array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3567682"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/508-2005-70-terkecoh-piringan-hi-20221111074300.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(146) "Nyonya Bonfield tewas mengenaskan di kamarnya. Sementara suaminya sedang berada di kantor dan menyiapkan peluncuran acara kliennya. Apa kaitannya?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/508-2005-70-terkecoh-piringan-hi-20221111074300.jpg"
      ["title"]=>
      string(23) "Terkecoh Piringan Hitam"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 19:43:25"
      ["content"]=>
      string(29339) "

Intisari Plus - Nyonya Bonfield tewas mengenaskan di kamarnya. Pada saat yang sama, suaminya sedang berada di kantor dan menyiapkan peluncuran acara kliennya. Apa kaitannya?

-------------------

Jam menunjukkan pukul 23.12, ketika telepon dari Tuan Gamble yang tinggal berseberangan dengan keluarga Bonfield berdering di kantor kepolisian terdekat. Sepuluh menit sebelumnya, Gamble terbangun gara-gara mendengar suara seseorang menjerit, yang datang dari arah depan rumahnya. la segera menyambar jas di dekat tempat tidur untuk menutupi piyama yang dikenakannya.

Pak Gamble kemudian menghampiri Hannah Swenson, pembantu rumah tangga keluarga Bonfield, yang masih berteriak kencang karena ketakutan, tepat di depan pintu masuk rumah.

Beberapa menit kemudian, polisi datang ke lokasi. Mereka mendapati mayat Louise Bonfield terbujur kaku di tempat tidurnya. Dari kepalanya, darah segar masih basah mengalir akibat luka bacok. Tempat lilin yang terbuat dari kuningan, yang biasanya diletakkan di atas perapian, dipenuhi darah. Rupanya kepala Louise dipukul dengan benda dari kuningan itu.

Louise juga dicekik. Hal itu tampak dari memar keunguan di sekitar leher. Isi kamar tampak berantakan tak keruan. Laci-laci dikeluarkan dari tempatnya dan isinya berhamburan keluar. Dompet manik-manik milik Louise didapati dalam keadaan kosong.

Polisi menemukan potongan kaca nako yang berasal dari jendela belakang. Ditemukan juga sebuah jam kuno terbuat dari kuningan di lantai. Kacanya pecah namun jarum jamnya menunjukkan angka 22.35. Kepada polisi, Hannah mengaku pertama kali mendapati mayat pukul 23.00. Saat itu, seperti biasa wanita berdarah Belgia itu selalu menaruh segelas jus jeruk di meja samping tempat tidur majikannya.

Louise, yang sedang dalam perawatan dokter sejak kena serangan batu empedu, memang sering terbangun di tengah malam karena batuk kecil. la merasa setelah minum jus jeruk, tenggorokannya lebih nyaman sehingga batuk pun reda. Tanpa membuang waktu, polisi langsung mencari George Bonfield, suami korban.

 

Dibunuh atau dirampok?

Dari dalam ruangan di kantornya, George dapat mendengar Joe Tyler, asistennya, menerima kedatangan beberapa tamu. Tak jelas apa yang mereka perbincangkan karena suara mereka terdengar seperti setengah berbisik. Tak lama kemudian, Tyler mengetuk pintu ruangan. Dua polisi berbadan tegap ikut masuk. Saat itu, George mulai punya firasat buruk tentang keluarganya. Wajahnya pucat pasi.

“Istri bapak terbunuh. Kami minta Anda segera ke rumah,” ujar salah seorang polisi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, George kembali ke rumah. Dengan langkah gontai, George memasuki kamar tidurnya yang dipenuhi beberapa orang polisi. Sebagian memakai seragam, lainnya tidak. George menatap mayat istrinya dengan perasaan berkecamuk. Rambutnya lengket oleh darah dari luka di kepala. la tak tega menyaksikan kepergian Louise dengan cara tragis seperti ini.

