Intisari Plus - Angka kematian pasien sebuah rumah sakit meningkat drastis. Ditemukan kadar potasium klorida yang tinggi dalam darah para korban.
--------------------
Ruang Pertemuan Rumah Sakit Phoebe Putney di Albany, Georgia, AS, terkesan senyap meski banyak orang berada di dalamnya. Ducan Moore, direktur RS, duduk berjajar bersama Lou Raines, kepala bagian medis, dan kepala perawat, Diana Hall. Di deretan kursi depan duduk seorang perawat, tubuhnya berisi bahkan cenderung gemuk untuk posturnya, namun matanya sayu dengan tutur kata lemah lembut. Terri Rachals, wanita berusia 24 tahun ini, sedang menghadapi tim penyelidik kepolisian setempat yang dipimpin oleh Sheriff Ed Taylor.
“Benarkah Anda dituduh melakukan pembunuhan atas diri Andrew Daniels dengan memasukkan potasium klorida ke dalam pembuluh darahnya?” tanya Taylor.
Perawat wanita itu mendengar tanpa emosi. Tangannya tak bergerak, tidak menunjukkan kemarahan, juga tidak terkejut. Ia hanya menunduk hormat kepada semua orang di sekitarnya. Kenyataannya, ia tak ingat segala sesuatu tentang kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Tak berapa lama kemudian, tangan Terri diborgol dan dibawa ke kantor polisi diiringi dengan isak tangis segenap staf rumah sakit. Ia dianggap bertanggung jawab atas kematian tak wajar dua orang pasien dan diduga terlibat dalam sembilan tindakan kejahatan lainnya di rumah sakit itu selama musim dingin 1985.
Banyak pertanyaan berkecamuk di benak para pegawai rumah sakit tersebut. Benarkah Terri Rachals seorang pembunuh? Mereka tidak percaya atas apa yang dilakukan koleganya yang selama ini dikenal penuh perhatian, cinta pada sesama, dan sayang kepada para pasiennya.
Penangkapan seorang perawat dengan tuduhan melakukan pembunuhan terhadap beberapa pasiennya, dalam waktu sekejap menjadi berita utama media massa baik daerah maupun nasional Amerika.
Puluhan wartawan setiap hari mendatangi rumah sakit tersebut, belum lagi deringan telepon dari beberapa pihak membuat para pegawai RS itu kelabakan dan tegang. Bahkan beberapa mantan pasien menanyakan apakah dalam dirinya masih terdapat kandungan potasium. Dengan semangat solidaritas tinggi jawaban yang diberikan para kolega Terri Rachals merupakan penjelasan yang sifatnya membela sang tersangka.
“Selama ini perilakunya tidak pernah jahat,” kata salah seorang perawat. “Suaminya cacat, oleh karena itu ia harus merawatnya, terutama atas diri anaknya yang kini berumur 2 tahun. Kami tak percaya ia melakukan pembunuhan. Saya kenal dia bertahun-tahun. Kami semua mencintainya sampai sekarang.”
Seorang perawat lainnya menimpali, “Harap Anda tahu, larutan potasium itu biasa digunakan dalam cairan infus. Residunya tak akan menimbulkan kerusakan organ pasien. Betapapun, datangnya kematian sering kali tak bisa dicegah.”
“Anda semua tentu bisa menyimpulkan, orang macam apa Terri Rachals kalau penangkapannya membuat kami di sini merasa amat berduka. Kami berdoa untuk keselamatannya,” kata kolega tersangka di depan para wartawan.
Kenangan buruk masa kecil
Rachals baru berusia 2 tahun ketika ibunya yang mengidap sakit ingatan menelantarkannya. Untunglah, ia kemudian diadopsi oleh keluarga Louis dan Jimmy Maples. Masa kanak-kanaknya cukup membahagiakan di bawah limpahan kasih sayang kedua orang tua angkatnya. Selama 9 tahun kehidupan keluarga ini cukup harmonis, namun ketika ibu angkatnya jatuh sakit sampai akhirnya meninggal, hidup Rachals berubah total.
