array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3309837"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/mayat-penerbang-yang-tak-membusu-20220603064827.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(138) "Bill Lancaster terbang di atas Sahara, namun ia dan pesawatnya tidak pernah kembali. Apa yang terjadi dengannya? Apa penyebab kematiannya?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/mayat-penerbang-yang-tak-membusu-20220603064827.jpg"
      ["title"]=>
      string(33) "Mayat Penerbang yang Tak Membusuk"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 18:49:08"
      ["content"]=>
      string(25298) "

Intisari Plus - Bill Lancaster terbang di atas Sahara, namun ia dan pesawatnya tidak pernah kembali. Apa yang terjadi dengannya? Apa penyebab kematiannya? Jawabannya baru diketahui setelah 29 tahun kemudian.

-------------------------

Jika manusia terkubur di padang pasir Sahara, tubuhnya tidak membusuk. Namun, seperti yang diketahui orang Mesir kuno dengan baik, panas yang kering dan terus-menerus akan menarik seluruh udara lembap dengan cepat, dan kulit manusia menjadi rapuh. Tubuh menjadi mumi.

Tahun 1962, sebuah patroli angkatan udara Prancis mengarungi salah satu bagian terjauh Sahara, di selatan kota Reggan di Aljazair. Tempat itu sedemikian jauhnya bahkan suku nomad gurun jarang mengunjunginya, dan tempat itu disebut Tanezrouft—"tanah dahaga". Maka, sangat mengejutkan ketika seseorang tiba-tiba menemukan kilatan sinar matahari pada logam, mengarah ke atas.

"Apa itu?" para pria memanggil satu sama lain. Mereka mendekat.

"Seperti pesawat!" 

Benar, sebuah pesawat, terbalik di padang pasir, benar-benar remuk. Di bawah salah satu sayapnya, terbaring tubuh sang pilot yang mengering menjadi mumi. Pilot itu, namanya Kapten Bill Lancaster, tergeletak di sana. Ia telah hilang selama 29 tahun.

Dengan hati-hati, patroli Prancis itu memeriksa reruntuhan pesawat. Jenis Avro Avian, pesawat biplane berkursi tunggal, dari jenis yang dipakai para peminat penerbangan tahun 1930-an. 

Dokumen pesawat, buku harian, paspor Lancaster, dan dompet terikat pada sebuah topangan sayap. semuanya terbungkus rapi dalam bahan pelindungnya. Di dekatnya terdapat sebuah kartu bahan bakar Shell dengan sebuah pesan akhir:

"Demikianlah awal hari kedelapan telah mulai. Cuaca masih dingin. Aku tidak punya air ... Aku menunggu dengan sabar. Cepatlah datang. Demam semalam meruntuhkanku ..."

Pada bagian pembukaan buku harian yang rapuh itu, patroli menemukan 41 halaman terakhir yang merinci penerbangan sang pilot, tabrakannya, dan delapan hari mengerikan yang ia lewati dengan harapan untuk diselamatkan, tapi malah mati perlahan-lahan karena kehausan. 

Keberaniannya menghadapi kematian menakjubkan—dan mengungkapkan banyak hal tentang seorang pria, yang 12 bulan sebelumnya dituduh melakukan pembunuhan.

Kapten Bill Lancaster menempuh kehidupan yang menggairahkan. Ia dilahirkan di Inggris, 1898, pindah ke Australia saat remaja. Selama Perang Dunia I ia berlatih menjadi pilot dan bergabung dengan Angkatan Udara Kerajaan Inggris seusai perang. 

Tahun 1927, Angkatan Udara tidak lagi membutuhkannya, dan ia tak tahu apa yang akan dikerjakan. la tidak mau berhenti terbang; maka sewaktu ia berniat menjadi orang pertama yang terbang dari Inggris ke Australia, gagasan itu tampak menjadi cara yang sempurna untuk mengukir namanya sendiri sebagai pilot.

Tak lama, situasi berjalan sesuai dengan rencana. Ia ditawari sebuah pesawat Avro Avian dengan harga khusus, dan Shell menawarkan untuk membiayai bahan bakarnya. 