“Istri Anda, Tuan?” tanya seorang polisi.

“Ya,” kata George dengan suara pelan, hampir tak kedengaran. Tak lama kemudian, seorang pria berwajah ramah datang bersama seorang stenografer. Pria itu Inspektur Christopher McKee dari Divisi Pembunuhan Kepolisian Manhattan. la segera mengumpulkan keterangan dari tetangga seberang rumah seraya membaca laporan tertulis kesaksian Hannah. Setelah itu menghampiri George.

“Sepanjang sore ini Anda di kantor, ‘kan?” tanya McKee.

“Ya,” jawab George. la menunggu pertanyaan apa lagi yang akan diajukan inspektur. Namun pria itu hanya mengangguk dan berlalu.

Baru pagi harinya, Bonfield dipanggil ke kantor polisi. Pertanyaan Christopher masih sama dengan pertanyaan semalam. Hanya lebih detail. George terlihat siap. Joe Tyler ikut mendampingi, kalau-kalau keterangannya masih diperlukan.

Tiga detektif lain masuk dan ikut mendengarkan keterangan Bonfield. Salah seorang menjelaskan hasil sementara penyelidikan mereka atas pembunuhan Louise Bonfield.

“Kami menyimpulkan istri Anda dibunuh oleh pencuri yang dipergoki berada di ruangan ini. Si pencuri tak menyadari ruangan yang dimasukinya adalah kamar tidur pemilik rumah. Tujuannya semula merampok. Tapi akhirnya membunuh karena istri Anda mengagetkannya. Pelaku menyambar tempat lilin dari perapian, juga memukulnya dengan jam hingga tewas di tempat.”

George tampak menyesali perbuatan si pelaku.

“Tak ada berlian dan surat berharga di rumah kami karena Louise menyimpannya di safe deposit box di bank. Kalaupun punya, tak seberapa, ada di dompet manik-manik,” jelas George.

“Oke, kita teruskan. Ini pekerjaan rutin penyidik. Kami juga akan melanjutkan pertanyaan yang lebih detail kepada Hannah setelah kondisinya membaik. Gambaran peristiwa ini akan segera terungkap. Nah, sekarang katakan, apa sebenarnya yang Anda lakukan tadi malam?”

Bonfield menyilangkan sebelah kakinya ke kaki yang lain, ia berusaha bicara. Namun sulit baginya melontarkan suara. Bayangan istrinya masih jelas dalam ingatannya.

“Kami makan malam sekitar pukul 19.30. Setelah itu, seperti biasa saya meninggalkan rumah satu jam berikutnya. Tadi malam pekerjaan di kantor sangat banyak. Kami tengah menyiapkan peluncuran Darling Soap People.”

“Anda sendirian di kantor?” 

“Dengan asisten saya, Joe Tyler. Tapi ia berada di ruangan lain, di sebelah ruangan saya.”

Christopher mempersilakan Joe Tyler memperkuat kesaksian George. Tyler pun bersaksi bahwa George berada di kantor sejak pukul 20.45, hingga saat polisi datang. Tyler yakin George selalu berada di ruangannya.

Christopher tampak tenang dan tak terpengaruh sedikit pun oleh keterangan Tyler. “Dari ruangan Anda terdapat pintu yang langsung terhubung menuju jalan utama ‘kan, Tuan George?” pertanyaan Christopher seperti tak terduga.

George agak kaget. Namun faktanya memang begitu.

“Betul. Ini artinya kalian menuduh saya pelaku semua ini?” kata George sedikit emosi. 

Joe Tyler bangkit dari duduknya. la pun tak kalah emosi.

“Nyonya Bonfiled terbunuh pukul 22.35. Betul, Inspektur? Coba lihat kembali laporan tertulis mengenai waktu kejadian!”

Christopher mengangguk pelan. 

“Maksud Anda, pada jam itu George berada di kantor?”