Terdorong cintanya yang amat besar, Rachals selalu mendampingi Louis Maples di rumah sakit siang-malam. Ingatannya selalu dihantui wajah ibu angkatnya yang sedang sekarat di ICU. Wajah wanita malang ini demikian pucat. Baik tangan kanan maupun tangan kirinya ditusuki bermacam jarum infus. Di sekitar ranjangnya bergayut selang-selang infus darah dan infus makanan. Hati kecilnya menjerit menyaksikan penderitaan sang ibu.
Betapa besar upayanya membesarkan hati ibunya, toh ia tak mampu berbuat apa-apa. Embusan napas terakhir dari wanita yang sudah dianggap ibu kandung tersebut ia saksikan dengan hati yang pilu.
Sepeninggal Louis, sandaran hidupnya kini diletakkan di pundak Jimmy. Rachals pun mencintai ayah angkatnya dengan sepenuh hati meski tak seperti terhadap almarhumah ibu angkatnya. Di lain pihak, kematian sang istri justru membuat kehidupan Jimmy berubah total.
Seperti terjerat rasa frustasi tak terkendali, perilaku lelaki ini justru malah liar. Jimmy berteman dengan minuman keras. Tingkah lakunya di rumah brutal, termasuk pada putri angkatnya. Saat usia 16 tahun. Rachals disekap dalam kamar dan dipaksa melayani nafsu bejat sang ayah angkat dengan ancaman senjata.
Gadis yang semula aktif dalam kegiatan sosial dan palang merah ini berangsur-angsur jadi pendiam dan murung. Perilaku sang ayah benar-benar merusak jiwanya. Untuk menghindari perlakuan yang lebih buruk dari Jimmy, Rachals akhirnya pergi dari rumah dan menumpang di rumah saudaranya. Satu-satunya niat dalam dirinya adalah keinginannya untuk selalu menolong orang lain. Terobsesi untuk menyelamatkan nyawa ibunya, Rachals bercita-cita untuk menjadi perawat.
Dalam sebuah kegiatan sosial, Rachals berkenalan dengan Roger. Pemuda yang mengidap kelumpuhan otak itu sedang mencari pekerjaan, sementara Rachals masuk ke akademi perawat. Hubungan kasih kedua insan ini berlangsung dengan mesra sampai akhirnya ke pelaminan. Sampai tahap ini tercapailah keinginan Rachals. Menjadi seorang perawat dan menemukan pendamping hidup.
Seiring dengan perjalanan waktu, luka batin masa lalu terus terpatri dalam hati Rachals yang ternyata mengganggu perkawinan mereka. Belum ada setahun, kehidupan intim pasangan ini terganggu. Setiap dicumbu, Rachals selalu menolak dengan berbagai alasan. Padahal Rachals amat mencintai suaminya, tetapi entah mengapa, setiap kali mereka bercumbu wajah garang ayah angkatnya menghantui.
Karena tak mampu menahan derita batinnya lagi, Rachals mengaku kepada suaminya atas perlakuan buruk yang diterimanya dari ayah angkatnya. Untunglah, Rachals memiliki suami yang penuh pengertian, yang akhirnya bisa memahami dan menerima wanita yang bermasa lalu mengenaskan ini. Kehidupan perkawinan mereka pun membaik sampai kelahiran putra pertama Chad.
Toh, semuanya kebahagiaan yang dirasakan tak mampu menghapus ingatan Rachals akan masa lalunya. Sekelebat demi sekelebat, wajah ibunya yang pucat pasi menjelang ajal, diselingi wajah ayahnya menggangu ingatannya. Kedua potret muram itu datang silih berganti tanpa permisi.
Rupanya, tekanan psikis yang hebat ini tak lagi bisa ditahan. Akibatnya, saraf Terri Rachals yang tidak kuat. Bahkan, bulan demi bulan kondisi psikologis dan mental wanita ini menjadi tak stabil. Terkadang ucapannya meracau tak terkendali. Tiba-tiba ia bisa belanja ratusan dolar padahal tidak punya duit. Kalau ditanya, ia mengaku akan mendapat pinjaman dari ayahnya.