Ketika ia berjumpa wanita Australia yang ingin menjadi wanita pertama yang melakukan penerbangan juga—dan menawarkan mencari setengah dana—gagasan itu tiba-tiba menjadi kenyataan. Nama wanita itu Jessie Miller. Teman-temannya memanggilnya: "Chubbie".

Kedua orang itu itu berangkat 4 Oktober 1927 dari Airport Croydon dekat London. Penerbangan itu menjadi petualangan yang berlangsung lima bulan, karena mereka berjuang melawan cuaca buruk, kerusakan mesin, dan pendaratan darurat di Sumatra, Indonesia. 

Ketika mereka akhirnya tiba di Australia, ratusan orang di sana menyambutnya. Namun, hanya Chubbie yang menggapai cita-citanya. Dialah wanita pertama yang melakukan penerbangan— Bill bukanlah pria pertama. Penerbangan mereka berlangsung sangat lama sehingga pilot lain, Bert Hinkler, mengambil-alih perjalanan mereka.

Selama petualangan, Bill Lancaster dan Chubbie Miller saling jatuh cinta, meskipun keduanya sebelumnya telah menikah. Hubungan asmara itu berakibat menyedihkan. 

Chubbie membangun ketenarannya dengan mendapatkan lisensi pilotnya sendiri dan mengikuti berbagai kompetisi penerbangan. Chubbie dan Bill berangkat ke Amerika, di sanalah Chubbie menjadi terkenal di kalangan penerbangan. 

Kemudian, Chubbie berpikir untuk menulis buku tentang petualangannya dan mencari seorang penulis untuk membantunya. Ia menemukan Haden Clarke, pria muda tampan, yang hidup bersama dengan Chubbie dan Bill di rumah mereka di Miami untuk mengerjakan buku bersama Chubbie.

Bagi Bill, hal-hal tidak berjalan semestinya. Ia terus mengalami kesulitan mendapat pekerjaan. Pada 1932, ia mendapat pekerjaan penerbangkan sebuah pesawat di Meksiko. Karena tak ada pilihan, ia pun berangkat ke Meksiko meninggalkan Chubbie dan Haden berdua di rumah Miami.

Chubbie ditinggalkan dengan sedikit uang dan tak lama ia pun putus asa dan jemu. Terperangkap di rumah bersama Haden, penulis yang menarik itu memikat hatinya, bahkan Chubbie setuju menikahinya. Kedua pasangan itu menulis surat kepada Bill, memberitakan kabar itu. Bill pun segera terbang kembali dari Meksiko ke rumah. la linglung. Ia mengagumi Chubbie dan tak dapat mempercayai bahwa begitu mudah Chubbie mengkhianatinya.

Dengan tinggal bertiga di rumah di Miami, hampir tidak mengherankan bila permasalahan mencapai klimaks yang dramatis. Pada malam 20 April 1932, kepala Haden Clarke ditembus peluru yang membawanya pada kematian saat di rumah sakit. 

Ada dua catatan Haden, yang memberi kesan bahwa dia melakukan usaha bunuh diri. Akan tetapi, tidak membutuhkan waktu lama bagi polisi untuk tahu bahwa catatan itu palsu. Bill-lah yang menulis catatan itu. Sepekan setelah kematian Clarke, Bill Lancaster ditahan karena tuduhan pembunuhan.

Pengadilan atas dirinya merupakan sebuah sensasi besar. Setiap orang yakin, Bill pasti bersalah. Haden Clarke adalah saingannya—Bill punya alasan jelas dan terbuka kesempatan untuk membunuhnya. 

Akan tetapi, Bill membantah. la bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Selama persidangan, tampak bahwa Bill mengatakan yang sebenarnya. Jelas, Bill adalah pria jujur dan sopan, sementara bukti tentang Haden Clarke menunjukkan bahwa ia seorang peminum berat alkohol dan tidak stabil. Bahkan sebelumnya Clarke mengancam untuk bunuh diri.

Hari keputusan benar-benar menggelisahkan Bill. Seluruh hidupnya tergantung pada saat itu ... Sewaktu ketua dewan juri mengucapkan "Tak bersalah," ruang pengadilan meledak dengan tepukan orang-orang yang mengikuti persidangan.

