, Charles Hill.
“Apa yang Bapak inginkan dari saya?” saya juga tidak mau berbelit-belit.
“Temukan kembali lukisan itu,” perintah Butler.
“Bagaimana?”
“Informan di Oslo memiliki kontak ke para pencuri.”
“Siapa kontak itu?”
“Einar Tore Ulving. Pria kaya, punya kapal pesiar di Karibia, rumah di Laut Utara, serta dekat dengan orang-orang penting di Oslo. Kenal ‘kan dengan nama itu?”
Saya kenal nama itu. Setiap orang di dunia seni mengenalnya.
“Ada petunjuk tentang para pelakunya?” tanyaku.
“Ada beberapa orang yang dicurigai, tetapi belum ada bukti yang kuat.”
“Sudah tahu ada di mana lukisan itu?”
“Belum. Namun Ulving sepertinya memperoleh pesan bahwa para pencuri mau menghancurkan lukisan itu kalau kepolisian Norwegia turut campur terus. Atau kalau tebusannya kurang. Karena itu, kita harus mengambil alih kasus itu.”
“Baik, saya pikir-pikir dulu.”
“Lima belas menit, ya,” kata Butler.
“OK, lima belas menit,” jawab saya.
Tidak banyak waktu untuk memikirkan sebuah rencana merebut sebuah karya masterpiece senilai £ 37 juta. Akan tetapi, saya bukan seorang pemula dalam urusan ini. Saya tahu, komplotan itu menginginkan uang tebusan dari lukisan itu. Dengan pihak berwajib mereka tidak bersedia berunding, karena pasti mereka ditangkap. Jadi, mereka mencari orang yang memiliki uang dan bisa dipercaya.
Sebagai polisi saya tidak punya peluang untuk mendapatkan lukisan karya Munch itu. Bila saya ingin mendapatkannya, maka harus cari cara lain. Menyamar! Namun tentu harus yang meyakinkan. Saya lalu mengingat-ingat museum apa yang punya banyak uang sehingga bisa dipercaya jika saya ingin menambah koleksi. Ah, Museum Paul Getty di Los Angeles. Saya yakin, di benak pencuri jika mendengar nama Getty pasti akan teringat dengan uang yang banyak!
Selain itu, salah seorang direktur di Museum Getty, John Walsh, masih berutang budi pada Scotland Yard. Kami pernah membantunya dalam sebuah kasus lain. la pasti bersedia memperbantukan saya sebagai pegawai di museum itu.
Segera saya meraih gagang telepon. “Pak, saya membutuhkan kartu identitas lain.”
“Kali ini sebagai apa?”
“Pegawai di Museum Getty. Kartu nama, dokumen, kartu kepegawaian, kartu telepon, kartu kredit, paspor AS dengan nama Chris Roberts dan uang tunai £ 0,5 juta.”
“Itu sudah semua?” suara Butler terdengar sedikit tegang. Namun, saya cuek. Kalau menjadi bos di Scotland Yard harus mampu membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kalau tidak bisa, mundur saja dari jabatan.
Seminggu kemudian saya sudah memperoleh dokumen-dokumen palsu plus £ 500.000, pinjaman uang dari Bank of England.
Dihargai sangat murah
Pesawat saya mendarat sore hari tanggal 6 Mei 1994 di Oslo. Saya menyewa mobil Renault dan menuju ke Hotel Plaza di Sonja Henies Pass 3, lokasi tempat saya akan bertemu dengan Ulving. Sebuah hotel mahal. Kamar saya di suite lantai 14. Tanpa kesulitan saya check in di hotel itu dan menyebut nama palsu saya dengan agak keras. “Chris Roberts.” Orang-orang suruhan Ulving harus mengetahui bahwa saya sudah datang.
“Baik, Pak,” kata pelayan hotel di bagian resepsionis sambil menyerahkan kunci kamar hotel saya. Saya membalikkan badan dan tiba-tiba menjadi tegang dan kaget karena di lobi hotel banyak perwira kepolisian. Dua dari mereka ada yang saya kenal.
Sial! Kalau saja salah seorang dari mereka mengenali saya, terbukalah kedok saya. Saya menaikkan tinggi-tinggi kerah jaket biru putih yang saya kenakan. Gaya Amerika, seperti juga dasi dan sepatu saya.
