Intisari Plus - Timothy Wicks adalah pribadi yang hangat dan suka membantu. Hingga suatu hari ia menerima pekerjaan di negara lain dan menghilang tanpa jejak.
-------------------
Timothy Wicks bukan selebriti. Tapi di kampung halamannya, Milwaukee, Timothy dikenal dan dicintai banyak orang. Setidaknya, oleh kerabat, sahabat, dan tetangga, lelaki yang hidup sendiri itu dianggap sebagai pribadi yang sangat menyenangkan. Tetangganya, Tom Neary, melukiskan Timothy sebagai pria yang selalu optimistis dalam menyikapi hidup. “Semangat juangnya luar biasa. Satu lagi, dia hampir tak pernah mengeluh,” bilang Tom.
Sementara istri Tom, Beth Neary, melukiskan Wicks sebagai seorang “penggemar musik sejati”. Kecintaan Timothy Wicks pada dunia musik memang sudah jadi rahasia umum. Untuk mengasah kemampuan menabuh drum dan mempertajam musikalitasnya, Timothy bahkan sempat menimba ilmu di Berklee College of Music, Boston. Setelah itu, dia kembali ke kampung halamannya, malang melintang di sejumlah klub malam, sebagai pemukul drum lepas beraliran jazz.
Meski belum mendapat jadwal, band, dan tempat bermain yang menetap, Timothy tetap setia mengabdi pada jalur musik. Bertahun-tahun dia terus merajut mimpi. “Yah, siapa tahu, besok, lusa, atau tahun depan, tawaran manggung secara tetap datang,” desisnya dalam hati. Sambil menunggu mimpi menjadi kenyataan, di siang hari sang penabuh drum tak segan-segan membantu para tetangganya mengecat rumah, pekerjaan favorit kedua Timothy setelah menggeluti dunia musik.
Pria yang tahun 2001 berusia 48 tahun itu dikenal ringan tangan. Makanya, hubungan Timothy dengan para tetangga tergolong sangat, sangat dekat. Tom Neary bilang, “Buat saya, dia benar-benar sahabat dan tetangga sempurna, yang bersedia melakukan apa saja untuk membantu sesama. Hatinya lembut dan penuh perhatian. Sepanjang bersahabat dengan Tim, saya tidak pernah melihatnya melakukan hal buruk pada orang lain. Dia seperti dilahirkan hanya untuk melakukan kebajikan.”
Sayangnya, tak selamanya Timothy Wicks bisa menjadi “malaikat kecil” buat kerabat, sahabat, dan tetangganya. Menjelang Natal 2001, dia mendapat jalan keluar untuk menggapai “mimpinya”. Tawaran dari seorang teman sesama penabuh drum untuk bekerja di sebuah klub di Kanada sulit ditampik Timothy. Sehabis merayakan Natal, Tim segera mengemas perlengkapan musik dan semua yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan paling menentukan dalam sejarah hidupnya.
Keluarga dan sahabat tak punya kuasa untuk melarang. Sobat dekat Tim, Jim Koehler berkomentar, “Saya tahu, dia sangat menginginkan pekerjaan seperti itu. Dalam hidupnya, tak ada yang lebih penting daripada menghibur orang lain, dengan musik tentunya.”
Namun di sisi lain, Jim menambahkan, ia khawatir di tempat baru nanti Tim tidak mendapat sesuatu yang sesuai dengan apa yang selama ini diimpikan. “Saya berharap, jika gagal di Kanada, dia tak malu pulang kampung. Saya sungguh belum siap kehilangan teman baik seperti dia, selamanya,” suara Jim terdengar parau.
Harapan Jim seperti mewakili doa semua orang yang mengenal Timothy Wicks di Milwaukee. Meski kenyataannya, semua doa itu masih belum cukup untuk mencegah takdir buruk menimpa Tim. Lama setelah keberangkatannya, tak satu pun kabar tentang Timothy sampai ke telinga keluarga dan teman-teman dekatnya. Seperti riak sungai yang mengalir ke laut, dia hilang begitu saja ketika melewati muara, tak berjejak ditelan ombak samudra.
Punya kehidupan lain
Menghilangnya Timothy membuat kerabat dan sahabat-sahabatnya di Milwaukee jatuh khawatir. Sampai akhirnya, karena tak tahan lagi menyimpan waswas, mereka melapor pada polisi setempat. Di kantor polisi, detektif Kent Schoonover yang ditugasi menindaklanjuti laporan itu mulanya agak ragu. Dia merasa, sepintas tak ada yang salah pada kasus raibnya Tim.
“Melihat umurnya, Timothy Wicks jelas bukan anak-anak lagi. Sebagai lelaki dewasa, dia berhak menentukan nasib sendiri, atau pergi mencari penghidupan yang lebih layak. Karena menurut hukum, di negara ini setiap warga negara berhak melakukan apa saja, termasuk menghilang dari keluarga dan teman-temannya. Apalagi tak ada indikasi adanya penipuan, paksaan, dan tindak kekerasan yang mengawali kepergian Tim. Dia pergi atas kemauannya sendiri,” Kent berargumentasi panjang lebar.
Namun, warga di kampung halaman Tim mendukung penuh kekhawatiran pihak keluarga, dan mendesak polisi untuk segera mengadakan penyelidikan atas raibnya “malaikat kecil” mereka. Para kerabat dan sahabat berusaha keras meyakinkan aparat penegak hukum bahwa Tim tidak mungkin menghilang begitu saja, tanpa memberi kabar pada orang-orang yang dikasihinya.
“Itu jelas bukan sifat aslinya,” tegas Jim Koehler, mewakili mereka.
