Intisari Plus - Petualang misterius, Count Ladislaus Almasy, berburu oasis yang hilang di Gurun Pasir Libya. Petualangannya di padang gurun juga sangat membantu di masa perang. Bahkan akhirnya difilmkan.
-------------------------
Di suatu tempat, tersembunyi di Gurun Libya yang tak berujung, tersebutlah sebuah oasis indah yang ditanami pepohonan palma yang tinggi dan rimbun, dengan burung-burung berkicau yang bertengger di dahannya. Di sanalah, di reruntuhan sebuah kota kuno yang berdinding putih, seorang raja dan ratu terbaring dalam tidur yang lelap, dan pada suatu hari mereka terbangun ...
Nama oasis itu adalah Zerzura—Oasis Burung-burung Kecil. Dua pria Inggris dan Hongaria mendiskusikannya suatu hari.
"Kau benar-benar tidak memercayainya bukan?" tanya Dr. Richard Bermann, dengan senyuman girang.
Count Ladislaus Almasy, pria Hongaria itu memicingkan matanya di bawah matahari, dan menggelengkan kepalanya tidak sabar. "Kota kuno itu? Tentu tidak. Kota itu adalah mitologi Arab lama dalam Kitab al Kanuz—The Book of Hidden Treasures. Akan tetapi, orang membicarakan Zerzura selama ratusan tahun, disebutkan sejak abad ke-13. Meski demikian, menurutku semua itu tak masuk akal kecuali bagi Wilkinson."
"Wilkinson?" Dr. Bermann memandang temannya penasaran.
"Sir Gardiner Wilkinson. Dialah pria yang pertama menemukan oasis Dakhla," Almasy menjelaskan. "Penduduk setempat mengatakan padanya tentang tiga oasis ke arah Kufra. Tiga oasis tersebut telah ditemukan. Mereka juga menceritakannya tentang tiga wadi (palung sungai yang kering) lain, di jalan menuju Farafra. Diceritakan terdapat pohon palma, air terjun, reruntuhan seperti yang digambarkan dalam legenda. Zerzura ..." mata Almasy menjadi tercenung ketika ia memandang jauh. "Sekarang, bila penduduk Dakhla benar tentang oasis Kufra, mereka pasti benar tentang Zerzura?"
Dr. Bermann mengangguk. Sulit tidak setuju dengan Almasy bila ia yakin akan sesuatu. Almasy bergairah dengan segala hal yang ia kerjakan, terutama gurun pasir—dan legenda Zerzura telah membuatnya terkesima selama bertahun-tahun.
Almasy tidak sendiri dalam kecintaannya terhadap Gurun Libya (yang juga dikenal sebagai Gurun Pasir Barat), padang Sahara luas yang membentang dari Libya bagian timur hingga Sungai Nil di Mesir. Sebelumnya, sudah banyak orang lain yang tertarik datang ke Gurun Libya. Tahun 1879, penjelajah Jerman Gerhard Rohlfs menyeberanginya dari timur.
Rohlfs telah mencapai oasis Kufra di Libya, tapi nyaris mati saat perjalanan. Ia maupun untanya hampir sekarat karena kehausan, kalau saja hujan yang tidak biasa turun menyelamatkan mereka. Rohlfs menamakan tempat itu Regenfeld (padang hujan). Setelah itu, para petualang mempunyai tradisi untuk berhenti di sana dan meletakkan botol berisi rincian perjalanan mereka.
Kemudian, pada 1920-an, serangkaian penjelajah mulai menelusuri jalan melalui gurun pasir. Salah satunya seorang Mesir yang kaya-raya, Sir Ahmed Hassanein Bey. Ia menemukan dua oasis yang hilang, Arkenu dan Uweinat—tapi bukan Zerzura.
Orang Mesir yang lain, Pangeran Kemal el Din, memelopori penjelajahan dengan kendaraan traktor, sementara pria Inggris, Mayor Ralph Alger Bagnold, memburu Zerzura dengan mobil. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka yang menemukannya. Keberadaan oasis itu tetap misterius.
