Intisari Plus - Di usianya yang ke-9, Dillinger bergabung dengan geng dan sejak itu, ia tidak berhenti berbuat onar. Berulang kali masuk penjara dan berhasil kabur, ia menjadi buronan polisi dan FBI selama bertahun-tahun.
----------
Seorang pemilik toko kecil di Mooresville, Indiana, AS, menutup pintu tokonya, menghitung uang yang didapatnya hari itu dan memasukkannya ke sakunya. Ia mematikan lampu tokonya dan menurunkan tirai besi. Ketika itu tanggal 6 September 1924. Seperti biasa, setiap Sabtu pemilik toko yang bernama Morgan itu bercukur di langganannya yang buka sampai malam. Dalam perjalanan ke tukang cukur, entah mengapa, berlainan dari kebiasaannya ia merasa lebih baik pulang dulu untuk menaruh uang. Hal ini dilaksanakannya. Lalu ia pergi lagi. Di depan gereja, ia berpapasan dengan seorang pemuda yang dikenalnya dan ditegurnya: “Hello, Johnnie!”
Johnnie tidak menjawab. Tampaknya ia tidak seperti biasanya. Tiba-tiba saja Morgan mendapatkan sebuah revolver ditodongkan kepadanya oleh lengan kanan Johnnie sedangkan lengan kiri pemuda itu memegang sebuah benda yang ditutupi saputangan. Pasti alat pemukul.
“Ah, jangan begitu Johnnie! Gila kau?”
“Duit! Cepat!”
Rupanya tidak mudah bagi Johnnie untuk menakut-nakuti Morgan yang tingginya 1,98 meter dan yang hanya punya uang untuk cukur di saku itu. Mereka bergulat. Sebuah letusan terdengar. Tetangga-tetangga berlarian keluar.
Johnnie kabur ketakutan. la mengira telah membunuh Morgan. Di ujung jalan, sekutunya yang bernama Ed Singleton menunggu di dalam mobil. Ia juga kabur.
Sementara itu Morgan bangun dalam keadaan tidak kurang suatu apapun. Ia bukan marah, malah bergumam dengan sedih: “Ah, anak itu! Sekali ini ia sudah bertindak terlalu jauh....”
Petualangan yang tidak berhasil ini ternyata membawa John Dillinger ke penjara dan kemudian ia berkembang menjadi “musuh masyarakat nomor 1” di AS.
John Dillinger lahir tanggal 2 Juni 1903 di pinggiran kota Indianapolis. Ayahnya pemilik toko P & D yang berkecukupan. Ibunya meninggal ketika Johnnie baru berumur 3 tahun. Tahun 1912 ayahnya menikah kembali. Tahun itu juga, Johnnie yang berumur 9 tahun bergabung dengan geng anak-anak dan ia menjadi pemimpinnya.
Pada umur 9 tahun ini, pemimpin 12 anak nakal ini untuk pertama kalinya berhubungan dengan polisi dan dihadapkan ke pengadilan anak-anak. Tahun berikutnya, ia mengikat seorang temannya di bidang tempat meletakkan benda-benda yang akan digergaji. Mesin gergaji dijalankan dan dihentikan ketika hampir menyentuh tubuh anak malang itu. Kemudian Johnnie mencuri lokomotif, mencuri berpeti-peti wiski dan tiba di sekolah dalam keadaan mabuk. Pada umur 13 tahun ia mencemarkan seorang gadis.
Tahun 1919 ayahnya menjual toko mereka dan pindah ke sebuah rumah peternakan bersama seluruh keluarga. Letaknya di Mooresvile juga. Johnnie masuk perkumpulan pemuda-pemuda Kristen dan menyatakan ingin menjadi pendeta. Tetapi keputusan baik ini tidak bertahan lama. Ia mencuri lagi.
Setelah terlibat dalam pencurian mobil, ia masuk angkatan laut. Tetapi 8 bulan kemudian ia kabur. Ia menemukan pekerjaan di perusahaan mebel dan tergila-gila main bisbol. Ketika itu umurnya 21.
Saat itulah ia bersahabat dengan Ed Singleton, wasit pertandingan-pertandingan bisbol dan kerabat ibu tiri Johnnie. Dengan Singleton ini ia menodong Morgan.
Ia dinyatakan bersalah menjalankan percobaan mencuri, melakukan serangan bersenjata dan mencoba membunuh. Karena itu ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Singleton cuma kebagian 6 bulan.
Ketemu gangster kelas berat
Johnnie dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan Pendleton. la minta dipindahkan ke Michigan City, ke sebuah penjara yang lebih keras tetapi mempunyai regu bisbol tangguh. Di sinilah ia berkenalan dengan gangster kelas berat yang merasa senang sekali mengajari seluk-beluk pekerjaan mereka pada pemuda ini.
Di penjara Johnnie bukan penghuni teladan. Sebagai ganjaran atas berbagai ulahnya ia dihukum di kamar gelap. Tetapi tahun 1930 tiba-tiba ia berubah seperti malaikat di seksi 8A yang merupakan bagian pembuatan kemeja. Tapi cuma malaikat di kulit, sebab sebenarnya ia merencanakan pelarian bersama Jenkins, Pierpont dan van Meter. Bukan cuma pelarian yang mereka atur, tetapi juga program perampokan-perampokan yang akan dijalankan setelah melarikan diri. Yang menyusun program cermat ini Pierpont.
Tetapi Johnnie tidak perlu melarikan diri. Kelakuan baiknya dihargai dan permintaannya untuk dibebaskan dengan syarat dipertimbangkannya. Lagipula 200 penduduk terhormat dari Mooresville (seorang di antaranya Morgan!) meminta Johnnie dibebaskan. Semua merasa bahwa Johnnie dimanipulasi oleh Singleton dan bahwa Singleton yang jahat, Johnnie cuma korbannya.
Tanggal 10 Mei 1933, gubernur McNutt menandatangani pembebasan dengan syarat bagi John Dillinger. Ia keluar dari penjara 10 hari kemudian pada saat ibu tirinya meninggal. Ketika itu umurnya hampir 30 tahun.
Pada upacara penguburan ibu tiri yang tidak pernah dicintainya, ia mengesankan semua orang karena sikapnya yang memperlihatkan kebaktian yang besar dari seorang anak terhadap orang tua. Pada hari Minggu, dalam gereja Quaker di kota itu, Ny. Rainer memilih tema “kembalinya si anak hilang” untuk menyambut Johnnie yang berlinang-linang air mata ketika menyatakan kepada wanita itu: “Anda tidak bisa membayangkan betapa besarnya pengaruh Anda bagi saya.”
Setelah memeluk ayahnya dan mengucapkan terima kasih kepada jemaat yang terharu, ia berhubungan dengan William Shaw, pemimpin geng “helm putih”. Pierpont-lah yang memberi rekomendasi.
Tanggal 4 Juli, hanya 2 minggu setelah dibebaskan, Johnnie Dillinger ikut merampok supermarket.
Tanggal 10 Juli pagi mereka merampok New Carlisle National Bank di Ohio. Siangnya giliran sebuah apotek.
Perampokan-perampokan terjadi dengan gencar, sesuai dengan program yang dirancang di penjara. Mereka beroperasi dengan helm putih dan wajah ditutupi kain. Kini Dillinger menjadi pemimpinnya dan mengganti helm putih dengan topi anyaman.
Kemudian di akhir Juni, ia dan William Shaw pergi ke Monticello, Indiana. Dengan muka tidak tertutup mereka mendatangi pabrik Marshall Field. Mereka pura-pura mencari pekerjaan. Tetapi direktur muda, Fred Fisher, bersikap galak karena hari itu hari bayaran. Ketika Shaw akan beraksi, Fisher mengangkat revolvernya. Shaw dan Dillinger kabur ke mobil mereka. Dillinger sempat menembak Fisher sehingga terluka, walaupun ringan.
Mereka melarikan mobil dengan kecepatan 100 km per jam. Tetapi Shaw tertangkap juga. Dillinger mencoba menolong dengan tembakan-tembakan walaupun kemudian harus kabur. Wajahnya tidak sepenuhnya dikenali.
Gaya Maurice Chevalier
Tahun 1933 walaupun ada Bureau of Investigation (yang kemudian menjadi FBI), gangster merajalela di AS yang ekonominya sedang runyam dan terdapat 13 juta orang pengangguran.
Robin Hood dan Jesse James diangkat menjadi pahlawan pada masa itu.
Dillinger yang makin lama makin percaya akan kemampuannya di dunia hitam, beroperasi lagi bersama 2 teman tanggal 17 Juli. Mereka mendatangi bank kecil di Dalesville, Indiana. Wajah mereka tidak ditutupi. Dillinger memakai topi anyaman yang agak dimiringkan sedikit seperti gaya Maurice Chevalier. Tetapi tangannya memegang revolver. Pada kasir yang terperanjat ia berkata: “Hallo, Manis. Ini perampokan.”
Tanpa menunggu gadis itu membuka loket, ia menggasak uang sementara temannya menjaga. Sekali ini gayanya scperti Douglas Fairbanks.
Margaret Good, pegawai di bagian kasir mencatat ciri-ciri penyerangnya. Dari pengakuan seorang gangster yang tertangkap dan keterangan-keterangan Good, kepala polisi Indiana, Matt Leach, melihat titik terang.
Nama “Dan Dillinger” (nama John Dillinger dalam geng) disebarkan ke seluruh negara bagian, gambar muncul di koran-koran. Pencarian terhadap Dillinger dimulai. la mendapat nama julukan “kepala terbakar”.
Mula-mula Matt Leach seperti menjaring angin. Dillinger seperti belut yang meloloskan diri dengan licin dari genggamannya. la tidak ditemukan di Mooresville. Di tempat saudara perempuannya di Maywood, polisi mendapat keterangan bahwa Dillinger sering berkunjung ke Dayton, Ohio, ke 324 West 1st Avenue. Itu adalah tempat seseorang bernama Mary Longmaker, kekasihnya waktu itu.
Matt Leach tidak tahu bahwa Mary itu saudara perempuan Jenkins dan Jenkins itu teman baik Dillinger di penjara. Dillinger datang ke sana untuk mengurus pembebasan Jenkins dan teman-teman lain dari penjara. Ketika keluar dari Michigan City, Dillinger sudah berjanji akan membebaskan mereka. la memegang janjinya.
Matt Leach mengirimkan Inspektur Pfaulh dan Inspektur Gross ke Dayton. Keduanya menyewa kamar di seberang flat yang didiami Mary dan menunggu dengan sabar kedatangan Dillinger.
Tampaknya Dillinger sudah melupakan Mary, pikir mereka karena hari-hari lewat begitu saja. Atau jangan-jangan Dillinger curiga.
Dillinger sebetulnya tidak curiga. Hanya saja ia sedang sibuk di dekat Michigan City. Ia sedang berusaha menyelundupkan senjata ke teman-temannya di penjara.
Akhirnya tanggal 22 September, Dillinger tampak di Dayton. Pada saat ia mendatangi Mary, Pfaulh dan Gross baru saja bermaksud pergi. Mereka menodong Dillinger: “Kami Polisi. Menyerah! Ikut kami!” Mary pingsan.
Dillinger berusaha meloloskan diri dengan tenang. “Anda bilang Anda polisi? Saya cuma tahu bahwa polisi berseragam.”
“Cukup Johnnie! Anda ikut atau kami tembak!”
Dillinger tidak melawan. Empat bulan setelah dibebaskan bersyarat, John Dillinger mendekam lagi di balik terali. Tetapi teman-temannya di Michigan City sudah berhasil mendapat senjata. Tanggal 26 September 1933, 10 narapidana, di antaranya Pierpont dan Jenkins kabur dengan menggunakan senjata. Mereka menyandera penjaga. Tetapi Jenkins tewas.
Empat Oktober 1933 teman-teman Dillinger merasa memerlukan uang untuk membebaskan Dillinger. Mereka merampok sebuah bank di St. Marys, Ohio. Pada saat itu bank hampir kosong karena semua penduduk sedang asyik menonton siaran pertandingan sepak bola untuk memperebutkan piala dunia.
Dillinger saat itu sudah dipindahkan ke penjara Lima. Sheriff Sarber di penjara itu termasuk orang yang menghargai orang-orang lain dan Dillinger berhasil menarik simpatinya.
Tanggal 12 Oktober, teman-teman Dillinger: Pierpont, Hamilton, Clark, Makley dan Shouse datang ke Lima memakai 2 mobil. Hamilton dan Shouse menunggu di mobil. Pierpont, Clark, Makley masuk ke kantor penjara. Sheriff Sarber tercengang dan minta pengunjung-pengunjung itu memperlihatkan kartu pengenal mereka. Sambil meminta, ia bergerak ke arah lacinya. Tetapi Pierpont menembak. Sheriff Sarber roboh. Ia kemudian meninggal.
“Serahkan kunci sel-sel, cepat!” teriak Makley.
Ny. Sarber yang ketakutan dan kebingungan memberi kunci. Clark menembaknya. Lengannya kena tetapi lukanya ringan. Sharp, wakil sheriff, tidak berani bergerak.
Dillinger sedang main kartu di sebuah sel bersama penghuni-penghuni lain. Ia segera bangun ketika mendengar tembakan. Ia menyambar topi dan jasnya sehingga ia sudah siap ketika Pierpont membukakan pintu seraya memberi revolver. Mereka lewat kantor Sarber. Sarber sedang sekarat. Pria itu memandang mereka:
“Oh, anak-anak... Kenapa kau berbuat seperti ini terhadap saya?”
Dillinger dengan wajah pucat memandang Sarber sambil membungkuk. Lalu tiba-tiba saja ia keluar bersama Clark tanpa berkata apa-apa.
Pierpont dan Makley memasukkan Sarber, istrinya dan Sharp ke sel lalu mengikuti yang lain ke kendaraan.
Sirene meraung-raung mengejar mereka tetapi mereka sudah cukup jauh menuju ke Cincinnati. Di sana mereka ditunggu 2 wanita: Mary Kinder kekasih Pierpont dan Billie Frechette yang segera menjadi kekasih Dillinger.
Membentuk geng pribadi
Mereka semua tinggal di sebuah apartemen luas di Chicago. Dillinger kini mempunyai geng sendiri yang terdiri dari 7 pria dan 4 wanita. John Dillinger yang sudah melupakan Mary Longmaker kini berpasangan dengan Billie Frechette, Pierpont dengan Mary Kinder, John Hamilton dengan Elaine Dent, Clark dengan Opal Long. Charles Makley, Harry Copeland dan Ed Shouse tidak mempunyai kekasih di dalam geng, tetapi tidak lama kemudian Dillinger mulai merasa jengkel menyaksikan perhatian istimewa Shouse terhadap Billie.
Suatu hari bahkan Dillinger memutuskan akan membunuh Billie. Tetapi sesudah mengajak Billie berjalan-jalan dengan mobil, ia kembali membawa Billie dalam keadaan masih hidup. Tampaknya Dillinger lebih tenang. “Saya tidak mampu membunuhnya.”
Sementara itu Matt Leach, yang terus menerus mencari jejak Dillinger, berhasil mengetahui alamat geng ini. Keterangan ini disampaikan pada Letnan John Howe, pemimpin suatu organisasi polisi khusus seperti Scotland Yard di Inggris.
Kalau bandit-bandit itu dikepung di apartemen mereka atau disergap di trotoar, ada kemungkinan korban-korban jatuh di kalangan penghuni apartemen-apartemen lain atau orang-orang yang lewat. Jadi Howe memutuskan akan menyergap Dillinger pada saat sedang bermobil saja.
Polisi berhasil menyelundupkan mata-mata ke geng itu. Dari mata-mata ini diketahui bahwa Dillinger akan pergi ke seorang dokter di Irving Park Boulevard. la tiba dengan sebuah mobil Terraplane dengan nomor Illinois 1 269 037.
Howe dan Leach sepakat untuk membiarkan Dillinger masuk ke tempat praktik dan menunggunya kembali ke mobil. Di sini ia akan disergap. Kendaraan-kendaraan lain akan menyergapnya di ujung jalan.
Dillinger tiba ditemani Billie pukul 16.00 tanpa curiga apa-apa. Polisi menunggu lama. Baru pukul 19.00 ia keluar lagi. la curiga melihat kendaraan begitu banyak diparkir tidak wajar. “Polisi,” bisiknya kepada Billie. “Jangan menoleh, menyeberang seperti tidak ada apa-apa. Tetapi begitu berada dalam kendaraan, segera merapat kepadaku.”
Mereka menyeberangi jalan sambil bercakap-cakap. Mereka masuk ke dalam kendaraan dan tahu-tahu bergerak mundur sehingga polisi-polisi tertegun. Polisi-polisi berusaha mengejar. Tapi terlambat. Dillinger kini maju ke depan dan kabur. Terdengar Ietusan-letusan senjata api. Seorang polisi lalu lintas yang tidak tahu-menahu malah mengira polisi-polisi itu gangster dan menembak mereka.
Dalam kekacauan itu, Dillinger masuk ke jalan trem di sebelah kanan dan membanting setir dua kali untuk menghindari 2 trem yang berpapasan. Beberapa sentimeter saja lagi ia akan tergilas kendaraan itu. Pengejar-pengejarnya terhalang dan Dillinger selamat.
Tetapi pengalaman ini menurunkan semangat geng yang mulai tidak sepaham. Copeland ditangkap polisi dan Shouse yang makin lama makin tidak berkenan di hati Dillinger diusir.
Peristiwa ini terjadi awal November. Tanggal 20 November 1933, mereka merampok sebuah bank di Racine, Wisconsin. Mereka gugup sehingga membuat serentetan kesalahan. Makley melukai seorang pegawai dan polisi. Di tengah-tengah tembak-menembak, Dillinger dan Pierpont menyandera 5 orang untuk memungkinkan mereka melarikan diri.
Tanggal 14 Desember Hamilton dan Elaine masuk ke jebakan polisi. Hamilton berhasil kabur dengan membunuh seorang polisi tapi Elaine tertangkap.
Suatu brigade khusus, “Brigade Dillinger” dibentuk di bawah pimpinan Kapten John Stege. Brigade berpedoman: “tembak mati dan dahului menembak.”
Alamat tak ditemukan
Tidak lama kemudian diberitakan seorang anggota brigade, Reynolds, berhasil membunuh Pierpont, Hamilton dan Dillinger dalam suatu tembak-menembak yang seru. Ternyata ini tidak benar. Yang ditembaknya itu 3 bandit yang tidak ada sangkutannya dengan geng Dillinger. Reynolds menerima ucapan selamat yang ironis dari Dillinger sendiri.
Tanggal 15 Januari 1934, geng Dillinger merampok First National City Bank Chicago Timur. John Dillinger untuk pertama kalinya membunuh orang. Gengnya dalam beberapa bulan ini sudah membunuh belasan orang.
Ketika Hamilton menggasak uang, Dillinger menodong pegawai yang bertugas. Masuk seorang polisi, Wilgus. Polisi ini ditodong dan diperintahkan menjatuhkan senjatanya. Di luar, polisi lain bernama O’Malley merasa waswas karena rekannya tidak keluar-keluar lagi. Jadi dengan revolver di tangan ia masuk ke bank. Wilgus segera berontak ketika melihat temannya dan O’Malley menembak Dillinger. Dillinger membalas. O’Malley luka di tungkai sedangkan Dillinger yang dilindungi kaos anti peluru tampaknya tidak apa-apa. O’Malley menembak lagi dan dibalas. Sekali ini polisi itu roboh dan tewas seketika karena jantungnya ditembusi peluru Dillinger.
Hamilton harus pula menghadapi polisi-polisi lain. Walaupun mengenakan kaos anti peluru, ia terluka juga. Dillinger membantunya mencapai mobil di bawah tembakan-tembakan. Mereka berhasil kabur membawa 20.376 dolar.
Mereka melarikan diri sampai Tucson, dekat Meksiko. Walaupun memakai nama palsu, Makley, Clark dan Pierpont dikenali dan tertangkap. Sebelum lengannya diborgol, Pierpont mencoba menelan sepotong kertas. Kertas itu direbut polisi. Ternyata bertuliskan alamat Dillinger: 1304 East 5th. Alamat itu didatangi, tetapi kosong. Dillinger sedang menyusul Billie.
Polisi menunggu dan menyiapkan pengepungan. Malam itu Dillinger yang memakai nama Frank Sullivan datang bersama Billie, tanpa curiga apa-apa.
“Angkat tangan!”
Dengan terkejut, ia angkat tangan. Tapi ia berlagak pilon. “Kenapa sih? Nama saya Frank Sullivan.”
Di kantor polisi ia dikenali secara resmi. John Dillinger yang membunuh seorang polisi menunggu diadili di penjara Lake County, Crown Point, Indiana. Polisi menganggap jika berada di penjara itu maka ia tidak mungkin melarikan diri.
Dengan senang hati ia berpose di depan juru potret-juru potret. Sebelah sikunya diletakkan di bahu Robert Estill, jaksa Indiana yang bertugas mengirimkannya ke kursi listrik. Di potret itu ia juga tampak didampingi sheriff setempat, Ny. Lillian Holley. Bahkan Matt Leach menyalami Dillinger dengan hangat. Kata orang ini akhir pertandingan persahabatan.
Masih enggan mati
Dillinger dikurung di tingkat ke dua di bagian khusus. Baginya didatangkan penjaga bersenjata tambahan dan lampu sorot ditugaskan sepanjang malam.
Tapi pisau cukurnya lupa diminta. Dengan alat itu ia membuat revolver kayu yang diberinya warna hitam dengan pertolongan lilin.
Tanggal 3 Maret ia menodongkan revolver palsunya ke bawah hidung penjaga.
“Saya tidak mau membunuh orang. Ayo, serahkan kunci-kunci! Panggil si Anu di bawah.”
Si Anu ini wakil sheriff, namanya Blunk. Ia datang tanpa curiga apa-apa dan ditodong dengan revolver kayu. Ia disuruh memanggil Lou Baker, direktur penjara. Baker ditemukan di tangga dan masuk perangkap juga. Sandera-sandera ini dikurung di selnya. Ia membawa Blunk ke kantor kepala penjaga, Blake. Blunk disuruh memanggil Blake. Blake mengenali suara Blunk dan mendekati tanpa curiga. Dillinger menyambar dua senjata api yang diletakkan dekat jendela. Keduanya berisi.
Sebelum kabur, ia terpaksa menangkap belasan penjaga yang dikurungnya bersama direktur. Ia keluar dari penjara membawa Youngblood, seorang narapidana berkulit hitam. Youngblood yang dihukum karena membunuh orang diberinya sebuah senjata. Blunk tetap dibawa.
Di belakang penjara, montir bernama Ed Saager sedang membetulkan kendaraan.
“Tunjukkan mobil yang paling cepat dan naik bersama kami,” perintahnya.
Saager menunjukkan mobil sheriff Ny. Holley. Mereka semua naik, Blunk menjadi sopir. Beberapa kilometer dari penjara, Blunk dan Saager dibebaskan. Mereka diberikan uang 4 dolar, entah dari mana.
“Uang lelah, Bung! Saya tidak punya lebih banyak lagi, tapi kalian tidak akan saya lupakan hari Natal nanti.”
Mobil dilarikannya ke arah Illinois. Kemudian Dillinger berpisah dengan Youngblood yang beberapa hari kemudian berhasil ditangkap polisi.
Dillinger segera membentuk geng baru terdiri dari 6 pasangan dan seorang “bujangan”. Mereka itu Eddie dan Bessie Green, Tommy dan Jean Carroll, Lester Gillis dan Helen Nelson, Homer van Meter dan Marie Conforti, John Hamilton dan Patricia Crierrington, ia sendiri dengan Billie Frechette dan Pat Reilly si bujangan.
Sisa geng lama hanya Hamilton dan Billie Frechette. Tetapi van Meter teman lamanya semasa di Michigan City.
Eddie Green segera menjadi ahli persiapan perampokan dan otak geng, Lester Gillis Nelson yang kemudian terkenal sebagai “Baby Face Nelson” menjadi motor utama.
Mereka merampok di Sioux Falls dan Mason City. Sementara itu di Lima dibuka sidang untuk mengadili Pierpont, Makley dan Clark. Pihak yang berwewenang khawatir Dillinger akan mengadakan penyerangan untuk membebaskan kawan-kawannya. Jadi penjagaan diperkuat di gedung pengadilan dengan polisi-polisi dari daerah-daerah berdekatan dan dengan anggota-anggota Legiun Amerika.
Shouse, bekas anggota geng yang sudah diusir ternyata menjadi saksi yang memberatkan Pierpont dan Clark dalam perkara pembunuhan Sarber. Pierpont dan Makley dijatuhi hukuman mati. Clark tidak.
Dillinger, yang terluka di pundak ketika perampokan di Mason City, tinggal dengan nama palsu bersama Billie Frechette di St. Paul. la segera dikenali oleh polisi setempat. Mereka kabur di bawah hujan peluru dan mengungsi ke Minneapolis di rumah Eddie Green. Sekali ini paha Dillinger luka. Ia perlu waktu cukup lama untuk sembuh tetapi hal ini tidak mengalanginya untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain.
FBI hampir “panen”
Sementara itu di Chicago, di tingkat 19 Bankers Building J.E. Hoover, pemimpin FBI, menyatakan perang pada Dillinger.
la minta perkara Dillinger dipercayakan kepadanya. la mempunyai polisi yang bisa bergerak cepat dan di segala negara bagian, seperti halnya geng Dillinger.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, FBI menemukan tempat persembunyian Dillinger, di St. Paul. Mereka tidak menemukan Dillinger di sini, tetapi berhasil menangkap Eddie dan Bessie Green.
Tanggal 5 sampai 8 April 1934, Dillinger bersama Billie menginap di Mooresville. Johnnie datang untuk memeluk ayahnya dan mengucapkan terima kasih atas pernyataan si ayah pada pers. Dillinger tua yang jujur tidak pernah setuju dengan tindak-tanduk putranya tetapi tetap bangga pada putra yang melakukan tindakan-tindakan spektakuler ini.
Diadakan pesta besar dan tetangga-tetangga diundang makan ayam. Tetapi dua orang FBI yang menjaga di muka pintu tanah peternakan tidak tahu pasti apakah Dillinger ada di dalam atau tidak. Soalnya tidak ada seorang pun penduduk yang mau mengkhianati teman sekampungnya dan tanpa izin, kedua agen itu tidak bisa masuk ke dalam.
Dillinger mengunjungi keluarga Pierpont di Indianapolis lalu pergi ke Chicago. Di sini Billie ditangkap. Dillinger bersembunyi ke tempat van Meter di Fort Wayne. Keduanya menyerang pos polisi untuk merampas kaos-kaos anti peluru.
Ada lagi orang lain yang tidak kenal kasihan pada Dillinger. Namanya Inspektur Melvin Purvis dari FBI. la kepala biro Chicago dan menerima perintah langsung dari Hoover.
Beberapa hari setelah suatu jebakan yang gagal di Louisville, Purvis mendapat kabar bahwa Dillinger, seorang wanita dan Hamilton menuju ke Wisconsin utara. Mereka ada di penginapan kecil. Di sini Dillinger menemui van Meter, Caroll, Baby Nelson dan teman-teman mereka.
Kalau penangkapan berhasil artinya panen besar bagi FBI. Tetapi bandit-bandit keburu mencium bau. Dalam perjalanan kembali ke Chicago, Dillinger menjalani bedah wajah dan sidik jari. Ahli-ahli bedah yang melakukannya tentu saja yang reputasinya kurang baik dan dicarikan oleh pengacaranya.
Walaupun wajahnya yang baru tidak seberapa beda tetapi Dillinger merasa lebih aman dan besar hati. Tanggal 30 Juni 1934 dengan van Meter dan Baby Nelson ia merampok bank di South Bend, Indiana. Tembak-menembak gencar terjadi dan mereka melarikan diri dengan bertameng sandera. Seorang polisi tewas, 6 luka-luka.
Kegagalan ini membuat Dillinger patah semangat dan ia istirahat dulu. Billie Frechette dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Jadi Dillinger mengambil pacar baru, seorang pelayan restoran berumur 26 tahun, Poly Hamilton. Poly tinggal di rumah seorang wanita bernama Anna Sage, 42 tahun. Dillinger merasa simpati pada wanita Rumania ini. Didorong oleh itu, ia jadi kurang hati-hati. Ia menceritakan identitasnya dan rencananya akan kabur ke Meksiko.
Ia sama sekali tidak curiga kepada Anna Sage, imigran yang ingin menyenangkan polisi. Lagipula hadiah bagi orang yang bisa menangkap Dillinger 10.000 dolar dan yang bisa memberi tahu polisi sampai Dillinger berhasil ditangkap akan mendapat 5.000 dolar.
Hari Sabtu 21 Juli, Anna Sage mengadakan pertemuan dengan Inspektur Purvis di tempat terpencil.
“Besok malam, ia akan ada di bioskop Marbro bersama Poly dan saya,” katanya.
FBI bersiap-siap untuk menangkap Dillinger. Mereka menyamar dan berkeliaran sekitar Marbro. Tetapi Dillinger berkata pada dua wanita temannya:
“Bagaimana kalau kita nonton di Biograph saja. Filmnya tentang gangster yang dihukum mati di kursi listrik.”
Yang dimaksudkannya ialah film “Manhattan Melodrama” dengan Clark Gable sebagai pemeran utama.
Pukul 17.30 Anna menelepon FBI.
“Belum pasti. Ia menyebut-nyebut Biograph saat ini.”
“Masya Allah! Coba dong ketahui tepatnya di mana. Kami ‘kan tidak bisa bolak balik dari satu bioskop ke bioskop yang lain.”
Pukul 19.00 Anna Sage menelepon lagi. Suaranya perlahan. “la ada di rumah saya, di ruang sebelah dengan Poly. Kami akan pergi ke bioskop, tapi belum tahu yang mana.”
Purvis dan Brown menunggu dalam sebuah mobil di muka bioskop Biograph. Inspektur Zarkovitch dan Inspektur Winstead di depan Marbro. Sejumlah polisi di bawah perintah Inspektur Cowley bersiap di muka Bankers Building, menunggu isyarat ke bioskop mana mereka mesti pergi. Sesudah menunggu sejam, Purvis melihat kedatangan Dillinger, Anna Sage dan Poly Hamilton.
Dillinger tampaknya merasa aman di antara orang banyak karena yakin hasil operasi membuat ia tidak dikenali. Berkat isyarat Anna Sage, yang berdiri di sebelah Dillinger dengan gaun panjang berwarna merah, Purvis mengenali Dillinger. Purvis memberi isyarat pada Cawley yang menunggu di Bankers Building, lalu ia ikut membeli karcis dan masuk ke bioskop. Film mulai main. Dalam ruang yang remang-remang itu Inspektur Purvis tidak berhasil menemukan Dillinger. Ia keluar lalu kembali ke loket. Tapi Cowley sudah menelepon Hoover: “Sekali ini rasanya ia terpegang.”
“Tunggu sampai ia keluar di bioskop. Jangan ada pertumpahan darah di dalam gedung.”
Polisi dari Bankers Building maupun dari Marbro kini mengepung Biograph. Jumlahnya semua 27 orang. Purvis menggigit cerutu dan berjaga di pintu keluar utama.
“Kalau saya melihat ia keluar, saya nyalakan cerutu,” katanya. Ini isyarat.
Semua mencari tempat seperti yang sudah direncanakan semula. Jalan-jalan kecil sekitar bioskop diblokir. Kasir bioskop mengira mereka bersiap-siap akan merampoknya. Direktur bioskop diberitahu oleh kasir dan ia memanggil polisi-polisi Chicago. Inspektur-inspektur polisi lokal datang ke tempat itu dan berhadapan dengan orang-orang FBI. Mereka saling menerangkan. Beres.
Pada saat itu penonton-penonton mulai keluar. Dillinger termasuk yang pertama keluar. Purvis menyalakan cerutu. Dillinger mencium bahaya. Ia berjalan tenang-tenang dengan dua wanita temannya, lalu tiba-tiba mengeluarkan revolver dan berlari. Tembak menembak terjadi. Dillinger roboh. Ia kena 2 peluru yang mematikan seketika itu juga. Ada 2 wanita luka kena peluru nyasar.
Kalau Dillinger masih hidup, umurnya sekarang 76 tahun….
(Jean-Marie Peaprat)
Baca Juga: Kumis yang Menyelamatkan
" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726679/kalau-dia-keluar-saya-menyalakan-cerutu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678778571000) } } [1]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682644" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(108) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/celana-yang-mencurigakanjpg-20230213032538.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Danforth dan Leroy adalah dua penulis cerita kriminal ternama. Kali ini, mereka membantu kepala LP untuk memecahkan kasus kaburnya narapidana." ["section"]=> object(stdClass)#88 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(108) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/celana-yang-mencurigakanjpg-20230213032538.jpg" ["title"]=> string(24) "Celana yang Mencurigakan" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:25:48" ["content"]=> string(36201) "
Intisari Plus - Danforth dan Leroy adalah dua penulis cerita kriminal ternama. Kali ini, mereka membantu kepala LP San Ramos Penal untuk memecahkan kasus kaburnya narapidana di sana.