Toh, sesungguhnya, hidup Bill hancur lebur. Mencari pekerjaan cukuplah sulit, karena tak seorang pun mau berurusan dengannya setelah pengadilan itu, tak peduli juri menyatakan ia tak bersalah. Apa yang dapat ia lakukan? la dan Chubbie berangkat ke Inggris, yang jauh dari ingar-bingar publisitas yang buruk. Di sana, Lancaster merencanakan masa depannya.

la tak punya uang. Karir penerbangannya tercabik-cabik. Satu satunya ide adalah membuat rekor terbang lain, yang mungkin akan mengembalikan reputasinya di dunia penerbangan. Mengetahui putranya putus asa, ayah Bill sepakat membiayai perjalanan itu. 

Bill memutuskan membuat rekor terbang Inggris-Cape Town, Afrika Selatan, yang baru saja dipecahkan oleh pilot Inggris Amy Johnson. Ia mencatat waktu empat hari, enam jam, dan 54 menit. Tantangan itu berat, dan sejak awal Lancaster tidak benar-benar menyadarinya secara saksama.

la memilih pesawat Avro Avian lainnya, kali ini yang berkursi tunggal yang dinamakan Avian Mk. V Southern Cross Minor. Ia amat suka menerbangkan Avian, setelah menerbangkan pesawat jenis itu ke Australia. Akan tetapi tetap saja pilihan itu sedikit ceroboh. 

Amy Johnson melakukan penerbangannya dengan De Havilland Puss Moth, yang memiliki kecepatan jelajah 37 kph (20 mph), yang lebih cepat dari Avian. Untuk mengalahkan rekor Johnson, Lancaster harus melakukan penerbangan hampir nonstop—sebuah prestasi fisik atas ketahanan yang akan menguji pria terkuat.

Namun, Lancaster tidak lagi kuat, baik mental maupun fisik. Ia telah kelelahan karena pengadilan tahun sebelumnya. Segala sesuatu yang ia katakan sebelum terbang menunjukkan bahwa ia melakukan penerbangan itu dalam keadaan tidak sehat.

"Saya ingin tekankan bahwa saya mengusahakan penerbangan ini dengan menanggung risiko sendiri," katanya kepada seorang wartawan."Saya tidak berharap ada usaha untuk mencari jika saya dikabarkan hilang." Kata-kata itu hampir tidak optimistik bahkan mungkin amat tragis ...

Suatu pagi, 11 April 1933, Chubbie dan orangtua Bill datang melihatnya lepas landas dari Lympne Aero drome, dekat pantai Kent Selatan.

"Selamat tinggal, sayang," kata sang ibu, yang membekalinya sedikit roti isi daging ayam dan sepotong coklat. Bill memeluk mereka erat-erat, sebelum kemudian memanjat kokpit. Ia menyalakan mesin. Saat itu pukul 5:38 pagi.

Perhentiannya yang pertama diperkirakan di Oran, Aljazair—lompatan yang besar dari Inggris sejauh 1.770 km. Akan tetapi, sejak keberangkatan, ia mengalami kemalangan. Arah angin berlawanan dengannya, dan ia harus mendarat di Barcelona di Spanyol untuk mengisi bahan bakar. 

Saat berjuang mencapai Oran, urat sarafnya tegang, la sudah terlambat. Petugas di Oran tampak prihatin melihatnya. Bill gugup dan mudah tersinggung, dan tentu saja bukan dalam kondisi bagus untuk menyeberangi gurun pasir yang tandus.

"Tuan, menurut kami, sebaiknya Anda mempertimbangkan kembali," kata seorang petugas. "Anda perlu beristirahat." 

"Istirahat!" teriak Bill. "Saya sudah terlambat. Tidak bisa beristirahat. Kalian semua hanya memperlambat saya." 

"Itu untuk kepentingan Anda, Tuan," sahut petugas dengan sabar. "Menyeberangi gurun pasir adalah melelahkan Dan saya ingin mengingatkan Anda bahwa kami memerlukan deposit £100 untuk biaya pencarian, seandainya kami mencari Anda."

"Saya sudah membayar deposit!" Bill membentak. Memang benar, ia telah membayar biaya itu di London. 