“Ya. Suara George terdengar dari ruangan saya. Bahkan jam 22.35 jelas sekali ia tengah mengontak Frank Morisson bahwa tugasnya segera siap pagi ini. Saya mendengar sendiri pembicaraan itu.”

“Kenapa Anda begitu yakin?” tanya sang Letnan dengan pandangan tajam. 

“Karena saya ingat waktunya. Saya ingat karena kami menghadapi pekerjaan yang banyak. Setahu saya, George sangat gelisah dengan mepetnya waktu yang diberikan Morisson. la sampai merasa perlu mengontak Frank dan meyakinkan bahwa besok, saat peluncuran produk Darling Soap People, semuanya beres. Dalam pembicaraan itu saya mendengar George bilang: Sekarang jam 22.35, Frank. Dua jam lagi kami menyelesaikannya. Besok pagi acara Anda akan beres,” papar Joe Tyler.

Dengan alibi itu, jelas tak mungkin George pelaku pembunuhan sadis Louise. Christopher tidak mengatakan sepatah kata pun. Bersama anak buahnya ia kembali menuju kediaman George. Mereka memutari halaman rumah keluarga Bonfield, memeriksa ulang pintu dan semua jendela, juga kamar Hannah.

Ruangan George di kantor juga tak luput dari pemeriksaan ulang. Di ruangan ini penyelidikan dilaksanakan lebih intensif. Di kamar mandi mereka mendapati serpihan topi berwarna hijau yang diduga milik salah satu klien George yang tertinggal. 

Di tempat lain, George bernapas lega. Untuk pertama kalinya sejak Louise terbunuh, ia bisa beristirahat dengan nyaman.

 

Tak sengaja mengaku

Sayangnya kenyamanan George tak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian, ia kembali dipanggil ke kantor polisi. Hampir lima orang penyidik berada di ruangan Inspektur Christopher McKee. Fotokopi laporan tertulis pembunuhan Louise berada di atas meja inspektur.

“Maaf mengundang Anda kembali. Ini hanya formalitas saja,” sapa Christopher. Nadanya datar. 

Tak lama kemudian, seorang detektif lain masuk. 

“Saya baru saja mengontak Frank Morisson dari Darling Soap. la bilang, Tuan Bonfield menghubunginya pukul 22.35. Mereka bercakap-cakap mengenai pekerjaan untuk pagi berikutnya.”

McKee dan keenam rekannya terdiam. Laporan tertulis tampaknya sudah hampir final. McKee menyodorkan laporan tertulis hasil penyidikan kepada George. 

“Pak Bonfield, silakan tandatangani laporan ini,” pintanya.

George baru saja menancapkan penanya di kertas laporan. Ketika tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Tampak Hannah, sang pembantu, datang bersama polisi lain. Sejenak darah George berdesir. la benar-benar tak menghendaki kehadiran Hannah. Hannah seharusnya di rumah mengurusi tetek-bengek rumah tangga. Namun George tak bisa menyalahkannya karena Hannah tampaknya diundang McKee.

Kepada Hannah, McKee mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Dengan lugu wanita itu menggambarkan kembali situasi pada malam kejadian. Menjelang lima menit sebelum pukul 23.00 ia membuat jus jeruk untuk dibawa ke kamar Ny. Bonfield. Lima menit kemudian, ia menyaksikan sesuatu yang mengerikan.

“Saya berteriak. Saya turuni tangga dengan berlari menuju pintu utama. Lalu membukanya dan lari lewat pintu itu,” ujar gadis bermata biru dan berwajah bulat tersebut. 

Inspektur menatap wajahnya.

“Hannah, sebetulnya pintu itu memang tidak dalam keadaan terkunci. Seseorang telah membukanya. Pelaku melepas rantai dan memutar kunci agar ia bisa berlari usai membunuh Nyonya Bonfield. Jadi bukan kamu yang membukanya.”