--------------------
Pagi itu, kapal pesiar Valhalla membuang sauh di Pelabuhan Zamboanga, Kepulauan Mindanao, Filipina. Para penumpang turun satu-persatu dari kapal itu. Mereka hendak melakukan tamasya keliling Kota Zamboanga dan sekitarnya. Perjalanan yang panjang, panas dan melelahkan.
Ketika tiba saat makan malam, keluarga Danforth dan Leroy memilih makan di Hotel Bayot di tepi pantai, yang terkenal dengan masakan sinegang-nya, semacam sop ikan yang konon lezat.
Duduk di teras di tepi pantai, mereka menikmati sinegang yang mereka pesan. Semilirnya angin laut sesekali mengipasi tubuh mereka yang kegerahan, meskipun kala itu matahari sudah tenggelam di cakrawala.
Celananya!
Dalam keremangan malam di pelabuhan itu muncul sesosok vinta, semacam kano, tempat kebanyakan suku Moro tinggal sepanjang hari. Kano itu merapat ke dermaga, di sisi mereka duduk. Seorang laki-laki dan perempuan, berkulit gelap, tampak mengayuh kano itu. Di antara barang-barang cendera mata dagangan mereka, seorang gadis kecil berusia empat lima tahun meringkuk di tengah kano.
Mulut mungil itu menyimpulkan senyum yang menawan dan bergerak-gerak menyenandungkan lagu Tagalog yang tak mereka pahami. Gadis kecil itu mengacung-acungkan barang jualannya satu demi satu kepada orang-orang Amerika itu. Ada baju dari kain jusi dan pina yang terbuat dari daun pisang dan nenas, patung dari kayu yang berwarna kuning muda, buket bunga tropis yang indah dan kulit-kulit kerang yang gemerlapan.
Si pedagang kecil segera menawan hati Helen Leroy. “Oh, Mart,” katanya kepada suaminya, “belikan saya kerang itu. Kasihan ‘kan anak itu, Carol?”
Carol Danforth mengangguk. “Dialah satu-satunya orang yang berpakaian cocok untuk udara sepanas ini,” kata Helen. Gadis Moro kecil itu memang cuma mengenakan semacam bikini yang warnanya susah dibilang.
“Tidak usah. Buat apa?” jawab suaminya, Martin Leroy. “Kulit kerang itu berat, lagi pula di dalamnya masih ada bangkai binatangnya. Baunya sudah tercium dari sini.”
“Kalau begitu, buket bunga itu saja,” pinta Helen.
Leroy menyerah, lalu berjalan ke tepi dermaga. “Baik, kita beli bunga itu. Berapa?” tanyanya kepada gadis itu.
Wajah mungil kecoklatan itu tampak senang. “Empat peso, Tuan,” jawabnya dengan bahasa Inggris yang fasih. “Atau satu dolar Amerika.”
Danforth tertawa mendengarnya. “Saya yakin, dia pun bisa berbahasa Spanyol.”
“Si, si,” teriak gadis itu. “Tuan jadi membeli buket ini?”
“Ya, bolehlah,” kata Leroy. la merogoh sakunya.
“Kalau Tuan menambah seperempat dolar lagi, saya akan menyelam,” sahut anak itu.
Yang lain mendekati Leroy yang berdiri di pinggir dermaga.
“Apa maksud anak itu?” tanya Carol tak mengerti.
“Menyelam,” sahut gadis itu. “Di dalam air. Di sini.”
la memberikan buket itu sementara ia menerima satu dolar dari Leroy yang kemudian diberikan kepada ayahnya. “Sekarang lemparkan uang seperempat dolar itu, Tuan. Airnya amat dalam di sini. Saya akan menyelam dan mengambil uang logam itu.”
“Oke,” kata Leroy. Ia melemparkan uang itu ke laut, kira-kira 5 m jauhnya dari vinta di mana gadis itu berdiri.
Persis sebelum uang itu lepas dari tangan Leroy, tubuh si gadis kecil sudah meliuk dari atas kano, kemudian lenyap ditelan air laut yang kelam. Beberapa saat lamanya gadis itu menyelam sebelum akhirnya kepala mungil itu nongol di permukaan air. Dikibaskannya kepalanya yang basah. Satu tangannya dijulurkannya ke atas permukaan air, lalu dengan cepat ia berenang kembali ke kanonya. Diterangi temaramnya sinar lentera yang terpancang di sepanjang dinding dermaga, mata mereka menangkap kerlap-kerlipnya uang perak yang digenggamnya.
“Luar biasa!” tak sadar Carol Danforth bertepuk kagum.
Si gadis kecil naik ke atas kano. Air menetes dari celana mininya. Tiba-tiba Danforth berteriak, “Apakah kau melihat juga apa yang saya lihat?” katanya kepada Leroy.
Leroy mengangguk. “Celana nya?”
“Ya.” Keduanya mengamati bikini yang melilit pinggul penyelam kecil itu. Warnanya kini tampak jelas oleh sinar lentera yang menerangi vinta itu.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Helen Leroy. Ia pun lantas ikut memperhatikannya pula.
Carol tertawa geli. “Warna celana itukah yang kalian maksudkan?” kata Helen.
“Ya. Kecuali kalau saya buta warna,” jawab Danforth.
“Barangkali celana itu diwarnai dengan bahan celup dari tumbuh-tumbuhan,” ujar Leroy. “Warnanya baru muncul kalau kain itu basah.”
Helen rupanya tidak senang, “Kau ‘kan tidak bermaksud mengatakan bahwa anak yang berusia lima tahun itu adalah narapidana?”
“Bisa jadi ayahnya yang napi,” kata Leroy.
“Omong kosong!” Carol sependapat dengan Helen. “Saya pikir itu cuma karena pengaruh sinar.”
Dengan tenang Danforth menyahut, “Saya sependapat dengan Leroy. Mari kita temui Senor Bollo.”
Penulis cerita kriminal
Senor Bollo adalah kepala Lembaga Pemasyarakatan San Ramon Penal, yang letaknya beberapa kilometer di luar Kota Zamboanga. Mereka bertemu dengan Bollo, saat minum teh di bawah tenda yang berdiri di seberang jalan antara pintu gerbang dan halaman penjara. Pemandu jalan mereka mengantarkan kepala penjara itu ke meja mereka dan memperkenalkannya.
“Mereka ini,” demikian kata pemandu jalan itu, “adalah keluarga Danforth dan Leroy, Pak Bollo. Anda mungkin pernah mendengar tentang Tuan Danforth maupun Tuan Leroy. Mereka adalah penulis cerita kriminal dengan nama samaran Leroy King.”
Senor Bollo yang pendek dan berkulit coklat, membungkuk sopan. “Saya memang sudah mendengar tentang Leroy King,” katanya. “Siapa yang tidak mengenal nama yang kesohor itu? Senang sekali bertemu dengan Tuan-tuan.” Bahasa Inggrisnya fasih sekali. “Meski di Zamboanga sekalipun, kemasyhuran Leroy King dikenal juga.”
“Silakan duduk, Pak Bollo!” kata Helen Leroy kemudian. “Suami kami barangkali akan mengajukan banyak pertanyaan kepada Anda tentang penjara yang Anda kelola itu.”
“Pernahkah Anda menjumpai penjara yang dibangun di kawasan yang begini indah?” kata Bollo bangga sambil menunjuk ke air laut di kejauhan yang berkilauan diterpa sinar matahari, hamparan pasir putih sepanjang pantai dan daun-daun nyiur yang gemulai menaungi teras tempat mereka duduk.
“Belum pernah,” jawab Helen sembari tersenyum. “Suasana demikian itu bikin saya ingin jadi napi Anda, Pak Bollo!”
Dengan keramahan yang jujur, pejabat penjara itu menanggapinya, “Dengan senang hati saya akan menerima Nyonya menjadi salah satu napi kami!” Sorot matanya tampak memancarkan rasa hormat kepada wanita cantik berambut pirang itu.
Kebanyakan pembunuh
King Danforth mengusap-usap rambutnya yang bergaya crewcut sambil membenahi duduknya agar lebih nyaman. “Sehabis berkeliling di kawasan penjara, kami menangkap kesan, Anda mengelolanya menjadi semacam lembaga teladan.”
Bollo mengangguk sopan sambil mengucapkan, “Terima kasih.”
“Setelah menyaksikan bengkel pertukangan dan kebun yang luas di kompleks penjara, saya melihat Anda banyak menekankan segi pemasyarakatan bagi para penghuninya,” kata Martin Leroy pula.
“Benar,” kata pak kepala penjara mengakui. “Kecuali itu, tentunya, kami mengutamakan segi keamanan. Perlu diketahui, Tuan Leroy, mereka kebanyakan dijebloskan ke penjara itu gara-gara membunuh,” tambahnya.
“Ya, Tuhan! Kalau begitu, saya urungkan niat saya untuk menjadi napi Anda, Pak Bollo!” kata Helen kemudian.
Bollo tersenyum memamerkan giginya yang putih dan besar-besar itu. “Maaf, saya telah merusak suasana yang menyenangkan ini, Ny. Leroy!”
“Saya ingin tahu lebih banyak tentang ruang tahanan di balik tembok penjara itu, Pak Bollo,” kata Leroy. “Apakah para napi tidur di sana dan apakah mereka juga tinggal di sana kalau tidak bekerja?”
“Ya,” jawab Bollo. “Mereka tampaknya merasa nyaman tinggal di sana.”
“Tapi, apakah ruang tahanan semacam itu aman,” tanya Danforth, “mengingat dinding ruangannya hanya berupa batang-batang bambu yang berjarak 10 cm satu sama lain? Saya merasa, ruang semacam itu tidak sesuai untuk mengurung para penjahat. Belum lagi serangan rayap-rayap pemakan bambu ...!”
“Begini, Pak Danforth,” sahut Bollo memotong bicaranya. “Perlu Anda ketahui, batang-batang bambu itu sebenarnya jauh lebih kokoh daripada yang Anda kira. Ruang-ruang tahanan itu aman untuk mengurung mereka. Seperti yang Anda rasakan juga, iklim di sini tidak memungkinkan kami untuk membuat ruang tahanan yang tertutup rapat seperti di negeri Anda. Soalnya, mereka bisa mati kepanasan. Secara teratur kami pun memeriksa kemungkinan adanya rayap-rayap pemakan bambu.”
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Danforth.
“Ya. Dalam ruang itu, mereka tidur berjejer di atas lantai beralaskan tikar. Karena itu, hanya perlu satu pintu untuk setiap ruangan. Pintu-pintu itu dilengkapi dengan kunci logam yang besar. Penjaga yang bertanggung jawab atas ruang itulah yang berhak memegang kuncinya. Setiap pagi, ia mengeluarkan kedua puluh orang napi penghuni ruang itu, kemudian malam harinya ia menggiring mereka kembali dan menguncinya. Selama bekerja, kedua kaki mereka dirantai. Sistem itu sangat baik dan aman.”
“Apakah Anda tidak pernah menjumpai semacam gergaji kecil, misalnya, yang diselundupkan dalam roti kiriman istri mereka?” tanya Helen.
Bollo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak. Soalnya, sebelum mereka masuk kembali pada malam harinya, setiap tahanan diperiksa satu-persatu secara teliti, apakah mereka membawa senjata atau alat-alat lainnya misalnya, yang mungkin bisa membantu untuk melarikan diri. Itu sebabnya di penjara kami tidak mungkin terjadi pelarian.”
“Tidak mungkin kata Anda? Apakah itu berarti tak pernah ada napi yang melarikan diri dari Penjara San Ramon itu, Pak Bono?” tanya Leroy.
Wajah Bollo bersemu merah. Rupanya ia tidak senang mendengar pertanyaan itu. “Tidak pernah, kecuali satu,” jawabnya setelah ia diam sebentar karena ragu-ragu.
Lenyap ditelan bumi
“Nah,” kata Danforth, “kalau begitu pernah ada ‘kan?”
“Benar,” jawabnya agak malu-malu. “Itu terjadi sebulan yang lalu dan untuk pertama kalinya. Namanya Antonio Taal, seorang pembunuh berdarah dingin. Ia memancung kepala kawannya yang sama-sama penyelam mutiara. Maafkan saya, Nyonya!”
Mendengar itu, Helen dan Carol kontan meremas gelas di tangan mereka. Sementara itu Danforth dan Leroy menggeser duduknya ke pinggir kursi masing-masing. Rupanya kisah pelarian Antonio Taal amat menarik perhatian para penulis cerita kriminal dari Amerika itu.
“Coba ceritakan kepada kami kisah pelariannya, Pak Bollo!” pinta Danforth yang keburu ingin tahu.
“Sebenarnya tidak banyak yang bisa diceritakan. Antonio Taal bekerja di bengkel pertukangan di kompleks penjara. Tinggalnya di ruang tahanan nomor tiga. Suatu malam, setelah kembali dari pekerjaan mereka masing-masing, seperti biasa Taal masuk kembali bersama kesembilan belas tahanan ruang nomor tiga. Esok paginya, saat si penjaga hendak mengeluarkan mereka untuk sarapan, ternyata Taal tidak dijumpai di antara mereka. Ia lenyap bagai ditelan bumi.” Bollo begitu keras mengetukkan jari-jarinya yang segede pisang itu ke meja, sampai membuat Helen terperanjat.
“Hanya dia yang melarikan diri?” tanya Leroy.
“Tidak ada napi lainnya?”
“Tidak. Anehnya, tak ada satu bambu pun yang rusak. Bahkan pintu ruangan itu pun masih tetap terkunci.”
“Aneh,” kata Carol.
Kata Helen kemudian, “Saya punya dua pendapat tentang larinya Antonio Taal, Pak Bollo. Boleh saya menyampaikan pendapat saya itu kepada Anda?”
Bollo mengerutkan keningnya dan tersenyum. “Silakan, Nyonya!”
“Oke. Pertama, menurut saya Antonio Taal sengaja mengurangi makan, lantaran ia punya angan-angan di dalam benaknya. Bukankah begitu?”
“Tidak,” sahut Bollo. “Dia itu makannya gembul.”
“Oh. Maksud saya begini. Dengan diet yang ketat, seorang napi bisa menjadi kurus, sehingga tubuhnya bisa menyusup keluar lewat celah batang-batang bambu yang sempit itu. Tapi tentu saja, kepalanya juga cukup kecil untuk bisa lolos lewat celah itu.”
Bollo tertawa mendengarnya. “Hanya 10 cm lebarnya,” ujar pejabat penjara itu di antara tawanya. “Lantas, apa pendapat Anda yang kedua?”
“Menginterogasi penjaga ruang tahanan nomor tiga itu dengan cermat,” kata Helen.
“Kami sudah melakukannya, Ny. Leroy,” kata Bollo. “Lama sekali dan tanpa hasil. Secara meyakinkan, ia dapat membuktikan bahwa dia maupun kunci ruang tahanan itu berada di asrama penjaga sepanjang malam itu. Setiap kawan sekamar Taal yang diinterogasi menyatakan, malam itu mereka tidak melihat atau mendengar apa-apa.”
Pincang
“Jadi,” sahut Leroy, “tidakkah itu berarti ia membuka pintu menggunakan kunci duplikat?”
“Tidak,” kata Bollo yakin. “Barang macam itu tidak mungkin lolos dari pemeriksaan kami. Apakah itu disembunyikan dalam tubuhnya atau di dalam ruang tahanan. Kunci-kunci yang terbuat dari besi setebal 0,5 cm itu cukup besar. Tangkainya saja kira-kira 8 cm panjangnya dan bentuknya melengkung. Tidak mudah menyembunyikannya. Setiap hari kami memeriksa setiap tahanan dan seluruh ruangannya secara teliti.”
Bollo terdiam sejenak. “Kalaupun Taal mendapatkan kunci duplikat dan berhasil lolos dari pemeriksaan petugas pada malam itu, perlu dipertanyakan kemudian bagaimana cara dia melompati tembok yang mengelilingi penjara? Anda bisa melihatnya dari sini. Tiga meter lebih tingginya. Di atasnya ada jalan yang cukup untuk lewat para penjaga yang berpatroli mengelilingi penjara. Dengan menggunakan tangga atau tali, tembok itu mudah sekali dilompati dari dalam. Tapi, bukan oleh orang yang tak punya alat semacam itu. Apalagi oleh orang yang kakinya terluka parah.”
“Kaki yang terluka?” tanya Leroy.
“Ya. Kakinya terluka di bagian dekat lbu jarinya. Suatu saat, sebelum ia melarikan diri, sebilah pisau menimpa kakinya ketika ia tengah bekerja di bengkel. Lukanya cukup dalam dan mengalami infeksi. Jalannya pincang, sehingga ia memerlukan tongkat pembantu untuk berjalan. Ia senantiasa menggunakan tongkat itu ke mana pun ia pergi, meskipun jaraknya dekat: dari ruang tahanan ke bengkel atau ke ruang makan.”
“Apakah para petugas benar-benar melakukan patroli sepanjang malam itu?” tanya Danforth.
“Cuma satu orang, tetapi ia dipersenjatai dengan sebuah mitraliur ringan. Ia meronda sepanjang jalan di atas dinding itu terus-menerus. Kalau ia melihat sesuatu yang tampak mencurigakan, ia segera memberi tanda kepada para petugas yang berada di pos utama, agar menyalakan lampu sorot, yang mampu mengubah seluruh kompleks menjadi seterang siang hari bolong. Pada malam lenyapnya Taal tidak ada tanda semacam itu dari petugas ronda.”
Beberapa saat lamanya tak ada yang membuka mulut. Sementara itu hanya terdengar gemeretaknya daun-daun nyiur tertiup angin laut. Tampak bibir Leroy tersenyum sambil membisikkan sesuatu kepada Danforth.
Kata Danforth kemudian, “Pak Bollo, kami hidup dari menulis kisah-kisah seperti itu. Karena itu, maafkan kami kalau kami bersikap lancang. Sekarang, bolehkah saya dan juga kawan saya ini menebak teka-teki yang membingungkan Anda itu? Mungkin kami bisa menjawab bagaimana cara dia melarikan diri.”
Kini giliran Bollo yang menggeser tubuhnya ke bibir kursi yang didudukinya. “Tuan-tuan ini bercanda, rupanya. Apakah Tuan pikir, Tuan bisa memecahkan teka-teki itu hanya dalam waktu sepuluh menit, sementara saya bersama staf mencoba memecahkannya sampai empat minggu lamanya tanpa hasil apa-apa?”
Danforth menyulut rokoknya. Asap mengepul dari mulutnya di udara yang panas itu. “Saya mengerti, Anda meragukan kami, Pak Bollo. Tapi, saya tidak menyalahkan Anda. Mari kita teruskan saja pembicaraan kita. Saya ingin bertanya lagi tentang satu hal.”
“Dengan senang hati,” kata Bollo dengan wajah yang berseri lagi.
Lubang rahasia
“Apakah Taal boleh membawa tongkatnya ke ruang tahanan pada malam hari?”
“Boleh. Ia tidak bisa berjalan tanpa tongkat itu. Kadang-kadang mereka perlu keluar malam untuk ....” Bollo tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya melirik saja ke arah nyonya-nyonya itu.
“Membuang hajat,” lanjut Leroy terus terang. “Sebenarnya tongkat macam apa yang dipakai oleh Taal?”
Bollo menunjuk pada tongkat cendera mata yang dibeli Helen Leroy sejam yang lalu dari seorang napi di bengkel pertukangan penjara itu. “Taal membikin tongkat-tongkat semacam itu untuk dijual kepada wisatawan,” ujar Bollo.
Danforth tampak bersemangat sampai tangannya menepuk meja. “Oh, begitu,” katanya. “Sekarang giliran kau, Mart.”
Leroy mengangguk. “Pak Bollo, Taal itu seorang pemahat di bengkel penjara Anda. Tentunya, ia paham benar soal pisau. Niscaya, Antonio Taal diam-diam membuat kunci palsu dari kayu untuk pintu ruang nomor tiga itu, ketika ia lepas dari pengawasan petugas di bengkel.”
Bollo sudah mau membantah saja pendapat Leroy, tetapi Danforth mendahuluinya bicara, “Tunggu, tunggu! Biarkan kami bicara dulu, Pak Bollo. Taal sudah ratusan kali melihat sosok kunci ruang tahanan nomor tiga itu, tentunya. Nah, karena setiap hari selama bertahun-tahun ia melihat kunci itu, ia pun menjadi hafal benar dengan ukuran maupun bentuk keseluruhan kunci itu, ya ‘kan? Lantas, dengan bekal itu, ia mencoba membikin kunci yang akan bisa meloloskan dirinya dari penjara. Dugaan yang masuk akal, saya kira.”
“Tidak mungkin.”
“Mungkin sekali, Pak Bollo,” kata Leroy. “Barangkali Anda hendak mengatakan, lantas di mana Taal menyembunyikan kunci kayu itu selama ia membuatnya, sampai tak ada petugas atau napi lain yang mencurigai adanya kunci itu?”
“Tepat sekali,” ujar Bollo.
Dengan cepat Danforth menjawab, “Pada gagang tongkat yang dibuatnya sendiri di bengkel.” la mengambil tongkat milik Helen, yang bergantung di sandaran kursinya.
Tongkat dari kayu mahoni yang kokoh dan indah. Gagangnya tebal melengkung, mirip gagang pistol. Tongkat itu meruncing ke ujungnya, dihiasi dengan pita-pita dan batangnya dihiasi dengan kulit kerang mutiara bermotif bunga-bunga. Sementara ujung gagangnya ditutupi dengan sekeping kulit kerang mutiara.
“Ia membuat lubang pada gagang tongkat,” lanjut Danforth, “yang cukup untuk menyimpan kunci palsunya. Lalu, ia menutup lubang itu dengan kulit kerang mutiara seperti ini, yang dapat dibuka dengan mudah. Ia sengaja berlama-lama menyelesaikannya, agar tongkat itu tidak terjual, sampai ia siap menggunakan kunci itu.”
Sengaja
“Tetapi,” kata Bollo, “ia belum tahu apakah kunci palsunya cocok untuk membuka pintu ruang nomor tiga. Tidak mungkin! Kunci yang cuma dibuat berdasarkan ingatan saja, kemungkinan untuk bisa membuka pintu itu kecil sekali!”
“Benar,” Leroy mengakui. “Karena itu Taal perlu memastikan apakah kunci yang dibikinnya itu cocok atau tidak.”
“Bagaimana caranya?”
“Melukai kakinya dengan pisau,” kata Leroy.
“Oh, bukan begitu,” kata Bollo. “Itu kecelakaan, bukan kesengajaan. Kawan-kawannya di bengkel itu pun menyatakan demikian.”
“Tentu saja,” ujar Danforth. “Taal memang sengaja membuat kejadian itu tampak seperti kecelakaan. Bukankah dia itu mahir benar memegang pisau? Ia pun sengaja membuat luka itu menjadi infeksi agar dokter menganjurkan dia supaya memakai tongkat. Bukankah kemudian ia boleh membawa tongkatnya kapan saja?”
“Ya.”
“Yang Anda hadapi, Pak Bollo,” ucap Danforth dengan nada senang, “ternyata seorang narapidana, seorang pembunuh yang cacat, yang memiliki kunci palsu yang disembunyikan dalam gagang tongkatnya. Seperti kita juga, kadang-kadang ia pun bangun tengah malam untuk membuang hajat. Nah, setiap malam pada kesempatan itu, diam-diam ia mencoba-coba kunci bikinannya pada pintu ruang tahanan itu. Kalau belum berhasil, paginya dibawanya lagi kunci itu ke bengkel untuk diperbaiki di sana-sini. Tibalah pada suatu malam, kunci itu pas sekali untuk membuka pintu, saat kawan-kawannya sekamar tengah dilanda mimpi. Terpincang-pincang ia keluar dengan tongkat di tangannya, lalu dikuncinya kembali pintu itu dari luar dan ... raiblah dia. Mungkin kejadiannya begitu, Pak Bollo?”
Segesit monyet
Bollo menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lantas bagaimana dengan tembok itu?” katanya sembari menunjuk ke seberang jalan. “Bagaimana pula dengan petugas yang berpatroli di atas tembok itu? Mana mungkin seorang yang kakinya luka parah bisa melompati tembok dan berlari jauh?”
“Tidak terlalu sulit untuk dijelaskan,” kata Leroy dengan tenang. “Kalau hanya satu petugas yang berpatroli di atas tembok itu, berarti petugas itu membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba kembali ke tempat semula. Apalagi kalau petugas patroli itu cukup jelas terlihat mondar-mandir di atas tembok, seperti yang Anda katakan. Antonio Taal, menurut saya, lantas memilih saat yang tepat kapan ia harus melompati tembok, yaitu ketika petugas berada di sisi tembok lain kompleks penjara itu. Sederhana, ‘kan?”
“Bagaimana?” tanya Bollo. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. “Bagaimana caranya ia memanjat tembok?”
“Berapa tinggi badannya?” tanya Danforth.
“Kira-kira 170 cm.”
“Sebutlah itu tingginya,” kata Danforth. “Dengan tubuh setinggi itu, kemungkinan ia memiliki jangkauan setinggi 210 cm, kalau tangannya menjangkau ke atas dan berdiri di ujung kakinya. Masih ditambah lagi dengan tongkat yang panjangnya 1 m di tangannya. Kalaupun masih kurang tinggi untuk menjangkau bagian atas tembok itu, ia bisa meloncat dengan kakinya yang tidak terluka. Nah, dengan mengaitkan pegangan tongkat ke tembok, pelan-pelan ia naik ke atas dengan berpegangan pada tangkai tongkat itu, sampai ia berhasil meraih ujung tembok setinggi 310 cm itu,” Kata Danforth sambil melirik Leroy. “Bukankah Taal itu orang yang gesit, Pak Bollo?”
Bollo terbatuk-batuk. “Ya,” katanya pelan, “persis monyet. Tapi, tidak mungkin!” Bollo berseru sambil setengah berdiri, tapi sebentar duduk lagi. Ia tampak kecewa. “Tidak,” katanya dengan muka serius. “Dugaan Anda boleh jadi benar, tapi bukan oleh orang yang kakinya terluka seperti Taal. Dengan kaki seperti itu, Taal tidak mampu berjalan sejauh 0,5 km dari sini sebelum fajar, apalagi kalau ia merangkak. Kami sudah melacak jejaknya dalam radius 15 km, menjelajahi bukit, menyisiri pantai, menguak ilalang dan menembus hutan, dalam enam jam setelah Taal dinyatakan hilang. Namun, hasilnya nihil. Kami tidak menemukan jejaknya sama sekali. Juga tidak ada laporan tentang hilangnya gerobak, mobil, perahu motor atau kano yang mungkin digunakannya untuk melarikan diri.”
Jingga mencolok
Tiba-tiba ia berhenti bicara ketika serombongan laki-laki yang berseragam warna jingga, berjalan beriringan mengarah ke gerbang penjara. Tertatih-tatih langkah mereka di tengah asap debu yang ditimbulkan oleh langkah-langkah kaki mereka yang terikat rantai. Sayup-sayup terdengar gemerincingnya suara logam beradu. Seorang pengawal menyandang senapan, berjalan di samping barisan, yang ternyata adalah para napi penghuni Penjara San Ramon. Pakaian narapidana itu jingga mencolok.
“Warna yang bagus, Pak Bollo,” kata Helen. “Saya ingin membeli kain itu. Mau saya bikin celana panjang, Carol.”
Bollo tertawa lebar memperlihatkan giginya yang besar-besar dan putih itu. “Sayang sekali, Ny. Leroy. Kain semacam itu tidak dijual untuk umum. Khusus untuk napi. Warnanya memang unik. Bahan celup warna jingga itu khusus untuk mewarnai baju seragam napi. Nah, orang yang memakai pakaian berwarna semacam itu langsung dikenali sebagai napi. Itulah yang menimbulkan teka-teki lain bagi kami, Tuan-tuan. Dengan mengenakan pakaian macam itu, Taal layaknya ikan hiu yang menonjol di tengah-tengah kawanan ikan pengiringnya. Toh, tak seorang pun di Zamboanga ini melihatnya.”
la mengangkat bahu dan mengulas senyum kepada Helen. “Saya kira, pendapat Anda lebih benar daripada suami Anda, Ny. Leroy. Antonio Taal sengaja tidak makan apa-apa, lantas jiwanya melayang ke luar dari kamp penjara ini menuju neraka alias jadi hantu.”
Leroy tertawa geli mendengar selorohnya. “Ada hal yang lebih sederhana daripada itu. Saya pikir, mungkin Anda melupakan satu hal yang penting tentang dirinya.”
“Apa itu?”
“Ia adalah penyelam mutiara,” kata Leroy. “Jadi, ia juga perenang yang hebat. Orang yang sudah biasa di air, tentu betah sekali di laut. Saya pikir, ia berenang menjauhi penjara menjelang malam agar pakaiannya yang mencolok tidak dilihat orang. Siang hari ia bersembunyi di tempat yang sepi di teluk yang terletak antara lokasi penjara dan Kota Zamboanga.” Leroy memandang gelombang besar yang menari di tengah laut sana. “Ketika kami berlayar kemari, kami melihat banyak tempat yang bisa dijadikan tempat persembunyian di sepanjang pantai itu. Jagoan renang seperti dia dengan mudah bisa berenang di laut yang tenang sejauh 15 km menjelang fajar, andaikata Taal melarikan diri pada tengah malam.”
Sekali lagi Bollo menyebut nama kebesaran orang suci bagi masyarakat Zamboanga. Berbagai rasa bergumul di wajahnya. Ada rasa marah, menyesal dan juga heran. Namun, rasa senanglah yang akhirnya muncul di wajahnya ketika Danforth melanjutkan bicaranya, “Berenang dalam waktu yang lama di laut yang bergaram itu mungkin bermanfaat sekali bagi luka di kakinya yang mengalami infeksi.”
“Rekonstruksi yang luar biasa,” ujar Bollo. “Bukan omong kosong kemasyhuran Leroy King, kalau kejadiannya memang seperti itu.”
Danforth tersenyum. “Barangkali pendapat kami sedikit mengada-ada, Pak Bollo,” katanya mengakui, “tapi bukan berarti tidak masuk akal.”
“Bagaimanapun juga,” ujar Bollo, “Taal sudah melarikan diri dan bebas. Saya khawatir ia akan melakukan pembunuhan lagi, karena ia berwatak keras dan kejam. Karena itu, kalau saya bisa menangkapnya kembali sebelum ia beraksi lagi, saya tentu senang sekali.”
Berkat bikini si gadis kecil
“Untuk Pak Bollo yang berbahagia yang telah berhasil membawa buronan itu kembali meringkuk dalam penjara bambu,” ujar Danforth sambil mengangkat gelas minuman kerasnya. Ketika itu hari sudah lewat tengah malam. Mereka duduk di Bar Sepatu Kuda di kapal Valhalla yang kini tengah berlayar menyusuri gelombang Laut Sulawesi dekat Pulau Kalimantan.
“Juga kepada ketajaman pikiran dan mata kita, Danforth,” ujar Leroy.
“Kepada gadis kecil itu juga, tentunya!” ujar Helen bernada sendu.
Si gadis kecil yang dimaksudnya ialah anak yang mereka jumpai waktu sedang makan sop ikan. Gadis itu beberapa waktu yang lalu kebetulan menyelam dan menemukan setelan pakaian napi milik Taal di dasar laut. Rupanya, pakaian itu ditenggelamkannya dengan batu di bawah rumah seorang janda.
Ibu gadis kecil itu membuat bikini bagi anaknya dari pakaian warna jingga itu. Berkat petunjuk gadis itu, Pak Bollo dan pasukannya bisa menggerebeg tempat Taal bersembunyi, yaitu di rumah janda itu sehingga tertangkap. Ternyata Taal memaksa janda itu menyembunyikan dan memberinya makan.
Leroy mengamati tongkat kenang-kenangan dari Pak Bollo. Di balik kepingan kulit kerang mutiara yang menutup lubang di ujung pegangan tongkat itulah, kepala penjara menemukan kunci palsu yang terbuat dari kayu keras. (James Holding)
Baca Juga: Kumis yang Menyelamatkan
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682644/celana-yang-mencurigakan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301948000) } } [2]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635667" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/kumis-yang-menyelamatkan_alan-ha-20230105070827.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Seorang pebisnis keturunan Irak merasa waswas ketika pesawatnya mendarat darurat di Baghdad. Pasalnya, ia seorang buronan kasus politik." ["section"]=> object(stdClass)#92 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/kumis-yang-menyelamatkan_alan-ha-20230105070827.jpg" ["title"]=> string(24) "Kumis yang Menyelamatkan" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:08:42" ["content"]=> string(33640) "
Intisari Plus - Seorang pebisnis keturunan Irak merasa waswas ketika pesawatnya mendarat darurat di Baghdad. Pasalnya, ia seorang buronan kasus politik.
