Intisari Plus - Toni mendapat telepon dari orang tidak dikenal yang telah menculik kedua anaknya. Si penculik meminta sejumlah uang tebusan yang sekaligus akan dijadikan alat jebakan.
-------------------
Duduk santai di teras belakang menikmati udara pagi, wajah Toni Suharta tampak segar karena baru saja mandi. Pagi itu ia bisa merasakan nikmatnya bangun agak siang yang sangat jarang bisa ia lakukan.
Hari itu hari kedua cuti tiga harinya setelah lebih dari empat bulan tanpa henti memantau pengembangan perusahaannya. Sejak didirikan 10 tahun silam, perusahaannya kini telah memiliki tujuh unit usaha.
Teras tempatnya bersantai menghadap ke sebuah kolam renang berukuran 12x26 m yang didesain alami. Tiga pohon kelapa hibrida, dua pohon kemboja berbunga merah marun dan kuning, pohon bintaro, dan beberapa jenis tanaman hias jenis perdu mengelilingi kolam renang yang tepinya terbuat dari batu candi hitam itu.
Di sebelah kanan kursi malas tempat ia duduk terdapat sebuah meja berisi menu sarapan paginya. Beberapa helai roti gandum, potongan-potongan keju impor, dan dua botol selai cokelat dan kacang tanah. Tak ketinggalan jus campur kesukaannya, terbuat dari wortel, bayam, jeruk, apel, dan stroberi.
Di atas meja kecil di sisi kirinya tergeletak berbagai macam koran: berbahasa Inggris dan harian umum terbitan Indonesia, surat kabar ekonomi, dan majalah berita terbitan Amerika Serikat. Tapi kali ini ia memprioritaskan untuk membaca majalah gaya hidup pria terbitan Amerika Serikat sambil menikmati setangkap roti tawar gandum dengan selai cokelat.
Meskipun bukan perjaka lagi dan telah menikah 11 tahun lalu, sesekali Toni masih suka melihat moleknya tubuh para model bule yang cantik di majalah itu. Istrinya, Tamara Cinta Priyatna, ketika menikah baru berusia 22 tahun. Wanita cantik bertubuh atletis itu berdarah Rusia, Brasil, dan Sunda. Dari hasil perkawinan mereka lahir dua orang anak yang kini bersekolah di SD internasional: Sekar Ayu (10), kelas 4 dan Bayu Utama (8), kelas 2.
Saat itu Sekar dan Bayu sudah berangkat ke sekolah diantar sopirnya, Basuki. Tamara sedang ke pasar swalayan ditemani pembantunya, Tuminah, dan sopirnya, Sulharnudin.
Sopir dibuang di jalan tol
Tiba-tiba dering HP Toni, yang diletakkan di dekat piring tempat roti gandum, mengejutkan pikirannya yang sedikit ngelantur.
“Halo,” ucapnya dengan suara berat tanpa melihat identitas di layar HP.
“Anda Toni Suharta?” tanya seseorang dari seberang sana.
“Betul, saya Toni Suharta. Saya bicara dengan siapa?” tanya Toni dengan tenang.
“Tidak usah tanya siapa saya. Saya hanya mau memberi tahu bahwa Sekar dan Bayu saat ini di bawah ‘lindungan’ saya. Sopir saya titipkan di jalur hijau Tol Jakarta - Cikampek km 60+700! Nanti saya hubungi kembali. Ingat, jangan menelepon polisi kalau Anda ingin Sekar dan Bayu selamat!”
Pembicaraan jarak jauh itu pun terputus.
“Wah, anakku diculik,” guman Toni.
Toni tetap tenang, walaupun hatinya sangat gundah. Ia memang dikenal sebagai orang yang berkarakter sangat tenang. Bahkan, apabila di kantornya ada masalah genting yang membuat orang lain sudah kelimpungan, ia tetap tenang. Namun, begitu mengambil keputusan, keputusan itu cespleng. Maka wajar kalau perusahaannya juga berkembang dengan mantap.
