Intisari Plus - Di Desa Beji Lor yang terpencil terjadi beberapa kali kasus pembunuhan. Di saat bersamaan, proyek penggantian jembatan sedang berjalan. Apa ada hubungannya?
-------------------
Menjadi pengawas lapangan pelaksanaan proyek penggantian jembatan bukan hal luar biasa bagiku. Semasa kuliah aku sudah magang di proyek serupa. Tapi tinggal di lokasi proyek yang terpencil benar-benar menjengkelkan.
Proyek kami di Desa Beji Lor jalur Boyolali - Solo, Jawa Tengah. Dua kilometer ke kiri dan kanan lokasi tak ada satu pun rumah. Satu-satunya bangunan "mirip" rumah adalah Direksi Kit kami, tempat ngantor pelaksana dan pengawas proyek. Sisanya, cuma pohon pinus dan entah pohon apa lagi.
Jalur itu amat sepi, terkadang saja penduduk lewat. Siapa dan kapan lewat, kami hafal. Bidan muda lewat pukul 08.15, naik sepeda biru sambil sesekali menarik rok putihnya yang kerap tersingkap karena gerakan kaki.
Disusul dua puluh menit kemudian oleh Pak Sodik, penjual kerupuk, yang berjaket ungu membawa kerupuk warna-warni dibungkus plastik setinggi 1 m di jok belakang sepeda motor merahnya. Dari jauh ia seperti permen.
Pukul 10.20 tepat, lewat mobil putih yang dikemudikan laki-laki berbaju putih. Lucunya, kepala laki-laki itu nyaris kotak seperti magic jar.
Di hari Sabtu, dari pagi sampai sore, banyak kendaraan mengangkut anak muda dengan backpack besar menuju Selo, tempat singgah terakhir bagi yang akan mendaki Gunung Merapi atau Merbabu. Biasanya mereka lewat sambil bernyanyi atau berteriak-teriak dengan wajah ceria. Tapi, di Senin pagi mereka akan kembali dengan wajah kusut masai, kelelahan.
Selama pelaksanaan proyek kami tinggal di mes kantor. Memang bukan mes sebenarnya, tapi cuma dua kamar sewaan dari Serka Joko, Kepala Pos Polisi daerah Selo. Aku tinggal dengan Bayu Klakson (karena suka memencet klakson saat mengemudi) dan Anton Bubur (karena suka makan bubur). Dalam struktur organisasi mereka anak buahku, tapi kami lebih merasa sebagai teman.
Daerah Selo seperti pusat kegiatan dari daerah atau desa sekitarnya, meski tak kalah sepi dibandingkan dengan yang lainnya. Cuma ada tiga toko kelontong, enam los pasar, tiga warung makan - salah satunya merangkap tempat cukur, dan satu pos polisi.
Tempat itu melingkari tanah lapang yang jadi terminal dan tempat parkir. Rumah-rumah tinggal sangat berjauhan. Untungnya, telepon sudah masuk, sehingga kami tak merasa terasing.
Dipukul benda tumpul
Ketukan keras di pintu kamar membangunkanku. Masih pukul 01.00. Ketukan susulan membuatku segera bangkit untuk membuka pintu. Tampak wajah Bayu Klakson agak ketakutan. Kulihat matanya melirik pelan ke samping. Tampak Serka Joko berdiri agak jauh dari pintu kamar berpakaian dinas lengkap dengan pistol, sambil tangannya memegang jaket.
"Ada apa, Pak?"
"Kami mau pinjam mobil proyek, Pak Insinyur. Ada pembunuhan di Dusun Damar. Anak buah sudah saya perintahkan ke TKP. Mungkin kami akan butuh mobil untuk mengangkut jenazah ke Boyolali."
Segera kuambil kunci mobil, tiba-tiba terlintas pikiran lain.
"Boleh kami ikut, Pak?"
"Tentu!"
Dalam perjalanan ke TKP aku baru tahu, Pak Joko menerima laporan pembunuhan dari pembantu rumah korban. Mulanya pembantu itu diikat, entah bagaimana ia bisa lepas dan lari sejauh 5 km menuju pos polisi Selo.
Kami masuk ke halaman rumah yang cukup besar. Di Dusun Damar banyak terdapat vila atau rumah peristirahatan orang-orang kaya dari Salatiga dan Semarang.