Badannya makin lama makin gemuk meskipun ia yakin sedang diet ketat. Ketika suaminya menanyakan kenapa membuang bungkus-bungkus hamburger di mobil, ia minta maaf. Namun ia tidak ingat kapan membeli dan makan hamburger tersebut. Terkadang, ia tak ingat telah keluyuran ke mana saja sepulang kerja, tahu-tahu sampai rumah bensin mobilnya sudah habis.
Korban berjatuhan
Selasa, 13 November 1985, berlangsung seperti hari-hari biasanya. Di rumah sakit Rachals terlihat bersenda gurau bersama dengan teman-teman perawat lain. Sesekali ia mencandai para pasien sambil memeriksa catatan medis di delapan ranjang yang berada di ruang ICU. Tak seorang pun tahu dunia lain yang menakutkan di balik segala tingkah dan keriangan Terri Rachals. Tanpa menimbulkan kecurigaan koleganya, Rachals nampak sibuk memeriksa pasien asal Moultrie, yakni Andrew Daniel (73), seorang sopir truk.
Kemarin Daniel baru saja menjalani operasi pembedahan perutnya karena diketahui ada luka dalam. Pemberian cairan makanan melalui infus saat itu sudah menunjukkan tanda-tanda baik. Beberapa saat kemudian tanpa ada alasan yang jelas mendadak ia mendapatkan serangan jantung. Esok harinya, Daniel meninggal.
Karena kematian sudah menjadi bagian dari peristiwa lumrah di ICU, tidak ada kecurigaan sedikit pun dari para staf rumah sakit ikhwal kematian Daniel. Mayatnya pun tidak diautopsi. Dalam surat kematiannya hanya diterangkan bahwa Daniel menderita penyakit diabetes dan meninggal karena gagal ginjal.
Nah, sejak hari itu mulailah kejadian-kejadian aneh muncul secara beruntun. Angka kematian pasien di ICU naik drastis. Para karyawan rumah sakit tercekam keraguan. Direksi menduga, barangkali peralatan yang dipakai di ICU sudah tidak layak lagi sehingga mengganggu keselamatan pemakainya. Tanpa ambil risiko, dalam waktu singkat pihak rumah sakit lalu mengadakan peremajaan peralatan.
Kekhawatiran mereka juga dialamatkan pada pemakaian obat-obatan palsu atau pemberian dosis yang tidak sesuai aturan. Pasalnya, mayat Daniel diketahui terpapar potasium klorida yang amat banyak, 20 milliequivalents. Padahal bahan kimia tak berwarna itu biasanya hanya dipergunakan dalam jumlah sedikit untuk perawatan pasien yang akan menjalani pembedahan.
Fakta lain cukup mengejutkan, ternyata potasium ditemukan juga pada beberapa jenis makanan semisal pisang, kopi, jeruk, ikan salmon, sardin, tomat, tuna kalengan, dan daging kalkun. Padahal porsi yang dianjurkan sesuai aturan yang berlaku hanya sekitar 2-6 g/hari. Biasanya pemakaian untuk orang dewasa maksimal cukup 4,5 g. Itu pun harus dikonsumsi sedikit demi sedikit. Kalau dikonsumsi sekaligus dalam sekejap, pada orang sakit, bisa berakibat fatal.
Dari hasil penyelidikan, diperkirakan Daniel mengonsumsi zat kimia itu sekali tenggak 1,5 g dan langsung masuk ke pembuluh darah. Ini sama artinya dengan suntik mati.
Tentu saja direksi rumah sakit tidak yakin bila ada seorang pembunuh di antara sekian banyak karyawan. Apalagi semua perawat yang bertugas di ICU, termasuk Rachals yang sudah 4 tahun bertugas, rata-rata sudah senior. Selama kariernya belum pernah sekali pun Rachals kena teguran.
