Intisari Plus - Persaingan sengit di Rub'al Khali: dua penjelajah Inggris bertarung menjadi orang pertama yang mengarungi padang pasir luas. Penjelajahan mereka keras, namun relatif mudah karena dukungan dari suku-suku di sekitar gurun. Dari perjalanan inilah budaya bangsa Arab terungkap.
-------------------------
Di setengah bagian selatan Arab Saudi, terbentang wilayah gurun yang luas, sedemikian tandus sehingga namanya pun menggambarkan tempat sunyi yang tak dapat dihuni siapa pun. Dalam bahasa Arab nama gurun itu adalah Rub'al Khali, yang berarti "Bagian yang Kosong"—atau lebih puitis "Rumah Tinggal Kehampaan".
Sampai tahun 1930-an, tak satu pun orang kulit putih pernah menjejakkan kaki ke belantara batu cadas dan pasir ini; dan tentu saja tak seorang pun pernah menyeberanginya.
Namun, karena semakin banyak wilayah belantara di dunia yang digapai para penjelajah, tampaknya tinggal sedikit tempat yang akan ditaklukkan. Rub'al Khali merupakan salah satu dari tantangan terbesar terakhir—dan ada dua pria yang bertekad menjadi orang pertama yang menyeberanginya.
Kedua pria itu adalah orang Inggris. Yang satu Harry St. John Philby, pendukung dekat Raja Saudi, Ibnu Saud, tinggal di Mekah, kota suci Islam, dan menjadi muslim. Satunya lagi, Bertram Sidney Thomas, tidak memiliki hubungan dengan Kerajaan Saudi seperti halnya Philby. Ia bersahabat dengan Sultan Muskat di Oman yang tak sungguh-sungguh membantu petualangan gurun pasirnya. Jika ingin berhasil, ia harus mengurusnya sendiri.
Bagi Philby, menyeberang Rub'al Khali merupakan sebuah obsesi yang telah didambanya bertahun-tahun. Pada 1924, ia sudah hampir melakukan ekspedisi itu, tapi sebuah revolusi di Arab Saudi menghalanginya untuk berangkat.
Tak lama, ia menderita disentri yang sangat parah dan terpaksa mengabaikan rencana-rencananya. Tahun 1930, saat Ibnu Saud bertakhta dengan aman, Philby bertekad untuk berusaha lagi, dan ia terus-menerus mengusik raja untuk mendapat izin dan dukungan.
Sementara itu, Thomas melakukan persiapan dengan cara yang sangat berbeda. Antara 1927 dan 1930, ia melakukan sejumlah perjalanan persiapan dengan unta di wilayah tepat di selatan Rub'al Khali. Ia sadar harus mendapat kepercayaan dari suku Beduin, suku setempat, untuk melakukan penyeberangan, karena itu ia tidak berniat meminta izin raja.
"Aku tahu pemikiran penguasa," tulisnya, "menghindari perangkap dengan meminta izin rencanaku ... Jadi, rencanaku tersembunyi dalam kegelapan, perjalananku hanya diberitakan dengan kehilanganku." Ia menenggelamkan dirinya dalam adat Beduin, berpakaian seperti mereka, berbicara bahasa mereka, dan memastikan ia tidak melakukan sesuatu yang menyinggung mereka.
Suatu kebijakan yang lihai. Ketika Philby duduk di Mekah dengan tidak sabar menunggu keputusan sang raja, Thomas merangkum rencana akhirnya. Oktober 1930, ia berlayar dari Muskat menuju wilayah Dhufar, di pantai selatan Arab Saudi, tempat ia telah mempersiapkan pemandu dan unta-unta dari Rashid—sebuah suku Beduin—untuk menemuinya.
Philby mendengar kedatangan Thomas di Dhufar, dan benar-benar semakin tidak sabar. Raja mengetahui betapa inginnya Philby berangkat, sehingga meminta nasihat gubernur setempat.
"Apakah perjalanan seperti itu bijaksana saat ini?" tanya raja.
Gubernur mengatakan bahwa keadaan politik masih tidak stabil. "Tunggu tahun berikut," ia menasihati.
Philby tidak dapat berbuat apa-apa. Ia benar-benar jengkel.
Namun, bagi Thomas, persiapannya juga tidak berjalan lancar. Saat tiba di Dhufar, unta dan pemandunya tak ada. Tampaknya, orang dari suku Rashid yang ia ajak bernegosiasi, setelah mengantungi uang yang ia berikan, menghilang di padang pasir. Dengan putus asa, Thomas mengirim utusan untuk mencarinya; sementara itu ia cuma bisa menunggu.