--------------------
Hamid Zebari tersenyum dalam hati sambil menatap istrinya Shereen yang sedang duduk di belakang kemudi mengantarnya ke bandara. Sulit dipercaya, kehidupan mereka bisa seperti ini sejak pertama kali keluarga ini masuk ke Amerika sebagai buronan politik lima tahun lalu. Namun dari pengalaman yang mereka jalani, Hamid sadar di Amerika segalanya serba mungkin.
“Papa kapan kembali?” tanya Nadim yang duduk di jok belakang di samping kakak perempuannya, May.
“Saya janji, hanya dua minggu. Tidak lebih,” jawab Hamid.
“Dua minggu itu berapa sih?” tanya Nadim lagi.
“Empat belas hari,” Hamid menjawab sembari tertawa.
“Dan empat belas malam,” tambah istrinya saat mobil memasuki jalur yang bertanda arah menuju counter Turkish Airline. Setelah mengeluarkan barang bawaannya dari bagasi, Hamid masuk ke jok belakang. Dipeluknya May lebih dulu baru kemudian Nadim. May menangis, bukan karena ayahnya hendak pergi tetapi lantaran setiap kali mobil berhenti, ia pasti menangis. May dia biarkan membelai kumisnya yang tebal sebab dengan begitu biasanya ia berhenti menangis.
“Empat belas hari,” ulang Nadim. Hamid memeluk istrinya dan merasakan perut buncit istrinya yang sedang hamil.
“Nanti kami jemput di sini,” kata Shereen.
Setelah enam buah tas kosong miliknya diperiksa, Hamid menghilang masuk bandara. Ia sudah biasa menggunakan Turkish Airline, sehingga tidak perlu lagi minta petunjuk pada petugas loket.
Setelah check-in dan mendapatkan pas naik, Hamid masih menunggu satu jam lagi sebelum dipanggil naik pesawat. Makanya ia santai saja ketika berjalan menuju gate B-27. Sewaktu lewat di depan meja check-in Pan Am pada B-5, ia melihat pesawat itu akan lepas landas sejam lebih awal dari pesawatnya; ini keistimewaan bagi mereka yang rela mengeluarkan ongkos ekstra AS $ 63.
Di ruang tunggu, seorang pramugari maskapai penerbangan Turki menyelipkan tanda nomor penerbangan 014 tujuan New York - London - lstanbul pada sebuah papan. Rencana keberangkatannya pada pukul 10.10.
Tempat duduk ruang tunggu tersebut mulai terisi kelompok penumpang kaum kosmopolitan seperti biasa: orang Turki yang mau pulang kampung menengok keluarga, orang Amerika yang mau berhemat AS $ 63, dan para pengusaha.
Sudah diperingatkan
Hamid pergi ke sebuah restoran, memesan kopi dan dua telur mata sapi dengan perkedel. Hal-hal sepele ini mengingatkannya pada hari-hari awal kebebasannya, serta betapa besar jasa Amerika Serikat pada dirinya.
“Para penumpang tujuan lstanbul yang membawa anak-anak dipersilakan naik ke pesawat,” kata petugas melalui pengeras suara.
Hamid menelan potongan terakhir perkedelnya, lalu menenggak habis sisa kopi pahitnya. Ia sudah rindu minum kopi Turki yang disuguhkan dalam cangkir kecil. Namun kerinduan itu nyaris tak berarti bila dibandingkan dengan kenikmatan hidup yang dia peroleh di negeri bebas ini.
Hamid mengambil kopernya, berjalan menyusuri lorong menuju pesawat dengan nomor penerbangan 014. Seorang petugas dari maskapai Turki memeriksa pas naiknya dan menyilakan dia masuk.
Ia mendapat tempat duduk di pinggir gang nyaris paling belakang di kelas ekonomi. Sepuluh kali perjalanan lagi, katanya dalam hati, ia bakal selalu naik Pan Am di kelas bisnis. Pada saat itu ia pasti sudah sanggup membeli tiket kelas bisnis.
Setiap kali roda pesawat yang ditumpanginya lepas landas, Hamid selalu melongok lewat jendela pesawat dan mengamati negeri yang menerima suaka politiknya sampai hilang dari pandangan.
Sudah hampir lima tahun ia dipecat Saddam Hussein dari jabatannya sebagai menteri pertanian dalam kabinet Irak. Padahal posisi itu baru dia jalani selama dua tahun. Pada musim gugur kala itu hasil panen gandum payah. Setelah tentara rakyat dan kaum tengkulak mengambil bagiannya, jatah untuk rakyat Irak kurang. Dalam kasus ini harus ada orang yang dipersalahkan dan kambing hitam yang gampang dipegang tidak lain adalah menteri pertanian.
Ayah Hamid, seorang pedagang karpet, sudah sering mengajak dia bergabung dalam bisnis keluarganya. Bahkan memperingatkan Hamid sebelum ia meninggal; jangan pernah menerima jabatan sebagai menteri pertanian. Sebab tiga menteri terakhir pimpinan departemen itu mengalami pemecatan dan setelah itu menghilang. Setiap orang Irak sudah tahu artinya “menghilang”. Namun Hamid bersikukuh menerima posisi itu.
Panen tahun pertama hasilnya memang berlimpah. Dari situ Hamid semakin yakin, jabatan menteri pertanian merupakan satu-satunya batu loncatan untuk meraih posisi yang lebih baik. Apalagi dalam setiap kesempatan, Saddam Hussein selalu menyebut dirinya sebagai “teman dekat dan teman baik saya”.
Ayah Hamid terbukti benar. Musibah itu terjadi di tahun kedua. Untunglah teman setianya yang mengalami nasib serupa membantu Hamid melarikan diri.
Satu-satunya tindakan antisipasi yang dia lakukan selama menjadi menteri yaitu menarik uang tabungannya di bank setiap minggu. Jumlahnya sedikit lebih banyak daripada yang biasa dia butuhkan. Sisanya dia tukarkan dengan dolar Amerika pada pedagang valuta pinggir jalan, tetapi setiap kali pada pedagang yang berbeda. Itu pun dalam jumlah yang tidak mengundang kecurigaan orang.
Pada hari ia dipecat, uang yang dia sembunyikan di bawah kasur - hasil penarikan dari tabungannya di bank itu - ternyata lumayan. Hampir AS $ 11.222.
Minta suaka politik
Kamis berikutnya - hari akhir pekan bagi orang Baghdad - pelarian dimulai. Dengan naik bus, Hamid dan istrinya yang sedang hamil meninggalkan Baghdad menuju Erbil. Sedan Mercedes miliknya dia tinggalkan secara mencolok di halaman depan rumahnya yang besar di pinggiran kota. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali paspor dan segepok uang dolar yang disembunyikan dalam baju hamil istrinya yang longgar, serta sejumlah uang dinar untuk ongkos sampai di perbatasan.
Mustahil ada yang akan menemukan mereka di atas bus menuju Erbil di perbatasan.
Tiba di Erbil, perjalanan dilanjutkan ke Sulaimania dengan taksi. Malam harinya mereka menginap di sebuah hotel kecil jauh dari pusat kota. Namun malam itu mereka tidak mampu memejamkan mata sekejap pun karena diliputi rasa cemas menunggu datangnya pagi.
Esok paginya dengan bus pula mereka menuju ke daerah perbukitan Kurdistan. Tiba di Zakho saat hari menjelang malam.
Bagian akhir dari pelarian mereka rupanya menjadi perjalanan yang paling menyita waktu. Mereka harus naik keledai untuk mendaki perbukitan itu. Ongkosnya AS $ 200, sebab pemuda Kurdi penyelundup itu tak mau dibayar dengan dinar. Bekas menteri pertanian Irak dan istrinya itu akhirnya berhasil dia selundupkan dengan aman hingga di perbatasan beberapa jam menjelang pagi. Sesudah itu mereka harus berjalan kaki ke desa terdekat di kawasan Turki, sehingga malamnya baru tiba di Kirmizi Renga. Mereka bermalam di stasiun sambil menunggu kereta pertama menuju Istanbul.
Hamid dan Shereen tertidur pulas di kereta api yang menempuh perjalanan cukup lama sebelum tiba di Istanbul. Ketika terbangun pagi berikutnya, status mereka sudah berubah menjadi buronan. Yang pertama kali didatangi Hamid di kota itu adalah Bank Iz. Di situ ia menyimpan uangnya sebanyak AS $ 10.800. Dari sana baru ia ke Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk meminta paspor diplomatik dan memohon suaka politik. Suatu kali ayahnya memang pernah berkata, menteri kabinet Irak yang dipecat selalu diterima dengan tangan terbuka oleh pihak Amerika.
Kedutaan AS akhirnya memberi Hamid dan istrinya penginapan di sebuah hotel berbintang dan segera mengirim laporan tentang “kudeta” kecil itu ke Washington. Mereka berjanji akan kembali menemui Hamid secepat mungkin. Sambil menunggu, Hamid memanfaatkan waktu untuk mengunjungi pasar karpet di bagian selatan kota, yang sering dikunjungi ayahnya dulu.
Banyak pedagang karpet yang masih ingat pada ayahnya: seorang pria jujur yang suka menawar kalau membeli karpet dan peminum kopi berat, juga sering membicarakan anak lelakinya yang terjun ke dunia politik. Mereka senang berkenalan dengan Hamid.
Pasutri ini akhirnya memperoleh visa setelah satu minggu menunggu. Mereka lalu diterbangkan ke Washington atas biaya pemerintah AS, termasuk biaya tambahan atas kelebihan beban bagasi berupa 23 buah karpet Turki.
Lima hari Hamid diperiksa secara intensif oleh pihak CIA. Mereka berterima kasih karena ia telah bekerja sama dan memberikan informasi yang berharga. Akhirnya, ia diizinkan memulai babak baru kehidupannya di Amerika. Hamid, istrinya, berikut 23 karpet naik kereta api menuju New York.
Enam minggu mereka baru berhasil menemukan tempat yang pas untuk menjual karpetnya. Toko itu ada di lantai bawah gedung Manhattan sayap timur. Sementara Hamid menandatangani perjanjian sewa toko selama lima tahun, Shereen memasang nama baru mereka yang berbau Amerika di atas pintu toko. Tiga bulan pertama, tak satu pun karpetnya terjual. Padahal uang tabungan sudah makin menipis. Namun menjelang akhir tahun, 16 dari 23 karpetnya laku terjual. Karena itu ia perlu segera berangkat lagi ke Istanbul membeli karpet untuk persediaan.
Dihukum mati
Empat tahun berlalu. Toko keluarga Zebari pindah ke ruko yang lebih besar di sayap barat. Hamid belum ingin mengatakan pada istrinya bahwa semua ini baru permulaan dan bahwa Amerika merupakan negara yang serba mungkin.
Kini ia sudah merasa sebagai warga Amerika. la pasrah dan menerima keadaan kalau dirinya tak mungkin kembali ke tanah air selama Saddam masih berkuasa. Rumah dan segala kekayaannya sudah lama dikuasai pihak pemerintah Irak. Hukuman mati pun sudah dijatuhkan tanpa kehadirannya.
Setelah singgah di London, pesawat yang dia tumpangi mendarat di Bandara Kemal Ataturk Istanbul beberapa menit lebih awal dari jadwal. Seperti biasa Hamid memesan losmen langganannya, lalu menyusun rencana dan membagi waktu selama dua minggu. Ia bahagia sekali bisa berada kembali di tengah hiruk-pikuk Kota Istanbul.
Ada 31 pedagang yang akan dikunjungi karena rencananya ia harus pulang ke New York dengan membawa paling tidak 60 karpet. Itu artinya selama 14 hari kopi kental Turki akan terus mengguyur tenggorokannya. Ia juga perlu waktu lama untuk tawar-menawar, karena harga yang ditawarkan biasanya tiga kali harga jadinya.
Menjelang akhir hari ke-14, Hamid berhasil memborong 54 buah karpet, modalnya AS $.21,000 lebih sedikit. Ia hati-hati dalam memilih karpet; hanya karpet yang diminati konsumen New York yang sangat kritis yang dia pilih. Ia yakin karpet yang dia beli sekarang ini akan menghasilkan hampir AS $ 100.000. Merasa sukses dalam perjalanan kali ini, Hamid lalu mengambil penerbangan Pan Am paling awal untuk pulang ke New York.
Ia berharap segera bertemu Shereen dan kedua anaknya. Pramugari pesawat Pan Am dengan aksen New York dan senyum ramahnya itu justru semakin membuat suasana hatinya seolah-olah sudah berada di rumah. Setelah makan siang disajikan dan malam menonton film, dalam kondisi setengah tidur Hamid bermimpi apa yang kelak akan ia alami di Amerika. Barangkali nanti anak laki-lakinya juga terjun ke dunia politik seperti dia. Tapi apakah Amerika memungkinkan adanya seorang presiden keturunan Irak menjelang tahun 2025? Hamid tersenyum dalam hati lalu jatuh tertidur.
Pendaratan darurat
“Ladies and gentlemen,” suara berat beraksen Amerika Selatan meluncur dari pengeras suara, “this is your captain. Maaf kalau mengganggu acara Anda menikmati film suguhan kami atau membangunkan Anda yang sedang beristirahat. Ada sedikit masalah pada mesin sebelah kanan. Namun tidak perlu khawatir, peraturan otoritas penerbangan federal mewajibkan kita mendarat di bandara terdekat untuk perbaikan sebelum melanjutkan perjalanan. Setidaknya diperlukan waktu lebih dari satu jam untuk itu. Kami jamin perbaikan akan diusahakan selesai secepat mungkin.”
Mendadak Hamid terbangun mendengar pengumuman itu.
“Kita tidak akan meninggalkan pesawat karena ini bukan pendaratan yang dijadwalkan. Namun Anda bisa bercerita kepada keluarga di rumah bahwa Anda sempat mengunjungi Baghdad.”
Begitu pilot menyebut kata terakhir itu, Hamid merasa seluruh tubuhnya lemas. Kepalanya terkulai. Seorang pramugari bergegas menghampirinya.
“Anda tidak apa-apa, Pak?”
Hamid mendongakkan kepalanya dan menatap wajah pramugari itu. “Saya harus menemui kapten, segera. Segera.”
Melihat Hamid tampak begitu cemas, si pramugari segera mengantarnya menemui kapten.
“Kap, ada penumpang yang ingin bicara dengan Anda. Penting.”
“Biarkan dia masuk,” kata suara dari dalam. Kapten berbalik dan melihat Hamid yang tampak gemetaran. “Apa yang bisa saya bantu, Pak?”
“Saya Hamid Zebari, warga Amerika,” katanya. “Jika pesawat mendarat di Baghdad, saya pasti akan ditangkap, disiksa, lalu dihukum mati,” ucapnya tergagap-gagap. “Saya ini buronan politik. Anda mesti paham, pemerintah Baghdad tidak akan segan-segan membunuh saya.”
Kapten pilot itu cepat menyadari bahwa Hamid tidak membual. “Tolong ambil alih, Jim,” katanya kepada kopilot. “Saya mau bicara dengan Pak Zebari. Panggil saya kalau sudah dapat izin mendarat.”
Kapten lalu mengajak Hamid duduk di bagian kosong di kabin kelas bisnis.
“Tolong Anda jelaskan masalahnya pelan-pelan,” kata kapten.
Hamid pun bercerita mengapa ia melarikan diri dari Baghdad dan bagaimana ia datang serta menetap di Amerika. Menjelang akhir cerita, kapten menggeleng dan tersenyum, “Tidak perlu panik,” katanya meyakinkan Hamid. “Kita tidak akan keluar dari pesawat sehingga paspor penumpang tidak akan diperiksa. Kalau mesin sudah beres, kita segera terbang kembali. Sebaiknya Anda tetap duduk di sini supaya bisa berbicara dengan saya kapan saja.”
Berdoa khusuk
“Sekali lagi, di sini kapten pilot. Kita sudah mendapat izin mendarat dari Baghdad. Sekarang kita mulai turun dan dalam dua menit lagi kita mendarat. Pesawat akan berhenti di ujung landasan tempat para teknisi sudah menunggu. Setelah problem kecil itu teratasi, kita segera terbang kembali.”
Serta-merta terdengar tarikan napas lega dari para penumpang, nyaris bersamaan. Sementara itu Hamid justru memegang erat-erat sandaran tangan. Ia terus gemetaran dan berkeringat dingin selama 20 menit menjelang pendaratan, bahkan nyaris jatuh pingsan ketika roda pesawat terasa menyentuh permukaan bumi tanah kelahirannya.
Matanya mengintip lewat jendela saat pesawat meluncur melewati terminal bandara yang sangat ia kenal. Tampak pasukan bersenjata sedang berjaga-jaga di atas atap dan pintu-pintu yang menuju ke jalur pendaratan. Ia berdoa kepada Tuhan secara khusuk.
Dalam 15 menit berikutnya yang terdengar hanyalah suara mobil van melaju melintasi kawasan pendaratan, yang kemudian berhenti tepat di bawah mesin pesawat sebelah kanan.
Hamid melihat dua orang teknisi membawa tas besar berisi peralatan keluar dari kendaraan, naik ke derek kecil yang dikerek ke atas hingga sejajar sayap pesawat. Mereka tampak mulai mengendurkan sekrup-sekrup pelat. 40 menit kemudian terlihat mereka mengencangkan sekrup-sekrup itu kembali sebelum dikerek turun. Van itu kemudian menuju terminal.
Hamid merasa lega. Ia mengencangkan sabuk pengaman dengan penuh harap untuk segera terbang. Detak jantungnya menurun. Namun ia merasa masih belum normal, kecuali kalau pesawat sudah lepas landas dan merasa yakin kalau para teknisi itu tidak kembali lagi. Selama beberapa menit berikutnya suasana senyap. Tak ada tanda-tanda pesawat bergerak. Keadaan ini justru membuat Hamid bertambah cemas. Pintu kokpit terbuka, tampak kapten berjalan mendekatinya dengan senyum getir menghias bibirnya.
“Sebaiknya Anda bergabung dengan kami di atas,” kata kapten dengan suara berbisik. Hamid melepas sabuk pengamannya dan dengan malas mencoba berdiri. Dengan rasa tak menentu ia mengikuti kapten masuk kokpit, kakinya terasa lemas seperti benang.
“Para teknisi belum berhasil menemukan kerusakan. Maka kita diminta meninggalkan pesawat dan menunggu di ruang transit sampai pekerjaan mereka selesai,” kata kapten.
“Daripada begini lebih baik saya mati dalam tabrakan pesawat,” keluh Hamid dengan gemas.
“Tenang, Pak Zebari. Sudah ada jalan keluarnya. Anda nanti mengenakan seragam awak kabin cadangan sehingga bisa terus bersama kami dan menggunakan semua fasilitas awak pesawat. Paspor Anda tidak akan diminta untuk diperiksa.”
“Tapi kalau ada orang yang kenal saya….”
“Begini, Anda cukur kumis, lalu pakai seragam opsir penerbang, kacamata hitam, dan topi. Ibu Anda sendiri pun pasti tak bakalan mengenali Anda.”
Hamid terpaksa mencukur klimis kumis tebal kebanggaannya. Bekasnya jadi kelihatan pucat. Tapi pramugari senior itu tak kurang akal. Ia memoles kulit Hamid yang pucat itu dengan make-upnya hingga sama dengan bagian lain. Hamid masih belum yakin. Tapi setelah memakai seragam kopilot dan mengaca di toilet ia harus mengakui, kalau ada yang bisa mengenalinya, orang itu pasti luar biasa.
Bertemu pandang
Para penumpang turun lebih dulu, lalu diangkut dengan bus bandara menuju terminal utama. Sebuah van muncul untuk mengangkut para awak pesawat yang sengaja bergerombol melindungi Hamid. Meski begitu, semakin dekat ke terminal, Hamid semakin bertambah cemas.
Petugas keamanan tidak menaruh perhatian ketika rombongan awak pesawat itu memasuki gedung. Petugas membiarkan mereka mencari tempat duduk sendiri di bangku-bangku kayu di ruangan yang berdinding putih itu. Satu-satunya hiasan di ruangan itu hanyalah potret besar Saddam Hussein lengkap dengan seragamnya sambil menenteng senjata kalashnikov. Hamid tak sanggup menatap foto “teman baik dan teman dekatnya” itu.
Di sekitar mereka juga ada para awak pesawat lain yang sedang menunggu naik ke pesawat mereka. Tetapi Hamid tidak berani mengajak bercakap-cakap dengan salah satu dari mereka.
“Mereka awak pesawat Prancis,” kata si pramugari senior. Pramugari itu lalu duduk di sebelah kapten pilot Air France itu dan mengobrol.
Kapten pilot Prancis itu bilang pada si pramugari bahwa mereka akan terbang ke Singapura lewat New Delhi. Bersamaan dengan itu Hamid melihat seorang laki-laki yang sangat dia kenal berjalan masuk ke ruangan. Gawat! Pikirnya. Dia ‘kan Saad al-Takriti, anggota pasukan pengawal Presiden Saddam. Dari tanda pangkat di pundaknya, tampaknya sekarang ia menjabat sebagai kepala satuan pengamanan bandara.
Hamid berdoa mudah-mudahan orang itu tidak memandang ke arahnya. Al-Takriti berjalan hilir mudik, menatap sekilas para awak pesawat Prancis dan Amerika itu, tapi matanya sempat “belanja”, melirik kaki-kaki ramping para pramugari cantik yang dibalut stocking hitam.
Kapten menyenggol bahu Hamid. Hampir saja tubuhnya copot dari kulitnya saking terkejut karena tegang.
“Tenang, tenang. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa kepala teknisi sedang mengatasi kerusakan pesawat, maka mestinya tidak akan lama lagi.”
Hamid menatap pesawat Air France di kejauhan dan sempat melihat sebuah van berhenti di bawah mesin sebelah kanan pesawat Pan Am. Seorang lelaki dengan pakaian kerja berwarna biru melangkah ke luar dari kendaraan itu dan naik ke sebuah crane kecil.
Hamid berdiri untuk mengamati lebih dekat dan bersamaan dengan itu Saad al-Takriti berjalan kembali masuk ruangan. Tiba-tiba al-Takriti berhenti melangkah, lalu keduanya saling bertatap mata sebentar, sebelum Hamid cepat-cepat duduk kembali berlindung di samping kapten. Al-Takriti menghilang dari pandangan, masuk ke sebuah ruangan bertanda “Dilarang Masuk”.
“Kayaknya ia memperhatikan saya,” kata Hamid. Make-up di bekas kumisnya tampaknya mulai luntur menuruni bibirnya.
Paspor diperiksa
Kapten menghampiri pramugari senior itu dan menyela obrolannya dengan kapten Prancis. Wanita itu mendengarkan instruksi atasannya kemudian menanyakan sesuatu yang lebih serius pada kapten Prancis itu.
Saat al-Takriti keluar lagi dari ruangan kantornya dan menghampiri kapten Amerika, Hamid merasa wajahnya pasti terlihat pucat.
Dengan suara cukup keras al-Takriti berkata, “Kapten, saya minta Anda menunjukkan manifes, jumlah awak pesawat Anda, sekalian paspor mereka.”
“Kopilot saya yang membawa semua paspor mereka,” jawab kapten. “Nanti saya temui Anda sambil membawa paspor-paspor itu.”
“Terima kasih,” kata al-Takriti. “Kalau paspor sudah terkumpul, bawa semuanya ke ruangan saya untuk saya periksa. Sementara itu saya minta anak buah Anda tetap di sini. Dalam situasi apa pun mereka jangan coba-coba meninggalkan gedung ini tanpa seizin saya.”
Kapten menghampiri kopilotnya meminta paspor seraya membisikkan perintah yang membuat kopilotnya terkejut. Dengan menenteng paspor-paspor itu kapten masuk ke ruang keamanan. Persis ketika itu sebuah bus berangkat dari ruang transit membawa awak Air France ke pesawat mereka.
Saad al-Takriti menaruh ke-14 paspor itu di atas meja. la tampak senang ketika memeriksa paspor satu demi satu. Tetapi begitu selesai, ia berkata dengan wajah heran, “Saya tidak salah, Kapten, saya hitung tadi ada 15 awak mengenakan seragam Pan Am.”
“Anda pasti keliru,” kata kapten. “Kami hanya berempat belas.”
“Kalau begitu, akan saya periksa lagi lebih teliti, betul begitu, Kapten? Tolong kembalikan paspor-paspor ini ke pemiliknya masing-masing. Andaikata ada yang tidak memiliki paspor, mereka harus melapor ke saya.”
“Tapi seperti Anda ketahui, ini melanggar hukum internasional,” kata kapten. “Kami sedang melakukan transit, dan karena itu, di bawah Resolusi PBB no. 238, tidak ada ceritanya kami harus mengikuti hukum negeri Anda.”
“Jangan banyak bicara, Kapten. Kami tidak menggunakan resolusi PBB di Irak. Seperti Anda ketahui, sesuai kepentingan kami, Anda bahkan melanggar hukum di negeri kami.”
Nyaris ketahuan
Kapten sadar ia hanya buang-buang waktu dan tidak punya bahan untuk menggertak lagi. Ia sengaja mengumpulkan paspor-paspor itu dengan perlahan sekali sebelum al-Takriti membawanya kembali masuk ruang transit. Saat mereka memasuki ruangan itu para awak pesawat Pan Am yang tadinya duduk menyebar di bangku-bangku mendadak berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir, ke sana-kemari, sambil dengan sengaja saling berbicara keras-keras.
“Perintahkan mereka duduk,” kata al-Takriti di tengah suasana hiruk pikuk di ruangan itu.
“Apa kata Anda?” tanya kapten sambil berlagak memasang telinganya.
“Suruh mereka duduk!” teriak al-Takriti.
Kapten memberi perintah setengah hati dan beberapa saat kemudian mereka pun duduk. Tetapi masih saja bercakap-cakap dengan suara keras.
“Suruh mereka diam!”
Kapten berkeliling ruangan pelan-pelan sambil menyuruh anak buahnya satu demi satu agar jangan berbicara terlalu keras.
Mata al-Takriti menyapu bangku-bangku ruang transit. Sementara itu kapten melirik keluar ke arah jalur keberangkatan dan melihat pesawat Air France itu bergerak menuju landasan pacu.
Al-Takriti mulai menghitung. Ia terlihat geram ketika hanya menemukan 14 awal pesawat Pan Am di ruangan itu. Matanya menyapu seluruh ruangan dengan tatapan marah dan sekali lagi ia menghitung.
“Keempat belas awak pesawat kami ada di sini,” kata kapten setelah menyerahkan kembali paspor itu ke pemiliknya masing-masing.
“Di mana orang yang tadi duduk di samping Anda?” tanya al-Takriti sambil menuding kapten.
“Maksud Anda pramugari senior saya?”
“Bukan. Awak pesawat yang bertampang Arab.”
“Tidak ada orang Arab di antara anak buah saya,” kapten meyakinkannya.
Al-Takriti menghampiri pramugari senior itu. “Ia tadi duduk di samping Anda. Make-up di bekas kumisnya kelihatan luntur.”
“Yang duduk di sebelah saya kapten pesawat Air France,” kata si pramugari.
Menguber pesawat
Ketika Saad al-Takriti membalikkan badan dan menatap keluar, ia melihat pesawat Air France di ujung landasan pacu siap untuk lepas landar. Ia segera memencet tombol telepon genggamnya saat mesin jet itu dihidupkan. Al-Takriti berteriak-teriak memberi perintah dengan bahasanya sendiri.
Saat itu semua mata awak pesawat Amerika tertuju pada pesawat Air France, sambil berharap pesawat itu segera bergerak. Sementara itu suara al-Takriti semakin meninggi saja setiap kali bicara.
Air France 747 melaju dan dengan perlahan mulai mengumpulkan tenaga untuk mengudara. Terdengar Saad al-Takriti berteriak memaki-maki sambil berlari ke luar ruang transit dan meloncat ke sebuah jip terbuka. Tangannya tampak menunjuk-nunjuk pesawat yang sedang akan tinggal landas itu dan memerintahkan sopir untuk mengejarnya.
Jip itu melejit, meluncur kencang, dan menerobos melewati celah-celah di antara pesawat yang sedang parkir. Saat mencapai landasan pacu, jip itu pasti berlari 140 km per jam. Beberapa ratus meter kemudian jip berhasil melaju sejajar pesawat Air France. Al-Takriti tampak berdiri di jok depan, badannya bersandar pada kaca depan sambil melambaikan tinjunya ke arah kokpit pesawat.
Kapten Prancis itu membalasnya dengan memberi hormat dengan tangannya. Ketika roda pesawat Boeing 747 itu terangkat, sorak kegembiraan membahana di ruang transit.
Kapten Amerika tersenyum dan berbalik ke arah pramugari seniornya. “Nah, teori saya terbukti ‘kan! Orang Prancis itu pasti akan berbuat apa saja untuk menolong kita.”
Hamid Zebari mendarat dengan aman di New Delhi enam jam kemudian. Segera ia menelepon istrinya untuk memberi tahu semua peristiwa menegangkan yang dia alami. Pagi berikutnya ia terbang dengan pesawat Pan Am kembali ke New York di kelas bisnis. Ketika Hamid keluar dari terminal bandara, istrinya melompat dari mobilnya dan menghamburkan diri ke pelukan suaminya.
Nadim menurunkan kaca jendela lalu berkata, “Papa keliru. Dua minggu itu 15 hari.” Hamid tersenyum pada anak lelakinya itu. Sementara May malah menangis, bukan karena mobil mereka mendadak berhenti, tetapi justru karena ia ketakutan melihat ibunya memeluk seorang pria “tak dikenal”. (Jeffrey Archer)
Baca Juga: Demi Santunan Asuransi
" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635667/kumis-yang-menyelamatkan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945722000) } } [3]=> object(stdClass)#93 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3636612" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#94 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/40-hari-dipermainkan-buronan_jak-20230105065456.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#95 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(114) "Seorang pria menyerang istrinya lalu melarikan diri. Tak kurang dari 40 hari polisi dibuat repot oleh pelariannya." ["section"]=> object(stdClass)#96 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/40-hari-dipermainkan-buronan_jak-20230105065456.jpg" ["title"]=> string(28) "40 Hari Dipermainkan Buronan" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 18:55:57" ["content"]=> string(34736) "
Intisari Plus - Seorang pria menyerang istrinya lalu melarikan diri. Tak kurang dari 40 hari polisi dibuat repot oleh pelariannya.
--------------------
Akhir tahun 1968, suasana peternakan Elsey Station mulai diliputi ketegangan. Masa itu kawasan Northern Territory terasa seperti neraka. Panasnya menyengat, lembapnya melekat. Udara pengap membuat semua makhluk termasuk semut kegerahan. Tapi justru ini masa-masa seru, perlombaan antara kecepatan manusia dan cuaca. Para peternak mesti adu cepat mengumpulkan hewan mereka sebelum cuaca menjadi terlalu panas.
Sore 20 September itu, Amy Dirngayg, Jessie Garalnganyag dan Marjorie Biyang, sedang terburu-buru. Ketiga gadis Aborigin ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di peternakan. Bel pertama sudah dibunyikan dari homestead (kemah utama). Pertanda mereka harus segera keluar dari kamp para Aborigin menuju homestead untuk menyiapkan makan malam bagi sang manajer, Peter McCracken, istrinya Mary, dan para karyawan kulit putih lainnya.
Hanya satu pengalang
Amy Dirngayg, kepala dapur homestead yang dijuluki “Cookie”, melihat Marjorie (18), anak buahnya termenung kurang konsentrasi. Seperti ada yang mengusik hatinya, sampai harus diingatkan untuk menutup meja. Padahal biasanya itu sudah tugas rutin yang lancar ia tuntaskan.
Seperti biasa, makan malam ditutup dengan minum teh. Para pelayan merapikan meja kembali, mencuci cangkir dan menggantungnya, lalu membersihkan bangku serta meja makan. Setelah semua selesai, Marjorie mendadak bilang tak mau ikut pulang ke kamp para pembantu. Amy dan Jessie jadi heran. Memangnya ada apa? “Saya ogah ah balik ke sana. Saya mau tidur di dapur saja,” kata Marjorie.
“Eh, eh, apa-apaan? Mana bisa? Kamu harus ikut kami, tidur bersama keluargamu di kamp. Di sini kamu sendirian. Jangan, jangan tinggal di sini.” Tapi karena Marjorie bersikukuh, kedua rekannya terpaksa pergi meninggalkannya sendirian di sana.
Marjorie memang sedang gundah. Tapi bukan karena kesal, melainkan karena panah asmara yang agaknya menghunjam dalam. Kedua rekannya tak tahu, malam itu ia sedang gelisah menantikan kedatangan sang Arjuna.
Sekitar pukul 20.30, ia berangkat ke pulau kenikmatan, bergelut dalam mimpi indah bersama David Jackson (21), stockman (perawat ternak) berkulit putih.
Sepertinya sampai saat itu mereka depat menyimpan rahasia rapat-rapat, meski telah berbulan-bulan mereka ada main. Hanya satu hal yang membuat dua insan ini agak waswas. Marjorie sudah bersuami.
