Intisari Plus - Setelah berakhirnya Perang Vietnam, Sidney Crawford tinggal bersama Madame Wu dan menjalankan bisnis cendera mata. Di tengah hidupnya yang damai, ia tetap waspada menanti seseorang dari masa lalu yang akan datang membunuhnya. Mengapa ada yang ingin membunuhnya?
------------------
Sesuai dengan yang tertulis di papan depan, MADAME WU'S CURIO EMPORIUM, toko cendera mata yang terletak di salah satu jalan kecil di kawasan timur Bangkok ini dikelola oleh Madame Wu, putri keluarga imigran Cina. Semula oleh orang tuanya ia diberi nama Anna Leonowens, yang diambil dari nama seorang wanita Inggris, yang datang ke Bangkok tahun 1862.
Namun setelah kedua orang tuanya meninggal, tak ada lagi orang yang memanggilnya dengan sebutan Anna kecuali Sidney Crawford, seorang pria berkebangsaan Amerika yang sejak 10 tahun lalu tinggal bersamanya menyusul berakhirnya Perang Vietnam.
Sementara Madame Wu membesarkan toko cendera mata, Crawford menghidupi dirinya dengan mengikuti kompetisi olahraga tradisional Bangkok, adu layang-layang yang berlangsung dari bulan Februari-Juni setiap tahunnya di Pramane Ground dekat Grand Palace. Sore itu sebelum Crawford bertanding, seperti biasa Madame Wu pergi ke Klong Maha Nak, kanal dekat tokonya untuk melepaskan sembilan belut tradisional.
Sembilan dipercaya masyarakat Thailand sebagai angka keberuntungan dan melepas sembilan belut ke kanal akan memberi keberuntungan bagi yang bersangkutan. Ini merupakan ritual yang selalu dilakukan Madame Wu setiap kali Crawford mau bertanding. Belut-belut dalam kantung plastik berair itu dibelinya dari anak miskin jalanan yang sengaja menjualnya untuk keperluan tersebut.
Lantaran sudah rutin, Wu sering mencurigai anak-anak itu menangkap kembali beberapa belut dari kanal untuk dijual lagi. Tapi ia tak peduli. Yang penting, ritus itu baginya bisa menjadi semacam jaminan kemenangan bagi Crawford.
Setelah selesai membuang belut-belut tersebut ke dalam kanal, ia kembali ke apartemen kecil di atas tokonya. Ketika memasuki ruangan, dilihatnya Crawford sedang melakukan persiapan akhir terhadap layang-layang miliknya. "Aku telah melepas belut-belut itu," ujarnya kepada Crawford. "Semoga kau mendapat kemenangan."
Crawford memandangnya dengan tersenyum. Dalam usia pertengahan 40-an, pria ini masih terlihat langsing meski semburat uban sudah merusak rambut hitamnya. Ketika pertama kali datang ke Bangkok, ia terkenal dengan sebutan lelaki Amerika yang tampan.
Namun seiring dengan perjalanan waktu dan usia, ketampanannya kian memudar. Hal serupa bisa dilihat pula pada wajah Madame Wu yang meski tak lagi mulus, masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya di masa muda.
"Sebenarnya aku tak begitu percaya dengan ritual yang kau lakukan. Tapi kalau hal itu membuatmu senang, ya tidak apa-apa. Apakah kau mau turut serta malam ini?" tanya Crawford.
"Tentu saja. Aku akan menutup toko lebih cepat."
"Terima kasih, Anna," katanya sambil menempelkan lagi sebuah kait ke tali layang-layang bintangnya.
Sering mimpi buruk
Ketika mereka tiba di Pramane Ground, banyak orang mengelu-elukan Crawford. Hal ini bisa dimaklumi karena hampir pada setiap pertandingan bisa dipastikan Crawford muncul sebagai pemenangnya.
Pramane Ground secara berkala digunakan untuk menyelenggarakan berbagai acara seperti pasar mingguan, upacara kremasi anggota kerajaan, dan upacara pembajakan tanah oleh raja sebagai pembukaan musim tanam setiap bulan Mei. Tapi pada musim semi ketika angin selatan berembus kencang, tempat ini berubah fungsi menjadi arena adu layang-layang.
Madame Wu sudah lupa bagaimana awal mula ia berjumpa dan berkenalan dengan pria bernama Crawford. Saat itu ia bekerja sebagai pramuria kelab malam Cafe of Floating Lights.
Malam itu ada seorang pemuda mabuk menegurnya. Pria tersebut nyerocos tentang taruhan uang dalam jumlah besar dalam adu layang-layang. Selanjutnya mereka pergi menyeberang ke ruang terbuka dekat istana. la menarik lengan baju Crawford dan menunjuk ke seberang jalan sambil berkata, "Di sanalah berdiri rumah kedua Anna, ketika ia mengajar anak-anak raja."
Sejak kejadian itu hubungan kedua insan semakin dekat. Bagaikan dewa penolong, Crawford akhirnya mengentaskan hidupnya dari lembah hitam. Bahkan memberinya modal untuk berusaha.
Crawford ditantang seorang pemuda Pakistan yang dikenal punya reputasi cemerlang dalam adu layang-layang. Ditilik dari pengalaman dan kepandaian para pelakunya, pertandingan kali ini bakal seru. Meski demikian Crawford berani bertaruh uang tunai dalam jumlah besar. Penonton membanjir, melambaikan segumpal uang.
"Apakah kau yakin akan menang?" tanya Wu, menyiratkan keragu-raguan.
Crawford menebarkan pandangan ke kerumunan orang dan mengamati satu per satu wajah-wajah penonton, seperti yang biasa ia lakukan. "Mengapa tidak? Kau telah melepas belut-belutmu, 'kan?"
"Ya, tapi ...."
"Aku akan menang," ujarnya dengan senyuman. "Itu telah tertulis di langit."
"Ah, sekarang kau mengolok-olokku."
Satu hal kembali mengganggu pikiran Madame Wu setiap kali Crawford akan bertanding. Seperti yang sudah bertahun-tahun dilakukan, Crawford selalu mempelajari wajah-wajah di antara kerumunan penonton dengan hati-hati. Beberapa tahun lalu Wu pernah menanyakan hal itu. Mengapa ia selalu melakukan itu? Apa yang dicarinya?
"Sebab," jawabnya,"... suatu hari, seseorang akan datang membunuhku." Jawaban itulah yang kemudian menghantui Wu, dan sepanjang malam ia sering terbangun karena mimpi buruk. Sambil terisak-isak ia berharap agar peristiwa itu tak menjadi kenyataan.
Itulah sebabnya, Wu tak pernah bertanya lagi tentang hal itu, meskipun Crawford masih memandang ke kerumunan orang sebelum pertarungan seolah-olah ia siap mengantisipasi bahaya yang tak pernah datang.
Menang karena belut
Malam itu angin selatan berembus sempurna. Pemuda Pakistan terlihat dengan mudah menerbangkan layang-layangnya diikuti sorak-sorai penonton. Madame Wu sadar, kerumunan massa itu pasti berharap melihat Crawford kalah.
Dengan mengukur kekuatan angin melalui gerakan layang-layang lawan, kini giliran Crawford melepaskan layang-layang bintang miliknya dan berlari dengan tali berkail yang berat sampai ia memperoleh posisi yang bagus untuk bertempur.
Untuk beberapa menit, layang-layang lawan melakukan manuver mendekat berusaha menjerat bintang Crawford dengan ekor panjangnya. Madame Wu menarik napas dalam dan menunggu sementara Crawford terus merenggut tali kailnya.
la berusaha melepaskan dari jepitan lawan, agar tidak dijatuhkan ke tanah. Madame Wu teringat belut-belutnya yang bergerak cepat melewati air yang tertutup bunga lili di kanal.
Kemudian Crawford memberikan tarikan terakhir terhadap layang-layangnya dan penonton pun bersorak. Kini ia bebas. Bahkan mereka yang bertaruh melawannya pun memberikan aplaus atas keahliannya.
Sekarang masih ada harapan untuk menang. Crawford terus mengulur talinya dan membiarkan layang-layang bintangnya menjulang ke angkasa dengan gagahnya. Layang-layangnya sekarang sudah berada di atas layang-layang musuh, dalam posisi klasik untuk bertarung.
Tali berat berkail dari Crawford mulai mematuk, tapi nampaknya anak muda Pakistan tersebut masih menyimpan beberapa trik yang belum diperlihatkan.
Untuk menghindar dari guntingan Crawford, layang-layangnya bergerak menukik nyaris menyentuh bumi. Perang manuver terjadi silih berganti. Penonton pun ikut tenggelam dalam ketegangan.
Sesaat Crawford melihat ada kesempatan untuk menyerang, digerakkannya layang-layangnya menyambar ke bawah memutar talinya mengelilingi musuh. Kemudian ia menarik tali itu masuk dan kail mengiris dengan mudah tali layang-layang anak muda Pakistan.
Layang-layang kecil itu terlepas dari tambatannya, terbang bersama angin dan melayang di atas pepohonan diiringi sorak-sorak petaruh.
Crawford membiarkan senyum tipis bertengger di mulutnya setelah ia menurunkan layang-layangnya. Dengan tenang ia berkeliling mengumpulkan uang taruhan, diikuti Madame Wu di belakangnya.
"Crawford, kaulah yang terbaik di sini. Kau lebih baik dibandingkan dengan anak-anak lokal di sini, juga dengan anak muda Pakistan tadi," ujar Bates, seorang pedagang asal Inggris yang sering bertaruh dalam jumlah besar dalam pertarungan adu layang-layang.
Mereka bertemu di kelab malam ketika Crawford dan Madame Wu merayakan kemenangan itu dengan minum-minum. Crawford hanya tersenyum dan berkata, "Belut-belut Madame Wu yang melakukan itu semua."
"Omong-omong ada anak muda Amerika di kota ini," kata Bates sambil lalu. "Apakah kau pernah bertemu dengannya?"
"Siapa sih dia?" tanya Crawford.