Detektif Schoonover akhirnya mengalah.
“Baiklah, kami akan berusaha keras menelusuri jejak Tim. Kami juga akan mencoba mengadakan kontak dengan semua temannya di luar kota,” jawaban Schoonover sedikit melegakan.
Schoonover memulai penyelidikan dengan mendatangi bekas apartemen Timothy. Sebuah tempat tinggal yang tidak terlalu besar, tapi terasa nyaman. Ketika bertemu pihak pengelola apartemen, Schoonover mendapat barang bukti penting - saat itu dianggapnya sangat penting - berupa secarik kertas tulisan tangan Tim. Di kertas itu tertera nomor yang dapat ditelepon, jika pengelola hendak menghubungi Timothy Wicks. “Tapi hanya untuk keadaan darurat,” pesan Tim saat itu.
Detektif Schoon tertegun sejenak memandangi nomor itu. Kode areanya mengarah ke Fargo, sebuah kota yang terletak di North Dakota. Dia yakin, nomor telepon itu akan memuaskan “dahaga berita” kerabat dan sahabat Tim di Milwaukee. Sesampai di kantor, dia berkali-kali mencoba menghubungi nomor itu. Namun sial, berkali-kali juga jawaban yang didapat sangat tidak memuaskan. “Nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar, silakan coba beberapa saat lagi.” Schoon menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Karena penasaran, Schoonover lalu menelepon kantor polisi Fargo. Siapa tahu ada sedikit informasi yang bisa dijadikan pegangan, sebelum dia bergerak ke lapangan lagi. Untung tak dapat ditebak, malang tak dapat ditolak, ternyata pihak kepolisian di Fargo sendiri tengah menangani kasus “orang yang sama”, Timothy Wicks. Di Fargo, Timothy tengah diperiksa atas dugaan korupsi yang dilakukannya saat menjabat sebagai akuntan di sebuah perusahaan lokal.
“Sama sekali tidak berkaitan dengan musik?” Schoon sekali lagi menegaskan.
“Tidak sama sekali,” jawab petugas di seberang sana.
“Tapi Timothy yang saya kenal itu seorang penabuh drum.”
“Ya, mungkin saja dia sudah bosan bermain musik, lalu alih profesi menjadi akuntan. Orang bisa berubah, ‘kan?”
Schoonover manggut-manggut. Dia memang tidak mengenal Timothy Wicks secara dekat, tapi kalau benar Tim tega membohongi kerabat dan sahabat-sahabatnya hanya untuk memulai hidup baru di kota lain, sungguh keji rasanya. Malam itu, Schoonover tak bisa tidur. Pikirannya terus bermain: siapa sebenarnya Timothy Wicks?
Kok lebih tambun?
Esoknya, atas saran polisi Fargo, Schoonover menghubungi Paridon, mantan atasan Timothy Wicks di Fargo. Setelah berbasa-basi sebentar, Schoon langsung menukik ke persoalan.
“Di Milwaukee, Tim adalah pribadi yang menyenangkan. Apakah di Fargo juga begitu?”
Hening sebentar, sebelum keluar jawaban Paridon. “Tim memang pribadi yang menyenangkan. Terus terang, sebenarnya saya sangat menyukai dia. Orangnya supel. Dia kami terima bekerja karena hasil tesnya sangat memuaskan. Sebagai akuntan, dia memiliki semua kualifikasi yang kami butuhkan.”
“Jadi, menurut Anda, dia betul-betul seorang profesional?”
“Iya. Makanya saya tak habis pikir, mengapa dia melakukan hal bodoh yang menjerumuskan dirinya sendiri.”
“Apakah dia juga pandai menabuh drum?”
“Betul. Orang-orang bilang begitu. Mulanya, saya enggak percaya, sampai saya berinisiatif membuktikan sendiri dengan mengajaknya ke sebuah klub. Ternyata dia betul-betul jago ngegebug drum. Permainannya oke punya.”
“Sampai akhirnya, dia berbuat macam-macam?”
“Ya. Setelah itu Tim mulai melakukan hal-hal yang tidak beres di kantor. Awalnya, uang yang ‘dicurinya’ lewat pembuatan pos-pos fiktif di pembukuan jumlahnya tak seberapa. Misalnya petty cash senilai AS $ 20. Saya sendiri tidak terlalu ambil pusing. Jumlahnya ‘kan tidak terlalu signifikan.”
“Lantas?” Schoonover makin penasaran.
“Dia mulai korupsi dalam jumlah besar. Tiba-tiba di pembukuan tercantum pengeluaran sebesar AS $ 4.000, tanpa uraian jelas untuk apa uang sebanyak itu dikeluarkan. Setelah kami telusuri, eh, uang itu ternyata masuk ke dalam rekening pribadi Timothy Wicks.”
“Masih ada lagi?”
“Tim mencantumkan pos “bonus khusus” buat dirinya sendiri di pembukuan, beberapa hari menjelang Natal. Padahal, saya tidak merasa menandatangani perintah pemberian bonus khusus itu. Karena sudah hilang kesabaran, akhirnya saya menghubungi polisi.”
“Lalu Timothy diciduk?”
“Dia sempat buron, sebelum jejaknya tercium polisi,” Paridon menutup ceritanya.
Sampai di sini, detektif Schoonover menyadari, hidup Timothy Wicks ternyata penuh misteri. Schoon kini hampir menarik kesimpulan, Tim sengaja menghilang untuk memulai hidup baru di Fargo sebagai akuntan. Satu yang masih membuat Schoonover tak habis mengerti, mengapa penabuh drum yang di Milwaukee dikenal sebagai orang jujur, baik hati, ringan tangan, dan bersemangat tinggi itu justru melakoni peran barunya sebagai akuntan korup? “Jangan-jangan, dia berkepribadian ganda?” sang detektif berkata dalam hati.