Ditemukan di gudang
Jackson dua kali terjaga karena mendengar bunyi gemeresik di luar. Ia juga melihat cahaya obor, lalu bayangan berkelebat dalam kegelapan. Tapi bayangan itu raib ketika dikejar.
“Ada apa, Sayang?” desah Marjorie setengah mengantuk.
“Ah, tidak. Pencuri barangkali,” sahut Jackson kembali merebahkan diri di samping Marjorie. Namun di dalam hati waswasnya belum hilang. Dalam gelapnya malam dan beratnya rasa kantuk, pasangan yang sedang mabuk cinta ini tak menyadari bahaya besar yang sedang mengancam.
Sekitar pukul 03.00, mereka diserang habis-habisan dengan tomahawk (kapak) oleh seseorang tak dikenal. Kepala, leher, dan tubuh Biyang babak belur dihantam dan dibacok. Sedangkan Jackson di kepala dan dadanya.
Bisa dibayangkan keributan yang timbul. Jeritan korban yang memilukan menyentakkan Peter McCracken sang manajer. Tanpa ba-bi-bu ia terbirit-birit menuju sumber keributan. Pemandangan yang dilihatnya sungguh mengenaskan. Jackson tersandar di tembok dengan wajah dan dada berlumuran darah. Sayang, dalam keadaan setengah sadar, ia tidak mengenali penyerangnya.
Dari jejak-jejak berdarah yang masih segar, McCracken mencoba menelusuri. Ternyata jejak itu menuju gudang pelana. Di sana ia malah menemukan tubuh Biyang tergeletak tak bergerak. Meski masih 3 jam lagi fajar baru akan merekah, ia hampir yakin siapa pelaku penganiayaan sadis ini.
Pada genangan darah di lantai kamar itu terpampang jelas jejak-jejak kaki telanjang. Mccracken langsung mengenalinya. Itu jejak “Larry Boy” Janba, suami Marjorie Biyang, yang juga orang Aborigin. Rupanya beginilah cara Janba menyudahi perselingkuhan istrinya.
Permainan sejak dulu
Elsey Station, 400 km sebelah selatan Darwin merupakan salah satu peternakan paling beken di Northern Territory. Homestead pertama dulu dibangun di kawasan tempat tinggal suku Yangman di Warloch Points. Kemudian mulai dibangun peternakan ini yang stok ternaknya terus bertambah antara tahun 1877 - 1882. Sekitar peralihan abad ini, untuk mengatasi masalah air, Elsey dipindahkan ke lokasi yang sekarang di S. Roper, di kawasan yang aslinya milik suku Mangarayi.
Sudah tentu pemilik tanah tidak rela tanah mereka diduduki begitu saja. Tak mengherankan kalau sejarah awal kawasan permukiman di tanah orang Mangarayi dan Yangman ini diwarnai kebrutalan. Yang sering jadi sumber masalah sebenarnya dorongan klasik yang telah menandai kodrat manusia. Seks. Dari dulu para karyawan peternakan, yang disebut stockman seperti David Jackson itu, doyan gadis-gadis Aborigin. Mereka gemar menculik anak-anak gadis ini.
Namun di sisi lain, bagi pribumi Australia industri peternakan yang tidak berlangsung sepanjang tahun dan dilaksanakan di udara terbuka, membuka banyak peluang bagi mereka untuk tinggal di tanah leluhur. Misalnya dengan ikut bekerja di peternakan. Upacara-upacara keagamaan pun masih dapat mereka selenggarakan di musim penghujan, saat mereka tidak bekerja.
Seperti yang dikatakan seorang sejarawan tentang Elsey, “Selama penduduk asli Aborigin dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan irama hidup industri peternakan, mereka dapat tetap bergaul dan mendiami tanah leluhur entah lewat pekerjaan atau di luar pekerjaan.”
Namun sampai tahun 1960-an, kehidupan di Elsey jauh dari mudah, baik bagi peternak pria maupun wanita berkulit putih yang mencari nafkah di sana. Atau bagi para pekerja peternakan yang orang-orang Aborigin itu beserta keluarga mereka.
Elsey Station agak berbeda dibandingkan dengan peternakan lain: manajer-nya orang kulit putih, begitu pun beberapa karyawan peternakannya, lalu ada kamp khusus untuk kaum Aborigin, yang letaknya terpisah dari homestead. Bisa 80 - 100 orang pria, wanita dan anak-anak tinggal di sana.
Biasanya pada masa puncak kesibukan mengumpulkan ternak, orang Aborigin yang bekerja di Elsey bisa mencapai 30 orang pria. Tapi September 1968 itu kebetulan cuma sebanyak dua kemah kecil plus ketiga pembantu rumah tangga homestead tadi.
Urusan berlumuran darah yang mengharu biru ini berada di bawah wewenang Polisi Konstabel Roy “Bluey” Harvey yang masih muda belia. Baru 32 tahun. Rambut merah serta kulitnya yang amat bule makin mengesankan dengan tubuh jangkungnya yang 188 cm itu. Pos Harvey di Mataranka, “cuma” 30 km dari homestead Elsey.
Padahal daerah patroli yang berada di bawah pengawasannya tak tanggung-tanggung: 7.800 km2. Harvey boleh dikata polisi lapangan tulen. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di padang rumput, termasuk 11 tahun di pos-pos polisi terpencil di Northern Territory.
Melacak dan memburu buronan juga bukan barang baru baginya. la pernah harus menelusuri jejak seorang pembunuh yang minggat melewati padang pasir sebelah barat Papunya di Centre.
Dengan keluwesannya berbaur dalam masyarakat Aborigin, ia mungkin membayangkan tidak akan menghadapi banyak masalah, ketika malam itu mendapat panggilan untuk memburu Larry Boy. Namun posisinya dibandingkan dengan Larry Boy terungkap jelas dengan keterangannya sekitar 15 tahun kemudian kepada seorang wartawan, “Saat saya sedang tidur nyenyak, Larry Boy telah menata perjalanannya hari itu dengan rapi.”
Seperti telapak tangan sendiri
Sebetulnya Larry Boy Janba pernah bekerja di Elsey. Cukup lama malah, sampai 7 tahun, sebagai penabuh bel. Tapi entah kenapa tahun 1965 ia dipecat oleh McCracken. Setelah itu ia tinggal bersama ibunya di Mataranka Station, tak jauh dari situ. Namun setelah menikah dengan Marjorie, tempat tinggalnya jadi tak menentu, pokoknya di padang sekitar homestead Elsey.
Menurut Jessie Garalnganjag, masa itu Larry Boy lebih suka menyendiri. “Dia tidak pernah ngobrol-ngobrol bersama kami. Kerjanya cuma berburu. Kalau hasilnya banyak, ia bagi-bagikan kepada kami semua, termasuk istri dan kakak iparnya. Sebagai balasannya kami memberinya tembakau. Malam itu (malam terjadinya pembunuhan), kami yakin ia baru bertengkar dengan Marjorie, karena tak sekali pun muncul, bahkan untuk main kartu.”
Setelah peristiwa serangan berdarah itu, rupanya Larry Boy lari menembus padang ilalang di arah utara Elsey. Dipilihnya kawasan rawa-rawa, yang disebut Jungle. Bagi orang luar, jelas ini bukan daerah yang membesarkan hati: 11 km jauhnya dari kompleks Elsey, seluas 100 km2. Gigitan nyamuknya ganas, ular gemeresik berseliweran, buaya mengintai bagai batang kayu, belum lagi ancaman babi liar. Sungguh mimpi buruk bagi siapa saja yang harus memburu Larry Boy ke sana.
Sebaliknya, Larry Boy dibesarkan di sana. Sebagai cucu “Goggle-Eye” dan putra Yiworrorndo, keduanya tokoh terkenal dalam sejarah kawasan itu, ia sudah dibekali dengan pengalaman cukup. Orang-orang Eropa menyebut ayahnya Jungle Dick sekitar tahun 1940-an. “Ia mengenal daerah itu seperti telapak tangannya sendiri,” ujar Joe McDonald, kakak Marjorie yang ikut melacak saudara iparnya bersama rombongan Harvey.
Di hari-hari awal perburuan, Harvey ditemani oleh Bob Jackson, detektif dari Darwin dan Sersan Pat Slater, ahli forensik, polisi dari Larrimah, Katherine dan Maranboy, disertai 5 orang Aborigin ahli pencari jejak. Tiga minggu kemudian, rombongan pencari sudah mengembang jadi 5 polisi, 22 orang sipil, dilengkapi dengan 5 jip, satu sepeda motor, 40 ekor kuda, 1 perahu polisi, 1 helikopter yang bahan bakarnya dipasok oleh sebuah pesawat DC3! Polisi juga meminia bantuan orang-orang yang punya pengetahuan khusus tentang daerah itu, seperti Clancy Roberts, kakak laki-laki tertua Jessie Garalnganjag.
Sudak sejak awal, semua orang tahu bakal sulit memburu Larry Boy. Apalagi ia diperkirakan membawa senjata senapan kaliber .22 plus beberapa senjata lain. Jejaknya juga tidak kunjung ditemukan. Semangat para pelacak tak semakin naik ketika ada yang menduga-duga Larry Boy bisa mengarungi jarak sampai sejauh 60 km sehari! Lalu ada yang mengaku pernah melihatnya di dekat Katherine, di sebelah utara.
Agar lebih efisien, dikerahkan empat regu pencari, ada yang berpatroli di padang ilalang sampai sejauh 200 km dari homestead Elsey. Akhirnya, baru setelah hari ke-10, mereka menemukan jejak tersangka berikut sisa-sisa makanannya berupa ikan dan wallaby (sebangsa kanguru).
Karena itu bidang perburuan lalu dibatasi di sekitar Jungle saja. Semua orang makin bersemangat.
Susahnya, meski mereka mencari sampai 12 jam sehari, hasilnya tetap nihil. Malah para pelacaklah yang muiai bertumbangan akibat kelelahan dan sakit. Medan yang amat sulit juga membuat banyak sepatu bot ambrol. McCracken terserang influenza, tujuh orang Aborigin sakit karena terinfeksi virus.
Dua orang wartawan langsung ambruk setelah beberapa hari meliput perburuan itu. Bluey Harvey pun akhirnya terserang radang paru-paru. Belakangan ia menulis, “Penyakit terus mengintai, sementara makanan tidak terjamin. Karena jarang beristirahat untuk makan siang sering kali kami cuma makan sekali pada malam hari. Ada kalanya ketika kami sedang berkeringat habis-habisan, hujan lebat turun. Dengan cuaca semacam itu bagaimana stamina kami tak luntur? Kami hanya bisa berharap Larry Boy pun menderita seperti kami.”
Menyewa helicopter
Sejak awal, perburuan dipimpin oleh Harvey dan Bennet, seorang pencari jejak asli Aborigin. Perburuan yang terus terang saja bikin frustrasi berputar-putar di rawa-rawa yang seakan tak berujung. Beberapa kali jejak Larry sepertinya membawa mereka ke Barat, ke arah Mataranka, tempat ibu dan saudara-saudara perempuan si buronan. Namun setiap kali pula akhirnya mereka sadar, jejak-jejak itu tipuan belaka.
Larry Boy ternyata sengaja membuat jejak-jejak palsu dengan cara berjalan mundur! Tragisnya, baru setelah tiga minggu mereka menyadari permainan Larry. Rupanya Larry membungkus kakinya dengan kulit wallaby sehingga jejaknya yang sejati tersamar.
Setiap sore jejak-jejak di sekitar tempat mereka camping diperhatikan usianya, sehingga bila Larry malam-malam menyatroni kamp mereka, paginya cepat ketahuan. Setiap hari polisi berpatroli di seputar pertemuan antarlintasan jejak, siapa tahu ada jejak yang mereka cari. Namun betapapun tekunnya, yang mereka dapat cuma sebatas remah-remah sisa daging wallaby, flying fox (sejenis kelelawar) dan potongan cabbage palm (sejenis palem yang bisa dimakan). Si oknum sendiri tak kunjung nampak batang hidungnya.
Seperti belum cukup, kerepotan yang dihadapi tim Harvey makin diruwetkan birokrasi. Pada tanggal 10 Oktober, setelah 19 hari perburuan berjalan, markas besar polisi di Darwin tahu-tahu mengumumkan: menarik kembali semua petugas kecuali Harvey, termasuk helikopter.
Sebagai akibatnya setiap hari Harvey harus berjuang, berdebat lewat telepon dengan atasannya di Darwin. Ia ngotot tetap minta disediakan kuda sewaan dan persediaan makanan.
Malah ia sampai melayangkan protes ke Canberra. Dari pusat pemerintahan Australia itu, protes tersebut cuma menghasilkan jaminan dari Menteri Dalam Negeri Peter Nixon bahwa Elsey Homestead akan tetap dilindungi. Lalu koran Darwin Northern Territory News memprotes lagi dengan memberikan dukungan penuh pada usaha berbagai station untuk terus melanjutkan perburuan, yang waktu itu sudah masuk minggu keempat. Hasilnya, diutuslah seorang bernama Barry Frew, ke Elsey. Saking frustrasinya, pada hari ke-23 McCracken nekat menyewa helikopter selama 2 hari atas biaya sendiri.
Malah diintai Larry
Sementara itu, masyarakat Elsey jauh dari tenteram. Mereka didera perasaan waswas kalau-kalau Larry menyerbu kediaman mereka lagi untuk merampok makanan. Jessie Gardlnganjag masih ingat, gadis-gadis pembantu rumah tahgga di homestead setiap malam harus dikawal polisi saat pulang ke kamp satu per satu. Semua orang yakin, Larry Boy masih gentayangan di sana. Malah terkadang sepertinya justru ia yang membuntuti para pemburu!
Janba sungguh anak alam yang menguasai seluk-beluk medan. Berkali-kali dengan gampang ia menghindar dari jebakan yang dipasang para pemburunya. Singkat kata, ia selalu selangkah di muka atau ... bisa juga di belakang mereka. Joe McDonald masih ingat bagaimana berulang-ulang mereka nyaris menangkapnya, tetapi bagaimana mungkin, karena Larry dengan leluasa dapat mengamati para pemburunya dari jarak dekat.
“Pernah ia mengamati kami dari bawah pohon palem yang sudah mati waktu itu kami berhenti di dekat sana untuk makan malam ... sambil membicarakan dia, lalu kami berangkat lagi meneruskan pencarian. Begitu kami pergi, ternyata Larry memunguti puntung-puntung rokok kami yang berserakan di tanah!”
Suatu ketika, Harvey menemukan sekotak tembakau dan kertas rokok di tepi sebuah jalan setapak di Jungle, juga jejak-jejak Larry Boy yang usianya baru 20 menit, menimpa jejak-jejak rombongan pelacak! Harvey lalu menyimpulkan, salah satu anak buah Aboriginnya yang membantu Larry. la perintahkan orang yang dicurigai untuk pindah tugas, dari berkuda menjadi patroli jalan kaki. Namun itu juga tidak mengubah keadaan.
Pada hari ke-30, salah satu regu pencari menemukan pembungkus makanan di pertemuan kali kecil Salt Creek dan Sungai Roper. Jaraknya hanya 5 km dari kemah kediaman ibu Larry Boy, sedangkan pembungkus itu cocok dengan pembungkus makanan yang dibeli ibu Larry dua hari sebelumnya. Namun orang-orang Aborigin tetap membantah keras dugaan bahwa Larry Boy menerima bantuan semacam itu, termasuk dari ibunya.
“Larry sanggup hidup mandiri di alam bebas,” tegas mereka, barangkali disertai sedikit rasa kagum. Apalagi sudah terbukti beberapa kali ia menyerbu perkemahan peternak untuk mencuri makanan.
Jimmy Conway masih ingat ketika ia sedang berada di salah satu perkemahan peternak sebelah timur Elsey Station. Suatu pagi koki menemukan sejumlah besar stok makanan raib. Juga ditemukan jejak Larry Boy meninggalkan kamp.
“Ia biasanya menunggu sampai larut malam, lalu menyelinap mencuri makanan,” ujar Conway. Jadi siapa membuntuti siapa?
Penuturan Joe McDonald pun senada, “Memang, kami tahu ia suka menyerbu dapur perkemahan untuk mencuri makanan. Menurut saya, tak ada yang membantunya. Ibunya tinggal di Mataranka dan selalu diawasi polisi. Larry Boy memang sanggup memenuhi sendiri kebutuhan perutnya.”
Harvey ditarik
Entah dibantu penduduk setempat atau tidak, nyatanya memasuki minggu kelima, para pelacak belum juga semakin dekat dengan buruan mereka. Sampai-sampai ada pejabat polisi senior dari Darwin memerlukan datang untuk memberikan instruksi kepada Harvey, “Teruskan usahamu, coba menjalin kontak dengan janba dan katakan ia tidak akan dicederai bila menyerahkan diri.”
Pesan yang sama juga ia umumkan ke media massa. Keruan saja Harvey yang boleh dikata sudah ngos-ngosan berusaha itu uring-uringan. “Memangnya apa yang kami kerjakan selama 33 hari ini?” ujarnya mengomel.
Menanggapi nasihat si pejabat, anak buah Harvey dengan sinis bercanda mengusulkan bagaimana kalau mereka menyebarkan selebaran berisi pesan dari pejabat polisi tadi dan McCracken yang mengongkosi sewa helikopternya!
Kesinisan Harvey belum berkurang, ketika 6 hari kemudian pada tanggal 30 Oktober, datang pemberitahuan dari Darwin. Isinya, setelah bertugas selama 39 hari tanpa hasil, ia dibebastugaskan. la diperintahkan untuk kembali ke homestead untuk serah terima perlengkapan.
“Apanya yang akan diserahterimakan?” pikir Harvey, karena perlengkapan dari atasannya amat terbatas.
Terbukti, dalam acara serah terima malamnya, yang diserahkan cuma beberapa botol air minum kosong dan dua buah senapan tua kaliber .303. Kemudian ia pulang ke Mataranka dengan perasaan penasaran bercampur lega.
Namun esok paginya, pukul 05.30, McCracken tahu-tahu mengagetkan dia dari tidur nyenyaknya di kantor polisi Mataranka. “Larry Boy semalam menyerbu Elsey Station lagi. Ia mencuri roti, daging, dan sepatu tenis. Kuda-kuda sudah siap kalau kau mau ikut!” katanya nyerocos di pagi-pagi buta itu. Rupanya McCracken sudah telanjur cocok dengan Harvey, meski yang disebut belakangan ini sudah tak bertugas.
Berkat sebuah ember
Di homestead, pengganti Harvey telah mengorganisasikan patroli di seputar tempat itu. Namun Harvey dan Bennet menelusuri jejak-jejak langka yang tampaknya berasal dari sekolah di Elsey menuju Mataranka. Mata jeli Bennet melihat dedaunan di tanah dari tanaman yang tumbuhnya cuma di Jungle. Itu artinya, Larry Boy telah menyapu jejaknya dengan dedaunan.
Ketika mereka sedang asyik-asyiknya melacak, pasang mata, dan toleh kiri kanan, mencoba tidak kehilangan tanda apa pun yang mungkin ditinggalkan Larry Boy, sebuah mobil menepi. Pengendaranya ternyata salah seorang guru di sekolah Elsey. Setelah basa-basi sedikit, ia bilang, “Cuma sedikit info kecil, barangkali ada gunanya untuk kalian. Kami di sekolah kehilangan sebuah ember!” Wuah, telinga Harvey langsung berdiri.
“Ini dia,” pikirnya tanpa sadar sambil menggosok-sosokkan kedua telapak tangannya. “Barangkali ini kesalahan serius pertama yang dibuat Larry. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya kesandung juga.”
Bila Larry sampai mencuri sebuah ember, berarti ia tidak sedang menuju Mataranka atau daerah kanal Jungle, karena di sana air berlimpah. Ia pasti sedang menuju suatu daerah yang kering: kawasan gua-gua kapur di sebelah utara Jungle. Padahal rombongan pencari telah berulang-ulang menyisir daerah itu dalam kurun waktu 40 hari ini tanpa hasil.
Setelah melewati medan yang berat, tibalah mereka di kawasan kapur itu. Persis di tengah-tengah sepotong jalan yang baru saja diratakan, tampak jelas jejak kaki Larry Boy. Di sisi lain dari jalan itu, tergeletak sepotong dahan kecil dari sejenis pohon khas daerah Jungle. Rupanya Larry Boy menyeberangi bagian jalan ini, lalu mendadak berbalik lagi ke arah dari mana tadi ia datang, yaitu ke utara. Jejak sih memang tak ada, tapi ia meninggalkan banyak sekali dedaunan, yang bagi Harvey dan Bennet sama saja ampuhnya dengan jejak.
Rontokan dedaunan itu membawa mereka ke mulut sebuah gua. Padahal mereka ingat benar, gua ini sudah pernah mereka periksa. Namun mata jeli Bennet menyapu setiap sudut mulut gua itu. Sungguh, tak ada yang terlewatkan dari pandangannya. Ia melihat sarang laba-laba yang tadinya menutupi mulut gua itu telah disingkapkan di satu sisi.
Bennet berbisik, “Kena dia, Bluey!”
Saling mengobori
Baru sekarang Harvey sadar, revolvernya tertinggal di pagar halaman ketika tadi pagi akan melompat ke atas punggung kudanya. Tanpa pikir panjang, ia pinjam senapan kaliber .22 milik Bennet, lalu merangkak masuk. Tak usah diragukan lagi, hatinya berdebar-debar juga.
“Setelah sekian lama, ... akhirnya!” gumamnya sendiri, sambil terus maju. Tubuh jangkungnya membuat ia tak terlalu leluasa merangkak. Di depan percabangan, ia melihat sebuah ember di salah satu cabangnya. Sepertinya ia semakin dekat, tapi udara pengap membuatnya hampir tercekik. Ia putuskan keluar dulu, untuk menghirup sedikit oksigen. Di luar, ia menyuruh Bennet menjemput beberapa pelacak yang lain. Di saat- saat menentukan ini, setidaknya lebih banyak bantuan lebih baik.
Kira-kira sejam kemudian, mulut gua yang biasa sepi dan jadi singgasana yang aman tenteram bagi si laba-laba itu kedatangan “tamu” cukup banyak. Di depannya berdiri orang-orang dengan wajah tegang, penasaran sekaligus penuh semangat. Bayangkan, setelah sekian lama, inilah saat yang dinanti-nantikan.
Akhirnya, Joe McDonald nekat. Tuturnya belakangan,
“Semua hadir di sana. Kami tak dapat melihat dia, tapi dia yang ada di dalam kegelapan gua pasti dapat melihat kami di luar. Di antara kami ada yang berusaha melemparkan bom asap untuk memaksanya keluar. Tapi saya putuskan, biar saya saja yang menjemput dia. Saya coba merangkak masuk, tapi tak sanggup. Di dalam terlampau gelap. Salah seorang polisi, Bluey Harvey, memberikan obor kepada saya. Saya merangkak masuk lagi dengan satu tangan mengacungkan obor. Setelah merangkak beberapa lama, obor saya itu tiba tepat di depan sebuah wajah. Larry Boy! la mengobori wajah saya dengan obornya sendiri. Secara refleks kepala saya tundukkan untuk menghindar. Dia bertanya, ‘Kau, Wampu Kelly?’ yang saya jawab, ‘Yeah, me Wampu Kelly’ Padahal sebenarnya Wampu Kelly itu rekan saya, orang Aborigin juga, tapi tubuhnya terlalu besar untuk masuk ke gua itu.”
“Saya bilang, ‘Ayolah, keluar. Kamu ditunggu keluargamu. Jangan takut. Tak ada yang akan menangkapmu.’ la mengikuti saya merangkak mundur ke luar, dengan posisi saya lebih dulu tapi dengan wajah menghadap bagian belakang tubuhnya. Namun entah kenapa, apakah karena dia menyadari saya bukan Wampu Kelly, tiba-tiba ia mulai berusaha menyerang saya dengan senapannya. Bahkan ia mencoba menembak saya. Untung ia tak dapat berbalik. Kalau dapat, pasti saya telah menjadi mangsa senapannya waktu itu juga. Akhirnya, ia berhasil saya bawa ke luar. Tangannya saya pegangi erat-erat sampai tiba di mulut gua.”
Bugil
Begitu keluar dan melihat ada begitu banyak orang, ia bertanya kepada seorang polisi, apakah boleh masuk lagi ke gua dengan dalih mengambil beberapa perlengkapan. Saya berkata, ‘Kalau dibiarkan masuk kembali, kalian tidak akan melihatnya keluar lagi.’ Maka saya suruh Roger Gibbs dan Wilson McDonald, keduanya pemuda dengan tubuh yang masih kecil-kecil, untuk masuk ke gua mengambil barang-barang Larry Boy.”
Kedua pemuda itu membawa ke luar senapan kaliber .22, amunisi tomahawk, tembakau, rokok, dan bekal makanan. Saat itu Larry Boy dalam keadaan bugil. Naga (cawat)-nya ia manfaatkan untuk kantung. Harvey membawanya kembali ke Elsey homestead, tapi sayang tak berhasil menemukan pakaian Larry Boy yang berlumuran darah.
Mungkin saja barang bukti penting itu telah dibenamkan Larry di rawa-rawa. Kemudian pesakitan itu diangkut ke Mataranka dan diajukan ke depan meja hijau di sana atas tuduhan membunuh. Butuh waktu 40 hari untuk menangkapnya, sejak pembunuhah itu terjadi.
Dalam sidang pengadilan Mahkamah Agung Februari 1969, juri ternyata tidak melihat bahwa Larry bersalah telah melakukan pembunuhan, namun ia terbukti telah melakukan penganiayaan terhadap Marjorie Biyang dan mencederai Jackson. Juri sepakat, kemarahannya tersulut hebat sampai ia kehilangan kendali diri. Ia diganjar 8 tahun penjara untuk penganiayaan dan 5 tahun untuk tuduhan pencederaan. Larry Boy langsung dikirim ke penjara Fannie Bay di Darwin.
Mati di penjara
Rupanya itu saat terakhir ia melihat dunia bebas. Larry Boy tak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah padang ilalang dan rawa-rawa yang ia cintai, karena pada tanggal 11 Juni 1972, cuma dua bulan menjelang saatnya ia dibebaskan bersyarat, Larry meninggal di penjara. Ganasnya alam bebas Australia dapat ia taklukkan, tapi penyakit di penjara tak kuasa ia lawan.
Belakangan hasil autopsi menyimpulkan penyakit yang membuatnya terkapar selama berbulan-bulan itu disebut melioidosis, umum disebut Nightcliff Gardener’s Disease. Pada waktu itu orang beranggapan penyakit yang disebabkan oleh organisme yang hidup di tanah itu diperolehnya saat ia jadi buronan polisi. Namun ilmu kedokteran kini malah berkesimpulan, penyakit itu pasti didapatnya di dalam penjara.
Pengejaran terhadap Larry Boy terjadi di masa padang-padang perawan di Northern Territory sedikit demi sedikit mulai ditundukkan oleh transportasi modern, namun masih menyisakan banyak kekerasan hidup yang asli kawasan tersebut.
Buktinya, David Jackson, stockman yang jadi gara-gara segala kerepotan ini dengan santainya berkomentar dari atas ranjang rumah sakitnya, “Apa sih yang diributkan? Peristiwa begini ‘kan lumrah?”
Menurut wartawan Jim Bowditch, yang datang meliput ke Elsey, para ringer kulit putih yang ikut melacak Larry Boy kesal mengapa Larry Boy mesti marah hanya gara-gara istrinya tidur dengan seorang stockman kulit putih. Namun Bluey Harvey punya pandangan lain tentang buronan yang membuatnya jatuh-bangun itu.
“Larry Boy cakap, terampil, dan lihai sekali bisa bertahan dalam pelarian demikian lama.” Bahkan ketika ditanyai sesudah tertangkap, Larry Boy mengungkapkan, bagaimana selama pengejaran itu ia berulang-ulang dalam posisi yang demikian dekat dengan para pemburunya sehingga kalau mau dapat menyentuh mereka.
Berdasarkan pengalaman kerjanya selama 20 tahun sebagai polisi lapangan di padang-padang Australia, Bluey Harvey memang punya alasan kuat untuk mendecakkan kekaguman juga terhadap kecakapan para Aborigin pencari jejak.
Malah ketika mengenang kembali kasus Larry Boy, Harvey berucap, “Sungguh, hari itu saya hampir saja angkat tangan!” Justru kelihaian Bennet dalam membaca jejak dan keberanian Joe McDonald-lah, keduanya asli Aborigin, yang menyempurnakan keuletan Harvey. (Australian Crime)
Baca Juga: Termakan Gosip
" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553636612/40-hari-dipermainkan-buronan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672944957000) } } [4]=> object(stdClass)#97 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561327" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#98 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/termakan-gosip_osarugue-igbinoba-20221111034650.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#99 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "Dalam sebuah syuting film, seorang pemeran figuran yang juga asisten sutradara berakting mati ditembak. Ternyata itu nyata!" ["section"]=> object(stdClass)#100 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/termakan-gosip_osarugue-igbinoba-20221111034650.jpg" ["title"]=> string(14) "Termakan Gosip" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 15:47:07" ["content"]=> string(36411) "
Intisari Plus - Dalam sebuah syuting film, seorang pemeran figuran yang juga asisten sutradara berakting mati ditembak. Ternyata itu nyata!
------------------
Syuting film Buronan sudah memasuki bulan kedua. Hampir 70% dari seluruh syuting di lokasi telah selesai, tinggal pengambilan gambar dalam ruangan.
Pagi itu syuting bertempat di sebuah kantor bank swasta nasional untuk menggambarkan adegan perampokan. Setelah berlatih beberapa kali, semua pemain maupun figuran siap di tempatnya masing-masing, menunggu komando dari sang sutradara, Benny Bintara.
Pemeran juru bayarnya asli karyawati bank itu. Namun, manajer yang dalam cerita harus mati ditembak penjahat diperankan oleh Aria, bujangan ganteng, yang resminya asisten sutradara (astrada). Sudah kebiasaan ada kru bisa secara dadakan menjadi pemain, asalkan sifatnya tidak berkesinambungan. Keuntungannya, honornya bisa “damai”.
Benar-benar tewas
Take pertama dimulai setelah kamerawan mengambil gambar papan klep, untuk editing film.
“Kamera, action!” teriak sang sutradara. Syuting berjalan lancar, semua pemain bergerak seperti dalam skenario. Saat seorang juru bayar tengah melayani nasabah, tiba-tiba kamera zoom-in ke arah tempat duduk para nasabah. Dari deretan belakang tiga orang berdiri bersamaan, lalu menarik topi rajutannya - sebagai penutup muka. Salah seorang perampok menodongkan FN 45 sambil melemparkan kantung kain ke arah juru bayar.
“Masukkan semua uang ke kantung!” gertaknya.
Seperti dalam skenario, manajer muda di sudut ruangan hendak meraih tombol alarm. Sayangnya, gerakan itu tidak lepas dari amatan sang perampok berpistol yang segera menarik picunya. Dor...dor...! Manajer muda itu terjengkang dengan kursinya. Bajunya bolong, bersimbah darah. Kemudian para perampok lari sambil membawa sejumlah kantung dan out ke samping kamera.
“Cut! Bagus, sekarang ke shot selanjutnya,” kata Benny puas.
Aria, asisten sutradara, yang seharusnya menyiapkan adegan lanjutan itu tetap tergeletak di lantai. Napasnya tersengal, wajahnya pucat dan berkeringat.
“Aria, ayo bangun. Aktingnya sudah selesai,” teriak sutradara dari kejauhan.
Aria tetap terbaring di lantai karpet. Sugeng, bagian tata lampu, akhirnya curiga. Dibantu Andy, mereka buru-buru menggotongnya ke tempat lain. Suasana berubah panik, kru film merubungnya.
Andy membuka baju Aria yang “bolong-berdarah” dan karet pelindung efek. Aria tidak mengenakan kaus dalam, tampak jelas dada kirinya hangus luka bakar, seperti terkena hantaman besi panas. Pertolongan pertama berupa napas buatan pun sia-sia. Buru-buru Aria dilarikan ke rumah sakit. Sayang, astrada muda itu mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan. Didahului dengan suara ngorok keras.
Kabar burung yang tersiar, astrada playboy itu kena serangan jantung. Tina, waria penata rias yang tinggal serumah dengan Aria, langsung pingsan begitu tahu sepupunya tewas.
Briptu Ibrahim, “pengawal” senjata api yang dipinjam kru film Buronan, heran. Sebagai konsultan, ia yakin tidak melakukan kesalahan. Karena rasa tanggung jawab, ia segera melapor ke atasannya, Iptu Yulianto. Perwira muda berperawakan gemuk itu datang bersama dua anak buahnya.
Pada masa itu, trik efek tembakan masih dengan teknik konvensional. Selembar karet tebal (biasanya karet ban mobil bagian luar), salah satu sisinya ditempeli bahan peledak - biasanya berbentuk wax (elastis) dan sekantung plastik kecil darah (campuran madu dan zat pewarna). Ke dalam bahan peledak itu dimasukkan dua kabel merah dan hitam (disembunyikan dalam baju si pemakai), yang dihubungkan dengan sumber listrik DC 12 volt.