Beberapa kejadian berikutnya semakin membuat direksi rumah sakit curiga. Pasti ada sesuatu. Betapa tidak? Selama bulan November tercatat 9 pasien ICU meninggal karena serangan jantung. Padahal sebelumnya tingkat kematian di situ cuma 3 sampai 4 orang per bulan. Dari jumlah itu penderita serangan jantung yang meninggal hanya sedikit. Biasanya kalau di salah satu alat elektrokardiograf mengeluarkan bunyi denging tanda bahwa pasien yang bersangkutan dalam bahaya, tim perawat pasti segera melakukan resusitasi.
Pada tanggal 25 November pihak rumah sakit memberlakukan UU IX. Yakni pelaksanaan prosedur pengamanan di ruang ICU dengan pengoperasian kamera pengawas, pemeriksaan ketat terhadap setiap pasien, pengetatan suplai obat, check and recheck pada tabung-tabung infus secara periodik dan pengontrolan pada para pasien yang sudah mulai sembuh. Potasium klorida hanya bisa keluar dari lemari obat dengan otorisasi satu tangan. Pengetatan keamanan ini berlangsung dua bulan. Selama itu hanya terjadi kasus serangan jantung 3 kali. Setelah itu suasana tenang di rumah sakit itu pulih.
Tanggal 31 Januari 1986, UU IX dicabut dan segala sesuatu berjalan normal kembali. Baik dokter dan perawat bisa bernapas lega, bekerja tanpa ketegangan dan kekhawatiran terulangnya peristiwa menggegerkan tersebut. Anehnya, 4 hari setelah pencabutan UU IX seorang pasien mendapat serangan jantung. Untunglah ia berhasil diselamatkan.
Namun kalangan dokter kembali terkejut. Pasalnya, pasien tersebut terpapar potasium dalam kadar yang tinggi. Suasana ICU kembali geger. Semuanya dikerahkan untuk melakukan penyelidikan. Makanan dicek, begitu pula obat, dan peralatan yang dipakai. Yang ironis, mereka tidak mencari “seseorang” tetapi hanya mencari “sesuatu”.
Hari berikutnya laboratorium melaporkan adanya kandungan potasium tinggi di dalam satu tabung infus seorang pasien di ICU tersebut. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, direksi rumah sakit memberlakukan UU IX lagi. Suplai potasium kembali diawasi dengan ketat. Demi keselamatan, semua pemberian obat harus dilakukan dengan cross-check dua orang perawat. Sangat mungkin seseorang telah menyusupkan potasium tersebut ke dalam tabung infus di deretan ranjang ke IV.
Tanggal 11 Februari, kejadian yang sama terulang kembali. Pasien khusus ICU Samuel Bentley mendapat serangan jantung mendadak. Untunglah, dengan pertolongan resusitasi, nyawanya masih tertolong. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa selang infus yang dipakai untuk menginjeksi darah ke dalam tubuhnya mengandung potasium kadar tinggi.
Kejadian ini membuat direksi rumah sakit putus asa. Di satu pihak, mereka tidak bisa lagi menoleransi kejadian serupa, namun di lain pihak tak punya cara lain untuk “menangkap” dalang pembuat onar ini. Akhirnya rumah sakit memanggil pihak kepolisian Georgia untuk melakukan penyelidikan.
Sudah beberapa minggu polisi melakukan penyelidikan, tapi masih belum berhasil menemukan jawaban. Memang, bukan hal yang mudah. Menyelidiki dan menginterogasi lebih dari 1.200 pegawai rumah sakit terbukti tidak efektif untuk mendapatkan petunjuk dalam menguak “pembunuhan” beruntun itu. Teror, ketakutan, rasa tegang, masih menggayuti RS Phoebe Putney.
Tak punya alibi
Di siang hari saat hujan, Ann Rambusch, kepala bagian ICU RS Phoebe Putney baru saja masuk kantor. Belakangan ini ia stres berat. Semua karyawan di unitnya kini menjadi pusat perhatian. Tudingan maupun kecurigaan orang dialamatkan padanya, menyusul rentetan kejadian yang mengenaskan atas diri para pasien yang dirawat di sana.
