Intisari Plus - Michelle ditemukan tewas ditembak di dalam mobil yang diparkir di Taman Kota Antelope Valley. Saat kejadian, hanya ada satu saksi mata yaitu penjaga malam dan ia mau bercerita secara terus terang.
-------------------
Segerombolan gadis berbikini bertubuh seksi berlenggak-lenggok. Sorotan lampu ribuan watt membuat kemolekan para perempuan belia ini makin nyata. Berkali-kali mereka meliuk-liukkan tubuh dan direkam kamera dari berbagai sisi.
Hampir pukul 19.00. Seorang gadis model memberi isyarat pada temannya. Ketika lampu sorot utama padam, keduanya bergegas menyelinap keluar. Suara teriakan genit gadis-gadis masih terdengar ketika Michelle O’Keefe dan Jennifer Peterson, gadis yang menyelinap keluar itu, menutup pintu studio.
“Aku sudah berjanji pada ibuku untuk masuk kelas malam. Mudah-mudahan masih ada banyak waktu,” kata Michelle sambil membetulkan tank-top supaya menutupi dada. Langkahnya tergesa-gesa. Jennifer tidak menjawab. Dia segera menyalakan mesin mobil dan menembus malam yang berangin. Tadi siang setelah makan, keduanya berjanji akan datang ke Klub Kid Rock karena ada pengambilan gambar untuk video klip di LA Olympic Auditorium.
Supaya praktis, setelah kuliah siang, Michelle memarkir mobilnya di Park and Ride, Taman Kota di Antelope Valley. Dia menumpang mobil Jennifer ke Kid Rock. Perjalanan harus ditempuh secepat-cepatnya karena jarak Klub Kid Rock dengan Park and Ride sekitar 80 km.
“Rasanya kita tidak akan bisa sampai dengan cepat,” kata Michelle melirik jam. Jennifer menghela napas. “Padahal kita sudah bergerak cepat, bahkan tidak sempat berganti kostum,” kata Jennifer memandang baju yang dikenakannya. Michelle tertawa melihat kostum seksi mereka.
“Tempat parkir di Taman Kota gelap, aku bisa ganti baju di mobil sebelum ikut kuliah malam,” kata Michelle. “Ini sudah terlalu malam, mungkin sudah terlambat tetapi lebih baik datang. Aku sudah berjanji pada ibuku untuk menyelesaikan kuliah malam.”
Sampai di tempat parkir, Michelle langsung turun. Jennifer memastikan sahabatnya itu berjalan menuju Mustang, mobil biru cemerlang yang tampak menonjol di tengah kegelapan. Michelle bergegas ke mobilnya, Jennifer pun meninggalkan tempat parkir.
Paginya, Jennifer mendapat kabar Michelle tewas di dalam mobilnya. Ada empat tembakan yang mematikan.
Tak biasanya pulang telat
Usianya baru 18 tahun. Segala kemudahan yang didambakan remaja dimiliki Michelle O’Keefe. Hidup di tengah keluarga kaya, Michelle memiliki segalanya. Wajah cantik dengan postur tubuh semampai yang diwarisi dari ibunya, Pat O’Keefe, membuat gadis itu sangat populer. Begitu masuk perguruan tinggi, dia langsung bergabung dengan tim pemandu sorak. Ini tim yang dianggap paling keren di kampus Michelle. Seleksinya ketat dan menjadi kumpulan gadis-gadis cantik. Maklum, tugas mereka memang untuk menarik perhatian di lapangan.
Satu lagi yang membuat gadis-gadis di sekitarnya iri, begitu masuk perguruan tinggi, Michelle mendapat hadiah Natal istimewa: Mustang biru. Mobil dengan warna biru cemerlang ini selalu menarik perhatian jika melintasi jalan-jalan di Antelope Valley, Southern California. Entah karena mobilnya, entah karena Michelle yang mengemudikan, atau karena keduanya.
Tak ingin melepas kesempatan, Michelle bergabung dengan Klub Kid Rock. Bersama gadis-gadis lain, dia menjadi model untuk beberapa video klip. Pat O’Keefe merestui aktivitas anaknya, toh, Michelle tidak pernah mangkir kuliah. Bahkan jika ada kelas malam, dia akan meninggalkan studio untuk kuliah. Prestasi akademiknya di kampus menonjol. Michelle juga dikenal religius dengan lingkungan pertemanan yang sehat.