Sebelum memberitakan kabar buruk itu pada kerabat dan sahabat Timothy di Milwaukee, Schoon berniat sekali lagi menelepon kepolisian Fargo. Di gagang telepon, dia disambut rekan sejawatnya di seberang sana dengan ramah.
“Omong-omong, seperti apa rupa Timothy Wicks sekarang?” Schoonover mengajukan pertanyaan sambil mengangkat kaki di meja. Sebuah pertanyaan iseng, untuk menambah tebal berkas laporannya nanti.
“Yah, tingginya kira-kira 182 cm, sedangkan beratnya 136 kg. Pasti lebih kurus dari kamu, he... he... he ...,” canda sejawatnya. Schoonover langsung tersentak. Bukan karena canda si polisi Fargo, tapi karena gambaran Tim yang diberikan kerabat dan sahabatnya di Milwaukee jauh berbeda. Tidak mungkin Timothy berkurang tingginya atau menggembung beratnya sedemikian rupa, sampai jauh berbeda dari tinggi dan berat aslinya. Schoonover menduga telah terjadi sesuatu yang tidak beres. Cukup lama Schoon terdiam. Otaknya berpikir keras.
“Halooo?” Schoon masih terdiam.
“Detektif, Anda masih di sana?”
“Maaf, saya kira saya harus segera pergi ke Fargo untuk memastikan Timothy yang sedang Anda kejar sama dengan Timothy yang saya cari,” ujar Schoon akhirnya, seraya menutup telepon.
Terpaksa ikut suami
Firasat Schoonover paling akhir terbukti benar. Tak ada kasus kepribadian ganda atau alih profesi. Setelah bekerja siang malam, atas bantuan polisi Fargo, hasil interogasi Schoon dan kawan-kawan mendapat titik terang, “Timothy Wicks” versi Fargo ternyata “Timothy gadungan”. Nama aslinya Dennis Gaede, penjahat yang punya keahlian mencuri identitas seseorang, kemudian menggunakannya untuk tujuan kriminal.
Dennis sendiri kini tidak hanya berstatus pesakitan kasus korupsi, tapi juga pemalsuan identitas dan pembunuhan berencana. Sayangnya, dia berusaha melakukan aksi tutup mulut, sehingga keterangan yang keluar agak tersendat.
Untungnya, istri Dennis Diane Fruge, bersedia menyanyikan “lagu sendu” di balik raibnya Timothy Wicks asli. Diane mengaku tak banyak tahu soal masa silam suaminya. Dia cuma tahu, Dennis pria menyenangkan dan lucu, yang bisa membuat semua orang tertawa. Diane juga terkagum-kagum pada kemampuan Dennis bermain drum.
Mereka pertama kali bertemu di Milwaukee, sekitar tahun 2000. Saat itu, kantor akuntan tempat Dennis bekerja baru saja menyewa ruang praktik di kompleks perkantoran yang dikelola perusahaan tempat Diane menjadi pegawai. “Setelah pertemuan itu, dia mengirimi saya bunga di Hari Valentine, lalu mengajak saya makan malam,” tutur Diane. Sejak itu mereka jadi lebih sering bertemu. Bahkan anak laki-laki Diane akhirnya terbiasa memanggil “Daddy” pada Dennis.
Beberapa bulan kemudian, mereka memutuskan menikah. Diane berharap pernikahan itu dapat meringankan beban finansial yang selama ini ditanggungnya sendirian sebagai single parent. Nah, tak lama setelah menikah itulah, seingat Diane, suaminya bertemu dengan Timothy Wicks, yang ketika itu hendak mempercayakan pengurusan surat-surat dan pembayaran pajaknya pada kantor akuntan tempat Dennis bekerja.
Karena sama-sama punya hobi bermain drum, Tim dan Dennis langsung akrab. Dalam waktu singkat, mereka bahkan sudah jadi sahabat. “Mereka sering ngobrol berjam-jam, terkadang sampai larut malam,” ucap Diane, yang mengaku tidak tahu persis, topik apa yang sering diperbincangkan keduanya. “Beberapa waktu kemudian, Dennis mengaku sedang menghadapi masalah berat di kantornya, yang dapat saja membawanya masuk penjara. Tapi Dennis minta saya tidak terlalu khawatir, karena dia pasti akan menemukan jalan keluarnya,” imbuh Diane.
Kenyataannya, bulan Juli 2001, posisi Dennis kian terdesak. Sampai akhirnya, Dennis merasa tak ada jalan lain untuk menghindari hotel prodeo, selain kabur sebelum kasusnya selesai diproses di pengadilan. Dengan membawa serta Diane dan anak lelakinya, Joshua, Dennis terbang ke Fargo. “Saat itu saya betul-betul bingung. Tapi saya merasa, saya tak punya pilihan lain, kecuali mengikuti suami yang baru saja saya nikahi,” Diane meradang.
Di Fargo, untuk menutupi jejaknya sebagai buronan, Dennis memperkenalkan diri kepada semua orang sebagai Timothy Wicks. Diane terpaksa mengikuti rencana Dennis. Kepada semua orang, dia pun memperkenalkan diri sebagai Ny. Timothy Wicks. Mulai saat itu, Diane memanggil Dennis dengan Tim. Namun, masa-masa nyaman Diane dan Dennis tak berlangsung lama. Suatu kali, Timothy Wicks menelepon Dennis yang sudah dianggap sebagai sahabatnya.