“Boleh saya menelepon dulu?” pinta saya kepada pria di bagian resepsionis. la menunjukkan saya tempat telepon berada. Saya menekan nomor telepon Butler, yang sudah sejak dua hari lalu bermarkas di lantai 8 Hotel Plaza ini menyiapkan pusat satuan siaga. Sebuah kamar biasa, bukan suite seperti yang saya tinggali. Dibandingkan dengan saya ia tidak perlu membanggakan diri dengan uangnya di depan para gangster.
“Pak, di sini banyak sekali polisi berkeliaran,” bisik saya.
“Saya tahu. Ini ‘kan hari peringatan antinarkoba,” jawab Butler dengan tenang.
“Bagaimana kalau mereka mengenali saya?”
“Tunggu sebentar. Akan saya koordinasikan.”
Sepuluh menit kemudian ia menelepon saya kembali. Rasanya seperti menunggu selama 10 jam.
“Semua beres,” kata Butler, “Tidak ada dari mereka yang akan mengenalimu. Kami sudah melakukan briefing.” Walaupun begitu saya tetap berhati-hati ketika menuju bar di lantai paling atas. Dari balik kaca-kaca jendela saya dapat memandangi lampu-lampu Kota Oslo yang berkelap-kelip. Panorama begitu indah. Sayang saya tidak bisa menikmatinya berlama-lama karena melihat kedatangan Ulving. Ia mengenakan baju mahal. Begitu juga dengan jam tangannya. Ia dikawal seorang bodyguard, namanya Jan Olson. Saya menganggapnya seperti seorang gangster. Hal semacam ini sudah saya ketahui. Belakangan ketahuan bahwa Olson pernah menjadi master Skandinavia cabang Thai-Boxing dan menjalani hukuman penjara karena kasus pembunuhan.
“Di hotel ini banyak polisi,” gumam Ulving.
Saya menyeruput seteguk teh. “Saya tahu. Tetapi, mereka di sini bukan karena kehadiran Anda. Ini hari peringatan antinarkoba.”
Ulving tampaknya mulai memercayai kata-kata saya. Hanya mata Olson ke sana kemari seolah belum yakin. Pandangannya tertumbuk pada orang berpostur raksasa yang duduk di meja tak jauh dari meja kami. Orang itu sedang asyik mengaduk cangkir tehnya tanpa mencolok. Gerak-geriknya memang tidak mencolok, tapi posturnya tidak bisa berbohong. Sid Walker tingginya 2 m, berat 120 kg, dan tubuhnya tidak berlemak. Melihatnya orang lantas berpikir bahwa tubuh orang ini sangat terlatih; dan memang begitu kenyataannya. Pakar senjata, pakar mobil, dan si “pemecah batu”. Begitu orang menjuluki Sid, salah satu polisi terbaik yang ditawarkan Scotland Yard.
“Siapa sih orang itu?” tanya Olson perlahan.
“Ia yang menjaga saya.”
Kemudian saya lambaikan tangan agar Sid ke meja kami. “Sid Walker,” saya mengenalkannya, “Orang Inggris, tinggal di Belanda.”
Olson menyeringai. Ia mengedipkan mata bersahabat pada Sid. Dua gangster di medan tugas!
Kami lalu memesan minuman. Ulving memesan gin tonic, Sid meminum bir Guiness, Olson asyik dengan koktail warna pink. Saya soda wodka, minuman kebiasaan saya setiap awal Paskah. Setelah mengobrol sejenak sampailah kami pada persoalan pokok.
“Saya siap membayar tunai,” kata saya.
“Tiga juta dua ratus lima puluh ribu,” kata Ulving.
“Ponsterling?”
“Krone!”
Saya tidak memercayai pendengaran saya: 3,25 juta krone Norwegia (Rp 3.350.000.000,-). Saya rasa itu harga yang sangat murah dibandingkan dengan harga lukisan yang Rp 629 miliar!
Saya pun bergegas menjawab, “Okay.”