Pesta menyambut Tahun Baru 2000 baru dilewati. Di hari ke-22 Februari, Michelle mendapat panggilan untuk syuting video klip. Pat sebenarnya ingin Michelle melepas tawaran itu karena pada saat yang sama akan ada kuliah malam. Michelle tidak akan punya cukup waktu untuk berkendara dari Kid Rock ke kampus.
Akan tetapi, melihat semangat dan keinginan anaknya, Pat pun luluh. Ketika Michelle menyiapkan kostum, Pat sempat melirik tank-top dan rok supermini yang dimasukkan ke dalam tas.
Melihat ibunya khawatir, Michelle tersenyum. “Bu, jangan khawatir. Ini hanya kostum. Segera setelah syuting selesai, aku akan kembali menjadi Michelle yang bercelana jins.”
Pat tidak punya alasan untuk khawatir karena Michelle selalu berhasil meyakinkan orangtuanya. Satu-satunya kekhawatiran Pat adalah kebiasaan Michelle memarkir Mustang biru di Taman Kota Antelope Valley. Tempat itu sangat sepi dan di malam hari tidak ada banyak lampu menyala. Tentu bukan Mustang biru yang dikhawatirkan melainkan keselamatan anak perempuannya yang molek.
“Tenang, Bu. Aku tidak akan membiarkan orang memerkosaku. Aku lebih suka mati daripada diperkosa. Lagi pula, di taman itu ada penjaganya,” kata Michelle menenangkan ibunya.
Pat pun melepas Michelle. Dia hanya heran, sampai pukul 21.30 lewat anaknya belum memberi kabar. Kuliah malam seharusnya sebentar lagi selesai. Biasanya Michelle memberitahu jika dia sudah sampai di kampus. Jika acara di studio Kid Rock terlambat usai, pengurus Kid Rock pasti meneleponnya. Mereka selalu memberitahu jika syuting melebihi jadwal. Itu pula yang membuat Pat rela melepas Michelle setiap kali syuting.
Dompet dan uang masih utuh
Dalam kecemasan itu Pat dan suaminya, Mike O’Keefe, tetap menunggu. Beberapa kali telepon seluler Michelle dihubungi tetapi tidak ada jawaban. Jawaban kecemasan itu datang dini hari. Bukan dari Michelle melainkan dari deputy sheriff Kota.
Jika sheriff datang pada pukul 02.00 dini hari tentu ada berita buruk yang harus disampaikan segera. Mike menata hati untuk mendengar berita kecelakaan yang dialami putrinya. Akan tetapi, bukan hanya kecelakaan yang menimpa anak sulungnya, melainkan penembakan. Mike langsung merasa punggungnya lemas. Dia menggigil mendengar Michelle ditembak.
Mereka bergegas ke Taman Kota Antelope Valley. Di sana sudah banyak mobil. Sebagian melihat karena ingin tahu, sebagian lagi sibuk memasang police line agar petugas mudah mengambil bukti.
Detektif Richard Longshore ada di antara kerumunan. Detektif veteran itu bersama rekannya menjelajahi sekitar TKP untuk mengumpulkan bukti standar. Akan tetapi, tidak ada senjata tidak ada sidik jari, dan tidak ada jejak kaki. Meskipun petugas keamanan mendengar suara tembakan, tetapi mereka tidak menemukan saksi mata. Longshore tahu, kasus ini akan rumit.
Dia memeriksa setiap inci dari mobil Mustang biru mengilap itu. Lagi-lagi, tidak ada bukti. Ketika ditemukan, baju Michele berantakan. Tank-top-nya melorot sehingga sebagian payudaranya kelihatan. Celana jins hitam tergeletak di samping kursi. Sepintas orang akan melihat bahwa Michelle mungkin menjadi korban perkosaan. Tetapi Longshore bukan detektif kemarin sore.
Perampokan juga tampaknya mustahil karena dompet Michelle masih ada dengan uang yang cukup banyak, lebih dari AS $ 100. Jika akan merampok, tentu Mustang biru ini sasarannya.
Mendengar cerita Pat, Longshore menduga Michelle mati-matian membela diri saat diserang. Akan tetapi, siapa yang menembakkan empat peluru di empat titik?
Mustang pindah lokasi?
Taman Kota di lembah itu memiliki beberapa penjaga. Kebetulan yang berjaga pada malam itu Raymond Lee Jennings. Jennings ternyata sangat kooperatif. Dia juga pengobral kata. Jennings memiliki lima anak. Itu malam kedua bagi Jennings melakukan jaga malam. Dia harus berjalan kaki mengawasi seluruh lembah yang menjadi taman dan tempat parkir hingga fajar.