Karet ban selebar dua telapak tangan tersebut diikatkan ke bagian tubuh “korban” yang menjadi sasaran tembak. Senjata yang akan digunakan sudah dikosongkan dari anak peluru, yang kemudian diganti dengan kapur tulis berbentuk peluru yang akan menyumbat rapat selongsong bermesiu itu. Jika pistol ditembakkan, selongsong akan meledak. Yang keluar asap putih, karena kapur terbakar menjadi abu. Jauh di belakang “korban”, seorang kru tinggal menempelkan kabel merah-hitam ke kutub plus-minus aki, yang harus sinkron dan langsung diikuti gerakan korban. Terjadilah sambungan arus pendek, meledakkan mesiu yang ditempelkan pada protektor di atas dada korban. Efeknya, ledakan menembus baju bersamaan dengan pecahnya plastik berisi “darah”. Dalam gambar, efek itu mengesankan, peluru benar-benar menembus dada yang mengakibatkan darah bercucuran.
“Pak Benny sering menyutradarai film jenis ini?” tanya Iptu Yulianto pada Benny Bintara.
“Ya. Tetapi baru kali ini jatuh korban.”
“Siapa yang bertanggung jawab langsung?”
“Rawuh, art director. Tetapi dia dan beberapa anak buahnya sedang menyiapkan setting di tempat lain,” jawab Benny singkat.
“Bagaimana ceritanya sampai ada korban?”
Secara singkat Benny Bintara menceritakan kronologinya, juga teknik pembuatan efek tembakan itu.
“Saya bisa melihat karet protektornya?”
Ternyata protektor itu berlubang sebesar jari telunjuk di tengahnya.
“Aus, mungkin karena sering dipakai,” sela anak buah Iptu Yulianto.
“Atau mesiunya terlalu banyak?” tebak Yulianto.
“Tidak, Pak. Mesiu ditimbang sebelum dipasang. Antara 25 sampai 30 gram tiap tembakan pistol,” jawab Briptu Ibrahim.
“Siapa yang memasang karet pelindung?”
“Madrim, pembantu bagian efek,” jawab seseorang.
Madrim (23) perjaka jangkung itu berpenampilan sedikit lusuh, di mulutnya selalu terselip rokok kretek. Gerak-geriknya sedikit canggung untuk bekerja di film, yang semuanya serba instan dan cekatan.
“Kok kelihatan lemas, tadi malam pulang jam berapa?” Iptu Yulianto berbasa-basi.
“Selesai syuting jam sebelas. Tetapi jemputannya ngantar yang lain dulu.”
“Kamu yang memasang karet pelindung?”
Madrim mengangguk.
“Sudah sering menangani pekerjaan ini?”
“Baru kali ini.”
Untuk menghormati dan tanda berkabung, para awak film bersepakat break selama dua hari. Padahal ini film keempat Aria sebagai astrada. Menurut peraturan, Aria tinggal mengajukan rekomendasi ke lembaga terkait untuk naik pangkat menjadi sutradara penuh. Sayang, nasib menentukan lain.
Satu jam kemudian Iptu Yulianto menemui dr. Made yang menangani jenazah Aria di rumah sakit.
“Apa penyebab kematiannya, Dok?”
“Menurut saya, hentakan keras dan letusan mesiu, membuat pembuluh koronernya mengerut seketika sehingga tidak dapat menyalurkan darah dan oksigen ke otot jantung. Atau malah otot jantungnya yang kena, sehingga berakibat fatal. Mungkin ceritanya akan lain, jika pertolongan pertamanya bisa semaksimal mungkin,” jelas dr. Made.
“Jadi?”
“Boleh dibilang kecelakaan karena suatu keteledoran,” tegas dokter berwajah ramah itu.
Korban kedua
Sepuluh hari berselang. Tina, waria si penata rias film Buronan, biasanya sudah menunggu jemputan pagi di mulut gang dengan segala perkakasnya. Namun hampir setengah jam Edy, sopir jemputan, menunggu, waria tinggi semampai itu tak kunjung muncul. Terpaksalah Edy masuk gang. Rumah kontrakan Tina sepi, jendela dan pintunya pun masih tertutup. Edy mengetuk beberapa kali, tak ada jawaban. la nekat masuk ketika tahu pintu tidak terkunci. Beberapa menit kemudian, Edy keluar lagi dengan berteriak-teriak histeris. Karuan hal itu mengundang perhatian banyak orang.
Ternyata, Edy menemukan Tina sudah meninggal di atas sofa. Sebelah kakinya menggantung ke ubin dengan wajah tertutup bantal sofa. Tampak nyata, Tina meninggal tidak dengan wajar. Seorang pemuka masyarakat langsung mengamankan TKP, sebelum para penyidik datang.
Satu jam kemudian polisi datang dan langsung mengamati TKP. Domisili Tina masih daerah wewenang Iptu Yulianto. Tak heran bila perwira muda itu tampak serius, ketika tahu yang meninggal masih kru film Buronan, yang sepuluh hari sebelumnya kehilangan astradanya.
“Adakah saksi lain?”
“Tidak ada, Pak. Cuma saya sendirian.”
“Pukul berapa calling jemputan untuk Tina?”
“Tujuh, Pak. Saya jemput Tina duluan karena rumahnya dekat rumah saya, sekalian jalan,” jelasnya dengan mimik sedih. “Saya bisa masuk, karena pintu tak terkunci. Saya melihat ia tidur di sofa. Saya kira cuma tidur-tiduran sambil mukanya ditutup bantal. Karena ia tidak juga menyahut meski telah saya panggil beberapa kali, bantal itu pun saya ambil. Aduh ngeri, matanya melotot dengan mulut terbuka. Tubuhnya sudah kaku.”
“Kemarin ada syuting?”
“Ya. Dia yang saya antar terakhir. Sampai di sini kira-kira pukul sembilan.”
“Ada orang lain yang turun bersama korban?” Edy menggeleng.
Lemari di kamar Tina diacak-acak, mengesankan pembunuhan itu bermotif perampokan. Di atas meja tamu ada dua kotak minuman susu cokelat yang isinya tinggal setengah. Juga piring berisi beberapa potong ubi dan tempe goreng yang sudah layu. Briptu Darmawan mengambil piring beserta isinya dan karton susu cokelat yang masih ada sedotannya, langsung dimasukkan ke kantung plastik. Setelah diambil gambar dan sidik jarinya, korban dibawa ke rumah sakit.
Ketika jenazah diangkat, sepotong benda jatuh ke lantai. Ternyata sekeping kancing baju kecil berwarna putih, bertuliskan merek pakaian terkenal buatan luar negeri. Iptu Yulianto menduga kancing baju itu berasal dari kaus bermerek terkenal yang dikenakan pelaku pembunuhan. Sebab korban mengenakan kemeja batik cokelat berlengan pendek dengan kancing warna serupa. Diperkirakan, korban nekat melawan dan berhasil merenggut kerah baju pembunuhnya sampai-sampai satu kancingnya lepas.
“Apa baju korban kemarin?” tanya Iptu Yulianto
“T-shirt, Pak.”
“Kemungkinan tamunya semalam termasuk orang yang disegani. Korban menyempatkan ganti baju segaIa,” gumam Iptu Yulianto.
Mantan pacar
Iptu Yulianto masih harus bekerja keras karena belum ada titik terang dari kasus kematian Tina. Ia hanya dapat menyimpulkan bahwa pembunuhan tersebut sudah direncanakan. Pelakunya orang yang dikenal baik korban karena kunci pintu maupun jendelanya tidak rusak, juga ada acara minum dan makan kudapan berdua.
Saat memikirkan langkah yang harus diambil, tiba-tiba telepon di mejanya berdering.
“Ya, oh, dr. Made. Bagaimana hasilnya, Dok?”
“Ternyata minuman korban diberi obat tidur. Dosisnya sangat tinggi, dapat membuat pingsan cukup lama. Saya kira, saat dalam keadaan tak sadar, korban dibekap wajahnya sampai kehabisan oksigen.”
“Bagaimana dengan kotak satunya?”
“Lo, kotak minumannya ‘kan tidak dibawa kemari. Yang ada cuma sisa minuman di kantung plastik.”
“Maaf, saya lupa. Kotak minuman itu dibawa ke bagian forensik untuk diambil sidik jarinya. Bagaimana dengan minuman yang satunya, Dok?”
“Negatif. Tidak mengandung apa-apa.”
Dari bagian identifikasi dan investigasi, Iptu Yulianto mendapat keterangan bahwa di salah sebuah kotak susu cokelat terdapat dua sidik jari, yakni sidik jari korban dan sidik jari X, seseorang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan. Sedang pada kotak lainnya hanya ada sidik jari X, yang mungkin membawa minuman itu lalu mengisinya dengan obat tidur.
Siapakah si X?
Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Iptu Yulianto.
“Ya. Masuk.”
Seorang gadis manis, bersama ibunya, diantar masuk oleh Bripda Suherman.
“Siap, Pak. Ini Juli, ia hendak melapor.”
“Tentang apa?”
“Tentang meninggalnya Mas Aria,” sahut gadis itu spontan.
Juli pun bercerita. Sekitar setengah tahun lalu ia putus pacaran dengan Madrim.
“Kenapa?”
“Habisnya dia suka ‘ngobat’,” jawab Juli singkat.
“Lalu apa hubungannya dengan Aria?”
“Kemudian saya pacaran dengan Mas Aria. Rencananya kalau bulan depan filmnya sudah selesai, kami akan menikah. Tapi ...,” kalimatnya terputus karena tangis.
“Masih muda kok buru-buru kawin?”
“Karena Juli sudah ...,” jawab ibunya polos.
“Oh, begitu. Lalu apa hubungannya dengan kematian Aria?”
“Juli mengira Madrimlah dalangnya, karena sakit hati,” tegas ibunya.
Iptu Yulianto menanggapi laporan itu sebagai informasi berharga.
Sore sekitar pukul 17.00 Iptu Yulianto sudah duduk di motornya. Penampilannya berbeda, bercelana jins dan tas pinggang kecil di balik jaket, lengkap dengan helm dan kaus tangan katun.
“Mau ke mana, Pak, kok nyentrik?” celetuk Bripda Suherman.
“Nonton syuting film, ayo ikut, mumpung syutingnya masih di daerah kita.”
“Sejak kapan Bapak tertarik nonton syuting film?”
“Sejak dua krunya meninggal secara tak wajar.”
Sayangnya, setiba di lokasi, syuting sudah selesai. Sebagian rombongan sudah pulang, termasuk rombongan sutradara dan bintangnya. Tinggal para kru yang sibuk dengan pekerjaannya. Iptu Yulianto mendatangi seorang lelaki kerempeng yang mengenakan kaus merah bata garis-garis putih, tampak kedodoran.
“Mas Madrim. Syutingnya sudah selesai, ya?” seru Iptu Yulianto.
“Sudah, Pak. Hari ini terakhir syuting di sini.”
Pandangan mata Iptu Yulianto lekat menatap kaus Madrim. Kaus itu bermerek terkenal buatan luar negeri, persis merek kancing baju yang ditemukan di rumah Tina. Benar, kaus Madrim sebenarnya berkancing tiga, tetapi pada deretan paling atas terpasang kancing putih biasa, tak bermerek, berbeda dengan dua kancing lainnya.
“Tinggalnya di mana, Madrim?”
“Ikut Om Rawuh,” sambil menyebutkan alamatnya.
“Oh, masih daerah sini juga. Sebelumnya kerja di mana?”
“Di bengkel, pembantu montir.”
“Tahu tentang listrik?”
“Sedikit,” jawabnya mulai gugup.
“Kok tumben, kamu tidak merokok. Biasanya selalu nyelip di bibir?” Iptu Yulianto mengalihkan pembicaraan.
“Jatah saya sudah habis. Mau beli, warungnya jauh.”
“Kalau mau, saya ada,” Iptu Yulianto mengambil sebungkus rokok kretek dari tas pinggangnya. Bungkus rokok itu diserahkan ke tangan Madrim, yang langsung menerimanya dengan senang hati, sebab rokok kretek ini memang kesukaannya.
Sekembali di kantor Iptu Yulianto mengeluarkan bungkus rokok dari tas pinggangnya, lalu memasukkan ke kantung plastik.
“Bripda Suherman, tolong antarkan ini ke laboratorium. Periksa sidik jari di bungkus rokok ini, apakah sama atau tidak dengan sidik jari di karton cokelat susu di rumah Tina. Kalau sama, langsung jemput Madrim. Ini alamatnya.”
Sidik jari di mana-mana
Hari berikutnya, begitu mendapat laporan bahwa sidik jari pada bungkus rokok sama persis dengan karton susu cokelat. Iptu Yulianto segera memerintahkan dua anak buahnya untuk “menjemput” Madrim.
“Ada keperluan apa saya dipanggil, Pak?” tanya Madrim seakan tak mengetahui maksud pemanggilannya.
“Untuk sementara ini, kau didakwa membunuh Tina!”
“Apa buktinya, Pak?”
“Ada dua. Kancing baju ini,” Iptu Yulianto mengeluarkan sebuah kancing kecil dari laci mejanya. “Kancing ini saya temukan di tubuh Tina. Mereknya persis dengan merek kaus yang kau pakai tempo hari. Kebetulan kaus yang waktu itu kau pakai, satu kancingnya tidak seragam dengan dua lainnya. Berarti kancing itu lepas ketika kau berusaha membekap muka Tina.”
“Kaus itu pemberian Pak Benny Bintara. Maka kelihatan kebesaran ketika saya pakai. Waktu barang itu saya terima, kancingnya memang tinggal dua,” Madrim tak mau kalah berargumentasi.
“Kapan kamu mendapatkannya?”
“Dua hari sesudah Aria meninggal.”
“Terus terang saja, apa kamu sering ‘ngobat’?”
“Sekadar ‘cimeng’ (ganja - Red.) iya, itu pun kalau lagi bete. Tapi kalau sampai ‘ngobat’, tidak. Sumpah, Pak,” akunya.
“Lalu, kenapa Juli minta putus dari kamu?”
Madrim tampak terkejut ketika Iptu. Yulianto menyebut nama Juli. Pemuda itu terdiam.
“Sejak SMA dia pingin jadi bintang film. Dia sering mendesak saya agar dikenalkan dengan orang-orang film, karena saya kenal Om Rawuh. Permintaannya tidak saya tanggapi. Lalu ia berkenalan dengan Tina. Selain penata rias, Tina juga menyalurkan anak-anak jadi figuran. Juli bangga, meski baru tahap numpang lewat. Tina berjanji akan memperkenalkannya dengan seseorang yang lebih berkompeten. Benar, di film selanjutnya Juli mendapat peran berarti, tetapi harus dibayar dengan mahal. Juli hamil.”
“Tina ‘kan waria?” potong Iptu Yulianto.
“Bukan dengan Tina, tetapi Aria. Dia itu playboy, peran-peran tambahan atau figuran biasanya dipilih dan ditentukan olehnya. Saat itulah ia mencari kesempatan.”
“Jadi, kamu dendam sama Aria?”
“Tidak, Pak. Hidup saya sudah susah, Pak. Ngapain juga nambah perkara. Tentang kecelakaan sampai dia meninggal, saya tidak tahu apa-apa. Benar, Pak.”
“Tetapi yang memasang karet protektor itu kamu ‘kan?”
“Betul, tapi saya tinggal pasang, karena sudah dirakit oleh Om Rawuh sebelum sarapan. Kemudian ia pergi menyiapkan setting di tempat lain.”
“Kembali ke Tina. Ketika korban meninggal, di meja tamu ada dua kotak karton susu cokelat dan sepiring gorengan. Di kedua kotak ada sidik jarimu, persis seperti sidik jari di bungkus rokok yang saya sodorkan sore lalu.”
Madrim kaget, menyadari kebodohannya.
“Apa kini alibimu?” Iptu Yulianto tersenyum.
“Saya ingat. Tina meninggal pada hari Rabu. Selasa malam sepulang syuting, sekitar jam sembilan, saya disuruh Pak Benny mengambil obat di apotek. Juga membeli dua kotak susu cokelat. Saya sempat diingatkan untuk melihat tanggal kedaluwarsanya.”
“Sesudah itu, kamu ke mana?”
“Langsung pulang. Karena besoknya ada syuting pagi.”
“Apakah sepeninggalmu Pak Benny juga pergi?”
“Saya kira tidak. Sebab istri dan pembantunya nginap di rumah orang tuanya.”
Iptu Yulianto cepat merangkaikan informasi itu. Kalau Madrim meneliti kedaluwarsanya kotak susu, berarti sidik jari Madrim yang dominan di karton susu itu. Madrim yang tampaknya lugu itu memang bisa menguatkan alibi Benny. Begitu Madrim pulang, ia cepat-cepat bertindak. Melarutkan beberapa pil tidur dalam air, lalu menyuntikkan ke dalam salah satu karton susu cokelat. Kemudian ia ke rumah Tina sesudah membeli gorengan. Siapa pun kalau makan gorengan tentu akan haus.
“Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sementara waktu kamu harus di sini dulu,” perintah Iptu Yulianto tegas.
Kuncinya, sedotan
Sekitar pukul 12.00 Iptu Yulianto dan dua anak buahnya mendatangi sebuah apotek, sesuai petunjuk Madrim. Sesudah mengenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya, seorang asisten apoteker mencari arsip resep dari tanggal dimaksud.
“Benar, Pak. Ini resep dari dokter Basuki untuk Pak Benny Bintara. Selain vitamin juga obat tidur. Saya kira Pak Benny menderita insomnia, sebab sering mengambil obat seperti ini di sini.”
Esoknya Benny Bintara tampak tenang ketika memasuki ruangan Iptu Yulianto.
“Pak Benny, langsung ke pokok persoalan, yakni kematian Tina. Di mana Bapak pada Selasa malam, ketika Tina meninggal?”
“Di rumah. Madrim saksinya. Saya harus di rumah, sebab istri dan pembantu saya pergi ke mertua.”
“Betulkah? Pak Haji pemilik kontrakan mengatakan, sekitar pukul sepuluh atau sebelas malam ada tamu laki-laki mencari Tina. Apa itu bukan Bapak?” pancing Yulianto.
“Itu bohong. Tidak ada bukti dan saksi bahwa saya berada di sana,” elaknya.
“Bukti ada, Pak, saksinya juga ada,” Iptu Yulianto tersenyum kalem. Iptu Yulianto kemudian mengambil beberapa pil tidur dari laci mejanya.
“Pil tidur ini merek dan asal apoteknya persis seperti yang Anda dapatkan dari dr. Basuki. Begitu dicampur dengan susu cokelat dari merek yang sama, menurut dr. Made, formulanya pun persis seperti formula susu cokelat yang diminum Tina. Begitu korban tak sadarkan diri, Anda membekapnya dengan bantal kursi sampai korban kehabisan napas.
“Seminggu sebelumnya, Anda memberikan sebuah kaus untuk Madrim, tetapi salah satu kancingnya lebih dahulu Anda lepaskan. Sebelum Anda pergi, Anda taruh kancing ini di dada Tina. Untuk mengelabui petugas, Anda mengacak-acak isi lemari, mengesankan terjadi perampokan,” kata Iptu Yulianto sambil meletakkan kancing bermerek di meja.
“Itu semua bukan bukti yang menunjukkan kalau saya pelakunya. Apakah ada bukti lain, misalnya sidik jari, sebagai petunjuk bahwa saya pernah berada di rumah Tina. Pil tidur semacam itu banyak dijual di pinggir jalan, demikian pula minumannya. Kaus bermerek seperti itu juga banyak dijual di toko terkenal,” jawabnya tenang.
“Pelakunya memang pintar. Sidik jari di lemari dan pegangannya, sudah dihapus sebelum ia meninggalkan TKP. Tetapi kalau di kotak minuman, sidik jari itu memang milik Madrim.”
“Nah, jelas, pelakunya bukan saya?”
“Nanti dulu, saya masih punya bukti lain yang menunjukkan bahwa malam itu Anda benar-benar di rumah Tina,” pancing Iptu Yulianto.
“Silakan saja,” tantangnya.
“Kalau begitu, tulis pernyataan di sini. Isinya akan saya eja,” Iptu Yulianto menyodorkan kertas putih dan sebuah bolpen. Setelah selesai, kertas dan bolpen diminta kembali. “Sidik jari di karton susu memang bukan milik Anda. Tetapi Anda lupa, ada sidik jari di sedotan susu. Saya rasa persis seperti sidik jari di bolpen yang baru saja Anda pakai untuk menulis,” tegas Iptu Yulianto.
Wajah Benny Bintara mendadak pucat. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.
“Ada yang lebih mengerikan, Pak Benny, inilah hasil dari perbuatan si pembunuh!” Iptu Yulianto bersuara keras sambil mengeluarkan selembar foto berwarna berukuran besar, foto jenazah Tina.
Benny Bintara tak mampu mengendalikan dirinya, ia tampak gemetar. “Sudah, Pak, sudah. Saya mengakui semuanya. Saya yang membunuh Tina, juga yang mencelakai Aria,” katanya sambil menutup muka.
Salah duga
Benny Bintara lalu bercerita. Ia memiliki kelainan, salah satu organ di alat vitalnya tidak berkembang baik, sehingga tidak mampu memproduksi spermatozoa sehat dan bermutu dalam spermanya. Jadi, Benny termasuk pria dengan tingkat kesuburan rendah.
Orang tuanya sangat konservatif, tidak mau tahu kekurangan anaknya. Kebetulan pula Benny anak laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara. Tak heran, ketika Benny sudah dianggap mapan, orangtuanya pun mendesaknya agar cepat berumah tangga. Mereka khawatir kalau trah Bintara yang masih berbau ningrat akan pupus karena Benny tetap melajang. Sebelumnya, Benny selalu dapat menolak dengan bermacam dalih. Dalam pikirannya, apa gunanya menikah kalau tak punya keturunan.
Rupanya, tanpa sepengetahuan Benny, sang ibu sudah menjodohkannya dengan putri sahabatnya. Benar dugaannya, lima tahun berumah tangga, istrinya belum juga mengandung. Ia sering menyarankan kepada Delia, istrinya, untuk mengadopsi anak, tetapi ibu muda itu kurang berminat.
Sementara itu Tina dan Aria, saudara satu kakek yang sama-sama kerja di film, dulu pernah mengontrak rumah dekat tempat tinggal Benny. Beberapa bulan lalu, ketika Benny kerap syuting di kota lain, ia mendengar gosip bahwa istrinya sering “jalan” dengan Aria. Rupanya, mereka dulu pernah memiliki hubungan khusus. Celakanya, Benny menganggap rumor itu sebagai aib yang mencoreng muka Benny, tanpa mengecek kebenarannya.
Sampai suatu saat Benny, Aria, dan Tina terlibat dalam satu produksi. Pagi itu ketika semua kru sedang sibuk ngopi, diam-diam Benny berhasil mengganti karet pelindung (protektor efek) tembakan, yang sebelumnya sudah dirakit Rawuh. Sebagai kru baru, Madrim tidak tahu apa-apa tentang trik tembakan yang akan dipakai Aria. Juga tidak tahu, kalau ada stiker hitam di balik karet pelindung yang gunanya menutupi lubang yang langsung ke bahan peledak. Semua orang mengira Aria meninggal karena kecelakaan.
Namun, Tina tidak sependapat karena ia sempat memergoki Benny sibuk mengganti karet protektor. Dulunya ia memang kurang paham untuk apa sutradara itu sibuk dengan karet ban. Setelah kejadian, barulah Tina sadar. Protektor itu yang mengakibatkan Aria tewas. Tina berencana mengadukan hal itu ke Rawuh, produser, bahkan ke polisi. Sayang, Benny tahu rencananya.
Malam itu Benny ke rumah Tina. Membawa sekantung kudapan dan dua karton susu cokelat, yang salah satu kotaknya sudah disuntik obat tidur. Tina sendirian di ruang tamu ketika Benny Bintara datang. Tina juga tidak curiga ketika melihat Benny hendak minum susunya. “Bapak tadi naik taksi apa motor, kok pakai kaus tangan segala?” Pertanyaan itu menyadarkan Benny, maka sebelum memegang sedotan kaus tangannya dilepas dulu.
Tak berapa lama waria itu pingsan. Ketika Benny meninggalkan rumah itu, ia yakin kalau Tina sudah meninggal kehabisan napas karena dibekap dengan bantal sofa. Sebelumnya ia meletakkan kancing kaus di dada korban, yang sudah disiapkan dari rumah.
“Bapak tentu akan menahan saya. Tetapi izinkan saya pulang sebentar, pamit istri dan mengambil pakaian ganti,” suara Benny pelan.
“Silakan, Anda akan didampingi Bripda Suherman.”
Siang itu udara cerah, tetapi Benny justru merasa langit seakan hendak runtuh. Hari itulah ia harus melewati hari-harinya di balik terali. (Riady B. Sarosa)
Baca Juga: Potret Perselingkuhan
" ["url"]=> string(59) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561327/termakan-gosip" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181627000) } } [5]=> object(stdClass)#101 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3457050" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#102 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/senjatanya-dua-martil_justin-bau-20220905032847.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#103 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Bertubuh kecil dan pendiam, Rio ternyata seorang buronan berdarah dingin. Dalam operasi pencurian mobil, ia selalu membunuh korban dengan martil." ["section"]=> object(stdClass)#104 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/senjatanya-dua-martil_justin-bau-20220905032847.jpg" ["title"]=> string(21) "Senjatanya Dua Martil" ["published_date"]=> string(19) "2022-09-05 15:29:06" ["content"]=> string(25136) "
Intisari Plus - Bertubuh kecil dan pendiam, Rio ternyata seorang buronan berdarah dingin. Dalam operasi pencurian mobil, ia selalu membunuh korban dengan martil.
-------------------
Jumat, 12 Januari 2001, suasana di Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah, tampak seperti hari-hari biasa. Belum ada keramaian terlihat di daerah wisata berhawa sejuk itu. Pada akhir pekan, biasanya wisatawan lokal dari Banyumas dan kawasan lain di Jawa Tengah, banyak melewatkan waktu untuk tetirah atau sekadar menikmati pemandangan kaki gunung Slamet itu.
Begitu pula suasana di Hotel Rosenda, salah satu hotel di tengah kawasan wisata, siang itu juga tak ada yang terlihat mencolok. Belum banyak tamu memenuhi salah satu hotel terbaik yang terletak 20 km dari kota Purwokerto itu.
Di kamar 135 Hotel Rosenda, dua orang sedang berbincang santai. Rio, pengusaha asal Jakarta, berbicara panjang lebar tentang minatnya menanamkan modal di bisnis perumahan di Baturaden. Menurut Rio, prospeknya cerah. Di hadapannya, Jeje Suraji, mendengar saja sambil sesekali mengamati gambar contoh-contoh rumah yang berserak di meja.
Jeje sebenarnya tidak terlalu berminat. Kedatangannya semata untuk menyopiri mobilnya yang disewa Rio untuk berkeliling. Selain menjadi pengacara, lelaki 40 tahun itu juga menjalankan bisnis persewaan mobil. Hari itu ia bahkan sempat menemani Rio berkeliling untuk menunjukkan lokasi-lokasi di sekitar Baturaden yang kira-kira potensial didirikan kawasan perumahan. Di kamar itulah pembicaraan dilanjutkan.
Obrolan sebenarnya juga tidak terlalu serius, karena suara dari televisi yang menyala juga cukup keras. Jeje meladeni pembicaraan itu semata untuk menyenangkan hati kliennya saja. Matanya sesekali melirik ke arah televisi sambil menyimak Rio yang berjalan mondar-mandir di kamar.
Kepala langsung remuk
Tiba-tiba saja, bug! Jeje merasakan sebuah pukulan benda keras menghantam kepalanya. Begitu keras, hingga darah mengucur dan membuat ia tak sadarkan diri. Pukulan yang dilakukan berkali-kali oleh Rio itu menggunakan dua martil, satu di tangan kiri, satunya di kanan.
Dalam beberapa pukulan saja, kepala Jeje sudah remuk. Darah dan isi kepala berhamburan. Percikannya mengenai kursi, meja, kasur, bahkan sampai ke dinding.
Tubuh ayah tiga anak yang sudah berusia belasan tahun itu akhirnya tergolek bersimbah darah di kursi. Melihat itu, Rio langsung membuang martil di lantai. Ia meraih selimut dan sprei kasur untuk mengelap tangannya yang belepotan darah, lalu kain yang merah basah itu digunakan untuk menutupi tubuh korbannya. Merasa kurang bersih, Rio menuju kamar mandi dan cuci tangan di wastafel.
Tok, tok, tok! “Pak Jeje! Pak Jeje!”
Terdengar pelayan hotel memanggil-manggil sambil mengetuk pintu kamar. Suara yang sempat membuat Rio terkejut. “Sebentar, saya masih ngobrol-ngobrol,” katanya menjawab sambil terus membersihkan tangannya. Mendengarnya, pelayan segera meninggalkan kamar dan berjalan ke arah depan hotel.
Merasa situasi sudah aman, Rio bergegas. la mengemasi barang-barangnya yang sebenarnya tidak terlalu banyak, lalu mencari kunci mobil di saku celana Jeje. Sebelum keluar kamar, sempat diliriknya arloji milik korban, dilepas dan ditaruhnya dalam saku celananya.
Di luar kamar, Rio mencoba bersikap tenang dan langsung melangkah menuju ke depan hotel. Tapi rupanya beberapa langkah menjelang lobi, seorang pelayan yang mengenalinya langsung menyapa, “Mana Pak Jeje, Pak?”
“Oh, dia di kolam renang,” jawab Rio sekenanya. Seolah tanpa mau berpanjang lebar ia terus melangkah ke depan hotel, arah parkir mobil.
Jawaban itu mengagetkan pelayan. Masalahnya, hotel tempatnya bekerja tidak ada kolam renang. Apalagi Rio terlihat agak terburu-buru menuju mobil Toyota Kijang seri LGX bernomor polisi R 7078 EA. Pelayan itu juga merasa janggal, karena tidak biasanya mobil milik Jeje dilepas begitu saja kepada penyewanya.
“Pak, Pak, tunggu Pak!” Pelayan itu berteriak agak keras, untuk menghentikan Rio sambil berusaha menarik perhatian sekitarnya. Ia langsung menyusul Rio ke parkiran.
Dikira maling
Teriakan itu rupanya membuat Rio panik. Ia berusaha memasuki mobil. Tapi para petugas keamanan hotel yang sudah curiga ada ketidakberesan sudah lebih sigap dan memburunya. Rio terpancing melawan mereka dengan kekerasan. la mengamuk membabi-buta, menyerang petugas satpam. Timbul kegaduhan di ruang parkir, yang segera menarik banyak orang di sekitar hotel untuk menengok.
Melihat ada seseorang yang berkelahi dengan satpam, lebih banyak orang yang akhirnya berdatangan dan membantu. Dalam waktu singkat, Rio berhasil diringkus. Semula orang-orang mengira yang dibekuk adalah maling, sehingga Rio langsung dikeroyok tanpa ampun. Wajahnya babak belur.
Rio akhirnya. diamankan dengan cara diikat di pos keamanan. Tapi ia tetap berusaha kabur dengan meronta-ronta. Seluruh petugas bersiaga sekaligus emosi, karena tidak setiap hari mereka menghadapi kondisi itu.
Sejumlah pegawai hotel segera tersadar, mereka tidak melihat Jeje, yang memang mereka kenal baik karena biasa menyewakan mobil kepada tamu-tamu hotel. “Pak Jeje mana? Cari Pak Jeje.” Beberapa orang bergegas berlari menuju Kamar 135. Pintu dibuka dengan kunci cadangan.
Saat dibuka, pemandangan di dalam sungguh mengenaskan. Tubuh Jeje ditemukan terduduk di kursi hotel dalam keadaan tidak bernyawa lagi, ditutupi seprai dan selimut. Kepala bagian belakang terlihat hancur. Darah berceceran di lantai dan dinding. Para pegawai hotel merasa tegang melihat kenyataan itu terjadi di tempat mereka bekerja.
Tak lama Polisi yang dikontak, segera datang dan memeriksa TKP. Melihat kejahatannya serius, dengan korban tewas bersimbah darah, mereka segera mengontak kantor di Polsek Baturaden untuk menurunkan tim yang lebih lengkap. Hari itu Baturaden yang sehari-harinya adem ayem, mendadak gempar.
Pergaulan preman
Semula para petugas kepolisian di Polsek Baturaden tidak pernah menyangka jika tersangka pelaku pembunuhan di wilayah mereka adalah Rio alias Toni, buronan yang dicari setidaknya oleh tiga Kepolisian Daerah: Polda Jawa Barat, Polda Jawa Timur, dan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Segera setelah mereka mendapat kepastian tentang status Rio, proses hukum selanjutnya dilakukan di Polres Banyumas.
Tak banyak yang bisa diketahui dari Rio Alex Bullo, kelahiran Sleman 2 Mei 1978. Lelaki bertubuh kecil ini dikenal pendiam dan tertutup. Sehari-hari ia dikenal tak banyak bicara, meski juga tidak terkesan menyeramkan bagi orang lain.
