Intisari Plus - Isabelle Eberhardt menentang adat kebiasaan dan memilih kehidupan yang penuh romantika dan bahaya di Sahara.
-------------------------
"Aku hanyalah seorang yang nyentrik, pemimpi yang mendambakan kehidupan yang bebas dan nomadik, jauh dari dunia yang beradab...," tulis Isabelle Eberhardt pada Juni 1901. Hidupnya terdengar amat sederhana dan romantis. Kenyataannya, kehidupannya jauh dari bayangan itu. Ia menjalani kenyataan yang asing dan sulit, mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan kehidupan di bawah naungan terik matahari yang ganas Gurun Pasir Sahara.
Ia melanggar semua peraturan yang harus diikuti kaum perempuan pada zamannya; Isabelle benar-benar mengagetkan sebagian besar orang dan menjadi inspirasi bagi ribuan orang lainnya. Setelah wafat, ia dikenal sebagai 'Amazon dari Sahara' atau bagi sebagian orang: 'seorang nomadik yang baik'.
Isabelle lahir di Swiss, Februari 1877. Ibunya pelarian asal Rusia yang meninggalkan suaminya, seorang jenderal Rusia, tahun 1871. Sang ibu tak pernah mengakui siapa ayah Isabelle. Ia memberi nama gadisnya pada putrinya—Eberhardt.
Ayahnya kemungkinan adalah tutor keluarga, Alexander Trophimowsky, adalah seorang pria yang kuat dan aneh yang menanamkan pengaruh besar pada masa kanak-kanak Isabelle. Mereka tinggal di sebuah vila sederhana di luar kota Jenewa.
Trophimowsky menolak menyekolahkan Isabelle atau kakak perempuannya serta ketiga saudara laki-lakinya atau mengizinkan mereka berada di pelataran vila, sehingga mereka diisolasi dari dunia luar. Mereka semua berbahasa Prancis dan Rusia. Trophimowsky juga mengajarkan Isabelle bahasa Latin, Italia, sedikit Inggris, juga Arab.
Dalam lingkungan yang asing itu, Isabelle menjadi seorang pemimpi, keluyuran di pelataran vila sendirian. Ia membaca amat banyak buku dan mulai tertarik pada agama Islam ketika ia masih belia. Hidupnya dalam dunia angan-angan, dan ia terbiasa menemukan identitas baru bagi dirinya. Trophimowsky mendorongnya berpakaian seperti anak laki laki, dengan rambut dipangkas pendek. Siapa dirinya? Siapa ayahnya? Isabelle tak pernah benar-benar tahu.
Sepanjang itulah tumbuh keinginan dalam dirinya untuk melarikan diri. Negeri impiannya adalah Afrika Utara dan Gurun Pasir Sahara. Akhirnya, ia membujuk ibunya untuk ikut bersamanya. Mereka berangkat Mei 1897 ke Bône (sekarang Annaba), di sebelah utara Aljazair.
Di situlah Isabelle mulai menciptakan identitas 'gurun pasir'nya. Ia berpakaian bagai seorang pemuda dan menamakan dirinya sendiri Si Mahmoud Saadi, dan mengaku sebagai cendekiawan Al-Qur'an asal Tunisia. Dalam penyamaran ini, ia dapat bergaul bebas dengan warga Bône, dan segera menguasai bahasa Arab Aljazair yang menjadi bahasa percakapan. Ia merasa benar-benar aman, dan betah seperti di rumah.
Tapi, impian itu tidak bertahan. Ibunda Isabelle meninggal di Bône, dan Isabelle terpaksa kembali ke Jenewa. Dalam tahun itu, tutornya yang renta, Trophimowsky, juga wafat, meninggalkannya sedikit uang. Kini ia dapat melakukan yang ia sukai. Ketika dukacitanya telah berlalu, Isabelle sadar, ia bebas kembali ke Afrika Utara yang dicintainya.
Pada Juni 1899, ia pun berangkat ke Tunis. Di sana, sekali lagi ia menjadi Si Mahmoud Saadi, dan membuat rencana untuk memenuhi impian sepanjang hidupnya—menuju gurun pasir.