"Namanya Michael Fleet. la bilang dari Vietnam, seperti kau."
Mendengar itu Crawford hanya menggerutu. Siapa pun tahu, di tahun-tahun terakhir ini banyak anak muda Amerika berkeliaran di Bangkok.
Rupanya Madame Wu merasakan ada tujuan lain dalam pernyataan lelaki Inggris itu. "Apa istimewanya anak muda Amerika itu?" tanyanya.
Bates memainkan gelas kosongnya sementara menunggu diisi. "Ia mengaku ingin belajar adu layang-layang. Aku rasa ia akan menemuimu."
"Mungkin saja," Crawford menjawab sekenanya. la menaruh gelasnya dan berdiri. "Mari, Anna. Waktunya kita pulang."
Bayangan di seberang jalan
"Apa yang kau pikirkan," tanya Madame Wu kepada Crawford yang sedang berbaring di ranjangnya.
"Banyak hal. Bagaimana kembali ke rumah ... dan tentang Vietnam."
Madame Wu menghela napas dalam-dalam. "Kau pernah berkata, beberapa waktu yang lalu, suatu hari seorang laki-laki akan datang untuk membunuhmu. Ingatkah kau akan hal itu?"
"Ya,... aku ingat," ujarnya.
"Kau kelihatan beda malam ini, semenjak lelaki Inggris menyebutkan anak muda Amerika itu. Takutkah kau kepadanya?"
la berpaling kepadanya, "Aku tak mau membicarakan hal itu."
Madame Wu mendesah dan mengalihkan pokok pembicaraan. "Berapa uang yang kau menangkan malam ini?"
"Sekitar 6.000 baht," katanya tersenyum sambil berpaling kembali kepada Madame Wu. "Itu sekitar AS $ 300. Sangat bagus untuk kerja satu jam."
Madame Wu tersenyum juga. Sangat bagus, pikirnya. Tapi hal itu mengingatkannya bahwa ia belum mengecek kuitansi-kuitansi toko hari ini.
Turun ke bawah Madame Wu pergi cepat-cepat mengecek keuangan toko dan membereskan pembayaran melalui kartu kredit. Sambil bekerja, sekilas melalui jendela besar ia melihat bayangan seorang lelaki berdiri di seberang jalan. Meski tak bisa melihat wajahnya, ia merasa lelaki itu sedang mengamati apartemennya.
Ketika kembali ke apartemen, ia tidak menceritakan lelaki tadi kepada Crawford.
Pagi keesokan harinya setelah sarapan Wu bertanya, "Mengapa kita menetap di Bangkok, Crawford? Kita bisa pergi ke Australia dan aku bisa membuka toko baru di sana."
"Australia? Apa yang membuatmu mempunyai ide seperti itu?"
"Mungkin inilah saatnya kita memulai sebuah permulaan."
Crawford menggerutu dan menyeruput kopinya. "Sebaiknya aku segera turun dan membuka toko," kata Wu untuk mencairkan suasana.
Toko cendera mata itu semula hanya sebuah warung kecil. Kehadiran Crawford dalam kehidupan Wu pun berpengaruh besar pada usahanya. Terbukti dengan bantuan keuangan dari pria Amerika inilah tokonya bisa dikembangkan menjadi besar. Bahkan nama toko ini pun pemberian Crawford.
Wu tak pernah bertanya tentang asal usul uang tersebut. Entah bagaimana, yang jelas uang itu datang bersama lelaki itu keluar dari belantara Vietnam. Sejak kedua orang tuanya meninggal, ia belajar untuk menerima tanpa pertanyaan apa pun kehidupan yang ditawarkan olehnya.
Gara-gara menang AS $ 5
"Apakah Sidney Crawford tinggal di sini?" tanya lelaki itu.
la mempelajari sekilas wajah cokelat lelaki itu. Masih muda dengan ekspresi tak berdosa. la tak yakin wajah seperti ini tak menimbulkan bahaya bagi Crawford. "Ya, ia tinggal di sini. Siapakah Anda?"
"Nama saya Michael Fleet. Mike Fleet. Saya ingin belajar tentang adu layang-layang."
Madame Wu teringat dengan ucapan Bates beberapa hari lalu.
"Apakah Anda ada di sana kemarin malam?" tanya Wu.
"Ya! Tetapi waktu itu kalian menghilang di kerumunan pengunjung kelab malam dan saya tak ingin mengganggu. Seorang lelaki Inggris bernama Bates mengatakan saya harus bertemu dengan Crawford. la bilang, Crawford-lah jago layang-layang terbaik di kota ini.”
"Saya kira memang begitu adanya," jawab Madame Wu. "Tetapi mengapa Anda ingin belajar olahraga macam layang-layang ini? Bukankah masih banyak olahraga tradisional kami lainnya yang lebih menarik seperti tinju, takraw, atau duel pedang? Bukankah beberapa orang malah menyebut olahraga adu layang-layang hanyalah mainan anak-anak yang tak pernah dewasa?"
"Ada uang di dalamnya. Saya menang AS $ 5 semalam dengan memegang Crawford.”
Sorot mata tulus anak muda ini membuat Wu bersedia menerima pemuda ini. "Tunggulah di sini sebentar," ujar Wu. la segera menghilang di belakang toko dan naik tangga menuju apartemennya.
Ketika hal itu diceritakan kepada Crawford, mata pria ini menatap penuh curiga. "Pemuda yang diceritakan oleh Bates," gumamnya.
"Ya. Kulihat tak berbahaya. la hanya ingin tahu tentang adu layang-layang dan ingin belajar dari ahlinya. la menang AS $ 5 atas kemenanganmu semalam."
Crawford mendengus. "Seharusnya ia tak menganggapku seorang master kalau alasannya hanya untuk bertaruh."
Sambil mengancingkan baju dan memasukkan ke dalam celana panjangnya, ia berkata, "Baiklah, suruh ia ke sini." Ketika turun, selintas Wu melihat Crawford mendekati laci tempat ia menyimpan pistol Baretta di bawah tumpukan pakaian dalam.
Antara murid dan guru
Mike Fleet yang berasal dari California ini baru berumur 26 tahun. la dikirim ke Vietnam setelah beberapa tentara Amerika ditarik. "Saya tidak sempat melihat negara lain. Maka saya memutuskan untuk tinggal di sini selama beberapa tahun," kata Fleet setelah di atas.
"Itu beberapa tahun silam," Crawford menjelaskan. "Perang telah selesai tahun 1975."
Sejenak pikiran Madame Wu melihat topeng lugu terlepas. Pikirannya pulih ketika kemudian anak muda itu berkata. "Saya ingin belajar adu layang-layang seperti Anda, Tuan Crawford."
Crawford memandangnya sejenak sebelum menjawab: "Boleh." la kemudian beranjak. "Ikutilah saya. Anda akan saya bawa ke Pramane Ground sementara saya mencoba layang-layang baru."
Berdua mereka akhirnya keluar rumah menuju ke arena adu layang-layang. Wu melihat Crawford memberikan tali layang-layang ke Mike Fleet, yang menerbangkan layang-layang dengan baik, memperhatikan arahan Crawford untuk setiap gerakan.
Ketika Madame Wu menonton bagaimana Crawford mengajari Fleet, ia ketemu Bates yang ternyata sudah lebih dulu berada di pinggir lapangan.
Dua orang Amerika itu menyelesaikan permainan layang-layangnya dan berjalan menuju Wu dan Bates.
"Ia pantas menjadi juara," puji Crawford, sambil menepuk pundak Fleet.
"Kembalilah besok, Fleet. Kita akan menerbangkan dua layang-layang dan bertarung."
"Sungguh?"
"Ya!"
Percobaan pembunuhan
Mike Fleet pergi dengan senyum gembira terlukis di wajahnya. Yang aneh, sesampainya di apartemen Crawford Nampak gelisah. Bahkan ketika Wu menawarinya rokok seperti yang biasanya dilakukan, Crawford menggeleng.
"Ke sini Wu, aku ingin bicara. Aku ingin menceritakan kisahku di Vietnam."
"Kalau cerita itu justru membuatmu sedih, tak perlulah."
"Aku ingin kau tahu apa saja yang terjadi pada diriku selama di Vietnam."
"Baiklah. Ceritakan."
"Saat itu aku masih dinas di militer," Crawford mulai. "Pada tahun 1970, jauh sebelum datang ke sini dan bertemu denganmu, aku dibekali banyak sekali uang Amerika, dan dikirim ke belantara Vietnam untuk sebuah misi.”
“Aku harus menemui seseorang yang mau dibayar untuk membunuh pemimpin Vietnam Utara. Pembunuhan itu akan dilakukan dengan bom yang bisa pula merenggut nyawa banyak orang tak bersalah. Maklum, ini perang, mereka yang tak berdosa pun bisa ikut terbunuh."
"Aku tahu hal itu benar. Apalagi beberapa minggu sebelumnya, aku pernah menjumpai sebuah desa yang hancur oleh bom napalm. OK, aku pun berangkat menjalankan misi, tapi entah di mana aku sampai pada keputusan untuk menghentikan pembunuhan.”
“Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang dimaksud di hutan, malah kemudian aku menyeberang ke Kamboja dan terus berjalan sampai Thailand. Aku bergerak sepanjang pantai dan kadang-kadang nebeng nelayan asing dengan bayaran."
"Tapi mengapa mereka ingin membunuhmu?" tanya Madame Wu. "Apa yang kau lakukan itu suatu hal yang baik, bukan buruk."
"Tergantung pada bagaimana kau memandang hal itu. Aku membayangkan orang-orang yang pulang ke Amerika mengira aku berkhianat terhadap negara dan lari dari perang demi kepentingan sendiri."
"Tapi itu sudah lama, Crawford."
"Hampir sepuluh tahun sekarang," jawabnya.
"Mengapa kau membicarakan hal ini sekarang? Karena kau takut anak muda ini yang datang mencarimu?"
"Ia tak lagi remaja. Umurnya sudah 26 tahun. Cukup tua untuk dilatih sebagai pembunuh."