Mustang biru bukan mobil pasaran. Bentuk dan warnanya sangat mencolok. “Saya berpikir, suatu hari nanti saya juga ingin memiliki mobil keren seperti itu,” cerita Jennings. “Waktu itu pukul 21.00 ketika saya berpatroli jalan kaki. Saya melihat Mustang biru ada di tempat parkir. Saya kemudian kembali ke pos di bukit kecil yang menghadap ke tempat parkir.”
Ketika jam menunjukkan pukul 21.30, dia mendengar alarm mobil. Mungkin pemiliknya tengah membuka pintu mobil. Karena hanya berjarak 350 m dari tempat parkir, Jennings masih mendengar mesin mobil menderum, baru dinyalakan. Tak lama kemudian terdengar satu tembakan.
“Mobil itu mundur dan terdengar lagi tiga kali tembakan. Kali ini tembakannya lebih cepat,” tambah Jennings. Dia menghela napas. “Seharusnya saya datang mendekat, tetapi saya tidak bersenjata. Petugas di Taman Kota ini tidak dipersenjatai. Jika saya mendekat, saya khawatir akan jadi sasaran tembak.”
Menurut Jennings, beberapa menit kemudian setelah suara tembakan reda, dia menghubungi supervisor-nya. Bantuan tiba beberapa menit kemudian sementara Jennings tetap di dalam posnya. Ketika atasannya mendekati TKP bersama beberapa polisi, Jennings masih di posnya.
Detektif Longshore tampaknya menghadapi tembok buntu. Meski sudah dibantu Mark Safarik, mantan anggota FBI yang menjadi konsultan, ia tetap menemui jalan buntu. “Bukti forensik memang ada. Kami bisa menganalisis noda darah. Kami memiliki peluru dan selongsongnya. Tetapi kami sama sekali tidak mendapati sidik jari atau sesuatu berupa jejak DNA untuk membuktikan bahwa ada seseorang saat pembunuhan terjadi,” kata Safarik.
Sementara itu, Jennifer Peterson - orang terakhir yang bersama Michelle - sangat terpukul. Ketika diminta datang ke TKP, Jennifer tampak sangat sedih. Dia tampak sangat terkejut ketika dibawa Longshore ke tempat Mustang biru diparkir.
“Tidak, bukan di situ dia memarkir mobilnya,” kata Jennifer. “Saya masih ingat betul, Michelle memarkir mobilnya di sana, tepat di bawah lampu supaya mobilnya aman dan mudah diawasi.”
Jennifer pun mulai bercerita, ketika menurunkan Michelle di dekat mobilnya, tempat parkirnya masih di bawah lampu. “Saya mendengar mesin mobil Michelle dinyalakan. Saya melihat mobilnya bergerak. Saya pikir dia mengikuti mobil saya.”
Ternyata perkiraan Jennifer keliru. Menurut Safarik, Mustang biru justru mundur dan berpindah tempat ke lokasi yang gelap. “Seperti kata ibunya dan Jennifer, sebelum kuliah malam Michelle ingin berganti baju. Dia membawa mobilnya ke lokasi gelap untuk berganti baju. Dia memilih tempat parkir yang diapit dua mobil. Jadi, dia bisa berganti baju tanpa terlihat. Sayangnya, ada orang lain di sana dan menembakkan empat peluru.”
Michelle meregang nyawa dengan satu luka tembak di dada dan tiga di kepala dan leher.
Jeda waktu cukup lama
Dahi Longshore berkerut tanda sedang berpikir keras. Dia mencoret-coret kertas yang sudah penuh angka. Dia memperkirakan penembakan terjadi setelah pukul 21.30. Jennings yang mendengar tembakan ketakutan dan baru beberapa menit kemudian dia memberitahu atasannya. Atasannya datang beberapa menit kemudian. Mereka menunggu hingga polisi datang, lalu menuju TKP. Ada selang waktu cukup lama bagi si penembak untuk meloloskan diri, sekitar 30 menit.
Longshore tinggal di Huntington Beach, sekitar tiga jam berkendara. Selama waktu itu, segalanya bisa terjadi. Hanya ada satu orang yang bisa bercerita, Jennings. Menurut penjaga itu, dia sempat didatangi dua orang dengan truk merah dan bertanya apakah dia penjaga di situ.