Di Tunisia dan Aljazair pada akhir abad ke-19, tidak ada jalan mudah yang menghubungkan kota-kota di gurun pasir, Satu-satunya jalan bagi Isabelle untuk mencapai tujuannya, Ouargla di Aljazair, adalah dengan berkuda ditemani para pemandu yang menunggang keledai.
Perjalanan itu penuh warna. Di sepanjang rute, sedikit air yang ditemukan, dan Isabelle terus-menerus kehausan serta menderita demam tinggi. Meskipun ada, sumur tidak selalu mudah ditemukan, terutama jika rombongan tiba malam hari. Suatu ketika mereka mencari sebuah sumur dalam gelap gulita dengan korek api sebagai satu-satunya sumber cahaya pemandu mereka. Ia dan para pemandunya tidur di bawah cahaya bintang, terbungkus dalam burnous, baju yang dipakai penduduk di wilayah itu.
Diperlukan delapan hari untuk mencapai kota Touggourt—perjalanan sepanjang 220 kilometer (135 mil). Di sana Isabelle disambut dan ia meminta izin untuk melanjutkan perjalanan ke selatan menuju Ouargla. Tetapi, semakin jauh perjalanannya semakin berbahaya, dan penguasa Prancis mengawasinya lebih dari yang ia bayangkan.
Suku nomadik di gurun pasir, Tuareg, pernah membunuh sejumlah orang Eropa yang dengan naif menyangka mereka akan mendapat sambutan. Tidaklah mengejutkan bila penguasa Prancis menolak memberinya izin untuk melakukan perjalan lebih jauh ke selatan.
Sebagai gantinya, ia melanjutkan perjalanan ke Souf, bagian Great Eastern Erg (Padang Pasir Timur Raya), yang terdiri dari sejumlah oasis yang membentang di antara bukit pasir putih bergelombang dan kolam garam. Kota utama di Souf, El Oued, menjadi tujuan Isabelle. Perjalanan itu merupakan penyeberangan gurun pasir yang sulit—memerlukan waktu lima hari untuk menyelesaikan perjalanan sepanjang 100 kilometer (60 mil).
Tapi, sesampai di sana, oasis menawan hatinya. Hingga sekarang, El Oued merupakan salah satu kota terindah di Aljazair, yang juga dikenal sebagai 'Kota Seribu Kubah' karena arsitekturnya. Rumah-rumahnya yang berkubah dicat putih, semak belukar pohon palmanya hijau dan rimbun, dan Sahara hanya beberapa langkah lagi, pasirnya yang indah membentang ke seluruh penjuru. Bagi Isabelle, rasanya seperti di rumah.
Isabelle menyelesaikan perjalanan pulang baliknya dalam beberapa pekan: sebuah perjalanan yang luar biasa bagi seorang wanita Eropa ketika itu. Yang lebih mengejutkan adalah masyarakat setempat yang ia jumpai menerimanya dengan terbuka—terutama para pemimpin agama.
Mungkinkah karena penyamarannya? Mungkin saja ... Tapi, Isabelle berbeda dari kebanyakan orang Eropa, dalam hal keikhlasannya untuk menjadi bagian dari kehidupan Afrika Utara. Ia tidak seperti para penjajah Prancis yang merampas negeri; ia meyakini agama Islam dengan penuh semangat, dan dapat membahas Al-Qur'an dan Islam secara cerdas.
Para pemimpin agama mungkin tahu bahwa mereka berbicara dengan seorang perempuan, tapi mereka memaafkannya karena Isabelle benar-benar meyakini segala perkataannya.
Isabelle kembali ke Eropa, tapi tidak lama karena gurun pasir memanggilnya kembali. Saat itu, ia memutuskan bukan cuma untuk melakukan perjalanan. Ia kembali untuk menetap di gurun pasir.
