Intisari Plus - Penemuan emas di California, membuat heboh dunia. Orang-orang yang hendak mengadu nasib, bergegas menuju ke Barat dengan segala tantangannya. Sayangnya tidak semua berhasil dan kaya.
-------------------------
Sesuatu berpendar dalam air sungai. Kecil, mirip batu. Akan tetapi, ini bukan batu biasa. James Marshall berjongkok dan memungutnya. Ia mengamatinya dengan saksama, membaliknya di telapak tangan.
"Kelihatan seperti ..," ia bergumam dengan napasnya, jantungnya berdebar. "Mungkinkah? Tentu tidak. Mungkinkah benar-benar emas?"
la mencari-cari di air sungai sekitarnya. Tak lama, ia menemukan batu lain. Dengan menahan kegembiraannya, ia mengantungi bebatuan aneh untuk diperlihatkan pada bosnya nanti. Saat itu, 24 Januari 1848—hari yang paling menentukan dalam sejarah California.
Marshall dan pegawainya, John Sutter, menguji "batu" itu dan mendapati bahwa mereka benar-benar menemukan emas. Mereka berusaha menutup mulut. Sutter tinggal di California untuk menggarap ladang, bukan menggali emas.
Ia tidak ingin dikerubuti para pemburu harta. Akan tetapi, hal itu tidak baik. Entah bagaimana, tahun berikutnya, kata itu mengalir—emas! Emas! Ada emas untuk dicari di sungai Amerika.
Tahun 1849, "Gold Rush" (perburuan emas) dimulai. Orang dari seluruh penjuru Amerika mulai menuju ke barat ke California, mengadu peruntungan mereka. Namun, menuju ke sana merupakan masalah. Sebagian orang mempertaruhkan perjalanan laut yang mengerikan yang membawa mereka ke ujung Amerika Selatan hingga pantai barat.
Beribu-ribu orang lainnya mengemasi wagon kereta kuda mereka dan menuju ke barat dengan berjalan kaki, meski mengambil risiko mengarungi gurun pasir dan pegunungan yang tandus. Selain itu, perjalanan berlangsung bulanan dan penderitaan sepanjang perjalanan itu mengerikan.
Pada musim panas 1849, terdapat sebuah jalur yang kokoh melalui Rocky Mountains menuju ladang emas, yang kemudian dikenal sebagai Oregon Trail. Bentang alam akhir jalur itu paling sulit—pegunungan Sierra Nevada membentuk barier raksasa, bahkan lebih besar dari padang luas gurun pasir. Bersamaan dengan datangnya salju musim dingin, pegunungan ini sulit ditempuh.
Meskipun musim dingin akan datang, luapan manusia yang menyeberangi Rockies berlanjut. Banyak yang berhenti di kota kaum Mormon, Salt Lake City, di Utah, yang terdapat banyak padang rumput untuk ternak mereka. Kaum Mormon menyarankan untuk tidak mengambil rute gunung saat musim dingin. Pada musim dingin sebelumnya banyak orang terperangkap. Mereka berpikir harus berbuat apa, dan sebagian menetap untuk menunggu musim semi.
Akan tetapi, ada pilihan lain. Ada rute lain menuju selatan menyusuri Sierra Nevada. Rute itu lebih panjang dari Oregon Trail, tapi lebih mudah, tanpa pegunungan besar yang harus diseberangi. Seorang Mormon bernama Kapten Hunt menawarkan diri, ia berkata bahwa ia mampu memimpin perjalanan dengan bayaran $10 per wagon kereta berkuda. "Aku akan membawa kalian ke California dalam sembilan minggu," ia meyakinkan.
Sekitar 150 orang menerima tawarannya. Serombongan terdiri dari sekelompok 36 anak muda dari Galesburg, Illinois, yang menyebut diri mereka Jayhawkers. Ada juga banyak keluarga dengan wanita dan anak-anak—beberapa di antaranya keluarga Bennett, Arcane, Brier, dan Wade.
Ada individu-individu yang bergabung lepas atau berjalan sendiri. Dua pria dalam kelompok ini akan memainkan peran amat penting dalam beberapa minggu kemudian. Mereka adalah William Lewis Manly dan John Rogers.