Demi lukisan
Setelah itu kami pergi ke suite saya. Semua sudah disiapkan: surat-surat penting saya dari Museum Getty di meja hotel serta paspor palsu saya tersembunyi di filofax. Saya menyuruh Sid keluar dengan berdalih ingin mandi, lalu menyalakan shower dan membiarkan air menyala. Ulving dan Olson harus diberi waktu cukup agar yakin bahwa saya benar-benar Chris Roberts.
Ketika keluar dari kamar mandi, saya tahu bahwa rencana saya berjalan seperti yang diharapkan. Susunan dokumen-dokumen saya berubah, lampu berpindah. Tampaknya Olson mencari alat penyadap di kamar saya, sementara Ulving membolak-balik surat-surat penting saya.
Kedua orang itu buru-buru bersikap tanpa curiga melihat saya selesai mandi. Sebelum pergi mereka ingin melihat uang nya. Untuk itu kami sudah siap. Sid membawa Olson ke ruang tempat menyimpan uang. Sementara itu, Ulving dan saya minum segelas Canadian club, dari sebotol besar yang saya pesan. Alkohol membuat kemampuan berunding saya menjadi lebih ‘cling’.
Akhirnya Olson menelepon. la ingin berbicara dengan Ulving. Tampaknya, ia yakin dengan koper berisi uang itu. Setidaknya kami berjanji ketemu esok pagi.
Sebelum tidur saya menyuruh Sid untuk memindahkan koper uang tadi ke hotel lain secara tidak mencolok. Demi keamanan. Bila malam ini terjadi perampokan di hotel kami, bisa saja uang dari Bank of England itu ikut melayang! Mungkin Butler akan menuduh saya yang bukan-bukan.
Sekitar tengah malam telepon berdering.
“Ya?” kata saya tidak ramah.
“Di sini Olson.”
“Anda mau apa?”
“Saya ada di lobi. Kami mau mengirim barang itu.”
Dipikirnya saya gila? Tengah malam begini ia mau mengadakan perundingan semacam ini. Memangnya saya harus berjalan-jalan di sebuah hotel dengan beberapa juta krone! Tentu saja saya menolak dan membanting dengan keras gagang telepon. Telepon kembali berdering. Lagi-lagi saya banting. Begitu seterusnya. Main provokasi sebagai teror mental.
Ketika telepon berdering lagi, saya sudah tahu siapa yang menelepon.
“Olson,” ujar saya, “Saya akan turun ke bawah. Tetapi, tanpa uang itu. Kita bisa bicara. Tidak lebih.”
Lalu saya memakai sepatu tanpa tali buatan Amerika, menutupi piyama yang saya pakai dengan mantel, dan berjalan ke lobi di bawah. Tentu saja saya memberi tahu Butler dulu. Ia harus mengurus situasi di lobi yang penuh dengan petugas sipil penyelidik Norwegia, yang bisa mengenali saya. Olson tentu sudah memperhatikan hal itu dan serta-merta mengajak saya ke sebuah mobil Mercedes. Di situ Ulving telah menunggu di balik kemudi. Hal ini terasa sedikit aneh buat saya. Saya duduk di kursi belakang, namun pintu tetap saya biarkan terbuka. Sebelah kaki saya berada di luar. Olson memandang saya seperti seorang psikopat.
“Lagi-lagi banyak polisi!” gumamnya.
“Tentu saja,” kata saya, “Di sini ‘kan sedang ada kongres kepolisian.”
“Tetapi, mereka para petugas penyelidik sipil!”
Sepanjang saya tugas, pengamanan kali ini memang tidak profesional. Mereka sepertinya begitu kikuk. Namun kalau saya sekarang kesal, tidak ada gunanya juga. Jadi, saya tenang-tenang saja.
“Logis saja,” kata saya, “Mereka menjaga agar tidak terusik oleh ulah pecandu narkoba.”
Tampaknya Olson percaya. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Kaki Anda!”
“Apa salahnya dengan kaki saya?” tanya saya berlagak pilon.
“Kok ada di luar. Masuk saja!”
“Tunggu,” kata saya. “Saya dalam posisi seperti ini karena jaga-jaga siapa tahu Ulving tiba-tiba menjalankan mobil tanpa bilang-bilang ke saya. Dengan posisi seperti ini, saya bisa dengan cepat berguling dan kabur, tanpa kalian ketahui bahwa saya tidak bersama kalian lagi. Mengerti?”