“Saya sangat takut waktu itu. Saya tidak berani melihat tangan mereka. Selain itu, saya tidak melihat siapa pun. Sama sekali,” kata Jennings yakin. Longshore mengabaikan penumpang truk merah karena butuh waktu lama untuk mengejar truk merah yang di California jumlahnya pasti sangat banyak.
Yang membuat Longshore heran, malam itu sangat dingin, tetapi kaca jendela Mustang biru justru diturunkan. Polisi tidak menemukan jejak pelaku di dalam mobil atau tanda masuk dengan paksa. Jika kaca jendela diturunkan, berarti Michelle saat itu sedang berbicara dengan seseorang. Satu-satunya orang di tempat parkir itu hanya Jennings.
Jaket dan celana Jennings pun diperiksa. Seragam dari perusahaan keamanan itu sama sekali tidak menampakkan adanya sampel darah, serat, atau rambut yang sesuai dengan Michelle.
Penyelidikan buntu. Keluarga O’Keefe nyaris putus asa. Mereka menepis anggapan pembunuhan itu berdasarkan konflik rumah tangga, perselingkuhan, atau puncak kekesalan kekasih Michelle. Pat menunjukkan bahwa Michelle tidak punya kekasih.
“Dia juga tidak punya musuh,” kata manajer salon kecantikan itu. Mike dan Pat memasang baliho di dekat tempat parkir dan menawarkan hadiah bagi siapa saja yang bisa menemukan pembunuh anaknya. Hingga pertengahan musim semi, sekitar tiga bulan kemudian, seorang perempuan bernama Victoria Richardson menyatakan ada di taman itu saat pembunuhan terjadi. Waktu itu Victoria sedang berada dalam mobil bersama teman-temannya. “Saya mendengar bunyi tembakan,” kata Victoria.
Dia juga melihat penjaga berjalan di sekitar Mustang sesaat sebelum penembakan. “Mungkin dia sedang berpatroli,” kata Victoria. “Ketika mendengar tembakan berikutnya, kami sangat ketakutan. Kami tidak ingin terlibat dalam urusan ini. Setelah meredakan ketakutan, kami menuju pos penjagaan.”
Di tempat itu Victoria dan teman-temannya bertanya, “Apa yang terjadi? Apakah itu penembakan? Dia menjawab, tidak tahu.”
Bukti dari Victoria membuat Longshore makin heran. Jika Victoria mendekati pos penjagaan malam itu, mengapa pertemuan itu justru tidak diingat Jennings? Padahal pertemuan dengan Victoria seharusnya menjadi sesuatu yang paling diingat. Jennings orang yang sangat detail, bahkan ketika Jennifer meninggalkan tempat parkir pun dia bisa mengamati itu.
Mendengar pengakuan Victoria, Jennings hanya berkata pendek. “Oh, ya. Aku memang bertemu dengan perempuan Afrika-Amerika.” Jennings menggambar jenis kendaraan yang dikendarai Victoria. Gambarannya tentang mobil Victoria ternyata benar.
Safarik menangkap keganjilan pada cerita Jennings. Jika Jennifer yakin Mustang itu diparkir di bawah lampu, tentunya penjaga juga mengetahuinya. Bukankah sejak siang mobil itu diparkir di sana? Mengapa Jennings menunjukkan mobil itu diparkir di tempat yang jaraknya 100 m dari yang ditunjukkan Jennifer? Safarik yakin, sebenarnya Jennings ada di dekat Mustang biru ketika penembakan terjadi.
Si serba tahu kian mencurigakan
Di depan polisi yang memeriksanya, Jennings seperti biasa banyak bicara. Saat ditanya pendapatnya tentang Michelle, dia menjawab sambil cengar-cengir, “Saya mengira dia pelacur. Yah ... bajunya seperti itu. Memakai tank top dan rok sangat pendek. Ketika penembakan terjadi, saya hanya melihat dari jauh. Dadanya kena peluru. Mengenaskan sekali nasib gadis itu.”
Polisi dan detektif curiga. Bagaimana Jennings bisa dengan jelas menunjukkan detail itu padahal dari pos yang tak pernah ditinggalkannya itu hanya ada sinar temaram?
Toh Jennings menunjukkan keinginannya membantu polisi. “Tembakan pertama di dadanya itu yang fatal akibatnya. Tiga tembakan di kepala dan leher bukan tembakan mematikan. Saya bisa melihat tangannya masih berkedut setelah tembakan di dadanya. Setelah itu saya tidak tahu lagi. Bukankah saya tidak meninggalkan pos sampai Detektif Longshore datang,” kisah Jennings.
