array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3606028"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/tamu-terakhir_pavel-danilyukjpg-20221212091641.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(138) "Seorang pria kedatangan tamu-tamu yang berteduh di rumahnya. Hingga datanglah tamu yang mengaku polisi dan ingin mencari penjahat narkoba."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/tamu-terakhir_pavel-danilyukjpg-20221212091641.jpg"
      ["title"]=>
      string(13) "Tamu Terakhir"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 09:16:55"
      ["content"]=>
      string(33826) "

Intisari Plus - Seorang pria kedatangan tamu-tamu yang berteduh di rumahnya. Hingga datanglah tamu yang mengaku polisi dan ingin mencari penjahat narkoba.

--------------------

Sabtu pagi ini aku sungguh merasa suntuk. Sebagai bujangan, mumpung belum punya tanggungan, biasanya aku menyempatkan diri berlibur ke luar kota setiap akhir pekan. Namun bisul di telapak kaki yang muncul pada waktu dan tempat yang salah, menyebabkan aku tidak bisa keluar rumah. Ya, sudah. Kuputuskan bersantai di rumah, menonton televisi.

Untunglah, suasana hati yang muram segera berubah setelah menonton tayangan film di TV. Aku memang penyuka film komedi, namun yang baru saja diputar ini benar-benar mengundang imajinasi. Kisahnya tentang dua orang penjahat yang saling menipu dengan kreatif, akhirnya justru tertipu oleh penipu ketiga. 

Dalam kehidupan yang sebenarnya, semudah itukah kita ditipu? Alangkah banyaknya cara untuk menipu orang. Walaupun hanya seorang pegawai kantor yang sederhana, aku cukup percaya diri dan yakin tidak akan mudah tertipu.

 

Tamu pertama

Setelah mematikan pesawat televisi, aku ke dapur melihat apa yang dapat kumakan siang ini. Tiba-tiba mendung yang telah menggantung sejak pagi tadi mencurahkan hujan cukup lebat. Segera aku menghampiri jendela depan untuk menutupnya, sebelum air hujan menerpa kisi-kisi teralis sehingga tampias ke dalam rumah. Pada saat itu tampak sekelebat bayangan pria berlari masuk ke halaman rumah dan berhenti persis di depan jendela yang akan kututup.

“Permisi, Pak,” katanya sopan. “Bolehkah saya numpang berteduh?” Sekilas terlintas di benakku film yang baru saja kutonton. Jangan-jangan orang ini penipu. Namun, rasa bersalah karena telah mencurigainya malah mendorongku untuk membuka pintu. Dia tersenyum menatapku. Lo, mengapa hanya sebelah pundaknya saja yang basah, sedangkan yang satunya kering? Dengan pandangan menyelidik, mataku menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya kulihat sebuah koran yang sudah basah di tangan kirinya. Oh, ini bukan tipuan. Maklum, koran yang dipakai melindungi kepalanya terlalu kecil, sehingga tidak dapat menutupi kedua pundaknya. Lagi-lagi kumaki diriku karena berpikir yang tidak-tidak.

“Silakan masuk,” kataku sambil membuka pintu lebih lebar. 

Sekarang aku dapat melihatnya dengan lebih jelas. Pria ini masih muda, hampir sebaya denganku. Kutaksir usianya sekitar 25 tahun. Pundak dan dadanya tegap, walaupun perutnya agak gendut. Terbungkus t-shirt biru tua dan celana jins, pria tampan dengan deretan gigi putih rapi ini rasanya tidak layak untuk dicurigai. Tapi bukankah pepatah mengatakan justru penampilan itu menipu?

“Terima kasih banyak,” katanya dengan tetap tersenyum sambil menghampiri kursi yang kutunjuk. Aku menutup pintu dan duduk juga di depannya.” 

“Saya sedang lewat tadi, tiba-tiba turun hujan lebat. Kebetulan tidak ada tempat berteduh dan semua rumah tertutup rapat, hanya pagar rumah Bapak yang terbuka. Jadi, saya langsung masuk ke sini.”

“Tidak apa-apa, sekarang memang sedang musim hujan.” 

“Untung Bapak bersedia memberi saya tempat berteduh.” 

“Hujan selebat ini biasanya hanya sebentar kok. Anda mau berangkat kerja?” tanyaku. 

“Oh, tidak,” katanya. “Saya sedang menuju rumah seorang famili. Dia minta saya untuk mengurus surat-surat rumahnya.”

Ah, akhirnya saya tahu ke mana arah pembicaraan ini. Pastilah tidak lama lagi dia akan memintaku untuk mengeluarkan surat rumahku dan seterusnya. Ternyata siasatnya sangat mudah dibaca. Aku sudah bertekad akan segera mengusirnya bila dia berani meminta surat rumahku atau surat apa pun.

“Maaf, bolehkan saya numpang ke kamar mandi?” tanyanya dengan wajah polos. 

Aku tertegun sejenak. Rumahku kecil, isinya pun tidak ada yang dapat dikatakan benar-benar mahal. Tanpa sadar aku melihat sekeliling. Rupanya, ia menangkap keraguan di wajahku. 

“Kalau tidak boleh, ya, tidak apa-apa,” katanya sambil menunduk dan memegang perutnya yang agak gendut itu.

“Oh, boleh. Saya hanya merasa tidak enak karena ... kamar mandinya agak kotor,” kataku memberikan alasan sekenanya. “Silakan, itu pintunya.” 

Kuawasi pintu kamar mandi sampai tertutup. Kuyakinkan diriku bahwa tidak ada barang berharga di dalam kamar mandi yang bisa diambilnya.

Tanpa meninggalkan kewaspadaan aku berdiri di depan pintu kamarku sambil terus mengawasi pintu kamar mandi. Selama satu menit tidak ada suara apa pun, lalu terdengar suara air yang disiramkan. Tak lama kemudian dia keluar.

Aku sudah bersiap mendengar kelanjutan soal surat rumah yang tadi ketika tiba-tiba ia berkata, “Tampaknya hujan sudah reda. Kalau begitu saya permisi saja. Terima kasih untuk kebaikan Bapak.”

 

Tamu kedua

Aku begitu terkejut sehingga tidak sepatah kata pun terucap dari mulut. Bahkan sampai dia keluar rumah dan sekali lagi mengucapkan terima kasih, aku masih tertegun didera perasaan bersalah. Rasanya, ada sesuatu darinya yang menarik perhatian bawah sadarku ketika pria tadi keluar dari kamar mandi. Aku tidak tahu apa, tapi ada sesuatu. Lantaran kaget, malu yang bercampur dengan perasaan bersalah, aku tak sempat berpikir lebih lanjut.

Lantaran pengaruh film aku telah mencurigainya habis-habisan. Setiap bagian penampilannya, setiap gerakannya, setiap kata yang diucapkannya, semuanya kuawasi dengan pandangan curiga. Padahal dia hanya seorang pria malang yang kehujanan!

Walaupun belum mengucapkannya, aku terus menerus mencurigainya dalam hatiku. Itu salah juga ‘kan? 

Setelah rasa bersalahku pelan-pelan menghilang, aku mulai makan siang sambil memikirkan apa yang menarik perhatianku ketika dia keluar dari kamar mandi. Rasanya, penampilan pria ini jadi lain. Tapi apanya? Pertanyaan itu tetap tidak terjawab sampai aku selesai makan.

Di tengah suasana rumah yang sepi, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Dua orang pria bertubuh tegap berdiri persis di depan pintu. Yang seorang ramah namun tegas, terkesan menyembunyikan perasaan tegang. Sementara temannya yang bertampang sangar, mematung di sebelahnya, sambil memandangku dengan tatapan dingin.

Sang juru bicara memperkenalkan diri sebagai polisi yang sedang bertugas. la menunjukkan sebuah foto dan bertanya, “Apakah Bapak mengenal orang ini?” 

“Rasanya kenal,” jawabku. la menunjukkan foto pria tampan yang tadi pagi numpang berteduh di rumah.

“Dia baru saja datang kesini. Saya tidak tahu namanya. Dia hanya mampir sebentar, numpang berteduh karena kehujanan. Ada apa?” 

“Begini,” kata si juru bicara. “Dia ini informan polisi yang sedang dikejar penjahat. Apakah dia titip sesuatu?” 

“Tidak.”

“Apakah dia menyampaikan pesan?” 

“Tidak.”

“Apakah dia ada membawa sesuatu?” 

“Tidak. Eh, ya ada. Tapi hanya selembar koran yang sudah basah kena hujan.” 

“Apa yang dikatakannya?” 

“Dia mengaku mau ke rumah familinya untuk mengurus surat rumah. Rasanya itu saja. Begitu hujan reda, dia langsung pergi.” 

Aku tidak suka cara pria bertampang sangar itu memelototi seluruh isi rumahku seperti perampok mencari mangsa.

“Apakah dia masuk ke kamar Anda?” 

“Tentu saja tidak!” seruku jengkel. “Sebenarnya ada urusan apa ini?” 

“Oh, tidak apa-apa. Kami hanya ingin mencari informasi tentang dia. Terima kasih banyak untuk keterangan yang Anda berikan.” Setelah memberi hormat, keduanya pamit.

 

Tamu ketiga

Menjelang sore, pintu rumahku diketuk lagi. Kembali kujumpai dua orang pria berdiri di depan pintu. Tapi bukan dua pria yang datang tadi. Kali ini yang seorang agak kurus, yang lain agak gemuk. Keduanya mengaku sebagai polisi juga! Heran, mengapa begitu banyak polisi tertarik kepadaku.

Sambil tertawa aku berkata, “Rupanya, hari ini semua yang berhubungan dengan polisi ingin datang ke sini.” 

“Semua?” tanya yang gemuk heran. 

