Intisari Plus - Seorang pria ditemukan tewas di sebuah rumah dengan luka tembak di kepala. Berbagai dugaan muncul. Pria itu tinggal bersama sang istri. Istrinya pun terduga tersangka pertama kali. Namun benarkah sang istri telah menembak kepala suaminya?
-------------------------
Hari Minggu, 30 Januari 1978, tak tampak seorang turis pun di Kota Namur, Belgia. Ini tidak aneh, karena akhir Januar merupakan hari-hari terdingin di musim salju. Cuaca begitu buruk. Sore itu hanya sedikit orang lalu di jalan.
Tiba-tiba ada seseorang yang menemukan sesosok tubuh terbaring di trotoar, di depan rumah no. 188 Avenue Cardinal Mercier. Tempat itu agak jauh dari pusat kota. Mungkin tubuh itu sudah agak lama tergolek di sana.
Jalan itu agak suram, karena jarak lampu jalan berjauhan. Tubuh itu terlindung bayang-bayang dan orang lewat di situ memakai payung, sehingga tak mudah melihat benda di kejauhan.
Seandainya pun melihat, mereka tak akan usil untuk berhenti dan memeriksanya, sebab tidak mau melibatkan diri pada suatu perkara di daerah sepi pada hari yang sudah begitu gelap.
Orang yang mau bersusah-susah melapor pada polisi hanyalah Dubois. Dia sedang menuju rumahnya ketika melihat sosok tubuh itu. Karena tegurannya tak mendapat jawaban, dia membalikkan sosok itu.
Dubois mendapati sebuah lubang kecil bulat berwarna kebiru-biruan di dahi pria yang tergolek di jalan itu. Tetesan darah menghitam mengalir dari lubang tersebut. Dubois yang pernah berdinas dalam ketentaraan segera mengetahui bahwa itu bekas lubang peluru dan laki-laki itu sudah tewas.
Para detektif yang tiba di sana mendapati tiga mobil patroli sudah berada di situ. Mereka membatasi sekitar mayat itu dengan kain kanvas dan mayat ditutup dengan selembar plastik. Mereka menunggu datangnya pemeriksa mayat.
Sementara itu mereka mendatangi rumah demi rumah di sekitar untuk menanyakan, apakah ada di antara mereka yang mengenali mayat itu, atau mungkin ada yang tahu apa yang terjadi.
Di depan rumahnya sendiri
Pemeriksa mayat datang dan langsung memeriksa mayat yang berlangsung tidak lama. "Peluru yang melukai tepat di dahi ini," katanya, "mungkin berasal dari sebuah senapan panjang A.22. Bukan tembakan jarak dekat. Laki-laki ini mati kurang lebih sejam yang lalu."
"Apakah ada petunjuk unsur kesengajaan atau nyasar?" tanya inspektur. "Apakah Anda mau memeriksa sakunya, kalau-kalau ada surat berharga?"
"Tak ada petunjuk apa pun," kata dokter. Kemudian dia berlutut lagi dan mulai memeriksa saku.
"Ini," katanya menyodorkan sebuah dompet kulit tipis. Inspektur memeriksanya, merogoh isinya, kemudian mengambil sebuah kartu identifikasi pribadi dengan tipe cetakan Belgia.
"Joseph Fievet," bacanya. "Usianya 39 tahun. Seorang penjual mobil bekas. Alamatnya, 188 Avenue Cardinal Mercier. Dia tergeletak mati di depan rumahnya sendiri."
Seorang agen polisi menuju pintu depan dan berdiri di situ. "Siapa yang ada di rumah?" tanya inspektur kepadanya.
"Kelihatannya tidak ada siapa-siapa," katanya, "tak ada yang membukakan pintu."
Inspektur menghampiri dan mencoba membuka pintu, yang ternyata terkunci. la minta seorang polisi mengambil peralatan di mobil. Akhirnya, pintu itu terbuka. Mereka masuk ke dalam dan menggeledah seluruh ruangan.
