Intisari Plus - Dalam sebuah syuting film, seorang pemeran figuran yang juga asisten sutradara berakting mati ditembak. Ternyata itu nyata!
------------------
Syuting film Buronan sudah memasuki bulan kedua. Hampir 70% dari seluruh syuting di lokasi telah selesai, tinggal pengambilan gambar dalam ruangan.
Pagi itu syuting bertempat di sebuah kantor bank swasta nasional untuk menggambarkan adegan perampokan. Setelah berlatih beberapa kali, semua pemain maupun figuran siap di tempatnya masing-masing, menunggu komando dari sang sutradara, Benny Bintara.
Pemeran juru bayarnya asli karyawati bank itu. Namun, manajer yang dalam cerita harus mati ditembak penjahat diperankan oleh Aria, bujangan ganteng, yang resminya asisten sutradara (astrada). Sudah kebiasaan ada kru bisa secara dadakan menjadi pemain, asalkan sifatnya tidak berkesinambungan. Keuntungannya, honornya bisa “damai”.
Benar-benar tewas
Take pertama dimulai setelah kamerawan mengambil gambar papan klep, untuk editing film.
“Kamera, action!” teriak sang sutradara. Syuting berjalan lancar, semua pemain bergerak seperti dalam skenario. Saat seorang juru bayar tengah melayani nasabah, tiba-tiba kamera zoom-in ke arah tempat duduk para nasabah. Dari deretan belakang tiga orang berdiri bersamaan, lalu menarik topi rajutannya - sebagai penutup muka. Salah seorang perampok menodongkan FN 45 sambil melemparkan kantung kain ke arah juru bayar.
“Masukkan semua uang ke kantung!” gertaknya.
Seperti dalam skenario, manajer muda di sudut ruangan hendak meraih tombol alarm. Sayangnya, gerakan itu tidak lepas dari amatan sang perampok berpistol yang segera menarik picunya. Dor...dor...! Manajer muda itu terjengkang dengan kursinya. Bajunya bolong, bersimbah darah. Kemudian para perampok lari sambil membawa sejumlah kantung dan out ke samping kamera.
“Cut! Bagus, sekarang ke shot selanjutnya,” kata Benny puas.
Aria, asisten sutradara, yang seharusnya menyiapkan adegan lanjutan itu tetap tergeletak di lantai. Napasnya tersengal, wajahnya pucat dan berkeringat.
“Aria, ayo bangun. Aktingnya sudah selesai,” teriak sutradara dari kejauhan.
Aria tetap terbaring di lantai karpet. Sugeng, bagian tata lampu, akhirnya curiga. Dibantu Andy, mereka buru-buru menggotongnya ke tempat lain. Suasana berubah panik, kru film merubungnya.
Andy membuka baju Aria yang “bolong-berdarah” dan karet pelindung efek. Aria tidak mengenakan kaus dalam, tampak jelas dada kirinya hangus luka bakar, seperti terkena hantaman besi panas. Pertolongan pertama berupa napas buatan pun sia-sia. Buru-buru Aria dilarikan ke rumah sakit. Sayang, astrada muda itu mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan. Didahului dengan suara ngorok keras.
Kabar burung yang tersiar, astrada playboy itu kena serangan jantung. Tina, waria penata rias yang tinggal serumah dengan Aria, langsung pingsan begitu tahu sepupunya tewas.
Briptu Ibrahim, “pengawal” senjata api yang dipinjam kru film Buronan, heran. Sebagai konsultan, ia yakin tidak melakukan kesalahan. Karena rasa tanggung jawab, ia segera melapor ke atasannya, Iptu Yulianto. Perwira muda berperawakan gemuk itu datang bersama dua anak buahnya.
Pada masa itu, trik efek tembakan masih dengan teknik konvensional. Selembar karet tebal (biasanya karet ban mobil bagian luar), salah satu sisinya ditempeli bahan peledak - biasanya berbentuk wax (elastis) dan sekantung plastik kecil darah (campuran madu dan zat pewarna). Ke dalam bahan peledak itu dimasukkan dua kabel merah dan hitam (disembunyikan dalam baju si pemakai), yang dihubungkan dengan sumber listrik DC 12 volt.