Ann kini memusatkan perhatian untuk memeriksa jadwal shift para perawat, terutama selama periode terjadinya peristiwa-peristiwa tragis tersebut. Ketika memeriksa jadwal shift para perawat pukul 15.00-23.00, Ann amat terkejut. la seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya pada layar komputernya. Pada setiap kejadian pasien terserang jantung, ternyata perawat Terri Rachals selalu bertugas.
Kamis, 13 Maret, Rachals diperiksa polisi dan direksi rumah sakit. Biro Penyelidik Georgia mengirim tim yang dipimpin Letnan Lee Sweat. Setelah interogasi berlangsung selama sejam wanita lemah lembut ini dengan sopannya mengaku dialah yang menyuntikkan potasium dalam dosis mematikan kepada lima orang pasien, tiga di antaranya meninggal.
Para penyelidik tercengang saat mereka merekam pengakuan Rachals dalam tape recorder. Perawat itu bahkan menjelaskan dan memeragakan bagaimana ia melepas label-label botbl-botol potasium klorida dan menempelkannya pada kartu pasien yang seharusnya tidak diberi mineral kimia tersebut.
Kasus yang menimpa pasien tua Samuel Bentley, diceritakan agak mendetail. Februari 1985 Bentley (83), seorang pensiunan pekerja pabrik tekstil, dirawat di ICU RS Phoebe Putney lantaran mengidap gangren di kaki kiri dan gangguan perut. Namun kondisi jantungnya masih sehat. Nah, tanggal 11 Februari ia mengalami serangan jantung, disusul serangan serupa beberapa kali sampai akhirnya meninggal 22 Februari.
Dalam surat keterangan dijelaskan bahwa penyebab kematiannya adalah karena kegagalan ginjal akut. Tapi juga ada tambahan informasi bahwa ia mengidap sindrom gangguan pernapasan. Menurut diagnosis dokter kadar potasium dalam tubuhnya masih dalam ambang normal.
“Jadi dalam lima kasus kematian pasien, Anda menyuntikkan potasium klorida ke dalam selang infus yang ke pembuluh darah?” tanya Sweat.
“Ya. Tapi pada kasus Samuel Bentley saya menginjeksikan potasium ke dalam kantung plasmanya,” jawab Rachals dengan ekspresi yang luar biasa tenangnya.
Pengakuan ini amat memperkuat tuduhan padanya. Setelah kantung plasma dipasang pada selang infus Bentley di deretan ranjang ke IV, ia lalu mengamati monitor alat elektrokardiograf, “Karena saya tahu pasti akan terjadi sesuatu.” Beberapa saat kemudian ketika garis-garis elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda adanya keracunan potasium, ia lalu memanggil dokter.
Ketika menceritakan peristiwa itu, Rachal terlihat sedih sejenak lalu kembali menyandarkan punggungnya di kursi sambil menatap Sweat.
“Apakah Anda mengira saya telah melakukan hal-hal itu?” tanyanya. Gantian Sweat yang agak bingung mendapatkan pertanyaan ini. “Ya, tentu saja. ‘Kan Anda sendiri yang mengatakannya.”
“Maafkan saya. Saya sungguh tidak bermaksud menyakiti hati orang-orang tersebut. Saya justru bermaksud membantunya,” ujar Rachals pelan.
Sore harinya, Rachals diperiksa unit psikiatri. Ia dinyatakan menderita depresi kronis, berada dalam keadaan putus ada dan dikhawatirkan bisa bunuh diri. Roger, suaminya yang tak kalah stresnya setelah mendengar kisah istrinya, datang menjenguk.
“Mengapa kau tega melakukan ini semua?” tanya Roger.
“Saya memang melakukan itu, Roger. Saya butuh bantuanmu.”
Pengakuannya di depan kepolisian itu akhirnya menyeret Rachals ke meja hijau. Ia menghadapi tuduhan melakukan enam kali pembunuhan dan 20 tuduhan lain menyangkut penyiksaan atas diri para pasien di RS Phoebe Putney. Keenam korban tewas itu adalah sebagai berikut Daniel Milton Lucas (68), asal Sylvester, meninggal 19 Oktober 1985, Minnie Houck (58) dari Moultrie, meninggal 7 November, Joe Ervin (36) asal Albany yang tewas 10 November, Roger Parker (36) asal Sumner, meninggal 15 November, Norris Morgan (3) asal Albany, tewas 26 November.