Enam minggu kemudian, masih belum ada tanda-tanda keberadaan pemandu dan untanya. Thomas sudah hampir patah semangat: kapal yang membawanya dari Muskat hari itu dijadwalkan kembali. Thomas berpikir ia harus menyerah dengan rencana-rencananya, naik kapal, dan kembali ke Muskat dengan rasa tak puas. Mungkin Philby berkesempatan mengalahkannya—pada akhirnya.
Akan tetapi, saat jam 11, sekitar 40 orang Rashid muncul dengan unta dalam jumlah yang sama. Bagaimana pun ia bisa berangkat.
Rute Thomas bergerak dari selatan Rub'al Khali, yang kurang lebih berada dalam garis lurus timur laut. Masalah yang ia hadapi adalah melewati wilayah-wilayah suku yang berbeda. Anggota suku Rashid dari selatan tidak mau memasuki wilayah Murra yang ditakuti di utara.
Akan tetapi, syukurlah, berkat banyaknya perundingan yang alot, Thomas menemukan jalan keluar. Ia berjalan secara beranting. Bila mencapai wilayah Murra, kawanan baru yang terdiri dari unta dan anggota suku Murra akan menemuinya, dan ia akan meninggalkan anggota suku Rashid di belakang.
Dengan semua perencanaan ini, Thomas berangkat Perjalanannya amat lambat. Karena pada tahap awal perjalanan ditemukan padang rumput, kapan pun ditemukan tempat merumput yang baik para pemandu memaksanya untuk membiarkan unta-unta itu merumput, khawatir mereka tidak menjumpai padang rumput lagi.
Itulah salah satu dari banyak jurus di gurun pasir yang ia pelajari. Pelajaran lain adalah tata krama suku Beduin tentang keramahtamahan. Jika ada tamu asing mampir di sebuah tenda gurun pasir karena perlu makanan, mereka tidak boleh pulang dalam keadaan lapar.
Kenyataan adanya orang asing kaya sedang mengarungi padang pasir, menyebabkan sejumlah "tamu asing" bermunculan. Seberapa lama bekalnya akan bertahan, Thomas bertanya-tanya dengan putus asa.
Namun, hari-hari perjalanan penuh kesabaran berlalu tanpa adanya masalah besar. Thomas bergaul baik dengan anggota-anggota suku itu. Malam hari, di sekeliling api unggun, mereka menceritakan tentang kisah dan legenda mereka, dan ia pun menuliskannya semua.
Banyak kisah tentang suku purba yang dikenal dengan nama Bani Hillal, dan pahlawan mereka, Abu Zaid. Diceritakan bahwa tak ada tombak atau pedang yang dapat membunuhnya, karena ibunya keturunan jin. Abu Zaid juga terkenal karena kemurahan hatinya—ia membunuh semua untanya untuk memberi makan tamu asing ...
Thomas mendengarkan, terkesima, terbenam dalam dunia unta yang memiliki alas kaki yang halus dan bentang alam yang tak berujung. Namun, saat rombongan itu mencapai mata air Shanna, tempat pemandu Murra mengambil alih, salah seekor unta sakit parah.
Ajalnya berakhir brutal dan cepat. Unta itu ditarik ke sebuah tempat dangkal di pasir, dan para pria itu menggorok tenggorokannya, menyukai dagingnya alih-alih susu unta dan oatmeal. Meskipun lapar, Thomas tidak begitu berselera. Menurutnya, daging unta itu alot dan berserat, dan ia hampir tidak bisa menelannya.
Ia memandang dengan keheranan sewaktu para anggota suku itu menikmati hidangan gurun pasir lainnya—mereka membelah kandung kemih unta itu dan meneguk air seninya. Nikmat! Demikianlah kata mereka—jauh lebih enak daripada air asin dan pahit yang berasal dari mata air.
Thomas berangkat lagi pada 10 Januari 1931 dengan rombongan pria dan unta yang lebih sedikit. Bagian kedua perjalanan ini terhalang badai gurun, yang menyebabkan keadaan amat menyengsarakan dan merusak beberapa peralatan Thomas.
Selain itu, cuaca dingin menggigit, terlebih pada malam hari. "Pasir memenuhi mataku, dan buku-buku catatanku," tulis Thomas. "Pasir di mana-mana; menulis dengan jari-jari yang mati rasa tidaklah mungkin, dan yang dapat dilakukan adalah duduk dengan bermalas-malasan di pasir yang berputar-putar dan keadaan dingin...."
Akan tetapi, tak satu pun dari kejadian ini yang membahayakan jiwa. Permasalahan Thomas terhitung kecil, mengingat semuanya dapat terjadi dengan mudah. Para anggota suku yang agresif tetap tenang, pasokan susu unta banyak, dan Thomas tetap bugar—seperti yang lain, termasuk unta-unta itu. Pada awal Februari 1931, Thomas tiba di tujuannya, Doha—sekarang Qatar—di pantai Teluk Persia.