"Mengapa mereka harus menugaskan pembunuh terlatih, kalau orang biasa pun bisa melakukannya dengan mudah saat kau bermain layang-layang di lapangan?"
"Aku sendiri juga tidak tahu," aku Crawford.
"Jika kau amat takut terhadap pemuda ini, mengapa engkau bersedia mengajarinya adu layang-layang?"
"Mungkin aku mendapat ide gila untuk memberi kemenangan atasnya. Siapa tahu sesudah mengenal lebih banyak tentang aku ia mengurungkan niatnya."
"Bisa jadi kau salah menilai tentang ia."
"Kita lihat saja," kata Crawford lirih.
Tanding ulang
Hari berikutnya mereka berlatih lagi. Kali ini Crawford dan Fleet melakukan simulasi petarungan. Meskipun Crawford menggunting layang-layang Fleet dengan kasar, anak muda ini mampu bertahan hampir satu jam.
Langkah berikutnya, mereka berganti layang-layang dan Crawford mendemonstrasikan teknik meluncur dan membubung. Dengan teknik tersebut, ekor layang-layang kecil pun bisa digunakan menjerat layang-layang yang lebih besar. Kemampuan Fleet belajar dengan cepat membuat semua orang kagum, termasuk Wu.
Selesai latihan, Wu bertanya kepada Fleet, "Malam sebelum paginya kau datang ke toko saya, aku melihat bayangan di seberang jalan. Kaukah itu?"
"Ya," katanya. "Saya berusaha untuk meneguhkan hati. Akhirnya, saya memutuskan untuk menunggu sampai pagi."
"Aku mengerti."
"Crawford orang hebat."
"Aku pikir begitu," kata Wu. "Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan seandainya terjadi sesuatu atas dirinya."
"Bahasa Inggrismu baik sekali," untuk pertama kali Fleet mengamati secara dekat. "Crawford-kah yang mengajari?"
"Orang-orang Amerika yang mengajariku. Crawford merupakan yang terakhir. Tapi yang paling penting bagiku, setelah Crawford, aku tak lagi memerlukan guru."
"Bagaimana dengan Bates?"
"Ia pernah menjadi dokter, tapi ketika datang ke sini beberapa tahun lalu, ia mengaku bekerja pada sebuah perusahaan Inggris. la tidak bicara banyak tentang masa lalunya. Tak seorang pun melakukan hal itu di Bangkok."
"Termasuk juga Crawford?"
Mata Wu meneliti wajah Fleet. "Kalau Crawford lain, ia mau menceritakan kisahnya padaku. Mengapa kau ingin tahu tentang dia?" Mike Fleet mengangkat bahu.
Entah dari mana tiba-tiba Bates muncul, memberitahukan bahwa pemuda Pakistan kemarin menginginkan pertarungan ulang.
"Itu sudah kebiasaan. Satu tanding ulang - seperti dalam kejuaraan tinju," jelas Crawford.
"Kapan?" tanya Wu.
"Besok malam."
"Kalau demikian, aku akan melepas belut lebih banyak lagi."
Crawford tersenyum pada Fleet. "Itulah Wu. Selama ini telah kuajarkan segala hal tentang bisnis, tapi ia masih tidak bisa memutuskan sesuatu atau menghadapi adu layang-layang tanpa melepaskan belut-belutnya."
"Ia seorang wanita yang baik," kata Fleet. "Saya harap dapat menemukan yang serupa di kota ini."
Setelah mereka berpisah, Madame Wu bertanya kepada Crawford. "Apa yang kau pikirkan tentang dia?" tanya Wu.
Crawford merenung sejenak. Kemudian ia berkata dengan lirih, "Aku rasa dialah yang dikirim untuk membunuhku."
Tertembak di pinggang
Selepas sarapan keesokan paginya Crawford mulai menyusun rencana. "Aku perlu membetulkan sedikit kerusakan layang-layang untuk nanti malam. Fleet akan di sana dan aku harus memberikan pertunjukan yang bagus bagi dia."
"Meski ia berencana membunuhmu?"
"Bisa jadi perkiraanku keliru. Mungkin ia sejujur yang kau kira. Apa pun, aku tidak dapat mengisi sisa-sisa hariku dengan berdiam diri saja."
Mereka turun berbarengan. Wu ingin membuka toko sementara Crawford ingin membeli beberapa tali layang-layang yang besar. Waktu belum juga menunjuk pukul 09.00 dan jalan kecil di depan toko masih sepi.
Ketika Crawford berada di luar pintu, tiba-tiba ia mengerang. Sekejap kemudian Crawford kembali masuk toko dan mengempaskan pintu. la memegangi pinggangnya dan ketika tangannya terangkat, terlihat darah menetes.
"Crawford, apa yang terjadi?" tanya Wu dalam kepanikan.
"Seseorang menembakku dari seberang jalan. Kalau tidak menggunakan peredam, mungkin ia menggunakan pistol kaliber kecil."
"Apa kau melihat seseorang?" tanya Wu sambil membuka baju Crawford dan melihat lukanya.
"Tidak. Jangan pikirkan hal itu. Aku hanya terserempet."
"Lihatlah, kau berdarah. Aku harus membawamu ke dokter."
"Jangan. Sedikit balutan akan menutup luka."
"Kau akan kehabisan darah dan mati!" kata Wu bersikeras. Meski tidak banyak darah, wajah Crawford nampak pucat. Wu membantunya naik tangga dan membawakan beberapa perban, tapi setelah memeriksa melalui cermin Crawford setuju dengan usul Wu.
"Baiklah," katanya. "Panggil Bates, ia mantan seorang dokter."
"Mengapa tidak ke rumah sakit?"
"Jangan. Dengan tidak ke rumah sakit, si pembunuh tidak bakalan tahu kondisiku yang sebenarnya. Situasi ini amat menguntungkan kita."
Madame Wu mencoba menghubungi Bates tiga kali sebelum jawaban. Ketika Bates sendiri yang mengangkat ia berujar, "Tuan Bates, seseorang berusaha membunuh Crawford. Bisakah Anda ke sini segera?"
"Apa? Seberapa parah lukanya? Aku segera ke sana."
Dalam kondisi seperti ini Wu terpikir tentang belut-belut. Sekarang ini, baginya lebih penting menyelamatkan nyawa Crawford, daripada mengurus layang-layang. Wu segera menemui Crawford, "Bertahanlah, sebentar lagi Bates datang. Aku harus pergi mencari belut."
la segera turun dan menunggu Bates. Beberapa saat kemudian Bates datang membawa tas dokter kecil berwarna hitam yang belum pernah dilihat Wu sebelumnya. Untuk pertama kali Wu percaya cerita yang didengar dari Crawford bahwa Bates pernah menjadi dokter.
"Siapa yang menembak dia?" tanya Bates tiba-tiba.
"Kami tak tahu. Kita tak lihat seorang pun. Cepatlah pergi ke atas, Bates. Dan rawatlah Crawford. Aku harus berbelanja tapi akan segera kembali."
Madame Wu segera turun ke jalan melewati beberapa toko lain yang baru saja dibuka. Pagi itu kabut cepat menghilang dan sinar mentari langsung menghangatkan udara.
Di pasar yang terbuka tak terlihat anak kecil yang menjual belut dan untuk sementara ia panik. Kemudian ia melihat bocah langganannya di seberang lapangan dekat salah satu kapal yang sedang dikeringkan. la membawa kereta dorong yang penuh berisi tas plastik cokelat berisi belut.
"Cepatlah, Nak!" teriaknya. "Aku beli 9 belut keberuntungan!"
Wu mendekap erat bungkusan belut di dada. Gerakan belut amat terasa. Seolah-olah cemas dengan kebebasan yang akan mereka dapatkan, Wu tergoda untuk segera pergi ke Klong Maha Nak. Tapi kemudian sesuatu menggerakkan ingatannya. Crawford berada dalam bahaya!
Diselamatkan oleh belut
Wu segera kembali ke toko sambil mendekap belut-belutnya. Dari lantai bawah ia mendengar Bates dan Crawford sedang berbicara di ruang tidur. Tak lama kemudian Bates keluar menuju dapur dengan tas hitamnya. Melihat Madame Wu berdiri dekat meja ia berkata, "Jangan khawatir, Crawford akan segera pulih ke kondisi semula. Aku telah menjahit lukanya dan membalutnya."
"Bagus."
"Sekarang saya mau pulang. Biarkan ia istirahat sebentar," sarannya.
"Tuan Bates...."
"Ya."
"Ketika Anda tiba, Anda bertanya siapa yang menembak Crawford. Padahal di telepon saya hanya bilang bahwa seseorang telah mencoba membunuh Crawford. Bagaimana Anda tahu itu disebabkan oleh tembakan?"
"Saya ...."
"Saya kira Andalah penembaknya, Tuan Bates! Anda pasti bersembunyi di seberang jalan ketika Crawford keluar pagi tadi."
"Apa? Apa yang kau bicarakan?" Tas hitamnya terbuka dan ia meraih sesuatu dari dalamnya.
Madame Wu melihat pisau roti di atas meja, tapi sayang di luar jangkauan tangannya. Wu sadar dengan berondongan kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya, ia telah membuat kesalahan fatal.
Sesaat ia ingin meralat kata-katanya, tapi mulutnya terkunci begitu melihat Bates mengangkat pistol berperedam dan langsung menembak ke arahnya tiga kali.
Mendengar suara ribut-ribut Crawford terbangun. Bates datang kembali ke kamarnya. "Suara apa itu?" tanya Crawford.
Mantan veteran perang Vietnam itu dalam sekejap bisa mengenali jenis pistol dalam genggaman Bates, kaliber .22 dengan peredam.
"Aku telah membunuh Wu, Crawford, maka aku harus menghabisimu juga. Aku dapat membuat seolah-olah kalian saling bunuh."
"Jadi, kau yang berada di seberang jalan pagi tadi!"
"Ya," ujar Bates sambil mengacungkan pistol ke arah Crawford. "Kau 'kan selalu tahu seseorang yang akan datang, bukankah begitu?"
