array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3517448"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/anak-kunci-menguak-misteri_georg-20221009064456.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(138) "Lava diminta untuk mengusut penyebab kematian Agus Surya Laksana. Ternyata seorang wanita yang hendak membantunya, justru tewas tertembak."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/anak-kunci-menguak-misteri_georg-20221009064456.jpg"
      ["title"]=>
      string(26) "Anak Kunci Menguak Misteri"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-10-09 18:48:02"
      ["content"]=>
      string(24472) "

Intisari Plus - Lava diminta untuk mengusut penyebab kematian Agus Surya Laksana. Ternyata seorang wanita yang hendak membantunya, justru tewas tertembak.

-------------------

Lava mengibas-ibaskan koran ke sekitar wajahnya untuk mengurangi panas yang menyengat pada suatu hari di pertengahan bulan April. Ada yang membuatnya bertahan untuk menunggu di halte tak jauh dari bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, itu. Seorang wanita akan memberi barang bukti yang bisa mengungkap kasus pelik yang sedang ditanganinya!

Setelah berdamai dengan kegelisahan, sosok yang dinanti itu menampakkan diri. Meski belum pernah bertemu dan hanya berbicara lewat telepon, insting Lava yang sudah terasah sebagai detektif sewaan mengatakan bahwa dialah wanita yang kemarin bicara di telepon. Map cokelat yang ditenteng wanita itu justru lebih menarik perhatian Lava dibandingkan dengan wajah cantiknya.

Lava tidak memperhatikan ada sepeda motor yang melaju kencang dari arah Kebon Kacang. Tiba-tiba, dua orang yang berboncengan di atas sepeda motor itu menembak si wanita, mengambil mapnya, dan kabur. Kegembiraan yang dirasakan Lava tiba-tiba menguap seiring dengan limbungnya wanita itu ke tanah.

Dari ketercekatan, Lava kini terbawa masuk ke dalam kepelikan. Ternyata ada pihak yang menginginkan data-data di dalam map cokelat itu. Suara wanita dalam telepon kemarin seperti terngiang kembali, “Saya harus memberikannya kepada Anda. Saya tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Saya pikir ini yang terbaik, sebelum semuanya semakin memburuk. Saya tahu Anda butuh apa yang saat ini saya miliki. Bukti ini ada kaitannya dengan kematian Pak Agus Surya Laksana sebulan lalu.”

 

Agus yang ambisius

Agus Surya Laksana adalah pemilik PT Aditya Laksana (PT AL) yang ditemukan tewas dengan cara tragis di kamar rumahnya awal bulan Maret lalu. Salah seorang pembantu menemukannya dalam posisi tertelungkup dengan wajah membiru. Banyak kalangan yang masih tak percaya kematiannya akibat bunuh diri. Pihak kepolisian belum mengumumkan hasil autopsi dan masih mengembangkan praduga bahwa kematian sang pengusaha belum terkait dengan usaha pembunuhan.

Lava merasa yakin, informasi dari wanita itu akan membantunya menguak kebenaran soal kematian Agus. Lava sendiri diminta oleh putri tunggal Agus, Irene Kusumah, untuk menelisik kasus ini. “Saya merasa ada sesuatu yang janggal dalam kematian ayah saya. Maka, mengingat reputasi Anda - Ignatius Benedic Plavastack - saya meminta tolong agar kasus ini menjadi jelas,” pinta Irene.

Kini Lava harus berkutat dengan dokumen-dokumen tua yang diperolehnya dari Irene untuk menggali masa lalu. Sendirian ia menekuni sebuah bundel besar dokumen tua itu. Perhatian lelaki peranakan Indo-Rusia itu sedang tumpah pada dokumen tertanggal 26 Juli 1960. Salah satunya berisikan soal pendirian perusahaan PT AL.

Dari dokumen itu diketahui, PT AL didirikan melalui penyatuan empat perusahaan lain, milik Agus Surya Laksana dan beberapa rekannya. Agus didaulat sebagai direktur utama sekaligus presiden komisaris karena memegang 50% saham perusahaan. Sisanya terbagi atas nama Joko Sapoetra, Ruslan Adrian, dan Ricky Bagaskoro. Selain dokumen tadi, masih ada tiga dokumen lain yang berkaitan dengan PT AL. Salah satunya berisi tentang rencana PT AL mencaplok sebuah department store terkenal beberapa waktu ke depan.