“Ya, tadi sudah ada informan polisi, kemudian dua orang polisi, dan sekarang Anda berdua polisi.” 

“Tadi sudah ada polisi yang datang?”

“Ya, dua orang.” 

“Apakah mereka menunjukkan tanda pengenal?” 

“Oh, saya tidak sempat menanyakan. Bagi saya tidak ada masalah.” 

“Asal Anda tahu, tidak ada polisi yang ditugaskan ke sini sebelum kami. Ini tanda pengenal kami.” Keduanya memperlihatkan tanda pengenalnya. Tapi karena tidak terlalu menyukai hal-hal yang berbau formal, tanda pengenal mereka hanya saya lirik sekilas.

“Apakah Anda mengenal orang ini?” Kali ini giliran yang kurus berbicara sambil menunjukkan sebuah foto. 

“Ini ‘kan informan polisi itu!” kataku yakin. Walaupun agak berbeda dengan foto yang tadi, namun aku dapat segera mengenalinya sebagai pria tampan yang kehujanan tadi pagi. 

“Informan polisi?” Mendengar jawaban saya, kedua polisi tersebut tampak terheran-heran. Mereka saling berpandangan.

 “Siapa yang mengatakannya?” 

“Kedua polisi tadi.” 

“Saya ulangi lagi, tak ada polisi yang datang sebelum kami.” 

“Yang saya tahu, kedua pria itu mengaku polisi,” kataku kurang senang. 

“Bolehkah kami masuk?” 

“Silakan,” kataku enggan. 

“Terima kasih,” kata yang gemuk. 

“Begini, seperti Anda lihat kami berdua adalah petugas dengan tanda pengenal resmi.”

Sejujurnya, aku tidak bisa membedakan mana tanda pengenal yang resmi dan mana yang palsu. Tapi karena malas berargumentasi aku diam saja. 

“Artinya, kedua orang yang datang sebelum kami jelas polisi gadungan,” ia melanjutkan. “Orang dalam foto ini pun bukan informan, tapi justru penjahat yang baru saja kami tangkap.”

Aku diam saja sambil tetap menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut. 

“Penjahat ini bernama Bill yang sudah lama kami incar. Tadi pagi kami berhasil menggerebek tempat tinggalnya dua blok dari rumah ini. Tiga orang temannya berhasil ditangkap, tetapi Bill lolos dengan membawa sejumlah obat terlarang yang selama ini diperdagangkannya. Dia lari ke arah rumah ini, namun sekitar setengah jam kemudian berhasil kami ringkus. Sayangnya, obat terlarang itu tidak ada lagi padanya. Bisa jadi dia telah membuangnya ke suatu tempat. Kami sedang mencarinya di seluruh daerah ini tapi belum ketemu. Menurut analisis kami, kedua orang yang datang ke sini tadi adalah anggota komplotannya yang menduga Bill telah membuang barang itu di daerah sekitar sini. Singkatnya, kami sedang berlomba dengan mereka untuk mendapatkan barang tersebut. Apakah Bill ini tadi datang kemari?” tanyanya sambil mengacungkan foto itu lagi.

“Ya,” kataku agak bingung mendengar penjelasannya. 

“Apakah dia membawa atau menitipkan sesuatu?” 

“Tidak, dia tidak bawa apa-apa dan titip apa-apa. Hanya numpang berteduh. Begitu hujan berhenti tak lama kemudian, dia langsung pamit.” 

“Pak, kami tidak membawa surat penggeledahan dan kami juga tidak menganggap Bapak seorang tersangka. Namun jika Bapak mengizinkan, kami ingin memeriksa sebentar ruangan ini. Boleh?” 

“Tentu saja. Silakan. Tidak jadi masalah.”

“Tadi dia duduk di mana?” 

“Setelah masuk, ia langsung duduk di sini,” kataku sambil menunjuk kursi yang tadi diduduki pria yang dimaksud. 

Dengan cekatan dan kecermatan luar biasa, polisi yang kurus meraba-raba bagian bawah dan belakang kursi. Lantaran tidak menemukan apa-apa, ia lalu beranjak memeriksa meja dan kursi lain. Berikutnya lemari bagian atas, samping, bawah, dan belakang. Hanya butuh waktu sebentar, lalu ia mengangkat bahu dan menggeleng.

Rekannya yang gemuk tampak tercenung menyaksikan temannya tanpa hasil. 

“Apakah ada orang lain yang bersama Anda?” katanya. 

“Tidak, saya tinggal sendirian di sini.” 

“Baiklah, mungkin kami mesti mencari di tempat lain. Apakah masih ada yang ingin Bapak sampaikan pada kami mengenai Bill ini?”

Aku menggeleng. 

“Kalau begitu, terima kasih atas kerja sama Bapak,” katanya sambil beranjak menuju pintu, “Kami tidak bermaksud menakut-nakuti, tapi bila kedua orang yang mengaku polisi tadi itu muncul lagi sebaiknya Bapak waspada dan segera menghubungi kami.” Lalu ia menjelaskan bagaimana caranya untuk menghubungi mereka.

Aku mengantar mereka keluar rumah dengan perasaan tidak menentu. Siapa yang dapat kupercayai? Bill? Kedua orang yang mencari informan polisi? Atau kedua orang yang menuduhnya penjahat? Setiap ada tamu datang, aku mempercayai apa yang dikatakan. Namun, kedatangan tamu berikutnya malah membuat aku meragukan yang datang sebelumnya. Apakah masih ada yang akan datang hari ini? Aku tidak yakin. Yang pasti ini bukan sekadar masalah orang kehujanan yang ingin berteduh.

 

Mereka datang lagi

Malam itu aku tidak bisa memejamkan mata. Sambil berbaring di tempat tidur kurenungkan hal-hal yang baru saja terjadi. Semuanya aneh dan tidak jelas. Absurd. Uniknya, rentetan kejadian dari pagi sampai sore ini justru membuatku melupakan rasa sakit bisul di telapak kaki. 

Peristiwa demi peristiwa berkelebat satu per satu melintas di depan mataku seperti potongan-potongan film. Saat itulah aku baru tersadar atas rasa penasaranku pada keanehan penampilan Bill ketika dia baru keluar dari kamar mandi. Ya, benar! Perutnya!

Ketika berbicara dengannya di depan pintu rumah, aku sudah merasa aneh. Perutnya yang agak gendut kurang sesuai dengan pundak dan dadanya yang tegap. Setelah keluar dari kamar mandi perutnya jadi datar, tidak gendut lagi. Walaupun tadi aku tidak langsung menyadarinya, sekarang semuanya menjadi begitu jelas. Dadaku berdebar kencang ketika menyadari hal ini. Artinya, pasti ada sesuatu yang ditinggalkannya di dalam kamar mandiku! Polisi tadi mengatakan obat terlarang? Heroin, sabu, atau ekstasi?

Memang, belakangan ini media massa gencar memberitakan soal narkoba. Kejahatan yang berhubungan dengan jual beli dan pemakaian narkoba semakin marak. Alangkah ngerinya kalau aku terlibat dalam bisnis obat terlarang ini. Tanpa sadar tubuhku meloncat turun dari tempat tidur. Aku meringis ketika bisul di kakiku menyengat karena kaki terlalu keras menginjak lantai. Sambil terpincang-pincang kesakitan, setengah berlari aku menuju kamar mandi.  

Kamar mandiku kecil dan biasa-biasa saja. Jika mau menyembunyikan sesuatu, di mana kira-kira tempat yang paling cocok? Aku teringat film yang mengisahkan tokohnya menyembunyikan bungkusan benda berharga di dalam tempat air kloset. Tanpa pikir panjang, kuangkat tutup keramik itu, seraya melongok ke dalamnya. Ternyata tidak ada apa-apa. Dengan perasaan kecewa kukembalikan tutupnya.

Tidak ada tempat lain? Tunggu sebentar! Di pojok aku selalu meletakkan ember tempat pakaian kotor yang akan dicuci. Kuangkat pakaian-pakaian kotor tersebut dan terlihatlah apa yang menjadi sumber malapetaka sepanjang hari ini. Gila!

Di dasar ember terlihat dua bungkusan plastik bening. Yang satu isinya berbentuk bubuk dan yang lainnya pil. Kuangkat keduanya, masing-masing beratnya kira-kira hampir 1 kg. Jadi, benar juga apa yang dikatakan oleh kedua polisi yang tadi datang belakangan. Ini benar-benar kejahatan narkotika kelas kakap.

Sempat kupandangi bungkusan di kedua tanganku. Walaupun belum tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, kuputuskan membawa bungkusan-bungkusan ini ke kamar. Kuletakkan di bawah bantal di tempat tidur. Sebaiknya aku segera menghubungi kedua polisi tadi.

Ketika membuka pintu kamar untuk menuju meja telepon yang terletak di ruang tamu, aku terkesiap melihat bayangan orang di jendela. Semua lampu di ruang tamu dan dapur telah kupadamkan. Selain lampu di kamarku, satu-satunya lampu yang menyala adalah lampu di luar rumah. Jadi, aku dapat melihat dengan jelas bayangan dari luar rumah tanpa khawatir akan terlihat.

Bayangan itu bergerak perlahan dan agak membungkuk. Siapa? Billkah? Atau kedua penjahat temannya, atau justru polisi tadi? Kemudian muncul bayangan kedua. Segera kukenali yang kedua ini sebagai bayangan dari pria yang bertampang sangar tadi. Jadi, kedua bayangan ini menandakan penjahat datang lagi.

Bayangan mereka tidak tampak lagi setelah melewati jendela. Segera kuputuskan untuk menelepon kedua polisi tadi. Baru saja gagang telepon kuangkat, terdengar bunyi jendela dicungkil dari luar. Dengan panik aku meletakkan gagang telepon dan terburu-buru melangkah ke kamarku, suatu tindakan refleks untuk melindungi diri.