"Kau datang ke sini tiga tahun lalu. Mengapa mesti menunggu begitu lama untuk membunuhku?"
"Posisiku sudah aman di sini. Aku tidak ingin membahayakan posisi itu dengan tindakan bodoh. Setelah tahu orang yang kucari adalah kau, aku menghabiskan banyak waktu untuk mencari tahu apa yang kau lakukan dengan uang itu."
"Ada di toko cendera mata di bawah."
"Aku tahu itu sekarang."
"Apa pedulimu atas nasibku, hidup atau mati?"
Bates mengangkat bahu. "Tidak ada, secara pribadi. Itu bukanlah perangku, bagaimanapun. Tapi aku pedagang senjata, memasok ke berbagai golongan di Asia Tenggara. Ada beberapa di antara mereka masih ingat padamu. Mereka bilang aku harus membunuhmu jika ingin meneruskan bisnis ini. Maka aku menunggu kesempatan baik - kemunculan anak muda Amerika bisa kumanfaatkan. Itulah sebabnya aku mengobatimu asal-asalan.”
“Sebenarnya aku tidak akan membunuhmu sekarang. Aku punya rencana lagi setelah kau adu layang-layang nanti malam. Namun ulah Wu memaksaku - maka kalian akan mati bersama."
"Tunggu...," Crawford berusaha bangkit dari ranjang.
"Aku akan kehilanganmu, Crawford," kata Bates. Jari-jari putihnya menyentuh pelatuk. "Aku akan mendapat uang banyak darimu."
Saat itulah tiba-tiba Madame Wu bergerak dan dengan cepat menusuk punggung Bates dengan pisau roti.
Madame Wu duduk menggigil di kursi sambil menunggu polisi. "Aku belum pernah membunuh orang sebelumnya. Seperti itukah membunuh?"
"Ya ... seperti itulah. Tapi kau telah menyelamatkan nyawaku, Anna."
"Semua berkat belut-belut itu," ujarnya. "Aku mendekap mereka di dada ketika Bates menembakku. Pelurunya menuju kepadaku tetapi mengenai belut."
"Ya. Kini aku percaya belut-belut itu membawa keberuntungan."
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
la meraba pinggangnya dan mengernyit. "Rasanya aku tak bisa menerbangkan layang-layang malam ini. Akan aku lihat apakah Fleet dapat melakukannya untukku."
"Akankah ada orang yang seperti Bates lagi yang datang membunuhmu?"
"Mungkin.” (Edward D. Hoch)
" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350379/nasibnya-di-ujung-belut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656529755000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304286" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/3-korbannya-kelahiran-indonesia_-20220603020340.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "3 mayat ditemukan oleh petani di Thailand dengan kematian-kematian yang tragis. Bahkan, Bangkok Post menyebut mereka berkebangsaan Indonesia." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/3-korbannya-kelahiran-indonesia_-20220603020340.jpg" ["title"]=> string(31) "3 Korbannya Kelahiran Indonesia" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:04:06" ["content"]=> string(46397) "
Intisari Plus - 3 mayat ditemukan oleh petani di Thailand dengan kematian-kematian yang tragis. Bahkan, Bangkok Post menyebut mereka berkebangsaan Indonesia. Lantas, apa yang membuat mereka dibunuh jauh dari tempat tinggalnya?
-------------------------
Tanggal 18 Oktober 1975 pagi, sekelompok nelayan Thai menemukan mayat wanita kulit putih di laut. Letnan Chai Boriwat dari Pattaya memperkirakan wanita itu paling-paling berumur 18 tahun, tingginya 160 cm. Di paru-paru gadis berbikini itu ditemukan air. Kukunya biru. Diperkirakan gadis itu tenggelam waktu sedang berenang. Namun di pantai tidak ditemukan pakaiannya.
Letnan Chai Boriwat memotret mayat itu, lalu fotonya dikirimkan ke Bangkok Post, koran terkemuka berbahasa Inggris di Thailand. Graema Stanton, redaktur pelaksana, menyuruh foto itu ditempatkan di halaman depan dengan judul "Mayat Gadis Tidak Dikenal".
Walaupun demikian, tidak ada yang datang memberi tahu mayat siapa itu. Jadi, mayat itu pun dimasukkan ke kantung plastik untuk dimakamkan di Pemakaman orang Sawang Boriboon. Gadis berpakaian ungu di Jl. Pasir Emas.
Gadis berpakaian ungu di Jl. Pasir Emas Enam minggu kemudian, tanggal 29 November, seorang petani bernama Tuan Janmak yang berumah di tepi jalan menuju ke jalan raya bebas hambatan Khumvit menemukan tubuh manusia yang sudah hangus. Anggota badan mayat itu berada dalam posisi seperti orang minta ampun.
Polisi memperkirakan pria yang terbakar itu berumur sekitar 21 tahun. Tubuhnya pendek, paling-paling 158 cm. Diduga ia orang Thai. Pakaiannya hampir semua terbakar, tapi masih tersisa sepotong celana dalamnya yang berwarna biru dan kemejanya yang hitam bermotif bintang kuning. Polisi memperkirakan ia dibunuh di tempat lain dan mayatnya dibuang di tempat sunyi itu. Mungkin mayat dibawa dengan mobil dan posisi seperti memohon itu disebabkan ia "dicekuk".
Jalan setapak itu memang bisa dilalui mobil, tetapi karena tanah sedang keras, tidak ada tanda-tanda bekas ban di sana.
Mayat pria itu dimasukkan ke kantung plastik dan dimakamkan di Sawang Boriboon juga, tidak jauh dari kuburan si gadis tidak dikenal.
Dua minggu kemudian, tanggal 14 Desember, seorang petani berjalan kira-kira 8 km dari Pattaya, dekat jalan bebas hambatan Sukhumvit. Tempat yang dilaluinya biasa disebut Hardsai Tong oleh penduduk, artinya Jl. Pasir Emas. Jalan itu jarang dipakai karena ada jalan lebih baik yang sejajar.
Petani itu merasa jantungnya hampir copot ketika tiba-tiba saja ia melihat tubuh seorang wanita kulit putih tergeletak di situ, sebagian terendam di selokan.
Gadis yang mayatnya ditemukan itu memakai celana merah seperti bikini dan rok ungu berbunga-bunga. Sekeliling lehernya memar. Kemudian diketahui bahwa di lengan kirinya ada bekas tusukan jarum suntik. Gadis itu tidak dikenal. Tidak pula ada pemberitahuan gadis kulit putih hilang.
Mayat itu dikirimkan ke RS Polisi di Bangkok untuk diautopsi.
BH kuning buatan Belanda
Dua hari kemudian seorang penjual es mengendarai sepeda motornya tidak jauh dari Wat Kudee Prasit, yaitu sebuah kuil Buddha dan sekolah untuk anak petani. Sekitar 1,5 km dari kuil ada tanda yang menunjukkan bahwa Bangkok berjarak 56 km dari sana. Ketika itulah ia melihat dua sosok mayat di tanah landai tidak jauh dari tepi jalan.
Mayat yang satu ialah mayat pria yang diperkirakan berumur 20 tahun. Menempel pada mayat ada sisa sweater berwarna hitam atau kelabu dan blue jeans. Di kantung celana jins itu ada bon pembelian dari Delicatessen Corner, Holiday Inn, Kowloon, bertanggal 9 Desember.
Mayat yang satu ialah seorang wanita pirang berumur kira-kira 19 tahun. la memakai sweater jingga. Di bawah sweater itu ia memakai BH kuning buatan Belanda. Kedua mayat itu tingginya sekitar 165 cm.
Menurut hasil autopsi, pria itu dicekik dan wanita itu dipukul kepalanya dengan benda tumpul. Menurut dokter, keduanya masih hidup (walaupun mungkin dalam keadaan tidak sadar), ketika mereka disiram dengan bensin dan dibakar. Ada orang memperkirakan mereka pasangan Australia yang diberitakan hilang. Jadi, sudah lima mayat tak dikenal ditemukan di sekitar Bangkok pada waktu yang relatif berdekatan.
Pada tanggal 23 Januari 1976, pejabat Kementerian Luar Negeri Belanda di Amsterdam kedatangan tamu, Van Kan. Kata tamu itu, ia khawatir akan keselamatan adik iparnya, Wilhelmina Jansen dan pacar iparnya, Franciscus Bintarang, seorang pria berayah Indonesia yang sejak Desember 1975 tidak ada kabar beritanya.
Mereka berangkat keliling dunia tanggal 8 Februari 1976, jadi sudah 11 bulan yang lalu. Mina menulis surat ke orang tuanya dengan teratur. Suratnya yang terakhir ditulis tanggal 8 Desember, tetapi cap posnya tanggal 11. Dalam surat itu Mina menyatakan akan meninggalkan Hongkong untuk pergi ke Bangkok.
Sejak itu Mina tidak pernah mengirim surat Iagi. Ia juga tidak mengucapkan selamat ketika ibunya berulang tahun tanggal 18 Januari, dan juga tidak ketika kakaknya berulang tahun tanggal 21 Januari, padahal tidak pernah hal seperti itu terjadi.
Van Kan disarankan memaparkan apa yang terjadi dan kekhawatirannya ke Kedubes Belanda di Bangkok. Surat itu tiba tanggal 8 Februari ke meja Sekretaris III Kedubes Belanda Herman Knippenberg. Knippenberg mempelajari data yang diberikan Van Kan: nama, umur (Mina 25, Frans 29 tahun), alamat, (mereka hidup bersama di Amsterdam), pekerjaan (Mina sekretaris, Frans asisten apoteker).
Ia juga mengamati baik-baik foto Mina dan Frans. Van Kan menyertakan surat Mina yang terakhir, yang menceritakan ia bertemu dengan seorang Prancis yang ramah, yang mengundang mereka menginap di rumahnya di Bangkok.
Ia tidak menyebutkan nama orang Prancis itu dan sama sekali tidak terpikir oleh Knippenberg untuk menghubungkan kedua orang yang hilang itu dengan mayat tidak dikenal yang diperkirakan orang Australia.