Wagon kereta berkuda bergerak menuju selatan. Setiap orang merasa senang. Cuaca indah dan mereka berpindah lagi menuju kehidupan baru yang menggairahkan. Namun, setelah sekitar sepuluh hari, Kapten Hunt mulai mengalami kesulitan. Akhirnya, tampaklah bahwa ia tidak mengenal jalan itu dengan sangat baik, dan lahan menjadi semakin kering. Tak lama lagi, sulit untuk mendapatkan air.
Rasa tak puas mulai muncul. Ada cerita tentang rute lain yang langsung menuju barat. Sebagian orang ingat rute itu ketika melihatnya di peta, di Salt Lake City. Mereka berkesimpulan bahwa Kapten Hunt tidak mengetahui yang ia bicarakan. Mengapa tidak meninggalkannya dan memotong jalan lewat barat? Jayhawkers paling bergairah dengan gagasan ini, dan berangsur-angsur yang lain pun setuju dengan mereka.
Sewaktu mereka mencapai tempat yang dianggap sebagai permulaan "jalan pintas", Kapten Hunt kehilangan kendalinya atas rombongan. Jayhawkers memiliki terlalu banyak pengikut. Sekitar seratus wagon kereta berkuda mengikuti mereka meninggalkan Kapten Hunt dengan hanya tujuh wagon.
"Menurutku rute itu tidak aman," Kapten Hunt memberitahu. Bagaimanapun juga ia berharap mereka baik-baik saja. "Selamat jalan dan semoga berhasil," ia berteriak sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
Masih penuh semangat, kelompok yang berpisah itu menuju barat. Akan tetapi, setelah tiga hari, tampaknya tidak ada jalur yang mudah untuk wagon mereka. Keadaan ini menakutkan banyak orang.
Mereka kehabisan makanan dan jalan pintas macam apa yang berakhir dengan kematian setelah tiga hari? Setelah berdiskusi, lebih dari 70 wagon kembali untuk mencari Kapten Hunt. Jayhawkers dan kelompok orang yang berkeluyuran tetap tinggal dan bertekad untuk maju sedikit demi sedikit ke arah barat.
Kelompok yang tersisa tak lama mengalami masalah yang serius. Tanah semakin gersang dan gersang dan padang rumput juga semakin sedikit. Kini mereka sudah mencapai gurun pasir dan setiap orang merasa kehausan.
Sewaktu lembu-lembu semakin melemah, mereka tak mampu menarik wagon kereta yang berat, dan rombongan mulai membuang barang-barang mereka agar kereta lebih ringan. Perkakas, buku-buku, perabotan—barang-barang tidak lagi berarti. Yang penting mereka dapat menyeberangi gurun pasir.
Sekarang, mereka benar-benar tersesat. Mereka tidak tahu berapa jauh lagi jarak ke California. Gurun pasir tampak membentang tanpa ujung—lahan yang menakutkan, tertutup garam putih dan alkali yang muncul dari tanah. Ternak mulai terkulai kelelahan satu per satu.
Ketika hewan ternak roboh. orang-orang membunuh dan memakannya, karena mereka kehabisan bahan makanan. Keadaan tampak mencemaskan. Kelompok itu mulai terpecah menjadi beberapa bagian. Jayhawkers—yang terdiri dari pria muda dan kuat—meneruskan perjalanan, meninggalkan keluarga di belakang.
Keluarga Bennett dan Arcane bersatu, bergabung dengan yang lain, sehingga rombongan itu menjadi 20 orang. William Lewis Manly dan John Rogers tinggal bersama mereka, membantu melakukan pengintaian dan membawakan air sebanyak yang mereka temukan.
Setelah berhari-hari melakukan perjalanan yang menghauskan, Jayhawkers mengembara ke sebuah lembah sunyi yang dalam. Tak ada tetumbuhan di sana—lembah itu gersang, hanya ditutupi garam yang membuat air terasa pahit dan berbau untuk diminum.
Berangsur-angsur kelompok lain berkumpul di sana dan menjelajahi sekitarnya untuk mencari jalan keluar. Rombongan Bennett-Arcane berhenti di sebuah mata air yang airnya dapat diminum. Saat itu mendekati hari Natal—tapi Natal yang mereka hadapi buruk dan tidak menggembirakan. Tampaknya tak ada jalan keluar dari jurang ngarai gurun pasir itu. Tembok tajam gunung itu menjulang ke barat.
Jayhawkers membuat keputusan. Mereka bermaksud membuang kereta yang berat dan mengemasi segala sesuatu sebisa mereka ke beberapa lembu, dan mereka berusaha mencari jalan melalui pegunungan.