Pada awal 1930-an, Almasy adalah satu-satunya penjelah yang paling ambisius di daerah itu. Pada 1932, ia mengadakan penjelajahan untuk menemukan oasis secara tuntas. Ia diikuti tiga orang Inggris—Sir Robert Clayton East-Clayton, Wing Commander H. Penderal, dan katrografer (pembuat peta bernama Patrick Clayton—serta enam orang Mesir. Mereka bermaksud berburu oasis dengan mobil dan melakukan survei tambahan dari udara dengan pesawat Gypsy Moth bernama Rupert.
Rombongan utama berangkat dari oasis Kharga di Mesir pada 12 April 1932 menuju Gilf Kebir, sebuah dataran tinggi gunung yang luas di sudut tenggara Mesir. Di sanalah, Almasy yakin akan menemukan oasis yang hilang.
Pada 1930-an, penjelajahan gurun pasir telah mencapai banyak kemajuan tapi masih bercampur antara bahaya dan kegairahan. Para penjelajah harus bersikap tenang dan saling menjaga satu sama lain; di sini bukanlah tempat untuk melakukan pertentangan yang tak penting. Keempat orang Eropa itu bekerja sama dan jika mereka saling tidak suka, mereka berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. setidaknya pada waktu itu.
Mereka bergantian menerbangkan Rupert, si Gypsy Moth. Mereka diterpa badai gurun dan dahaga untuk mencapai Gilf Kebir, tempat dimulainya penjelajahan yang sesungguhnya. Ketika mereka makin mendekat, mereka sadar kalau kehabisan air. Pemecahannya cukup mudah, mereka berada dalam jarak yang mencolok dari Kufra, sebuah oasis di Libya.
"Kita harus menuju Kufra untuk mencari air sebelum meneruskan perjalanan," kata Almasy. "Tidak akan lama."
"Kufra ada di wilayah Italia," ucap Patrick Clayton keberatan. "Kita tak bisa ke sana. Mereka akan menahan kita semua,"
"Jangan bodoh," balas Almasy. "Atas dasar apa mereka melakukan itu?"
"Mereka tidak suka orang Inggris menjejaki wilayahnya—itu penyebabnya!" Clayton, yang terkenal karena ketidaksukaannya pada orang Italia, menghardik.
"Aku bukan orang Inggris," Almasy menegaskan.
"Memang bukan," kata Clayton dengan nada suara tegang. Kedua pria itu saling memandang. Sebuah momen yang aneh. Mungkin itulah tanda bahwa hari-hari penjelajahan gurun yang menggembirkan akan berakhir. Gurun pasir tidak lagi bebas dari batas; bukan lagi tempat persembunyian legenda. Dalam bayang-bayang perang, para penjelajah itu mulai memikirkan kesetiaan. Penjelajahan berarti informasi—karena seluruh pria itu tahu terlalu banyak.
"Bagaimana menurutmu, Panderel?" tanya Almasy tiba tiba.
Wing Commander itu mengangkat bahu. "Kau mungkin benar," katanya kepada Almasy. "Mereka cukup siap menyambutmu. Akan tetapi, aku tentara Inggris. Jika mau pergi, sebaiknya kau sendiri saja."
Maka, Almasy menuju ke barat, meninggalkan sisa anggota tim untuk melakukan penyergapan pertama ke Gilf itu sendirian. Orang Italia menyambutnya dengan hangat. la segera membekali dirinya dengan air dan setelah mengambil foto-foto yang menarik sekali lagi, angkat kaki menuju gurun.
Tanpa kehadiran Almasy, Sir Robert dan Panderel menerbangkan Gypsy Moth di atas Gilf Kebir. Dengan kegirangan yang amat sangat, mereka menemukan sebuah wadi panjang yang ditumbuhi banyak pohon akasia.
Mungkinkah ini wadi pertama dari tiga wadi yang dibicarakan Wilkinson? Sewaktu Almasy kembali ke perkemahan dan mendengar berita itu, ia pun bergairah. Ia yakin mereka telah menemukan Zerzura. Sekarang tugasnya mencapai wadi itu dengan mobil.