Korban, lelaki tua, tampaknya dianiaya sebelum dibunuh. Ada darah di bagian kepala dan dada. Di dada tampak warna cokelat tua berbentuk bulat. Ternyata gagang pisau, yang menancap demikian kuat hingga jarak pantat gagang dan tubuh korban tinggal 0,5 cm.
"Perampokan," Pak Joko bergumam.
"Kata pembantu, TV, VCD player, tape, hilang, Pak," lapor Sertu Santoso, salah satu anak buah Pak Joko.
"Apa lagi katanya?"
"Perampok masuk dengan mendobrak pintu belakang. Saat bangun dan mencari arah suara, ia langsung disekap. Para perampok menuju kamar utama, mendobrak pintu kamar, menganiaya, membunuh, mengambil barang-barang, dan kabur."
Kulihat bagian kunci pintu-pintu itu rusak, malah satu engsel pintu kamar jebol.
“Bagaimana alibi si pembantu?" lanjut Pak Joko.
"Perempuan 60 tahun akan sulit mendobrak pintu, Pak."
"Siapa tahu ia punya teman."
"la mengaku baru tiga minggu kerja di sini."
"Korban punya keluarga?"
"Ada, Pak. Di Semarang."
"Hubungi dan cek keterangan si Pembantu pada keluarga." Sertu Santoso segera kembali ke kantor.
Di ruangan tinggal Pak Joko, Bayu, Anton, dan aku. Anak buah Pak Joko menyisir lokasi TKP untuk mencari bukti yang tertinggal.
Lalu Pak Joko ke ruang makan tempat pembantu ditempatkan. Bayu, Anton, dan aku mengelilingi mayat itu.
"Apa yang kaupikirkan, Ton?" tanyaku.
"Kasar, brutal, dan cepat sekali."
Lokasi rumah yang jauh dari tetangga, memungkinkan orang berbuat apa saja tanpa diketahui.
"Menurutmu luka di kepalanya karena apa, Mas?"
Kudekatkan wajah ke pelipis kiri mayat sampai hanya berjarak 3 cm. Tampak retakan tak beraturan di tengkoraknya. Kuduga, ia dipukul dengan benda tumpul berbentuk silinder.
"Apakah palu, Mas?"
"Bisa palu, anak timbangan, atau batu berbentuk khusus."
Bayu pun mendekat ke kepala mayat itu.
"Tapi melihat dalamnya luka, setidaknya ia dipukul dengan keras sekali. Untuk mendapatkan gaya yang besar akan lebih mudah bila benda pemukul itu bergagang.”
"Ya, melihat lukanya, yang paling mungkin memang palu, atau mirip palu," kataku sambil beringsut menjauhi mayat.
Pak Joko ke kamar dan berkata, "Perampoknya tiga orang bertubuh kekar. Mereka berpakaian ala ninja dengan wajah tertutup sarung. Dari dialeknya mungkin bukan orang sini."
Setelah mengantar aku dan Anton, Bayu dan Pak Joko membawa mayat korban ke Boyolali untuk divisum, sambil melapor ke Polsek dan Polres.
Seperti dugaanku, kabar pembunuhan ini cepat tersebar ke seluruh Selo dan desa sekitarnya. Ketika esok paginya aku mampir ngopi di warung sudah terdengar pembicaraan bertopik pembunuhan itu, disertai bumbu-bumbunya.
Di lokasi proyek peristiwa itu pun jadi gunjingan. Malah dilengkapi dengan prediksi siapa korban selanjutnya. Mengingat ada beberapa vila dan rumah peristirahatan di Dusun Damar dan sekitarnya, bisa jadi mereka benar.
Beberapa malam kemudian Pak Joko meminta tolong padaku untuk mencatat nama dan alamat seluruh pekerja di proyek. Pak Joko ingin mendata semua pendatang yang tinggal atau bekerja di wilayahnya, mengingat kata si Pembantu dialek perampok itu bukan dari daerah Boyolali.
Memang, meski berdekatan untuk kata-kata tertentu, dialek antarkota bisa berbeda. Karena pembantu itu asli dari Selo, ia pasti tahu kejanggalan pengucapan dalam percakapan para perampok. Kuminta Bayu mendata seluruh pekerja.