Saya berhasil melewati ujian yang berat. Tampaknya Olson percaya. “Okay, cuma tanya saja kok,” katanya. “Besok saya menjemput Anda.”
Di kamar hotel saya merasa sulit tidur. Bukannya karena saya dihinggapi perasaan bersalah. Namun, sebagai polisi tetap muncul ketakutan jika saya harus berhadapan dengan gangster seperti Ulving dan Olson. Tindakan mereka kejam dan serba tidak terduga. Sebenarnya bisa saja saya meringkus mereka sebab sudah cukup bukti ke arah situ. Tetapi, taruhannya kami takkan pernah mendapatkan kembali lukisan “Scream”. Sebuah karya masterpiece dari sejarah seni yang besar akan tetap hilang, mungkin untuk waktu yang lama, atau mungkin juga untuk selamanya.
Bisa saja komplotan Ulving dan Olson dibekuk. Namun kerugian seni yang tak ternilai harganya bagi kemanusiaan akan terjadi. Karena terdesak, dengan gampang lukisan itu dihancurkan. Toh bagi mereka yang penting nominal uang di balik lukisan, bukan soal seni lukisan itu sendiri. Maka, saya pun memutuskan untuk menyelamatkan benda seni itu daripada meringkus gangster.
Keesokan paginya Olson datang sendirian. Kami harus menemui Ulving di sebuah restoran di pinggir jalan bebas hambatan. Sid mengemudikan Renault. Saya duduk di sebelahnya, Olson di belakang.
Sid melirik saya. “Yo, kita alihkan perhatiannya!” begitu maksudnya. Saya membungkukkan badan ke depan, melihat ke kaca spion samping, mengernyitkan dahi, melihat sekali lagi, dengan lebih jelas. Kemudian saya menengok ke arah Olson.
“Apakah kita sedang dibuntuti?”
Olson menengok ke belakang, memperhatikan jalanan. “Saya tidak tahu.” la tampak tidak tenang.
“Kita lihat saja,” kata saya. Lalu saya katakan pada Sid, “Kabur!”
Itu yang ditunggu-tunggu Sid. la salah seorang pengemudi terbaik kami di Scotland Yard. Bila ada orang yang bisa mengecoh mobil pembuntut, Sid-lah orangnya. la tancap gas, saya memasang tali pengaman. Sid menyetir kencang dengan mengambil bahu jalan, dan saat ada kesempatan langsung membelokkan kemudi untuk masuk ke jalur utama meninggalkan decitan bunyi.
Dari ujung mata saya melihat Olson buru-buru meraih tali pengaman. Sid berhenti di pelataran parkir sebuah gedung, naik ke pelataran bagian atas, turun, dan keluar lagi. la mengerem dan tancap gas. Rencana yang sempurna. Kami sulit untuk menahan senyum. Tentu saja tidak ada orang yang membuntuti kami, tetapi Olson sangat ketakutan. la menganggap kami pria-pria tangguh. Tampaknya, untuk pembicaraan selanjutnya tidak sulit.
Benar asli
Ulving sudah menunggu kami di restoran di pinggir jalan bebas hambatan. Kali ini tidak di mobil Mercedes yang digunakan semalam, melainkan Coupe. Kami berunding dan akhirnya sepakat: saya dan Ulving mengambil lukisan, sementara Sid dan Olson kembali ke Hotel Plaza. Bila penyerahan lukisan beres, Sid akan memberikan uang itu pada Olson.
Saya duduk meringkuk di samping Ulving di dalam Mercedes. la mengendarai mobil itu ke arah selatan di persimpangan laut yang menjorok dalam ke daratan Oslo. Ulving mengemudi dengan sangat cepat. Saya buru-buru memasang tali pengaman. Wah, seperti membalaskan dendam Olson yang ketakutan di kursi belakang saat Sid menunjukkan keahliannya tadi.
“Anda takut?” tanyanya mengejek. Saya tidak menjawab.
Kira-kira 40 km kemudian, Ulving membelokkan mobilnya dan tak lama kemudian kami berhenti di depan sebuah rumah indah di tepi Pantai Asgard. Pantai ini merupakan teluk yang sangat menjorok ke daratan. Lebih mirip kanal. Dari laut rumah ini tidak terlihat sebab tertutup oleh hutan kecil.