Karet ban selebar dua telapak tangan tersebut diikatkan ke bagian tubuh “korban” yang menjadi sasaran tembak. Senjata yang akan digunakan sudah dikosongkan dari anak peluru, yang kemudian diganti dengan kapur tulis berbentuk peluru yang akan menyumbat rapat selongsong bermesiu itu. Jika pistol ditembakkan, selongsong akan meledak. Yang keluar asap putih, karena kapur terbakar menjadi abu. Jauh di belakang “korban”, seorang kru tinggal menempelkan kabel merah-hitam ke kutub plus-minus aki, yang harus sinkron dan langsung diikuti gerakan korban. Terjadilah sambungan arus pendek, meledakkan mesiu yang ditempelkan pada protektor di atas dada korban. Efeknya, ledakan menembus baju bersamaan dengan pecahnya plastik berisi “darah”. Dalam gambar, efek itu mengesankan, peluru benar-benar menembus dada yang mengakibatkan darah bercucuran.
“Pak Benny sering menyutradarai film jenis ini?” tanya Iptu Yulianto pada Benny Bintara.
“Ya. Tetapi baru kali ini jatuh korban.”
“Siapa yang bertanggung jawab langsung?”
“Rawuh, art director. Tetapi dia dan beberapa anak buahnya sedang menyiapkan setting di tempat lain,” jawab Benny singkat.
“Bagaimana ceritanya sampai ada korban?”
Secara singkat Benny Bintara menceritakan kronologinya, juga teknik pembuatan efek tembakan itu.
“Saya bisa melihat karet protektornya?”
Ternyata protektor itu berlubang sebesar jari telunjuk di tengahnya.
“Aus, mungkin karena sering dipakai,” sela anak buah Iptu Yulianto.
“Atau mesiunya terlalu banyak?” tebak Yulianto.
“Tidak, Pak. Mesiu ditimbang sebelum dipasang. Antara 25 sampai 30 gram tiap tembakan pistol,” jawab Briptu Ibrahim.
“Siapa yang memasang karet pelindung?”
“Madrim, pembantu bagian efek,” jawab seseorang.
Madrim (23) perjaka jangkung itu berpenampilan sedikit lusuh, di mulutnya selalu terselip rokok kretek. Gerak-geriknya sedikit canggung untuk bekerja di film, yang semuanya serba instan dan cekatan.
“Kok kelihatan lemas, tadi malam pulang jam berapa?” Iptu Yulianto berbasa-basi.
“Selesai syuting jam sebelas. Tetapi jemputannya ngantar yang lain dulu.”
“Kamu yang memasang karet pelindung?”
Madrim mengangguk.
“Sudah sering menangani pekerjaan ini?”
“Baru kali ini.”
Untuk menghormati dan tanda berkabung, para awak film bersepakat break selama dua hari. Padahal ini film keempat Aria sebagai astrada. Menurut peraturan, Aria tinggal mengajukan rekomendasi ke lembaga terkait untuk naik pangkat menjadi sutradara penuh. Sayang, nasib menentukan lain.
Satu jam kemudian Iptu Yulianto menemui dr. Made yang menangani jenazah Aria di rumah sakit.
“Apa penyebab kematiannya, Dok?”
“Menurut saya, hentakan keras dan letusan mesiu, membuat pembuluh koronernya mengerut seketika sehingga tidak dapat menyalurkan darah dan oksigen ke otot jantung. Atau malah otot jantungnya yang kena, sehingga berakibat fatal. Mungkin ceritanya akan lain, jika pertolongan pertamanya bisa semaksimal mungkin,” jelas dr. Made.
“Jadi?”
“Boleh dibilang kecelakaan karena suatu keteledoran,” tegas dokter berwajah ramah itu.
Korban kedua
Sepuluh hari berselang. Tina, waria si penata rias film Buronan, biasanya sudah menunggu jemputan pagi di mulut gang dengan segala perkakasnya. Namun hampir setengah jam Edy, sopir jemputan, menunggu, waria tinggi semampai itu tak kunjung muncul. Terpaksalah Edy masuk gang. Rumah kontrakan Tina sepi, jendela dan pintunya pun masih tertutup. Edy mengetuk beberapa kali, tak ada jawaban. la nekat masuk ketika tahu pintu tidak terkunci. Beberapa menit kemudian, Edy keluar lagi dengan berteriak-teriak histeris. Karuan hal itu mengundang perhatian banyak orang.