Agar tak mencurigakan, Bayu mengatakan pendataan ini permintaan kantor. Aku juga meminta Anton untuk memilah-milah nama dan alamat orang dari luar daerah Boyolali, karena Selo adalah daerah Kabupaten Boyolali tentu dialeknya sama, jadi yang harus dicari adalah orang dari luar Boyolali.
Tak sampai setengah hari data itu sudah lengkap. Cuma ada sembilan orang yang dari luar daerah. Tiga nama teratas adalah aku, Bayu, dan Anton.
Sore data itu kuserahkan ke Pak Joko. Kuharap ia tersenyum membaca tiga nama teratas. Ternyata tidak!
Curiga pada pendatang
Hari berlalu, karena sibuk aku tak tahu perkembangan penyelidikan kasus itu. Tapi, minggu dini hari, pukul 04.00, kamarku kembali digedor. Pintu segera kubuka, naga-naganya gedoran itu takkan berhenti sebelum kubuka.
"Ada apa, Yu?"
"Pembunuhan lagi, Mas," ujar Bayu dengan mulut nyengir.
Korban kedua adalah suami-istri yang sedang berlibur di vilanya. Modusnya sama dengan pembunuhan pertama.
"Pak kiai yang akan sholat subuh curiga melihat pintu belakang rumah terbuka, ia meminta santrinya melapor ke pos polisi," Bayu menjelaskan.
"Lukanya sama, Mas," kata Anton.
"Ya, di kepala dan di dada."
"Tampaknya pembunuh ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya," sahut Pak Joko. Anton mendekati meja rias yang acak-acakan. la tampak serius mengamati lantai dekat meja rias. Tangannya mengambil sesuatu, memilin-milin, dan mendekatkannya ke hidung.
"Ada apa, Ton?"
"Orang ini dibunuh sore hari atau lebih malam lagi, tapi tidak lebih dari pukul 21.00."
Kami saling pandang, lalu mendekatinya.
"Apa yang kautemukan?"
Ia menunjuk tumpahan bubur nasi di lantai dekat meja.
"Bubur ini dimasak sore hari, tapi tak langsung dimakan sampai jadi dingin. Para perampok datang mengobrak-abrik hingga bubur ini tumpah."
“Bagaimana kamu tahu bubur itu dibuat sore hari?"
"Dengan mencium bau dan melihat kekentalannya."
"Dari mana kamu tahu bubur itu tak langsung dimakan?"
Piring tempatnya terbalik menutupi bubur. Kalau bubur masih panas tentu ada uap air atau air antara bubur dan dasar piring. Tapi ini tak ada. Jadi saat tumpah bubur sudah dingin. Untuk dingin benar perlu waktu dua sampai tiga jam," papar Anton.
"Bagaimana dia bisa ahli soal bubur, Pak?" tanya Pak Joko.
"la pernah ambeien."
Pembunuhan kedua pun cepat menyebar. Berita yang dibumbui ini melahirkan analisis di antara penduduk desa. Akibatnya, mereka cepat curiga dan tak ramah pada orang asing. Padahal desa mereka selalu jadi tempat singgah para pendaki gunung yang pasti dari luar daerah. Sedikit demi sedikit pendatang pun berkurang. Berkurang pula pendapatan para pedagang di sekitar Selo.
Menurut analisisku, para perampok pasti sudah kenal daerah sini dan cukup lama mengamati rumah calon korban. Karena dialek mereka orang luar daerah, yang paling mungkin adalah orang luar daerah yang bekerja di sini. Artinya, termasuk aku. Analisisku tak kusebarluaskan, bisa jadi bumerang nanti.
Palu misterius
Sebulan lebih kasus ini belum terungkap. Tiba-tiba datang anak kecil didampingi ibunya bertamu ke rumah Pak Joko. Entah apa yang mereka bicarakan, yang kutahu, Pak Joko berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Menjelang malam baru Pak Joko memberi tahu, ibu-anak itu menemukan sebuah palu yang terbenam di sungai kecil tak jauh dari rumah korban kedua. Si Anak tak sengaja menemukannya saat mencari batu kecil untuk bermain dengan adiknya. Si Anak berkeras memberikannya ke polisi dan meminta ibunya mengantarkan.