Meskipun dua pria tersebut beberapa kali terbang di atas wadi yang memikat itu, mereka tak dapat menemukan jalan masuk untuk mobil di sekelilingnya—wilayah gurun bergunung Gilf Kebir menghalangi jalan mereka. Mereka menemukan wadi lain, yang berukuran kecil dan tak berarti dibandingkan dengan yang mereka lihat dari udara. Mereka kehabisan waktu. Karena merasa putus asa, mereka pun kembali.
Rombongan ekspedisi mencapai Kairo lagi pada Mei 1932. Pada September tahun yang sama, sebuah tragedi terjadi. Sir Robert Clayton East-Clayton terjangkit infeksi virus akut. Dalam beberapa hari ia meninggal. Usianya baru 24 tahun ketika wafat.
Istrinya, Lady Dorothy, merupakan perempuan berani yang bertekad menyelesaikan penjelajahan yang telah dimulai suaminya. Ia mendiskusikan niatnya dengan Patrick Clayton di Kairo. Cara yang tepat adalah bergabung dengan teman teman suaminya, termasuk Almasy, tapi tiba-tiba, sentimen pribadi Clayton terhadap Almasy tampak mengalahkannya. Clayton tahu benar betapa inginnya Almasy melanjutkan perburuan Zerzura, tapi saat itu ia ada di luar Kairo.
"Almasy tidak akan kembali ke Kairo," Clayton berbohong. "Tapi, saya akan melanjutkan ekspedisi lain sendirian. Saya akan sangat senang jika Anda bergabung."
Lady Dorothy gembira. "Tentu saya akan ikut Anda," katanya pada Clayton. "Ngomong-ngomong, saya tak mau ditemani Almasy. Pria yang tak menyenangkan."
Lady Dorothy juga tidak menyukai Almasy. Menurut dia, Almasy tak dapat dipercaya. Lebih dari sekali, ia menolak menjabat tangan Almasy dalam pertemuan-pertemuan sosial di Kairo. Ketika Almasy kembali ke Mesir—seperti diperkirakan Clayton—Almasy menemui Lady Dorothy yang menyambutnya dengan amat dingin. Almasy mengetahui rencana Lady Dorothy untuk melanjutkan ekspedisi Zerzura dengan Clayton. Almasy jengkel, dan segera membuat rencana sendiri.
Jadilah dua ekspedisi, yang sebagian dikobarkan semangat persaingan, berangkat tahun 1933 untuk berburu wadi Zerzura yang hilang. Kali ini, ekspedisi Almasy menyertakan teman lamanya, Dr. Richard Bermann, seorang jurnalis yang amat tertarik pada legenda lama dan telah sering mendiskusikannya dengan Almasy. Mereka berangkat dari Kairo pada 14 Maret 1933 dengan empat mobil.
Penghentian pertama mereka di Abu Ballas, yang berarti Bapak Kendi. Di situlah, di dalam pasir ditimbun sekitar tiga ratus kendi air. Kendi-kendi itu ditemukan orang Dakhla pada abad ke-19, sewaktu mengejar-ngejar segerombolan perampok gurun pasir. Kendi-kendi tersebut jelas milik gerombolan perampok, yang menjadikannya sebagai pasokan air dalam operasi mereka di gurun pasir.
Dengan bergairah, Almasy membentangkan sebuah peta.
"Lihat di sini, Bermann," kata Almasy kepada temannya. "Kendi-kendi ini terletak sekitar dua pertiga dari jalan antara Kufra dan Dakhla. Ini menunjukkan siapa pun yang melalui gurun pasir perlu berhenti untuk mengambil air di suatu tempat lain juga—sekitar sepertiga dari jalan di antara dua oasis."
Jari Almasy menelusuri rute karavan tua. Ia terhenti di Gilf Kebir.
"Gilf Kebir ... Zerzura?" tanya Bermann dengan senyum.
"Mengapa tidak?" jawab Almasy.
Mereka meninggalkan Abu Ballas dan menuju ke sisi timur Gilf Kebir, berharap menemukan jalan masuk ke wadi yang mereka pernah lihat tahun sebelumnya. Mereka tidak mendapatkan hasil—tapi itu tak menyurutkan semangat sebelum mereka mendapatkan penemuan lain yang amat berarti. Setiap orang selalu berpikir bahwa tidak ada jalan melalui Gilf Kebir.