Safarik tak bereaksi. Otaknya berpikir cepat. Jika bukan karena senang membual, cerita Jennings ini pasti benar-benar nyata. Dari mana dia tahu bahwa tembakan yang mematikan itu di dada? Bukankah tembakan di kepala juga dapat mematikan? Yang lebih membuat Safarik curiga adalah hasil autopsi sama sekali belum keluar tetapi Jennings sudah tahu lebih detail. Sayangnya, Safarik dan Longshore tidak memiliki bukti fisik.
“Bagaimana kau tahu itu?” tanya Safarik dengan ekspresi datar. Jennings diam sejenak lalu berkata. “Yah .... saya berspekulasi. Menurut saya, kira-kira begitulah yang terjadi. Saya ingin membantu polisi. Saya merasa bersalah karena ada pembunuhan pada saat saya berjaga.”
Longshore tak sabar, “Bagaimana mungkin kau bisa tahu tangan Michelle berkedut jika jarak antara Mustang biru dengan pos penjagaan 350 m? Bukankah engkau ada di sana ketika penembakan itu terjadi?” Jennings mengelak. “Mungkin saja analisisku itu keliru. Abaikan saja.”
Jennings kelihatannya tahu terlalu banyak. Dia menjadi tersangka, tetapi tidak ditangkap. Polisi tidak menemukan bukti fisik selain posisinya yang ada di dekat pembunuhan. Polisi juga tidak menemukan sejarah kriminal dalam hidup Jennings.
Raymond Lee Jennings pun terpaksa dilepas. Jennings yang tinggal di dekat rumah O’Keefe belakangan tidak lagi menjadi penjaga taman. Dia bekerja di perusahaan dealer mobil. Detektif terus mengawasi Jennings dan terus mengejar petunjuk lain, termasuk memanfaatkan berbagai media untuk membantu bahan bakar penyelidikan.
Mestinya di tempat kejadian
Di pihak lain, keluarga O’Keefe sangat terpukul. Apalagi mereka tahu sebenarnya penyidik dan detektif sudah mengarahkan tuduhan terhadap Jennings. Namun karena ketiadaan bukti fisik, sekarang tersangka pembunuhan putri mereka malah bisa dengan tenang berkeliaran di dekat rumah O’Keefe.
Pat dan Mike O’Keefe mendatangi pengacara sipil Rex R. Parris. Parris menyewa detektif swasta dan melakukan penyelidikan sendiri. Rekonstruksi dilakukan menggunakan Mustang biru yang diparkir di bawah lampu kemudian berpindah tempat. Dari pos penjaga yang dulu ditempati Jennings, sama sekali tidak terlihat situasi di dalam mobil. Jadi, jika Jennings memang mengetahui soal tembakan di dada dan tangan Michelle masih berkedut, sudah pasti dia ada di dekat lokasi penembakan.
Tepat setahun setelah peristiwa penembakan, keluarga O’Keefe mengajukan gugatan jutaan dolar AS terhadap Kota Palmdale, perusahaan pengamanan, dan Raymond Lee Jennings atas kematian Michelle.
Ketika Jennings kembali dikonfrontasi pada musim panas 2002, dia berkali-kali menyangkal telah membunuh Michelle. “Kesalahan yang saya lakukan pada pemeriksaan yang lalu adalah saya terlalu banyak bicara. Maksud saya sebenarnya hanya ingin menganalisis kemungkinan-kemungkinan berkaitan dengan penembakan itu, tapi justru membuat saya terjerat.”
Dia lantas bertanya dengan heran. “Jika kasus yang terjadi tahun 2000 itu memang cukup bukti, saya pasti tidak akan duduk di sini. Saya sudah ada di dalam penjara. Bukankah polisi tidak mendapatkan bukti apa pun?”
Parris menunjukkan bukti lain. Dia merekam semua pembicaraan dan waktu pada telepon seluler Michelle. Jennifer dan Michelle masuk ke tempat parkir pada pukul 21.23 tepat seperti yang diceritakan Victoria yang melihat petugas berpatroli jalan kaki di tempat parkir. Pukul 21.25 mobil berpindah ke tempat parkir yang berjarak 100 m. Pada 21.30 terjadi penembakan. Namun hanya sebatas itu upaya yang bisa dilakukan.