Menurut si Anak, bu guru mengajarkan bila menemukan sesuatu yang bukan miliknya harus diserahkan kepada polisi. Sebuah kejujuran yang entah sampai kapan bisa bertahan.
Tak banyak informasi tergali dari palu itu karena terlalu lama terendam air. Cuma, dari tempat palu ditemukan bisa diperkirakan arah perampok itu lari. Tapi, ada tanda tanya besar. Apakah palu itu milik perampok atau orang awam yang kebetulan lewat?
"Mengapa orang ke sungai membawa palu?" sergah Bayu.
"Mungkin ada orang membangun rumah, tukangnya ingin buang hajat dan palunya terbawa lalu jatuh."
"Aku yakin, tidak ada yang membangun rumah di sekitar situ. Proyek jembatan Anda satu-satunya proyek di sini," kata Pak Joko.
Aku kaget, sebagai bagian dari proyek aku tak rela pekerjaku terlibat.
"Tapi Pak, jarak proyek dengan sungai itu 2 km lebih. Tak mungkin orang berjalan sejauh itu cuma untuk buang hajat," sahutku dengan suara bergetar.
"Di sekitar sungai hanya ada pepohonan, kalau yang jatuh parang atau gergaji aku bisa maklum, tapi palu ...," Bayu menimpali.
Akhirnya disimpulkan, palu itu milik para penjahat. Berbekal dua senter kami berempat segera ke sungai tempat palu ditemukan.
"Tempatnya di sini. Lalu perampok itu ke kiri atau ke kanan?" Aku minta pendapat pada yang lain.
"Mungkinkah palu itu tidak jatuh di sini? Bisa saja jatuh di tempat lain lalu hanyut sampai sini," sela Anton.
"Tidak mungkin," tegasku. Kulihat sungai ini penuh batu sebesar kambing, airnya yang sedikit bergerak di celah-celah batu selebar 10 - 20 cm. Padahal panjang palu 25 cm, dengan perhitungan, jalur air berkelok-kelok mengikuti celah batu, palu bisa saja bergeser, tapi paling-paling sejauh 1 - 2 m. Palu pasti nyangkut, karena terlalu berat untuk hanyut.
"Baik, sekarang mari kita tentukan arah pencuri itu," Pak Joko menyela.
"Coba, Bayu ke kiri dan Anton ke kanan. Lima meter setelah itu kembali ke sini."
Senter kuserahkan pada mereka berdua, aku menunggu dengan Pak Joko. Malam makin dingin.
"Bagaimana, Yu?"
"Tidak ada apa-apa, Mas, tapi di sana batunya lebih besar."
“Kamu, Ton?"
"Tampaknya, para perampok ke kiri, Mas, ke arah Bayu tadi. Sekitar 6 m dari sini adalah tempat penduduk merendam bambunya. Kucoba melewati atasnya, ternyata licin sekali, tak mungkin orang lewat di atasnya dengan membawa TV."
Di desa orang biasa merendam bambu. Perendaman selama berbulan-bulan membuat bambu makin lebih kuat. Wajar bila Anton merasa licin saat melewatinya.
"Baik, kita ke kiri," seru Pak Joko tak sabar.
Sekitar 10 m kemudian batu-batu di sungai memang makin besar. Tiba-tiba Bayu berhenti.
"Ada apa, Yu?"
"Ada jalan kecil menuju atas, Mas."
"Mari kita ikuti."
Sekeluar dari sungai, tampak tempat lapang berukuran 3 x 3 m yang terletak di tengah-tengah perdu. Tampaknya tempat ini sengaja disiapkan, karena ada pohon-pohon besar ditebang. Dari jalan besar lokasi itu tidak tampak.
"Oh, begini cara kerja mereka. Hasil rampokan dibawa melewati sungai, dan di sini mobil sudah menunggu. Mereka naik, meluncur ke jalan dan bye ...," gumam Bayu.
"Tapi lokasi ini jauh dari TKP pertama, meski dekat dengan TKP kedua," kata Pak Joko.
"Begini Pak, perampok menyiapkan tempat ini untuk satu perampokan," Bayu menjelaskan.
"Mengapa mereka harus pusing mencari tempat seperti ini, mobil 'kan bisa diparkir di depan rumah, lalu langsung lari?" bantah Anton.