Gerak laju PT AL memang mengagumkan. Bahkan cenderung sangat ambisius. Agus memang ingin dikenal orang. la sendiri terkenal ambisius, meski ditopang visi dan perhitungan yang matang, selain keberuntungan. Namun, setelah 46 tahun malang-melintang, sepertinya keberuntungan pria itu baru saja habis.

Lava merapikan dokumen-dokumen setinggi pinggang itu. la mengeluarkan sapu tangannya dan menyeka wajah dan lehernya yang basah oleh keringat. Dirapikannya pula buku catatannya. Kalau bukan karena Irene yang menyewanya, sesungguhnya ia tidak tertarik dengan kasus ini.

Dalam perjalanan menuju kantor Irene, Lava merenung. Bisa jadi Irene adalah tersangkanya dan penyewaan dirinya hanya kedok semata. Motifnya tentu harta. Namun, bukankah Irene adalah pewaris tunggal? Tanpa terasa ia sudah sampai di perkantoran tempat Irene berkantor.

 

Dua transaksi hilang 

“Ada kemajuan yang Anda peroleh?” tanya Irene, bahkan sebelum Lava memosisikan pantatnya dengan sempurna.

“Eh, ya ... ya,” Lava gelagapan. “Tidak banyak. Setelah penembakan itu ... Anda tahu ... ya saya pikir harus memulai dari sisi lain. Masalahnya begitu rumit. Jujur saja, sekarang kita butuh bukti baru untuk melangkah ke penyelidikan selanjutnya. Atau ... Anda berniat menghentikan sampai di sini?”

“Tidak!” singkat dan sedikit keras Irene mengatakan itu. “Kematian ayah saya harus diusut. Menjelang akhir hidup beliau, kami memang tidak akrab, boleh dikatakan jarang bertemu. Tapi bukan berarti ini tidak penting bagi saya,” Irena tampak masih hendak menyambung kalimatnya, dadanya bergerak turun-naik menahan luapan emosi.

Lava menghela napas panjang. “Jika demikian, Anda bisa membantu saya dengan memberikan salinan laporan transaksi-transaksi yang berlangsung enam bulan sebelum kematian ayah Anda.”

“Baiklah. Nanti kurir akan mengantarkannya ke kantor Anda. Ada lagi yang Anda butuhkan?” 

“Terima kasih. Saya pikir cukup itu dulu,” kata Lava sambil berlalu meninggalkan ruang kerja Irene yang terus menebar aroma lembut bunga geranium.

Esoknya, salinan itu sudah ada di meja Lava. Lelaki itu membacanya seperti tanpa minat. Duduk bersandar, santai dengan secangkir kopi di tangan kanannya. Sesekali dia menyesap kopi kentalnya. Tidurnya kurang pulas semalam. Beberapa mimpi aneh membuatnya terjaga berkali-kali.

Ernie, sekretarisnya yang cantik berkacamata, belum datang. Lava melirik jam di tangannya. Pukul 07.10. Biasanya Ernie muncul pukul 07.30 tepat, itu artinya 20 menit lagi. Lava kembali menguap lebar, tapi seketika berhenti, dengan sedikit kaget. la cepat tersadar tentang sesuatu di depannya.

“Hilang,” gumamnya. Dua salinan terakhir dari laporan itu tidak lengkap. Salinan laporan itu berhenti pada bulan Desember 505. Ke mana salinan laporan bulan Januari dan Februari 506?

“Hubungkan aku dengan Nona Irene. Sekarang!” katanya pada Ernie yang baru saja menyembulkan wajahnya di ambang pintu.

“Apa ...? Anda ...?” Agak gugup Ernie. Niatnya bertanya diurungkan dan memutuskan melakukan saja apa yang diminta Lava. Semenit kemudian, telepon sudah tersambung, tapi tak ada tanda-tanda akan diangkat dari seberang sana. 