Kemudian ia ingat bahwa mayat wanita tidak dikenal itu memakai BH kuning buatan Belanda. Ia pun menghubungi Kedubes Australia, yang menyatakan tidak ada orang Australia yang dilaporkan terbunuh.
Knippenberg lantas menghubungi Komisaris Polisi Toorenaar, yang mengepalai Bagian Pembunuhan di Amsterdam untuk memberi tahu bahwa dua warga negara Belanda, Wilhelmina Jansen dan Franciscus Bintarang ada kemungkinan dibunuh di Thailand.
Beberapa jam setelah mendapat informasi dari Knippenberg, Toorenaar sudah memperoleh catatan mengenai gigi kedua orang itu dari dokter gigi mereka, yang dikirimkannya ke Bangkok.
Tanggal 3 Maret, Knippenberg menemui pemimpin dokter gigi di RS Advent Bangkok, yaitu drg. Antje Twijnstra dan Kolonel Paitton Limrat, yang melakukan autopsi terhadap dua mayat tidak dikenal yang ditemukan terbakar. Ternyata gigi kedua mayat cocok dengan gambaran gigi Frans Bintarang dan Mina Jansen. Siapa pembunuh mereka?
Untung, ada Gautier!
Kanit House adalah sebuah gedung lima tingkat di pojok Jl. Sala Daeng dan Sala Daeng 1 Lane di Bangkok. Gedung itu terdiri atas banyak apartemen.
Salah satu penghuni apartemen di gedung itu ialah pasangan Prancis Nadine dan Remi Gires. Remi, si suami, bekerja sebagai koki kepala di Oriental Hotel sehingga Nadine dan suaminya yang terkenal.
Selain mereka, ada pasangan Prancis lain yang tinggal di tingkat lebih atas, yaitu Alain Gautier, pedagang permata, dengan istrinya, Suzanne. Suzanne sebetulnya orang Prancis Kanada. Karena sama-sama Prancisnya, Nadine dan Suzanne berteman.
Suatu hari Nadine dan Remi Gires yang baru saja pulang dari berlibur di Hua Hin, pergi berkunjung ke tempat Gautier. Ternyata tuan dan nyonya rumah sedang tidak ada. Begitu pula sopir mereka, Rajesh Khosla, seorang pemuda India berumur 21 tahun yang tampan.
Namun seperti biasa, di rumah Gautier ada tamu. Maklum Gautier itu pandai bergaul. Saat itu tamu yang masih menginap ada dua orang, yaitu Dominique Renelleau dan Yannick Malgorn, kedua-duanya orang Prancis.
Renelleau sudah tiga bulan tinggal di situ karena sakit. Karyawan bank dari Prancis itu berkunjung ke Chiang Mai di Thailand sebagai turis dan berkenalan dengan Gautier di sana. Ketika ia tiba-tiba sakit, Gautier membawanya ke Kanit House.
Ternyata setiap kali hampir sembuh ia jatuh sakit lagi. Gautier membujuknya agar jangan risau. "Kuatkan saja dulu badanmu, baru pulang ke Prancis. Paspor, cek perjalanan, dan uangmu saya simpan dulu," kata tuan rumah, yang memiliki sebuah lemari besi.
Yannick Malgorn, bekas polisi yang kemudian menjadi koki, bertemu dengan Gautier di sebuah bar di Bangkok. Ketika itu ia bersama seorang temannya, Jean - Jacques Phillipe diajak oleh Gautier ke Pantai Pattaya. Celakanya, di sana mereka kena disentri. Lebih celaka lagi, paspor dan uang mereka hilang. Untung ada Gautier!
Setelah sembuh, Malgorn merasa berutang budi. Ia ingin membalas kebaikan Gautier dengan bertindak sebagai sekretarisnya di mana perlu sampai mendapat paspor baru dan cukup uang untuk pulang.
Pada saat Nadine dan Remi Gires bertemu, Philippe sedang pergi mengurus visa. Kata Renelleau dan Malgorn, Alain Gautier, Suzanne, dan Raj sedang pergi ke Nepal. Mereka berangkat beberapa hari sebelumnya.
Tak pernah kembali lagi
Alain itu pembunuh dan maling," kata Malgorn tiba-tiba, sehingga Nadine dan suaminya terkejut. Ia lantas mengeluarkan Surat Kabar Bangkok Post yang terbit beberapa hari lalu untuk memperlihatkan berita tentang kematian "sepasang orang Australia".
"Mereka bukan orang Australia, tetapi orang Belanda," kata Malgorn. "Belum lama ini mereka ada di sini bersama Gautier."
Tanggal 10 Desember, ketika Nadine dan Remi Gires sedang bertamu di tempat Gautier, memang tuan rumah permisi pergi untuk menjemput sepasang tamu Belanda di bandara. Katanya, kedua tamu itu datang dari Hongkong.
Tamu yang laki-laki bernama Frans Bintarang, berayah orang Indonesia. Tamu wanitanya Mina Jansen, kekasih Frans. Mereka sedang keliling dunia dan sudah berkunjung antara lain ke Indonesia. Keduanya bertemu dengan Gautier di Kowloon, Hongkong, dan diundang menginap di Kanit House.
Di Kanit House itu Gautier menyewa tiga apartemen. Dua di antaranya berdampingan, yaitu no. 503 dan 504. Jadi walaupun sudah ada tiga tamu yang menginap di sana, tambah dua tamu lagi bukan soal.
Frans dan Mina bermaksud mengujungi kuil-kuil Buddha dan Mina juga ingin melihat tambang-tambang permata di Chiang Mai, yang disohorkan oleh Gautier. Mina membeli sebuah cincin permata dengan harga murah dari Gautier di Hongkong. Ketika diceknya ke toko permata ternyata toko permata menilai cincin itu jauh lebih mahal.
Namun sebelum mereka pergi ke Chiang Mai tanggal 15 Desember keduanya jatuh sakit. Mereka hampir tidak kuat bangkit, tetapi Gautier bilang udara Chiang Mai akan baik pengaruhnya bagi mereka. Jadi mereka menguatkan diri juga. Gautier meminta Mina mengenakan sweater tebal supaya tidak kedinginan.
Dari pulau terbuka di apartemen 504, malam itu Yannick Malgorn melihat Gautier dan Raj memapah pasangan Belanda itu dari apartemen 503 menuju ke lift. Mina mengenakan sweater jingga. Mereka meluncur pergi dengan Toyota biru.
Keesokan paginya Gautier kembali berdua saja dengan Raj. Celana dan sepatu mereka penuh lumpur. Ketiga tamu di rumah Gautier bertanya, ke mana Frans dan Mina.
"Jangan khawatir," kata Gautier, "mereka akan masuk rumah sakit selama enam bulan dan tidak akan mengingat lagi apa yang terjadi sebelumnya." Ketiga tamu itu menjadi takut.
Tanggal 17 Desember pagi Renelleau meminta kembali paspornya. Paspor itu dikembalikan, tetapi Gautier minta maaf, karena cek perjalanan milik orang Prancis yang sakit itu sudah ia pakai. la berjanji akan menggantinya.
Keesokan harinya Gautier, Suzanne, dan Raj diantarkan oleh Rennelleau dan Malgorn ke bandara untuk pergi ke Kathmandu di Nepal. Philippe cepat-cepat mengurus visa.
Hari itu juga di Bangkok Post ada berita mengenai sepasang orang Australia ditemukan terbunuh dan terbakar. Mereka makin khawatir, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Mereka ingin pergi secepatnya, namun tidak punya uang. Mereka memeriksa apartemen dan menemukan paspor-paspor orang lain serta barang-barang milik Frans serta Mina. Ada juga perhiasan milik orang Turki tamu Gautier, Yusuf Bilgin, yang sudah menghilang entah ke mana.
Mereka ingat, pria Turki itu anak orang kaya dari Istambul. Ia pernah membeli permata seharga AS $ 1.600 dari Gautier dan ingin membeli lagi. Gautier kemudian mengajaknya ke tambang-tambang permata di Chantaburi. Ia menginap dulu di rumah Gautier dan keesokan harinya muntah-muntah. Namun mereka jadi juga pergi, bersama Suzanne dan Raj.
Kata Gautier kemudian kepada teman-teman Prancisnya, Bilgin itu ternyata pedagang obat bius. Di tengah jalan ia bertemu dengan teman-temannya dan batal pergi ke Chantaburi. Kini ia berada bersama teman-temannya itu di Pattaya.
Pacar Bilgin, Yvonne Desbois, yang berumur 24 tahun menyusul Bilgin ke Bangkok dan menelepon ke rumah Gautier, karena Bilgin meninggalkan pesan agar ia dihubungi di rumah Gautier.
"Ia sudah tidak ada di sini. Apakah ia tidak memberi tahu bahwa ia tinggal dengan teman-temannya di Pattaya?" tanya Gautier. Namun Gautier mau menolong. Ia akan mengantarkan Yvonne ke Pattaya. Yvonne datang ke Kanit House mengenakan rok ungu berbunga-bunga. Keesokan harinya Gautier muncul sendirian. Teman-teman Prancisnya mengira Yvonne sudah diantarkan ke tempat Bilgin menginap.
Tetangga usil
Sebelum itu, pada tanggal 13 Oktober 1973, Raj bertemu dengan seorang gadis Amerika dari San Pedro, Kalifornia, di Malaysia Hotel, Bangkok. Ia sedang keliling sendirian, mencari kedamaian.
"Hati-hati di sini," kata Raj yang simpatik kepada mahasiswi berumur 18 tahun bernama Mary Jane McLachlan itu. Ia memperingatkan bahaya Bangkok bagi gadis secantik Mary Jane.
Raj yang mengaku anak pengusaha kaya Delhi itu mengundang Mary Jane ke rumah majikannya, Alain Gautier, pedagang permata. Katanya, malam itu Gautier ingin mengadakan pesta. "Pesta sopan," kata Raj.