Beberapa orang mengikuti mereka, termasuk keluarga Brier. Nyonya Brier harus meninggalkan peralatan makan perak terbaiknya, karena kenyataan menghadang di hadapan. Mereka harus membuang segalanya atau mati.
Akan tetapi, tak semua orang mau mengambil risiko ini. Kelompok Bennett-Arcane memutuskan tak ada harapan untuk melanjutkan perjalanan tanpa mengetahui yang akan terjadi. Baik Bennett dan Arcane memiliki anak kecil dalam keluarga, dan Nyonya Arcane sedang mengandung lima bulan.
Bagaimana bila mereka terperangkap pegunungan tanpa ada air? Mereka malahan memutuskan tinggal dekat mata air, sementara yang dua orang meneruskan perjalanan untuk mencari jalan dan kembali dengan membawa perbekalan. Dua pria yang dipilih adalah William Lewis Manly dan John Rogers.
"Kami akan menunggu sampai 18 hari," kata Bennett. "Jika kalian sama sekali tidak kembali, kami menganggap kalian tewas di pegunungan, atau suku Indian telah membunuh kalian."
Seekor lembu mati lagi, kedua pria itu pun berbekal sedikit daging kering untuk perjalanan. Setiap orang menyumbangkan uang untuk mereka, seluruhnya terkumpul $60, sebagai bekal. Selanjutnya, rombongan berkumpul mengucapkan selamat jalan. Dalam hati mereka, banyak yang ragu dua pria itu akan pernah kembali. Suasana berat, dan para wanita berdiri menangis.
"Tuhan melindungimu," para pria bergumam. "Semoga kalian berhasil."
Manly dan Rogers menjabat tangan setiap orang dengan taklim. Kemudian mereka berbalik dan menyusuri ngarai.
Ketika mereka telah pergi, suasana sunyi menggantung di perkemahan. Setiap orang sadar, mereka akan menghadapi kematian di lembah itu. Untuk sementara mereka memiliki sedikit persediaan daging. Akan tetapi, lebih dari itu, cadangan makanan mereka sangat sedikit. Mereka menyisihkan terigu untuk memberi makan anak-anak.
Waktu berjalan merangkak. Anak-anak terus-menerus menangis karena kelaparan dan sedih. Tak ada yang dapat mereka perbuat. Lembah tersebut merupakan salah satu tempat paling suram di bumi—cuma batu cadas dan garam. Sebuah tempat yang mengerikan untuk mati.
Sementara itu, Manly dan Rogers maju terus menuju pegunungan. Bila tiba di tanah yang lebih tinggi, mereka berusaha memperhitungkan berapa jauh jarak yang akan mereka tempuh. Yang mereka temukan sangat menyedihkan. Bukan cuma satu barisan gunung untuk dilalui, tapi tiga dengan lembah-lembah gurun yang gersang dan panjang di antaranya.
"Kita tak akan pernah mampu kembali dalam 18 hari." kata Manly dingin.
Sewaktu berjalan dengan susah-payah, mereka menemukan sesuatu terbaring dalam jurang, tertutup tidak teratur oleh ranting-ranting pohon sage. "Apa itu?" teriak Rogers. Mereka merangkak mendekat.
"Tubuh orang," kata Manly.
Badan manusia tergeletak di tempat ia akhirnya roboh. Manly dan Rogers mengenali orang itu. Namanya Tuan Fish. la anggota kelompok kecil yang mengikuti Jayhawkers. Pegunungan yang gersang terlalu berat baginya, dan di situlah ia tergeletak ditinggalkan di bebatuan cadas.
Hati mereka masygul, Manly dan Rogers melanjutkan perjalanan. Perjalanan itu berbahaya dan sukar, bahkan bagi orang kuat seperti mereka. Mereka meneguk air terakhir, tapi tak lama mulut mereka terasa sangat kering sehingga tak bisa menelan daging sapi. Pada suatu hari, mereka cukup beruntung menemukan sebongkah es.
Mereka mencairkannya, menegak air dengan dahaga, dan makan sebagian bekal daging mereka. Merasa segar, mereka memaksa melanjutkan—tapi mereka sadar harus segera mencari air lagi atau bernasib seperti Tuan Fish yang malang itu.
Pada saat berjalan, Manly tiba-tiba berhenti. "Rogers! Lihat," kata Manly menunjuk.