Walau lahir di Sleman, Yogyakarta, Rio bukan keturunan Jawa. Alex, nama tengahnya diambil dari nama ayahnya yang berdarah Maluku. Sedangkan Bullo, diambil dari marga ibunya yang berasal dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan.
Di lingkungan tempat tinggalnya, di kawasan Senen, Jakarta Pusat, juga tak banyak yang mengenal pribadi Rio. Asal-usulnya juga tidak jelas. Kepada keluarga istrinya, ia hanya bercerita kalau dirinya sudah merantau sejak usia delapan tahun. Dititipkan ke kakak sulungnya di Jakarta, pernah pula ikut kakaknya yang lain di Medan.
Pada usia 12, Rio terusir dari rumah, akibat konflik dengan orangtuanya. Kabarnya, Rio tidak mau mengikuti agama orangtuanya sehingga ayahnya marah dan tidak mengakuinya sebagai anak. Ia lalu hidup bersama ibu angkat, Ibu Ina, yang berjualan sayur di Pasar Senen.
Kawasan Pasar Senen di Jakarta, dikenal sebagai daerah rawan. Di sini terdapat stasiun kereta api, terminal bus, pusat perbelanjaan, pasar loak, dan permukiman padat di tepi rel. Tumbuh besar di kawasan semacam itu membuat tingkah laku Rio tidak terkendali.
Kabarnya Rio tetap bersekolah, malah pernah berkuliah di sebuah akademi bahasa asing. Tapi ia akhirnya bekerja sebagai pedagang, sopir taksi, berlanjut ke sebuah percetakan. Tempat bekerjanya yang terakhir itu rupanya merupakan tempat pembuatan surat-surat kendaraan palsu, seperti STNK dan BPKB. Suatu kali polisi menggerebek tempat itu yang membuatnya menganggur.
Dari pekerjaannya di percetakan, Rio berkenalan dengan jaringan pemalsu surat kendaraan, lalu beberapa waktu kemudian meningkat menjadi komplotan pencuri mobil. Akhirnya ia terjun sebagai pencuri dan berhasil menggasak sejumlah mobil di berbagai tempat di Jakarta, seperti di sekitar Bandara Soekarno-Hatta, daerah Daan Mogot dekat Studio Indosiar, juga di kawasan Senayan. Rio dikenal sebagai pencuri ulung. Dalam sehari pernah dua mobil “dipetiknya”.
Rio sempat tersandung masalah ketika bos penadah mobil curiannya melaporkan dirinya ke polisi lantaran melarikan mobil setorannya. Akibatnya ia tinggal setahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Sekeluarnya dari LP, pekerjaan lamanya sebagai pencuri terpaksa dilanjutkan karena ia telanjur menerima uang muka dari aksi pencuriannya terdahulu. Selain itu, bisnis surat palsu kendaraan tetap berjalan, membuatnya harus berurusan dengan polisi sekali lagi.
Lazimnya kehidupan para kriminal, Rio juga akrab dengan dunia malam dan narkoba. Uang hasil kejahatannya juga banyak yang habis untuk sekadar berfoya-foya. Tapi gaya hidup itu mulai berubah perlahan-lahan saat ia memutuskan untuk berkeluarga.
Selalu berpindah kota
Tingkah laku Rio berbeda di mata keluarga dari istrinya. Rio bertemu Tuti Alawiyah tahun 1994 yang langsung dinikahinya. Kepada keluarga, ia hanya bercerita sudah dibuang orangtuanya yang kini juga tidak diketahui keberadaannya. Di mata mertuanya, Rio juga terlihat sangat sopan. Antara lain selalu mencium tangan saat hendak pergi ke luar rumah.
Rio juga begitu sayang terhadap ketiga anaknya, dua perempuan dan satu lelaki. Tuti mengaku, suaminya tidak pernah bercerita tentang pekerjaan yang sebenarnya. Hanya bilang kalau berdagang. Meski tidak hidup mewah, Rio selalu berusaha mencukupi kebutuhan mereka.
Namun di luar rumah, sikap Rio berbeda. Dalam catatan polisi, sebelum Jeje, setidaknya ia pernah tiga kali melakukan pembunuhan. Polisi juga telah menetapkannya sebagai buronan. Tapi keberadaannya selalu tidak diketahui karena selalu berpindah-pindah kota.
Rio selalu bergerak untuk menghindar dari kecurigaan polisi setempat. Namun modus kejahatannya selalu sama, yaitu awalnya berlagak seperti tamu hotel yang bermaksud menyewa kendaraan, tapi kemudian mobil dibawa kabur. Belakangan naluri kekejamannya muncul. Aksi kejahatan yang dibarengi dengan kekerasan berlangsung dalam rentang waktu September-November 2000.
Di Bandung Rio beraksi setelah terlebih dulu menginap di Hotel Naripan, lalu menggasak sedan Timor setelah terlebih dulu memukul sopirnya hingga tewas. Aksi berikutnya di Semarang, menginap di Hotel Adem Ayem, lalu menyikat mobil Panther berwarna abu-abu dan membunuh sopirnya. Kemudian di Surabaya ia menginap di Hotel Mirama dan membawa kabur sedan Mercy berwarna putih, lagi-lagi sopirnya ditemukan tewas.
Pernah juga Rio beraksi di Yogyakarta, dengan menginap di Hotel Ibis. Tapi aksi pembunuhannya gagal gara-gara saat hendak memukul, gagang martilnya terlepas. Sopirnya hanya terluka lalu kabur sambil kesakitan. Konon peristiwa itulah yang membuat Rio selalu membawa dua martil, satu buat cadangan sekaligus alat keduanya.
Dalam aksi kejamnya, Rio selalu memukul kepala korban, tepatnya di bagian belakang sebagai sasaran paling mematikan. Umumnya korban tewas akibat trauma benda keras. Belakangan media massa menjulukinya sebagai “Rio Martil” atau “Martil Maut”.
Kekejaman Rio dipadu juga dengan rumor tentang kesaktian yang didapat dari neneknya. Konon ia bisa melepas borgol. Soal benar-tidaknya, masyarakat yang menangkapnya di Baturaden bersaksi, “Badannya memang kecil, tapi tenaganya kuat sekali.” Tapi rumor yang telanjur bergulir di ruang tahanan ini cukup membuat nyali narapidana lain menjadi ciut.
Pranoto SH, pengacara Rio, tidak melihat sifat kejam pada kliennya. Ia hanya melihat Rio tidak banyak bicara. Tapi temperamennya tinggi. Ia sendiri mengaku jarang berhubungan dengan kliennya itu, terutama setelah Rio dipindahkan ke Pulau Nusakambangan.
Pernah suatu kali Pranoto bermaksud menemui Rio di Nusakambangan. Perjalanan cukup berat, harus mengurus perizinan, naik kapal, dan menempuh perjalanan ke LP. Tapi Rio malah tidak mau dijenguk. Kata petugas, Rio marah-marah karena petugas dianggap mengganggu tidur siangnya. “Dari situ saya menyimpulkan, dia tidak boleh tersinggung,” tutur pengacara yang juga pengajar di Universitas Jenderal Soedirman ini.
Hanya karena tersinggung
Persidangan atas terdakwa Rio Alex Bullo yang digelar di Pengadilan Negeri Banyumas berjalan lancar. Rio yang didampingi pengacara dari Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Jenderal Soedirman, tampak tenang dan pasrah menjalani setiap tahap persidangan. Tidak ada keluarganya yang hadir, mengingat jarak Jakarta - Purwokerto yang 445 km itu termasuk jauh.
Jaksa mendakwa Rio telah menganiaya hingga menyebabkan kematian Jeje Suraji. Tindakan itu juga dikategorikan sebagai pembunuhan berencana, karena Rio terbukti telah lebih dulu menyiapkan senjata dua buah martil. Kejahatannya ditambah lagi dengan usahanya merampas harta korban.
Di persidangan juga terungkap, Rio setidaknya sudah membunuh tiga orang di berbagai kota. Semua dilakukan dengan motif perampasan kendaraan milik korban. Kekejaman saat membunuh korban-korbannya, juga menjadi catatan tersendiri dalam persidangan.
Berdasar bukti-bukti itu, 14 Mei 2001, Rio divonis mati. Mendengar keputusan hakim, ia mengaku pasrah. “Saya bersyukur karena tidak mati saat sedang melakukan kejahatan. Tetapi mati dalam hukuman, mati dalam bertobat,” katanya kepada para wartawan sesaat setelah vonis dijatuhkan.
Meski begitu, upaya banding tetap dilakukan para pengacara. Sementara Rio terus menjalani hukumannya di LP Kedungpane, Semarang, sebelum akhirnya dipindahkan ke LP Permisan di Pulau Nusakambangan. LP yang terletak di sebuah pulau di selatan Cilacap ini terkenal sebagai tempat para narapidana yang menjalani hukuman berat atau hukuman mati.
Di LP Permisan, Rio bertingkah laku baik. Tak ada peristiwa menonjol, meski di kalangan napi namanya sudah terkenal sebagai pembunuh kejam. Selain para pembunuh, perampokan dengan kekerasan, serta koruptor, di LP itu ditempatkan juga terpidana mati Kasus Bom Bali 1, yakni Amrozi, Mukhlas, dan Abdul Aziz alias Imam Samudera.
Kelakuan Rio semakin bertambah baik, terutama setelah mendapat teman satu sel, Iwan Zulkarnain. Kabarnya Rio mudah akrab dengan Iwan lantaran merasa sama-sama berasal dari Sulawesi, walau latar belakang kejahatan mereka jauh berbeda. Bekas pegawai PT Pos Indonesia itu adalah terpidana kasus korupsi bilyet giro setoran pajak PT Semen Tonasa senilai Rp 42 miliar yang divonis 16 tahun di penjara.
Iwan pula yang menuntun Rio belajar membaca Alquran. Hidup di penjara memang membuat Rio banyak beribadah. Kitab suci Al-Qur.’an dimilikinya beberapa buah, selain ada pula buku-buku keagamaan lain. Kabarnya, ia tidak pernah lupa menjalankan salat wajib, termasuk salat malam.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. LP gempar setelah pada 2 Mei 2005, Iwan ditemukan tewas di kamar mandi sel. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tulang tengkorak retak dan kulit kepala sobek sepanjang 5 cm, lebar 0,5 cm. Di dinding dekat tempatnya jatuh bersimbah darah, ada noda-noda percikan darah. Tampak Iwan mati dibunuh seseorang dengan cara dibenturkan ke dinding. Tudingan langsung mengarah kepada Rio, karena saat itu sel hanya dihuni tiga orang.
Awalnya Rio berkelit. Polisi sampai harus merencanakan tes mendalam terhadap noda-noda darah di sarung milik Rio. Tapi dengan sejumlah pendekatan, akhirnya ia mengaku telah membunuh Iwan lantaran kesal.
Pada malam kejadian, sekitar pukul 21.30, Rio memanggil Iwan untuk mengajarinya mengaji. Tapi acara itu harus terganggu karena hujan membuat atap bocor dan airnya menggenangi lantai. Iwan lalu mengepel lantai, sementara Rio hanya duduk-duduk saja di dipan. Saat itulah Iwan sempat mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan Rio. Kata Iwan, Rio boleh saja ditakuti di luar, tapi di dalam LP tidak punya jalu.
Merasa tersinggung, Rio langsung menyerang. Iwan dibekap dengan sarung, mulutnya disumpal kain. Kepalanya dibenturkan ke dinding berkali-kali. Suasana sel sempat gaduh, tapi petugas saat itu mengaku tidak mendengarnya lantaran hujan turun sangat deras,
Setelah kegaduhan di sel semakin menjadi, petugas langsung berkoordinasi dan segera menyerbu masuk ke dalam sel nomor 6. Di sana Iwan sudah ditemukan tergeletak bersimbah darah. Di beberapa bagian kepala ada luka memar, kelopak mata dan dahi kiri bengkak, serta tiga giginya patah.
Setelah malam itu, Rio dipindah ke sel khusus untuk diisolasi dan untuk memperlancar pemeriksaan. Iwan adalah korban Rio yang kelima. Dan tragisnya, Rio melakukan pembunuhan itu tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-27!
Jadi sorotan media massa
Peristiwa pembunuhan di LP Permisan segera menjadi berita panas di media massa. Masyarakat kembali teringat akan Rio “Si Martil Maut” yang beraksi kembali, tapi kini dengan tangan kosong. Sistem pengamanan LP yang dinilai lemah, kelengahan petugas, sampai penanganan negara terhadap para narapidana di lembaga pemasyarakatan jadi sorotan di media massa.
Di media juga sempat terjadi polemik tentang kelanjutan proses hukum terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terpidana mati. Maklum, untuk memprosesnya bukan hal mudah, karena TKP di sebuah LP yang punya banyak keterbatasan. Menanggapinya, polisi berkomitmen untuk tetap melakukan penyidikan terhadap Rio.
Sementara itu, kelanjutan proses hukum terhadap kasus Rio sebelumnya masih terus bergulir. Namun hasilnya, mulai dari tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), Grasi, sampai Peninjauan Kembali (PK) tidak menguntungkan Rio. la tetap harus menghadapi regu tembak. 1 April 2008, surat penolakan PK dari MA diterima Kejaksaan Negeri Purwokerto. Artinya Rio harus segera dieksekusi dalam waktu dekat.
Situasi dunia hukum di Indonesia sendiri, pertengahan 2008 itu, kebetulan tidak berpihak bagi Rio. Ketika itu ada beberapa terpidana mati yang eksekusinya sudah jatuh tempo. Sorotan media begitu gencar, karena tahun itu saja Kejaksaan punya agenda menembak mati 8 orang terpidana. Jumlah yang tinggi, di tengah negara-negara di dunia yang umumnya telah menghapus hukuman mati demi alasan HAM.
Rio tak berkomentar tentang eksekusi yang akan dilaksanakan di Purwokerto, sesuai lokasi terjadinya tindak kejahatan. Situasi haru justru terjadi lantaran pihak keluarga, yakni istri dan tiga anaknya yang belum lagi berusia sepuluh tahun, sulit untuk sekadar menengok Rio. Berkali-kali permohonan untuk bertemu di Nusakambangan tidak mendapat izin.
Baru setelah Rio dipindahkan ke LP di Purwokerto, kurang dari sepekan menjelang eksekusi, keluarga kecil itu bisa berkumpul. Kesempatan itu pun terjadi untuk memenuhi satu dari tiga permintaan terakhir Rio. Kehadiran Tuti dan ketiga anaknya juga tak lepas dari usaha sebuah stasiun televisi yang juga berkepentingan soal pemberitaan terpidana mati itu.
Pertemuan selama sekitar empat setengah jam, pukul 17.00-21.30, pada 4 Agustus 2008, berlangsung mengharukan. Untuk terakhir kali, Rio bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah terasa semakin tumbuh besar sejak terakhir kali ia memeluk mereka.
Sebenarnya, sejak kasus hukum Rio bergulir, ia enggan melibatkan keluarganya. Kepada pengacaranya, ia selalu berpesan untuk tidak membawa-bawa mereka. Malah ia sebenarnya minta agar eksekusinya dirahasiakan saja dari keluarga. “Biar ini semua saya tanggung sendiri,” ujar pria yang baru sepuluh tahun menikah itu. Seusai pertemuan terakhir dengan suaminya, Tuti yang terlihat tak henti menangis tidak memberi komentar apa pun kepada puluhan wartawan yang menunggu.
Tiga permintaan terakhir
Wartawan mungkin adalah pihak yang paling resah menanti pelaksanaan eksekusi mati Rio. Seperti biasa, Kejaksaan tidak pernah mengumumkan secara pasti tentang waktu dan tempat pelaksanaannya. Berita-berita media massa rupanya ikut memancing masyarakat Purwokerto mendatangi LP dan berharap dapat melihat terpidana. Masyarakat juga menduga-duga tempat pelaksanaan eksekusi dan menunggu di sana.
Sementara itu di dalam LP, menjelang hari-hari terakhirnya, Rio memilih untuk menyendiri. Sifat tertutupnya mulai muncul. la tak mau ditemui oleh siapapun. Termasuk Pranoto, pengacaranya, yang bahkan mengaku tak tahu tentang kepastian waktu eksekusi karena tidak kunjung menerima surat dari Kejaksaan.
Pranoto berkisah, ada tiga permintaan terakhir Rio. Pertama, bertemu keluarganya. Kedua, ia meminta maaf kepada seluruh keluarga korban. Ketiga, ia ingin memberikan Al-Qur’an kepada keluarganya, termasuk satu buah diberikan juga kepada pengacaranya. Rio juga sempat berpesan agar baju-bajunya diberikan saja kepada napi yang membutuhkan.
Kematian akhirnya menjemput “Si Martil Maut”, 8 Agustus 2008, pukul 00.30. Rio dieksekusi oleh 12 orang anggota regu tembak di Desa Cipedok, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Karena sejak semula istri Rio sudah menyatakan tidak sanggup memakamkan jenazah suaminya lantaran ketiadaan uang, Kejaksaan yang akhirnya mengurus. Keluarga dari pihak Rio sendiri sudah tidak diketahui keberadaannya.
Sesaat setelah eksekusi, sejumlah media massa sempat memberitakan penolakan sejumlah warga di Kelurahan Berkoh, Purwokerto, jika Rio dimakamkan di wilayah mereka. Tapi akhirnya Kejaksaan berhasil mendapatkan tempat di TPU Sipoh, Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas, di blok makam orang-orang tak dikenal. (Tjahjo W)
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553457050/senjatanya-dua-martil" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391746000) } } [6]=> object(stdClass)#105 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3257630" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#106 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/kisah-keduabelas-miguel-a-amutio-20220428070523.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#107 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Sinyal penyerangan Jepang atas Pearl Harbor ternyata tak sengaja termuat di iklan. Seorang buronan polisi tertangkap gara-gara salah menelepon." ["section"]=> object(stdClass)#108 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Misteri" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "mystery" ["id"]=> int(1368) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Misteri" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/kisah-keduabelas-miguel-a-amutio-20220428070523.jpg" ["title"]=> string(43) "Reaktor Nuklir Irak dan Kebetulan yang Sial" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-29 10:11:56" ["content"]=> string(9293) "
Intisari Plus - Sinyal penyerangan Jepang atas Pearl Harbor ternyata tak sengaja termuat di iklan. Seorang buronan polisi tertangkap gara-gara salah menelepon. Pelat film yang sudah pernah dipakai, kembali didapatkannya setelah perang.
---------------------------------------
Reaktor Nuklir Irak
ROBERT Hutchenson sudah dua tahun menyusun sebuah cerita rekaan tentang Israel menyerang sebuah reaktor nuklir Irak. Tahun 1981, ketika ia masih dalam taraf menyelesaikan novel tersebut, kejadian itu benar-benar terjadi.
Suatu Kebetulan Besar
TANGGAL 22 November 1941, 16 hari sebelum Jepang menyerang Pearl Harbor, The New Yorker memasang dua iklan untuk permainan dadu yang baru, yang dinamai The Deadly Double (Ganda yang Mematikan). Salah satu dari iklan itu berjudul ACHTUNG. WARNING. ALERTE! (HATI-HATI! berturut-turut dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis). Di bawahnya tertulis kata-kata THE DEADLY DOUBLE, dan di bawahnya lagi ada elang berkepala dua (seperti lambang Jerman) dengan memakai perisai di dadanya yang menggambarkan dua silang (double-cross = memperdayakan).
Iklan lain memperlihatkan dua dadu, satu hitam, satu putih, masing-masing kelihatan tiga permukaannya. Pada permukaan dadu putih tertulis angka 12 dan 24 dan dua silang. Pada permukaan dadu hitam tertulis angka 0, 5, dan 7. Di atas dadu-dadu itu kata-kata berhuruf besar, ACHTUNG, WARNING, ALERTE! diulang kembali.
Setelah penyerangan atas Pearl Harbor, muncul banyak spekulasi. Ada yang mengira iklan-iklan itu dipasang oleh pihak Axis untuk memberi isyarat kepada agen-agen mereka: Angka 12 dan 7 bisa diartikan sebagai tanggal penyerangan atas Pearl Harbor (7 Desember), angka 5 dan 0 bisa menunjukkan waktu yang direncanakan untuk penyerangan, dan XX (20 dalam angka Romawi) bisa berarti letak sasaran kira-kira pada garis bujur, sedangkan arti angka 24 tidak diketahui.
Begitu besar kecurigaan orang sampai agen-agen FBI mendatangi orang-orang yang memasang iklan itu, yaitu Roger Craig dan istrinya.
Permainan Deadly Double disahkan oleh undang-undang dan dijual oleh beberapa toko serba ada di New York tahun 1941. Kecurigaan pemerintah dirahasiakan sampai 1967, ketika Ladislas Farago, yang pernah bekerja di dinas rahasia Angkatan Laut AS mengungkapkannya dalam pertemuan dengan wartawan saat peluncuran bukunya, The Broken Seal (Segel yang Dipecahkan).
Ketika diwawancara oleh wartawan tidak lama setelah itu, janda Robert Craig berkata bahwa hubungan antara iklan-iklan itu dengan Pearl Harbor "hanyalah suatu kebetulan besar."
Mereka Hidup
SEORANG sersan polisi, Ron King, melaporkan bahwa pada tanggal 10 Juni 1982, ia mengalami kecelakaan hebat pukul 01.30 lewat tengah malam, saat mengemudikan sebuah Toyota Corolla. Beberapa tulang rusuknya patah dan bagian bawah dagunya cedera, meninggalkan bekas luka.
Tanggal 10 Juni 1984 ('yep, pukul 01.30 tepat'), putranya, Peter, juga mengalami kecelakaan saat mengemudikan sebuah Toyota Corolla. Tulangnya tidak ada yang patah, tapi kecelakaan itu meninggalkan bekas luka di bawah dagunya.
Kebetulan tidak berakhir di sini. Anak perempuan Ron Bang, terjatuh akhir 1986. Sekarang ia juga mempunyai bekas luka di bawah dagunya. Mereka berterima kasih karena masih hidup untuk menceritakan kisah ini.
Kebetulan yang Sial
OKTOBER 1979, Anthony William O'Sullivan melarikan diri dari penjara dan berhasil luput dari tangkapan selama berbulan-bulan.
Suatu hari di bulan April tahun berikutnya, ia menelepon ke sebuah rumah dan ditangkap tidak lama kemudian. Ia menelepon saat polisi berada di rumah itu untuk mencari narkotik. Polisi yang mengangkat telepon menanyakan beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan pribadi buronan itu, seperti umpamanya di mana ia sekarang, tanpa O'Sullivan menyadari bahwa ia berbicara dengan polisi.
Carl Jung Bercerita
CARL Jung bercerita perihal seorang ibu Jerman yang memotret bayi laki-lakinya sendiri tahun 1914. Wanita itu meninggalkan pelat film untuk sekali potret itu di Strasbourg, agar "dicuci". Namun PD I pecah sehingga ia tidak bisa kembali ke Strasbourg.
Dua tahun kemudian, ia membeli sebuah pelat film di Frankfurt yang dipisahkan oleh jarak 160 km dari Strasbourg. Ia mempergunakannya untuk memotret anak perempuannya. Ketika pelat itu "dicuci", ternyata foto anak perempuannya tumpang tindih dengan foto bayi laki-lakinya yang dijepret lebih dulu. Rupanya pelat film itu diberi label belum dipakai dan dikirim ke Frankfurt, lalu dijual kepadanya. Mendapat laporan kasus-kasus seperti itu, tidak heran kalau Jung tetap terpesona.
Ketidaksepakatan Dua Ahli Tasawuf
DR. Lawrence LeShan adalah seorang psikolog yang banyak menulis tentang meditasi dan fenomena paranormal. Suratnya yang berikut ini diterbitkan oleh International Journal of Parapsychology (Jurnal Parapsikologi Internasional) tahun 1968:
Pada hari pertama bulan Desember 1967, saya mengirimkan konsep naskah yang banyak hubungannya dengan tasawuf kepada seorang psikolog ternama, Dr. Nina Ridenour. Walaupun lebih dikenal berkat karya profesionalnya dalam bidang kesehatan mental, tetapi Dr. Ridenour juga pakar dalam tasawuf.
Tanggal 11 Desember tengah hari, Dr. Ridenour dan saya bertemu untuk makan siang sambil mendiskusikan karya ilmiah saya. Saya mencatat berbagai komentar dan kritikannya selama diskusi. la terutama mengritik pengetahuan saya yang kurang memadai dalam tasawuf, yang tercermin pada naskah itu. Lalu ia menyarankan saya membaca sejumlah buku tentang hal itu.
Saya mencatat daftar semua buku itu. Ia menyebutkan delapan buku, di antaranya karangan Nicoll, Stance, dan Ouspensky. Buku kelima yang disebut oleh Dr. Ridenour adalah karangan Byng, The Vision of Asia (Visi Asia). Saya ingat dengan jelas, setelah saya menuliskan nama pengarang dan judul buku itu, ia menambahkan: "Sebelum membacanya, kamu tidak akan memahami perbedaan antara tasawuf Timur dan Barat."
Walaupun saya tidak menuliskan komentarnya yang satu itu, masih terngiang dengan jelas di telinga saya suaranya mengucapkan kata-kata itu, dan catatan saya berisi referensi dengan tanda centang di belakangnya.
Komentar Dr. Ridenour mengesankan saya, karena perbedaan-perbedaan antara tasawuf Timur dan Barat sangat penting untuk gagasan yang saya coba selidiki. Akibatnya, selesai makan siang saya langsung pergi ke perpustakaan Parapsychology Foundation, untuk mencari buku-buku itu. Ternyata mereka tidak memilikinya. Dari yayasan itu saya langsung pergi ke perpustakaan Union Theological Seminary,untuk mencarinya, tetapi kembali tanpa hasil.
Malam itu, dalam perjalanan pulang, saya terburu-buru karena sudah terlambat. Namun, tiba-tiba saya terdorong untuk melewati jalan yang belum pernah saya lalui, karena jaraknya kira-kira 50 langkah lebih panjang.
Ketika berhenti sebentar di lampu lalu lintas dekat keranjang sampah, saya melihat sebuah buku tergeletak di tanah. Terdorong oleh rasa ingin tahu, saya membungkuk untuk memungutnya. Buku yang saya pegang itu berjudul The Vision of Asia dan nama penulisnya L. A. Cranmer-Byng
Esok paginya, saya menelepon Dr. Ridenour dan berkata: "Saya mempunyai cerita lucu tentang buku yang Anda sarankan." Ia menjawab, "Buku yang mana?" "The Vision of Asia oleh Byng," kata saya. "Saya tidak pernah mendengar tentang buku itu," jawabnya.
Dan di sinilah, seperti kata Kipling, terletak masalahnya. Dr. Ridenour adalah seorang yang serius dan sangat bertanggung jawab. la sangat jelas menyebutkan buku itu sebelum saya memberi tahu sudah menemukannya. Saya mendapat buku itu (buku dari perpustakaan oriental pada Columbia University yang disingkirkan tahun I960) dan catatan saya dibuat saat ia berbicara, termasuk referensi pada buku itu.
Saya harus menyatakan bahwa saya tidak bisa mengklasifikasikan pengalaman ini pada kategori umum yang mana pun.
Intisari Plus - Alix Martin sama sekali tidak cantik Meskipun sudah tidak remaja lagi, wajahnya memancarkan kesegaran dan kelembutan. Waktu masih bekerja di kantor dulu, ia dikenal serba efisien, cakap, tidak berbasa-basi, malah kadang-kadang menimbulkan kesan kasar.
Di sekolah pun dulu ia anak disiplin. Sejak usia 18-33 tahun ia sibuk mencari nafkah. Belum lagi kesibukan merawat ibunya yang cacat selama 7 tahun dari jangka waktu 15 tahun.
Kisah cinta tentu saja dialaminya, paling tidak semacam itulah yang terjadi antara dia dan Dick Windyford, rekan sekantornya. Alix sebenarnya sudah lama tahu bahwa Dick mempunyai perhatian khusus kepadanya. Ia pura-pura tak tahu saja. Gaji Dick kecil. Lagi pula ia masih harus membiayai sekolah adiknya. Menikah? Mana mungkin.
Tiba-tiba Alix kejatuhan rezeki. Ada sepupu jauh yang meninggal dan mewariskan beberapa ribu ponsterling kepada Alix. Uang itu seperti pintu gerbang menuju kebebasan hidup dan kemandirian. Alix dan Dick tak perlu lagi mengulur waktu.
Di luar dugaannya, reaksi Dick justru dingin-dingin saja. Alix tahu sebabnya: Dick terlalu peka dan bergengsi untuk melamar justru di saat Alix baru saja mendapat rezeki besar.
Waktu itulah satu hal tak terduga terjadi pada Alix. Ia berkenalan dengan Gerald Martin yang serta merta tergila-gila kepadanya. Dalam seminggu saja mereka sudah bertunangan.
Ironisnya, justru hal inilah yang berhasil memancing kemarahan Dick Windyford. Ia datang, gemetar saking marahnya.
"Orang itu 'kan orang asing! Kau tak tahu sedikit pun tentang dia!"
"Yang aku tahu: aku cinta padanya."
"Mana mungkin cuma dalam waktu seminggu?"
"Tidak semua orang butuh sebelas tahun untuk berpikir jatuh cinta atau tidak!" Kemarahan Alix meledak.
Wajah Dick memucat. "Aku sudah menyayangimu sejak kita bertemu pertama kali. Semula kukira kau pun demikian terhadapku."
Percakapan itulah yang sedang terlintas di benak Alix, di pagi yang begitu cerah sambil bersandar di pagar rumahnya. Pernikahannya sudah berumur sebulan dan ia betul-betul bahagia.
Tapi di saat-saat suaminya tak ada, sepercik kekhawatiran menerobos masuk ke dalam kebahagiaan yang sudah sempurna itu. Penyebabnya adalah Dick Windyford.
Sudah tiga kali sejak perkawiriannya, ia memimpikan hal yang sama. Meskipun situasinya berbeda-beda, fakta-fakta pokok dalam mimpi-mimpi itu selalu sama, Di dalam mimpinya ia melihat suaminya terbaring mati. Dick berdiri di sisi tubuh itu. Dalam mimpi-mimpi itu ia yakin Dick jadi penyebab kematian suaminya.
Memang ngeri, namun lebih mengerikan lagi, di dalam mimpi-mimpi itu kematian Gerald merupakan sesuatu yang wajar, yang tak dapat lagi dihindarkan. Alix Martin, merasa senang atas kematian suaminya sendiri dan mengulurkan tangan dengan penuh rasa terima kasih kepada si pembunuh; bahkan kadang-kadang ia mengucapkan terima kasih! Semua impiannya selalu berakhir sama: ia berada di dalam pelukan Dick Windyford. Dering telepon menyadarkan Alix.
"Siapa? Tolong diulang, siapa ini?"
"Oh, Alix, kenapa suaramu? Aku hampir tak mengenali suaramu. Ini Dick."
"Oh!" kata Alix.
"Di mana, di mana kau?"
"Aku di Traveller's Arm.Aku sedang berlibur, memancing di sini. Apa kau keberatan jika nanti malam aku mengunjungi kalian setelah makan malam?" "Tidak bisa," cetus Alix tajam. "Kau tak boleh datang." "Maaf," katanya dengan formal.
"Tentu saja aku tak bermaksud mengganggumu ...." Alix cepat-cepat menimpali. Tentu saja bagi Dick ini betul-betul mengherankan. "Yang kumaksudkan, kami ada janji malam ini," Alix berusaha menerangkan dengan suara sewajar mungkin. "Bagaimana kalau kau datang besok saja untuk makan malam?"
Tetapi jelas Dick telah melihat tak adanya kehangatan di dalam suaranya. "Terima kasih banyak," katanya masih dengan nada formal.
Rahasia tukang kebun
Ia lalu pergi ke kebun lagi, namun di teras ia berhenti sebentar untuk menatap nama yang terukir di atas beranda itu : Pondok Philomel.
Gerald yang menemukan Pondok Philomel. Waktu melihatnya, Alix pun segera terpikat. Meskipun jaraknya 2 mil dari desa terdekat, tetapi pondok itu begitu elok, fasilitasnya pun lengkap. Si pemilik hanya bersedia menjual, bukan menyewakan.
Gerald Martin memang berpenghasilan cukup baik, tapi ia hanya sanggup menyediakan 1.000 ponsterling, padahal si pemilik rumah meminta 3.000 ponsterling. Alix yang sudah telanjur jatuh cinta tak berkeberatan menyumbang separuh dari harga pondok itu.
Sampai kini tak pernah sedetik pun Alix menyesali pilihan mereka itu. Tak ada seorang pun pelayan di rumah mereka. Alix tetap menikmati hari-harinya. Ia telah begitu rindu pada kehidupan rumah tangga: memasak, mengatur rumah.
Kebun yang begitu sarat dengan bunga-bungaan dirawat oleh seorang tukang kebun tua, yang datang dua kali seminggu.