“Saya tidak peduli. Sayalah yang membuka pintu itu. Pintunya terkunci ketika saya berada di kamar Nyonya,” tegas Hannah yang gigih bertahan dengan ingatannya.

Namun McKee masih terus memengaruhi Hannah bahwa pintu menjadi rangkaian rencana pelaku untuk menghindari diri dari Hannah. Sangkal-menyangkal perihal pintu masih berlangsung hingga Hannah mulai menangis. Ia takut dituduh sebagai pelakunya. George yang sejak awal tidak menyukai kehadiran Hannah jadi tambah kesal. Namun ia berusaha menahan diri.

“Dasar pembantu bodoh. Terang saja pintu tersebut dalam keadaan tak terkunci beberapa saat sebelum jam 23.00. Sebab aku sendiri yang membukanya ketika pertama kali masuk ke rumah pukul 22.24. Setiap langkah sudah kuperhitungkan dengan matang. Hannah, tahu apa dia?” sergah George dalam hati.

Namun McKee terus dan terus menekan Hannah dengan pertanyaan seputar pintu. Mata George yang makin kesal, akhirnya memerah. la bak menahan berkecamuknya beragam perasaan. Sampai akhirnya, pertahanan itu jebol! la tak tahan lagi.

“Tentu saja pintu itu sudah terbuka ketika kamu menuruni tangga. Saya tahu itu, sebab sayalah yang ...” teriak George tanpa sadar. la sendiri kaget mendengarnya. George tampaknya benar-benar tak tahan. Ia ingin segera menghentikan pembicaraan tentang pintu itu.

Mendadak semua orang di ruangan menatap George tak percaya. Termasuk Inspektur McKee. 

“Oh, Anda tahu kalau pintu itu sebetulnya sudah dibuka? Teruskan, Tuan Bonfield!”

Bibir Bonfield memucat. Ingin rasanya ia berlari dari ruangan itu. Tapi ke mana? Tak ada tempat yang aman untuk bersembunyi. Ia sudah berhati-hati sejak kemarin. Ya ucapannya, ya tingkah lakunya. Tapi tetap saja akhirnya lidahnya keseleo. 

“Sayalah yang membunuhnya,” ujar George pelan seraya menutupi wajah dengan kedua belah tangannya.

 

Jam dan piringan hitam

George Bonfield dan Louise tinggal di lantai pertama di rumah mereka di kawasan West Thirteenth Street yang telah mereka diami selama 30 tahun. Tepatnya sejak mereka menikah. Di usianya yang memasuki 56, George masih terlihat gagah meski rambut putihnya terlihat di sana-sini.

Istrinya, Louise, termasuk dominan dalam mengatur rumah tangga. Dalam keadaan sakit pun ia masih cekatan mengatur segala hal. Sejak menjalani terapi, Louise sudah berada di ranjangnya pukul 21.00. Menurut dokter, jika rajin terapi dan beristirahat yang cukup, usia Louise akan bertahan 20 tahun ke depan.

Bertahan 20 tahun lagi? Bulu kuduk George langsung bergidik. Belakangan ia merasa jenuh dengan pernikahannya. Membayangkan hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun yang harus dijalaninya bersama Louise, membuatnya muak. la merasa bagai hidup di ketiak istrinya yang selalu mengatur segala hal.

“George, sesibuk apa pun, kamu harus menemui orang-orang asuransi. Dalam waktu 3 bulan asuransimu akan jatuh tempo. Makanya kita harus mulai merencanakan investasi baru. Ada rencana tertentu di otakku.”

“Ya,” sahut George enggan. Louise selalu saja punya ide yang sangat jelas dan sulit dibantah. Kesannya sangat mengatur. Bahkan juga dalam hal yang tidak seharusnya dia pikirkan. Percintaan putri mereka pun diaturnya, juga warna wallpaper di ruang makan yang mestinya masuk dalam tanggung jawab pemborong.