Karena terburu-buru, aku menginjak sesuatu di lantai. Tidak jelas apa, tapi yang pasti tepat di bagian bisul di kakiku. Aku benar-benar tidak dapat menahan diri untuk tidak menjerit kesakitan. Sambil menutup mulut untuk menahan rasa sakit, aku terhuyung-huyung mencari tempat untuk bersandar. Malangnya, aku menabrak rak yang berisi banyak pajangan patung-patung kecil kesayangan ibuku sehingga rak itu jatuh dengan semua patung di atasnya, disertai bunyi yang cukup riuh.

Suara cungkilan di jendela terhenti. Sunyi sejenak, lalu diganti dengan suara kaca jendela pecah dan sesosok tubuh mendobrak jendela. Astaga! Mereka sudah masuk ke ruang tamuku. Pada detik yang sama tiba-tiba seluruh lampu di rumah padam. Dengan tidak menghiraukan rasa sakit di kakiku, aku lari tanpa bersuara ke kamarku, masuk dan mengunci pintu. Tentu aku dapat dengan mudah melakukan hal ini karena aku tahu letak pintu kamarku walau dalam gelap. Tapi aku yakin kedua penjahat itu tentunya tidak tahu. Ternyata dugaanku meleset.

Dalam tempo kurang dari lima detik pintu kamarku sudah digedor-gedor. Aku mundur sampai ke pojok, lemas dan bingung tak tahu harus berbuat apa. Aku tidak punya senjata, tidak punya alat apa pun untuk melawan, bahkan tidak punya cukup keberanian untuk berkelahi melawan kedua penjahat itu. Namun, dalam keadaan bingung pun sempat terpikir kenapa semua lampu di rumahku padam? Ada yang memadamkan listrik? Siapa? Yang pasti bukan kedua penjahat itu, karena mereka membongkar dan mendobrak jendela. Berarti ada orang lain yang datang malam ini.

Suara gedoran di pintu tidak berkurang. Tiba-tiba terdengar suara kaca pecah lagi, disertai suara bentakan. Aku hanya dapat menahan napas ketika terdengar suara seperti orang sedang berkelahi, tepatnya beberapa orang sedang berkelahi. Karena tidak tahu harus berbuat apa, dalam gelap aku duduk di tempat tidurku. Tanpa sengaja tanganku menyentuh kedua bungkusan yang rupanya sedang diincar.

Bunyi pukulan dan empasan masih terdengar, ditambah makian yang tidak jelas, lalu terdengar bunyi tembakan. Satu kali, lalu satu kali lagi. Bunyinya seakan bergema di dalam telingaku, tapi baru kali ini aku mendengar suara tembakan yang benar-benar nyata dari jarak yang begitu dekat, hanya beberapa langkah dariku.

“Nyalakan lampu,” terdengar suatu suara seperti kukenal. Tak lama kemudian listrik menyala dan terdengar suara memanggilku. “Pak, buka pintunya, ini polisi.”

Dengan lega aku mengenalinya sebagai suara polisi yang datang tadi. Kubuka pintu sedikit, kulihat ruang tamuku yang sudah terang sekarang. Kedua polisi itu menatapku. 

“Anda terluka?” 

“Tidak,” kataku sambil menarik napas. “Anda datang tepat waktu.” 

“Kami melihat kedua. penjahat ini mendobrak jendela. Jadi, kami mematikan lampu agar lebih mudah menyergap. Mengapa mereka kembali? Apakah Bill meninggalkan sesuatu?”

“Ya.” 

“Kenapa tadi tidak anda katakan?” 

“Karena saya lupa dan juga Anda tidak tanya ‘kan? Tadi dia masuk ke kamar mandi.” 

“Jadi, Bill meninggalkan sesuatu di kamar mandi?” 

“Ya ....” 

Sebelum sempat kujelaskan bahwa aku sudah memindahkan kedua bungkusan tersebut, kedua polisi itu telah menyerbu ke kamar mandi. Aku tidak suka melihat sikap kedua polisi ini yang kurang simpatik.

Ketika keduanya sedang mengaduk-aduk kamar mandiku, aku punya kesempatan untuk melihat kedua penjahat yang tergeletak di lantai ruang tamuku. Keduanya rupanya ditembak. Yang seorang tergeletak tidak bergerak. Aku tidak dapat melihat ekspresinya karena ia dalam posisi tertelungkup. Tapi kuduga ia telah tewas. Darah kental yang mulai menggenang di lantai dekat dadanya membuatku merasa akan muntah. Kualihkan pandanganku kepada yang seorang lagi. Kelihatannya ia masih hidup, sedikit bergerak-gerak tanpa suara. Aku tak tahan melihat keduanya. 

Kedua polisi itu muncul dengan wajah penuh tanda tanya. 

“Tidak ada apa-apa di kamar mandi.” 

“Barangnya sudah saya pindahkan.” 

“Katakan di mana kamu sembunyikan barang itu!” Sambil mencengkeram bajuku, polisi itu menodongkan pistolnya ke daguku. 

“Cepat katakan,” yang satunya ikut berteriak.

 

Tamu keempat

Belum pernah aku ditodong pistol seperti sekarang ini. Tapi aku sama sekali tidak takut, malah jengkel. Sebagai penegak hukum sebenarnya polisi tidak boleh bersikap seperti ini. Amat keterlaluan, emangnya aku penjahat. 

“Anda tidak boleh menodong saya seperti ini!” 

“Kenapa tidak?” 

“Karena Anda polisi dan saya bukan penjahat,” kataku mantap.

Keduanya tersenyum. “Berita baiknya, Anda benar. Polisi tidak boleh berbuat seperti ini. Berita buruknya, kami bukan polisi.” 

“Tapi tadi siang kalian mengaku polisi.” 

“Sebenarnya kami dari kelompok yang bermusuhan dengan kelompok mereka,” katanya sambil menunjuk kedua orang yang terkapar di lantai. “Bill juga anggota mereka dan dia melarikan barang kami.” 

Sekarang aku benar-benar ketakutan. Sekujur tubuhku terasa gemetar. Apes benar nasibku hari ini.

“Cepat tunjukkan barang itu. Waktu kami tidak banyak. Bunyi tembakan tadi pasti akan menarik perhatian orang di sekitar ini.” 

“Apakah kalian akan membunuhku?” tanyaku kecut. 

“Apakah kamu akan bersaksi tentang kami?” 

“Tidak,” kataku yakin. 

“Apakah kamu akan mengenali kami?” 

“Tidak,” kataku makin pasrah. 

“Di mana barang itu?”

“Di kamar, di bawah bantal,” kataku cepat. 

Yang seorang masuk ke kamarku, tidak lama kemudian dia keluar dengan membawa bungkusan-bungkusan itu di tangannya. Sambil tersenyum dia berkata, “Yah, terpaksa kami tetap akan membunuhmu.” 

Lidahku terasa kelu mendengar ancaman tadi. Keringat dingin di keningku semakin banyak. Butir-butiran keringat itu jatuh menetes ke hidung dan pipiku. Sementara kaki terasa lumpuh tak kuat menyangga tubuh. Tiba-tiba terdengar sebuah suara asing membentak, “Jangan bergerak!”

Dua orang berdiri di dekat jendela, rupanya diam-diam telah masuk lewat jendela yang sudah rusak setengah terbuka karena didobrak tadi. Selama ini aku justru tidak terlalu memperhatikan jendela itu.

Hanya dalam hitungan detik setelah suara bentakan itu, semuanya berlangsung begitu cepat. Penjahat yang menodongku tadi langsung mengalihkan pistolnya ke arah dua orang yang baru masuk tadi. Bunyi pistol menyalak ... dor! ... dor! Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah bertiarap di lantai, mengerutkan tubuh menjadi sekecil mungkin, lalu melindungi kepala dengan kedua tanganku. Tidak sempat kuhitung berapa kali bunyi tembakan terdengar. Tahu-tahu keadaan sudah menjadi sangat sepi. Beberapa saat kemudian sebuah sentuhan lembut terasa di bahuku.

“Bangun Pak, keadaan sudah aman.” 

Aku melihat kedua pria yang muncul barusan itu berdiri di sampingku. Sementara di lantai sekarang terbaring empat tubuh bergelimpangan. Dengan gemetar aku mencoba berdiri. 

“Anda berdua siapa?” tanyaku hati-hati. 

“Kami polisi.” 

Mau tidak mau dalam suasana mencekam dan rumah berantakan ini aku tak bisa menahan geli. Sudah terlalu banyak pengakuan seperti itu yang kudengar hari ini.

“Maaf, saya tidak percaya Anda polisi,” kataku sambil menjauh sedikit dari mereka. Kutunjuk keempat orang yang terkapar di lantai itu seraya berkata, “Mereka semua mengaku polisi juga.”

“Kami akan memanggil bantuan,” kata salah seorang dari mereka sambil mengeluarkan radio komunikasi. 

“Anda benar-benar polisi? Mengapa kalian bisa sampai kemari?” tanyaku pada yang sedang tidak sibuk bicara. 

“Kami sebenarnya sedang melakukan tugas rutin membuntuti mereka karena kami yakin mereka terlibat dalam jaringan obat terlarang. Ketika mereka terlihat masuk ke rumah Anda, dengan mengendap-endap kami menyusul. Ketika terdengar suara tembakan, kami mau langsung menyerbu masuk. Sayangnya teralang seorang anggota kelompok yang berjaga-jaga di luar. Setelah berhasil meringkusnya, kami menyerbu masuk. Untung belum terlambat.”