Dari record di HP, Toni tahu HP yang digunakan meneleponnya milik Basuki! Kontan, Toni menghubungi kembali HP Basuki. Tapi HP keburu dimatikan oleh penculik.
Dengan HP-nya Toni segera menghubungi bagian informasi jalan tol Jakarta - Cikampek.
“Halo, selamat siang Pak. Saya Toni. Saya mau memberi informasi, baru saja sopir saya dibuang di km 60+700. Mobil dan dua orang anak saya dibawa kabur penculik. Boleh minta tolong petugas patroli menyelamatkan sopir saya?”
“Baik, Pak. Boleh tahu merek, jenis, dan nomor polisi kendaraan Bapak agar kami bisa berkoordinasi dengan petugas gerbang tol Cikampek?” tanyanya hendak membantu.
“Saya bicara dengan siapa?” Toni balik bertanya.
“Saya Sunoto, Pak.”
“Terima kasih Pak Sunoto atas kesediaan Anda membantu. Tapi demi keselamatan anak saya, saya belum bisa memberikan informasi yang Anda butuhkan.”
“Baik Pak. Bagaimana dengan nomor telepon Bapak yang bisa kami hubungi?” tanyanya.
“0-8-1-1-2-6-0-1-6-4. Saya ulang ya Pak, 0-8-1-1-2-6-0-1-6-4.”
“Baik, Pak. Kalau ada perkembangan akan saya kabari.”
“Terima kasih, Pak Sunoto,” Toni mengakhiri pembicaraan.
Segera Sunoto mengontak petugas patroli untuk mendekat ke lokasi tempat Basuki “dibuang”.
Toni ingat, ada perusahaan sekuriti yang memiliki detektif swasta. Tameng Indonesia namanya. la segera mencari nomor telepon perusahaan itu di HP-nya. Namun, sebelum menelepon, Toni mengambil gelas berisi jus, lalu meminum isinya tiga teguk. HP Tony berdering lagi. Di layar HP-nya muncul nomor 0264324661.
“Halo, Pak Toni ya.”
“Betul.”
“Saya yang ‘melindungi’ anak Anda. Kalau ingin kedua anak Anda selamat, siapkan uang sebesar satu miliar rupiah. Cash! Hubungi saya besok di hape sopir Anda pada pukul 09.00.”
“Boleh saya bicara deng ...,” belum selesai Tony bertanya, telepon segera ditutup penculik.
Kesedihan mulai tampak di wajah Toni. Setelah menyempatkan diri minum segelas air, ia lalu menghubungi Tameng Indonesia dan berbicara dengan petugas customer service. Ia kemudian dihubungkan dengan Divisi Penculikan dan Jasa Penagihan Piutang. Toni kemudian menceritakan kejadian yang menimpa anaknya. Setelah memastikan tim divisi itu pernah berhasil menangani kasus penculikan, serta biaya yang harus dia siapkan, Toni memutuskan untuk meminta bantuan perusahaan itu. Data-data sementara yang diperlukan, ia berikan semua.
Dalam perjalanan ke Tameng Indonesia, Toni mengontak istrinya bahwa ia pergi untuk suatu urusan di Jln. Jenderal Sudirman.
Mantan sopir jadi tersangka
Kantor Tameng Indonesia berada di lantai 32 sebuah gedung perkantoran mewah. Ruang tamunya tertata apik dan terkesan modern. Beberapa buku tentang perusahaan tersebut tersusun rapi di meja sudut. Foto Presiden dan Wakil Presiden RI tergantung rapi di salah satu dindingnya.
Toni tak lama berada di ruangan tersebut, seorang pria tampan berbaju rapi warna krem dengan dasi merah marun mengajak Toni masuk ke ruang kerjanya. Pria itu adalah Riyanto, manajer Divisi Penculikan dan Jasa Penagihan Piutang. Mantan Komisaris Besar yang banyak malang melintang di direktorat reserse beberapa Kepolisian Daerah di Indonesia ini punya prestasi baik dalam upaya membongkar kasus pembunuhan, pemalsuan uang, dan penculikan, serta membongkar sindikat narkoba.