Thomas telah berhasil! Kabar itu segera menyebar sampai Mekah, dan Philby menanggapinya dengan amat buruk. Ia sangat kecewa sehingga menutup diri selama seminggu.
Ketika muncul kembali di muka umum, ia penuh keberangan dengan prestasi Thomas—kemarahan yang bercampur cemoohan. "Apa masalahnya berbaris dalam garis lurus," katanya menggebu. "Perjalanan Thomas tidak berguna. Ia belum menjelajahi Rub'al Khali. Akan kutunjukkan padanya bagaimana melakukannya."
Namun, Philby masih menantikan izin raja untuk berangkat. Bulan pun berlalu. Philby duduk di Jeddah, tertekan, Kekecewaan pada raja, dan Arab Saudi pada umumnya. Kemudian, pada Desember 1931, tiba-tiba datanglah kabar yang ia nantikan—akhirnya ia mendapat izin, serta sokongan raja. Philby merasa bangga.
Sesegera mungkin ia menuju titik awalnya: Hufuf, kota pedalaman tidak jauh dari Doha, tujuan akhir Thomas. Segala suatu yang ia perlukan menanti: 32 ekor unta, 14 pria, dan perbekalan untuk tiga bulan. Akhirnya, perjalanan dapat dimulai, Philby berangkat 7 Januari 1932.
Philby berjalan ke arah berlawanan dari Thomas. Ia bertekad dari awal untuk mengarungi lebih banyak tempat dan melakukan lebih banyak penemuan. Pertama-tama, ia ingin menemukan reruntuhan sebuah kota mitos yang pernah diceritakan seorang pemandu kepadanya. Kota itu bernama Wabar, yang konon adalah tempat tinggal raja yang jahat, Ad Ibn Kinad. Untuk menghukum raja karena kejahatannya, Tuhan menghancurkan Wabar dalam kobaran api.
Philby mengikuti petunjuk pemandunya dan cukup mudah menemukan tempat itu. Namun, yang ia temukan bukanlah reruntuhan purba, tapi kawah yang disebabkan hujan meteor. Sisa-sisa serpih besi dan silika bertebaran di sekeliling daerah itu, dan Philby berhati-hati mengumpulkan spesimennya. Misteri terpecahkan, ia pun meneruskan perjalanan.
Akan tetapi, karakter perjalanannya menjadi berbeda dari perjalanan Thomas. Philby tidak memiliki kepercayaan pribadi dengan suku Beduin. Mereka tidak paham mengapa Philby memaksa mengambil rute yang lebih sulit dari yang ia butuhkan, atau mengapa ia terus-menerus melakukan jalan memutar untuk mengisi petanya.
Anggota suku itu ingin menghabiskan waktu berburu antelop gurun yang disebut oryx, tapi Philby tidak mengizinkannya. Dengan enggan, mereka melanjutkan perjalanan hingga mata air Shanna.
Di Shanna, perselisihan mencapai tahap baru. Philby ingin mengambil rute yang benar-benar baru ke arah barat, sementara pemandunya ingin mengikuti rute yang diambil oleh Thomas.
Mereka tidak memahami alasan menuju belantara yang mata airnya tidak diketahui ada di mana. Philby harus menyogok mereka untuk meneruskan perjalanan dengan membayar di muka.
Dengan perasaan jengkel masih membara, rombongan berangkat lagi. Akan tetapi, tidak ada kemajuan. Setelah lima hari, sewaktu mereka berada 230 kilometer dari gurun pasir, perselisihan itu menyebabkan rombongan terhenti. Unta-unta sampai pada batas tak lagi bisa berdiri, dan seluruh pria itu putus asa karena kelaparan; mereka tidak makan apa-apa kecuali kurma sejak meninggalkan Shanna.
Akan tetapi, Philby masih menolak mengizinkan mereka melambatkan ekspedisi untuk berburu oryx. Bahkan lebih parah lagi, ia memaksa melanjutkan perjalanan di siang bolong saat panas, dengan begitu ia dapat melakukan pengamatannya secara menyeluruh.
Para pria itu sampai pada batasnya. Philby dipaksa untuk mundur dan mengizinkan rombongan kembali. Ia menggambarkan hari itu sebagai "yang terburuk dari seluruh perjalanan dari awal hingga akhir, dan mungkin yang terburuk dari seluruh pengalamanku". Namun, mereka benar-benar kembali, ke arah mata air Naifa, di utara Shanna.
Sekarang, dengan dipacu harapan adanya air, para pemandu meneruskan perjalanan dengan cepat, dan Philby tidak punya pilihan lain. Mereka berhenti hanya untuk membiarkan salah seekor unta beranak—dan bayi unta itu dibunuh seketika untuk dimakan.