"Saya khawatir kami tidak memiliki catatannya," kata petugas itu. "Anda harus membayarnya lagi."

Bill kesal. "Well, saya tidak punya £100!" bantahnya "Saya akan menanggung risiko. Dan saya tidak berharap Anda mencari saya."

Dengan kata-kata itu, ia kembali memanjat kokpitnya dan mengarah keluar ke landas pacu. Para petugas menggelengkan kepala. Saat itu pukul tiga pagi. Bill berada di udara selama hampir 24 jam.

Jangkauan perjalanan berikut membawa Bill melewati Pegunungan Atlas dan menyeberangi rentangan pertama gurun pasir. Ia terbang terus sepanjang malam, memeriksa kompasnya dengan lampu senter.

Saat fajar menyingsing, ia memandang ke bawah dari kokpitnya dengan gelisah, ia berusaha melihat jalur trans-Sahara yang mengarah ke kota Reggan, tujuan berikutnya sesuai jadwal. 

la merasa lega, tampak olehnya bentangan ke arah selatan melewati belantara tandus. Ia memutuskan berhenti di Adrar, 160 km di utara Reggan, kemudian melampaui Reggan dalam waktu yang sama dan meninggalkan gurun pasir itu dengan satu penerbangan yang besar.

Akan tetapi, kelelahan Bill mengalahkan semangatnya. Ia tinggal landas dari Adrar sekitar pukul setengah sepuluh pagi hari, dan segera kehilangan arah. Di bawahnya, badai gurun yang meraung-raung menutupi jalur menuju selatan. Sebagai gantinya, ia menuju timur. 

Penerbangan ini membawa petaka. la terbang selama lebih dari satu setengah jam sebelum menyadari apa yang ia kerjakan. Kemudian, ia mendarat di sebuah tempat kecil bernama Aoulef untuk memeriksa dengan saksama keberadaannya. 

Akhirnya, ia ke selatan menuju Reggan—tapi ia telah kehilangan berjam-jam waktu berharganya dan kehabisan bahan bakar. Bagaimana pun ia seharusnya mendarat di Reggan.

Sadarkah Bill Lancaster bahwa penghentian itu merupakan kontak terakhirnya dengan dunia? Kelihatannya seakan-akan ia berharap mati. la mendarat di Reggan dan keluar dari kokpit. la tidak makan dan tidur selama 30 jam, dan kondisinya menakutkan petugas.

"Lihat dia! Ia bahkan hampir tak bisa berjalan," seseorang berujar sewaktu Bill terseok-seok menghampiri mereka.

"Kita tidak bisa membiarkannya terus," yang lain setuju. "Ia membahayakan dirinya sendiri."

Para petugas, seperti juga yang ada di Oran, berusaha keras untuk menghentikan agar ia tak melanjutkan penerbangan. Akan tetapi, Bill tetap nekat seperti sebelumnya. Mengulurkan tangan dari wajahnya yang kelelahan, ia amat yakin dengan tujuannya.

"Aku terus," katanya kepada para petugas. "Cuma inilah kesempatanku. Satu-satunya kesempatanku, kau dengar? Aku tidak akan gagal. Aku tidak boleh gagal." 

Terkesan dengan keberaniannya, seorang petugas berusaha memengaruhinya dengan lebih halus. "Akan tetapi, Anda sudah terlambat 10 jam dari jadwal," katanya. "Anda letih. Tidaklah memalukan bila Anda menyerah sekarang. Lebih baik daripada tewas di gurun pasir."

Akan tetapi, pancaran mata Bill menunjukkan bahwa kegagalan adalah ketakutannya yang terbesar. 

Orang itu menghela napas dan berkata. "Saya tak dapat menghentikan perjalanan Anda," ia mengakui."Dan tentu saja, kami tak bisa mengabaikan bila Anda tidak sampai. Jika tidak ada kabar apa pun sampai pukul enam besok, saya akan mengirimkan mobil untuk menelusuri jalur ke Gau. Jika Anda dapat membakar sesuatu untuk membuat api unggun, kami pasti menemukan Anda."