Prestasi terakhirnya sebelum mengundurkan diri dari kepolisian dan bergabung ke Tameng Indonesia adalah mengungkap pelaku pembunuhan terhadap artis sinetron yang lagi berada di puncak karier. Tiba di ruang kerjanya, Riyanto mempersilakan Toni duduk. Ia kemudian ke mejanya dan menelepon Heriyanu. Lalu, segera menuju kursi di depan Toni.
HP Toni berdering. Panggilan itu dari Sunoto yang memberi tahu bahwa Basuki sudah diselamatkan oleh petugas patroli jalan tol dan kini berada di kantor Cikampek. la kemudian menghubungi Jayadi, sopirnya, yang mengantarnya ke Tameng Indonesia untuk menjemput Basuki.
“Sopir anak saya selamat dan sekarang berada di kantor gerbang tol Cikampek,” tutur Toni membuka pembicaraan.
Belum sempat melanjutkan perbincangan, pintu ruang kerja Riyanto diketuk seseorang dan seorang pria berperawakan sedikit kurus, berkumis tipis, berhidung mancung, dan berambut hitam sepangkal leher, muncul.
“Perkenalkan Pak Toni, dia Heriyanu, staf kami yang akan memimpin penyelamatan anak Bapak,” ujar Riyanto memperkenalkan anak buahnya.
“Di Tameng Indonesia, Heriyanu termasuk senior dalam penanganan penculikan. Sekitar 95% kasus yang ditanganinya berhasil baik dengan korban diselamatkan dalam keadaan hidup tanpa terluka. Selebihnya, berhasil namun korban diselamatkan dalam keadaan terluka,” ungkap Riyanto tentang anak buahnya itu. “Baik Pak Toni, bisa ceritakan kronologi kejadiannya,” tambahnya.
Toni menceritakan apa yang ia ketahui tentang penculikan yang dialami Sekar dan Bayu pagi tadi.
“Boleh tahu, apakah selama ini Anda atau istri Anda pernah memiliki masalah dengan seseorang?” tanya Riyanto.
“Maksud Anda di kantor atau di rumah?” Toni balik bertanya.
“Keduanya.”
“Seingat saya, di kantor saya tak pernah punya masalah dengan karyawan, klien, atau pemasok perlengkapan kerja. Di rumah, saya, istri, dan anak saya juga tidak pernah punya konflik dengan pembantu, tukang kebun, atau sopir kami. Hanya saja dua bulan lalu kami memang memberhentikan sopir anak kami, Warsidi, lantaran tidak jujur. Ia ketahuan bekerja sama dengan mekanik bengkel langganan kami untuk memalsukan data penggantian suku cadang mobil yang ia kemudikan. Tierod, balljoint, serta oli gardan yang dalam bon tertulis diganti, pada kenyataannya tidak. Si Basuki itu sopir baru kami.
HP Toni kembali berdering. Kali ini dari istrinya. Menurut Tamara, ia baru menerima ancaman yang akan menghabisi nyawa Sekar dan Bayu bila tuntutan Rp 1 miliar tidak dipenuhi besok. Lagi-lagi Toni menenangkan istrinya sembari menyatakan akan segera pulang setelah urusan di Tameng Indonesia beres.
“Baik Pak Riyanto dan Pak Heriyanu, sampai di mana tadi? Oh ya, setelah PHK itu, Warsidi tak pernah muncul lagi, sampai peristiwa ini terjadi.”
“Ketika Warsidi Anda pehaka, apa reaksi dia?”
“Dia bisa menerima, sebab ketika mulai bekerja dia menandatangani perjanjian kerja dengan kami. Semua pekerja di rumah kami juga terikat aturan yang sama, bila tidak jujur mereka kami berhentikan
“Segala kewajiban terhadap Warsidi telah Bapak penuhi?” tanyanya.
“Kewajiban bulanan selama dia bekerja semua saya penuhi, termasuk berbagai tunjangan lainnya. Hanya uang pesangon memang tidak saya berikan karena sesuai perjanjian, pekerja yang kami pehaka akibat ketidakjujuran berkaitan dengan uang, tak diberi uang pesangon.”