“Tim mengadu pada Dennis, seseorang telah secara ilegal menggunakan identitas pribadinya dalam beberapa bulan terakhir. Termasuk membobol kartu kreditnya,” cerita Diane. Tim yang belum tahu segala muslihat jahat Dennis sempat menyatakan akan mengadukan persoalan ini ke polisi. Menyadari bahaya yang bakal mengancam, Dennis tampak panik. “Saya melihat sendiri dari raut wajah dan bahasa tubuhnya,” jelas Diane.
Namun, sebagai penipu yang telah berpengalaman, Dennis dengan segera mampu menenangkan diri. Dia juga dengan cepat berhasil menemukan jalan untuk mengalihkan perhatian Tim dari masalah pemalsuan identitas kepada soal musik.
Dennis mengajukan tawaran fiktif, yang diyakini tak bakal ditolak oleh Tim. Yakni tawaran bekerja sebagai penabuh drum tetap di sebuah klub di Kanada. “Terus terang, saya masih belum tahu apa rencana Dennis sesungguhnya. Dia hanya bilang, jika bisa membawa Tim ke Kanada, persoalan akan beres,” tukas Diane.
Pisahkan kepala dan tangan
Segala sesuatunya pada akhirnya memang menjadi beres. Tapi tidak seperti diharapkan oleh Diane. Tak lama setelah merayakan Natal, tamu istimewa itu - si pemilik sejati nama Timothy Wicks - datang berkunjung ke rumah Timothy Wicks palsu. Seperti dijanjikan Dennis, Timothy siap berangkat ke tempat pekerjaan barunya (yang sebenarnya tidak pernah ada) di Kanada. Hari pertama, Tim masih menikmati hari-harinya dengan bermain bersama Joshua, anak Diane.
Tapi di hari kedua, sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Entah bagaimana mulanya, lewat pukul 21.00, Dennis membangunkan Diane, sembari meminta istrinya itu turun ke lantai bawah.
“Saya turun, dan langsung panik, ketika melihat tubuh Tim tergeletak di lantai dapur. Ya Tuhan, dia kenapa?”
Dennis diam seribu bahasa sambil mondar-mandir.
“Kamu apakan dia?”
“Saya menembaknya, Diane,” Dennis akhirnya buka suara. Sejenak keduanya terdiam, tak tahu harus berbuat apa.
“Perut saya mulas membayangkan apa yang akan terjadi. Suami saya, pemilik rumah ini bernama Tim Wicks, sedangkan mayat yang tergeletak di lantai dapur saya, juga bernama Tim Wicks. Bagaimana saya menjelaskan hal ini kepada polisi?” tutur Diane di depan Schoon dan aparat kepolisian setempat.
“Itu sebabnya Anda tidak ke polisi?”
“Ya. Tadinya kami berniat memakamkan Tim diam-diam, di sebuah tanah kosong, yang letaknya cukup jauh dari rumah kami. Tapi karena hujan salju turun begitu deras, niat itu dibatalkan. Kami berkendara dengan pikup sewaan dari Wisconsin sampai Michigan, sambil mencari ide dan tempat ideal untuk membuang mayat Tim, bilang Diane, sembari mengakui, beberapa hari setelah itu masih sempat “membersihkan” rekening Timothy di sejumlah bank di Milwaukee.
Selanjutnya, seperti tertuang dalam kesaksian Diane di Berita Acara Pemeriksaan, pasangan suami istri itu memereteli kepala dan tangan Tim. Tujuannya agar polisi tak dapat mengindentifikasi mayat lewat gigi dan sidik jari korban.
Badan dan potongan kepala serta tangan Tim kemudian dibuang di tempat terpisah. Namun, meski sudah dibuang di lokasi yang sangat tersembunyi dan jauh dari permukiman, potongan kepala dan tangan Tim ditemukan orang juga. Polisi pun langsung mengidentifikasinya sebagai mayat Timothy Wicks.
Sejak itu, Dennis masuk dalam prioritas pencarian polisi, bukan hanya karena kasus penipuan dan pencurian identitas yang dilakukannya di Milwaukee dan Fargo, tapi juga kasus pembunuhan Timothy Wicks. Pasangan suami-istri itu sempat buron selama tujuh pekan, sebelum akhirnya berhasil diringkus polisi di Nebraska.
“Saya menyesal ikut terlibat dalam kekisruhan ini. Sungguh menyesal. Tapi saya tidak pernah terlibat dalam rencana jahat Dennis. Sampai sekarang saya masih percaya, Dennis tidak harus membunuh Tim untuk bisa tetap menggunakan identitas Timothy Wicks di Fargo. Dennis bisa terus melakukannya di luar sepengetahuan Tim,” ucap Diane. Karena dianggap tidak terlibat sejak awal dalam rencana pembunuhan, keterlibatan Diane dalam kasus Timothy Wicks pun “dimaafkan” aparat penegak hukum.
Apalagi setahun setelah tewasnya Timothy, sekitar awal tahun 2002, Diane bersedia menjadi saksi utama dalam kasus yang cukup menghebohkan Amerika Serikat ini. “Kesediaan saya menjadi saksi kunci adalah bukti penyesalan dan permohonan maaf saya yang tulus kepada keluarga besar Tim. Mungkin sudah sangat terlambat, tapi ini harus saya lakukan,” tambah Diane.