Ternyata, Edy menemukan Tina sudah meninggal di atas sofa. Sebelah kakinya menggantung ke ubin dengan wajah tertutup bantal sofa. Tampak nyata, Tina meninggal tidak dengan wajar. Seorang pemuka masyarakat langsung mengamankan TKP, sebelum para penyidik datang.
Satu jam kemudian polisi datang dan langsung mengamati TKP. Domisili Tina masih daerah wewenang Iptu Yulianto. Tak heran bila perwira muda itu tampak serius, ketika tahu yang meninggal masih kru film Buronan, yang sepuluh hari sebelumnya kehilangan astradanya.
“Adakah saksi lain?”
“Tidak ada, Pak. Cuma saya sendirian.”
“Pukul berapa calling jemputan untuk Tina?”
“Tujuh, Pak. Saya jemput Tina duluan karena rumahnya dekat rumah saya, sekalian jalan,” jelasnya dengan mimik sedih. “Saya bisa masuk, karena pintu tak terkunci. Saya melihat ia tidur di sofa. Saya kira cuma tidur-tiduran sambil mukanya ditutup bantal. Karena ia tidak juga menyahut meski telah saya panggil beberapa kali, bantal itu pun saya ambil. Aduh ngeri, matanya melotot dengan mulut terbuka. Tubuhnya sudah kaku.”
“Kemarin ada syuting?”
“Ya. Dia yang saya antar terakhir. Sampai di sini kira-kira pukul sembilan.”
“Ada orang lain yang turun bersama korban?” Edy menggeleng.
Lemari di kamar Tina diacak-acak, mengesankan pembunuhan itu bermotif perampokan. Di atas meja tamu ada dua kotak minuman susu cokelat yang isinya tinggal setengah. Juga piring berisi beberapa potong ubi dan tempe goreng yang sudah layu. Briptu Darmawan mengambil piring beserta isinya dan karton susu cokelat yang masih ada sedotannya, langsung dimasukkan ke kantung plastik. Setelah diambil gambar dan sidik jarinya, korban dibawa ke rumah sakit.
Ketika jenazah diangkat, sepotong benda jatuh ke lantai. Ternyata sekeping kancing baju kecil berwarna putih, bertuliskan merek pakaian terkenal buatan luar negeri. Iptu Yulianto menduga kancing baju itu berasal dari kaus bermerek terkenal yang dikenakan pelaku pembunuhan. Sebab korban mengenakan kemeja batik cokelat berlengan pendek dengan kancing warna serupa. Diperkirakan, korban nekat melawan dan berhasil merenggut kerah baju pembunuhnya sampai-sampai satu kancingnya lepas.
“Apa baju korban kemarin?” tanya Iptu Yulianto
“T-shirt, Pak.”
“Kemungkinan tamunya semalam termasuk orang yang disegani. Korban menyempatkan ganti baju segaIa,” gumam Iptu Yulianto.
Mantan pacar
Iptu Yulianto masih harus bekerja keras karena belum ada titik terang dari kasus kematian Tina. Ia hanya dapat menyimpulkan bahwa pembunuhan tersebut sudah direncanakan. Pelakunya orang yang dikenal baik korban karena kunci pintu maupun jendelanya tidak rusak, juga ada acara minum dan makan kudapan berdua.
Saat memikirkan langkah yang harus diambil, tiba-tiba telepon di mejanya berdering.
“Ya, oh, dr. Made. Bagaimana hasilnya, Dok?”
“Ternyata minuman korban diberi obat tidur. Dosisnya sangat tinggi, dapat membuat pingsan cukup lama. Saya kira, saat dalam keadaan tak sadar, korban dibekap wajahnya sampai kehabisan oksigen.”
“Bagaimana dengan kotak satunya?”
“Lo, kotak minumannya ‘kan tidak dibawa kemari. Yang ada cuma sisa minuman di kantung plastik.”
“Maaf, saya lupa. Kotak minuman itu dibawa ke bagian forensik untuk diambil sidik jarinya. Bagaimana dengan minuman yang satunya, Dok?”
“Negatif. Tidak mengandung apa-apa.”