Para pria membuat api unggun kecil dan berusaha memanggangnya, tapi karena saking laparnya mereka tidak menunggu hingga masak. Sewaktu mereka melahap daging itu dengan rakus, dagingnya masih terasa mentah. "Aku bisa makan apa saja, dimasak atau mentah," tulis Philby kemudian.
Setelah empat hari berjalan tanpa lelah, mereka mencapai Naifa dan meneguk airnya yang pahit dengan penuh kenikmatan. Mereka menyembelih seekor unta lain untuk dimakan dan melepas lelah. Akan tetapi, sekarang Philby harus memutuskan langkah berikutnya. Ia masih bertekad untuk menyeberangi gurun pasir ke barat, seperti rencananya.
Namun sekarang jelaslah bahwa unta yang bermuatan sama sekali tidak dapat berjalan cepat, dan hal itu melambatkan semuanya. Satu satunya cara agar berhasil adalah berjalan dengan ringan dan cepat. Philby bermaksud memecah rombongan dan mengirimkan muatan yang berat kembali ke Hufuf.
Sekarang para pemandu dapat memilih untuk ikut dengan Philby atau tidak dalam perjalanan berat di hadapan mereka—560 km, tanpa kejelasan adanya air. Ketika mereka istirahat, serombongan pemandu dengan jumlah yang mengejutkan berkata bahwa mereka mau bergabung. Akhirnya, mereka hanya mengirimkan tujuh orang untuk kembali ke Hufuf.
Perjalanan kali ini amat meletihkan. Philby bertengkar soal perbekalan dengan mereka. Sewaktu para pemandu berusaha membuat Philby malu karena tidak mau membagikan susu untanya, ia menolak untuk minum susu lagi sepanjang perjalanan.
Tercekik oleh dahaga, Philby memandang hamparan padang kerikil suram yang tidak ditumbuhi apa pun—bahkan kaktus. Untuk mengatasi masalah, para pemandu Philly memutuskan bahwa cara terbaik untuk melintasi guran pasir itu hanyalah dengan terus berjalan. Perjalanan itu merupakan prestasi daya tahan yang luar biasa—perjalanan nonstop 110 kilometer. Dari waktu 21 jam, 18 jam dihabiskan di atas sadel.
Namun, sewaktu mereka melalui padang luas, para pemandu mulai mengenali tanda-tanda yang ada. Mereka mendekati tujuan, oasis Suleiyil di tepi barat laut Rub'al Khali, Para pria yang kelaparan dan kehausan itu beserta kawanan unta berjalan ke oasis itu, 14 Maret 1932.
Kemudian
Jadi, prestasi siapa yang lebih besar? Baik Philby dan Thomas menuliskan rincian kisah perjalanan mereka, termasuk peta, daftar panjang satwa liar, dan sosok flora serta keadaan geologis. Sulit mengatakan siapa yang menyumbangkan lebih banyak pengetahuan tentang wilayah itu. Thomas, tanpa dibantah, melakukan penyeberangan pertama, tapi rute Philby lebih sulit.
Memang, Thomas mengelabui persoalan perizinan. Jika tidak, Philby tentu telah memenangkan lomba itu. Akan, tak satu pun dari pria itu dapat memulai perjalanan tanpa bantuan dan panduan suku-suku Beduin, yang bagi mereka keseluruhan gagasan tentang 'penyeberangan pertama' terdengar sangat aneh.
Thomas mendapatkan dukungan mereka karena perundingan yang alot, dan menjaga kemauan baik mereka selama itu—sebuah prestasi pribadi yang besar tersendiri.
Di pihak lain, Philby melakukan perjalanannya dengan perlindungan raja. Sewaktu izin diberikan, ia membutuhkannya. Bertahun-tahun kemudian, ia mendapati bahwa para pemandunya yang tak puas pernah berencana membunuhnya di Shanna, tapi mereka takut raja bakal menahan mereka. Jadi, ia beruntung sama sekali dapat bertahan hidup.
Harry St. John Philby terus menjelajahi Arab Saudi selama bertahun-tahun dan diakui sebagai pakar geografi dan politik Arab. Namun, tahun-tahun berikutnya sikapnya terhadap pemerintahan Saudi terasa kritis dan ia menuduh pemerintahan itu korup.
Pemerintah jadi tersinggung dan melarangnya masuk Saudi, tahun 1955. Philby tinggal di Beirut, sampai orang-orang Saudi berubah pikiran dan membiarkannya kembali. Saat kembali, ia tidak kembali tinggal di Saudi. Philby wafat di Beirut, September 1960.
Bertram Sidney Thomas juga tinggal di Timur Tengah sepanjang hidupnya. Ia menduduki sejumlah jabatan penting di Bahrain, Palestina, dan Lebanon. Ia wafat di Kairo, Desember 1950.
" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309853/rumah-kehampaan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282201000) } } }