Puncaknya, sekitar dua tahun setelah kesaksian Diane, Dennis Gaede dinyatakan bersalah atas pembunuhan Timothy Wicks. Juri mengganjar si pencuri identitas itu dengan hukuman penjara seumur hidup! Ganjaran yang “belum tentu setimpal”. Seperti dibilang sobat akrab Tim, Jim Koehler, “Tak ada yang bisa menggantikan ‘malaikat kecil’ kami, sampai kapan pun. Ya, sampai kapan pun.” (Rob Stafford)
Intisari Plus - Allitt merupakan seorang perawat anak yang terampil dan penuh perhatian pada pasiennya. Ia selalu menawarkan diri untuk menjaga pasien kecilnya, memastikan mereka aman. Namun anehnya, beberapa pasien meninggal setiap kali ia bertugas.
------------------
Gadis montok berwajah bulat itu melangkah sepanjang bangsal IV, yaitu bagian anak-anak di Rumah Sakit Grantham. Sepatunya mendecit-decit di lantai linoleum yang berkilat. Seragam perawatnya bersih dan disetrika rapi.
Beverly Allitt (24) memberi kesan perawat anak-anak yang terampil dan penuh perhatian. la rajin memperhatikan anak-anak yang dipercayakan kepadanya, entah yang sedang tidur di ranjang kecil, entah yang sedang bermain di ruang rekreasi. Allitt menikmati tugasnya.
Hari Kamis lewat tengah hari itu, Allitt termasuk salah seorang dari perawat yang berdinas di bagian anak-anak. Keadaan tenang-tenang saja, tidak ada yang memerlukan perawatan gawat, tidak ada bayi yang sakit keras.
Suasana tenteram ini menyenangkan bagi yang lain, tetapi mungkin tidak bagi Allitt. la tidak lulus ujian sehingga sebenarnya harus meninggalkan pekerjaannya pada tanggal 15 Februari 1991. Untung di saat terakhir, pihak rumah sakit mau mengontraknya 6 bulan lagi. Ini kesempatan terakhir baginya untuk mendapat pengalaman merawat bayi. la perlu membuktikan kemampuannya.
Seperti biasa, ia selalu tampil rapi. Arloji perawatnya tergantung pada rantai, termometer menyembul dari saku atas. la rajin melaporkan kejadian sekecil apa pun kepada rekan-rekan perawat, yang sebetulnya membuat mereka kesal.
Kalau ada anak memerlukan perhatian, Allitt selalu hadir di sebelah perawat senior yang bertanggung jawab di bangsal itu, tidak peduli bantuannya diperlukan ataupun tidak.
Beberapa hari sebelumnya, kunci lemari obat hilang secara misterius. Lemari obat yang beralat pendingin itu menyimpan obat-obatan untuk keperluan bangsal IV. Letaknya dekat kantor perawat, di sebelah kanan bangsal.
Waktu itu, Barbara Parker, perawat senior di bangsal itu, memberikan rencengan berisi 20 kunci kepada Allitt dan menyuruhnya mengambil obat tetes mata. Allitt kembali tanpa obat yang diminta, sebab katanya kunci lemari itu tidak ada di rencengannya.
Kunci itu tidak berhasil ditemukan. Nah, agar lemari tidak bisa dibuka oleh penemu atau pencuri kunci, lemari itu diberi kunci baru. Namun, kunci yang hilang itu sebetulnya tetap bisa dipakai membuka semua lemari obat lain di rumah sakit itu!
Korban pertama
Sore hari, tanggal 21 Februari, seorang ibu muda, Jo Taylor, bergegas masuk ke bangsal IV, sambil menggendong bayinya yang baru berumur7 minggu, Liam. Paru-paru bayi itu tersumbat dan dokter keluarga menyarankan agar bayi itu dibawa ke RSU Grantham.
Jadi, ayah si bayi, Chris, melarikan anak-istrinya ke Grantham. Mereka tiba pukul 16.00 dan menunggu diberi tahu apa yang terjadi pada bayi mereka. Satu-satunya orang yang berbicara dengan mereka adalah Beverly Allitt. Gadis itu tersenyum lebar dan ceria. Kata-kata dari mulutnya adalah kata-kata yang paling ingin mereka dengar.
"Bayi Anda sebentar lagi pun sembuh. Kami akan menanganinya sebaik-baiknya."
Liam ditaruh di salah satu dari 5 bilik kecil yang berderet di sebelah kiri bangsal. Setiap kamar itu mempunyai nama. Kamar Liam no. 4 dan bernama Mr. Happy.
Chris Taylor berdiri di belakang para perawat yang menangani bayinya. Terlihat Liam menderita sekali. Chris lega ketika Liam menangis keras sambil menendang-nendangkan kakinya.
Allitt menganjurkan agar Jo dan Chris yang sedang risau itu pulang saja untuk makan dulu.
"Semua sudah bisa diatasi. Keadaannya baik-baik saja. Sungguh," katanya dengan wajah cerah.
Suami-istri Taylor kembali pukul 18.00. Orang pertama yang mereka lihat adalah Allitt.
"Keadaan Liam tiba-tiba memburuk," katanya tenang. "Kami mencoba menghubungi Anda. la muntah-muntah hebat sampai saya harus mengganti seragam."
Orang tua Liam sangat risau, sampai tidak terpikir untuk mengecek kebenaran keterangan itu. Apalagi karena tidak ada orang lain di situ. Padahal Allitt berdusta. Perawat senior yang sepanjang hari berada di sana bisa menjadi saksi bahwa seragam Allitt masih yang itu juga.