Aku baru percaya, setelah rumahku dipenuhi oleh puluhan polisi, setelah orang yang tewas dan terluka diangkut oleh petugas medis, setelah rumahku akhirnya dibersihkan dan dirapikan kembali seperti semula.

Tampaknya mereka tahu aku tidak terlibat dalam perkara obat terlarang ini. Mereka juga dapat memahami bila aku sudah terlalu lelah untuk menjawab berbagai pertanyaan. 

Aku berjanji besok pagi akan ke kantor polisi untuk menjawab semua pertanyaan sehubungan dengan peristiwa ini.

Akhirnya, mereka meninggalkanku dengan membawa pergi kedua bungkusan plastik tadi. Dua orang polisi sengaja ditinggal untuk berjaga-jaga di sekitar rumahku sampai pagi, supaya aku merasa aman dan lebih tenang. 

Semua ketegangan sepanjang hari ini baru berakhir pukul dua dini hari. Aku berharap kini dapat tidur nyenyak setidaknya sebentar saja. Semoga aku tidak pernah lagi kedatangan tamu seperti hari ini. 

Baca Juga: Misteri Matinya sang Konglomerat

 

" ["url"]=> string(58) "https://plus.intisari.grid.id/read/553606028/tamu-terakhir" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670836615000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561370" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/keputusan-rahasia_kat-smithjpg-20221111041229.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Rumah Bill heboh setelah kakak perempuan Bill menemukan ibu mereka terbujur kaku di kamarnya. Di lantai ada darah tergenang. Apa penyebabnya?" ["section"]=> object(stdClass)#64 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/keputusan-rahasia_kat-smithjpg-20221111041229.jpg" ["title"]=> string(17) "Keputusan Rahasia" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 16:12:46" ["content"]=> string(26241) "

Intisari Plus - Rumah Bill heboh setelah kakak perempuan Bill menemukan ibu mereka terbujur kaku di kamarnya. Di lantai ada darah tergenang. Mengapa ibu sampai dibunuh?

-------------------

Suasana pagi yang hening itu pecah oleh suatu lengkingan teriakan yang nyaring dan bergema ke semua ruangan rumah. Aku bangun dari tidur yang kurang lelap. Meski sudah terjaga sejak tadi, rasanya aku belum ingin bangkit karena sekarang hari libur, sampai terdengar teriakan tadi. Karena kulirik istriku masih tidur nyenyak, kuputuskan untuk bangkit tanpa membangunkannya.

Hanya dalam hitungan detik aku tiba di sumber suara itu. Ternyata Yuli, kakak perempuanku, yang berteriak. Wajahnya yang sepucat kertas putih menatap pintu kamar ibuku yang terbuka. Pada saat hampir bersamaan penghuni rumah ini bermunculan. Kakak tertuaku, Vera, dengan daster panjangnya, dan kakak laki-lakiku, Edwin, yang hanya bercelana pendek. Kami menatap ke arah pintu rumah yang terbuka lebar. Samar-samar terlihat tubuh kaku ibu terbujur di tempat tidur, namun yang tampak jelas adalah genangan begitu banyak darah di lantai sekitarnya.

 

Pembunuhan atau bunuh diri?

Kejadian selanjutnya tidak dapat kuingat lagi. Yang jelas aku segera membangunkan istriku lalu duduk di ruang tamu menunggu kedatangan polisi. Pagi itu terasa amat hening karena nyaris semua mulut penghuni rumah ini tak ada yang mengeluarkan suara. Istriku bersandar lemas di pundakku. Sementara Yuli menangis diam-diam. Vera diam mematung, sedangkan Edwin mondar-mandir saja sehingga suasana makin mencekam. 

Untung polisi yang datang cukup ramah. Saat ambulans telah membawa jenazah Ibu, sekelompok petugas memeriksa kamar Ibu. Polisi yang kelihatannya pemimpin itu kemudian mengumpulkan kami. Istriku yang sakit beberapa hari ini tidak ikut karena ia merasa pusing dan ingin berbaring.

“Perkenalkan, saya Ronald, ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Bapak-Ibu sekalian,” katanya sambil tersenyum, yang sayangnya tak mampu memancing senyum dari kami. “Siapa saja yang tinggal di rumah ini?”

Edwin menyahut, “Kami empat bersaudara. Vera, anak pertama, Yuli nomor dua, lalu saya, Edwin, yang ketiga, si bungsu Bill dengan istrinya, Lidia, serta seorang pembantu, Bi Minah.”

“Semua tinggal di sini?”  

“Ya. Sebenarnya saya tidak, hanya mampir karena ada urusan pekerjaan. Saya beserta istri tinggal di Kalimantan,” lanjut Edwin. 

“Siapa yang pertama kali menemukan Ibu Anda?”

Yuli mengangkat kepalanya, “Saya, Pak.” 

“Apakah ada yang memindahkan sesuatu sejak pertama kali korban ditemukan?” 

Yuli menggeleng. 

“Saya rasa tidak. Saya melarang semua menyentuh apa pun sampai polisi datang. Saya dengar begitu aturannya,” sahut Edwin. 

“Benar, memang begitu,” jawab Ronald. “Tindakan Anda benar. Itu menguatkan dugaan bahwa ini adalah pembunuhan.”

“Pak Polisi yakin? Bukannya Ibu bunuh diri?” tanya Vera.

“Pembunuhnya memang ingin mengesankan demikian. Pergelangan tangan disayat memang sering menjadi cara bunuh diri. Tetapi ada yang terlupa karena di sekitar tubuh korban tidak ditemukan benda tajam. Asalkan benar tidak ada di antara Anda yang memindahkan benda apapun.”

“Omong-omong, apakah akhir-akhir ini korban sering tampak sedih atau bingung?” 

“Ibu tidak pernah sedih walaupun Ayah baru meninggal tiga bulan silam,” sahutku. 

“Tapi kalau Ibu dibunuh, siapa pelakunya?” Ronald bergumam.

 

Semua jadi tersangka

“Apakah Ibu Anda punya musuh?” tanya Ronald lagi.  

“Musuh? Bukan cuma itu. Ibu adalah musuh semua orang,” jawab Yuli pelan. 

“Benar, semua!” tandas Vera.

“Bisa Anda jelaskan?” tanya Ronald pada Vera dengan nada penasaran. 

“Ibu yang menyebabkan kematian suami Yuli. Ibu ngotot minta diantar ke dokter saat Mas Yudi baru pulang kerja dan masih sangat capek. Akibatnya terjadi kecelakaan yang menyebabkan Mas Yudi meninggal. Saya tahu, itu sebabnya Yuli sangat membenci Ibu.”

Yuli hanya menunduk, Vera makin bersemangat. 

“Ibu juga sangat membenci istri Edwin. Ibulah yang membuat mereka pindah ke Kalimantan beberapa tahun silam. Gara-gara itu istri Edwin keguguran. Edwin pun mendendam pada Ibu ....”

“Tapi bukan berarti saya pembunuhnya!” sergah Edwin jengkel. 

Vera tidak peduli dengan komentar itu. “Bill juga benci pada Ibu. Istrinya sering dibuat menderita. Itu sebabnya mereka berencana pindah dari rumah ini karena tidak cocok dengan Ibu.”

“Anda sendiri bagaimana? Apakah Anda juga membenci korban?” 

“Tentu saja! Kemarin malam dia barusan bertengkar hebat dengan Ibu,” potong Edwin sinis.

“Bertengkar tidak berarti membunuh,” jawab Vera membela diri. 

“Pemabuk dan penjudi macam kamu pasti tega membunuh demi uang!” debat Edwin

“Kamu sendiri, mengapa tiba-tiba mau menginap di sini? Dulu tidak pernah!” teriak Vera. 

Suasana rumah yang semula tenang jadi memanas.

“Tenang,” seru Ronald sambil mengangkat tangan. “Mengapa semalam Anda bertengkar dengan korban?”

Aku menyela, “Dia minta warisan, pasti untuk menutup utang akibat berjudi. Tapi Ibu tidak memberikan.” 

“Mengapa?”

“Ibu memang punya banyak harta peninggalan Ayah. Baginya, uang adalah simbol kekuasaannya. Selama masih hidup, Ibu tidak akan pernah melepaskan hartanya. Tapi tak adakah kemungkinan pelakunya justru orang dari luar?” aku membuka kemungkinan.

Pak Ronald tersenyum tipis. “Pembunuhan terjadi sekitar tengah malam. Tak satu pun pintu dan jendela yang rusak. Mustahil ada yang membiarkan pintu dan jendela tidak terkunci bukan? Apakah ada barang yang hilang?”

“Rasa-rasanya tidak ada. Tapi Bapak belum menanyai Bi Minah.”

 

Orang di depan kamar korban

Kamar Bi Minah yang terletak di samping dapur ternyata kosong. Baru tersadar, sejak pagi aku sama sekali belum bertemu dengannya. Aku masuk ke kamar itu dengan diikuti Pak Ronald dan yang lainnya. Kamar itu kecil tapi rapi. Tidak ada banyak barang. Saat melongok bawah meja, mataku tertuju ke sebuah foto yang terselip di dekat laci meja. Foto almarhum ayah kami!

“Ini foto Ayah, mengapa Bi Minah menyimpannya?” 

“Berapa lama ia bekerja di sini?” tanya Pak Ronald. 

“Sejak kami kecil,” jawab Yuli. 

“Kami akan mencarinya. Saya minta Bapak-Ibu sekalian tidak bepergian ke luar kota. Boleh saya bicara berdua dengan Pak Edwin?” 

“Tentu. Mari kita ke ruang tamu,” ajak Edwin. 

Aku ke kamar menengok istriku dan menceritakan semua pembicaraan tadi. 

“Saya takut,” katanya pelan.