Mary Jane yang rupanya merasa simpati kepada pemuda India itu datang ke pesta di Kanit House. Ia begitu terpesona pada Alan Gautier. Alan sangat heran karena Mary Jane belum pernah ke Pantai Pattaya yang terkenal itu
Kau harus ke sana," katanya. Ia berjanji akan mengantarkan. Keesokan harinya Gautier menjemput Mary Jane dari Malaysia Hotel dengan mobil Toyotanya. Setelah itu orang-orang di Kanit House tidak pernah melihat Mary Jane lagi.
Nadine dan Remi Gires begitu kaget mendengar cerita itu. Mereka sendiri melihat ketika Frans Bintarang dan Mina Jansen sakit. Mereka pikir kedua orang itu kena disentri akut.
Mereka lebih tercengang lagi ketika Malgorn yang memegang kunci lemari besi Gautier memperlihatkan isi lemari besi itu, yaitu belasan paspor milik orang lain, kebanyakan paspor Prancis, cek perjalanan, dan dompet.
Mereka juga melihat beberapa kartu pos yang ditulis oleh Frans dan Mina, tetapi tidak dikirimkan, tas tangan kulit milik Mina, dan radio transistor baru milik Frans. Selain itu di apartemen Gautier didapati tempat membawa bensin dan jarum suntik.
Nadine Gires begitu tergugah, sehingga ketika bertemu dengan temannya, suami-istri Lemaire, ia tidak tahan untuk tidak bercerita.
Ny. Lemaire ini orang Prancis, sedangkan Lemaire sendiri pengusaha Swis. Di kantor Lemaire ada karyawan bernama Charlaine yang beribukan orang Prancis, tetapi ayahnya orang Australia, Konsul John Howard. Tidak heran kalau keluarga Lemaire dan keluarga Howard sering mengundang makan. Dalam kesempatan seperti ltulah cerita Nadine Gires disampaikan oleh keluarga Lemaire pada sang konsul.
John Howard itu sebelum menjadi diplomat adalah seorang wartawan. la terbiasa mengumpulkan berita. Dengan cermat cerita Nadine Gires itu dicatatnya. Setelah itu ia mengecek ke Kedutaan Australia. Betulkah ada pasangan Australia yang hilang di Thailand? Tidak ada.
Tanggal 7 Januari, Konsul Jenderal Australia mengirimkan aidememoire mengenai hal yang didengarnya itu pada direktur jenderal Kepolisian Thai di Bangkok. Tetapi tidak ada tanggapan. Rupanya surat itu tenggelam dalam ratusan surat lain di meja direktur jenderal. Kedutaan Belanda pun tidak pernah dihubungi polisi. Tentu saja Howard tidak bisa berbuat apa-apa lagi di negara asing, walaupun ia sudah mendapat informasi yang mencurigakan mengenai Alan Gautier.
Kabar yang mengagetkan itu tiba juga ke telinga Herman Knippenberg di Kedubes Belanda. Sekretaris III Kedubes Belanda itu lantas menelepon Madame Gires untuk minta bertemu. Tiga hari berturut-turut Nadine datang untuk menceritakan semua yang ia ketahui.
Bukan istri, tapi kekasih
Ia mampu menceritakan detail mengenai cara hidup Gautier, Suzanne, dan Rajesh Khosla. "Ia membual pernah menyelundupkan mobil ke India pada usia masih sangat muda," kata Nadine. Ia juga pandai bergaul dan mudah sekali berkenalan dengan orang lain."
Gautier mengaku berumur 31 tahun. Katanya, ia lahir di Saigon. "Tetapi tentu saja saya orang Prancis," kata Gautier. Konon pada umur 13 tahun ia pindah ke Paris.
Rambut Gautier lurus dan hitam berkilat, matanya hitam, dan kulitnya seperti warna buah zaitun. Tulang pipinya menonjol tinggi dan giginya putih. Walaupun tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun penampilannya mengesankan.
Di samping rupa yang mengesankan dan dandanan yang aksi, ia juga cerdas dan bisa berbicara dalam banyak bahasa. Selain itu ia juga senang mentraktir orang. Ia kenal dunia Timur dengan baik, karena sering bepergian dengan Suzanne.
Mengenai Suzanne, yang banyak dikira orang sebagai istri Gautier tetapi sebetulnya kekasihnya, Nadine mempunyai cerita. "Ia menyebut dirinya Suzanne Ponchet. Tetapi saya lihat surat-surat dari Kanada untuknya dialamatkan kepada Catherine Ponchet." Suzanne pernah menjadi perawat. Ia boleh dikatakan tidak bisa berpisah dari anjing Samoyed-nya yang kecil.
Rajesh Khosla bekerja serabutan di apartemen Gautier. Ia menjadi sopir, disuruh-suruh membeli rokok dan segala macam lagi, tetapi nampaknya ia senang dengan pekerjaan itu.
Begitu cerita Madame Nadine Gires. Knippenberg bertanya bagaimana nasib tiga orang Prancis lain: Renelleau, Malgorn, dan Philippe?
"Philippe kembali ke Kanit House sehari sebelum Gautier dan Raj pulang dari Nepal. la membawa cukup uang untuk membeli tiket ke Prancis baginya dan bagi kedua temannya. Jadi mereka cepat-cepat kabur. Malgorn membawa kunci lemari besi Gautier yang dibuangnya ke tempat sampah di Bandara Don Muang, sebagai balas dendam."
Kata Nadine Gires, ketika mendapati ketiga tamunya sudah kabur membawa kunci lemari besinya, Gautier marah-marah dan menelepon Nadine untuk menceritakan peristiwa itu. Nadine naik ke apartemen Gautier dan mendapati barang barang berserakan di lantai.
Di antara kertas-kertas itu didapatinya dua buah order pengiriman uang atas nama Franciscus Bintarang dan juga buku catatan harian orang Belanda itu. Nadine diam-diam mengambil buku itu. Keesokan harinya Gautier kembali ke Nepal. Suzanne memang tidak ikut ke Bangkok. Raj menyusul majikannya keesokan harinya.
Buku catatan harian Frans diserahkan oleh Nadine kepada John Howard. Knippenberg segera menemui Howard tanggal 9 Maret. Di dalam buku catatan harian Frans itu, Howard dan Knippenberg menemukan catatan yang menyatakan bahwa di Kowloon, Hongkong, Frans dan Mina bertemu dengan seorang Prancis yang sangat mengesankan, bernama Alain Dupuis. Knippenberg menduga keras Dupuis itu Gautier.
Vera juga berasal dari Indonesia
Saat itu Knippenberg mendapat surat pernyataan panjang , yang sebenarnya ditujukan kepada polisi Australia oleh seorang warga negara Australia bernama Russel Lapthorne dan istrinya, Vera, yang berasal dari Indonesia.
Penduduk Melbourne itu menceritakan bahwa mereka berlibur di Thailand pada bulan September 1975. Mereka tinggal di Crown Hotel, Bangkok, dan pada tanggal 1 September pergi ke Pattaya. Ketika sedang membeli kelapa muda, mereka didekati pasangan bersepeda. Wanita yang bersepeda itu membawa anjing Samoyed kecil yang dipanggil Frankie. Nama wanita itu Suzanne dan bahasa Inggrisnya patah-patah. Pria yang bersepeda mengaku bernama Jean Belmont, bahasa Inggrisnya baik, walaupun kentara aksen Prancisnya.
Dari hotel mereka berempat pergi ke Hua Hin bersama-sama Belmont mentraktir makan, tetapi malamnya suami-istri Lapthorne sakit perut. Kemudian datang Suzanne membawakan empat gelas coklat susu untuk mereka berempat.
Vera cuma minum setengah, lalu pergi tidur karena pusing. Lapthorne menghabiskan isi gelasnya. la baru sadar kembali pukul 05.00 di sebuah klinik Hua Hin. la dan Vera diangkut ke sana oleh pemilik hotel karena ditemukan tidak sadar. Padahal mereka minta dibangunkan untuk naik kereta api malam. Lapthorne malah ditemukan menggeletak di lantai.
Vera yang tidak begitu parah keadaannya segera kembali ke hotel. Ternyata cek perjalanan mereka senilai AS $ 450 hilang, begitu pula uang Singapura sebanyak 800 dolar, dan uang Thai sebanyak 1.500 baht. Paspor mereka juga hilang, begitu pula surat kawin, sertifikat kesehatan, SIM, sebuah kamera untuk membuat film, cincin intan, dan kalung emas.
Gelas berisi susu coklat yang mereka minum sudah dicuci bersih dan suami-istri Belmont sudah pergi meninggalkan mereka dengan kereta malam. Suami-istri Lapthorne melapor ke polisi, tetapi tidak ada polisi yang bisa berbahasa Inggris. Vera seorang diri cepat-cepat ke Bangkok (karena suaminya masih lemah) untuk menghubungi Kedubes Australia dan menghubungi orang tua suaminya di Australia.
Setelah membaca laporan itu, Knippenberg mengirimkan foto Gautier, Suzanne, dan bahkan foto anjing Samoyed milik Suzanne ke Kedubes Australia di Bangkok. Benda-benda itu dikirimkan kepada keluarga Lapthorne di Melbourne dan sekali lihat saja mereka segera mengenali gambar itu sebagai Jean Belmont, Suzanne, dan Frankie.
Ramai-ramai makan kepiting di pantai
Knippenberg lalu menghubungi Graeme Stanton, penyunting Bangkok Post dan peristiwa-peristiwa pembunuhan itu dimuat di Bangkok Post. Namun tetap saja tidak ada tindakan dari polisi Thai.
Sekarang kita ikut saja kegiatan Gautier dan Suzanne. Tanggal 18 Desember 1975 mereka memakai paspor Frans dan Mina untuk pergi ke Kathmandu di Nepal. Cuma foto pada paspor mereka ganti dengan foto mereka sendiri. Dengan nama Frans dan Mina mereka menginap di Soaltree Oberoi Hotel.