Dari bagian identifikasi dan investigasi, Iptu Yulianto mendapat keterangan bahwa di salah sebuah kotak susu cokelat terdapat dua sidik jari, yakni sidik jari korban dan sidik jari X, seseorang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan. Sedang pada kotak lainnya hanya ada sidik jari X, yang mungkin membawa minuman itu lalu mengisinya dengan obat tidur.
Siapakah si X?
Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Iptu Yulianto.
“Ya. Masuk.”
Seorang gadis manis, bersama ibunya, diantar masuk oleh Bripda Suherman.
“Siap, Pak. Ini Juli, ia hendak melapor.”
“Tentang apa?”
“Tentang meninggalnya Mas Aria,” sahut gadis itu spontan.
Juli pun bercerita. Sekitar setengah tahun lalu ia putus pacaran dengan Madrim.
“Kenapa?”
“Habisnya dia suka ‘ngobat’,” jawab Juli singkat.
“Lalu apa hubungannya dengan Aria?”
“Kemudian saya pacaran dengan Mas Aria. Rencananya kalau bulan depan filmnya sudah selesai, kami akan menikah. Tapi ...,” kalimatnya terputus karena tangis.
“Masih muda kok buru-buru kawin?”
“Karena Juli sudah ...,” jawab ibunya polos.
“Oh, begitu. Lalu apa hubungannya dengan kematian Aria?”
“Juli mengira Madrimlah dalangnya, karena sakit hati,” tegas ibunya.
Iptu Yulianto menanggapi laporan itu sebagai informasi berharga.
Sore sekitar pukul 17.00 Iptu Yulianto sudah duduk di motornya. Penampilannya berbeda, bercelana jins dan tas pinggang kecil di balik jaket, lengkap dengan helm dan kaus tangan katun.
“Mau ke mana, Pak, kok nyentrik?” celetuk Bripda Suherman.
“Nonton syuting film, ayo ikut, mumpung syutingnya masih di daerah kita.”
“Sejak kapan Bapak tertarik nonton syuting film?”
“Sejak dua krunya meninggal secara tak wajar.”
Sayangnya, setiba di lokasi, syuting sudah selesai. Sebagian rombongan sudah pulang, termasuk rombongan sutradara dan bintangnya. Tinggal para kru yang sibuk dengan pekerjaannya. Iptu Yulianto mendatangi seorang lelaki kerempeng yang mengenakan kaus merah bata garis-garis putih, tampak kedodoran.
“Mas Madrim. Syutingnya sudah selesai, ya?” seru Iptu Yulianto.
“Sudah, Pak. Hari ini terakhir syuting di sini.”
Pandangan mata Iptu Yulianto lekat menatap kaus Madrim. Kaus itu bermerek terkenal buatan luar negeri, persis merek kancing baju yang ditemukan di rumah Tina. Benar, kaus Madrim sebenarnya berkancing tiga, tetapi pada deretan paling atas terpasang kancing putih biasa, tak bermerek, berbeda dengan dua kancing lainnya.
“Tinggalnya di mana, Madrim?”
“Ikut Om Rawuh,” sambil menyebutkan alamatnya.
“Oh, masih daerah sini juga. Sebelumnya kerja di mana?”
“Di bengkel, pembantu montir.”
“Tahu tentang listrik?”
“Sedikit,” jawabnya mulai gugup.
“Kok tumben, kamu tidak merokok. Biasanya selalu nyelip di bibir?” Iptu Yulianto mengalihkan pembicaraan.
“Jatah saya sudah habis. Mau beli, warungnya jauh.”
“Kalau mau, saya ada,” Iptu Yulianto mengambil sebungkus rokok kretek dari tas pinggangnya. Bungkus rokok itu diserahkan ke tangan Madrim, yang langsung menerimanya dengan senang hati, sebab rokok kretek ini memang kesukaannya.
Sekembali di kantor Iptu Yulianto mengeluarkan bungkus rokok dari tas pinggangnya, lalu memasukkan ke kantung plastik.
“Bripda Suherman, tolong antarkan ini ke laboratorium. Periksa sidik jari di bungkus rokok ini, apakah sama atau tidak dengan sidik jari di karton cokelat susu di rumah Tina. Kalau sama, langsung jemput Madrim. Ini alamatnya.”
Sidik jari di mana-mana
Hari berikutnya, begitu mendapat laporan bahwa sidik jari pada bungkus rokok sama persis dengan karton susu cokelat. Iptu Yulianto segera memerintahkan dua anak buahnya untuk “menjemput” Madrim.