Rogers menatap. "Asap," ia berseru. Bubungan tipis asap berasal dari lembah di dekatnya. "Itu artinya orang ... dan air.
Kedua pria itu bertukar pandang. Api unggun itu mungkin milik suku asli Amerika, yang mungkin akan membunuh mereka. Bisakah mereka mengambil risiko menyelidikinya? Rasa dahaga membuat mereka mengambil risiko. Bahkan bila itu berarti pertikaian, tak ada salahnya melihat.
Mereka gembira menemukan kelompok Jayhawkers yang menyambut mereka dengan hangat. Duduk mengelilingi api unggun, kedua pria yang lelah itu mendengarkan apa yang dikerjakan setiap orang. Sebagian orang meninggalkan ternak mereka dan berjalan terus. Keluarga Brier berjuang di belakang. Akan tetapi, pria yang lain meninggal.
"Namanya Isham," kata kelompok Jayhawkers. "Ia tak dapat terus. Ketika kami berhenti untuk berkemah, kami kembali dan memberinya air. Akan tetapi, ia terlalu letih, dan tak lama kemudian meninggal."
Manly dan Rogers sangat bersyukur atas sambutan itu, dan atas seluruh informasi. Mereka mengucapkan terima kasih kepada kelompok Jayhawkers dan kembali melanjutkan perjalanan. Waktu berlalu, dan rombongan keluarga khawatir dengan yang terjadi atas diri mereka.
Kembali ke perkemahan, hari-hari yang berlalu semakin menyedihkan. Rombongan itu ketakutan diserang suku asli Amerika, dan banyak yang tidak benar-benar percaya bahwa Rogers dan Manly akan kembali lagi. "Tak ada orang kecuali si bodoh yang kembali ke tempat ini untuk menyelamatkan kami," kata mereka.
Beberapa orang segera memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan mereka sendiri. "Setiap orang untuk dirinya sendiri," ujar mereka. "Kami memakan hewan ternak kami, tapi tak lama tak akan ada lagi makanan tersisa. Rasanya gila duduk duduk menunggu."
Keluarga Bennett dan Arcane melihat kepergian mereka, merasa sendirian. Bagi orang-orang itu tidak masalah, mereka tidak punya anak kecil untuk dirawat; bahkan bila mereka cuma benar, sedikit yang dapat dilakukan keluarga. Terlalu besar risiko membawa anak-anak mengarungi pegunungan. Mereka harus menunggu.
"Anda pergi juga?" mereka menanyakan seorang tua bernama Kapten Culverwell. Ia ragu, wajahnya tampak sukar. la tidak suka meninggalkan keluarga sendirian, tanpa mempertahankan mereka.
Akan tetapi, ada sesuatu dalam kata-kata itu-benar-benar setiap orang bagi dirinya sendiri. Tidak ada alasan meninggal di gurun pasir. Ia menunggu selama beberapa hari, berusaha mengambil keputusan. Kemudian ia pun mengucapkan selamat tinggal dan berjalan sendiri.
Delapan belas hari datang dan pergi, dan tetap tidak ada tanda-tanda penyelamat. Keluarga itu semakin tertekan dengan berlalunya hari."Mereka tersesat," Nyonya Bennett berujar dengan sedih. "Aku yakin itu. Mereka seharusnya sekarang kembali."
Namun, Manly dan Rogers tidak tersesat. Setelah hampir dua minggu berjalan, mereka mencapai sebuah ranca luas, dan kemudian sebuah pemukiman utuh. Akhirnya: California! Tergesa-gesa mereka membeli perbekalan dengan uang yang diberikan pada mereka, tiga kuda, dan seekor keledai untuk mengangkut semuanya. Kemudian mereka berangkat sekali lagi kembali melewati gurun pasir.
Sekarang, lebih mudah, mereka tahu jalan, tapi kuda-kuda dan keledai itu menghadapi masalah baru. Bagaimana mereka dapat melalui jalan tembus gunung yang berbahaya, yang hanya ditempuh dengan berjuang sendiri.
Mereka mencapai sebuah ngarai yang amat sulit dan kuda-kuda itu berhenti. Kuda-kuda itu tak mau jalan terus. Sebuah jurang muncul di depan mereka dan tidak ada jalan lain di sekeliling. Merasa benar-benar putus asa, Manly dan Rogers sadar mereka harus melepas kuda-kuda itu. Mereka mengeluarkan tas dari punggung kuda dan melepasnya. "Mereka akan mati di sini," kata Manly dengan pahit. "Tak ada makanan atau air bagi mereka."