“Rumah musim panas saya,” Ulving mencoba membuyarkan keheranan saya.
la membuka pintu dan menyilakan saya ke ruang duduk. Selama musim dingin rumah ini tidak digunakan sehingga seluruh perabotan ditutupi dengan kain putih. Ulving segera menuju ke dapur. Karpet sederhana menutupi lantainya. Ulving menarik karpet itu dan memindahkannya ke samping ruangan. Ternyata ada sebuah pintu tersembunyi menuju ke ruang bawah tanah.
“Lukisan itu ada di bawah sana,” kata Ulving sambil menunjuk ke lubang gelap, “Anda bisa mengambilnya sendiri.”
“Maaf,” jawab saya, “Anda tidak bermaksud serius ‘kan, saya harus turun ke bawah sana? Anda dong yang harus melakukannya.”
Ulving membuka pintu di lantai itu, menghilang di kegelapan. Saya mendengar suara gemerisik. Lalu, Ulving muncul lagi. Dengan satu tangan ia menarik dirinya melalui lubang pintu di lantai, sementara tangan yang satunya memegang erat sebuah benda datar, yang ditutupi kain warna biru.
Saya menahan napas. Apakah itu benar-benar lukisan “Scream” karya Munch? Apakah di balik kain biru itu tersembunyi salah satu lukisan ekspresionistis dari sejarah seni? Sebuah masterpiece dengan harga tak ternilai? Ulving membawa lukisan itu ke ruang duduk, meletakkannya di sebuah meja bertaplak putih, membuka kain biru. Saya tidak tertarik dengan gambar lukisannya. Saya langsung membalikkan kanvasnya dan melihat bagian belakang lukisan: sebuah gambar yang belum selesai, tercantum angka tahun 1893 dan noda akibat tetesan lilin.
Saya tidak perlu melihat lukisan untuk melihat keasliannya. Noda lilin menjadi bukti. Di hadapan saya ini memang lukisan “Scream” yang asli. Munch telah merampungkan lukisannya di bawah terangnya cahaya lilin. Ketika ia meniup lilin itu, cairan lilin menyiprat ke bagian belakang kanvas karton lukisannya. Sebuah tanda yang tidak bisa dipertukarkan. Walaupun begitu, untuk meredakan ketegangan, saya pun membalik karya itu.
Sesosok manusia - tak jelas jenis kelaminnya dengan mulut ternganga - menyodorkan sebuah gambar kekecewaan dan derita yang mendalam. Saya jadi merinding. Kami membungkus kembali lukisan itu dengan kain biru. Dengan hati-hati saya duduk di jok belakang mobil. Lukisan itu bisa saja rusak, karena mobil yang kami naiki sangat sempit. Kemudian Ulving membawa saya ke sebuah hotel di tepi Pantai Asgard. Di sana ia juga sebagai pemiliknya. Jantung saya berdebar sedemikian keras.
Permainan ini harus segera dihentikan. Namun bagaimana caranya? Terus terang saya tidak bersenjata sebab peran yang saya bawakan tidak mengizinkan saya bersenjata.
Keributan soal uang
Sementara saya menyewa kamar di lantai satu, Ulving menyetir mobilnya ke gerbang belakang. Dengan demikian kami tidak perlu harus membawa lukisan itu melewati lobi hotel. Saya menyetujui rencana ini, karena saya tidak punya pilihan lain. Ulving sendirian dengan lukisan itu selama satu menit. Terlintas di benak saya, bagaimana kalau ia kabur? Kekhawatiran yang berlebihan sebab tak seberapa lama Ulving muncul dari gerbang belakang. Ia menyerahkan “Scream” pada saya, yang kemudian saya bawa ke kamar dengan hati-hati.