Pada kesempatan itu mereka berkenalan dengan Henri Gilbert dari Kanada dan Sally Dalton dari Amerika. Kepada kedua orang yang sedang bepergian bersama itu Gautier mengaku pedagang permata.
Tanggal 21 Desember Gilbert berjalan-jalan di gunung dan tidak kembali. Pasangannya, Sally, merasa cemas dan menyusul. la juga tidak kembali. Beberapa hari kemudian tubuh mereka ditemukan dalam keadaan sudah terbakar. Gilbert memperlihatkan tanda bekas dicekik. Sally memperlihatkan luka bekas tikaman.
Beberapa hari setelah itu, dalam sebuah Datsun yang disewa oleh seseorang yang mengaku bernama Bintarang, ditemukan jins, kacamata hitam, dan tas yang semuanya milik Gilbert. Di kamar hotel tempat Sally menginap ditemukan catatan harian wanita muda itu. la menyatakan berkenalan dengan Alain Gautier.
Setelah itu Gautier pulang ke Bangkok dengan Raj dan menemukan tiga temannya (Renelleau, Malgorn, dan Philippe) sudah kabur. Brankasnya tidak bisa dibuka. la cepat-cepat kembali ke Nepal. Raj menyusul keesokan harinya dengan paspor Yusuf Bilgin. (Visanya palsu).
Tanggal 27 Desember Gautier, Suzanne, dan Raj melewati perbatasan menuju India dengan mobil. Gautier dan Suzanne memakai paspor Prancis sebagai Monsieur dan Madame Ponent. Mereka pergi ke Kalkutta dan Varanasi. Di sini bertemu dengan orang Israel bernama Sol Levi dan mereka tinggal sehotel. Malam harinya ketiga teman Sol Levi kabur. Paginya Sol ditemukan tewas tercekik. Uangnya sebanyak AS $ 5.000 hilang.
Di New Delhi mereka menginap di Lodhi Hotel. Gautier mengaku bernama Sol Levi. Tanggal 6 Januari 1976 mereka tiba di Goa dan bertemu dengan tiga orang Prancis yang bepergian dengan naik truk Ford. Tanggal 9 Januari mereka ikut dengan truk menuju ke Kolombo di Sri Lanka.
Mereka menginap dulu di Amaldi dan bermain-main membakar kepiting serta ikan di pantai. Mereka minum wodka, wiski, dan sari buah. Tiga puluh enam jam kemudian ketiga orang Prancis itu sadar mereka berada di sebuah rumah sakit. Uang mereka sejumlah AS $ 2.600 dalam bentuk cek perjalanan, AS $ 600 kontan, dan beberapa kamera seharga AS 3.000 lenyap. Amblas pula tiga paspor mereka.
Menyogok polisi
Salah seorang dari korban bernama Eric Damour. Seseorang yang memakai nama dan paspor Eric Damour muncul di Madras dan pergi ke Bangkok pertengahan Januari. Tentu saja ia tidak lain dari Alain Gautier. Gautier tidak pulang ke Kanit House, tetapi menginap di Dhusit Tani Hotel dekat rumahnya itu. Dengan paspor Bertrand Tell ia menguangkan cek perjalanan curian di Bank of Canton, dekat Kanit House.
Dengan paspor Eric Damour ia terbang ke Singapura. Suzanne sudah menunggu. Tanggal 25 Januari ia ke Hongkong, lalu pulang sebentar ke Bangkok sebelum kembali lagi ke Hongkong. Suzanne menunggunya di YWCA. Ia diajak pindah ke Sheraton Hotel dan pergi ke Macao tanggal 31 Januari 1976.
Ketika kembali ke Hongkong dua hari kemudian mereka bertemu seorang warga negara AS kelahiran Jawa, Peter Frederick Clark. Kepada Clark, Gautier mengaku bernama Eric Damour. Clark diundangnya makan di Sheraton, lalu mereka pergi ke kelab malam dan akhirnya ke kamar Gautier di Sheraton.
Tiga hari kemudian Clark sadar. Ia mendapati dirinya tergeletak di lantai kamar. Ia berteriak-teriak minta tolong. Ketika kembali ke kamar hotelnya sendiri, didapatinya paspor, cek perjalanan, dan kartu kreditnya lenyap.
Tanggal 5 Februari itu Gautier dan Suzanne sudah berada di Singapura. Mereka lalu terbang ke Thailand Selatan. Sekali ini Suzanne memakai paspor Eric Damour. Anehnya, ia lolos. Mereka kembali ke Kanit House dan sudah ditunggu Raj yang membawa pulang seorang salesman Prancis bernama Alfred Colin.
Sementara itu sekretaris III pada Kedubes Belanda, Herman Knippenberg, cuma bisa menyebar-nyebarkan surat bukti ke Kedubes AS, Inggris, Kanada, Prancis, dan Nepal. Polisi Thai tetap tidak bertindak.
Ketika didesak, polisi cuma mendatangi apartemen Gautier, lalu memeriksa paspor Gautier dan Suzanne. Mereka memperlihatkan paspor mereka sendiri. Beres. Polisi meninggalkan mereka.
Kedubes AS turun tangan, karena paspor warga negara mereka, Peter Frederick Clark, ketahuan dipakai orang lain. Gautier diperiksa polisi. Ia menyogok AS $ 15.000 dan melenyapkan diri. Apartemennya di Kanit House digeledah. Ditemukan bermacam-macam obat bius, obat-obat lain, alat-alat suntik, buku tentang agama Buddha yang bertuliskan nama Mary Jane McLachlan, paspor Prancis atas nama Eric Damour (tetapi fotonya foto Suzanne).
Raj tetap dibiarkan di sana. Malamnya dari jendela Nadine Gires melihat Gautier dan Suzanne pulang membawa koper. Paginya Nadine naik ke apartemen mereka. Suzanne dan Gautier sudah lenyap. la melihat kertas-kertas berserakan. Di antaranya surat asuransi yang dikeluarkan di Barcelona, Spanyol, untuk Yusuf Bilgin dan tiga pasfoto ukuran paspor milik Bilgin. la memberi tahu Knippenberg sambil menyerahkan foto-foto itu.
Knippenberg menghubungi Kedubes Turki sambil menyerahkan foto-foto Bilgin. Minggu pagi Nadine Gires ditelepon Gautier dari Malaysia. la ingin menitipkan apartemennya. Esok paginya Nadine Gires mendapati apartemen itu sudah disegel polisi.
Rabu, 17 Maret, Rajesh Khosla meminta polisi mengembalikan paspornya. Tanpa mendapat kesulitan ia memperoleh paspor itu. la segera masuk ke Kedubes AS dan menceritakan semuanya yang diketahuinya tentang Peter Frederick Clark. Sejak itu Raj lenyap entah ke mana.
"Kenalan" polisi India
Lewat Malaysia, Gautier dan Suzanne pergi ke Eropa. Di Bangkok polisi sekali lagi memeriksa apartemen Gautier di Kanit House. Sementara itu Knippenberg mendengar dari polisi Belanda bahwa Renelleau dan Philippe secara sukarela membuat pernyataan pada Kedubes Belanda di Paris untuk melengkapi keterangan Nadine Gires pada Knippenberg.
Mayat gadis berbikini digali lagi dan dikenali di Washington sebagai Mary Jane McLachlan. Sesudah diketahui identitasnya, tidak sulit untuk merekonstruksi tindakannya di Bangkok sebelum ia tewas, termasuk kunjungan ke Kanit House.
Mayat yang diperkirakan pria Thai pun digali lagi. Mayat itu dikenali sebagai Yusuf Bilgin oleh ayahnya.
Mayat yang ditemukan di selokan diidentifikasi sebagai Yvone Desbois, pacar Bilgin. Dari Prancis memang ada permintaan untuk mencari Yvonne. Permintaan itu disampaikan kepada istri Letkol Sompol Suthimai, seorang wanita Prancis.
Letkol Sompol itu kepala seksi Interpol di kepolisian Thailand. Letkol Sompol tertarik pada tulisan di Bangkok Post pada tanggal 8 Mei 1976 mengenai Alain Gautier dan Suzanne yang berumah di Kanit House dan pada cerita mendetail tentang Mary Jane, Yvonne, Frans, dan Mina. Ia merasa tugasnyalah untuk menyelidiki hal ini. Dihubunginya Herman Knippenberg di Kedubes Belanda.
Dari kepolisian Prancis diketahuinya Gautier itu kemungkinan nama palsu, tetapi nama aslinya tidak diketahui oleh Interpol. Dari Interpol Ottawa diketahui bahwa Suzanne itu nama aslinya Catherina Ponchet. Jadi, keterangan Nadine Gires tentang nama itu betul. Suzanne pernah bekerja sebagai sekretaris dokter, kemudian hidup bersama pria tua kaya bernama Levant. Ketika Levant ke India, ia bertemu Gautier dan kecantol.
Diketahui ia dan Gautier mula-mula tinggal di Nana Hotel di Bangkok, kemudian pindah ke Malaysia Hotel. Di sini mereka berkenalan dengan Rajesh Khosla. Setelah itu barulah mereka pindah ke Kanit House.
Interpol melacak jejak mereka. Diketahui Suzanne dan Gautier pernah ada di Kuala Lumpur, lalu ke Singapura, Bombay, New Delhi, Karachi, Jenewa (di sini Gautier menjual permata), Prands (tinggal pada teman baru bernama Alfred Colin + 40 km di luar Kota Paris).
Tanggal 14 Mei markas besar Interpol di St. Cloud, dekat Paris, mengirimkan kabar ke Thailand, Kanada, Belanda, Nepal, Spanyol. Menurut polisi Kanada, pada bulan April Suzanne menulis surat kepada orang tuanya di Kanada dari Jenewa, memberi tahu ia akan ke Barcelona. Walaupun paspornya dicabut, rupanya bukan alangan baginya untuk bepergian ke pelbagai negara, sebab akhir bulan April ia menelepon akan ke rumah ibu Gautier di Marseille, bertiga dengan Colin.