“Sambungkan ke ponselnya!” teriak Lava. 

Ernie yang sudah dapat menguasai diri melakukan perintah itu dengan baik. Tak lama kemudian, “Tuan Plavastack, tidakkah ini terlalu pagi,” protes suara merdu dari seberang terdengar lewat pengeras suara yang dipasang di ruangan itu. Suara Irene langsung dipotong pertanyaan Lava.

“Mungkinkah Anda keliru mengirimkan saya salinan laporan transaksi perusahaan ayah Anda?” tanya Lava tak menghiraukan.

“Memangnya ada apa?” suara Irene agak serak, seperti baru bangun tidur.

“Saya minta salinan laporan enam bulan terakhir. Di tangan saya sekarang hanya ada empat salinan dokumen. Ke mana dua salinan lainnya?”

“Saya pikir, saya telah memberikan semua salinan laporan terakhir. Tak ada lagi. Memang hanya itu,” suara Irene berubah gugup kali ini. Dia rupanya baru saja menangkap maksud Lava.

Lava tiba-tiba teringat sesuatu. 

“Lalu ... Siapa wanita kurir yang tertembak tiga hari lalu?” ujar Lava pelan pada dirinya sendiri. Buru-buru diteruskannya pada Irene, “Apa Anda mengenalnya? Pernahkah bertemu dia sebelumnya? Di kantor ayah Anda, mungkin?”

“Tidak. Tidak kenal. Aku pikir, dia salah satu sekretaris ayah saya, tapi... saya tidak kenal sama sekali bahkan namanya sekalipun.”

“Baiklah, Nona Irene,” kata Lava sambil memberi isyarat pada Ernie untuk menghubungi Letnan Dua Suranto. “Maafkan saya mengganggu Anda sepagi ini. Jika Anda tak keberatan, saya akan kembali menghubungi Anda,” Lava mencoba mencairkan suasana. 

Tampaknya, Irene agak terpukul di seberang sana. 

“Baiklah,” kata Irene pendek, menutup telepon selulernya.

 

Misteri kunci

Lava kemudian menemui Letnan Dua Suranto. la menanyakan identitas wanita yang terbunuh tempo hari. Tak banyak yang bisa didapat dari laporan forensik korban. Sebuah keterangan menarik minat Lava: proyektil yang menembus kepala wanita itu berasal dari senjata genggam jenis Walter kaliber 9 mm; galangan, dataran, dan alur putar ke kanan.

“Seperti yang kau lihat, tidak banyak yang didapat. Ketika kami menghubungkan wanita ini dengan PT Aditya Laksana, tak seorang pun di perusahaan itu yang pernah melihatnya,” ujar Suranto. Tiba-tiba ia menutup laporan itu sambil bertanya, “Dari mana kau tahu tentang dia?”

Lava hanya tersenyum. “Seperti yang telah kuceritakan padamu. Dia tiba-tiba menelepon aku. Entah dari mana dia tahu tentang aku. Tapi menurut dia, ada beberapa bukti penting yang akan aman kalau diberikan padaku. Aku menduga, itu dua salinan laporan transaksi yang hilang dari enam salinan yang sedang aku pelajari.”

“Kau yakin?” tanya Suranto. 

“Bagaimana sih, Let, ‘kan aku menduganya. Jadi, bolehkah aku melihat apa saja isi tas wanita itu?”

“Maaf, tak mungkin aku lakukan. Kau tahu itu. Karierku taruhannya. Penyelidikan ini belum usai. Kami bahkan baru akan mulai.”

Melihat gelagat Suranto tidak setuju, Lava pun mengeluarkan jurus rayuannya, “Tapi, bisa saja justru tas itu bisa mengantar penyelidikan pada siapa sebenarnya wanita ini. Ayolah ... untuk kepentingan kebenaran.”

Setelah diam beberapa saat, Suranto mengangkat kepalanya. Akhirnya, ia pun mengabulkan permintaan Lava. “Tapi, ingat! Akses ini kuberikan padamu karena kepentingan kita sama, yaitu secepatnya mengungkap kasus ini.”