“Ada keperluan apa saya dipanggil, Pak?” tanya Madrim seakan tak mengetahui maksud pemanggilannya.
“Untuk sementara ini, kau didakwa membunuh Tina!”
“Apa buktinya, Pak?”
“Ada dua. Kancing baju ini,” Iptu Yulianto mengeluarkan sebuah kancing kecil dari laci mejanya. “Kancing ini saya temukan di tubuh Tina. Mereknya persis dengan merek kaus yang kau pakai tempo hari. Kebetulan kaus yang waktu itu kau pakai, satu kancingnya tidak seragam dengan dua lainnya. Berarti kancing itu lepas ketika kau berusaha membekap muka Tina.”
“Kaus itu pemberian Pak Benny Bintara. Maka kelihatan kebesaran ketika saya pakai. Waktu barang itu saya terima, kancingnya memang tinggal dua,” Madrim tak mau kalah berargumentasi.
“Kapan kamu mendapatkannya?”
“Dua hari sesudah Aria meninggal.”
“Terus terang saja, apa kamu sering ‘ngobat’?”
“Sekadar ‘cimeng’ (ganja - Red.) iya, itu pun kalau lagi bete. Tapi kalau sampai ‘ngobat’, tidak. Sumpah, Pak,” akunya.
“Lalu, kenapa Juli minta putus dari kamu?”
Madrim tampak terkejut ketika Iptu. Yulianto menyebut nama Juli. Pemuda itu terdiam.
“Sejak SMA dia pingin jadi bintang film. Dia sering mendesak saya agar dikenalkan dengan orang-orang film, karena saya kenal Om Rawuh. Permintaannya tidak saya tanggapi. Lalu ia berkenalan dengan Tina. Selain penata rias, Tina juga menyalurkan anak-anak jadi figuran. Juli bangga, meski baru tahap numpang lewat. Tina berjanji akan memperkenalkannya dengan seseorang yang lebih berkompeten. Benar, di film selanjutnya Juli mendapat peran berarti, tetapi harus dibayar dengan mahal. Juli hamil.”
“Tina ‘kan waria?” potong Iptu Yulianto.
“Bukan dengan Tina, tetapi Aria. Dia itu playboy, peran-peran tambahan atau figuran biasanya dipilih dan ditentukan olehnya. Saat itulah ia mencari kesempatan.”
“Jadi, kamu dendam sama Aria?”
“Tidak, Pak. Hidup saya sudah susah, Pak. Ngapain juga nambah perkara. Tentang kecelakaan sampai dia meninggal, saya tidak tahu apa-apa. Benar, Pak.”
“Tetapi yang memasang karet protektor itu kamu ‘kan?”
“Betul, tapi saya tinggal pasang, karena sudah dirakit oleh Om Rawuh sebelum sarapan. Kemudian ia pergi menyiapkan setting di tempat lain.”
“Kembali ke Tina. Ketika korban meninggal, di meja tamu ada dua kotak karton susu cokelat dan sepiring gorengan. Di kedua kotak ada sidik jarimu, persis seperti sidik jari di bungkus rokok yang saya sodorkan sore lalu.”
Madrim kaget, menyadari kebodohannya.
“Apa kini alibimu?” Iptu Yulianto tersenyum.
“Saya ingat. Tina meninggal pada hari Rabu. Selasa malam sepulang syuting, sekitar jam sembilan, saya disuruh Pak Benny mengambil obat di apotek. Juga membeli dua kotak susu cokelat. Saya sempat diingatkan untuk melihat tanggal kedaluwarsanya.”
“Sesudah itu, kamu ke mana?”
“Langsung pulang. Karena besoknya ada syuting pagi.”
“Apakah sepeninggalmu Pak Benny juga pergi?”
“Saya kira tidak. Sebab istri dan pembantunya nginap di rumah orang tuanya.”
Iptu Yulianto cepat merangkaikan informasi itu. Kalau Madrim meneliti kedaluwarsanya kotak susu, berarti sidik jari Madrim yang dominan di karton susu itu. Madrim yang tampaknya lugu itu memang bisa menguatkan alibi Benny. Begitu Madrim pulang, ia cepat-cepat bertindak. Melarutkan beberapa pil tidur dalam air, lalu menyuntikkan ke dalam salah satu karton susu cokelat. Kemudian ia ke rumah Tina sesudah membeli gorengan. Siapa pun kalau makan gorengan tentu akan haus.
“Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sementara waktu kamu harus di sini dulu,” perintah Iptu Yulianto tegas.
Kuncinya, sedotan
Sekitar pukul 12.00 Iptu Yulianto dan dua anak buahnya mendatangi sebuah apotek, sesuai petunjuk Madrim. Sesudah mengenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya, seorang asisten apoteker mencari arsip resep dari tanggal dimaksud.
“Benar, Pak. Ini resep dari dokter Basuki untuk Pak Benny Bintara. Selain vitamin juga obat tidur. Saya kira Pak Benny menderita insomnia, sebab sering mengambil obat seperti ini di sini.”
Esoknya Benny Bintara tampak tenang ketika memasuki ruangan Iptu Yulianto.
“Pak Benny, langsung ke pokok persoalan, yakni kematian Tina. Di mana Bapak pada Selasa malam, ketika Tina meninggal?”
“Di rumah. Madrim saksinya. Saya harus di rumah, sebab istri dan pembantu saya pergi ke mertua.”
“Betulkah? Pak Haji pemilik kontrakan mengatakan, sekitar pukul sepuluh atau sebelas malam ada tamu laki-laki mencari Tina. Apa itu bukan Bapak?” pancing Yulianto.
“Itu bohong. Tidak ada bukti dan saksi bahwa saya berada di sana,” elaknya.
“Bukti ada, Pak, saksinya juga ada,” Iptu Yulianto tersenyum kalem. Iptu Yulianto kemudian mengambil beberapa pil tidur dari laci mejanya.
“Pil tidur ini merek dan asal apoteknya persis seperti yang Anda dapatkan dari dr. Basuki. Begitu dicampur dengan susu cokelat dari merek yang sama, menurut dr. Made, formulanya pun persis seperti formula susu cokelat yang diminum Tina. Begitu korban tak sadarkan diri, Anda membekapnya dengan bantal kursi sampai korban kehabisan napas.
“Seminggu sebelumnya, Anda memberikan sebuah kaus untuk Madrim, tetapi salah satu kancingnya lebih dahulu Anda lepaskan. Sebelum Anda pergi, Anda taruh kancing ini di dada Tina. Untuk mengelabui petugas, Anda mengacak-acak isi lemari, mengesankan terjadi perampokan,” kata Iptu Yulianto sambil meletakkan kancing bermerek di meja.
“Itu semua bukan bukti yang menunjukkan kalau saya pelakunya. Apakah ada bukti lain, misalnya sidik jari, sebagai petunjuk bahwa saya pernah berada di rumah Tina. Pil tidur semacam itu banyak dijual di pinggir jalan, demikian pula minumannya. Kaus bermerek seperti itu juga banyak dijual di toko terkenal,” jawabnya tenang.
“Pelakunya memang pintar. Sidik jari di lemari dan pegangannya, sudah dihapus sebelum ia meninggalkan TKP. Tetapi kalau di kotak minuman, sidik jari itu memang milik Madrim.”
“Nah, jelas, pelakunya bukan saya?”
“Nanti dulu, saya masih punya bukti lain yang menunjukkan bahwa malam itu Anda benar-benar di rumah Tina,” pancing Iptu Yulianto.
“Silakan saja,” tantangnya.
“Kalau begitu, tulis pernyataan di sini. Isinya akan saya eja,” Iptu Yulianto menyodorkan kertas putih dan sebuah bolpen. Setelah selesai, kertas dan bolpen diminta kembali. “Sidik jari di karton susu memang bukan milik Anda. Tetapi Anda lupa, ada sidik jari di sedotan susu. Saya rasa persis seperti sidik jari di bolpen yang baru saja Anda pakai untuk menulis,” tegas Iptu Yulianto.
Wajah Benny Bintara mendadak pucat. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.
“Ada yang lebih mengerikan, Pak Benny, inilah hasil dari perbuatan si pembunuh!” Iptu Yulianto bersuara keras sambil mengeluarkan selembar foto berwarna berukuran besar, foto jenazah Tina.