Di antara 20 orang yang pernah “digarap” Terri namun belum meninggal karena keburu ditolong para perawat lain dengan resusitasi adalah Frankie Creech, pernah dicoba dibunuh enam kali namun ia meninggal karena kerusakan otak di rumah sakit lain di Agusta, George Whiting dan Jack Delma Stephens dua kali. Seiring dengan itu publikasi media massa AS menyangkut peristiwa ini semakin gencar. Hampir semua koran nasional memuat perkembangan kasus Rachals setiap harinya.
Keraguan para juri
Untuk menghadapi pengadilan, Rachals dan Roger terpaksa menjual rumah mereka, harta satu-satunya yang mereka miliki, untuk menyewa pengacara. Pilihan jatuh pada George Donaldson dari Albany.
Salah satu tugas pertama Donaldson adalah memilih anggota dewan juri. Mengingat kasus ini sudah sedemikian luasnya dipublikasikan oleh hampir seluruh media massa AS, Donaldson khawatir persepsi anggota juri sudah terpengaruh oleh opini yang terbentuk di masyarakat. Untuk menghindarinya, Donaldson menyewa konsultan ahli pemilih juri dari Gainesville. Tapi justru langkah inilah yang menimbulkan perselisihan antara Donaldson dengan jaksa wilayah Hobart Hind.
Hind marah. la keberatan ketika sidang diundur dari tanggal 9 sampai 15 September. Hind bahkan menuduh, dengan pengunduran waktu itu Donaldson bisa bersekongkol dengan para anggota juri. Untung, perselisihan kedua belah pihak itu tak sampai membatalkan persidangan.
Sebulan kemudian evaluasi psikiatris atas diri Rachals rampung. Dr. Thomas Hall, direktur medis divisi pelayanan forensik Rumah Sakit Pusat Milledgeville, Georgia, memberi pernyataan bahwa Rachals secara mental sudah siap dan bisa didampingi pengacaranya untuk persiapan persidangan. Thomas juga menerangkan soal motif kejahatan yang selama ini masih terus diperdebatkan.
“Sebaiknya pengadilan mempertimbangkan, tersangka mengaku sering berada pada situasi yang menurut perasaannya justru para pasien yang menjadi korbannya itu meminta Rachals untuk membunuhnya. Itulah sebabnya ia merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu menghilangkan penderitaan dan kesakitan mereka.” Demikian tulis dr. Thomas. “Namun, hasil penelitian kami lebih banyak menjelaskan bahwa situasi itu lebih merupakan dorongan khayalan yang bersangkutan saja.”
Kamis, 25 September, Hakim Judge Kelley, dalam pembacaan ringkasannya selama 50 menit, mengatakan kepada dewan juri karena kapasitas mental terdakwa masih diperdebatkan, mereka harus mempertimbangkan 4 putusan; bersalah; tak bersalah dengan alasan gangguan ingatan; bersalah tetapi secara mental sakit; atau sama sekali tidak bersalah.
“Terdakwa bisa dinyatakan bersalah kalau memang yang bersangkutan tidak memiliki kapasitas mental untuk membedakan antara benar dan salah selama persidangan pembahasan perkaranya,” kata Kelley.
Sementara itu Jaksa Penuntut Hind tetap pada pendiriannya, tersangka sehat baik fisik maupun mental sehingga ia layak menerima hukuman atas perbuatannya. Menurutnya, sejak kecil Rachals merasa seperti orang terbuang. Nah, karena mendambakan kekuatan hidup dan pengakuan eksistensi, ia lantas melakukan perbuatan teror di rumah sakit tersebut.
“Bagaimanapun orang yang melakukan pembunuhan itu harus disebut penjahat. Bukan orang gila. Forum ini tidak mengadili orang gila, tapi seorang perawat yang berpendidikan. Ketika diwisuda Rachals sudah mengucapkan sumpah Florance Nightingale yang berbunyi: Saya tidak akan pernah menyuntik seseorang dengan obat yang membahayakan nyawa. Tapi nyatanya yang diperbuatnya justru sebaliknya,” ujar Hind.