Lava tak perlu menjawab. Sinar matanya cukup meyakinkan Suranto bahwa kali ini tindakannya dapat dimaklumi. Mereka kemudian beranjak menuju ke bagian barang bukti. Mereka melakukan registrasi untuk bisa masuk ke ruang penyimpanan barang bukti. Ruangan besar itu lebih mirip gudang. Lemari serbaguna berbaris-baris panjang mengisi hampir seluruh ruangan. Pada sebuah rak serbaguna, Suranto berhenti dan mengulurkan tangan menarik keluar sebuah kantong plastik transparan berukuran besar. Di dalamnya ada sebuah tas tangan berwarna biru.

Suranto membawa benda itu menuju ke tengah ruangan tempat sebuah meja panjang berpelitur licin berwarna cokelat berada. Bagian atas meja memiliki kaca setebal sekitar 2 cm dengan lampu neon putih berpendar di bawahnya. Suranto menyodorkan sarung tangan lateks ke arah Lava, yang langsung dipakainya.

Sedetik kemudian, tas tangan itu sudah berpindah dari kantung plastik ke atas meja. Suranto pun mengeluarkan isinya. Tak banyak yang bisa mereka analisis dari barang-barang tadi. Namun, ada satu barang yang menarik perhatian Lava. Sebuah kunci!

“Kira-kira, anak kunci ini untuk apa?” Lava bertanya.

“Yaah, mungkin saja untuk membuka sesuatu. Pintu kamarnya, misalnya,” Suranto menanggapi sambil menebak.

“Menurutku bukan sembarang pintu. Sepertinya, itu kunci milik perbankan. Bisakah dilacak milik bank mana kunci ini?”

Suranto lalu mengeluarkan kamera digitalnya dan memotret anak kunci itu dari segala sudut. Setelah selesai, barang-barang tadi kemudian dikembalikan ke tempat semula. “Oke, nanti aku kabari setelah dapat keterangan soal anak kunci ini,” kata Suranto.

Lava pun bergegas meninggalkan kantor Letda Suranto.

 

Ada kaset rekaman 

Kabar itu pun datang lebih cepat dari perkiraan Lava. Suranto sudah mengetahui siapa pemilik anak kunci itu: sebuah bank pemerintah terkenal. Bersama-sama Suranto, Lava dan Irene akhirnya menemui manajer bank itu. Sang manajer membenarkan kunci itu kunci kotak deposit di banknya.

Berbekal surat izin pemeriksaan dan penggeledahan dari markas Suranto, termasuk salinan perintah pengadilan, mereka kemudian segera pergi ke ruangan tempat kotak deposit itu berada. Bersama anak kunci yang disimpan pihak bank anak kunci itu dimasukkan nyaris bersamaan, lalu diputar serentak ke kanan. Setelah bunyi klik ganda yang singkat, si manajer bank mempersilakan mereka membuka dan menarik keluar sebuah peti besi berat berwarna sama. Peti itu diletakkan di atas meja besi berwarna perak yang memang tersedia di dalam ruangan itu. Kali ini si manajer kembali maju dan memasukkan sebuah anak kunci lain, kemudian memutar sekali ke arah kanan, dan peti besi berat itu pun terbuka.

Mereka hampir serentak melongok ke dalam peti itu, kecuali si manajer dan dua anak buah Suranto yang sengaja berdiri menjauh. Isi peti dikeluarkan, dan segera tampak pada mereka, dua buah map berwarna kuning dengan tulisan kecil pada bagian tengah atas: “Februari” dan “Maret”. Benda lainnya, dua buah kotak kecil berwarna perak yang diselotip menyatu, beberapa berkas yang rupanya obligasi dan sertifikat beberapa properti mewah. Irene segera mengenali beberapa benda itu sebagai milik ayahnya. Ketiganya pun sadar bahwa dua map kuning bertulis “Februari” dan “Maret” adalah dua dokumen yang hilang dari lemari arsip PT AL. Tetapi, mereka masih bertanya-tanya apa gerangan dua buah kotak kecil berwarna perak yang diselotip menyatu itu.