Yang terjadi pada Liam sebenarnya mencengangkan. la sedang tidur nyenyak ketika Allitt masuk ke biliknya. Sekejap kemudian Allitt keluar dari sana, lalu mengumumkan bahwa Liam dalam keadaan gawat. Bayi itu segera dibawa ke ruang perawatan. Para dokter menghubungkannya dengan mesin pernapasan. Udara dipompakan ke paru-parunya. Beberapa jam kemudian keadaannya pulih.
Dokter heran
Suami-istri Taylor tidak mau pulang. Mereka menginap di kamar yang bersebelahan dengan bilik-bilik kecil. Keesokan harinya Liam dianggap cukup kuat untuk dipindahkan dari ruang perawatan ke Mr. Happy. Zuhur berikutnya, Chris Taylor tersenyum lega, ketika melihat putranya membuka mata kembali dan meraih boneka beruangnya.
Saat itu Allitt masuk dan memeluk ayah yang khawatir itu. Katanya, ia dengan sukarela akan melembur malam itu.
"Saya ditunjuk khusus untuk merawat bayi Anda," katanya.
Jumat malam itu suami-istri Taylor menginap lagi di rumah sakit. Sesaat sebelum tengah malam, Chris Taylor menjengukkan kepalanya ke dalam bilik Liam. Dilihatnya Allitt dan perawat lain bernama David Wiles, sedang menyemprot saluran napas Liam supaya lega. Chris dan istrinya yang kelelahan, merasa lega, karena mengira krisis sudah lewat. Mereka pun beristirahat di kamar yang jaraknya tidak sampai 7 m dari kamar bayi mereka.
Allitt boleh dikatakan terus mendampingi Liam di Mr. Happy. Menjelang pukul 21.00, Harshad Tailor, dokter anak, merasa puas dengan keadaan Liam dan meninggalkan pasien cilik itu bersama Allitt.
Pagi-pagi keadaan bangsal sunyi. Allitt yang menamakan dirinya perawat khusus bagi pasien cilik ini, mulai menyuruh-nyuruh dua perawat lain yang ada di sana. Mula-mula Allison Clegg yang statusnya calon perawat itu disuruhnya mengambil kateter hidung.
Ketika kembali, ia disuruh mengambil seprai. David Wiles disuruhnya mengambil kateter juga. Kepergian kedua perawat itu paling-paling hanya beberapa menit dan mereka cuma perlu beranjak beberapa meter dari sana.
Tapi selama absen dari Mr. Happy, mereka tidak mungkin melihat apa yang dilakukan Allitt, karena teralang dari pandangan.
Clegg kembali lebih dulu. Begitu masuk, dilihatnya Allitt berdiri kaku di samping ranjang, dalam keadaan shock. Di ranjang, Liam tampak sepucat kapur. Bercak-bercak bundar berwarna merah terang mulai muncul di wajah bayi itu. Allitt berteriak memanggil Wiles, yang datang diikuti Alan Greenaway, seorang calon perawat.
Allitt dengan gemetar berteriak: "Tim darurat! Panggil tim darurat!" Willes tercengang melihat Liam terbaring di ujung mesin pengaktif pernapasan dalam keadaan bergelung seperti bola. Padahal anak itu ditinggalkannya dalam keadaan terbaring normal.
Pukul 04.13. Liam mengalami gagal jantung, jantungnya berhenti berdenyut. Selama dua jam berikutnya bilik kecilnya dipenuhi oleh staf gawat darurat. Kerongkongan Liam sempat salah dimasuki pipa untuk pernapasan. Dua dokter anak, yaitu Tailor dan Charirth Nanayakkar, memperjuangkan nyawa Liam.
Sejam kemudian, para dokter melihat Liam tidak tertolong lagi. Namun, mereka tetap mencoba sampai pukul 06.00. Saat itu tanda-tanda hidup pada Liam sudah minimal. Dokter Nanayakkar yang sangat lelah tak habis pikir bagaimana anak seumur itu bisa mengalami gagal jantung. Dengan loyo ia memerintahkan agar mesin-mesin dimatikan.
Allitt menyaksikan seluruh prosedur. la juga menyaksikan Chris Taylor dan istrinya dibangunkan untuk diberi tahu bahwa walaupun putra mereka masih hidup, otaknya sudah mati dan tidak ada harapan lagi. Pukul 07.30 Allitt pulang. la tidak diperiksa. la tidak kembali untuk dinas malam. Allitt baru muncul dua jam setelah Liam meninggal.
Penderita kelainan jiwa
Tidak pernah ada orang yang tahu dengan tepat, mengapa Liam meninggal. Walaupun otak, jantung, dan organ-organ lainnya diperiksa secara patologis, misteri itu tidak terungkapkan.
Mungkin saja penyebabnya obat, seperti umpamanya kalium yang diinjeksikan ke dalam otot. Bisa juga insulin dosis tinggi. Bahkan bisa juga mulut dan hidungnya dibekap dengan tangan. Namun, penelitian serius baru dilakukan berminggu-minggu kemudian.
Allitt tidak pernah diperiksa dengan saksama perihal kunci lemari obat yang hilang.
Kematian Liam yang perawatannya dipercayakan padanya menjadikan Allitt sadar bahwa ia mampu melakukan pembunuhan yang sempurna. la ketagihan .... Mulai hari itu, penyakit Allitt yang berbahaya tidak terkendalikan. Bangsal IV yang penuh gambar dan mainan, yang ditata agar anak-anak betah itu, kini menjadi ajang pembunuhan.
Korban kedua
Allitt tidak membuang waktu. Tanggal 5 Maret, Timothy Hardwick yang berumur 11 tahun tetapi usia mentalnya sama dengan anak berumur 3 bulan, berulang-ulang terserang ayan. la dipercayakan pada perawatan Allitt.