Waktu mengitari sudut rumah, Alix menjumpai si tukang kebun sedang sibuk bekerja mengurus bunga. Ia heran, karena hari kerja tukang kebun biasanya Senin dan Jumat, padahal saat itu hari Rabu.
"Wah George, sedang apa kau di sini?" tanya Alix sambil menghampiri orang tua itu.
George bangun, lalu menyentuh ujung topi tuanya, sebagai tanda salam.
"Memang sudah kupikir Nyonya bakal heran. Soalnya, Jumat akan ada festival. Aku pikir, pasti baik Tuan Martin maupun istrinya tak akan menganggap aku membolos, bila kali ini aku tidak datang pada hari Jumat, tetapi hari Rabu."
"Tentu saja tak apa-apa," kata Alix. "Kuharap kau senang di festival itu."
"Aku kira begitu," kata George. "Makan sekenyang-kenyangnya tanpa harus membayar sendiri selalu menyenangkan. Selain itu kupikir perlu juga menemui Nyonya sebelum Nyonya pergi. Tentang bunga-bungaan untuk pembatas. Mungkin Nyonya belum tahu akan kembali kapan?"
"Tapi aku tidak akan pergi ke mana-mana." George terdiam menatapnya.
"Bukankah Nyonya akan ke London besok pagi?"
"Tidak. Siapa yang mengatakan itu?"
George menggelengkan kepala.
"Aku bertemu Tuan di desa kemarin. Katanya, Tuan dan Nyonya akan berangkat ke London besok dan belum tahu kapan akan kembali."
"Omong kosong," kata Alix sambil tertawa. "Kau pasti salah paham."
Meskipun demikian Alix ingin tahu juga, kira-kira apa yang telah dikatakan Gerald sehingga bisa menimbulkan kesalahpahaman macam itu. Ke London? la tak pernah ingin kembali ke London.
"Aku benci London," katanya tiba-tiba dengan sedikit menyentak.
"Ah!" sambut George tetap tenang saja. "Mungkin aku salah dengar. Tapi dia mengatakannya dengan cukup jelas, kok. Aku senang Nyonya memutuskan tetap tinggal di sini. Aku tak suka London.
Terlalu banyak mobil, itulah susahnya zaman sekarang. Begitu orang punya mobil, tak dapatlah ia diam di satu tempat. Seperti Tuan Ames, yang dulu tinggal di rumah ini. Baik, tenang, sampai ia punya kendaraan bermotor.
Belum sebulan, sudah dijualnya pondok ini. Padahal banyak juga yang sudah dikeluarkannya untuk membereskan rumah ini."
"Tuan tidak akan mungkin memperoleh kembali semua pengeluaran itu," kataku kepadanya.
"Tapi," dia menyahut, "aku akan mendapat 2.000 ponsterling untuk rumah ini." Memang betul itu yang didapatnya.
"Dia malah mendapat 3.000 ponsterling," kata Alix sambil tersenyum.
"Dua ribu," ulang George. "Jumlah yang dimintanya itulah yang dibicarakan waktu itu."
"Betul 3.000 ponsterling." kata Alix.
"Apakah maksud Nyonya, Tuan Ames begitu tak tahu malunya meminta 3.000 ponsterling dengan terang-terangan?"
"Dia tidak mengatakannya kepadaku," kata Alix, "ia mengatakan itu kepada suamiku." George kembali mengurus bunga-bunganya.
Alix tak mau repot-repot berdebat dengan orang tua itu. Ia pindah ke bentangan bunga-bungaan berikutnya, lalu memetik banyak bunga.
Selagi berjalan sambil membawa bunga itulah, ia melihat sebuah benda hijau tua mengintip dari balik dedaunan di tanah. Ternyata itu buku harian suaminya, yang segera dipungutnya.
Dibukanya dan dibalik-baliknya buku itu dengan senang hati. Sejak awal perkawinan mereka, ia sudah tahu bahwa Gerald yang impulsif dan emosional itu sebenarnya punya sifat yang rapi dan metodik. Ia begitu rewel tentang perlunya waktu makan yang tepat dan selalu merancang acara sehari sebelumnya setepat-tepatnya.
Dengan senang hati dibacanya acara pada tanggal 14 Mei: "Menikah dengan Alix, St. Peter, 14.30."
"Si Tolol itu," gumamnya sambil membalik-balik halaman buku lagi. Tiba-tiba ia berhenti.
"Rabu, 18 Juni 'lo, itu 'kan hari ini."
"Di ruang yang tersedia, tertulis dengan rapi dan tepatnya: 21.00."Hanya itu.Apa yang telah direncanakannya pada pukul 21.00 nanti? Alix berpikir. Ia tersenyum sendiri mengingat seandainya ia seperti cerita-cerita yang sering dibacanya, tentu akan tersangkut nama wanita lain dan ia pasti akan menemukan sesuatu yang sensasional.
Tapi ketika dibalik-baliknya buku itu, hanya ada satu nama wanita: ia sendiri.
Meski demikian ketika ia menyelipkan buku itu ke kantung sambil berjalan ke arah rumah, dirasakannya ada kegelisahan yang samarsamar. Kata-kata Dick Windyford kembali mengawang, "Orang itu 'kan orang asing. Kau tak tahu sedikit pun tentang dia."
Akan diceritakannya atau tidak bahwa Dick Windyford telah menelepon.
Bila ia bercerita, pastilah Gerald akan mengusulkan untuk mengundang Dick ke Pondok Philomel. Maka ia pasti harus bercerita bahwa Dick sendiri telah mengusulkan itu dan bahwa kunjungan itu telah ditolaknya. Jika Gerald bertanya mengapa ia menolaknya, apa yang harus dikatakannya? Menceritakan mimpinya? Paling-paling ia akan tertawa atau menganggapnya hal yang remeh.
Akhirnya, Alix memutuskah untuk tidak mengatakan apa-apa. Ini pertama kalinya ia merahasiakan sesuatu kepada suaminya dan ini membuatnya tak tenang. Waktu didengarnya Gerald kembali dari desa, cepat-cepat ia berpura-pura sibuk di dapur.
Menguji suami
Setelah makan malam, mereka duduk-duduk di ruang tengahdengan jendela terbuka. Segarnya udara malam memenuhi ruangan. Waktu itu barulah Alix ingat tentang buku harian suaminya.
"Ini sesuatu yang kau siramkan ke bunga-bunga," katanya sambil melemparkan buku itu ke pangkuan suaminya.
"Oh, jatuh ya?"
"Ya, sekarang aku sudah tahu semua rahasiamu. Bagaimana dengan rencanamu malam ini, pukul 21.00?"
"Oh! Itu ...." Kelihatannya Gerald agak terkejut, sebentar kemudian tersenyum, seakan-akan ada sesuatu yang begitu menyenangkan hatinya. "Itu janji dengan seorang gadis yang cukup menyenangkan. Rambutnya coklat, matanya biru, dan ia sangat mirip denganmu."
"Aku tak mengerti," kata Alix, merasa dipermainkan. "Kau menghindar."
"Tidak. Itu sebenarnya cuma untuk mengingatkan bahwa malam ini aku akan memproses negatif film dan aku butuh bantuanmu."
Gerald Martin adalah fotografer yang sangat bersemangat. Kameranya sudah ketinggalan zaman, tetapi lensanya amat bagus. Ia pun mencuci sendiri film-filmnya di gudang kecil di bawah tanah yang sudah diperbaiki menjadi kamar gelap.
"Kita harus mulai tepat pukul 21.00," kata Alix menggoda.
Gerald tampaknya agak jengkel.
"Sayang," katanya dengan agak tak sabar, "orang harus merencanakan segala sesuatu pada waktu yang tepat, supaya pekerjaannya dapat selesai dengan baik."
"Untuk beberapa menit Alix duduk terdiam. Ditatapnya suaminya yang sedang bersantai di kursi sambil merokok. Kepalanya bersandar ke belakang dan raut wajahnya yang tercukur rapi tampak begitu jelas dengan latar belakang agak suram. Tiba-tiba saja rasa panik menyerbu jiwanya sehingga Alix berteriak, "Oh, Gerald, jika saja aku tahu lebih banyak tentang kau!"
Suaminya menoleh dengan wajah heran.
"Tapi Alix sayangku, kau 'kan sudah tahu semuanya tentang aku. Bukankah sudah kuceritakan tentang masa kecilku di 'Northumberland' hidupku waktu di Afrika Selatan, dan sepuluh tahun di Kanada yang membawa sukses."
"Oh! Bisnis!" Tiba-tiba Gerald tertawa.
"Aku tahu yang kau maksudkan, kisah-kisah cinta. Kalian wanita memang sama saja. Yang diperhatikan hanyalah soal-soal pribadi."
Sunyi kembali. Gerald Martin mengerutkan dahi, ada kebimbangan di wajahnya. Kemudian ia berbicara, kali ini serius.
"Apakah bijaksana membicarakan soal begini, Alix? Tentu pernah ada wanita di dalam hidupku.. Namun, aku bersumpah tak ada seorangpun yang berarti bagiku."
Keseriusan yang ada di dalam nada suaranya membawa ketenangan di hati Alix.
Alix bangun dan mulai mondar-mandir dengan gelisah.
"Sepanjang hari ini aku terus gelisah,"' katanya.
"Aneh," gumam Gerald, seakan-akan sedang berbicara dengan dirinya sendiri. "Aneh sekali."
"Kenapa aneh?"
"Ah, sayang, jangan memelototi aku begitu. Aku cuma berkata itu aneh karena biasanya kau demikian manis dan tenang." Alix berusaha tersenyum.
"Hari ini setiap hal membuatku jengkel," ia mengaku. "Bahkan si tua George pun sampai-sampai mempunyai gagasan lucu bahwa kita berdua akan pergi ke London. Menurut dia, kau mengatakan begitu."
"Di mana kau bertemu dengannya?" tanya Gerald tajam.
"Ia bekerja hari ini untuk pengganti hari Jumat."
"Si Tolol tua sialan," kata Gerald geram.
Alix terpana keheranan. Wajah Gerald penuh dengan amarah. Tak pernah ia melihat suaminya demikian marah. Melihat reaksi Alix, Gerald berusaha mengontrol dirinya.
"Memang ia orang tua tolol dan sialan," protesnya.
"Apa yang telah kau katakan sampai ia berpikir begitu?"
"Aku? Tak pernah aku mengatakan apa-apa. Paling-paling ... oh, ya, aku ingat. Iseng-iseng aku pernah bergurau sedikit tentang 'berangkat ke London pagi-pagi'. Mungkin ia menganggapnya serius. Atau, ia salah dengar. Engkau memberitahukan yang sebenarnya?"
Gerald menunggu jawaban Alix dengan cemas.
"Tentu saja, tapi ia termasuk jenis orang tua yang kukuh.Tak mudah mengubah pendiriannya."
Kemudian diceritakannya kengototan George tentang harga rumah mereka.
Setelah diam sejenak, Gerald berkata perlahan, "Yang diminta Ames adalah 2.000 kontan dan 1.000 sisanya dalam bentuk gadai.
Mungkin itu sumber kesalahpahaman kukira."
"Mungkin sekali," Alix setuju.
Kemudian ditengoknya lonceng, lalu Alix menunjuk ke arah lonceng itu dengan nakal.
"Kita harus mulai cepat bekerja, Gerald. Terlambat lima menit."
Wajah Gerald diliputi senyum amat ganjil.
"Aku sudah berganti rencana," katanya dengan tenang. "Aku tidak akan mengerjakan fotografi malam ini."
Batin wanita memang aneh. Rabu malam itu Alix tidur dengan rasa puas dan damai. Kebahagiaannya kembali seperti sebelumnya.
Namun, sore keesokan harinya Alix sadar, di dasar hatinya masih bergumul ketidaktenangan. Memang sore itu Dick tidak menelepon lagi, tetapi pengaruh kata-katanya masih bekerja.
Bersama itu pula kembali terbayang wajah suaminya waktu berkata, "Apakah bijaksana membicarakan soal begini, Alix?" Mengapa ia berkata begitu?
Dengan kalimat itu seakan-akan suaminya hendak berkata, "Lebih baik jangan coba-coba menggali tentang hidupku, Alix. Kau bisa terkejut."
Jumat pagi Alix telah yakin bahwa ada wanita lain dalam kehidupan Gerald. Rasa cemburunya yang bangkit perlahan kini tak dapat dikendalikan lagi.
Wanitakah yang mestinya hendak ditemui Gerald malam itu pada pukul 21.00? Apakah memproses film hanya alasan yang dikarangnya waktu itu juga?
Tiga hari lalu ia begitu yakin telah mengenal suaminya luar-dalam. Kini rasanya Gerald hanyalah seorang asing. Alix masih ingat bagaimana marahnya Gerald kepada George, kemarahan tanpa alasan, benar-benar tak cocok dengan sifat sehari-harinya yang begitu ramah dan baik.
Ternyata buronan
Hari Jumat itu ada beberapa keperluan kecil yang mesti dibeli di desa. Pada sore hari Alix mengusulkan pergi ke desa, sementara Gerald tetap tinggal di kebun.
Tak disangkanya Gerald menolak mati-matian dan mendesak supaya ia saja yang pergi ke desa. Alix terpaksa mengalah dan tetap tinggal di rumah. Tetapi ia tak mengerti. Mengapa Gerald begitu bernafsu mencegahnya pergi ke desa?
Setelah waktu minum teh sore hari berlalu, ia kembali gelisah. Akhirnya, dengan alasan ingin membersihkan dan merapikan ruangan, ia mengambil bulu ayam dan naik ke loteng, ke kamar kerja suaminya.
Surat-surat dan dokumen digeledahnya, laci-laci dibuka, kantung-kantung pada pakaian suaminya pun tak ketinggalan. Hanya ada dua laci belum dijamahnya, keduanya terkunci.
la yakin di dalam salah satu laci itulah akan didapatkannya bukti-bukti tentang wanita dari masa lalu Gerald, yang kini begitu mengganggu pikirannya.
la ingat Gerald meletakkan kunci-kuncinya begitu saja di lemari bufet di bawah. la mengambilnya, lalu dicobanya satu per satu. Kunci ketiga cocok dengan laci meja tulis.
Dibukanya laci itu dengan rasa penuh ingin tahu. Didalam ada buku cek, dompet penuh catatan, dan di sebelah dalam ada setumpuk surat yang diikat dengan pita.
Dengan napas yang memburu tak karuan, Alix membuka ikatannya. Tapi seketika wajahnya merona merah. Dikembalikannya semua surat itu ke laci, lalu laci kembali dikuncinya. Surat-surat itu berasal dari dia sendiri, sebelum menikah dulu.
Kini ia beralih ke laci satunya yang masih terkunci. Kali ini tak ada satu pun kunci yang cocok. Dengan penasaran Alix mengambil kunci-kunci dari kamar-kamar lain. Untunglah kunci lemari pakaian kamar tamu cocok. Di laci itu hanya ada segulung kliping surat kabar yang sudah kotor dan kuning saking tuanya.
Alix menarik napas lega. Iseng-iseng dibacanya juga kliping itu. Hampir semuanya kliping surat kabar Amerika, dari kira-kira tujuh tahun lalu. Isinya, pengadilan terhadap penipu ulung, Charles Lemaitre, yang dicurigai telah membunuh para wanita korbannya.
Sebuah kerangka manusia telah ditemukan di bawah lantai salah satu rumah yang disewanya, dan sebagian besar wanita yang telah "dinikahi" tidak diketahui kabar beritanya.
Terhadap tuduhan itu ia mampu mempertahankan dirinya dengan sempurna, dibantu oleh beberapa pihak resmi yang paling berbakat di Amerika Serikat.
Selain itu dalam sebuah pengadilan tanpa kehadirannya, ia dinyatakan tak bersalah terhadap tuduhan utama, meskipun tetap mendapat hukuman penjara untuk waktu lama terhadap tuduhan-tuduhan lain.
Alix masih ingat kegegeran akibat kasus itu, juga sensasi yang meletup ketika Lemaitre berhasil melarikan diri sekitar tiga tahun kemudian. Sampai kini ia belum berhasil ditangkap kembali.
Di surat-surat kabar Inggris waktu itu banyak dibahas kepribadian orang itu dan pengaruhnya yang begitu kuat atas wanita. Juga tentang semangatnya di pengadilan, protes-protesnya yang penuh perasaan dan kenyataan bahwa ia kadangkadang pingsan karena jantungnya lemah.
Di salah satu kliping itu terdapat foto Lemaitre. Dengan penuh perhatian Alix menatapnya: seorang laki-laki berjanggut panjang dan bertampang orang berpendidikan.
Alix terkejut sekali. Ia sadar, foto itu adalah Gerald sendiri. Mata dan alisnya sangat mirip. Alinea di sebelah gambar itu menerangkan bahwa tanggal-tanggal yang tercatat di buku catatan tertuduh mungkin adalah tanggal ia membunuh para korbannya.
Menurut seorang saksi wanita, ada tahi lalat di pergelangan tangan kirinya, tepat di bawah telapak tangannya.
Kliping-kliping itu terjatuh dari tangan Alix dan ia pun sempoyongan. Di pergelangan tangan kiri suaminya, peisis di bawah. telapak tangan ada torehan kecil.
Seluruh kamar seolah berputar di sekelilingnya. Gerald Martin adalah Charles Lemaitre! Kini tampaklah arti mimpi-mimpinya. Alam bawah sadarnya sudah lama merasa takut kepada Gerald dan ia ingin melarikan diri darinya.
Kepada Dick alam bawah sadarnya ini meminta pertolongan. Ia calon korban Lemaitre berikutnya. Sebentar lagi, mungkin ....
Setengah menjerit ia teringat sesuatu. Rabu, pukul 21.00. Gudang bawah tanah, dengan ubin-ubinnya yang begitu mudah diangkat! Gerald pernah mengubur salah satu korbannya di gudang bawah tanah.
Semuanya telah direncanakan untuk Rabu malam. Gerald selalu membuat catatan tentang kegiatan-kegiatannya. Baginya, pembunuhan juga merupakan semacam perjanjian bisnis.
Apa yang telah menyelamatkannya? Apakah Gerald membatalkan niatnya begitu saja karena kasihan di saat-saat terakhir? Tidak. Seperti kilat jawabannya muncul di benak Alix: si tua George.
Kini ia mengerti sebab kemarahan suaminya yang tak terkontrol. Pasti ia telah mengatur siasat dengan mengatakan kepada setiap orang yang ditemuinya bahwa mereka akan ke London keesokan harinya. Tanpa disangka-sangka George datang bekerja, menyebut-nyebut tentang London kepada Alix, yang lalu menyanggahnya. Membunuh Alix malam itu tentu berisiko amat besar.
Menggelar Siasat
Didengarnya derit pintu pagar. Suaminya pulang. Dengan berjingkat diintipnya dari balik gorden jendela.
Ya betul, suaminya. Laki-laki itu sedang tersenyum-senyum sendiri sambil ber senandung. Di tangannya ada benda yang hampir saja menghentikan detak jantung Alix: sebuah sekop baru!
Secara insting Alix segera sadar: malam inilah saatnya. Namun, masih ada kesempatan. Sambil bersenandung Gerald pergi ke belakang rumah.
Tanpa ragu Alix berlari menuruni tangga dan keluar dari rumah. Namun, baru saja kepalanya muncul dari pintu, suaminya muncul dari samping.
"Halo," katanya, "mau ke mana kau begitu tergesa-gesa?"
Alix berjuang mati-matian untuk tetap tampak tenang seperti biasa. Kali ini kesempatan hilang, tetapi jika ia berhati-hati sehingga tidak membangkitkan kecurigaan kesempatan itu pastilah datang lagi.
"Aku ingin berjalan-jalan," di telinganya sendiri suara itu begitu lemah dan tak pasti.
"Baiklah," sahut suaminya. "Aku ikut."
"Oh, ... jangan Gerald. Aku ... tak enak badan, sakit kepala ... aku lebih suka pergi sendiri saja."
Gerald menatapnya dengan penuh perhatian. Alix bisa merasakan munculnya kecurigaan di mata suaminya, namun hanya sementara.
"Mengapa kau, Alix? Kau pucat ... gemetar lagi."
Dipaksakannya sebuah senyum. "Aku pusing, hanya itu. Dengan sedikit berjalan-jalan tentu akan sembuh."
"Tapi percuma saja kau katakan tak mau kutemani," sahut Gerald, sambil tertawa santai. "Aku ikut, kau setuju ataupun tidak."
Alix tak berani lagi memprotes. Bila Gerald sampai curiga bahwa ia sudah tahu ....
Ketika kembali ke rumah, Gerald mendesak supaya Alix membaringkan diri, lalu di usapnya kedua pelipis Alix dengan eau-de-cologne. Seperti biasanya, Gerald masih seorang suami yang penyayang. Alix merasa begitu tak berdayanya, seakan-akan kedua lengan dan kakinya terikat dalam perangkap.
Tak semenit pun Gerald meninggalkan Alix sendiri. Waktu makan malam, Alix berusaha makan dan bersikap riang seperti biasanya.
Padahal di lubuk hatinya ia sadar, ia sedang berjuang untuk tetap hidup. Kesempatan, satu-satunya hanyalah menjinakkan kecurigaan Gerald, sehingga ia bisa mempunyai sedikit waktu sendiri untuk menelepon bantuan dari luar.
Ada sekilas harapan, seandainya saja Gerald membatalkan rencananya seperti yang sudah pernah terjadi. Seandainya saja ia mengatakan bahwa Dick Windyford akan datang malam itu.
Namun, mulutnya tak jadi mengatakan itu. Jangan-jangan bahkan Gerald akan segera membunuhnya di situ, waktu itu juga, lalu dengan tenang akan menelepon Dick bahwa tiba-tiba ia harus pergi karena ada panggilan. Oh! Bila saja Dick datang malam ini! Bila Dick ....
Sebuah gagasan melintas di benaknya. Semakin matang rencananya, semakin tumbuh keberaniannya. Ia menjadi demikian wajarnya sampai ia sendiri heran.
Ia membuat kopinya, lalu menuju beranda, tempat mereka biasa duduk-duduk bila cuaca malam baik.
"Oh, ya," kata Gerald tiba-tiba, "foto-foto itu akan kita kerjakan nanti."
Alix merasakan bulu kuduknya berdiri, tetapi ia menjawab acuh tak acuh,"Tak dapatkah kau kerjakan sendiri? Malam ini aku agak lelah."
"Ah, tak akan lama, kok."Ia tersenyum sendiri. "Kujamin setelah itu kau tak akan merasa letih."
Kata-kata itu kelihatannya menyenangkan Gerald, namun Alix bergidik. Sekaranglah saatnya ia melaksanakan rencananya.
Ia bangkit. "Aku akan menelepon tukang daging," ujarnya acuh tak acuh.
"Tukang daging? Malam-malam begini?"
"Tokonya tentu saja tutup tolol. Tapi ia pasti ada di rumahnya. Besok 'kan hari Sabtu dan aku ingin besok pagi ia mengantarkan daging sapi muda, sebelum habis diserbu orang lain. Si tua itu akan melakukan apa saja buatku."
Topeng telah dibuka
Dengan cepat ia berlalu ke dalam rumah, menutup pintunya. Didengarnya Gerald berkata, "Jangan tutup pintunya." Ia cepat berkilah, "Supaya ngengat tidak masuk. Aku benci ngengat. Apakah kau curiga aku akan bercinta dengan si tukang daging, tolol?"
Begitu di dalam, ia menyambar telepon, memutar nomor Traveller's Arm.
"Tuan Windyford? Apakah ia masih di situ? Dapat saya bicara dengannya?"
Kemudian debaran jantungnya menjadi tak karuan, karena pintunya didorong terbuka dan suaminya masuk.
"Oh, pergilah Gerald," rajuknya. "Aku tak suka didengarkan pada saat menelepon."
"Apa betul tukang daging yang sedang kau telepon itu?" tanyanya. Alix betul-betul putus asa. Rencananya gagal. Sebentar lagi Dick akan mengangkat telepon. Apakah ia akan nekat saja menjerit minta tolong?
Kemudian ketika dalam gugupnya ia menekan-nekan tombol pada telepon yang membuat dapat tidaknya suaranya terdengar oleh lawan bicara, terlintaslah rencana baru di kepalanya.
Waktu itu juga terdengar suara Dick Windyford.
Alix menarik napas panjang.
"Di sini Ny. Maitin daii Pondok Philomel. Datanglah (tombol dilepasnya) besok pagi dengan enam potong daging sapi muda (tombol ditekannya). Ini sangat penting. (Dilepasnya tombol lagi).”
“Terima kasih banyak, Tuan Hexworthy; saya harap Anda tak keberatan saya menelepon begini larut, tapi daging-daging itu benar-benar merupakan soal (tombol ditekannya lagi) hidup atau mati (tombol dilepasnya lagi). Baiklah - besok pagi (ditekannya lagi) segera mungkin."
Ia meletakkan telepon kembali, lalu menoleh kepada suaminya sambil bernapas amat berat.
Alix hampir bergolak oleh semangatnya. Gerald tidak curiga sedikit pun. Namun,Alix pun tak mengerti, apakah Dick pasti akan datang? Ia menuju ruang duduk dan menyalakan lampu. Gerald mengikutinya.
"Tampaknya kau kini demikian bersemangat," komentarnya sambil memperhatikan penuh rasa ingin tahu.
"Ya, begitulah," sahutnya. "Pusingku telah sembuh." Ia duduk di kursinya yang biasa, tersenyum kepada suaminya, sementara yang terakhir ini juga duduk di hadapannya. Ia selamat. Sekarang baru pukul 20.25. Lama sebelum pukul 21.00 Dick pasti sudah akan tiba.
"Aku tak begitu suka pada kopi yang kau buatkan tadi," keluh Gerald. "Rasanya amat pahit."
"Oh, itu merek baru. Aku hanya mencoba saja. Jika kau tak suka, tak akan kupakai lagi."
Alix mulai menjahit, sedangkan Gerald membaca. Kemudian ia melirik lonceng, lalu menyingkirkan bukunya.
"Pukul 20.30. Waktunya ke gudang bawah dan mulai bekerja."
"Ah,belum waktunya. Nanti saja pukul 21.00."
"Tidak, sayangku. Setengah sembilan. Itu waktu yang sudah kurencanakan. Kau akan dapat pergi tidur lebih awal."
"Tapi aku lebih suka menunggu sampai pukul 21.00 saja."
"Kau sendiri tahu, begitu aku menetapkan waktu, aku akan menepatinya. Ayolah, Alix. Aku tak mau menunggu lebih lama lagi."
Alix melihat keatas, kepada suaminya dan kepanikan pun menyerbu dirinya. Topeng telah dibuka. Tangan Gerald bergerak-gerak, matanya berbinar-binar dan ia terus menerus membasahi bibirnya dengan lidah. Ia sudah tidak peduli lagi untuk menyembunyikan gairahnya.
Pikir Alix: "Benar- ia tak dapat lagi menunggu -ia seperti orang gila."
"Ayolah, manisku .... atau kugendong kau ke sana."
Suaranya riang, namun mengandung keganasan tak tersembunyi yang mengerikan. Mati-matian Alix berhasil melepaskan diri dari pegangan Gerald pada bahunya. Merapat ke tembok, ia benar-benar tak berdaya.
"Sekarang, Alix ...."
"Tidak ... tidak!"
Ia menjerit, tangannya mengusir Gerald pergi.
"Gerald ... berhenti ... Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadamu, suatu pengakuan ...."
Ia betul-betul berhenti.
"Mengaku?" tanyanya penasaran.
"Ya, mengaku."
Cemooh mengambang di wajahnya.
"Kekasih lama, kukira," katanya.
"Bukan," ujar Alix. "Lain,ini lain. Mungkin kau menyebutnya ... ya kupikir kau pasti menyebutnya tindak kriminal."
Segera saja tampak bahwa Alix telah tepat memilih kata. Ia berhasil memerangkap perhatian Gerald. Keberaniannya timbul lagi.
"Lebih baik kau duduk kembali," katanya tenang.
Saingan aktris terhebat
Ia sendiri kembali duduk di kursinya dan sempai duduk dti mengambil jahitannya. Tetapi di balik ketenangannya, ia sedang berpikir keras menciptakan kisah yang benar-benar akan membuat Gerald tertarik sampai bantuan tiba.
"Sudah pernah kukatakan kepadamu," katanya perlahan-lahan, "bahwa aku pernah menjadi pengetik steno selama 15 tahun. Sebenarnya itu tak sepenuhnya betul. Dalam jangka waktu itu ada masa istirahatnya. Yang pertama, ketika aku berusia 22 tahun.”
“Aku berkenalan dengan seseorang yang sudah agak tua dan agak kaya. Ia jatuh cinta kepadaku dan melamarku. Kuterima. Kami menikah." Ia berhenti sebentar. "Aku membujuknya sehingga ia mengasuransikan jiwa atas namaku."
Segera saja tampak perhatian yang mendadak jadi besar di wajah suaminya. Alix meneruskan dengan lebih mantap:
"Waktu perang aku pernah bekerja di bagian pelayanan rumah sakit. Di sana aku berurusan dengan berbagai jenis obat maupun racun yang langka."
Ia berhenti berpura-pura mengenang kembali. Gerald sudah betul-betul tertarik, tak ada keraguan lagi tentang itu. Seorang pembunuh memang cenderung tertarik pada pembunuhan. Diliriknya lonceng. Pukul 20.35.
"Ada sejenis racun - berupa bubuk putih. Sepercik saja membawa kematian. Mungkin kau tahu sedikit tentang racun?"
Bila ternyata Gerald tahu, ia harus lebih berhati-hati.
"Tidak," sahut Gerald, "aku hanya tahu sedikit sekali."
Ia menarik napas lega.
"Tentunya kau pernah mendengar tentang hyoscine? Nah, efeknya kira-kira sama, tetapi sama sekali tak dapat ditelusuri. Tiap dokter pasti akan menduga sebab kematiannya sebagai serangan jantung. Aku mencurinya sedikit dan menyimpannya."
Alix berhenti sejenak, mengatur langkahnya.
"Teruskan," kata Gerald.
"Ah, tidak. Aku takut. Tak dapat kuceritakan sekarang. Lain kali saja."
"Sekarang," ujarnya tak sabar. "Aku ingin mendengarnya sekarang."
"Waktu itu kami telah menikah sebulan. Aku istri yang amat baik dan setia. Suamiku memuji-mujiku kepada semua tetangga. Setiap sore kubuat sedikit kopi untuknya. Suatu sore, kucampurkan sedikit racun tadi ke dalam kopinya ...."
Alix berhentik untuk membetulkan jahitannya. Meskipun belum pernah berakting di panggung, saat itu pastilah kemampuannya berakting mampu menyaingi aktris terhebat di dunia.
"Betul-betul sangat damai. Aku duduk memperhatikan dia. Mula-mula ia terengah sedikit dan minta dibukakan jendela. Aku menurutinya. Kemudian katanya ia tak dapat bergerak dari kursinya. Tak lama kemudian ia pun mati."
Ia berhenti, lalu tersenyum. Pukul 20.45. Sebentar lagi mereka pasti datang.
"Berapa," tanya Gerald, "uang asuransinya?"
"Kira-kira 2.000 ponsterling. Aku berspekulasi, tapi gagal. Habis. Aku kembali bekerja di kantor. Tapi sebetulnya aku tak bermaksud berlama-lama di sana. Di kantor aku menggunakan nama gadisku.”
“Maka ketika aku mengenal seorang laki-laki, muda, agak ganteng, dan sangat kaya, ia tak tahu jika aku sudah pernah menikah. Di Sussex kami menikah diam-diam. la tak mau mengasuransikan jiwa, tetapi tentu saja dibuatnya surat wasiat yang menguntungkanku. la juga suka aku sendiri yang membuatkan kopinya."
Alix tersenyum penuh kenangan dan menambahkan, "Kopi buatanku memang sangat sedap." Lalu diteruskannya:
"Di desa tempat kami tinggal, aku punya beberapa teman. Tentu saja mereka kasihan sekali kepadaku, ketika suatu malam mendadak suamiku meninggal karena serangan jantung. Suamiku mewariskan 4.000 ponsterling. Kali ini uang itu tidak kuspekulasikan, tapi aku tanamkan. Kemudian, kau tahu ...."
Dengan wajah merah padam dan setengah tercekik, Gerald Martin menunjuk ke arahnya dengan telunjuk yang gemetar.
"Kopi itu ... Masya Allah!" Alix diam menatapnya.
"Kini aku mengerti mengapa rasanya begitu pahit. Kau setan! Kau ulangi lagi muslihatmu."
Kedua tangannya mencengkeram kursi kuat-kuat. Gerald siap menyerang Alix.
"Kau telah meracuniku." Alix sudah menjauhkan diri ke pendiangan. Kini dalam ketakutannya, bibirnya sudah membuka untuk menyangkal... tapi tak jadi. Dikumpulkannya seluruh kekuatannya. Ditatapnya kembali mata Gerald, menantang.
"Ya," sahutnya. "Aku telah meracunimu. Racun itu sekarang sedang bekerja. Saat ini juga tak dapat lagi kau bergerak dari kursimu ... kau tak dapat bergerak ...."