Maka jam delapan petang itu Bill sekali lagi perlahan-lahan naik ke kokpit. Para petugas memandangnya dengan berat hati sewaktu pesawat bergerak zigzag dan terhuyung-huyung di landas pacu. Jelas Lancaster hanya dapat berkonsentrasi pada kontrol. Akan tetapi, pesawat melesat ke langit.

Selagi mereka menonton, Avian berbelok cukup halus dan mulai terbang ke selatan. Bill terbang lagi—tapi kesempatan hidupnya tampak tipis ... Di atas Sahara, Bill tahu gurun pasir berjarak 800 km di depannya. 

Jika ia betul-betul bisa terjaga dan terus ke jalur trans-Sahara, semua akan berjalan baik. Ia memandang dengan penuh konsentrasi ke kontrol kokpitnya sewaktu mesin terbatuk. Jantung Lancaster mulai berdebar. Ia memeriksa semua kontrolnya, tapi tak menemukan kesalahan apa pun. Kemudian, mesin terbatuk lagi—dan lagi ...

Pesawat mulai turun. Bill berusaha mengutak-atik kontrol, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Ia turun ke bawah. Saat itu gelap dan ia tak bisa menebak jaraknya dengan bumi. Ia berusaha menebak, tapi tak ada harapan.

Ada bunyi derak yang menyakitkan sewaktu pesawat menabrak pasir gurun dan terbalik. Bill tidak ingat lagi. Semuanya tampak gelap ...

Ketika sadar, Bill tidak dapat melihat apa-apa. Ia bertanya-tanya di mana ia berada dan apa yang telah terjadi.

Apakah ia sudah buta? la tampak terbalik, dan udara penuh bau asap. la meletakkan tangan ke kedua matanya, dan sadar matanya tersumbat darah beku. Ia menggosok matanya hingga terbuka.

Sekarang, ia dapat meraba-raba keadaannya. Ia benar-benar terbalik di dalam kokpit sempit, yang tersembur darah. la membelai wajahnya dengan hati-hati. Ada luka yang dalam di dahi dan hidungnya, tapi setidaknya darah sudah berhenti mengalir. Berapa lama ia tak sadar, ia tak tahu, tapi ia yakın telah kehilangan banyak darah. Ia merasa lemah dan pusing, Ia berusaha sekuat tenaga mengangkat badannya keluar kokpit

"Aku baru saja bebas dari kematian yang paling mengerikan," ia menulis di buku hariannya. Tampaknya ia tidak memperkirakan sesuatu yang bahkan lebih tidak menyenangkan terbentang di hadapan. 

Ia memeriksa persediaannya. Menyedihkan. Ia punya dua galon air dan jatah makan siang dari ibunya. Namun, Bill bersikeras untuk optimistis. la mendapati airnya cukup untuk persediaan selama tujuh hari. Saat itu, ia yakin akan diselamatkan.

Penantian yang panjang pun dimulai. Setiap hari Lancaster meneguk jatah airnya dan menggoreskan pikirannya di buku harian. Pada malam pertama ia membuat api dari reruntuhan pesawat, merendam potongan-potongan dalam bahan bakar dan menyalakannya. Ia terus menyalakan api sepanjang malam, menyalakan api setiap sekitar duapuluh menit. Meskipun api menyala terang, tak seorang pun melihatnya.

Di hari-hari berikutnya, ia berpikir kemungkinan berjalan kaki mencari bantuan, tapi ia sadar mungkin akan mati lebih cepat bila melakukan itu. Dari udara, sosok orang yang berjalan di gurun pasir hampir tidak kelihatan, setidaknya jika para penyelamat terbang di atasnya, mereka akan menemukan pesawat itu. "Aku harus tetap di dekat pesawat," tulisnya.

Tempat tabrakan itu mengerikan, tepat di jantung Sahara. Bukit pasir membentang di seluruh penjuru. Panas siang hari membakar dan Lancaster hanya memakai pakaian dalamnya karena ia berusaha menghemat energinya di tempat teduh. 

Namun, malam hari dingin menusuk, dan ia mengenakan apa saja agar tubuhnya hangat. "Aku sungguh-sungguh menebus dosa atas segala kesalahan yang kuperbuat di bumi ini. Aku tak ingin mati. Aku benar-benar ingin hidup," tulisnya.