Orang tua dan guru-gurunya melihat ia dibaringkan dengan lembut di kamar dengan 4 ranjang, di sebelah ruang rekreasi.
Tempat itu dihiasi dengan gambar-gambar dan mainan berwarna ceria. Timothy terlalu sakit untuk ikut bermain. Namun keadaannya tidak gawat dan ia berangsur membaik. Semua orang terkesan melihat sikap Allitt yang tenang dan penuh perhatian.
Saat itu banyak petugas lain: para perawat yang hilir mudik membawa baki obat dan dokter-dokter di tempat perawatan. Namun letak bangsal IV tidak memungkinkan para petugas di sisi lain melihat kegiatan Allitt.
Dua perawat, Mary Reet dan Heather Skayman, sedang bertugas memberikan obat kepada pasien dan berada di luar bilik-bilik kecil, ketika Allitt muncul sambil berlari dan berteriak: "Cepat! Cepat! Gagal jantung! Gagal jantung!"
Dokter Nanayakkar kebagian tugas lagi. la berusaha menyelamatkan Timothy yang jantungnya berhenti berdenyut.
Yang bisa ia katakan kemudian hanyalah: "Kematiannya tidak disangka-sangka." Walaupun diadakan autopsi, sebab kematian tetap tidak diketahui. Namun, mereka tidak memanggil polisi.
Disuntik dengan udara
Beberapa meter dari tempat Timothy meninggal, berbaring Kayley Desmond, yang dirawat sejak 3 Maret karena menderita infeksi ringan pada dadanya. Bayi perempuan itu kuat dan keadaannya tidak patut dikhawatirkan. Namun begitu dirawat Allitt pada tanggal 10 Maret di kamar bekas Liam, ia mengalami gagal jantung.
Untung ia buru-buru dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Nottingham. Kayley selamat. Ternyata pula para dokter di sana lebih teliti. Mereka menemukan bekas tusukan jarum di ketiak kanan Kayley dan di belakang tusukan jarum itu ada sebuah gelembung udara. Ada orang yang menyuntikan udara ke tubuh bayi perempuan itu!
Setelah itu tiga minggu tidak terjadi apa-apa. Lalu tiga percobaan pembunuhan terjadi dalam waktu 4 hari. Tanggal 28 Maret, Paul Crampton yang berumur 5 bulan, pingsan di bangsal IV. Kemudian ketahuan bahwa ia mendapat suntikan insulin dosis tinggi. Tanggal 30 Maret, Bradley Gibson (5) mendapat serangan jantung.
Menurut para ahli patologi, ia juga mendapat suntikan insulin. Bradley lolos dari maut, tetapi cacat sampai sekarang. Tanggal 31 Maret, Henry Chan (5) pingsan. Hampir saja ia tewas, tetapi berhasil diselamatkan. Semua di bawah perawatan langsung Allitt.
Polisi tetap juga tidak diberi tahu. Kematian kedua terjadi lima hari kemudian. Hari itu hampir saja dua nyawa melayang.
Sudah satu, eh satu lagi!
Becky Phillips yang berumur 9 minggu mulai dirawat di bangsal IV pada tanggal 1 April. Kelihatannya ia tidak begitu sakit. la dimasukkan ke rumah sakit sekadar untuk observasi. Waktu itu Allitt cuti dua hari. Begitu masuk, ia mencari-cari alasan untuk mengopeni Becky di kamar no. 5, yang diberi nama Mr. Tickle. Tanggal 5 April, Allitt berlari ke luar dari kamar itu dan memaksa perawat lain melihat Becky.
"Tubuhnya dingin dan kelihatannya kadar gula darahnya sangat rendah," katanya. "Rasanya kita perlu memanggil dokter." Rekannya tidak melihat ada kelainan apa-apa.
Keesokan harinya, Becky dibawa pulang, setelah disuapi oleh Allitt. Malam itu Becky berteriak-teriak kesakitan dan kejang-kejang beberapa kali. Sejam kemudian Becky meninggal. Ketika darahnya diperiksa, ternyata kadar insulinnya tinggi.
Dokter keluarganya merasa heran. la khawatir saudara kembar Becky, Katie, mengalami hal yang sama. Sebagai tindakan berjaga-jaga, Katie dimasukkan ke bangsal IV di Grantham, untuk diawasi oleh ...Allitt!
Malam itu Allitt memindahkan ranjang Katie di bilik no. 2, Mr. Noisy, tanpa memberi tahu para perawat lain. Lalu 10 menit kemudian ia keluar menggendong Katie sambil berteriak: "Gagal jantung! Gagal jantung!" Saat itu Katie sudah biru kehitam-hitaman dan berhenti bernapas, walaupun tidak ada sistem gawat darurat yang memberi isyarat.
Katie bisa diselamatkan, tetapi lima tulang rusuknya ditemukan patah. Waktu itu diperkirakan akibat prosedur mengaktifkan kembali pernapasannya.
Makin ganas
Selama 11 hari berikutnya, ada 4 anak pingsan tanpa diketahui penyebabnya, padahal mereka anak-anak yang kuat dan keadaannya baik. Michael Davidson (7) menderita serangan jantung, Chris Peasgood (8 bulan) berhenti bernapas, Patrick Elston (7 minggu) menderita kerusakan otak yang permanen akibat napasnya berhenti.
Dalam semua kasus, Allitt selalu pernah berduaan saja dengan anak yang bersangkutan, padahal orang lain tidak. Dalam semua kasus, penyebabnya tidak wajar. Namun, polisi tidak juga diberi tahu.