“Warsidi paham soal itu?”
“Tentu, soalnya ketika hendak menandatangi perjanjian itu, istri saya menekankan soal ini.”
“Dia tinggal di mana Pak?”
“Sebentar saya lihat di hape saya ..... di Jalan H. Muni Gg. III No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.”
“Hmmm ... kira-kira siapa lagi yang ada kemungkinannya melakukan penculikan ini?” tanya Riyanto.
“Itulah yang membingungkan saya. Rasanya kami tidak pernah melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada orang lain,” jawab Toni.
“Kalau begitu, bisa disampaikan pembicaraan apa yang telah Pak Toni lakukan dengan penculik.”
“Dia meminta saya menyiapkan uang satu miliar rupiah dan besok pukul 09.00 saya diminta menghubungi dia.”
“Saya akan datang ke rumah Pak Toni sebelum pukul 09.00 untuk mendampingi Bapak berkomunikasi dengan penculik,” janji Heriyanu.
“Sementara, informasi awal ini kami gunakan untuk bahan analisis kami. Untuk lebih tajam, bagaimana kalau kami juga ingin meminta keterangan Basuki?” sambung Riyanto.
“Baik, nanti sesampai di rumah, saya akan minta dia datang ke sini. Perlu hari ini juga?”
“Akan lebih baik, Pak.”
“Baik, saya segera pulang untuk menyiapkan hal-hal yang saya perlu lakukan.”
Dengan menumpang taksi, Toni pulang.
Penculik berhelm full face
Setelah Toni pulang, Heriyanu mengumpulkan anggota tim untuk kasus ini. Semua informasi dari Toni disampaikan. Dalam diskusi muncul dugaan Warsidi berada di balik penculikan. Tapi ada pula yang menganalisis bahwa motif penculikan ini hanya uang semata.
“Baik, kalau begitu kita bagi tugas. Besok pagi sebelum pukul 09.00 saya akan siap di rumah Pak Toni. Saya akan mem-brief Pak Toni bagaimana cara berbicara dengan penculik. Komeng dan Gerald, siapkan kerja sama dengan Telkomselindo untuk melacak keberadaan penculik melalui sinyal hape. Karena posisi terakhir penculik di dekat Cikampek, Gusmanto dan Binarwan mesti stand by di Cikampek sebelum pukul 09.00. Lakukan koordinasi Polres Cikampek, terutama polisi lalu lintas, untuk memeriksa setiap mobil Peugeot 807 hitam yang digunakan penculik. Untuk melengkapi data, kita nanti secara bersama-sama meminta keterangan Basuki di sini. Waktunya belum tahu. Yang pasti sore ini Basuki sudah bisa dimintai keterangan.”
Pukul 15.45 Basuki tiba di kantor Tameng Indonesia bersama Toni. Mereka lantas berkumpul di ruang rapat 3201. Di sana Basuki menceritakan awal kejadiannya.
Sekitar 500 m menjelang sekolah Sekar dan Bayu, Basuki mendapat kode ada ketidakberesan pada mobil sebelah kiri dari pengendara sepeda motor yang menyalipnya dari kiri. Basuki segera menepikan mobilnya dan berusaha melihat apa yang tidak beres. Ketika Basuki melihat bagian kiri belakang mobil, pembonceng sepeda motor lain yang berada di belakang mobil turun langsung menodongkan pistol ke punggung Basuki dan menggiringnya masuk mobil.
Pada saat bersamaan, pembonceng motor yang memberitahukan ketidakberesan mobil masuk mobil lewat pintu pengemudi. Kedua pembonceng itu mengenakan helm full face sehingga tidak tampak wajahnya. Dalam sekejap, dua pengendara motor tancap gas dan menghilang di keramaian lalu lintas.