Tiga tahun berlalu, kasus kematian Michelle masih juga jadi pekerjaan rumah Longshore. Dia mengendapkan kasus itu sambil menyelidiki truk merah yang disebut-sebut Jennings. Tetapi tidak satu pun truk merah yang mendekati Antelope Valley waktu itu. “Satu-satunya saksi dan orang yang tahu tentang penembakan itu hanya Jennings,” kata Longshore.
Ketika Jennings akan diajukan ke pengadilan, Jaksa Robert Foltz menggeleng. “Yang terberat adalah karena tidak ada bukti fisik.”
Melihat dari sudut berbeda
Jim Jeffra menimang-nimang lisensi yang baru didapatkan, lisensi sebagai detektif swasta. Aku akan melihat kasus The Girl with The Blue Mustang ini dari pandangan berbeda. Aku akan melihat dari sisi Jennings tidak membunuh.” Berbulan-bulan dia menelusuri setiap jengkal wilayah di Antelope Valley, menanyai banyak orang, termasuk Jennings. Kemudian Jeffra menemui Mike O’Keefe.
Mereka menyaksikan seluruh video tentang pengakuan Jennings. Pada saat Jennings mengakui bahwa dia melihat denyut nadi Michelle dan tangannya berkedut, Jeffra mematikan video itu.
“Saya tahu, dia yang membunuh Michelle,” kata Jeffra. Dia kemudian membuat presentasi dengan rekaman yang menguatkan bahwa Jennings sangat banyak karena dia ada di dekat lokasi pembunuhan.
Sayangnya, ketika presentasi selesai dan penangkapan akan dilakukan di akhir tahun 2004, Jennings sudah pergi jauh. Dia mengajukan diri menjadi prajurit di Irak. Jaksa tidak bisa menangkapnya.
Longshore terus mengikuti aktivitas Jennings. Ketika tahu masa pengabdian Jennings di Irak berakhir beberapa hari sebelum Thanksgiving 2005, detektif itu merapat. Begitu bus yang dinaiki Jennings berhenti di halte, Jennings dipaksa turun di bawah todongan pistol. Dia ditangkap dan ditahan di Los Angeles. Ketika Jennings mengajukan permohonan penahanan luar, hakim minta uang jaminan AS 1 juta. Jennings tidak bisa memenuhi itu sehingga harus meringkuk dalam tahanan hingga musim semi 2008. Jaksa yang menangani kasus ini adalah Michael Blake.
Menurut Blake, Jennings malam itu berjaga. Ketika dia melihat Michelle, dia mengira gadis itu pelacur karena mengenakan pakaian yang sangat minim. Pelaku sempat memelorotkan tank-top yang dikenakan Michelle. Namun Michelle berontak. Jennings memukulnya. Sangat mungkin Michelle mengenali Jennings karena rumah mereka berdekatan. Pelaku panik ketika tahu bahwa gadis itu bukan pelacur dan bahkan orang yang dia kenal. Dia lalu melepaskan tembakan.
Sidang berlangsung enam minggu dengan 12 juri sebagai penentu. Tanpa bukti fisik selain bukti forensik, para juri berdebat alot. Pada sidang pertama, sembilan juri menyatakan Jennings bersalah, tiga lainnya menyatakan Jennings bersih. Pada sidang berikutnya, hanya satu yang menyatakan Jennings pantas dilepas. Pada sidang terakhir sebagai penentuan, keluarga O’Keefe datang. Mereka berharap mendapatkan titik terang setelah 10 tahun Michelle dibunuh.
“Ini Februari kesepuluh yang sangat berat. Kami berharap ada yang bertanggung jawab atas kematian Michelle,” kata Mike O’Keefe. Sidang kali ini benar-benar menegangkan karena inilah keputusan yang ditunggu selama 10 tahun.
Namun Jennings terlihat santai. Dia sempat minta maaf kepada keluarga O’Keefe sebelum duduk di kursi pesakitan, Februari 2010. Ketika juri yang telah merekonstruksi kejadian di Antelope Valley, bersidang, berdebat, akhirnya mereka menyatakan bahwa Jennings bersalah. Potongan-potongan pengakuan Jennings menjadi rangkaian kesaksian yang justru menjeratnya sebagai pesakitan. Jennings dikenai hukuman 40 tahun.
Seorang juri berkata, “Saya punya anak gadis seusia Michelle. Ini tidak boleh lagi terjadi. Kesalahan yang mengakibatkan kematian tidak bisa dimaafkan.” (Endah Imawati)
" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448361/terlalu-banyak-bicara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661951524000) } } }