"Mereka tak ingin mobilnya diketahui orang, sebab...."
"Mereka akan kembali!" sahut Anton, Bayu, dan Pak Joko serempak. Kami saling berpandangan. Rasa ngeri melanda.
Berkat pak dokter
Hari berlalu, aku tak mendengar perkembangan penyelidikan kasus itu, sebab proyek sudah sampai pada tahap penyelesaian. Kami tenggelam dalam kesibukan.
Sampai suatu malam, pukul 20.15, Pak Joko mengetuk pintu kamarku. Kebetulan kami di dalam sedang membicarakan masalah proyek. Bayu yang membuka pintu. Kulihat polisi itu berpakaian sipil, meski pistol tetap terselip di pinggang.
"Ada perampokan lagi, kali ini sedang berlangsung. Saya pinjam mobil, saya harus segera ke sana."
"Boleh ikut?"
"Boleh, asal tidak ikut campur dan tidak bertindak di luar perintah saya."
Dalam kabut mobil kami pacu menyusuri jalan yang berkelok. Kali ini aku yang mengemudi. Ketegangan melanda kami semua. Kata Pak Joko, ia ditelepon orang yang mengaku dokter pribadi Windy, gadis yang tinggal sendirian di vila di Dusun Damar.
Kebetulan pembantunya yang penduduk asli Damar sedang pulang karena anaknya sakit. Si Dokter memberi tahu, keselamatan Windy terancam. Entah karena dua kasus sebelumnya atau karena naluri, Pak Joko menyimpulkan ada perampokan lagi.
Mendekati vila tujuan, lampu kumatikan, dan mobil kujalankan pelan-pelan. Pada jarak sekitar 20 m aku diminta mematikan mesin mobil. Kami berempat mengendap-endap mendekati vila. Tiba-tiba terdengar letusan beberapa kali.
Pak Joko berlari mendekati vila, kami menyusul.
Di halaman, dari balik kaca jendela tampak Sersan Santoso mengarahkan pistol ke lantai. Segera kami masuk. Di lantai tergeletak seorang laki-laki berkerudung sarung mengerang pelan sambil memegang dada kiri.
"Ada apa, So?"
"Kami mengadakan pengepungan, Pak. Ketika saya intip lewat jendela, tampak ia mengangkat palu akan memukul gadis itu. Tak ingin terlambat, saya tembak perampok ini."
"Mana yang lain?"
"Kawan-kawannya kabur. Soni dan Dona sedang mengadakan pengejaran."
Kudekati perampok itu. ia tampak makin lemah. Tembakan Pak Santoso mungkin kena 2 - 3 cm dari jantung. Kulihat kaki kiri dekat paha juga luka.
"Mana gadisnya?"
"Di kamar, Pak."
"Bagaimana perampok ini bisa sampai sini?"
"la mencoba lari, Pak, jadi saya tembak lagi."
Segera kami masuk kamar. Di kamar yang porak-poranda seorang gadis tergeletak lemas di ranjang. Pesawat telepon tergeletak di samping meja kecil yang terguling dekat ranjang. Wajah si Gadis memar, rupanya ia dianiaya. Pak Joko mendekati si gadis, memegang nadi dan membuka matanya.
“Pingsan," gumam Pak Joko.
Tiba-tiba masuk Soni dan Dona, anak buah Pak Joko. "Lapor, Pak! Kedua perampok lolos. Mereka dijemput mobil di jalan. Tapi saya sempat menembak tangan salah seorang perampok," ucap Soni sambil terengah-engah.
"Baik, sekarang kita bagi tugas. Dona ikut Santoso mengantar si Gadis dan perampok ke rumah sakit. Jaga jangan sampai mati, kita butuh informasi mereka. Soni kembali ke kantor, hubungi Polsek untuk memblokir jalur Selo-Boyolali."
"Siap, Pak."
Kuncinya bukan kidal
Setelah mobil kami dibawa untuk mengantar korban ke rumah sakit, tinggal kami berempat. Tiba-tiba terdengar bunyi mobil masuk halaman rumah. Ada langkah tergesa-gesa masuk kamar.
"Selamat malam, Pak."
Waah, ternyata si Kepala Magic Jar. Kenapa ia kemari?
"Siapa, Saudara?"