Akan tetapi, mereka salah. Padang yang luas itu sesungguhnya terbagi dua—ada sebuah celah di tengah-tengah yang mengalir dari timur ke barat. Ini bukan wadi, tapi sebuah celah besar di batu cadas. Hanya melalui celah inilah mobil dapat lewat dengan mudah.
"Sangat menarik," gumam Almasy. "Amat berguna sekali." Dengan menggunakan penemuan baru itu, mereka bergerak ke barat menuju Kufra untuk menyimpan perbekalan. Di sana, mereka mendengar kabar tentang ekspedisi lain. Patrick Clayton dan Lady Dorothy telah menemukan jalan masuk ke wadi di Gilf Kebir, dan sekarang mereka puas dan kembali ke Kairo.
"Kita ikuti jejak mereka ke wadi," Almasy segera berujar. "Kemudian kita akan melakukan ekspedisi yang lebih baik bila sudah di sana, mungkin ada petunjuk tentang dua wadi lain. Akan tetapi sebelum pergi, aku mau bicara dengan penduduk setempat."
Almasy yakin bahwa penduduk Kufra pasti tahu tentang wadi yang tersembunyi di Gilf. Meminta mereka menunjukkan wadi itu merupakan sebuah persoalan. Penduduk gurun tidak suka menceritakan rahasia mereka pada orang asing. Akhirnya, ia menjumpai seorang pemandu karavan tua, namanya Ibrahim, yang mau angkat bicara.
"Wadi yang engkau bicarakan itu Wadi Abd el Melik," ia berkata pada Almasy dalam bahasa Arab yang beraksen kuat dan ganjil. "Di dekatnya ada yang lain. Kami menamakannya Wadi Talh."
Setelah sedikit dibujuk, Ibrahim mengatakan jalan mencapai wadi kedua itu. Akan tetapi, ia menolak mengatakan tentang wadi ketiga. Puas sesaat, rombongan ekspedisi berangkat lagi.
"Wadi Abd el Melik dan Wadi Talh," Almasy termenung saat mereka berjalan. "Cuma dua. Apakah menurutmu Ibrahim tua itu jujur?"
Mereka menjejaki jalan melalui Gilf, menelusuri jalur ekspedisi Clayton, dan akhirnya menerobos ke Wadi Abd el Melik. Jalan panjang yang dihiasi pohon-pohon akasia, tapi tidak ada lagi yang dapat dikatakan tentang jalan itu. Seluruh tetumbuhan kering dan layu: ada dua air terjun cadas yang kecil, tapi hampir kering. Tempat itu hampir tidak seperti gambaran sebuah surga.
Namun, Almasy masih bertekad untuk menemukan Wadi Talh. Bersama salah seorang pria Arab, ia menyusuri rute tandus menuju puncak dataran Gilf dan mengikuti petunjuk Ibrahim. Tak lama, hampir pasti, ia akan menemukan wadi lain yang dipenuhi pepohonan akasia.
Dengan riang Almasy kembali ke kemah. Hanya satu wadi lagi yang perlu ditemukan. Merasa senang sendiri, rombongan menuju ke oasis Uweinat—di sana sekali lagi mereka menjumpai Ibrahim. Kali ini orang tua itu sedikit meluruskan keterangannya.
Waktu ia mengetahui temuan mereka, ia mengakui bahwa ada wadi ketiga, yang dinamakan Wadi Hamra—Wadi Merah. Ketiga wadi itu digunakan penggembala setempat untuk merumput ternak mereka setelah hujan musiman turun. Bila hujan tidak turun lama, tetumbuhan itu mati.
Jadi, Zerzura atau bukan? Wadi-wadi yang malang itu pasti bukan legenda yang dimaksud—bahkan Almasy yang keras hati sekalipun harus mengakuinya. Legenda tentang Zerzura tampak seperti fatamorgana yang menghilang di depan mata mereka.