Saya masih berdebar-debar menunggu kejadian selanjutnya. Mengapa Ulving begitu percaya bahwa saya takkan melarikan lukisan itu? Saya jadi besar kepala mengingat penyamaran sebagai Chris Roberts dari Museum Getty ternyata sangat manjur. Langkah pertama menyelamatkan lukisan itu sudah terlaksana. Sekarang Sid harus menyerahkan uang tebusan pada Olson di Hotel Plaza atau polisi Norwegia yang meringkus para pelaku. Sebelum itu saya tidak bisa meninggalkan hotel ini dengan lukisan di tangan. Ulving tentu tidak bodoh membiarkan begitu saja. Pasti ia sudah menyuruh anak buahnya untuk mengawasi gerak-gerik saya. Saya membuka lagi kain biru. Dengan sangat pasti saya memandangi lukisan itu, sebelum saya menelepon Butler.
“Lukisan itu sudah ada di tangan saya,” lapor saya singkat.
Saya mengambil minuman di minibar. Dengan hati-hati saya tuang isi botol ke sebuah gelas dan meminumnya sekaligus. Lalu saya meraih gagang telepon dan memutar nomor ke Amerika Serikat.
“Museum Getty, how can I help you?”
Bicara saya singkat. “Nama saya Chris Roberts. Tolong beri tahu bos Anda, lukisan Munch sudah ada pada saya.”
Sesaat kemudian pihak kepolisian Norwegia sudah ada di depan pintu. Lima tersangka ditangkap, jelas mereka, di antaranya Ulving dan Olson. Saya menyerahkan lukisan itu ke polisi dan meninggalkan hotel. Ah, akhirnya perasaan saya plong. Saya segera menghirup udara segar. Sejam lamanya saya mondar- mandir di depan dermaga. Saya menghirup dalam-dalam udara pantai yang beraroma asin yang berembus dari persimpangan laut yang menjorok dalam ke daratan. Saya merasa ketegangan perlahan-lahan terangkat dari diri saya. Lalu saya kembali ke hotel. Di sana mobil polisi sudah menunggu untuk membawa saya kembali ke Oslo.
Sesampainya di Oslo saya mengetahui bahwa pada saat penyerahan uang terjadi keributan. Sid duduk di kamarnya - dengan Olson dan salah seorang dari gangster. Tiba-tiba pintu terbuka, dan dua polisi Norwegia berdiri di depan pintu dengan koper di tangan. Itu menyimpang dari rencana. Tetapi, Sid bergerak cepat. “Sial, polisi!” serunya. “Keluar!” Olson dan pria gangster itu kabur terbirit-birit lewat tangga hotel dan berhasil diringkus di bawah. Sid bisa mendapatkan kembali uang pinjaman dari Bank of England. Kami berhasil menyelamatkan lukisan dan uang itu. Pasti Butler akan senang.
Tiga dari lima tersangka dijatuhi hukuman. Olson dan Ulving tidak termasuk di dalamnya karena di Norwegia polisi tidak boleh melakukan penyelidikan dengan nama samaran seperti yang telah saya lakukan. Dalam proses pengadilan, hal itu tidak berlaku sebagai bukti. Tetapi, peduli amat. Bagi saya bukan soal para pelakunya, yang penting menyelamatkan karya besar kemanusiaan.
Saya mentraktir Sid minum-minum. la memilih Guinnes dan saya memesan soda wodka. Kali ini saya meminta ia memanggil saya Charley, bukan Chris. Sesuai keinginannya, karena alasan keamanan, saya tidak akan membocorkan nama aslinya.
Beberapa tahun lalu Sid Walker resminya sudah meninggal: polisi yang menggunakan nama ini tidak lagi bekerja di Scotland Yard. Saya juga sudah keluar dari dinas kepolisian dan sekarang bekerja sebagai penyelidik benda seni. Tanggal 22 Agustus 2004 terjadi lagi kasus pencurian terhadap lukisan versi “Scream” karya Edvard Munch. Ini salah satu kasus terbaru saya. Di siang bolong kedua pelakunya menyerbu gedung pameran Museum Edvard-Munch di Oslo. Mereka memakai topeng dan menodongkan pistol ke arah para pengunjung museum dan mencopot lukisan itu dari dinding. Sebagai pecinta seni saya berniat mengembalikan lukisan “Scream” ini.
Saya yakin karena saya sudah tahu caranya! (Marina)
Baca Juga: Senjatanya Dua Martil
" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517138/penyamaran-demi-scream" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343545000) } } }