Tanda-tanda kehidupan sama sekali sedikit. Sesekali ia melihat burung hering berputar-putar di atasnya, tidak ragu berharap mendapat makanan. Ia juga melihat seekor burung coklat kecil di dekatnya, dan menduga-duga apakah letak oasis jauh. Akan tetapi, ia menahan diri dan tetap tinggal di bawah sayap pesawat.

Namun, pada akhir hari keempat, harapannya untuk diselamatkan mulai pudar. "Jangan berduka," ia menulis kepada orangtuanya dan Chubbie. "Aku hanya menyalahkan diriku sendiri atas segalanya." Akan tetapi, setelah menggoreskan tulisan itu, jantungnya tiba-tiba berdegup dengan harapan. Di sana, dalam kegelapan, ada api pesawat. Gemetar karena sukacita, Bill menyalakan api untuknya. "Menurutku aku ditemukan," tulisnya dalam buku harian. "Aku percaya itu."

Dengan rasa lega dan girang, Lancaster meneguk dua jatah air. Bagaimanapun ia tak akan mati! Hari berikutnya, ia memandangi kaki langit dengan penuh harap. Sekarang, tak lama lagi, ia bergumam pada dirinya. Sekarang, tak lama lagi ...

Akan tetapi, tetap tak ada yang muncul. Harapannya sirna lagi, dan ia menderita karena dahaga. "Seandainya aku tidak minum cadangan air itu," ia menulis penuh sesal. "Oh, air, air." Rasa dahaga yang luar biasa membuatnya gila. 

Meskipun mengalami segala yang mengerikan, ia menjaga martabatnya. Dalam keadaan putus asa, ia mulai memikirkan mati. "Mohon, Tuhan, aku mati sebagai seorang ksatria," tulisnya. Dan tampak pasti ia seakan-akan melakukan itu.

Pada hari ketujuh, ia menyadari nyawanya tinggal beberapa jam lagi. Dengan kekuatan terakhirnya, ia menulis pesan kepada setiap anggota keluarganya, meyakinkan cintanya kepada mereka. "Ketabahan adalah harapan terakhirku. Sekarang aku sedang mengikatkan buku harian ini dengan kain ..."

Dengan seluruh dokumen terikat pesawat, Bill menanti datangnya ajal. Ajal pasti datang sedikit lebih lama dari yang ia duga, karena ia mendapat tenaga untuk menulis pesan terakhirnya pada kartu bahan bakar Shell: "Tak ada yang disalahkan ... Selamat tinggal, Ayah, lelaki tua ... dan selamat tinggal semua kekasihku. Bill."

Sewaktu Bill terbaring sekarat, pencarian atas dirinya masih berlangsung. Para petugas Prancis di Reggan telah mengirim mobil pencari yang telah mereka janjikan; tapi karena pesawat kandas 60 km dari jalan, kesempatan untuk menemukannya kecil. Pencarian dari udara berlangsung lebih jauh ke selatan, tak seorang pun menduga ia kandas tak begitu lama setelah lepas landas, bahkan pada kondisinya yang melelahkan. Tiba-tiba pencarian dihentikan.

Mereka yang ditinggalkan harus menghadapi sebuah pertanyaan yang terasa sebagai azab. Apakah Bill ingin mati? Hidupnya jelas telah menyingkirkannya ke tepian. Seiring dengan bergantinya tahun, mereka harus menerima bahwa mereka tak akan pernah tahu. Dua puluh sembilan tahun adalah jangka waktu yang sangat lama untuk penantian.

 

Kemudian

Chubbie Miller menerima kematian Bill dan menikahi seorang pilot Inggris tahun 1936. Ia masih hidup saat patroli Prancis akhirnya menemukan Avro Avian tahun 1962. Mereka menyerahkan buku harian Bill dan dokumen lain padanya.

Tubuh Bill Lancaster yang termumikan dimakamkan di Reggan oleh patroli Prancis.

Tahun 1975, sebuah tim asal Australia bertolak untuk menyelamatkan sisa-sisa Avian. Mereka mengangkut pesawat itu kembali ke Australia yang sekarang dapat dilihat di Queensland Air Museum.

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309837/mayat-penerbang-yang-tak-membusuk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282148000) } } }