“Oh iya, masih ada satu hal lagi yang mau aku bicarakan. Itu, lho, account-nya Randall. Jangan sampai ditunda minggu depan.” 

“Ya, sayang,” ujar George seraya mengambil majalah. Tangannya bersentuhan dengan tangan istrinya. Kulitnya masih lembut. Tapi anehnya, ia sudah tak menginginkannya.

Tak lama, terdengar pintu diketuk. Hannah, pembantu rumah tangga berdarah Swedia, memberi laporan.

“Jam di atas tungku tidak berfungsi, Tuan.” Katanya.

Louise sedikit tak percaya. Sebelumnya jam tersebut tidak apa-apa. la sedikit menyalahkan Hannah.

“Ya, sudah. Biar aku lihat!” kata George yang memilih keluar ruangan daripada mendengar ocehan istrinya. 

“Jangan lama-lama, kamu kan harus ke kantor malam ini. Eh Hannah, ingat ya, kamu mesti membawa jus jeruk jam 23.00. Jangan bangunkan saya. Jangan lupa pintu depan harus sudah terkunci sebelum kamu tidur. Bapak akan membunyikan bel setiba di rumah.”

George berjalan menuju dapur di lantai bawah untuk melihat jam yang dimaksud Hannah. Mati. Tiba-tiba akal jahatnya datang begitu ia mengutak-atik jam. Semula Hannah menawarkan untuk memanggil tukang servis jam. Tapi George mencegahnya. “Besok saja. Sekarang jam ini sudah membaik kok,” katanya. George lalu ngeloyor ke kantornya.

Kantor George terletak di lantai kedua dari salah satu gedung di West 42 Street. Hanya terdiri dari ruangan tunggu yang tidak seberapa besar dan dua ruang kerja. Ruang yang satu dihuni Joe Tyler dan dua stenografer, dan lainnya ruangan George. Agensi iklan yang ia kelola tak seberapa besar dari segi ruang. Tapi letaknya sangat strategis untuk berbisnis. Tak heran jika kantornya menghasilkan keuntungan yang lumayan besar.

Malam itu, seperti biasa, Tyler tengah menunggunya. George memberikannya beberapa tugas. la menenangkan diri sejenak. Tidak melakukan aktivitas apa pun. Pikirannya tertuju penuh pada “kreativitas” yang lain.

Di sela-sela waktu kerja, George membeli sebuah jam. Bukan jam elektronik tapi jam weker murah yang sederhana dengan bel di atasnya. la juga membeli sebuah player piringan hitam portabel kecil. Kedua barang tersebut diletakkan dalam laci kerjanya yang terkunci rapat.

Ketika seorang klien di luar kota memintanya datang ke peluncuran produk baru, George tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk membeli disc seukuran piringan hitam yang dapat merekam. George juga membeli senar-senar tipis. Sekembalinya dari luar kota, ia melakukan eksperimen dengan barang-barang yang baru dibelinya itu di kantor. Tentunya di saat kantor sudah sepi.

Pertama kali yang ia copot adalah bel dari jam wekernya. la juga melakukan eksperimen dengan senar-senar kecil. Hati-hati ia mencoba mengaitkan jam dengan pengungkit piringan hitam dan tali-tali senar kecilnya. Tak lupa ia merekam suaranya sendiri pada disc/piringan hitam. Setelah puas bereksperimen, barulah ia menaruh “perkakas” barunya itu ke dalam laci. Habis itu, ia berkemas ke rumah.

Dua minggu setelah eksperimen, George kembali mematangkan rencananya agar “proyek” rahasia itu berjalan sempurna. la menguji jendela, pintu, dan juga menyiapkan pemotong kaca serta selotip besar. Hari H semakin dekat. George terus menghitung durasi ketika ia beraksi. Ia mempelajari berapa menu waktu yang dibutuhkan dari kantor menuju rumah, lama beraksi, hingga kembali lagi ke ruangannya.