El Oued telah menawan hatinya. Di sana, pikir Isabelle, ia dapat memiliki kehidupan dengan kedamaian; ia dapat berkonsentrasi menjadi seorang penulis atau mengembangkan keyakinan agamanya. Ia akan dikelilingi pemandangan dan suara-suara yang ia senangi.
"Oh Sahara, Sahara yang mengancam, sembunyikan jiwamu yang gelap dan indah dalam kehampaan yang sunyi!" tulisnya. "Oh ya, aku mencintai negeri berpasir dan berbatu ini, negeri unta dan orang-orang primitif serta padang garam yang tandus dan luas."
Demikianlah, setelah sebuah perjalanan lain yang melelahkan dan panjang, ia tiba di El Oued dan la bersuka ria dengan kedatangannya. "Aku jauh dari semua orang, jauh dari peradaban serta kepura-puraanya yang munafik. Aku sendirian, di negeri Islam, di tengah gurun pasir, merdeka ...," tulisnya dengan riang.
Isabelle menjalani kehidupan yang sederhana, berbaur dengan masyarakat dan bertemu dan para pria suci setempat. la membeli seekor kuda dan menamainya Souf, sesuai nama wilayah itu, dan menjelajahi bukit pasir putih pada malam hari dengan berkuda. Ia menuliskan keindahan bukit pasir dan matahari yang terbenam di gurun pasir: "Ke arah barat ... matahari serupa bola darah sungguhan yang terbenam dalam cahaya emas dan merah. Lereng bukit pasir tampak terbakar di bawah barisan itu, dalam bayang-bayang yang mendalam dari waktu ke waktu."
Dalam menjelajahi bukit-bukit pasir, Isabelle sering ditemani seorang tentara Aljazair bernama Slimène, yang kemudian menjadi suaminya—meskipun persahabatan ini menjadi salah satu alasan mengapa orang beranggapan buruk tentang Isabelle. Pada umumnya, orang Eropa menganggap dirinya lebih unggul dari penduduk Afrika Utara, dan tidak bergaul dengan mereka. Kebanyakan orang sangat terkejut dengan gagasan orang Eropa benar-benar menikahi orang Aljazair. Namun bersama Slimène, dan kehidupan di El Oued, Isabelle merasa lebih bahagia dari sebelumnya.
Pada saat itu, ia mengemban kepercayaannya satu langkah lebih jauh. Ia mulai berkenalan dengan para pemimpin sekte Sufi tertua di dunia—persaudaraan Qodariah. Hanya orang-orang pilihan dapat menjadi anggota sekte ini. Dua pemimpin Qodariah, Sidi el Hussein dan Sidi el Hachemi, bersikap hangat terhadap Isabelle, meskipun hampir dipastikan mereka sebenarnya mengetahui penyamarannya itu. Tak lama kemudian, mereka mengangkatnya menjadi anggota sekte—sesuatu yang tak pernah terjadi pada seorang Eropa, apalagi perempuan.
Tapi, impian Isabelle atas kehidupan yang damai tidak bertahan. Kenyataannya, ia agak naif dengan mengira bahwa ia dapat bersembunyi begitu saja di gurun. Penguasa Prancis mengetahui tentang dirinya bahkan sebelum ia tiba, dan tanpa sepengetahuannya, ia diawasi dengan ketat selama tinggal El Oued. Mengapa mereka sedemikian mencurigainya? Isabelle tidak membahayakan siapa pun.
Permasalahannya penguasa Prancis di Aljazair takut terhadap orang-orang di sekeliling mereka. Mereka takut warga Aljazair bangkit melawan mereka, dan memperjuangkan kemerdekaannya. Isabelle, meskipun orang Eropa, adalah seorang Muslim dan mencintai penduduk setempat. Sebagian mengira ia mungkin mendorong penduduk setempat untuk memberontak melawan Prancis. Bagaimana pun, cara hidupnya mencengangkan—berpakaian seperti seorang pria, berjalan-jalan sendirian ..., dan di luar dugaan, hubungan Isabelle dengan Slimène bukan rahasia lagi. Ada desas-desus bahwa keberadaan Isabelle menimbulkan ancaman di banyak lapisan, tidak saja bagi penguasa, tapi juga pemikiran masyarakat tentang kesopanan.