Setelah kehilangan kuda, mereka bertekad untuk menyelamatkan keledai. Keledai itu membuktikan dirinya kuat dan berani, meskipun hanya bermata satu. Mereka mendorong, mengingsut, dan berteriak hingga akhirnya sang keledai melompat ke atas ke bubungan cadas yang berbahaya. Lompatan lain lagi, dan hal yang terburuk berlalu. Kedua pria itu hampir menangis lega.
Akan tetapi, pemandangan menyedihkan menanti di depan mereka. Rogers yang berjalan lebih dulu, tiba-tiba berhenti dan tertegun.
"Apa itu?" teriak Manly.
"Kapten Culverwell," sahut Rogers. "Ia sudah mati."
Kedua pria itu menatap orang tua itu. Ia tergeletak dengan tempat air yang sudah kosong di sampingnya. Gurun pasir itu memakan korban lagi.
Hampir satu bulan sejak Manly dan Rogers berangkat ketika mereka akhirnya kembali ke perkemahan kecil. Keluarga Bennett dan Arcane sedemikian terharu dan lega melihat mereka sehingga hampir tak dapat berkata-kata.
Mereka berdiri diam, air mata mengaliri wajah mereka. Kemudian, Nyonya Bennett lari menuju Manly dan tersungkur di kakinya, mengalungkan lututnya dengan lengannya. "Kami tidak mengira kau akan kembali," katanya dengan suara bergetar
Namun, setelah mengatasi ketidakpercayaan mereka, perkemahan itu kembali hidup dengan gairah dan obrolan. Manly memperingatkan mereka bahwa jalan di depan mereka tidaklah mudah.
California lebih jauh dari perkiraan mereka. Keluarga itu mendengarkan, kemudian melakukan persiapan dengan berani. Selama ini mereka telah bertahan—kini mereka tidak mau dikalahkan.
Kelompok itu berangkat dengan delapan ekor lembu dan keledai kecil yang setia. Setelah beberapa hari, mereka memanjat ke Pegunungan Panamint dan hanya memandang ke bawah lembah tandus tempat mereka hampir mati. Lembah itu membentang di belakang mereka, sepi, dan kosong. Tuan Bennett menggelengkan kepalanya dan pergi.
"Selamat tinggal, Death Valley," ujarnya. Lembah itu dikenal dengan nama itu sejak lama.
Kemudian
Seperti kebanyakan, 25.000 orang yang menuju barat dalam Perburuan Emas tahun 1849 itu, hanya sedikit yang selamat dari Death Valley saat mengadu keberuntungan di ladang emas. Bahkan banyak yang tidak bekerja di pertambangan, tapi luapan manusia menciptakan sebuah masyarakat baru, dan tempat bisnis pun tumbuh. John Rogers bekerja sebagai tukang kayu dan juru mesin; William Lewis Manly melakukan banyak pekerjaan, termasuk kadang-kadang bekerja di pertambangan.
Ia berhubungan dengan banyak temannya yang selamat, yang selalu menganggapnya sebagai pahlawan, dan dia menulis sebuah buku tentang pengalaman mereka, judulnya: Death Valley in '49.
Nyonya Arcane melahirkan empat bulan setelah meninggalkan gurun pasir dan menamakan bayinya Julia. Sayangnya, Julia meninggal 19 hari kemudian.
Kapten Hunt berhasil membawa kelompok kereta utama ke California. Kebanyakan anggota kelompok Jayhawkers juga selamat, dan melanjutkan hidup dengan mendulang emas. Sebagian berhasil untuk sementara waktu, tapi pekerjaan itu amat berat dan hasilnya tidak sebesar harapan mereka. Kebanyakan mereka menyerah dan kembali menjadi pedagang atau menjadi petani. Sebagian bahkan meninggalkan California dan kembali ke rumah.
Nyonya Brier adalah salah satu dari sedikit orang yang menemukan kembali barang yang dibuangnya di Death Valley. Sewaktu emas di California mulai sirna, cerita tentang emas dan perak di gurun pasir mulai menyebar.
Para pencari emas mulai berburu dan sebagian dari mereka berangkat ke Death Valley. Di sanalah, peralatan makan perak Nyonya Brier ditemukan, tak tersentuh; dan para pencari emas itu mengembalikan padanya.