Semua skenario sudah matang di kepala. Termasuk hari yang dipilih, tentunya dengan pertimbangan terbaik. Semula ada tiga hari yang menjadi pilihan yaitu Rabu, Kamis atau Jumat. Tetapi ia memilih hari Kamis, sehari sebelum kliennya Frank Morisson, Presiden Direktur Darling Soap, meluncurkan produk terbaru. Hari yang pasti akan “sangat sibuk”.

Selain itu, pilihan pada Kamis juga karena pertimbangan cuaca. Menurut ramalan cuaca, hari itu tidak turun hujan tapi akan ada angin besar di malam hari.

 

Pakai topi teman

Di hari H, sepanjang makan malam, Louise bicara terus. Makanya agar tidak mencurigakan,George berusaha tampil apa adanya. Satu jam berlalu, George pamitan untuk ke kantor. 

George memang kembali ke kantor dan menemui Joe, bawahannya. 

“Saya harus menyiapkan kampanye Morisson besok. Malam ini kamu konsentrasi pada tugas ini,” ujar Bonfield sembari menyerahkan seberkas pekerjaan. “Saya sendiri malam ini hanya ingin berkonsentrasi pada tugas Morisson. Jadi mohon jangan ganggu saya,” ujarnya.

George lalu masuk ke ruangannya. la mengunci pintu dari dalam. Waktu menunjukkan pukul 21.20. Pukul 21.55 ia mulai mengeluarkan perkakasnya. Jam weker minus bel, player piringan hitam, dan rekaman suara George sendiri yang termuat di piringan hitam. la menjadikan jam weker sebagai pemicu berfungsinya player piringan hitam. Lalu diam-diam menyelinap keluar kantor.

la menuruni tangga darurat dan muncul di lantai dasar. Biasanya ada penjaga yang mengawasi ruangan ini. George menghentikan langkahnya. Jantungnya sempat berdegup saat mendengar langkah kaki seseorang. Pintu terakhir yang harus dilaluinya tinggal 10 meter di depannya. Kalau ada yang memergoki maka hancur lebur sudah rencana yang sudah disiapkan jauh-jauh hari.

George berusaha menahan napas dan terdiam kaku. Jangan sampai ia mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hati George lega ketika langkah kaki menjauh. George mengenakan topi warna hijau milik salah seorang kliennya yang tertinggal di kantor beberapa bulan lalu. Topi dan jas milik sendiri ia tinggal di kantor.

Malam itu hanya ada beberapa pejalan kaki yang ia temui. Untung tidak hujan. Ia menaiki bus ekspres dan turun di Fourteenth Street. Rumah yang ia tinggali terletak di sebelah selatan dari Thirteenth Street, tetapi ada sebuah jalan setapak yang berujung ke bloknya.

Pemotong kaca siap di saku. Begitu juga selotip. George mengenakan sarung tangan dan menggunakan selotip besar di kaca nako pintu belakang. Hati-hati ia memotong kaca. Dengan bantuan selotip besar, kaca yang terlepas tidak mengeluarkan suara. Suasana sangat gelap, karena tak ada penerangan, kecuali lampu dari kamar Hannah. Dengan mudah ia masuk ke dalam rumah.

Sejenak ia terdiam untuk mendengarkan sesuatu. Ruangan pertama yang didatangi adalah dapur untuk mengambil jam kuno yang ngadat beberapa hari yang lalu. Setelah itu ia menuju pintu depan. la membuka rantai pintu. Kini tujuannya kamar Louise.

Pukul 22.35 “tugas” utama ia selesaikan dan kembali ke kantor lewat rute yang sama. Sebelum meninggalkan rumah, ia menelepon Frank Morisson dari kamar mandi rumahnya. Pukul 22.53 George telah tiba di ruangan. Jam alarm, player piringan hitam, dan suara rekaman ia satukan dalam sebuah tas besar. Ia kembali ke luar kantor untuk memusnahkan ‘‘perkakas” itu. Topi hijau ia hancurkan menjadi serpihan kecil dan dibuang di kloset. Begitu pula piringan hitam. 