“Tenang saja,” kataku sambil memeluknya, “Polisi tengah mencari Bi Minah. Aneh, mengapa dia menghilang, juga buat apa ia menyimpan foto Ayah?” 

Wajah istriku juga tampak bingung. 

“Ada apa?” aku menyelidik. 

“Kapan pembunuhan itu terjadi?” tanya istriku. 

“Perkiraan polisi sekitar tengah malam. Kenapa?” 

“Anu ..., tidak, saya rasa tidak.” 

Aku jadi gelisah. “Ada apa? Kamu tahu sesuatu?”

Istriku menunduk. “Tadi malam aku ke kamar mandi, sekitar pukul 23.00 atau 24.00. Aku ... aku melihat Yuli di depan kamar Ibu.”

“Memangnya kenapa? Mungkin dia perlu sesuatu atau mungkin juga ingin ke kamar mandi,” jawabku sekenanya.

“Tapi dari kamarnya kalau mau ke dapur atau ke kamar mandi tidak perlu melewati kamar Ibu.” 

“Kamu yakin orang itu Yuli?” 

“Entahlah. Maklum saat itu agak gelap tapi sepintas lebih mirip Yuli daripada Vera. Kamu ingat tidak, kemarin adalah persis empat tahun kematian Mas Yudi.” 

“Maksudmu, Yuli yang ...?” 

“Oh, entahlah ....” 

“Barangkali baginya ini adalah waktu yang tepat untuk membalas dendam, maksudmu?”

“Aku pusing, aku takut,” ujar istriku dengan suara lirih.

Ragu-ragu aku mencari Pak Ronald. Tubuhnya yang tinggi besar dan hitam membuatnya mudah ditemukan. 

“Kebetulan saya juga sedang mencari Pak Bill. Boleh saya bicara sebentar? Saya baru saja berbicara dengan Pak Edwin. Menurut Anda, mengapa Pak Edwin menginap di sini? Apakah betul biasanya dia tidak ke mari?”

“Ya,” sahutku ragu. “Apa yang dikatakan Vera tadi benar. Edwin belum pernah menginap di sini sejak pindah ke Kalimantan meski urusan bisnis mengharuskannya sering ke kota ini. Keputusannya untuk menginap di sini, bisa jadi karena kebetulan, bisa juga ada sebabnya.”

“Apa benar semalam terjadi pertengkaran hebat?” 

“Benar. Saat ini Vera memang sedang dililit masalah keuangan. Mungkin kematian Ibu dapat menyelesaikan masalahnya karena warisan pasti segera dibagi. Tapi meskipun dia jahat, saya tidak yakin dia tega membunuh Ibu. Ada yang ingin saya katakan pada Pak Ronald.”

“Apa itu?” 

“Semalam, sekitar pukul 23.00 atau 24.00, istri saya melihat seseorang, kalau tidak salah Yuli, di depan kamar Ibu.” 

Pak Ronald tidak menunjukkan ekspresi terkejut. “Apakah istri Anda juga membenci korban?”

Saya segera sadar dengan arah pembicaraannya. “Semua orang membenci Ibu,” jawab saya emosional. “Dia memang jahat. Sebagian besar hidupnya hanya untuk menyakiti orang sekitarnya. Saya tidak bermaksud membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal. Tapi terus terang saja Pak, saya yakin, kami semua tidak terlalu bersedih dengan meninggalnya Ibu. Meski begitu, saya tidak yakin salah satu di antara kami tega membunuhnya.”

“Termasuk Bi Minah?” desak Pak Ronald. 

“Saya tidak tahu, saya bingung.”

“Mengapa kalian masih tinggal bersama di rumah ini?” 

“Vera tidak menikah. Sebagai penjudi berat ia tidak mungkin bisa membeli rumah. Yuli terpaksa kembali ke rumah ini setelah kematian Yudi. Mereka memang tidak punya rumah. Edwin sudah pindah ke Kalimantan. Saya pun segera keluar kalau sudah cukup punya uang.” 

“Baik, kami akan melanjutkan penyelidikan. Tidak seorang pun boleh memasuki kamar korban. Kami tetap bisa menghubungi Anda di rumah ini, bukan?” 

“Tentu, Pak.”

 

Mantan kekasih bapak

Meski sudah siang, tak seorang pun di antara kami yang punya selera makan. Sambil menatap isi piringku yang tak kunjung habis, pikiranku menerawang ke perlakuan Ibu terhadap kami selama ini. Semua “kekejaman”, yang kupikir hanya ada dalam cerita, tampil nyata dalam diri Ibu. Selama ini yang menjadi pengikat adalah Ayah. Tapi sejak kepergian Ayah, ikatan itu pun lenyap.

Tapi apa hubungan Ayah dengan Bi Minah? Aku cukup dekat dengannya, jadi aku yakin dia bukan pembunuhnya. Bagaimana dengan Edwin, mengapa ia tiba-tiba menginap di rumah? Atau Yuli, benarkah ia yang dilihat istriku di kamar Ibu? 

Tiba-tiba Pak Ronald muncul kembali. Aneh, aku merasa tenang bila ia ada di sekitar kami. 

“Ada perkembangan dengan Bi Minah. Kami sudah menemukannya,” ia membuka percakapan. 

“Oh ya? Di mana dia sekarang?”

“Tadi pagi ia ke pasar lalu dijambret. Ia luka karena didorong sampai jatuh. Jadi ia dirawat di puskesmas dekat pasar. Dia bahkan belum tahu peristiwa yang menimpa Ibu Anda.”

“Ya, setidaknya ada berita baik.” Kata Vera. 

“Tapi mengapa ia menyimpan foto Ayah?” 

“Kami juga telah menanyainya perihal itu. Rupanya dia, ... eh, penggemar ayah Anda.” 

“Penggemar?” sahutku bingung. 

“Dia pernah punya hubungan agak khusus dengan ayah kalian.”

“Pacaran?” ucap kami serempak. 

“Mungkin ya, mungkin tidak. Hanya itu jawaban darinya,” jawab Ronald ikut ragu. “Pokoknya, dia amat sedih dengan meninggalnya ayah kalian beberapa bulan lalu. Maka ia menyimpan foto tersebut sebagai kenang-kenangan.”

“Cuma begitu? Masa sesederhana itu,” gerutu Vera kurang percaya. “Apakah dia tidak menyalahkan Ibu sebagai orang yang menyebabkan Ayah meninggal, lalu merasa sekaranglah saatnya untuk melakukan pembalasan?”

“Jangan menuduh sembarangan!” aku membentaknya. “Bi Minah tidak seperti kamu. Mungkin justru kamu sendiri yang mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan utangmu.”

“Ada perkembangan baru lainnya,” Pak Ronald segera memotong perdebatan kami yang mulai memanas. “Kami menemukan bukti berupa beberapa tetes darah dari meja samping yang pecah kacanya di kamar korban. Di kaca itu juga ada darah. Dari fakta itu kami membuat kesimpulan sementara bahwa ibu Anda tergores kaca yang pecah lalu ia berjalan ke tempat tidur. Akhirnya tertidur atau pingsan sebelum dapat menghentikan perdarahan itu sampai akhirnya ia kehabisan darah.”

“Hm, kedengarannya melegakan,” kata Vera. “Jadi tidak ada pembunuh di rumah ini.” 

“Tapi mengapa Ibu tidak mengobati dulu lukanya atau minta bantuan yang lain?” tanyaku heran. 

“Itulah masalahnya. Rupanya saat tergores korban sudah dalam keadaan hampir tidak sadar. Menurut hasil analisis laboratorium, dia minum obat melebihi dosis,” jawab Pak Ronald.

“Ibu memang menderita bermacam-macam penyakit, jadi selalu minum obat. Tapi semua itu obat dari dokter, mana mungkin kelebihan dosis?” tanya Edwin. 

“Justru itu masalahnya, siapa yang biasa membantu Ibu menelan obatnya?”

“Tidak ada. Setahu saya selama ini Ibu selalu menyiapkan sendiri obatnya,” kataku yakin. 

“Kalau begitu, siapa yang memaksa Ibu menelan obat melebihi aturan?” tanya Pak Ronald pelan, seakan bertanya pada diri sendiri.

Tiba-tiba Yuli tertawa. “Tidak ada seorang pun yang sanggup memaksa Ibu melakukan apapun, termasuk meminum obatnya.” 

“Tapi ada yang bisa menipunya,” kata Pak Ronald. 

“Bapak ini bagaimana sih! Sebenarnya Ibu itu dibunuh, bunuh diri, atau kecelakaan? Jangan buat kami bingung!” seru Vera marah. 

“Itu yang sedang kami cari,” kata Pak Ronald tenang.

 

Sejak tiga hari lalu

Sore itu kulihat Bi Minah berkali-kali melirikku dengan gelisah. Selama ini hubunganku dengan Bi Minah memang cukup dekat, bahkan kurasa lebih dekat ketimbang dengan Ibu. Aku bisa menangkap gelagat, ia ingin berbicara denganku.

“Ada apa, Bi? Lukanya masih sakit?” 

“Tidak. Eh, cuma sakit sedikit ... eh ....” 

“Apa ada yang ingin Bibi katakan?” 

“Anu, Nak Bill, anu .... Ibu meninggal, ya?” jawabnya gugup.

“Ya, Ibu meninggal, tapi polisi sudah menanganinya. Mungkin hanya kecelakaan.” Aku tidak ingin menakut-nakuti wanita tua ini. Tapi wajahnya tampak makin muram. “Kenapa?” 

Teriakan istriku memutus pertanyaan itu.

Aku langsung lari ke kamar. Istriku duduk di ranjang. Baju dan rambutnya kusut dan basah bersimbah keringat. Matanya nanar menatapku. 

“Ada apa?” 