Sementara itu, kehidupan Isabelle yang 'damai' semakin ganas. Cuaca di Sahara bisa menjadi kejam—angin mengaduk aduk pasir, merontokkan rumah-rumah, dan membuat kehidupan sengsara, Saat musim dingin, cuaca juga menggigit. Dan Isabelle kehabisan uang. la selalu bercita-cita menjadi penulis dan mencari uang dengan cara itu, meski tidak mudah. Sekarang, ia terlilit hutang. Dia kerap jatuh sakit, dan hampir kurang makan.
Kemudian, datang berita buruk. Angkatan bersenjata menugaskan Slimène keluar El Oued, ke kota Batna, jauh di utara. Isabelle tidak mengetahuinya. Penguasa berharap, dengan menyingkirkan Slimène, mereka dapat membuang Isabelle. Mereka yakin Isabelle akan menyusul Slimène—yang ternyata memang benar.
Sebelum Isabelle pergi, terjadi peristiwa yang luar biasa buruk. Ketika itu, ia mengunjungi beberapa teman Sufinya, dan mampir di sebuah desa bernama Béhima. Isabelle bertamu ke rumah seorang pria kaya setempat. Ia duduk di pelataran dikelilingi para anggota Qodariah lain. Saat sedang duduk tenang bersama-sama sambil membantu seorang pria muda menerjemahkan sepucuk surat, tiba-tiba ia merasakan hantaman kuat di kepalanya.
Sebelum sempat berpikir dan bereaksi, ada dua pukulan lagi, kali ini mengenai lengan kirinya. Ia menengok dan melihat seorang pria dengan kasar melayangkan sepucuk senjata ke kepalanya, dan teman-temannya anggota Qodariah melompat melindunginya. Terguncang dan bingung, Isabelle pun melompat dan berlari menuju dinding, tempat sebilah pedang bergantung. Teman-temannya telah melucuti senjata si penyerang, tapi pria itu berhasil melarikan diri.
"Akan kubawa senjata untuk menghabisinya!" penyerang itu berteriak saat menghilang.
Orang-orang Qodariah itu kembali mengurus Isabelle, yang banyak mengucurkan darah dari lukanya.
"Dengan inilah pengecut itu melukaimu!" teriak salak satu dari mereka, seraya memperlihatkan sebilah pedang yang berlumuran darah.
Tidak ada keraguan siapa penyerang itu. Beberapa orang yang hadir mengenalinya, meskipun Isabelle tidak. Namanya Abdallah Mohammed bin Lakhdar, berasal dari desa Béhima juga. Ia anggota kelompok Sufi lain bernama persaudaraan Tidjanya, sekte rival terbesar Qodariah. Pemimpin Tidjanya segera dipanggil, dan diminta menangkap pelaku penyerangan. Permintaan itu ditolak.
"Jika Anda tidak menemukannya, kami akan mengumumkan Anda membantu terjadinya kejahatan," pemimpin itu dihardik. Terpaksa, pemimpin Tidjanya itu mengirim orang untuk mencari Abdallah—sebuah tugas yang tak sulit di sebuah desa kecil. Abdallah tertangkap dan dibawa ke rumah pria kaya tempat Isabelle berbaring dalam keadaan terluka.
Abdallah dibawa ke kamar tempat Isabelle terbaring berdarah di atas selembar kasur. la belum mendapat pengobatanı untuk luka-lukanya yang cukup serius. Abdallah malah diinterogasi di hadapannya, dan Isabelle ikut mengajukan lebih banyak pertanyaan.
"Mengapa engkau melakukan hal yang buruk itu?" ia ditanya.
Pertama, Abdallah berpura-pura gila. Tapi, tak satu pun penduduk setempat mempercayainya, karena mereka amat mengenalnya. Ia pun menanggalkan kepura-puraannya, dan cuma menyatakan bahwa Tuhan telah mengirimnya untuk membunuh Isabelle.