Sedangkan jam dan player piringan hitam portabel ia lempar hingga hancur berkeping-keping di celah-celah sempit bangunan di sekitar kantor, yang selama ini hampir tak pernah dijamah orang.

 

Dibantu angin

Beberapa saat usai penahanan George Bonfield, McKee menghadap Jaksa Wilayah. McKee memperlihatkan tanda tangan di atas surat pengakuan Bonfield. Dia melengkapi surat itu dengan sedikit penjelasan.

“Pada malam kejadian, George meninggalkan kantor langsung dari ruangannya. Joe Tyler tak menyadari kalau saat itu Bonfield ternyata tengah memainkan mesin buatannya, yang terdiri dari jam alarm, piringan hitam kecil, dan rekaman suara George di piringan hitam. la juga menyetel jam weker pada posisi 22.35 yang berhubungan ke player piringan hitam. Mengaitkan satu senarnya pada anak genta jam dan senar lainnya ke pengungkit player piringan hitam.

Lalu ia dengan leluasa meninggalkan kantor menuju rumahnya di Thirteenth Street untuk membunuh istrinya sendiri. Sebuah alibi yang sempurna!”

Menurut McKee, George membunuh bukan pada 22.35 seperti saat jam ditemukan di kamar Louise. Tetapi sekitar 22.25. Usai membunuh ia sempat menghubungi Morisson kliennya sekitar 22.35. Sementara itu di saat yang sama, di ruangannya, alarm jam menggerakkan pengungkit player piringan hitam. Saat itulah rekaman suara George terdengar oleh Tyler.

“McKee, sebelum Bonfield mengaku, apakah Anda sudah menduga bahwa dialah pelakunya?” 

McKee mengangkat bahunya. “Terhapusnya sidik jari pada telepon di kamar mandi Ny. Bonfield merupakan keganjilan. Artinya pelakunya sudah merencanakan semua ini. Jadi bukan perampokan. Apalagi waktunya terbatas. Tapi saya tak percaya kita akan mengetahuinya secepat ini. Kecuali, istrinya dan angin ....”

Jaksa Wilayah tercenung. “Nyonya Bonfield? Angin?” 

“Ya, Nyonya Bonfield berhasil melatih Hannah dengan baik. Hannah sangat takut kepadanya kalau ada pekerjaan yang tak beres. Saat ia tidur di kamar dan mendengar ada suara angin, Hannah langsung mencemaskan pintu depan rumah. Ia jadi ragu apakah ia sudah menguncinya atau belum. Selama ini Nyonya Bonfield selalu mewanti-wanti agar pintu tersebut dalam keadaan terkunci sebelum Hanah tidur.’’

“Kalau ada suara angin artinya pintu belum terkunci. Pukul 22.30 Hannah menuruni tangga dan mendapati pintu dalam keadaan tak terkunci. Waktu itu Tuan Bonfield masih berada di kamar istrinya. la tahu persis jam Hannah menyiapkan jus. Dengan waktu 6 menit yang ia miliki, Bonfield memaksa Hannah agar mengunci pintu depan dahulu. Suara angin yang masuk membuat Hannah tak mendengar kedatangannya. Tentu saja ia menguncinya, memasang rantai dan kembali ke kamarnya lalu berjaga hingga 22.55. Lima menit sebelum waktunya mengantar segelas jus jeruk ke atas.”

“Saat itulah Bonfield melarikan diri dari pintu depan. Pintu dibuka kembali. Sedangkan Hannah merasa sudah menguncinya. la pun tak ingat lagi ketika pintu depan sudah tak terkunci lagi.” (Hellen Reilly)


Baca Juga: Dalang dalam Selimut Pengawalan

 

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567682/terkecoh-piringan-hitam" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668195805000) } } }