Rumah itu kecil. Ada dua ruangan di lantai bawah, dua lagi di lantai atas, sebuah ruang bawah tanah yang kecil dan sebuah ruang yang lebih kecil di parapara. Tak ada siapa-siapa di dalamnya.
"Kelihatannya dia tidak tinggal sendirian," kata inspektur dengan teliti. "Ada barang-barang milik wanita dan di mana-mana ada pakaian wanita."
"Bawa ke bawah barang-barang itu," kata inspektur memberi perintah. "Hubungi markas dan katakan saya membutuhkan petugas pemeriksaan laboratorium. Saya khawatir ini pembunuhan disengaja."
Tak seorang pun datang melapor sebagai pembunuh Joseph Fievet. Tidak juga ada indikasi tentang siapa yang telah menembaknya. Karena pemeriksa mayat tak dapat mengatakan ke arah mana Fievet menghadap ketika ditembak, maka tak bisa ditentukan apakah peluru itu ditembakkan dari dalam rumah ataukah dari suatu arah di jalan.
Di rumah itu sendiri tidak ada sesuatu yang dapat dikaitkan dengan penembakan. Jelas Fievet hidup bersama seorang wanita, tetapi tak ada petunjuk mengenai identitasnya. Inspektur cenderung berpikir bahwa wanita itu tahu banyak tentang kematian Fievet dan berusaha membersihkan jejaknya. Dia membawa serta kartu-kartu identitasnya.
"Dia dalam keadaan terburu-buru," katanya mengambil kesimpulan. "Baju-bajunya ditinggalkan, tetapi semua yang bersangkutan dengan identitas dirinya dibawa."
"Jadi, dialah yang patut dicurigai," kata seorang agen polisi. "Kalau begitu, mestinya tak begitu susah melacaknya. Yang harus kita lakukan adalah mengetahui dengan siapa Fievet tinggal dan segera mencari wanita itu."
"Sebenarnya aneh juga kalau wanita itu yang membunuhnya. Mengapa ia mesti menembaknya di jalan? Normalnya, kalau memang dia pelakunya, mestinya wanita itu menembaknya di dalam rumah.
Lagi pula mestinya penembaknya mahir sekali. Dengan satu peluru saja ia berhasil mengenai sasaran tepat di antara dua mata. Padahal saat itu mestinya hari sudah gelap."
Dia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Nah, saya rasa kita tak akan menemukan apa pun lagi di sini. Kita kembali saja ke markas, siapa tahu ada data-data tentang Fievet."
Tukar istri
Ternyata Joseph Fievet punya data yang mengejutkan polisi. Tercatat berbagai macam kejahatan, yang kebanyakan berupa penganiayaan, yang pernah dilakukannya. Selain itu ia juga melakukan penyerangan dengan senjata mematikan
"Seseorang yang sudah melakukan 54 tindak kriminal terhadap sesamanya jelas punya banyak musuh. Kelihatannya dia ketemu batunya, dan ketika dia pulang mereka menunggunya di luar rumah."
"Mungkin gadis yang tinggal bersamanya mendengar tembakan itu. Ia segera keluar, menemukan Fievet sudah mati, panik, lalu lari," seorang detektif lain mengajukan pendapat.
"Ya, saya tidak bisa seyakin itu," kata inspektur. "Saya berpikir-pikir, apakah senapan A.22 bisa terdengar dari dalam rumah? Senapan itu tidak mengeluarkan bunyi bising dan jarak rumah ke jalan cukup jauh. Kita harus mengadakan percobaan, yaitu menembakkan senapan dari luar rumah untuk mengetahui apakah tembakan itu terdengar dari dalam.
Pertama-tama kita minta pemeriksa mayat untuk melihat apakah benar senapan itu A.22. Moga-moga dia mampu mencabut peluru itu. Mudah-mudahan saja peluru itu masih baik bentuknya, sehingga bisa dikenali berasal dari senjata apa."