Benny Bintara tak mampu mengendalikan dirinya, ia tampak gemetar. “Sudah, Pak, sudah. Saya mengakui semuanya. Saya yang membunuh Tina, juga yang mencelakai Aria,” katanya sambil menutup muka.
Salah duga
Benny Bintara lalu bercerita. Ia memiliki kelainan, salah satu organ di alat vitalnya tidak berkembang baik, sehingga tidak mampu memproduksi spermatozoa sehat dan bermutu dalam spermanya. Jadi, Benny termasuk pria dengan tingkat kesuburan rendah.
Orang tuanya sangat konservatif, tidak mau tahu kekurangan anaknya. Kebetulan pula Benny anak laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara. Tak heran, ketika Benny sudah dianggap mapan, orangtuanya pun mendesaknya agar cepat berumah tangga. Mereka khawatir kalau trah Bintara yang masih berbau ningrat akan pupus karena Benny tetap melajang. Sebelumnya, Benny selalu dapat menolak dengan bermacam dalih. Dalam pikirannya, apa gunanya menikah kalau tak punya keturunan.
Rupanya, tanpa sepengetahuan Benny, sang ibu sudah menjodohkannya dengan putri sahabatnya. Benar dugaannya, lima tahun berumah tangga, istrinya belum juga mengandung. Ia sering menyarankan kepada Delia, istrinya, untuk mengadopsi anak, tetapi ibu muda itu kurang berminat.
Sementara itu Tina dan Aria, saudara satu kakek yang sama-sama kerja di film, dulu pernah mengontrak rumah dekat tempat tinggal Benny. Beberapa bulan lalu, ketika Benny kerap syuting di kota lain, ia mendengar gosip bahwa istrinya sering “jalan” dengan Aria. Rupanya, mereka dulu pernah memiliki hubungan khusus. Celakanya, Benny menganggap rumor itu sebagai aib yang mencoreng muka Benny, tanpa mengecek kebenarannya.
Sampai suatu saat Benny, Aria, dan Tina terlibat dalam satu produksi. Pagi itu ketika semua kru sedang sibuk ngopi, diam-diam Benny berhasil mengganti karet pelindung (protektor efek) tembakan, yang sebelumnya sudah dirakit Rawuh. Sebagai kru baru, Madrim tidak tahu apa-apa tentang trik tembakan yang akan dipakai Aria. Juga tidak tahu, kalau ada stiker hitam di balik karet pelindung yang gunanya menutupi lubang yang langsung ke bahan peledak. Semua orang mengira Aria meninggal karena kecelakaan.
Namun, Tina tidak sependapat karena ia sempat memergoki Benny sibuk mengganti karet protektor. Dulunya ia memang kurang paham untuk apa sutradara itu sibuk dengan karet ban. Setelah kejadian, barulah Tina sadar. Protektor itu yang mengakibatkan Aria tewas. Tina berencana mengadukan hal itu ke Rawuh, produser, bahkan ke polisi. Sayang, Benny tahu rencananya.
Malam itu Benny ke rumah Tina. Membawa sekantung kudapan dan dua karton susu cokelat, yang salah satu kotaknya sudah disuntik obat tidur. Tina sendirian di ruang tamu ketika Benny Bintara datang. Tina juga tidak curiga ketika melihat Benny hendak minum susunya. “Bapak tadi naik taksi apa motor, kok pakai kaus tangan segala?” Pertanyaan itu menyadarkan Benny, maka sebelum memegang sedotan kaus tangannya dilepas dulu.
Tak berapa lama waria itu pingsan. Ketika Benny meninggalkan rumah itu, ia yakin kalau Tina sudah meninggal kehabisan napas karena dibekap dengan bantal sofa. Sebelumnya ia meletakkan kancing kaus di dada korban, yang sudah disiapkan dari rumah.
“Bapak tentu akan menahan saya. Tetapi izinkan saya pulang sebentar, pamit istri dan mengambil pakaian ganti,” suara Benny pelan.
“Silakan, Anda akan didampingi Bripda Suherman.”
Siang itu udara cerah, tetapi Benny justru merasa langit seakan hendak runtuh. Hari itulah ia harus melewati hari-harinya di balik terali. (Riady B. Sarosa)
Baca Juga: Potret Perselingkuhan
" ["url"]=> string(59) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561327/termakan-gosip" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181627000) } } }