Akan tetapi, itu tidak terlalu berarti; mereka telah memetakan wilayah itu dan melakukan beberapa penemuan navigasi yang penting. Dan pada saat pergantian waktu itu, mana yang lebih penting—legenda atau beberapa peta yang sempurna?
Rombongan beristirahat di Uweinat dan menjelajahi sekitarnya. Almasy, yang selalu cenderung berjalan mendahului yang lain, segera menemukan sesuatu yang luar biasa. Jauh tinggi di tebing terdapat serangkaian gua-gua kecil yang berisi lukisan batu prasejarah dalam warna-warni yang indah. Lukisan itu menggambarkan hewan-hewan peliharaan, terutama ternak, dan prajurit-prajurit yang mengusung panah.
Lukisan tersebut bukanlah yang pertama ditemukan di wilayah itu. Tahun 1920-an, ketika Sir Ahmed Hassanein Bey menemukan Uweinat, penduduk nomadik setempat mengatakan padanya bahwa jin pernah bermukim di Uweinat, dan meninggalkan gambar-gambar mereka di batu-batu cadas.
Hassanein segera mencari gambar-gambar itu dan menemukan lukisan yang menggambarkan singa, jerapah, burung unta, dan berbagai jenis antelop, dan mungkin sapi. Hassanein menilai bahwa di zaman purba daerah ini pasti jauh lebih subur dan dihuni banyak orang, yang hidup relatif makmur.
Patrick Clayton juga menemukan gua di dekat Gilf Kebir, yang berisi banyak gambar jerapah dan singa. Namun, pencarian Almasy yang nekatlah yang lebih membawa penerangan pada gua-gua ini. la dan timnya membuat catatan fotografis, dan Almasy sendiri membuat sedikit sketsa.
Akan tetapi, sekali lagi musim itu berakhir. Ekspedisi tersebut berkemas dan kembali ke Kairo. Di sana mereka mendengar bahwa rombongan Patrick Clayton tidak mendapatkan temuan lagi; dan rombongan kembali dari Gilf langsung melewati bagian tengah Lautan Pasir Raksasa—wilayah bukit pasir luas yang hampir menewaskan Gerhard Rohlfs seabad lalu—yang merupakan prestasi besar tersendiri.
Ketika terik musim panas berlalu, Almasy sekali lagi kembali ke Uweinat. Pada kesempatan itu, ia menemukan Gua Perenang, yang sekarang terkenal, di lembah berbatu yang membentang dari Uweinat ke arah Gilf Kebir. Di sana, ditemukan lebih banyak lukisan, yang dengan jelas menggambarkan orang-orang sedang berenang.
Tempat itu memberikan bukti akhir betapa suburnya wilayah tersebut pada masa lalu. Bahkan dipastikan dahulu di situ ada danau. Mungkin inilah, bukan ketiga wadi tadi, yang memunculkan legenda kuno Zerzura—tapi siapa yang bisa bilang?
Zerzura sekali lagi menghindar dari penemuan dan ketika Eropa semakin mendekati peperangan, para penjelajah harus memikirkan hal lain. Mereka tidak bisa lagi bersikap netral. Pengetahuan mereka terlalu berharga, dan peta yang mereka buat memiliki nilai baru.
Bagi sebagian besar mereka, tidak ada pertanyaan mengenai keberpihakan mereka. Kesetiaan pada negara amat merasuk. Akan tetapi, sebagai seorang Hongaria, Almasy adalah sebuah misteri. la berada di pihak mana? Pemerintah Hongaria bersimpati pada Hitler dan fasisme, tapi tidak berarti bahwa Almasy sendiri seorang Nazi.
Ia bertindak tidak konsisten selama ekspedisi gurun pasirnya. Tahun 1932, pada perjalanan Zerzura yang pertama, ia memotret markas militer Italia di oasis Kufra, dan menyerahkannya pada teman-temannya yang berbangsa Inggris. Kemudian, pada 1933, ia memberitahukan orang-orang Italia rute timur-barat melewati Gilf Kebir.