Suranto yang masih menggunakan sarung tangan lateks segera membukanya. Ternyata dua buah kaset video jenis mini-DV. Suranto segera memberitahu Irene bahwa kedua map kuning dan kaset video itu akan disita polisi sebagai barang bukti untuk mengembangkan penyelidikan.

Irene tak berkata apa pun, dan seketika menyetujui.

Berbekal kaset tadi, seminggu kemudian Suranto dan Lava menginterogasi Joko Sapoetra, Ruslan Adrian, dan Ricky Bagaskoro yang duduk berdampingan di sisi sebuah meja panjang. Ketiganya merupakan pemegang saham PT AL. Hadir juga Irene.

Setelah melalui pertanyaan basa-basi, Suranto langsung menukik ke pertanyaan inti. “Pak Joko, kapan Anda terakhir kali kontak atau bertemu dengan Pak Agus?”

“Sehari sebelum kematian Pak Agus, kami mengadakan rapat terkait dengan masuknya investasi dari Jepang. Itulah pertemuan terakhir saya dengannya. Sore harinya saya main golf,” jawab Joko dengan santai. Dua rekannya mengiyakan.

Interogasi mulai memanas ketika Suranto menanyakan perihal pertengkaran yang pernah terjadi antara Bagaskoro dan Agus Surya. Bagaskoro menjelaskan, akar pertengkaran adalah beberapa anak perusahaan yang menunggak pajak. Namun, perusahaan-perusahaan itu ternyata berada di bawah pengawasan Ruslan. Karena merasa dilecehkan, Ruslan langsung naik darah.

Materi bahasan semakin melebar, keluar dari topik utama rapat terakhir yang dihadiri Agus. Dalam kemarahan yang meledak-ledak, Bagaskoro malah menyinggung soal transaksi yang tidak wajar yang membuat saham PT AL melemah. Ketegangan mereda ketika Irene memberi informasi bahwa malam setelah siangnya rapat itu, Ayahnya pulang tidak bersama sopir pribadinya. “Apakah paman semua tahu dari mana beliau sebelumnya? Soalnya, pembantu yang menyambut Ayah di pintu melihat muka Ayah pucat sekali.”

“Kami tak tahu, Irene. Cuma setelah rapat selesai, tak seberapa lama saya menerima pesan pendek dari Ayahmu. Isinya ‘Mereka hendak bertemu lagi. Nanti aku hubungi’. Ini ada kaitannya dengan Mr. Black yang mengadakan transaksi dengan PT AL.” 

Siapa Mr. Black dan transaksi apa yang dilakukan langsung disergap oleh Lava.

 

Sanggup membunuh gajah

Transaksi dengan Mr. Black ternyata merupakan transaksi gelap antara PT AL dengan pihak luar. Mr. Black tidak lain gembong narkotika kelas kakap. Dengan memalsukan dokumen impor mesin pengolah biji timah, PT AL melalui anak perusahaannya memasukkan barang-barang haram seperti kokain dan bahan kimia berbahaya. Namun ada yang aneh, Agus mencatat semua transaksi itu dengan rapi. Padahal, transaksi haram pada galibnya tanpa disertai catatan!

“Sungguh cerdik Pak Agus itu. Transaksi haram pun dibuatkan salinannya. Saya yakin, itu dilakukan untuk berjaga-jaga jika suatu saat ada yang berkhianat,” Lava mulai beraksi. Analisisnya yang tajam mulai mengiris suasana yang sudah panas itu.

“Benar juga. Transaksi itu ada yang mengkhianati; dan Mr. Black juga tahu soal catatan dan salinan yang dibuat oleh Pak Agus. Wanita yang tertembak itu ternyata membawa salinan catatan transaksi. Dan yang menembak ternyata orang suruhan Mr. Black. Siapa yang berkhianat, itu yang menjadi pertanyaan besar bagi kami,” Lava terdiam sambil memandangi ketiga lelaki di hadapannya.

Joko, Bagaskoro, dan Ruslan saling berpandangan. 

Lava melanjutkan, “Selain membuat salinan transaksi haram, Pak Agus ternyata membuat rekaman pengakuan soal transaksi tadi dalam bentuk video. Mungkin kalian semua akan terkejut. Dari rekaman itu kami tahu siapa saja yang terlibat dalam transaksi haram itu. Ada ....”