Dalam ketakutan, Sekar dan Bayu juga tak bisa berkutik. Berbekal tiga lembar kain yang sudah disiapkan pria yang menodongkan pistol, Basuki, Sekar, dan Bayu diminta menutup mata mereka sendiri. HP Basuki dirampas. Sekitar dua jam Basuki berada dalam kegelapan tanpa tahu dibawa ke mana. Orang di luar mobil juga sulit melihat apa yang terjadi di dalam karena kaca samping dan belakang mobil dilapisi kaca film 80%.
Sekar dan Bayu tak henti-hentinya menangis minta diantar pulang. Tapi tak digubris oleh penculik. Menurut penculik, mereka takkan diapa-apakan dan ayah-ibu mereka akan menjemput mereka di tempat yang akan diberitahukan kemudian. Mereka memang tak disentuh, apalagi dikasari oleh penculik.
Tiba-tiba mobil berhenti. Basuki diminta keluar dengan mata masih tertutup.
“Kalau tidak mau mati, jangan buka penutup matamu sebelum mobil ini melaju!” gertak salah seorang dari pelaku.
Tentu Basuki menuruti apa yang diperintahkan penculik. Begitu mendengar suara mobil semakin menjauh, barulah dia buka penutup matanya. Dari penunjuk jarak di jalan tol itu, dia tahu bahwa gerbang tol Cikampek hanya berjarak sekitar 4 km dari tempatnya berdiri. la pun menyusuri bahu jalan menuju arah gerbang Tol Cikampek. la tak tahu berapa lama berjalan sampai kemudian petugas patroli jalan tol menyelamatkannya.
“Dari logat bicaranya, apakah Pak Basuki mengenali para penculik?” tanya Heriyanu.
“Sepertinya ia orang Jawa, Pak,” jawab Basuki.
“Pak Basuki kenal dengan Warsidi, sopir Pak Toni yang Anda gantikan?”
“Tidak, Pak.”
“Apa lagi yang kira-kira Pak Basuki ketahui tentang penculik yang bisa kami gunakan sebagai bahan pelacakan mereka?”
“Tidak ada lagi, Pak.”
“Baik Pak Basuki, terima kasih atas keterangannya,” tutup Heriyanu.
Tepat pukul 18.00 tim berkumpul di ruang rapat.
“Ada masukan tentang strategi pelacakan dan penangkapan penculik?” buka Heriyanu.
“Saya kira, kita perlu mendengar di mana uang tebusan itu akan diberikan,” ujar Komeng.
“Kita mungkin perlu juga menyiagakan rekan-rekan kita di Bandung. Siapa tahu dari data monitoring pergerakan HP Basuki mereka lari ke sana,” sambung Binarwan.
“Jadi, strategi kita tidak berubah, hanya saja ada tambahan tugas bagi Gusmanto dan Binarwan untuk menghubungi Bandung. Besok pagi kalian stand by di Cikampek untuk memantau pergerakan mobil Pak Toni yang dibajak dan memudahkan bergerak kalau memang para penculik itu benar berada di Bandung. Saya juga minta Titus dan Togar bergabung dengan tim kita untuk melacak keberadaan Warsidi. Sekarang kita bersiap-siap untuk tugas besok pagi. Saya berharap, tugas ini bisa sukses seperti tugas-tugas kita sebelumnya.”
Upaya penangkapan gagal
Sesuai jadwal, tim Heriyanu sudah siap di masing-masing lokasi tugas mereka. Gusmanto dan Binarwan siap di Cikampek. Komeng dan Gerald, telah berada di ruang kontrol Telkomselindo. Titus dan Togar pergi ke rumah Warsidi. Sementara, Heriyanu berada di rumah Toni.
Tepat pukul 09.00 Toni menelepon penculik melalui HP Basuki. Namun, tidak dapat terhubung. Suara di HP Toni mengindikasikan HP Basuki belum diaktifkan atau masih berada di luar area jangkauan. Suasana menjadi tegang. Hariyanu berusaha menenangkan Toni sembari memberi arahan.
Sepuluh menit kemudian Toni mencoba menelepon lagi. Belum juga terhubung. Toni kali ini benar-benar cemas. Dalam hidupnya, inilah kecemasan terberat yang pernah ia rasakan. Pikiran-pikiran buruk tentang nasib kedua anaknya kembali menghantuinya.