"Tapi, kau tidak mengenalku," kata Isabelle. "Dan aku tidak mengenalmu."
"Memang tidak,"Abdallah mengiyakan. "Aku tak pernah bertemu engkau sebelumnya. Tapi, bagaimana pun, aku harus membunuhmu. Jika orang-orang ini membebaskanku, aku akan berusaha melakukannya lagi."
"Mengapa?" tanya Isabelle. "Mengapa engkau menantangku?"
"Bukan apa-apa. Engkau tidak melakukan kesalahan terhadapku. Aku tidak mengenalmu, tapi aku harus membunuhmu."
Jawabannya sama sekali tidak masuk akal.
"Tahukah engkau dia seorang Muslim?" tanya salah satu dari orang lain.
"Ya," jawab Abdallah.
Kejadian itu sangat misterius. Beberapa jam kemudian, seorang dokter tiba dari El Oued, untuk mengobati Isabelle. Isabelle amat beruntung—kain sorban telah menangkis pukulan ke kepalanya. Tanpa kain itu, bisa jadi Isabelle telah tewas dengan mudah. Cedera yang paling parah terjadi di siku kirinya, karena tersayat menembus tulang.
Menunda penyembuhan berarti Isabelle kehilangan banyak darah. Ia amat lemah. Hari berikutnya ia dipindahkan ke rumah sakit militer di El Oued, tempat ia menjalani masa penyembuhan hampir sebulan. Itulah akhir dari syair gurun pasirnya. Setelah cukup sehat, ia pergi ke utara untuk bergabung dengan Slimène di Batna.
Setelah penyerangan itu, pemerintah Prancis tetap bertekad untuk menyingkirkan Isabelle. la diasingkan dari Aljazair, dan hanya diberi izin masuk saat persidangan Abdallah, yang berlangsung empat bulan kemudian.
Sidang itu sedikit menyingkap misteri penyerangan terhadap Isabelle. Pada persidangan, Abdallah tampak menyesalinya, dan memohon ampunan Isabelle. Tapi, ia tetap tidak menjelaskan alasannya melakukan penyerangan itu. Isabelle sendiri yakin, pria itu adalah pembunuh bayaran yang dipekerjakan penguasa Prancis atau kelompok Tidjanya. Ada desas-desus bahwa Abdallah dapat melunasi hutangnya dan membeli kebun palem. Meskipun desas-desus itu benar. Abdallah akhirnya membayar perbuatannya itu. Pengadilan mendakwanya pasal pembunuhan berencana, dan ia dihukum seumur hidup kerja fisik yang keras.
Isabelle terkejut. Hukuman itu mengerikan, terutama karena Abdallah beristri dan memiliki anak. Yakin bahwa ia bukan penjahat sungguhan, Isabelle memohon penguasa agar bersikap lebih lunak. Mereka menanggapi dengan mengurangi hukuman Abdallah menjadi 10 tahun penjara.
Setelah persidangan itu, Isabelle sekali lagi dibuang ke Prancis, tempat ia hidup dengan saudara laki-lakinya di Marseilles. Slimène ikut dengannya, dan mereka menikah. Pernikahan itu memberi Isabelle hak untuk kembali ke Aljazair—tapi tanpa disadarinya, itulah kepulangan terakhirnya.
Isabelle merasa sulit untuk tinggal dalam jangka lama di satu tempat. Bahkan di Aljazair, kota-kota pantai utara tidak sepenuhnya memuaskan hasratnya. Gurun pasir, jauh di selatan selalu memanggilnya. Ketika datang kesempatan bekerja dengan angkatan bersenjata Prancis di selatan pegunungan Atlas, ia mengambilnya.