“Oke, saya kira tidak ada gunanya lagi menyangkal. Saya mengaku terlibat dalam transaksi itu. Tapi saya tidak sendiri,” Ruslan pun akhirnya angkat bicara.

“Tapi, bagaimana Pak Agus bisa tewas? Saya kira transaksi itu selesai dengan wajar. Memang, ada sedikit ketegangan saat transaksi. Namun, transaksinya tidak bermasalah ‘kan?” Bagaskoro yang terlibat dalam transaksi itu pun akhirnya ikut nimbrung bicara.

“Bagi Mr. Black transaksi itu sudah selesai, benar! Tapi tidak bagi Pak Joko yang berambisi ingin menguasai aset perusahaan. Bukannya Pak Agus tidak tahu, tapi demi persahabatan ia mendiamkannya dan berharap Pak Joko berubah sikap. Pak Agus tahu kalau Pak Joko mengadu domba Pak Ruslan dan Pak Bagaskoro dengan menyembunyikan laporan keuangan beberapa perusahaan yang berada di bawah penguasaan mereka sehingga seolah-olah ada cacat manajemen. Setelah transaksi haram itu pun Pak Joko bertemu dengan Mr. Black secara diam-diam dan memberi informasi bahwa transaksi itu sebenarnya tidak aman.”

“Di sinilah Pak Agus merasa cemas, sebab gembong narkotika Mr. Black minta bertemu dan mengancam keselamatan putrinya. Pak Agus yang sedang batuk menimbulkan ide tersendiri dalam benak Pak Joko. Ya, Pak Joko pun menyuntikkan racun dalam obat batuk yang dikonsumsi Pak Agus.”

“Bagaimana Anda tahu saya menyuntikkan racun dalam obat batuk Pak Agus?” Joko mulai meradang karena merasa tersudut.

“Dalam pertemuan transaksi haram dengan Mr. Black, terlihat dalam rekaman, Anda memberikan obat batuk pada Pak Agus. Namun saya yakin, obat batuk yang Anda berikan itu belum ada racunnya. Anda cukup cerdik, Pak Joko. Dengan membisikkan isu tentang keamanan transaksi Anda yakin bahwa Mr. Black akan minta bertemu kembali dengan Pak Agus. Nah, saat itulah Anda beraksi,” Lava menatap tajam mata Joko.

“Bukankah sudah saya bilang bahwa saat menerima SMS itu saya sedang main golf?” Joko tak kalah sengit menatap Lava.

“Hak Anda untuk berkilah. Namun Anda sedikit ceroboh. Dalam manifes bahan kimia berbahaya tercantum serbuk arsenik sebanyak 5 kg. Sebelum serah terima, sempat ditimbang ulang. Ternyata ada selisih 1 g. Jumlah yang kecil memang. Tapi bukankah arsenik tidak menguap? Ini yang membuat saya merasa curiga. Kecurigaan saya baru menjadi jelas ketika Pak Agus diautopsi, ditemukan kandungan arsenik di dalam darahnya!”

“Pak Joko, arsenik memang tidak meninggalkan warna, rasa, dan bau. Dalam jumlah sedikit keberadaannya dalam tubuh nyaris tidak terdeteksi. Namun selalu dapat dikenali. Hanya saja, jumlah sebesar 1 g itu menurut saya pilihan yang ceroboh. Dosis letal saja cuma 200 mg,” Lava menatap sinis Joko yang terdiam menahan geram.

Tanpa perlawanan Joko Sapoetra pun ditahan pihak kepolisian. Kedua rekannya, Ruslan dan Bagaskoro, ikut diperiksa ulang untuk kasus berbeda. Joko akan menghadapi tuntutan berlapis berkaitan dengan pembunuhan berencana, penyelundupan senjata, narkotika dan bahan kimia beracun, pemalsuan dokumen impor, pencucian uang, dan ada indikasi lain ke arah penggelapan pajak. (F.S. Shulda)


Baca Juga: Apakah Ia Punya Rottweiler

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517448/anak-kunci-menguak-misteri" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665341282000) } } }