Bersamaan dengan itu, air mata mulai menggenangi bola mata Tamara. Sejak pagi ia hanya duduk diam di sisi Toni. Sesekali matanya memandang wajah suaminya yang mulai menampakkan kecemasan. Tak ada yang dapat diperbuat Toni kecuali merangkul kepalanya dan mencium dahinya.
Pukul 09.30 Toni mencoba kembali menghubungi penculik. Berhasil!
“Halo, ini Toni. Bagaimana anak saya?” tanya Toni.
“Anak Anda baik-baik saja,” jawab salah seorang penculik.
“Boleh saya bicara pada mereka?”
“Oh, kalau yang itu baru dapat Anda lakukan setelah uang yang kami minta Anda sediakan.”
“Uang itu sudah siap, tapi bolehlah saya bicara sebentar pada mereka.”
Tak kuat menahan diri, Tamara segera merampas HP dari tangan Toni.
“Hei penculik! Segera serahkan anak kami. Apa yang kalian minta sudah kami siapkan!” hardik Tamara.
“Oh, ini mamanya Sekar dan Bayu ya?” jawab penculik.
“Iya ... mana anak saya!?”
“Oh, ada. Segera saja serahkan uang yang kami minta.”
“Jangan coba-coba sakiti anak kami ya!”
“Ya tolong dong Bu, serahkan telepon ke suami Anda, biar kami berunding dengannya.” Tamara mengembalikan HP ke suaminya.
“Halo ....”
“Iya. Kami mau uang bisa diterima hari ini. Jika tidak Sekar dan Bayu akan kami habisi. Ingat, jangan melibatkan polisi kalau ingin anak Anda selamat.”
“OK ... OK. Di mana saya harus serahkan uang itu?”
“Bungkus uang itu dalam beberapa tas kresek hitam. Masukkan bungkusan-bungkusan itu dalam dua karung plastik. Letakkan satu karung di rumput-rumput tepi jalan tol Cikampek kilometer 42+300 ke arah Cikampek dan satu karung lagi di kilometer 50+600 arah Jakarta.”
“Bagaimana kalau ada yang mengambil?”
“Tidak usah khawatir. Letakkan saja karung itu pukul 14.00 di bawah pohon terdekat. Kami yang akan membereskan.”
“OK, uang akan saya taruh di sana sesuai dengan waktu yang Anda tentukan. Tapi tolong HP ini Anda aktifkan terus.”
“Itu urusan saya.”
Hubungan telepon langsung terputus.
Ketika Toni berbicara dengan penculik, Heriyanu melakukan kontak dengan Komeng dan Gerald. Pada saat itu terlacak, HP Basuki berada di sekitar Cilandak, Jakarta. Menurut informasi Titus dan Togar, Warsidi sudah seminggu tak ada di rumah. Menurut tetangga, dia sedang mencari perkerjaan ke Medan.
Melihat kondisi demikian, Hariyanu memutuskan untuk meminta Titus dan Togar menyamar di jalan tol Cikampek km 43+100 ke arah Cikampek dengan mengendarai mobil boks khusus pengintaian. Ketika Toni, Heriyanu, dan Jayadi meletakkan karung berisi uang, di sana mereka diminta berhenti di bahu jalan. Togar dan Titus diminta berpura-pura memperbaiki mobil.
Hal yang sama dilakukan Gusmanto dan Binarwan. Hanya saja Gusmanto dan Binarwan menggunakan mobil operasional mereka. Mereka berhenti di km 41+500. Sementara, Komeng dan Gerald tetap di Telkomselindo.
Namun, pengintaian tak membuahkan hasil. Hingga pukul 18.00, tak ada yang mengambil karung uang tersebut. Togar dan Titus serta Gusmanto dan Binarwan diminta mengamankan kembali karung itu. Di kantor Telkomselindo Komeng dan Gerald juga kehilangan jejak, karena HP Basuki dimatikan.