"Saya dokter pribadi Windy, Pak. Saya yang menelepon kantor Bapak. Bagaimana keadaan Windy?"
"Selamat, sekarang dibawa ke rumah sakit."
Si dokter tampak mencari sesuatu. Matanya menyapu seluruh ruangan. Kadang kepala kotaknya miring-miring.
Aku curiga. Jangan-jangan ia terlibat dengan peristiwa ini. Mungkin ia penadah atau aktor intelektual semua perampokan ini. Bahwa ia melaporkan kejadian ini, mungkin saja ia sedang berselisih dengan para perampok itu lalu membuat perangkap untuk menjebloskan mereka ke penjara. Tapi ia tetap bersih.
“Sebentar Pak, dari mana Anda tahu ada perampokan di sini?" tanyaku. Kulirik Bayu dan Anton agak terkejut. Mungkin mereka baru sadar dengan kejanggalan ini.
"Eh ... tiap sore saya telepon Windy, kalau-kalau ia ada keluhan. Pukul 20.00 saya biasa menelepon lagi, mengingatkannya untuk tidur," tuturnya dengan mata tetap jelalatan. Ada yang ia cari, mungkin sebuah bukti yang bisa mengarahkan penyelidikan padanya.
Ya, ia kembali setelah menjemput para perampok itu untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan. Lama-lama aku tidak suka dengannya. Tampaknya Bayu tahu apa yang kurasakan. Pelan ia bergerak ke pintu, mengalangi jalan keluar kamar dengan tubuhnya.
"Lalu?" Pak Joko tampaknya tak sabar.
"Saat saya telepon pukul 20.00, ia mengatakan sehat-sehat saja. Malah, katanya, lelah sekali setelah berlarian mengejar kupu-kupu tadi sore...," ujarnya. Tiba-tiba ia berjongkok melongok kolong ranjang persis di samping pintu kamar.
“Eh, bisa pinjam senter, Pak?" katanya lagi.
Tampaknya Pak Joko mulai kesal dan curiga sepertiku.
"Anda belum menjawab pertanyaan saya, Pak Dokter. Dari mana Anda tahu ada sesuatu di rumah ini?" tanyaku lagi sambil mengepalkan tangan.
"Pinjami saya senter, di kolong ranjang ini jawabannya," sahutnya acuh.
Pak Joko mengangsurkan senter. la mengambil sesuatu yang panjang dan sedikit berkilap.
"Senapan," Anton berbisik.
Refleks Pak Joko memegang gagang pistolnya.
Dokter itu berdiri sambil menarik napas lega, di tangannya ada sepasang kruk penyangga tubuh.
“Setahun silam Windy mengalami kecelakaan, hingga kaki kirinya mengalami kelemahan fungsi. Jangankan berlarian mengejar kupu-kupu, untuk berjalan saja sulit."
Kami terdiam. Aku malu pada analisisku. Dokter ini lebih cerdas dari yang kuduga. Kulihat Bayu tersenyum. Pak Joko cepat mengubah posisi tangan, dari memegang pistol menjadi garuk-garuk paha.
Rupanya dokter ini punya hobi sama sepertiku, yaitu suka memerhatikan sesuatu paling kecil. Mendadak aku menyukainya. Dari dokter itu kami tahu, Windy biasa menempatkan kruknya di daun pintu kalau akan tidur. Dobrakan perampok melempar kruk ke kolong ranjang.
Beberapa menit kemudian telepon berdering. Perampok yang tidak ingin dicurigai karena telepon tak ada yang mengangkat, memaksa Windy menjawab. Ternyata dari dokter pribadinya. Windy pun memberi jawaban yang menurut perampok biasa saja, tapi tidak bagi sang Dokter. Karena pesawat telepon dekat dengan ranjang, Windy tak perlu turun dari ranjang saat memberi pesan terselubung itu.
Perampok itu pun tak tahu bahwa ia lumpuh. Mengingat musuhnya cuma seorang gadis, perampok mengambil barang-barang baru kemudian membunuhnya. Saat akan menghabisi, Sersan Santoso menembaknya.
Demikian analisis sementara dari kami berlima yang pasti benar. Dari HT Pak Joko, kami dapat kabar, si Perampok tewas di rumah sakit tanpa sempat memberi keterangan, tapi Windy selamat. Meski kecewa, kami tetap berharap bisa menangkap seluruh pelaku.