Inspektur itu optimistis, dan memang mungkin beralasan. Selama hampir 15 tahun dia menangani kasus pembunuhan, belum pernah ada pembunuhan di Namur yang tidak terpecahkan. Tetapi yang tidak disadarinya adalah bahwa dia belum pernah mendapat kasus yang serupa ini. Ternyata banyak sekali orang yang bisa dicurigai.
Bagaimanapun, dengan 54 kejahatannya, si korban banyak musuhnya. Laki-laki ini berbadan besar, tingginya hampir 2 m, dan berat badannya lebih dari 90 kg. Dia seorang tukang berkelahi dan pembuat onar di bar. Jadi, tak mengherankan kalau banyak yang pernah mengancam akan membunuhnya.
Ini belum lagi seluruhnya. Kehidupan rumah tangganya sama liarnya dengan perbuatannya di berbagai bar.
Pada tahun 1965 dia mengawini Andree Suamier, yang sekarang berumur 39 tahun. Fievet sering bertengkar dengan istrinya, seseru dia bertengkar di bar. Perkelahian-perkelahian mereka begitu hebat, sampai-sampai dua dari kejahatan yang dilakukan Fievet adalah penyerangan terhadap istrinya.
Madame Fievet yang berbadan besar dan berambut pirang itu tentu saja mempertahankan dirinya sebisa mungkin, tetapi dia bukanlah tandingan suaminya. Pada bulan Maret 1975, Fievet meretakkan tulang tengkorak istrinya. Sekeluarnya dari rumah sakit istrinya meninggalkan Fievet. Istrinya itu kini tinggal bersama teman laki-lakinya yang bernama Marc Thomas, yang usianya 42 tahun.
Thomas jelas berbeda dari Fievet, meskipun tak kurang juga sifat jeleknya. Dia juga pernah sekali melakukan penganiayaan dan ditangkap lima kali, tetapi perkaranya tak sampai ke pengadilan. Beda teman Andree Fievet yang baru dengan suaminya adalah ukuran badannya yang cuma separuh ukuran Joseph Fievet.
Marc Thomas juga lebih kecil daripada Andree Fievet. Andree sendiri diketahui sering menggebuki Marc Thomas sekejam ia digebuki suaminya. Apakah kekejaman Andree ini memang karena dendam terhadap laki-laki umumnya, atau karena "ketularan" suaminya, hal ini belum bisa dipastikan. Yang jelas Thomas tidak pernah mau melaporkan keliaran istrinya kepada yang berwajib. Mungkin karena malu.
Sebelum hidup bersama Madame Fievet, Thomas pernah menikah dengan Marie Thomas yang usianya 37 tahun. Hidup pernikahan mereka berlangsung 14 tahun. Marie yang sama besar dan sama pirangnya dengan Andree Fievet ini, karena dendam ditinggal suaminya, lalu pindah dan hidup bersama Joseph Fievet!
Jadi, pada akhir 1975 itu Joseph Fievet hidup bersama Marie Thomas dan Marc Thomas hidup bersama Andree Fievet. Anehnya, menurut penyelidikan, mereka berempat malah bisa jadi hidup berbaikan.
Suami-istri Fievet tidak bertengkar lagi dan perusahaan mobil bekas milik Fievet sekarang diatasnamakan Andree (ini sejak Fievet mengalami kesulitan memiliki izin bisnis karena urusannya dengan polisi). Hampir setiap hari Fievet datang ke rumah Marc Thomas. Pertama untuk urusan bisnis, kedua untuk alasan sosial.
Kadang-kadang Thomas pun ikut menemani. Kadang-kadang kalau Thomas tidak menemani bekas suami-istri itu, ia bertandang ke rumah Fievet di Avenue Cardinal Mercier—mengunjungi bekas istrinya sendiri. Karena antarmereka tak ada urusan bisnis, mestinya sifat kunjungan Thomas ini pribadi sekali.
Ada wanita lain
Lingkaran kehidupan seperti ini berjalan terus hingga akhir tahun 1977. Saat itu Madame Thomas meninggalkan Fievet. Nampaknya Fievet juga kambuh penyakitnya. Ia menggigit Madame Thomas sekejam perlakukan terhadap istrinya dahulu. Sebelum tulang tengkoraknya retak seperti Andree, Madame Thomas memutuskan pergi saja.