Toni dan Tamara semakin gelisah. Semalam mereka tak bisa tidur. Beberapa kali Toni berusaha mengontak HP Basuki, juga tak berhasil. Pukul 21.30 tiba-tiba HP Toni berdering. Toni segera mengangkatnya. Kali ini nomor yang tertera berkode wilayah Bogor.
“Halo,” sapanya.
“Hei, Toni kurang ajar kamu ya. Kamu menempatkan mata-mata. Saya beri kesempatan sekali lagi. Kalau kau ulangi lagi, kita sama-sama rugi. Aku enggak dapat uang, nyawa anakmu juga melayang. Besok kita bicara lagi!” ancam penculik yang langsung menutup hubungan telepon.
Toni segera menyampaikan perkembangan terakhir pada Heriyanu.
Pakai sistem pemantau
Pukul 22.00 tim Heriyanu berkumpul kembali di kantor. Heriyanu menyampaikan informasi yang didengarnya dari Toni. Diskusi pun berlangsung seru mengenai alternatif cara yang dapat ditempuh. Dari ide-ide yang disampaikan itu, ide Komeng, rupanya lumayan menarik.
Komeng mengusulkan, di bagian dalam tempat uang tebusan diberi alat pemantau (tracking system) yang terhubung dengan GPS. Alat berukuran kecil itu menggunakan baterai arloji sebagai sumber listriknya. Komunikasi dari sistem pemantau dengan tim pemantau menggunakan jaringan GSM, menggunakan kartu SIM, mirip yang dipakai pada ponsel. Dari HP khusus yang akan dipegang Heriyanu akan diketahui posisi koordinat geografis penculik sesuai format laporan GPS (lintang, bujur, dan ketinggian). Toni pun menyetujui cara ini.
Pagi harinya Komeng dan Gerald sudah tiba di kantor PT Global Perdana Sejahtera, penyelenggara jasa pemantauan dan penjual sistem pemantau. Mereka berhasil mendapatkan alat tersebut dan bantuan pemantauan dari pusat kontrol perusahaan itu. Alat segera dipasang di bagian dalam karung plastik.
Sementara, Heriyanu berada di rumah Toni sejak pagi. Togar dan Titus diminta stand by di rest area tol Cikampek arah Cikampek, sementara Gusmanto dan Binarwan siap di Cibubur yang memudahkan mereka masuk ke tol Jagorawi, ke arah Jakarta maupun Bogor.
Hari itu, upaya Toni menghubungi HP Basuki tidak berhasil, yang membuatnya dan Tamara sangat tertekan. Hari berikutnya juga demikian. Namun, pada esok dini harinya, HP Toni berdering. Kali ini yang menghubungi berada di wilayah dengan kode area Cilegon.
“Toni, saya ingatkan, kali ini jangan pakai mata-mata. Anakmu masih bersama saya. Taruh uang tebusan di km 64+900 tol Jakarta-Merak ke arah Jakarta dan arah Merak pada pukul 10.00. Jelas?”
“Saya paham. Apakah saya bisa bicara dengan anak saya?”
“Oh, dia sedang tidur. Semalam dia makan di KFC Cilegon. Jadi, anakmu saya urus baik-baik.”
Telepon segera terputus. Pukul 05.00 Toni menyampaikan kabar terbaru ini kepada Heriyanu, yang segera meneruskannya ke timnya sekaligus membagi tugas. Togar dan Titus diminta siap di rest area km 69 tol Tomang-Merak arah Merak, sementara Gusmanto dan Binarwan stand by di km 62 arah Jakarta.
Tepat pukul 10.00 Toni, Heriyanu, dan Jayadi sudah berada di km 64+900. Karung pertama diletakkan Jayadi di sisi jalan tol arah Merak. Dengan menyeberang jalan tol, Jayadi meletakkan karung kedua di sisi jalan tol seberangnya. HP Heriyanu menunjukkan alat pemantau berfungsi baik. Mereka segera meninggalkan tempat untuk bergabung dengan Togar dan Titus.
Setelah meninggalkan tempat sejauh 700 m, Toni melihat mobil yang sama persis dengan mobilnya bergerak menuju Jakarta.