Pekerjaan Isabelle melakukan perjalanan, mendengarkan suku-suku nomadik, dan membantu melicinkan hubungan antara mereka dan penjajah Prancis. Pekerjaan itu ganjil baginya, karena ia sebenarnya bukan pendukung pemerintah Prancis. "Sekalipun gaya hidup mereka terbelakang, kesederhanaan suku Bedouin jauh lebih unggul dari orang-orang Eropa yang idiot yang menyusahkan dirinya sendiri," tulisnya. Tapi, bagian angkatan bersenjata tempat ia bekerja ingin meneruskan penjajahan dengan persuasi dan pemahaman bersama ketimbang dengan kekerasan. Isabelle merasakan itu sebagai hal yang lebih baik dari dua pilihan yang buruk.
Tentu saja, pekerjaan itu memungkinkan ia kembali ke gurun pasir. Dia pindah dari kota ke kota, dan tinggal sementara di sebuah biara, karena ia berhak berlaku seperti calon anggota Qodariah.
Tapi, kesehatannya memburuk. Seperti biasa bila berada di gurun, ia terjangkit demam yang umumnya disebabkan malaria, yang kian hari kian memburuk. Ia dibawa ke rumah sakit militer di kota Aïn Séfra, tempat pertemuan pegunungan Atlas dan Gurun Pasir Sahara. Ia menghabiskan hampir tiga minggu di sana pada Oktober 1904, sebelum keluar.
Slimène, suaminya, yang tetap berada di utara Aljazair karena tugas, datang untuk menemaninya ketika ia meninggalkan rumah sakit, 20 Oktober. Pertemuan itu berlangsung singkat karena 21 Oktober banjir bandang menyapu Aïn Séfra.
Gurun pasir adalah tempat segala hal ekstrem. Hampir setiap saat, cuaca sangat kering, panas membakar di siang hari, dan kadang dingin menggigit pada malam hari. Tapi, bila hujan turun di suatu tempat yang dekat, terutama jika ada pegunungan, akibatnya dapat menghancurkan.
Hujan tidak turun di Aïn Séfra dalam minggu-minggu terakhir. Wadi, palung sungai yang mengalir melalui kota, benar-benar kering. Tapi, di suatu tempat di pegunungan Atlas pasti turun hujan, karena tiba-tiba, pagi hari 21 Oktober, terdengar deru besar dan banjir dahsyat menyentak gunung, menyapu apa saja yang berada di jalannya. Air kuning keruh yang mengamuk menangkap sampah, batang pohon, dan semak-semak, menghantam rumah-rumah dan menghanyutkan manusia.
Waktu untuk bereaksi sangat singkat, dan banjir bandang itu berhenti secepat datangnya. Baru setelah itu kerusakan yang sesungguhnya dapat diketahui. Lebih dari 20 orang tewas di antara mereka adalah Isabelle, yang ditemukan terkubur di bawah sampah-sampah di dalam rumahnya. Melihat betapa besar ia menyelami kehidupannya, sangat mengherankan bahwa ia baru berusia 27 tahun ketika wafat.
Kemudian
Setelah kematian Isabelle, temannya mengumpulkan semua tulisan Isabelle untuk diterbitkan. Ia menjadi pahlawan perempuan yang diidamkan di lingkungan Paris. Banyak tulisan tentang dirinya, termasuk dua drama, dan orang masih memikirkan kehidupannya yang kontroversial—sampai sekarang.
Yang membuat ia menonjol di antara "petualang padang pasir" pada masanya adalah niat tulusnya untuk menjadi penduduk setempat. Ia tidak sendirian dalam melakukan penyamaran; contoh yang paling terkenal adalah penjelajah Richard Burton, yang menyamar sebagai seorang Muslim untuk memasuki kota suci Mekah. Tapi, ia seorang Kristen yang sekadar ingin memasuki tempat yang terlarang baginya. Isabelle berbeda. Meskipun identitasnya sebagai Si Mahmoud Saadi membantunya untuk bergabung, identitas itu juga yang membuatnya nyaman. Ia bukan seorang pria, bukan pula seorang Tunisia, tapi ia seorang cendekiawan Al-Qur'an seperti pengakuannya—dan karena itulah rakyat Afrika Utara mencintainya.
(Gill Harvey)
" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258533/penyamaran-di-gurun-pasir" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177425000) } } }