Sekarang Fievet hidup bersama seorang pelayan bar bernama Reine Vanderbeken (nama fiktif) yang berusia 28 tahun. Nona ini dicurigai, karena dia tidak terlihat di Namur sejak kejadian ditemukannya mayat Fievet. Diperkirakan gadis ini meninggalkan kota. Ia semakin dicurigai, karena dia tak sempat mengumpulkan pakaiannya, bahkan tak mengambil gajinya di kantor.
"Mungkin," kata inspektur, "Fievet kumat lagi dan menyakiti Nona Vanderbeken. Rupa-rupanya nona ini bukan macam gadis yang bisa menerima permainan seperti itu. Dia menyambar senapan, lari ke pintu, dan menembak Fievet. Secara kebetulan peluru tepat mengenai dahi Fievet.
Melihat akibatnya, gadis ini menjadi panik. Tanpa membawa apa-apa selain baju yang dipakainya dan surat-surat penting, ia segera melarikan diri. Dikiranya tak ada seorang pun yang tahu siapa yang hidup bersama Fievet."
"Tetapi buat apa dia membawa serta senjata tersebut?" tanya seorang detektif. "Ahli senjata tak dapat menemukan sidik jari. Peluru yang ditemukan oleh pemeriksa mayat masih dalam bentuk yang baik untuk diteliti. Lagi pula kita tak punya bukti bahwa Fievet memiliki senjata."
Inspektur mengangkat bahu. "Benar-benar panik, barangkali. Dia tak tahu apa yang mesti dikerjakannya."
"Lalu kenapa tak bisa ditemukan?" tanya seorang detektif lainnya. "Kalau benar-benar panik gadis itu tak akan sempat menyembunyikan senjatanya. Dia akan buru-buru membuangnya di jalan. Kita sudah mencarinya di seluruh pelosok daerah dan tak menemukan apa-apa pada keesokan paginya."
Menembak lalu melesat dengan mobilnya
"Baiklah! Baiklah!" kata inspektur itu menyela. "Tetapi seandainya bukan Nona Vanderbeken, lalu siapa lagi?" "Istrinya," kata yang lainnya segera. "Tampaknya dia tak keberatan Fievet hidup dengan Madame Thomas... bukankah dia sendiri hidup dengan Marc? Tetapi dengan Nona Vanderbeken?
Saya dengar gadis ini berwajah sangat manis, dan usianya 11 tahun lebih muda daripada Madame Fievet. Kemungkinan Madame Fievet menunggu Fievet di jalan, dan ketika laki-laki itu muncul, dari dalam mobilnya ia menembak. Lalu segera kabur. Cuma sesederhana itulah."
"Karena lampu penerangan jalan tak begitu terang, nyonya itu mestinya sangat jitu dalam tembak-menembak," kata inspektur menggerutu.
"Kemungkinan itu sangat tipis. Saya setuju bahwa dia pasti punya motif. Tapi kalau dia sudah merencanakan pembunuhan ini, menurut teorimu, mengapa ia lebih memilih sebuah senapan rifle A.22 yang membutuhkan kecermatan luar biasa untuk benar-benar bisa menimbulkan luka yang mematikan. Di samping itu, kalau memang benar demikian kasusnya, mengapa Reine Vanderbeken harus melarikan diri?"
"Tes-tes kami menunjukkan bahwa tembakan A.22 dari jalan bisa terdengar dari dalam rumah," kata seorang polisi.
"Reine Vanderbeken yang mendengar suara tembakan mungkin segera berlari ke pintu. Dari pintu situ bisa terlihat mayat itu. Reine segera membereskan surat-surat pentingnya untuk menghindari keterlibatannya.”
"Tidak mungkin dia bisa melihat ke arah jalan dari pintu itu," kata inspektur hati-hati. "Tapi bisa saja dia keluar untuk menolongnya dan baru tahu kemudian apa yang terjadi. Bila benar pembunuh Fievet itu istrinya sendiri, saya khawatir kita tak punya saksi dan sukar mencari bukti bahwa dia memiliki sebuah senapan A.22."