“Saya mimpi. Ibu .... Ada orang masuk ke kamar Ibu malam-malam, seperti yang saya lihat kemarin, lalu menikamnya dengan pisau. Darah di mana-mana,” jawabnya dengan napas terengah-engah.

Ini mengingatkanku untuk menanyai Yuli tentang apa yang ia lakukan malam-malam di depan kamar Ibu.

Setelah berhasil menenangkan istriku, aku mencari Bi Minah. Pembicaraan kami tadi belum selesai.

“Bagaimana selanjutnya, Bi?” tanyaku setelah kembali berhadapan dengan Bi Minah. 

Bi Minah menarik napas dalam-dalam. “Saya dengar Ibu meninggal karena minum obat kelebihan dosis.”

“Bukan karena minum obat kelebihan dosis,” kataku, “Ibu meninggal karena pergelangan tangannya tersayat lalu kehabisan darah. Tapi polisi menduga Ibu tidak bisa mengobati lukanya karena keburu pingsan akibat menelan obat melebihi dosis. Memangnya kenapa?”

“Nak Bill tahu selama ini Ibu selalu minum obatnya sendiri?” 

“Ya, saya tahu.” 

“Mulai sekitar tiga hari silam Ibu minta saya menyediakan obat untuknya. Katanya, dia suka lupa apakah sudah minum obat atau belum.” 

“Lalu?”

“Kemarin malam, usai makan malam saya membantu Ibu minum obatnya. Tapi setelah bertengkar hebat dengan Nak Vera, Ibu memanggil saya dan bertanya apakah dia sudah minum obat atau belum. Waktu itu saya sedang sakit kepala, jadi saya tidak terlalu ingat. Tapi, Ibu yakin sekali belum minum obat ....”

Aku menahan napas karena tegang. Kutarik Bi Minah untuk duduk di kursi. “Jadi…?” 

Bi Minah mulai terisak. “Jadi, jadi saya memberinya obat lagi!”

Telapak tangan dan kakiku tiba-tiba menjadi dingin. “Kapan Bi Minah ingat mengenai hal ini?” 

“Kemarin malam sekitar tengah malam. Sebenarnya saya sudah tidur, lalu tiba-tiba saya terbangun karena dalam mimpi saya ingat tentang obat itu. Jadi saya menuju kamar Ibu tapi saya ragu untuk mengetuk pintu kamar Ibu. Karena saya tidak mendengar suara apapun, saya kembali ke kamar. Saya pikir Ibu sudah tidur, berarti tidak ada apa-apa. Padahal mungkin waktu itu Ibu sedang ...” Bi Minah mulai tersedu-sedu.

Jadi, yang dilihat istriku adalah Bi Minah, bukan Yuli! Tiba-tiba dering telepon memecah lamunanku. Ternyata dari Pak Ronald.

“Pak Bill, saya ingin menyampaikan kesimpulan polisi bahwa penyebab kematian korban adalah murni kecelakaan. Jadi tidak ada yang akan dituduh sebagai pembunuh. Besok saya akan mengantarkan pemberitahuan resminya.”

Aku tertegun. Polisi sudah mengambil kesimpulan. Padahal mereka belum mendengar pengakuan Bi Minah. Haruskah saya melaporkannya atau justru harus menyembunyikannya? Saya harus membuat keputusan dan sekaranglah saatnya! 

“Pak Bill, Anda masih di sana?”

“Oh ya, Pak! Saya mendengar semuanya.” 

“Ada yang ingin Bapak sampaikan?” Kututup mataku, jantungku berdebar. Dalam hati aku menghitung sampai sepuluh, menimbang keputusanku.

 “Tidak, Pak! Kini kami semua merasa lega.” 

“Baiklah, kalau begitu sampai besok.” 

“Terima kasih banyak atas bantuannya, Pak.” 

Kutatap Bi Minah yang matanya masih basah. Kurengkuh kedua bahunya. “Dengar Bi, ini rahasia kita berdua. Ingat, hanya kita berdua yang tahu. Bi Minah tidak boleh mengatakan apa pun tentang hal ini pada siapa pun. Mengerti?”

Bi Minah mengangguk pelan. 

Malam harinya di tempat tidur sambil mencoba memejamkan mata aku terus bertanya-tanya tentang apa yang sudah kulakukan. Aku yakin, aku tidak perlu menghukum Bi Minah. Perasaan bersalah sudah menjadi hukuman yang cukup berat baginya. Aku harus membuat keputusan dan aku telah melakukannya. (Berni Elim) 

Baca Juga: Akibat Perangkap Cinta Masa Lalu

 

" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561370/keputusan-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668183166000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309837" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/mayat-penerbang-yang-tak-membusu-20220603064827.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Bill Lancaster terbang di atas Sahara, namun ia dan pesawatnya tidak pernah kembali. Apa yang terjadi dengannya? Apa penyebab kematiannya?" ["section"]=> object(stdClass)#68 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["show"]=> int(1) ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/mayat-penerbang-yang-tak-membusu-20220603064827.jpg" ["title"]=> string(33) "Mayat Penerbang yang Tak Membusuk" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:49:08" ["content"]=> string(25298) "

Intisari Plus - Bill Lancaster terbang di atas Sahara, namun ia dan pesawatnya tidak pernah kembali. Apa yang terjadi dengannya? Apa penyebab kematiannya? Jawabannya baru diketahui setelah 29 tahun kemudian.

-------------------------

Jika manusia terkubur di padang pasir Sahara, tubuhnya tidak membusuk. Namun, seperti yang diketahui orang Mesir kuno dengan baik, panas yang kering dan terus-menerus akan menarik seluruh udara lembap dengan cepat, dan kulit manusia menjadi rapuh. Tubuh menjadi mumi.

Tahun 1962, sebuah patroli angkatan udara Prancis mengarungi salah satu bagian terjauh Sahara, di selatan kota Reggan di Aljazair. Tempat itu sedemikian jauhnya bahkan suku nomad gurun jarang mengunjunginya, dan tempat itu disebut Tanezrouft—"tanah dahaga". Maka, sangat mengejutkan ketika seseorang tiba-tiba menemukan kilatan sinar matahari pada logam, mengarah ke atas.

"Apa itu?" para pria memanggil satu sama lain. Mereka mendekat.

"Seperti pesawat!" 

Benar, sebuah pesawat, terbalik di padang pasir, benar-benar remuk. Di bawah salah satu sayapnya, terbaring tubuh sang pilot yang mengering menjadi mumi. Pilot itu, namanya Kapten Bill Lancaster, tergeletak di sana. Ia telah hilang selama 29 tahun.

Dengan hati-hati, patroli Prancis itu memeriksa reruntuhan pesawat. Jenis Avro Avian, pesawat biplane berkursi tunggal, dari jenis yang dipakai para peminat penerbangan tahun 1930-an. 

Dokumen pesawat, buku harian, paspor Lancaster, dan dompet terikat pada sebuah topangan sayap. semuanya terbungkus rapi dalam bahan pelindungnya. Di dekatnya terdapat sebuah kartu bahan bakar Shell dengan sebuah pesan akhir:

"Demikianlah awal hari kedelapan telah mulai. Cuaca masih dingin. Aku tidak punya air ... Aku menunggu dengan sabar. Cepatlah datang. Demam semalam meruntuhkanku ..."

Pada bagian pembukaan buku harian yang rapuh itu, patroli menemukan 41 halaman terakhir yang merinci penerbangan sang pilot, tabrakannya, dan delapan hari mengerikan yang ia lewati dengan harapan untuk diselamatkan, tapi malah mati perlahan-lahan karena kehausan. 

Keberaniannya menghadapi kematian menakjubkan—dan mengungkapkan banyak hal tentang seorang pria, yang 12 bulan sebelumnya dituduh melakukan pembunuhan.

Kapten Bill Lancaster menempuh kehidupan yang menggairahkan. Ia dilahirkan di Inggris, 1898, pindah ke Australia saat remaja. Selama Perang Dunia I ia berlatih menjadi pilot dan bergabung dengan Angkatan Udara Kerajaan Inggris seusai perang. 

Tahun 1927, Angkatan Udara tidak lagi membutuhkannya, dan ia tak tahu apa yang akan dikerjakan. la tidak mau berhenti terbang; maka sewaktu ia berniat menjadi orang pertama yang terbang dari Inggris ke Australia, gagasan itu tampak menjadi cara yang sempurna untuk mengukir namanya sendiri sebagai pilot.

Tak lama, situasi berjalan sesuai dengan rencana. Ia ditawari sebuah pesawat Avro Avian dengan harga khusus, dan Shell menawarkan untuk membiayai bahan bakarnya. 

Ketika ia berjumpa wanita Australia yang ingin menjadi wanita pertama yang melakukan penerbangan juga—dan menawarkan mencari setengah dana—gagasan itu tiba-tiba menjadi kenyataan. Nama wanita itu Jessie Miller. Teman-temannya memanggilnya: "Chubbie".

Kedua orang itu itu berangkat 4 Oktober 1927 dari Airport Croydon dekat London. Penerbangan itu menjadi petualangan yang berlangsung lima bulan, karena mereka berjuang melawan cuaca buruk, kerusakan mesin, dan pendaratan darurat di Sumatra, Indonesia. 

Ketika mereka akhirnya tiba di Australia, ratusan orang di sana menyambutnya. Namun, hanya Chubbie yang menggapai cita-citanya. Dialah wanita pertama yang melakukan penerbangan— Bill bukanlah pria pertama. Penerbangan mereka berlangsung sangat lama sehingga pilot lain, Bert Hinkler, mengambil-alih perjalanan mereka.

Selama petualangan, Bill Lancaster dan Chubbie Miller saling jatuh cinta, meskipun keduanya sebelumnya telah menikah. Hubungan asmara itu berakibat menyedihkan. 