Karena nama asli Gautier tidak diketahui, Interpol tidak bisa mencari alamat ibu Gautier. Lewat Interpol, Sompol mendengar Gautier, Suzanne, dan Colin ada di Pakistan. Sompol meminta Interpol pusat memberi tahu Pakistan, Prancis, Kanada, AS, Spanyol, Belanda, India, Turki, Swis, Hongkong, Indonesia, Malaysia, Australia, dan Singapura, agar ketiga orang itu ditangkap.
Letkol Sompol tidak percaya kalau Gautier itu orang Prancis, karena mata dan rambutnya berwarna gelap. Ia menduga jangan-jangan Gautier keturunan Pakistan atau India. Lewat Interpol dimintanya sidik jari Gautier dari Pakistan dan India.
Sidik jarinya sama
Bulan Juni 1976, Alain Gautier yang kini memakai janggut lebat, Suzanne, dan Alfred Colin berada di New Delhi. Mereka disertai dua teman: Margaret Wilson, gadis Inggris berumur 22 tahun dan Diana Johnson, perawat Australia berumur 26 tahun. Mereka bepergian dengan mobil Citroen. Kalau pesawat Air France tiba di bandara, mereka mengincar mangsanya. Orang itu mereka kuntit sampai ke hotel, kemudian mereka dekati.
Louis Chabrier, pemuda Prancis berumur 28 tahun, dijebak di Ranjit Hotel. Ia diajak makan-makan, lalu Margaret pura-pura mau tidur dengannya. Ketika itu Chabrier sudah dalam keadaan mual sehabis makan kari ayam.
Subuh itu Margaret dkk. kabur dari Delhi setelah tombol pintu kamar tempat Chabrier digantungi tanda Don't disturb (jangan ganggu). Dua hari kemudian karyawan hotel menemukan Chabrier sekarat di kamar itu. Ia meninggal 24 jam kemudian.
Dalam operasinya Gautier memakai nama Pierre Boucher. Sebelum memangsa Chabrier, Gautier sudah membius tiga orang turis Prancis di YMCA dan merampok kamera serta uang mereka sebanyak AS $ 3.000 dalam bentuk cek perjalanan.
Buat polisi India, nama Boucher tidak asing lagi. Empat tahun sebelumnya, tanggal 31 Oktober 1971, Boucher dengan dua orang Prancis merampok dengan jalan membius para petugas permata di New Delhi. Mereka tertangkap 13 November 1971. Karena sakit usus buntu, ia dibedah di rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meminta istrinya, Francoise Gilet, mengajak ngobrol para perawat. Sementara mereka lengah, ia kabur.
Rupanya tahun 1976 itu Gautier begitu yakin akan kelihaiannya membius orang. Ia kini bermaksud membius 62 turis sekaligus. Mereka itu rombongan yang datang dari Prancis dan tinggal di Vikram Hotel, New Delhi. Gautier dan teman-temannya bersikap ramah dan siap sedia menolong "orang-orang setanah air".
"Charles", demikian namanya sekarang, menelepon para wanita lanjut usia untuk membeli permata, sehingga mereka mendapat permata bagus dengan harga murah. Charles dan kawan-kawan ikut ke Taj Mahal dan memperingatkan para turis agar hati-hati minum, karena di India minuman kemungkinan besar tercemar. Lebih baik minum minuman botol, supaya jangan sampai sakit perut, katanya.
Malam itu di hotel tidak ada orang yang merasa aneh waktu Charles ikut duduk di meja makan bersama mereka. Pada saat pelayan menuang air minum ke gelas-gelas mereka, ia memperingatkan sekali lagi akan bahaya sakit perut akibat air yang tercemar.
Ia juga mengeluarkan kantung yang berisi pil. Katanya, ia selalu menelan pil itu untuk penjagaan. "Siapa yang mau?" tanyanya menawarkan. Semua orang mau. Semua minum pil itu.
Namun rupanya Charles salah perhitungan. Sebagian besar korban sudah keburu meraung-raung sakit perut sebelum meninggalkan meja makan. Mereka muntah-muntah, sehingga ambulans pun dipanggil. Cuma Charles dkk. yang tetap tegak.
Seorang pelayan menudingnya sambil berteriak, "Itu dia orangnya yang membagi-bagi pil." Charles dikepung beramai-ramai, tetapi malah dibela oleh turis yang dibuatnya sakit.
"Gila kalian! Dia 'kan teman kami."
Polisi pun datang. Kebetulan ikut pula Asisten Komisaris Tuli yang mengejar Boucher sejak kematian Louis Chabrier. Charles ditahan. Teman-temannya sempat kabur, tetapi tertangkap kemudian.
Mereka mengaku ikut ambil bagian dalam berbagai kejahatan yang dilakukan Charles. Charles sendiri mati-matian menyangkal. Namun bagaimana ia bisa mengingkari sidik jarinya yang sama dengan sidik jari Boucher. Apalagi di perutnya ada bekas operasi usus buntu.
Putra pengusaha Bombay
Letkol Sompol dari Interpol Thai diberi tahu. Setelah penyelidikan lebih lanjut diketahui nama asli Alain Gautier adalah Charles Gurmukh Sobhraj. Ia lahir di Saigon, 6 April 1944. Ibunya seorang wanita Vietnam yang cantik, yang menjadi gundik seorang pengusaha tekstil kaya dan tampan dari Bombay, Hotchand Bhawnani Sobhraj.
Mereka tinggal di Saigon. Ketika Charles berumur 5 tahun dan ibunya mengandung lagi, Sobhraj membawa istri sahnya ke Saigon, sehingga tidak ada pilihan lain bagi ibu Charles selain angkat kaki dari rumah.
Ia menikah kembali dengan seorang perwira Prancis yang baik hati, Rene Monteaux. Monteaux bersedia mengadopsi adik perempuan Charles. Charles sendiri diambil oleh ayahnya.
Ketika ibunya pergi ke Prancis karena Monteaux dipindahkan ke tanah airnya, Charles ikut. Umurnya saat itu delapan tahun. Sebagai anak Sobhraj ia tidak kekurangan. Namun di Marseille, Prancis, ia harus hidup sesuai dengan penghasilan kecil yang diperoleh Monteaux. Apalagi ibunya, Simone, mempunyai beberapa anak dari Monteaux.
Charles ingin kembali ke Saigon sampai mencoba menyelundup dengan kapal dua kali. Akhirnya, ayahnya setuju ia datang ke Saigon. Ketika itu awal tahun '60-an. Umur Charles 18 tahun. Ia tidak betah dan meminta ibunya mengirim ongkos untuk kembali ke Marseille.
Di Prancis ia hanya mendapat izin tinggal sementara dan tidak mendapat izin bekerja, sehingga tidak bisa mendapat pekerjaan tetap. Karena ingin hidup mewah, ia segera terlibat berbagai kejahatan. Akibatnya, dua kali ia masuk penjara.
Di penjara ia bertemu dengan seorang sosiawan yang kerjanya mengunjungi narapidana. Sosiawan itu, Xavier Sailly, merasa simpati pada pemuda itu yang dianggapnya merupakan korban keadaan. Berkat usaha Sailly itu Charles mendapat kewarganegaraan Prancis.
Kemudian ia hidup bersama dan menikah dengan gadis Prancis bernama Francoise Gilet, tanpa restu orang tua si gadis. Sobhraj, ayah Charles, pernah datang mengunjungi mereka sekali. Ia kecewa dan putus asa melihat anaknya yang terlibat cek kosong di mana-mana. Kemudian Charles dan istrinya pergi ke Bombay, menghindari kejaran yang berwajib. Di sini lahir putri mereka, Asha, yang kemudian dikirim ke orang tua istrinya di Prancis.
Pada masa inilah Charles berbuat kejahatan dengan memakai nama Pierre Boucher. Setelah kabur dari rumah sakit, ia dan Francoise pergi ke Kabul di Afghanistan. Mereka dijebloskan ke penjara di sana. Orang tua Francoise dengan susah payah mengumpulkan uang untuk menebus putri mereka dari penjara. Yang keluar ternyata Charles, istrinya tetap meringkuk di dalam.
Dengan paspor palsu Charles kabur ke Prancis, tetapi tertangkap. Ia pun bercerai dari istrinya, yang kemudian kawin dan hidup di AS bersama putri mereka. Charles Gurmukh Sobhraj diadili bulan Agustus 1978 di New Delhi, tetapi hanya untuk kematian Louis Chabrier. Ia hanya dijatuhi hukuman penjara tujuh tahun. Teman-temannya dibebaskan.
Ia naik banding dan malah dibebaskan, karena Louis Chabrier itu pecandu obat bius dan dokter yang melakukan pemeriksaan mayat tidak bisa membuktikan apakah Chabrier dibius atau membius diri sampai mati.
Untuk perkara perampokan permata di Ashoka Hotel, Charles Shobraj dikenai 5 tahun penjara. Ia masih mendapat tambahan hukuman, karena kabur dari rumah sakit dan mencoba membius turis-turis di Vikram Hotel.
Letkol Sompol dan kepala imigrasi Thailand merundingkan ekstradisi dengan India, karena mengharapkan Sobhraj bisa diadili di Bangkok. Ketika itu antara India dan Thailand belum ada perjanjian ekstradisi.
Xavier Sailly, sosiawan Prancis yang dulu membantu Charles Sobhraj mendapat kewarganegaraan Prancis, sekali ini pun membelanya. Ia berusaha agar Charles dapat mengklaim kewarganegaraan Indianya lewat ayahnya. Kalau berhasil, katanya, India akan menolak mengekstradisinya ke Thailand maupun ke negara-negara lain.
Catatan: Tanggal 16 Maret 1985 Sobhraj kabur dari Penjara Tihar di New Delhi bersama enam narapidana lain. Mereka membius para sipir. Baru tanggal 6 April tahun berikutnya polisi India berhasil menangkap kembali pembunuh licin ini. Pertengahan tahun '90-an ia sudah menghirup udara bebas setelah menjalani hukuman.
(Noel Barber)
" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304286/3-korbannya-kelahiran-indonesia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265046000) } } }