“Kasus-kasus pembunuhan ini tidak bisa disamakan dengan eutanasia, yang bertujuan untuk menghilangkan penderitaan si korban,” tambah Hind. Jaksa mengambil contoh kasus yang menimpa pasien bernama Lucas (68), seorang sopir truk. Pada saat itu kondisi kesehatan Lucas sudah membaik, bahkan dua hari lagi oleh dokter sudah diperbolehkan pulang. Tapi tragisnya, justru hari berikutnya ia “dibantai” oleh tersangka.
Mendengar dakwaan jaksa, Rachals meneteskan air mata dan tersedu menunduk di kursinya. Sebaliknya Donaldson, pengacara terdakwa menyanggah semua dakwaannya. Ia yakin kondisi mental kliennya pada saat melakukan pengakuan yang telah direkam oleh polisi, tidak stabil. Buktinya, ketika dalam sidang itu dikonfirmasikan kembali, tersangka bingung.
“Apakah Anda mengatakan hal yang sesungguhnya dalam rekaman?” tanya Donaldson.
“Saya sungguh-sungguh bingung. Mereka mengatakan bahwa saya telah berbuat kejahatan tersebut. Nah, sejak itu pikiran saya selalu dihantui tuduhan tersebut. Bahkan sampai saya menyimpulkan jangan-jangan saya benar-benar melakukan itu,” demikian jawab Rachals.
Pukul 10.42 dewan juri beristirahat untuk mempertimbangkan putusannya. Dewan juri yang terdiri atas 7 pria dan 5 wanita terlihat tegang. Sebelum menyusun pertimbangan, mereka berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Sejam kemudian mereka mengirim sepucuk surat kepada Hakim Kelley memintanya untuk mendengarkan kembali rekaman kaset pengakuan Rachals.
Mereka juga ingin memeriksa kembali laporan dari laboratorium kriminal negara menyangkut bekas-bekas tusukan jarum pada kantung cairan infus Bentley. Namun permintaan ini ditolak oleh hakim dengan alasan waktu pembuktian dengan pemeriksaan bukti-bukti sudah pernah dilakukan dan tak bisa lagi ditunjukkan kepada para juri.
Seorang anggota juri mengatakan, tersangka bisa jadi bersalah pada kasus-kasus lain tetapi kita tidak punya bukti. Jaksa penuntut harus bisa menyodorkan bukti bahwa potasium klorida itu hilang dan bisa dipakai untuk melakukan pembunuhan. “Pengakuan Rachals dalam rekaman kasetnya bahwa ia melepas label pada botol potasium klorida dan kemudian menempelkannya pada kartu pasien yang tidak seharusnya menerima suntikan kimia tersebut, harus bisa dibuktikan. Artinya, jaksa harus bisa menghadirkan kartu tersebut di pengadilan,” ujar salah seorang anggota juri, Willie Davis. “Tapi nyatanya mereka tak bisa melakukan hal itu. Saya tidak akan memutuskan Rachals bersalah hanya karena orang lain atau masyarakat mengira ia yang melakukan kejahatan itu.”
Seorang anggota juri wanita yang lain menambahkan, “Sekarang, ke mana potasium yang hilang itu? Tanpa ada bukti hilangnya potasium tersebut, kita tidak bisa menuduh dia sembarangan. Tidak hanya karena saat itu ia sedang bertugas, lantas kita bisa menuduhnya. Orang lain pun saat itu sedang bertugas.”
Dalam pada itu, sebuah jajak pendapat surat kabar setempat menjelaskan bahwa Rachals menderita gangguan mental sehingga ia mau mengakui melakukan kejahatan yang tidak ia lakukan. Testimoni psikiatris menunjukkan bahwa masalah mental yang diderita tersangka bisa mendorongnya untuk melakukan pengakuan yang keliru.
“Saya tahu orang-orang yang pernah dituduh melakukan tindak kejahatan yang tidak pernah mereka lakukan dan toh terpaksa mengaku,” ujar Davis.