Kalau saja ia mampu menahan laki-laki itu untuk tinggal tetap di kursinya hanya beberapa menit lagi ....
Tiba-tiba terdengar langkah kaki dan derit pagar. Lalu suara pintu luar dibuka.
"Kau tak dapat bergerak," ulangnya lagi.
Kemudian Dick menoleh ke seseorang yang berseragam polisi yang datang bersamanya.
"Cobalah lihat apa yang telah terjadi di ruang itu."
Dibaringkannya Alix di atas sofa, lalu Dick membungkuk di atas.
"Sayangku," gumamnya. "Sayangku yang malang. Apa yang telah terjadi padamu?"
Kelopak mata Alix bergerak-gerak dan bibirnya haya menggumamkan namanya.
Dick sadar waktu sang polisi menggamit lengannya.
"Tak ada apa-apa di sana, Pak. Hanya seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi. Tampaknya ia seperti baru mengalami ketakutan yang hebat, dan ...."
"Ya?"
"Ia ... sudah mati." (Agatha Christie)
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124198/tewas-sebelum-beraksi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890694000) } } [8]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124194" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/ulah-seorang-buronanjpg-20220203121708.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Malcolm Brown" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9389) ["email"]=> string(20) "intiplus-32@mail.com" } } ["description"]=> string(146) "Pelaku yang merupakan keturunan suku Aborigin sempat melarikan diri 40 hari di alam yang ganas. Para pencari, mengakui daya tahannya selama buron." ["section"]=> object(stdClass)#116 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/ulah-seorang-buronanjpg-20220203121708.jpg" ["title"]=> string(20) "Ulah Seorang Buronan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:17:17" ["content"]=> string(35060) "
Intisari Plus - Akhir tahun 1968, suasana peternakan Elsey Station, mulai diliputi ketegangan. Masa itu kawasan Northern Territory terasa seperti neraka. Panasnya menyengat, lembapnya melekat. Udara pengap membuat semua makhluk termasuk semut kegerahan.
Tapi justru ini masa-masa seru, perlombaan antara kecepatan manusia dan cuaca. Para peternak mesti adu cepat mengumpulkan hewan mereka sebelum cuaca menjadi terlalu panas.
Sore 20 September itu, Amy Dirngayg, Jessie Garalnganyag dan Marjorie Biyang, sedang terburu-buru. Ketiga gadis Aborigin ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di peternakan. Bel pertama sudah dibuyikan dari homestead (kemah utama).
Pertanda mereka harus segera keluar dari kamp para Aborigin menuju homestead untuk menyiapkan makan malam bagi sang manajer, Peter McCracken, istrinya Mary, dan para karyawan kulit putih lainnya.
Hanya salu pengalang
Amy Dirngayg, kepala dapur homestead yang dijuluki "Cookie", melihat Marjorie (18), anak buahnya termenung kurang konsentrasi. Seperti ada yang mengusik hatinya, sampai harus diingatkan untuk menutup meja. Padahal biasanya itu sudah tugas rutin yang lancar ia tuntaskan.
Seperti biasa, makan malam ditutup dengan minum teh. Para pelayan merapikan meja kembali, mencuci cangkir dan menggantungnya, lalu membersihkan bangku serta meja makan.
Setelah semua selesai, Marjorie mendadak bilang tak mau ikut pulang ke kamp para pembantu. Amy dan Jessie jadi heran. Memangnya ada apa? "Saya ogah ah balik ke sana. Saya mau tidur di dapur saja," kata Marjorie.
"Eh, eh, apa-apaan? Mana bisa? Kamu harus ikut kami, tidur bersama keluargamu di kamp. Di sini kamu sendirian. Jangan, jangan tinggal di sini." Tapi karena Marjorie bersikukuh, kedua rekannya terpaksa pergi meninggalkannya sendirian di sana.
Marjorie memang sedang gundah. Tapi bukan karena kesal, melainkan karena panah asmara yang agaknya menghunjam dalam. Kedua rekannya tak tahu, malam itu ia sedang gelisah menantikan kedatangan sang "Arjuna".
Sekitar pukul 20.30, ia berangkat ke pulau kenikmatan, bergelut dalam mimpi indah bersama David Jackson (21), stockman (perawat ternak) berkulit putih. Sepertinya sampai saat itu mereka dapat menyimpan rahasia rapat-rapat, meski telah berbulan-bulan mereka menjalin cinta. Hanya satu hal yang membuat dua insan ini agak waswas. Marjorie sudah bersuami.
Ditemukan di gudang
Jackson dua kali terjaga karena mendengar bunyi gemeresik di luar. Ia juga melihat cahaya obor, lalu bayangan berkelebat dalam kegelapan. Tapi bayangan itu raib ketika dikejar.
"Ada apa, sayang?" desah. Marjorie setengah mengantuk.
"Ah, tidak. Pencuri barangkali," sahut Jackson kembali merebahkan diri di samping Marjorie. Namun, waswasnya belum hilang. Dalam gelapnya malam dan beratnya rasa kantuk, pasangan yang sedang mabuk cinta ini tak menyadari bahaya besar sedang mengancam.
Sekitar pukul 03.00, mereka diserang habis-habisan dengan tomahawk (kapak) oleh seseorang tak dikenal. Kepala, leher, dan. tubuh Biyang babak belur dihantam dan dibacok. Sedangkan Jackson di kepala. dan dadanya.
Bisa dibayangkan keributan yang timbul. Jeritan korban yang memilukan menyentakkan Peter McCracken sang manajer. Tanpa ba-bi-bu ia terbirit-birit menuju sumber keributan.
Pemandangan yang dilihatnya sungguh mengenaskan. Jackson tersandar di tembok dengan wajah dan dada berlumuran. darah. Sayang, dalam keadaan setengah sadar, ia tidak mengenali penyerangnya.
Dari jejak-jejak berdarah yang masih segar, McCracken mencoba menelusuri. Ternyata jejak itu menuju gudang pelana. Di sana ia malah menemukan tubuh Biyang tergeletak tak bergerak. Meski masih 3 jam lagi fajar baru akan merekah, ia hampir yakin siapa pelaku penganiayaan sadis ini.
Pada genangan darah di lantai kamar itu terpampang jelas jejak-jejak kaki telanjang. McCracken langsung mengenalinya. Itu jejak "Larry Boy" Janba, suami Marjorie Biyang, yang juga orang Aborigin. Rupanya beginilah cara Janba menyudahi perselingkuhan istrinya.
Permainan sejak dulu
Elsey Station, 400 km sebelah selatan Darwin merupakan salah satu peternakan paling beken di Northern Territory. Homestead pertama dulu dibangun di kawasan tempat tinggal suku Yangman di Warloch Points.
Kemudian mulai dibangun peternakan ini yang stok ternaknya terus bertambah antara tahun 1877 - 1882. Sekitar peralihan abad ini, untuk mengatasi masalah air, Elsey dipindahkan ke lokasi yang sekarang di S. Roper, di kawasan yang mulanya milik suku Mangarryi.
Sudah tentu pemilik tanah tidak rela tanah mereka diduduki begitu saja. Tak mengherankan kalau sejarah awal kawasan pemukiman di tanah orang Mangarryi dan Yangman ini penuh diwarnai kebrutalan.
Yang sering jadi sumber masalah sebenamya dorongan klasik yang telah menandai kodrat manusia. Seks. Dari dulu para karyawan peternakan, yang disebut stockman seperti David Jackson itu, doyan gadis-gadis Aborigin. Mereka gemar menculik anak-anak gadis ini.
Namun di sisi lain, bagi pribumi Australia industri peternakan yang tidak berlangsung sepanjang tahun dan dilaksanakan di udara terbuka, membuka banyak peluang bagi mereka untuk tinggal di tanah leluhur.
Misalnya dengan ikut bekerja di peternakan. Upacara-upacara keagamaan pun masih dapat mereka selenggarakan di musim penghujan, saat mereka tidak bekerja.
Seperti yang dikatakan seorang sejarawan tentang Elsey, "Selama penduduk asli Aborigin dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan irama hidup industri peternakan, mereka dapat tetap bergaul dan mendiami tanah leluhur entah lewat pekerjaan atau di luar pekerjaan."
Namun sampai tahun 1960- an, kehidupan di Elsey jauh dari gampang, baik bagi peternak pria maupun wanita berkulit putih yang mencari nafkah di sana, atau bagi para pekerja peternakan yang orang-orang Aborigin itu beserta keluarga mereka.
Elsey Station agak berbeda dibandingkan dengan peternakan lain: manajernya orang kulit putih, begitu pun beberapa karyawan peternakannya, lalu ada kamp khusus untuk kaum Aborigin, yang letaknya terpisah dari homestead. Bisa 80-100 orang pria, wanita, dan anak-anak tinggal di sana.
Biasanya pada masa puncak kesibukan mengumpulkan ternak, orang Aborigin yang bekerja di Elsey bisa mencapai 30 orang pria. Tapi September 1968 itu kebetulan cuma sebanyak dua kemah kecil plus ketiga pembantu rumah tangga homestead tadi.
Urusan berlumuran darah yang mengharu-biru ini berada di bawah wewenang Polisi Konstabel Roy "Bluey" Harvey yang masih muda belia. Baru 32 tahun. Rambut merah serta kulitnya amat bule makin mengesankan dengan tubuh jangkungnya yang 188 cm itu.
Pos Harvey di Mataranka, "cuma" 30 km dari homestead Elsey. Padahal daerah patroli yang berada di bawah pengawasannya tak tanggung-tanggung: 7.800 km2. Harvey boleh dikata polisi lapangan tulen. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di padang rumput, termasuk 11 tahun di pos-pos polisi terpencil di Northern Territory.
Melacak dan memburu buronan juga bukan barang baru baginya. la pemah harus menelusuri jejak seorang pembunuh yang minggat melewati padang pasir sebelah barat Papunya di Centre. Dengan keluwesannya berbaur dalam masyarakat Aborigin, ia mungkin membayangkan tidak akan menghadapi banyak masalah, ketika malam itu mendapat panggilan untuk memburu Larry Boy.
Namun posisinya dibandingkan dengan Larry Boy terungkap jelas dengan keterangannya sekitar 15 tahun kemudian kepada seorang wartawan, "Saat saya sedang tidur nyenyak, Larry Boy telah menata perjalanannya hari itu dengan rapi."
Seperti telapak tangan sendiri
Sebetulnya Larry Boy Janba pernah bekerja di Elsey sebagai penabuh bel. Cukup lama, sampai 7 tahun. Tapi entah kenapa tahun 1965 ia dipecat McCracken. Setelah itu ia tinggal bersama ibunya di Mataranka Station, tak jauh dari situ.
Namun setelah menikah dengan Marjorie, tempat tinggalnya jadi tak menentu, pokoknya di padang sekitar homestead Elsey. Menurut Jessie Garalnganjag, masa itu Larry Boy lebih suka menyendiri.
"Dia tidak pemah ngobrol-ngobrol bersama kami. Kerjanya cuma berburu. Kalau hasilnya banyak, ia bagi-bagikan kepada kami, termasuk istri dan kakak iparnya. Sebagai balasannya kami memberinya tembakau. Malam itu (malam terjadinya pembunuhan), kami yakin ia baru bertengkar dengan Marjorie, karena tak sekali pun muncul, bahkan untuk main kartu."
Setelah peristiwa serangan berdarah itu, rupanya Larry Boy lari menembus padang ilalang di arah utara Elsey. Dipilihnya kawasan rawa-rawa, yang disebut Jungle. Bagi orang luar, jelas ini bukan daerah yang membesarkan hati: 11 km jauhnya dari kompleks Elsey, seluas 100 km2.
Gigitan nyamuknya ganas, ular gemeresik berseliweran, buaya mengintai bagai batang kayu, belum lagi ancaman babi liar. Sungguh mimpi buruk bagi siapa saja yang harus memburu Larry Boy ke sana.
Sebaliknya Larry Boy dibesarkan di sana. Sebagai cucu "Goggle-Eye" dan putra Yiworrorndo, keduanya tokoh terkenal dalam sejarah kawasan itu, ia sudah terbekali pengalaman cukup.
Orang-orang Eropa menyebut ayahnya Jungle Dick sekitar tahun 1940-an. "Ia mengenal daerah itu seperti telapak tangannya sendiri," ujar Joe McDonald, kakak Marjorie yang ikut melacak saudara iparnya bersama rombongan Harvey.
Di hari-hari awal perburuan, Harvey ditemani Bob Jackson, detektif dari Darwin dan Sersan Pat Slater, ahli forensik, polisi dari Larrimah, Katherine dan Maranboy, disertai 5 orang Aborigin ahli pencari jejak.
Tiga minggu kemudian, rombongan pencari sudah mengembang jadi 5 polisi, 22 orang sipil, dilengkapi dengan 5 jip, satu sepeda motor, 40 ekor kuda, 1 perahu polisi, 1 helikopter yang bahan bakarnya dipasok oleh sebuah pesawat DC3!
Polisi juga meminta bantuan orang-orang yang punya pengetahuan khusus tentang daerah itu, seperti Clancy Roberts, kakak laki-laki tertua Jessie Garalnganjag.
Sudah sejak awal, semua orang tahu bakal sulit memburu Larry Boy. Apalagi ia diperkirakan membawa senjata senapan kaliber .22 plus beberapa senjata lain. Jejaknya juga tidak kunjung ditemukan. Semangat para pelacak tak semakin naik ketika ada yang menduga-duga, Larry Boy bisa mengarungi jarak sampai sejauh 60 km sehari! Lalu ada yang mengaku pernah melihatnya di dekat Katherine, di sebelah utara.
Agar lebih efisien, dikerahkan empat regu pencari, ada yang berpatroli di padang ilalang sampai sejauh 200 km dari homestead Elsey. Akhirnya, baru setelah hari ke10, mereka menemukan jejak tersangka berikut sisa-sisa makanannya berupa ikan dan wallaby (sebangsa kanguru). Karena itu bidang perburuan lalu dibatasi hanya di sekitar Jungle saja. Semua orang makin bersemangat.
Susahnya, meski mereka mencari sampai 12 jam sehari, hasilnya tetap nihil. Malah para pelacaklah yang mulai bertumbangan akibat kecapekan dan sakit. Medan yang amat sulit juga membuat banyak sepatu bot rusak. McCracken terserang influenza, tujuh orang Aborigin sakit karena terinfeksi virus.
Dua orang wartawan langsung ambruk setelah beberapa hari meliput perburuan itu. Bluey Harvey pun akhirnya terserang radang paru-paru. Belakangan ia menulis, "Penyakit terus mengintai, sementara makanan tidak terjamin. Karena jarang beristirahat untuk makan siang sering kali kami cuma makan sekali pada malam hari.”
“Ada kalanya ketika kami sedang berkeringat habis-habisan, hujan lebat turun. Dengan cuaca semacam itu bagaimana stamina kami tak luntur? Kami hanya bisa berharap, Larry Boy pun menderita seperti kami."
Menyewa helikopter
Sejak awal, perburuan dipimpin oleh Harvey dan Bennet, seorang pencari jejak, asli Aborigin. Perburuan yang terus terang saja bikin frustrasi: berputar-putar di rawa-rawa yang seakan tak berujung. Beberapa kali jejak Larry sepertinya membawa mereka ke Barat, ke arah Mataranka, tempat ibu dan saudara-saudara perempuan si buronan.
Namun setiap kali pula akhirnya mereka sadar, jejak-jejak itu tipuan belaka. Larry Boy ternyata sengaja membuat jejak-jejak palsu dengan cara berjalan mundur! Tragisnya, baru setelah tiga minggu mereka menyadari permainan Larry.
Rupanya Larry membungkus kakinya dengan kulit wallaby sehingga jejaknya yang sejati tersamar.
Setiap sore jejak-jejak di sekitar tempat mereka camping diperhatikan usianya, sehingga bila Larry malam-malam menyatroni kamp mereka, paginya cepat ketahuan. Setiap hari polisi berpatroli di seputar pertemuan antarlintasan jejak, siapa tahu ada jejak yang mereka cari.
Namun betapa pun tekunnya, yang mereka dapat cuma sebatas remah-remah sisa daging wallaby, flying fox (sejenis kelelawar) dan potongan cabbage palm (sejenis palem yang bisa dimakan). Si oknum sendiri tak kunjung nampak batang hidungnya.
Seperti belum cukup, kerepotan yang dihadapi tim Harvey makin diruwetkan birokrasi. Pada tanggal 10 Oktober, setelah 19 hari perburuan berjalan, markas besar polisi di Darwin tahu-tahu mengumumkan: menarik kembali semua petugas kecuali Harvey, termasuk helikopter.
Akibatnya, setiap hari Harvey harus berjuang, berdebat lewat telepon dengan atasannya di Darwin. Ia ngotot tetap minta disediakan kuda sewaan dan persediaan makanan.
Malah ia sampai melayangkan protes ke Canberra. Dari pusat pemerintahan Australia itu, protes tersebut cuma menghasilkan jaminan dari Menteri Dalam Negeri Peter Nixon bahwa Elsey Homestead akan tetap dilindungi.
Lalu Koran Darwin Northern Territory News memprotes lagi dengan memberikan dukungan penuh pada usaha berbagai station untuk terus melanjutkan perburuan, yang waktu itu sudah masuk minggu keempat.
Hasilnya, diutuslah seorang bernama Barry Frew, ke Elsey. Saking frustrasinya, pada hari ke-23 McCracken nekat menyewa helikopter selama 2 hari atas biaya sendiri.
Malah diintai Larry
Sementara itu, masyarakat Elsey jauh dari tenteram. Mereka didera perasaan was-was kalau-kalau Larry menyerbu kediaman mereka lagi untuk merampok makanan.
Jessie Garalnganjag masih ingat, gadis-gadis pembantu rumah tangga di homestead setiap malam harus dikawal polisi saat pulang ke kamp satu per satu.
Semua orang yakin, Larry Boy masih gentayangan di sana. Malah terkadang sepertinya justru ia yang membuntuti para pemburu!
Janba sungguh anak alam yang menguasai medan. Berkali-kali dengan gampang ia menghindar dari jebakan yang dipasang para pemburunya. Singkat kata, ia selalu selangkah di muka atau... bisa juga di belakang mereka.
Joe McDonald masih ingat bagaimana berulang-ulang mereka nyaris menangkapnya, tetapi bagaimana mungkin, karena Larry dengan leluasa dapat mengamati para pemburunya dari jarak dekat.
"Pernah ia mengamati kami dari bawah pohon palem yang sudah mati... waktu itu kami berhenti di dekat sana untuk makan malam... sambil membicarakan dia, lalu kami berangkat lagi meneruskan pencarian. Begitu kami pergi, ternyata Larry memunguti puntung-puntung rokok kami yang berserakan di tanah!"
Suatu ketika, Harvey menemukan sekotak tembakau dan kertas rokok di tepi sebuah jalan setapak di Jungle, juga jejak-jejak Larry Boy yang usianya baru 20 menit, menimpa jejak-jejak rombongan pelacak! Harvey lalu menyimpulkan, salah satu anak buah Aboriginnya yang membantu Larry.
la perintahkan orang yang dicurigai untuk pindah tugas, dari berkuda menjadi patroli jalan kaki. Namun itu juga tidak mengubah keadaan.
Pada hari ke-30, salah satu regu pencari menemukan pembungkus makanan di pertemuan kali kecil Salt Creek dan Sungai Roper. Jaraknya hanya 5 km dari kemah kediaman ibu Larry Boy, sedangkan pembungkus itu cocok dengan pembungkus makanan yang dibeli ibu Larry dua hari sebelumnya.
Namun orang-orang Aborigin tetap membantah keras dugaan bahwa Larry Boy menerima bantuan semacam itu, termasuk dari ibunya.
"Larry sanggup hidup mandiri di alam bebas," tegas mereka, barangkali disertai sedikit rasa kagum. Apalagi sudah terbukti beberapa kali ia menyerbu perkemahan peternak untuk mencuri makanan.
Jimmy Conway masih ingat, ketika ia sedang berada di salah satu perkemahan peternak sebelah timur Elsey Station. Suatu pagi koki menemukan sejumlah besar stok makanan raib. Juga ditemukan jejak Larry Boy meninggalkan kamp.
"Ia biasanya menunggu sampai larut malam, lalu menyelinap mencuri makanan," ujar Conway. Jadi siapa membuntuti siapa?
Penuturan Joe McDonald pun senada, "Memang, kami tahu ia suka menyerbu dapur perkemahan untuk mencuri makanan. Menurut saya, tak ada yang membantunya. Ibunya tinggal di Mataranka dan selalu diawasi polisi. Larry Boy memang sanggup memenuhi sendiri kebutuhan perutnya."
Petunjuknya sebuah ember
Entah dibantu penduduk setempat atau tidak, nyatanya memasuki minggu kelima, para pelacak belum juga semakin dekat dengan buruan mereka.
Sampai-sampai ada pejabat polisi senior dari Darwin memerlukan datang untuk memberikan instruksi kepada Harvey, "Teruskan usahamu, coba menjalin kontak dengan Janba dan katakan ia tidak akan dicederai bila menyerahkan diri."
Pesan yang sama juga ia umumkan ke media massa. Karuan saja Harvey yang boleh dikata sudah ngos-ngosan berusaha itu uring-uringan. "Memangnya apa yang kami kerjakan selama 33 hari ini?" ujarnya mengomel.
Menanggapi nasihat si pejabat, anak buah Harvey dengan sinis bercanda mengusulkan bagaimana kalau mereka menyebarkan selebaran berisi pesan dari pejabat polisi tadi dan McCracken yang mengongkosi sewa helikopternya!
Kesinisan Harvey belum berkurang, ketika 6 hari kemudian pada tanggal 30 Oktober, datang pemberitahuan dari Darwin. Isinya, setelah bertugas selama 39 hari tanpa hasil, ia dibebastugaskan. la diperintahkan untuk kembali ke homestead untuk "serah terima perlengkapan".
"Apanya yang akan diserahterimakan?" pikir Harvey, karena perlengkapan dari atasannya amat terbatas.
Terbukti, dalam acara serah terima malamnya, yang diserahkari cuma beberapa botol air minum kosong dan dua buah senapan tua kaliber .303. Kemudian ia pulang ke Mataranka, dengan perasaan penasaran bercampur lega.
Namun esok paginya, pukul 05.30, McCracken tahu-tahu mengagetkan dia dari tidur nyenyaknya di kantor polisi Mataranka.
"Larry Boy semalam menyerbu Elsey Station lagi. Ia mencuri roti, daging, dan sepatu tenis. Kuda-kuda sudah siap, kalau kau mau ikut!" katanya nerocos di pagi-pagi buta itu. Rupanya McCracken sudah telanjur cocok dengan Harvey, meski yang disebut belakangan ini sudah tak bertugas.
Di homestead, pengganti Harvey telah mengorganisasikan patroli di seputar tempat itu. Namun Harvey dan Bennet meneiusuri jejak-jejak langka yang tampaknya berasal dari sekolah di Elsey menuju Mataranka.
Mata jeli Bennet melihat dedaunan di tanah dari tanaman yang tumbuhnya cuma di Jungle. Itu artinya, Larry Boy telah menyapu jejaknya dengan dedaunan.
Ketika mereka sedang asyik-asyiknya melacak, pasang mata, dan toleh kiri-kanan, mencoba tidak kehilangan tanda apa pun yang mungkin ditinggalkan Larry Boy, sebuah mobil menepi.
Pengendaranya ternyata salah seorang guru di sekolah Elsey. Setelah basa-basi sedikit, ia bilang, "Cuma sedikit info kecil, barangkali ada gunanya untuk kalian. Kami di sekolah kehilangan sebuah ember!" Wuah, telinga Harvey langsung berdiri.
"Ini dia," pikirnya tanpa sadar sambil menggosok-sosokkan kedua telapak tangannya. "Barangkali ini kesalahan serius pertama yang dibuat Larry. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya kesandung juga."
Bila Larry sampai mencuri sebuah ember, berarti ia tidak sedang menuju Mataranka, atau daerah kanal Jungle, karena di sana air berlimpah.
Ia pasti sedang menuju suatu daerah kering: kawasan gua-gua kapur di sebelah utara Jungle. Padahal rombongan pencari telah berulang-ulang menyisir daerah itu dalam kurun waktu 40 hari ini tanpa hasil.
Setelah melewati medan berat, tibalah mereka di kawasan kapur itu. Persis di tengah-tengah sepotong jalan yang baru saja diratakan, tampak jelas jejak kaki Larry Boy. Di sisi lain dari jalan itu, tergeletak sepotong dahan kecil dari sejenis pohon khas daerah Jungle.
Rupanya Larry Boy menyeberangi bagian jalan ini, lalu mendadak berbalik lagi ke arah dari mana tadi ia datang, yaitu ke Utara. Jejak sih memang tak ada, tapi ia meninggalkan banyak sekali dedaunan, yang bagi Harvey dan Bennet sama saja ampuhnya dengan jejak.
Rontokan dedaunan itu membawa mereka ke mulut sebuah gua. Padahal mereka ingat benar, gua ini sudah pernah mereka periksa. Namun mata jeli Bennet menyapu setiap sudut mulut gua itu.
Sungguh, tak ada yang terlewatkan dari pandangannya. Ia melihat sarang laba-laba yang tadinya menutupi mulut gua itu telah disingkapkan di satu sisi.
Bennet berbisik, "Kena dia, Bluey!"
Saling mengobori
Baru sekarang Harvey sadar, revolvernya tertinggal di pagar halaman ketika tadi pagi akan melompat ke atas punggung kudanya. Tanpa pikir panjang, ia pinjam senapan kaliber .22 milik Bennet, lalu merangkak masuk. Tak usah diragukan lagi, hatinya berdebar-debar juga.
"Setelah sekian lama,... akhirnya!" gumamnya sendiri, sambil terus maju. Tubuh jangkungnya membuat ia tak terlalu leluasa merangkak. Di depan percabangan, ia melihat sebuah ember di salah satu cabangnya.
Sepertinya ia semakin dekat, tapi udara pengap membuatnya hampir tercekik. Ia putuskan keluar dulu, untuk menghirup sedikit oksigen. Di luar, ia menyuruh Bennet menjemput beberapa pelacak yang lain. Di saat-saat menentukan ini, setidaknya lebih banyak bantuan lebih baik.
Kira-kira sejam kemudian, mulut gua yang biasa sepi dan jadi singgasana yang aman tenteram bagi si laba-laba itu kedatangan "tamu" cukup banyak. Di depannya berdiri orang-orang dengan wajah tegang, penasaran sekaligus penuh semangat. Bayangkan, setelah sekian lama, inilah saat yang dinanti-nantikan.
Akhirnya, Joe McDonald nekat. Tuturnya belakangan, "Semua hadir di sana. Kami tak dapat melihat dia, tapi dia yang ada di dalam kegelapan gua pasti dapat melihat kami di luar. Di antara kami ada yang berusaha melemparkan bom asap untuk memaksanya keluar.”
“Tapi saya putuskan, biar saya saja yang menjemput dia. Saya coba merangkak masuk, tapi tak sanggup. Di dalam terlampau gelap. Salah seorang polisi, Bluey Harvey, memberikan obor kepada saya. Saya merangkak masuk lagi dengan satu tangan mengacungkan obor.”
“Setelah merangkak beberapa lama, obor saya itu tiba tepat di depan sebuah wajah. Larry Boy! la mengobori wajah saya dengan obornya sendiri. Secara refleks kepala saya tundukkan untuk menghindar. Dia bertanya, 'Kau, Wampu Kelly?' yang saya jawab, 'Yeah, me Wampu Kelly.' Padahal sebenarnya Wampu Kelly itu rekan saya, orang Aborigin juga, tapi tubuhnya terlalu besar untuk masuk ke gua itu."
"Saya bilang, 'Ayolah, keluar. Kamu ditunggu keluargamu. Jangan takut. Tak ada yang akan menangkapmu.' la mengikuti saya merangkak mundur ke luar, dengan posisi: saya lebih dulu tapi dengan wajah menghadap bagian belakang tubuhnya.”
“Namun entah kenapa, apakah karena dia menyadari saya bukan Wampu Kelly, tiba-tiba ia mulai berusaha menyerang saya dengan senapannya. Bahkan ia mencoba menembak saya. Untung ia tak dapat berbalik.”
“Kalau dapat, pasti saya telah menjadi mangsa senapannya waktu itu juga. Akhirnya, ia berhasil saya bawa ke luar. Tangannya saya pegangi erat-erat sampai tiba di mulut gua."
Bugil
“Begitu keluar dan melihat ada begitu banyak orang, ia bertanya kepada seorang polisi, apakah boleh masuk lagi ke gua dengan dalih mengambil beberapa perlengkapan.”
“Saya berkata, 'Kalau dibiarkan masuk kembali, kalian tidak akan melihatnya keluar lagi.' Maka saya suruh Roger Gibbs. dan Wilson McDonald, keduanya pemuda dengan tubuh yang masih kecil-kecil, untuk masuk ke gua mengambil barang-barang Larry Boy."
Kedua pemuda itu membawa ke luar senapan kaliber .22, amunisi tomahawk, tembakau, rokok, dan bekal makanan. Saat itu Larry Boy dalam keadaan bugil. Naga (cawat)-nya ia manfaatkan untuk kantung.
Harvey membawanya kembali ke Elsey homestead, tapi sayang tak berhasil menemukan pakaian Larry Boy yang berlumuran darah. Mungkin saja barang bukti penting itu telah dibenamkan Larry di rawa-rawa.
Kemudian pesakitan itu diangkut ke Mataranka dan diajukan ke depan meja hijau di sana atas tuduhan membunuh. Butuh waktu 40 hari untuk menangkapnya, sejak pembunuhan itu terjadi.
Dalam sidang pengadilan Mahkamah Agung Februari 1969, juri ternyata tidak melihat bahwa Larry bersalah telah melakukan pembunuhan, namun ia terbukti telah melakukan penganiayaan terhadap Marjorie Biyang dan mencederai Jackson.
Juri sepakat, kemarahannya tersulut hebat sampai ia kehilangan kendali diri. Ia diganjar 8 tahun penjara untuk penganiayaan dan 5 tahun untuk tuduhan pencederaan. Larry Boy langsung dikirim ke Penjara Fannie Bay di Darwin.
Mati di penjara
Rupanya itu saat terakhir ia melihat dunia bebas. Larry Boy tak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah padang ilalang dan rawa-rawa yang ia cintai, karena pada tanggal 11 Juni 1972, cuma dua bulan menjelang saatnya ia dibebaskan bersyarat, Larry meninggal di penjara.
Ganasnya alam bebas Australia dapat ia taklukkan, tapi penyakit di penjara tak kuasa ia lawan. Belakangan hasil autopsi menyimpulkan penyakit yang membuatnya terkapar selama berbulan-bulan itu disebut melioidosis, umum disebut Nightcliff Gardener's Disease.
Pada waktu itu orang beranggapan, penyakit yang disebabkan oleh organisme yang hidup di tanah itu diperolehnya saat ia jadi buronan polisi. Namun ilmu kedokteran kini malah berkesimpulan, penyakit itu pasti didapatnya di dalam penjara.
Pengejaran terhadap Larry Boy terjadi di masa padang-padang perawan di Northern Territory sedikit demi sedikit mulai ditundukkan oleh transportasi modern, namun masih menyisakan banyak kekerasan hidup yang asli kawasan tersebut.
Buktinya, David Jackson, stockman yang jadi gara-gara segala kerepotan ini dengan santainya berkomentar dari atas ranjang rumah sakitnya, "Apa sih yang diributkan? Peristiwa begini 'kan lumrah?"
Menurut wartawan Jim Bowditch, yang datang meliput ke Elsey, para ringer kulit putih yang ikut melacak Larry Boy kesal mengapa Larry Boy mesti marah hanya gara-gara istrinya tidur dengan seorang stockman kulit putih. Namun Bluey Harvey punya pandangan lain tentang buronan yang membuatnya jatuh-bangun itu.
"Larry Boy cakap, terampil, dan lihai sekali bisa bertahan dalam pelarian demikian lama." Bahkan ketika ditanyai sesudah tertangkap, Larry Boy mengungkapkan, bagaimana selama pengejaran itu ia berulang-ulang dalam posisi yang demikian dekat dengan para pemburunya sehingga praktis dapat menyentuh mereka, kalau mau.
Berdasarkan pengalaman kerjanya selama 20 tahun sebagai polisi lapangan di padang-padang Australia. Bluey Harvey memang punya alasan kuat untuk mendecakkan kekaguman juga terhadap kecakapan para Aborigin pencari jejak.
Malah ketika mengenang kembali kasus Larry Boy, Harvey berucap, "Sungguh, hari itu saya hampir saja angkat tangan!" Justru kelihaian Bennet dalam membaca jejak dan keberanian Joe McDonald-Ian, keduanya asli Aborigin, yang menyempurnakan keuletan Harvey. Aparat kepolisian patut berterima kasih kepada mereka. (Malcolm Brown)
" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124194/ulah-seorang-buronan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890637000) } } }