Kejadian semalam membuatku bangun terlambat dan kesiangan berangkat ke lokasi proyek. Di kantor aku disambut Bayu dengan mata kelelahan. Baru mengisi beberapa laporan dan sedikit berdiskusi dengan Bayu dan Anton, waktu sudah pukul 12.00.
Saat makan siang bagi para pekerja. Karena aku baru datang dan belum merasa lapar, aku berkeliling memeriksa proyek yang hampir selesai. Kulihat peralatan pengaspalan sudah siap. Jembatan darurat hampir selesai dibongkar dan pagar kecil pengaman di kiri-kanan jembatan sudah separuh diplester, mungkin bisa selesai hari ini. Tiba-tiba aku tertarik dengan plesteran itu. Kupanggil mandor.
"Siapa yang memlester ini, Jo?"
"Codot, Pak, ada apa?"
"Mana dia?"
"Itu yang sedang makan, pakai kaus biru lengan panjang," katanya sambil menunjuk pekerja yang asyik makan nasi bungkus. Kulihat Codot lahap makan. Nasi bungkus disangga tangan kiri, dan ia menyuap dengan tangan kanan. Tampaknya biasa saja. Aku kembali ke kantor dan meminta Bayu mengundang Pak Joko ke lokasi proyek.
"Katakan padanya, mungkin aku tahu salah satu pelakunya."
Tak lama kemudian Pak Joko datang. Codot kuminta ke ruanganku. Pak Joko duduk di mejaku, sedangkan Codot disuruh berdiri di depannya. Aku dan Bayu ada dekat pintu. Ketika ditanya macam-macam, ia bisa menjawab dengan tenang. Kuhampiri Pak Joko dan kubisikkan sesuatu.
Pak Joko meminta Codot membuka baju. Dengan ragu ia melakukannya. Baru separuh menarik kausnya ke atas tiba-tiba ia lari ke pintu. Dengan refleks tangannya kupegang dan kutelikung ke belakang. Bayu menarik kaus birunya. Di tangan kanan Codot ada luka yang dibalut perban.
Pelan Pak Joko membuka perban itu. Pak Joko menyimpulkan, luka itu akibat tembakan. Codot dibawa ke Selo untuk ditahan. Pak Joko mendekati aku.
"Dari mana Anda tahu?"
"la bertugas memlester pagar pengaman, Pak. Plesterannya belum selesai, biasanya orang menempelkan adukan semen dari bawah ke kanan atas. Tapi di pagar ini tidak demikian, adukannya dari bawah ke kiri atas. Itu biasa dilakukan orang kidal. Tapi saya lihat tadi ia makan dengan tangan kanan. Saya simpulkan, tangan kanannya luka. Cukup kuat untuk makan tapi tidak untuk memlester pagar. Kalau luka orang tidak masuk kerja, tapi ia tetap masuk agar tidak dicurigai."
"Anda teliti sekali."
"Belajar dari dokter itu, untuk memerhatikan hal yang kecil."
"Berminat jadi polisi?"
"Ah, tidak."
Sudah tiga bulan kutinggalkan proyek itu. Proyek penggantian jembatan di Desa Beji Lor sudah selesai. Sekarang aku ditempatkan di Carakan, antara Blora - Rembang. Sama terpencilnya dengan Beji Lor. Bedanya, kalau dulu di tengah hutan pinus sekarang di hutan jati. Lebih gersang.
Karena jembatan di Beji Lor masih dalam masa perawatan, kadang Bayu pergi ke sana. Dari dia aku tahu, Codot akhirnya "bernyanyi" dan kawanannya ditangkap. Sekarang kasusnya dalam proses pengadilan. Kabarnya, mereka dituntut hukuman mati. Sampai cerita ini kutulis, aku belum tahu kelanjutan sidang.
Aku masih menunggu cerita selanjutnya dari Bayu, karena tiap Sabtu ia ke Selo. Bukan untuk tugas kantor, tapi untuk menemui gadis pujaannya. Bidan muda yang selalu menarik-narik rok itu telah menawan hatinya. (Enggar Adibroto)
" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400995/memperhatikan-hal-hal-kecil" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659533758000) } } }