Chubbie membangun ketenarannya dengan mendapatkan lisensi pilotnya sendiri dan mengikuti berbagai kompetisi penerbangan. Chubbie dan Bill berangkat ke Amerika, di sanalah Chubbie menjadi terkenal di kalangan penerbangan. 

Kemudian, Chubbie berpikir untuk menulis buku tentang petualangannya dan mencari seorang penulis untuk membantunya. Ia menemukan Haden Clarke, pria muda tampan, yang hidup bersama dengan Chubbie dan Bill di rumah mereka di Miami untuk mengerjakan buku bersama Chubbie.

Bagi Bill, hal-hal tidak berjalan semestinya. Ia terus mengalami kesulitan mendapat pekerjaan. Pada 1932, ia mendapat pekerjaan penerbangkan sebuah pesawat di Meksiko. Karena tak ada pilihan, ia pun berangkat ke Meksiko meninggalkan Chubbie dan Haden berdua di rumah Miami.

Chubbie ditinggalkan dengan sedikit uang dan tak lama ia pun putus asa dan jemu. Terperangkap di rumah bersama Haden, penulis yang menarik itu memikat hatinya, bahkan Chubbie setuju menikahinya. Kedua pasangan itu menulis surat kepada Bill, memberitakan kabar itu. Bill pun segera terbang kembali dari Meksiko ke rumah. la linglung. Ia mengagumi Chubbie dan tak dapat mempercayai bahwa begitu mudah Chubbie mengkhianatinya.

Dengan tinggal bertiga di rumah di Miami, hampir tidak mengherankan bila permasalahan mencapai klimaks yang dramatis. Pada malam 20 April 1932, kepala Haden Clarke ditembus peluru yang membawanya pada kematian saat di rumah sakit. 

Ada dua catatan Haden, yang memberi kesan bahwa dia melakukan usaha bunuh diri. Akan tetapi, tidak membutuhkan waktu lama bagi polisi untuk tahu bahwa catatan itu palsu. Bill-lah yang menulis catatan itu. Sepekan setelah kematian Clarke, Bill Lancaster ditahan karena tuduhan pembunuhan.

Pengadilan atas dirinya merupakan sebuah sensasi besar. Setiap orang yakin, Bill pasti bersalah. Haden Clarke adalah saingannya—Bill punya alasan jelas dan terbuka kesempatan untuk membunuhnya. 

Akan tetapi, Bill membantah. la bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Selama persidangan, tampak bahwa Bill mengatakan yang sebenarnya. Jelas, Bill adalah pria jujur dan sopan, sementara bukti tentang Haden Clarke menunjukkan bahwa ia seorang peminum berat alkohol dan tidak stabil. Bahkan sebelumnya Clarke mengancam untuk bunuh diri.

Hari keputusan benar-benar menggelisahkan Bill. Seluruh hidupnya tergantung pada saat itu ... Sewaktu ketua dewan juri mengucapkan "Tak bersalah," ruang pengadilan meledak dengan tepukan orang-orang yang mengikuti persidangan.

Toh, sesungguhnya, hidup Bill hancur lebur. Mencari pekerjaan cukuplah sulit, karena tak seorang pun mau berurusan dengannya setelah pengadilan itu, tak peduli juri menyatakan ia tak bersalah. Apa yang dapat ia lakukan? la dan Chubbie berangkat ke Inggris, yang jauh dari ingar-bingar publisitas yang buruk. Di sana, Lancaster merencanakan masa depannya.

la tak punya uang. Karir penerbangannya tercabik-cabik. Satu satunya ide adalah membuat rekor terbang lain, yang mungkin akan mengembalikan reputasinya di dunia penerbangan. Mengetahui putranya putus asa, ayah Bill sepakat membiayai perjalanan itu. 

Bill memutuskan membuat rekor terbang Inggris-Cape Town, Afrika Selatan, yang baru saja dipecahkan oleh pilot Inggris Amy Johnson. Ia mencatat waktu empat hari, enam jam, dan 54 menit. Tantangan itu berat, dan sejak awal Lancaster tidak benar-benar menyadarinya secara saksama.

la memilih pesawat Avro Avian lainnya, kali ini yang berkursi tunggal yang dinamakan Avian Mk. V Southern Cross Minor. Ia amat suka menerbangkan Avian, setelah menerbangkan pesawat jenis itu ke Australia. Akan tetapi tetap saja pilihan itu sedikit ceroboh. 

Amy Johnson melakukan penerbangannya dengan De Havilland Puss Moth, yang memiliki kecepatan jelajah 37 kph (20 mph), yang lebih cepat dari Avian. Untuk mengalahkan rekor Johnson, Lancaster harus melakukan penerbangan hampir nonstop—sebuah prestasi fisik atas ketahanan yang akan menguji pria terkuat.

Namun, Lancaster tidak lagi kuat, baik mental maupun fisik. Ia telah kelelahan karena pengadilan tahun sebelumnya. Segala sesuatu yang ia katakan sebelum terbang menunjukkan bahwa ia melakukan penerbangan itu dalam keadaan tidak sehat.

"Saya ingin tekankan bahwa saya mengusahakan penerbangan ini dengan menanggung risiko sendiri," katanya kepada seorang wartawan."Saya tidak berharap ada usaha untuk mencari jika saya dikabarkan hilang." Kata-kata itu hampir tidak optimistik bahkan mungkin amat tragis ...

Suatu pagi, 11 April 1933, Chubbie dan orangtua Bill datang melihatnya lepas landas dari Lympne Aero drome, dekat pantai Kent Selatan.

"Selamat tinggal, sayang," kata sang ibu, yang membekalinya sedikit roti isi daging ayam dan sepotong coklat. Bill memeluk mereka erat-erat, sebelum kemudian memanjat kokpit. Ia menyalakan mesin. Saat itu pukul 5:38 pagi.

Perhentiannya yang pertama diperkirakan di Oran, Aljazair—lompatan yang besar dari Inggris sejauh 1.770 km. Akan tetapi, sejak keberangkatan, ia mengalami kemalangan. Arah angin berlawanan dengannya, dan ia harus mendarat di Barcelona di Spanyol untuk mengisi bahan bakar. 

Saat berjuang mencapai Oran, urat sarafnya tegang, la sudah terlambat. Petugas di Oran tampak prihatin melihatnya. Bill gugup dan mudah tersinggung, dan tentu saja bukan dalam kondisi bagus untuk menyeberangi gurun pasir yang tandus.

"Tuan, menurut kami, sebaiknya Anda mempertimbangkan kembali," kata seorang petugas. "Anda perlu beristirahat." 

"Istirahat!" teriak Bill. "Saya sudah terlambat. Tidak bisa beristirahat. Kalian semua hanya memperlambat saya." 

"Itu untuk kepentingan Anda, Tuan," sahut petugas dengan sabar. "Menyeberangi gurun pasir adalah melelahkan Dan saya ingin mengingatkan Anda bahwa kami memerlukan deposit £100 untuk biaya pencarian, seandainya kami mencari Anda."

"Saya sudah membayar deposit!" Bill membentak. Memang benar, ia telah membayar biaya itu di London. 

"Saya khawatir kami tidak memiliki catatannya," kata petugas itu. "Anda harus membayarnya lagi."

Bill kesal. "Well, saya tidak punya £100!" bantahnya "Saya akan menanggung risiko. Dan saya tidak berharap Anda mencari saya."

Dengan kata-kata itu, ia kembali memanjat kokpitnya dan mengarah keluar ke landas pacu. Para petugas menggelengkan kepala. Saat itu pukul tiga pagi. Bill berada di udara selama hampir 24 jam.

Jangkauan perjalanan berikut membawa Bill melewati Pegunungan Atlas dan menyeberangi rentangan pertama gurun pasir. Ia terbang terus sepanjang malam, memeriksa kompasnya dengan lampu senter.

Saat fajar menyingsing, ia memandang ke bawah dari kokpitnya dengan gelisah, ia berusaha melihat jalur trans-Sahara yang mengarah ke kota Reggan, tujuan berikutnya sesuai jadwal. 

la merasa lega, tampak olehnya bentangan ke arah selatan melewati belantara tandus. Ia memutuskan berhenti di Adrar, 160 km di utara Reggan, kemudian melampaui Reggan dalam waktu yang sama dan meninggalkan gurun pasir itu dengan satu penerbangan yang besar.

Akan tetapi, kelelahan Bill mengalahkan semangatnya. Ia tinggal landas dari Adrar sekitar pukul setengah sepuluh pagi hari, dan segera kehilangan arah. Di bawahnya, badai gurun yang meraung-raung menutupi jalur menuju selatan. Sebagai gantinya, ia menuju timur. 

Penerbangan ini membawa petaka. la terbang selama lebih dari satu setengah jam sebelum menyadari apa yang ia kerjakan. Kemudian, ia mendarat di sebuah tempat kecil bernama Aoulef untuk memeriksa dengan saksama keberadaannya. 

Akhirnya, ia ke selatan menuju Reggan—tapi ia telah kehilangan berjam-jam waktu berharganya dan kehabisan bahan bakar. Bagaimana pun ia seharusnya mendarat di Reggan.

Sadarkah Bill Lancaster bahwa penghentian itu merupakan kontak terakhirnya dengan dunia? Kelihatannya seakan-akan ia berharap mati. la mendarat di Reggan dan keluar dari kokpit. la tidak makan dan tidur selama 30 jam, dan kondisinya menakutkan petugas.

"Lihat dia! Ia bahkan hampir tak bisa berjalan," seseorang berujar sewaktu Bill terseok-seok menghampiri mereka.

"Kita tidak bisa membiarkannya terus," yang lain setuju. "Ia membahayakan dirinya sendiri."