Setelah 9,5 jam berunding menyusun pertimbangan, juri kembali ke ruang sidang. Mereka menyatakan, Rachals bersalah namun menderita sakit gangguan mental pada peristiwa 11 Februari saat terjadinya peristiwa yang menewaskan Samuel Bentley. Juri juga membebaskan Rachals dari tuduhan melakukan enam pembunuhan yang lain serta penganiayaan atas diri 19 pasien di unit perawatan operasi.
Hakim Kelley menunda keputusannya sampai sidang berikutnya. Begitu palu tanda sidang usai terketuk, suasana pengadilan menjadi gempar dan gaduh. Baik suara mendukung atau menentang keputusan juri terlontar silih berganti. Jaksa penuntut umum Hind terlihat marah dan geram, “Pengadilan ini telah gagal menegakkan keadilan!”
Penjara 17 tahun
Tanggal 1 Oktober sidang dibuka kembali. Sebelum pembacaan putusan, Donaldson meminta waktu untuk membacakan pernyataan yang ditulis oleh si tersangka. Hakim mempersilahkannya.
“Sebagai seorang beragama, saya tahu bahwa menyakiti atau membunuh orang adalah tindakan terlarang. Namun ketahuilah, di dalam batin saya terjadi peperangan hebat. Itulah sebabnya saya tidak tahu apakah saya melakukan tindakan seperti yang dituduhkan itu atau tidak. Sejujurnya saya katakan, saya tidak melakukan hal itu. Tetapi kalau saya melakukannya, tentu tidak dengan niat menyakiti para korban. Pada kesempatan ini saya minta maaf kepada bangsa dan negara, telah merepotkan Anda semua atas kejadian ini. Saya yakin hukuman apa pun yang dijatuhkan benar-benar adil. Akhirnya, saya mohon agar diizinkan menjalani pemeriksaan dan perawatan psikologis agar bisa kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna.”
Suasana sidang hening selama dan sesudah Donaldson membacakan pernyataan Rachals. Lagi-lagi tersangka, yang saat itu berpakaian putih dan sweater merah marun, meneteskan air mata. Tiba-tiba Ann Rambusch berdiri menyatakan keberatannya.
“Karena ternyata Rachals tidak memiliki rasa belas kasihan, ia pun tidak berhak untuk menerimanya. Demi para korban dan keluarganya, saya meminta hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap terdakwa,” ujar Rambusch. Ia mengatakan, belum pernah ada pelanggaran hak asasi para pasien yang sedemikian hebat seperti yang dilakukan Rachals.
“Tersangka tahu membedakan mana perbuatan yang salah dan benar. Ia sadar saat melakukan kejahatan tersebut demikian pula sekarang ini dia pun masih sadar. Tersangka lebih berbahaya daripada harimau. Ia telah menuliskan bab yang mengerikan dalam buku sejarah perawat.”
Kali ini pengunjung yang memenuhi ruang sidang bergumam sendiri-sendiri. Beberapa saat kemudian Hakim Kelley membacakan keputusannya. Rachals diberi vonis 17 tahun penjara dengan 3 tahun masa percobaan. Ia juga memerintahkan agar setelah selesai menjalani hukuman, Rachals harus menjalani evaluasi psikologis setiap 2 bulan sekali selama 5 tahun untuk memantau kestabilan jiwa dan perilakunya.
Lantaran tak mengira akan mendapat hukuman seberat itu, Donaldson merencanakan naik banding. Ia menuntut agar Rachals dikembalikan ke RS Georgia, tempat yang selama ini merawatnya untuk mengevalusasi kondisi psikologisnya. Namun, Oktober 1986 para ahli psikiatri yang ditunjuk oleh pengadilan memutuskan bahwa Terri Eden Maples Rachals harus segera menjalani masa tahanannya. Sejak itu resmilah ibu satu anak ini menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Wanita Hardwick, Georgia. (Terry Manners)
Baca Juga: Gara-gara Killing Me Softly
" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635925/si-pembantai-hantu-masa-lalu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945384000) } } }