"Mungkin saja dia tak punya, tetapi Marc Thomas memilikinya," kata seorang anak buahnya. "Madame Thomas mengatakan, Marc selalu menyimpan senapan itu di rumah untuk melindungi diri. Bisa saja Madame Fievet mengambilnya untuk membunuh dan kalau berakal sehat, ia juga sudah menyingkirkan senjata itu sekarang."
"Kalau berakal sehat ia tak akan membunuh suaminya," kata inspektur. "Meskipun umpamanya kita tidak bisa menemukannya kembali, hilangnya senjata tersebut bisa dijadikan semacam bukti. Mungkin kita nanti akan memperoleh pengakuan dari wanita ini dalam interogasi. Kita kerahkan teman-teman dan saya akan meminta hakim memberi kita surat kuasa untuk menggeledah rumah Thomas dan kita lihat nanti apa yang bisa kita temukan."
Polisi terheran-heran ketika di rumah Thomas mereka melihat sebuah senapan A.22 tergantung di atas perapian. Penyelidik senjata kemudian mengatakan bahwa peluru yang diperiksanya berasal dari senjata tersebut. Marc Thomas dan Andree Fievet diperiksa secara terpisah.
Inspektur memeriksa sendiri Andree dengan harapan bisa mendapatkan keterangan yang berharga. Namun, Madame Fievet tampaknya tidak tahu apa-apa. Inspektur justru terkejut ketika seorang detektif masuk untuk memberi bisikan bahwa Marc Thomas mengaku membunuh Fievet.
Dikatai impoten
Menurut Thomas, kehidupan dia dan Andree jauh lebih aneh daripada yang dibayangkan polisi. Bukan Andree yang sering menggebukinya, tetapi Joseph Fievet. Fievet sering kali datang ke rumah mereka bukan hanya untuk menemui Andree yang masih menjadi istrinya, tetapi untuk menghina kawan hidup Andree, yaitu Thomas.
Kadang-kadang Joseph memukul jatuh Thomas dan melihatnya bermesraan dengan Andree. "Dia menyebut saya si Kerdil," kata Thomas. "Katanya, dia ingin mengajari saya bagaimana memperlakukan wanita. Dia selalu menyatakan bahwa saya impoten dan tak mampu melakukan hubungan normal dengan wanita."
Ketika ditanya sudah berapa lama kejadian itu berlangsung, Thomas menjawab sudah sejak Madame Fievet pindah ke rumahnya pada tahun 1975. "Lalu kenapa baru sekarang Anda melakukannya?" tanya seorang detektif.
"Joseph mulai menuntut agar saya membayarkan utang-utangnya," kata Thomas menjelaskan. "Dia seorang pebisnis yang buruk dan kadang-kadang menghabiskan uang penjualan mobil. Dia banyak berutang di seluruh kota ini.”
“Kalau tagihan datang, sayalah yang harus membayarnya. Kalau saya tidak bersedia, dia mengancam saya kadang-kadang dengan bayonet dan lain waktu dengan pistol. Saya khawatir dia akan membunuh saya."
"Itulah sebabnya kenapa saya membawa serta senjata itu ketika bertandang ke rumahnya. Sebenarnya saya cuma ingin bilang padanya bahwa saya tak sanggup lagi membayarinya. Tetapi ketika kami sedang bercakap-cakap di tepi jalan itu, senjata itu meledak begitu saja dan tepat mengenai kepalanya. Saya rasa tarikan pelatuknya pasti sudah rusak."
Para ahli senjata tak dapat menemukan kerusakan apa pun pada senjata yang menewaskan Fievet itu. Tetapi hakim menyetujui bahwa ada hal-hal yang meringankan tertuduh.
Pada tanggal 5 Oktober 1979 Thomas dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
(Barry Benedict)
" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309399/dibunuh-di-depan-rumah-sendiri" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654280583000) } } }