Para petugas, seperti juga yang ada di Oran, berusaha keras untuk menghentikan agar ia tak melanjutkan penerbangan. Akan tetapi, Bill tetap nekat seperti sebelumnya. Mengulurkan tangan dari wajahnya yang kelelahan, ia amat yakin dengan tujuannya.

"Aku terus," katanya kepada para petugas. "Cuma inilah kesempatanku. Satu-satunya kesempatanku, kau dengar? Aku tidak akan gagal. Aku tidak boleh gagal." 

Terkesan dengan keberaniannya, seorang petugas berusaha memengaruhinya dengan lebih halus. "Akan tetapi, Anda sudah terlambat 10 jam dari jadwal," katanya. "Anda letih. Tidaklah memalukan bila Anda menyerah sekarang. Lebih baik daripada tewas di gurun pasir."

Akan tetapi, pancaran mata Bill menunjukkan bahwa kegagalan adalah ketakutannya yang terbesar. 

Orang itu menghela napas dan berkata. "Saya tak dapat menghentikan perjalanan Anda," ia mengakui."Dan tentu saja, kami tak bisa mengabaikan bila Anda tidak sampai. Jika tidak ada kabar apa pun sampai pukul enam besok, saya akan mengirimkan mobil untuk menelusuri jalur ke Gau. Jika Anda dapat membakar sesuatu untuk membuat api unggun, kami pasti menemukan Anda."

Maka jam delapan petang itu Bill sekali lagi perlahan-lahan naik ke kokpit. Para petugas memandangnya dengan berat hati sewaktu pesawat bergerak zigzag dan terhuyung-huyung di landas pacu. Jelas Lancaster hanya dapat berkonsentrasi pada kontrol. Akan tetapi, pesawat melesat ke langit.

Selagi mereka menonton, Avian berbelok cukup halus dan mulai terbang ke selatan. Bill terbang lagi—tapi kesempatan hidupnya tampak tipis ... Di atas Sahara, Bill tahu gurun pasir berjarak 800 km di depannya. 

Jika ia betul-betul bisa terjaga dan terus ke jalur trans-Sahara, semua akan berjalan baik. Ia memandang dengan penuh konsentrasi ke kontrol kokpitnya sewaktu mesin terbatuk. Jantung Lancaster mulai berdebar. Ia memeriksa semua kontrolnya, tapi tak menemukan kesalahan apa pun. Kemudian, mesin terbatuk lagi—dan lagi ...

Pesawat mulai turun. Bill berusaha mengutak-atik kontrol, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Ia turun ke bawah. Saat itu gelap dan ia tak bisa menebak jaraknya dengan bumi. Ia berusaha menebak, tapi tak ada harapan.

Ada bunyi derak yang menyakitkan sewaktu pesawat menabrak pasir gurun dan terbalik. Bill tidak ingat lagi. Semuanya tampak gelap ...

Ketika sadar, Bill tidak dapat melihat apa-apa. Ia bertanya-tanya di mana ia berada dan apa yang telah terjadi.

Apakah ia sudah buta? la tampak terbalik, dan udara penuh bau asap. la meletakkan tangan ke kedua matanya, dan sadar matanya tersumbat darah beku. Ia menggosok matanya hingga terbuka.

Sekarang, ia dapat meraba-raba keadaannya. Ia benar-benar terbalik di dalam kokpit sempit, yang tersembur darah. la membelai wajahnya dengan hati-hati. Ada luka yang dalam di dahi dan hidungnya, tapi setidaknya darah sudah berhenti mengalir. Berapa lama ia tak sadar, ia tak tahu, tapi ia yakın telah kehilangan banyak darah. Ia merasa lemah dan pusing, Ia berusaha sekuat tenaga mengangkat badannya keluar kokpit

"Aku baru saja bebas dari kematian yang paling mengerikan," ia menulis di buku hariannya. Tampaknya ia tidak memperkirakan sesuatu yang bahkan lebih tidak menyenangkan terbentang di hadapan. 

Ia memeriksa persediaannya. Menyedihkan. Ia punya dua galon air dan jatah makan siang dari ibunya. Namun, Bill bersikeras untuk optimistis. la mendapati airnya cukup untuk persediaan selama tujuh hari. Saat itu, ia yakin akan diselamatkan.

Penantian yang panjang pun dimulai. Setiap hari Lancaster meneguk jatah airnya dan menggoreskan pikirannya di buku harian. Pada malam pertama ia membuat api dari reruntuhan pesawat, merendam potongan-potongan dalam bahan bakar dan menyalakannya. Ia terus menyalakan api sepanjang malam, menyalakan api setiap sekitar duapuluh menit. Meskipun api menyala terang, tak seorang pun melihatnya.

Di hari-hari berikutnya, ia berpikir kemungkinan berjalan kaki mencari bantuan, tapi ia sadar mungkin akan mati lebih cepat bila melakukan itu. Dari udara, sosok orang yang berjalan di gurun pasir hampir tidak kelihatan, setidaknya jika para penyelamat terbang di atasnya, mereka akan menemukan pesawat itu. "Aku harus tetap di dekat pesawat," tulisnya.

Tempat tabrakan itu mengerikan, tepat di jantung Sahara. Bukit pasir membentang di seluruh penjuru. Panas siang hari membakar dan Lancaster hanya memakai pakaian dalamnya karena ia berusaha menghemat energinya di tempat teduh. 

Namun, malam hari dingin menusuk, dan ia mengenakan apa saja agar tubuhnya hangat. "Aku sungguh-sungguh menebus dosa atas segala kesalahan yang kuperbuat di bumi ini. Aku tak ingin mati. Aku benar-benar ingin hidup," tulisnya.

Tanda-tanda kehidupan sama sekali sedikit. Sesekali ia melihat burung hering berputar-putar di atasnya, tidak ragu berharap mendapat makanan. Ia juga melihat seekor burung coklat kecil di dekatnya, dan menduga-duga apakah letak oasis jauh. Akan tetapi, ia menahan diri dan tetap tinggal di bawah sayap pesawat.

Namun, pada akhir hari keempat, harapannya untuk diselamatkan mulai pudar. "Jangan berduka," ia menulis kepada orangtuanya dan Chubbie. "Aku hanya menyalahkan diriku sendiri atas segalanya." Akan tetapi, setelah menggoreskan tulisan itu, jantungnya tiba-tiba berdegup dengan harapan. Di sana, dalam kegelapan, ada api pesawat. Gemetar karena sukacita, Bill menyalakan api untuknya. "Menurutku aku ditemukan," tulisnya dalam buku harian. "Aku percaya itu."

Dengan rasa lega dan girang, Lancaster meneguk dua jatah air. Bagaimanapun ia tak akan mati! Hari berikutnya, ia memandangi kaki langit dengan penuh harap. Sekarang, tak lama lagi, ia bergumam pada dirinya. Sekarang, tak lama lagi ...

Akan tetapi, tetap tak ada yang muncul. Harapannya sirna lagi, dan ia menderita karena dahaga. "Seandainya aku tidak minum cadangan air itu," ia menulis penuh sesal. "Oh, air, air." Rasa dahaga yang luar biasa membuatnya gila. 

Meskipun mengalami segala yang mengerikan, ia menjaga martabatnya. Dalam keadaan putus asa, ia mulai memikirkan mati. "Mohon, Tuhan, aku mati sebagai seorang ksatria," tulisnya. Dan tampak pasti ia seakan-akan melakukan itu.

Pada hari ketujuh, ia menyadari nyawanya tinggal beberapa jam lagi. Dengan kekuatan terakhirnya, ia menulis pesan kepada setiap anggota keluarganya, meyakinkan cintanya kepada mereka. "Ketabahan adalah harapan terakhirku. Sekarang aku sedang mengikatkan buku harian ini dengan kain ..."

Dengan seluruh dokumen terikat pesawat, Bill menanti datangnya ajal. Ajal pasti datang sedikit lebih lama dari yang ia duga, karena ia mendapat tenaga untuk menulis pesan terakhirnya pada kartu bahan bakar Shell: "Tak ada yang disalahkan ... Selamat tinggal, Ayah, lelaki tua ... dan selamat tinggal semua kekasihku. Bill."

Sewaktu Bill terbaring sekarat, pencarian atas dirinya masih berlangsung. Para petugas Prancis di Reggan telah mengirim mobil pencari yang telah mereka janjikan; tapi karena pesawat kandas 60 km dari jalan, kesempatan untuk menemukannya kecil. Pencarian dari udara berlangsung lebih jauh ke selatan, tak seorang pun menduga ia kandas tak begitu lama setelah lepas landas, bahkan pada kondisinya yang melelahkan. Tiba-tiba pencarian dihentikan.

Mereka yang ditinggalkan harus menghadapi sebuah pertanyaan yang terasa sebagai azab. Apakah Bill ingin mati? Hidupnya jelas telah menyingkirkannya ke tepian. Seiring dengan bergantinya tahun, mereka harus menerima bahwa mereka tak akan pernah tahu. Dua puluh sembilan tahun adalah jangka waktu yang sangat lama untuk penantian.

 

Kemudian

Chubbie Miller menerima kematian Bill dan menikahi seorang pilot Inggris tahun 1936. Ia masih hidup saat patroli Prancis akhirnya menemukan Avro Avian tahun 1962. Mereka menyerahkan buku harian Bill dan dokumen lain padanya.

Tubuh Bill Lancaster yang termumikan dimakamkan di Reggan oleh patroli Prancis.

Tahun 1975, sebuah tim asal Australia bertolak untuk menyelamatkan sisa-sisa Avian. Mereka mengangkut pesawat itu kembali ke Australia yang sekarang dapat dilihat di Queensland Air Museum.

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309837/mayat-penerbang-yang-tak-membusuk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282148000) } } }