Pembagian kesetiaan yang aneh? Mungkin saja. Akan tetapi, ia harus memilih salah satu pihak—dan akhirnya melakukannya dengan penuh gaya. Ia bergabung dengan angkatan udara Jerman, Luftwaffe, sebagai penasihat gurun pasir.
Tahun 1941, badan intelijen Jerman, Abwehr, sangat kecewa, karena tidak dapat menemukan mata-mata di belakang garis Inggris dan di Kairo. Almasy yang melihat kesempatan untuk menggunakan pengetahuannya, masuk ke dalam terobosan itu.
"Saya bisa mendapatkan dua agen Jerman ke Kairo untuk Anda," kata Almasy pada Abwehr. "Saya akan membawanya melalui Libya, melewati Kufra, dan melalui Gilf Kebir ke Kharga, dan dari sana menuju Assiut di tepi Sungai Nil.
Pada mulanya, Abwehr mencemooh. Akan tetapi, sejauh ini, seluruh usaha lain mereka telah gagal; dan jika ada orang yang dapat berada di belakang garis Inggris, Almasy-lah orangnya. Mereka mengizinkannya, dan Operation Salaam yang berani, sebutan operasi itu, diluncurkan.
Prioritas Almasy yang pertama adalah kendaraannya. Di Tripoli, ibukota Libya, dua mobil Ford Inggris yang disita, menjalani pemeriksaan yang teliti, dan disiapkan untuk perjalanan mereka mengarungi gurun. Tiga truk mengikutinya membawa perbekalan. Kemudian Almasy bertemu mata-mata Jerman, agen Eppler dan Sanstedte. Pada awal 1942, Operation Salaam siap, dan orang-orang itu berangkat.
Pengetahuan Almasy tentang Gilf Kebir-lah yang membuat misi itu berhasil. Truk-truk itu tidak mendapat kesulitan menyeberangi celah timur-barat yang ia temukan sembilan tahun lalu. Eppler dan Sandstedte diserahkan dengan selamat di Assiut pada 24 Mei 1942, setelah perjalanan yang luar biasa sepanjang 3.200 kilometer.
Perjalanan Almasy merupakan salah satu tindakan intelijen yang paling berani atas operasi militer gurun pasir Jerman; meskipun saat itu berlangsung, mereka tidak banyak memanfaatkannya.
Tak lama setelah kedatangan mata-mata itu di Kairo, Inggris menangkap operator tanpa kabel yang telah menerjemahkan pesan-pesan mereka. Dan dengan bodohnya agen-agen itu sendiri menghambur-hamburkan uang di Kairo dan mengadakan pesta-pesta mewah. Jelas tidak sulit bagi Inggris untuk mengawasi mereka.
Almasy sendiri menghilang kembali ke gurun dan berhasil menerobos di belakang garis Italia-Jerman. Inggris tidak punya banyak kesempatan menangkapnya; pencariannya yang lama atas Zerzura membuatnya sukar ditangkap seperti halnya oasis itu sendiri yang melegenda.
Kemudian
Almasy selamat dari peperangan dan menulis sejumlah buku tentang petualangannya di gurun pasir. la wafat di Salzburg, 1951. Di atas makamnya ada tulisan Arab, Abu Raml atau Bapak Padang Pasir'.
Bila Anda pernah membaca novel karangan Michael Ondaatje The English Patient, atau menonton filmnya, sebagian kisah ini bisa jadi tampak tak asing bagi Anda. Sang novelis memang memakai kehidupan petualangan yang luar biasa ini sebagai gagasan, meskipun ia banyak mengubah detail.
Katherine Clifton, kekasih Almasy dalam kisah Ondaatje, sama sekali tidak ada kesamaan dalam kenyataannya. Sebagian orang menganggap Clifton diambil dari Lady Dorothy Clayton East-Clayton, janda Sir Robert; tapi ketidaksukaan Lady Dorothy pada Almasy tampak amat nyata, dan Almasy diduga seorang homoseksual. Seperti suaminya, hidup Lady Dorothy berakhir tragis—tahun 1933 ia tewas dalam kecelakaan pesawat.
Oasis Zerzura tetap belum ditemukan.
" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309922/legenda-zerzura" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282324000) } } }