Kemudian tanggal 18 April, bangsal IV menerima Claire Peck (15 bulan). Anak itu asmatis. Dua hari kemudian ia sudah boleh pulang. Tanggal 22 April ia dibawa kembali karena batuk hebat. Nelson Porter, sang dokter anak, menyuruh Claire diinfus di ruang perawatan.
Susan Peck, ibu Claire, menyaksikan napas putrinya berbunyi, tetapi keadaannya tidak parah sekali. Susan ikut masuk ke ruang perawatan, tempat Porter dilihatnya mencampur cairan infus. Di sebelah dokter itu berdiri “seorang perawat bertubuh montok berambut cokelat kelabu". Perawat itu Allitt.
Barbara Barker, perawat senior di bangsal itu, mengantar Susan, suaminya Peter, dan ayahnya ke ruang di sebelah ruang perawatan. Kemudian dokter memberi tahu bahwa Claire harus dipindahkan ke Queen's Medical Centre di Nottingham.
“Boleh saya lihat dulu sebentar?" tanya Susan. Ketika ia masuk ke ruang perawatan, dilihatnya anak mereka sedang ditangani oleh seluruh tim.
Susan dan Peter Peck dipersilakan menunggu di ruang tunggu. Beberapa menit kemudian dokter menghampiri mereka lagi.
“Keadaan anak Anda tidak memungkinkan ia dipindahkan," katanya.
Susan meminta izin untuk melihat anaknya dulu. Ketika ia masuk ke ruang perawatan, dua perawat keluar berteriak-teriak dan mendorong si Ibu kembali ke ruang tunggu. Susan memaksa juga masuk. Dilihatnya dua perawat mengangkat Claire dari mesin ventilasi. Bayi itu sudah meninggal. Allitt berdiri dengan wajah tanpa ekspresi di bilik itu.
Seorang ahli racun menemukan lignocaine, suatu obat keras, dalam tubuh Claire. Zat itu tidak boleh hadir dalam tubuh bayi. Jelas, Claire dibunuh.
Tidak mau makan
Allitt hanya memliliki waktu beberapa menit saja untuk memasukkan zat pembawa maut itu dan hal itu dilakukannya pada saat para perawat, dokter, dan anggota keluarga korban cuma beberapa tindak saja dari korban.
Itulah korban terakhir Allitt. Saat itu Beverly Allitt berada di ruang terkunci di RS Rampton. la diperiksa oleh sejumlah psikiater. Kalau tadinya ia montok, kini ia seperti tengkorak karena menderita anoreksia, kehilangan selera makan. Walaupun demikian ia masih senang tertawa-tawa dengan para perawat dan terus-menerus menulis surat berisi obrolan kepada teman-temannya.
Juri menyatakan ia bersalah membunuh 4 anak dan mencoba membunuh 3 anak serta menganiaya 6 anak lagi. Keputusan itu disampaikan kepadanya oleh para pembelanya. Orang tuanya tetap yakin ia tidak bersalah dan mereka akan mengusahakan naik banding. Pada saat karangan ini dibuat, hakim belum memutuskan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada Allitt.
Orang Sakit Jiwa Kok Merawat Anak Sakit!
Bagaimana Beverly Allitt bisa dipercaya merawat anak sakit di rumah sakit? Padahal sejak kecil ia sudah menderita kelainan jiwa. Gadis montok yang temperamental itu setelah remaja pernah berbulan-bulan lamanya merepotkan para dokter yang bertugas memberi pertolongan kepada penderita kecelakaan di RS Grantham.
Nick Davies, seorang wartawan freelance, melakukan penyidikan lebih dari setahun. la berhasil mengetahui latar belakang Allitt ini dari arsip rumah sakit tersebut.
Menurut arsip para dokter yang pernah merawatnya pada tahun 1986, Allitt menderita sindroma Munchhausen. la mati-matian menciptakan suasana dramatis, supaya mendapat perhatian dari para dokter. Tahun 1987, ia datang lagi berulang-ulang untuk menunjukkan cedera ringan di tangan dan punggung. Selama 3 tahun berikutnya ia datang 24 kali.
Namun anehnya, tidak ada orang yang menyampaikan hal itu ke bagian anak-anak di rumah sakit yang sama.
Tahun 1989 ia melamar menjadi siswi perawat dan bertugas dua tahun di Grantham. Selama dalam pendidikan ia sering absen. Pernah dalam setahun ia tidak masuk selama 93 hari karena sakit. Apa sakitnya tidak jelas.
Desember 1990 ia tidak lulus dalam wawancara untuk melamar kerja di Grantham. Sebulan kemudian ia ditolak oleh Pilgrim Hospital di Boston. Sementara itu ia terus bekerja di Grantham yang memberi kesempatan kepadanya untuk belajar lagi karena ia lama absen.
Tanggal 12 April 1991, ketika tiga anak sudah tewas dan enam lagi menjadi korban penganiayaan di bangsal IV, barulah para ahli patologi menemukan racun dalam salah satu kasus kematian. Itu pun polisi baru dipanggil tanggal 30 April, ketika Allitt sudah membunuh seorang anak lagi.
Pihak rumah sakit rupanya takut mendapat nama buruk, kalau mereka melapor ke polisi. Soalnya, penyidikan akan mengungkapkan berbagai kekurangan mereka, baik dalam hal menyediakan tenaga terampil, komunikasi antardepartemen, disiplin, maupun prosedur gawat darurat.
Akibatnya, pasien dan keluarganya mengalami musibah. (James Dalrymple)