Namun, mobil tersebut menggunakan nomor polisi Bandung. Tak lebih dari empat menit kemudian, Heriyanu melihat alat pemantau bergerak menuju ke arah Jakarta. Pasti, penculik telah mengambil uang tebusan. Heriyanu segera mengontak Gusmanto dan Binarwan untuk membuntuti mobil penculik dan menginformasikan pergerakannya. Togar dan Titus juga diperintahkan mengejar penculik. Heriyanu melakukan hal yang sama bersama Toni dan Jayadi.
Tak lama kemudian, Heriyanu menerima informasi dari Gusmanto bahwa penculik keluar dari jalan tol di gerbang tol Ciujung. Penculik masuk jalan raya ke arah Balaraja. Di sebuah lahan kosong, tiba-tiba mobil Toni yang dikuasai penculik berhenti. Namun, Binarwan tetap mengendari mobilnya. Dari dalam mobil Gusmanto melihat dua anak diturunkan, lalu mobil penculik melaju kembali. Kedua anak itu ia yakini sebagai Sekar dan Bayu.
Ia segera melaporkan hal itu kepada Heriyanu dan meminta Titus segera mendekat hingga mereka bisa mengapit mobil penculik. Binarwan berusaha mengendarai mobilnya agar tetap berada di depan mobil penculik.
Tak lama kemudian, posisi dua mobil tim pemburu penculik itu telah mengapit mobil penculik. Ketika jalan agak lengang Binarwan mengendarai mobil agak kencang dan mengerem mendadak. Rupanya penculik tidak mampu mengendalikan mobil dan menabrak mobil Binarwan. Titus pun segera menabrakkan moncong mobilnya di bumper belakang mobil penculik.
Binarwan dan Gusmanto segera keluar mobil. Penculik tak menyadari bahwa keduanya sedang memburu mereka. Mereka juga keluar dari mobil. Dengan muka meradang penculik yang mengemudikan mobil memaki-maki Binarwan. Sementara, dua penculik lainnya bergerak ke belakang menuju mobil Titus.
Ketika saatnya tepat, Gusmanto segera berteriak, “Action!”. Mereka berempat segera menangkap si penculik.
Gusmanto dan Binarwan berhasil membekuk penculik yang mengemudikan mobil, Titus berhasil membuat penculik kedua bertekuk lutut, namun Togar tak berhasil memborgol penculik ketiga yang lari ke arah belakang mobil Titus. Beruntung tak jauh dari tempat itu Heriyanu sudah muncul. Melihat Togar mengejar penculik, Jayadi segera menghentikan mobil dan Heriyanu turun untuk membantu Togar. Penculik ketiga pun ditangkap.
Dengan tangan dan kaki diborgol, ketiga penculik dibawa ke Polsek Cilandak. Berdasarkan informasi ketiganya, polisi juga berhasil membekuk sang pimpinan penculik. la adalah Bejo, mantan anggota polisi yang dipecat karena indisipliner. Tiga anggota komplotannya; Tompel, Bodong, dan Jalu adalah residivis yang sudah sering masuk-keluar penjara karena kasus pencopetan dan penjambretan.
Motivasi tindak kriminal yang mereka lakukan semata-mata untuk mendapatkan uang. Sebelum beraksi, Bejo telah mengamati selama seminggu kebiasaan harian sasarannya. Selama masa penculikan, mereka selalu berpindah tempat dan tidak dalam tim yang lengkap. Mereka juga sempat mengganti nomor polisi mobil Toni dengan nomor polisi palsu. Mereka bermalam di penginapan murah dengan menggunakan uang pinjaman.
Selama itu pula, mereka memaksa Sekar dan Bayu untuk mengaku sebagai keluarga jika ada yang menanyakan hubungan mereka. Mereka juga selalu mengancam akan membunuh Sekar dan Bayu kalau sampai mereka melawan atau berteriak. (Gde Yudhana)
Baca Juga: Wajah Ganda sang Rockefeller
" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517189/alat-pemantau-di-uang-tebusan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343394000) } } }