array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3124218"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/thumbnail-intisariplus-06-ramb-20220203122052.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(14) "Berry Benedict"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9392)
          ["email"]=>
          string(20) "intiplus-35@mail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(130) "Seorang adik mendapati kakaknya tewas dalam kondisi mengenaskan dan mulut menganga. Ia histeris hingga polisi datang mengatasinya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/thumbnail-intisariplus-06-ramb-20220203122052.jpg"
      ["title"]=>
      string(21) "Rambutnya Merah Darah"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-02-03 12:21:01"
      ["content"]=>
      string(23214) "

Intisari Plus - Suasana hati Inggrid Riedel pada tanggal 19 April 1967 itu sama cerahnya. la berumur 16 tahun dan menurut cermin, ia

Langit pada hari Rabu itu cerah sekali di Darmstadt, sebuah kota di Jerman Barat. Padahal pada bulan April biasanya cuaca mudah berubah-ubah.

Suasana hati Inggrid Riedel pada tanggal 19 April 1967 itu sama cerahnya. la berumur 16 tahun dan menurut cermin, ia cantik Lagi pula bel tanda sekolah usai sudah berbunyi. Di rumah pasti ibu dan kakaknya, Heidrun, sudah menunggunya untuk makan siang. 

Perut Ingrid sudah keroncongan. Karena gembira, ia tidak bisa menahan diri untuk berjalan pulang sambil melompat-lompat, walaupun ia sudah menjelang dewasa sekarang.

 

Ingrid histeris

Rumahnya terletak di daerah elite di Jl. Leo Tolstoy 9. Se tiba di rumah, ia heran juga sebab pintu terkunci. Ingrid menekan bel. Tidak ada jawaban.

"Gimana, sih," pikir remaja itu. "Enak saja mereka pergi tanpa menunggu aku pulang makan siang dulu." Biasanya kalau ibunya dan Heidrun pergi, mereka sudah tiba di rumah kembali sebelum ia pulang dari sekolah.

Ingrid bermaksud masuk dari jendela dapur di belakang rumah. Jendela itu rusak kuncinya dan Ingrid pernah masuk lewat jendela itu dengan mendorong cukup keras.

Setiba di dalam dapur, Ingrid merasakan kesunyian yang luar biasa. Belum pernah ia merasa sesunyi itu di rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.

"Ibu!" panggil Ingrid. Suaranya agak tertahan. "Heidrun!"

Yang menjawabnya hanyalah kesenyapan. Namun, Ingrid anak pemberani. Ia diajarkan untuk menghadapi masalah, bukan menghindarinya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di rumah itu. 

Dengan menabahkan hatinya, dari dapur yang kosong, ia masuk ke ruang depan. Dibukanya pintu, ternyata tidak terkunci. Sinar matahari bulan April menyerbu masuk. Menyaksikan kecerahan musim semi, Ingrid merasa lebih lega.

Ia naik ke tingkat atas. Kamar ayah-ibunya sudah bersih dan rapi. Artinya, ibu dan kakaknya sudah selesai bebenah sebelum pergi. Kamarnya pun sudah dibereskan. Cuma ibunya dan Heidrun tidak meninggalkan pesan tertulis di kamar itu, padahal ia mengharapkannya. Pintu kamar Heidrun tertutup. Itu biasa, mereka keluarga yang rapi. Pintu-pintu tidak dibiarkan terpentang saja.

"Heidrun!" panggil Ingrid. Tidak ada jawaban. Dengan was-was dibukanya pintu. Heidrun terbaring di ranjang, tertutup selimut sampai kepala. Ingrid merasa lega. Gila! Kakaknya bersembunyi untuk mengganggunya. Ia melompat masuk dan menarik selimut.

"Kau...," tiba-tiba saja omelannya macet di leher. Ingrid Riedel membuang muka dan berteriak-teriak histeris.

Heidrun terbaring telentang, telanjang. Rambutnya yang panjang pirang itu sudah tidak pirang lagi, tapi merah darah. Seprai sekelilingnya juga merah. Matanya yang biru terpentang seperti mata ikan mati, sedangkan mulutnya terbuka.

Ingrid melemparkan selimut yang dipegangnya. la berlari menuruni tangga dan jatuh terguling-guling, tetapi ia tidak merasa sakit. Diraihnya gagang telepon untuk menghubungi markas besar polisi di Darmstadt. Entah berapa kali ia menelepon polisi saking paniknya.

Lima menit kemudian, ketika mobil patroli polisi tiba, mereka melihat Ingrid terbaring di tangga di muka pintu rumah, disinari matahari musim semi yang cerah. Ia cuma bisa berbicara sambil berbisik, sebab suaranya parau karena habis dipakai berteriak-teriak. 

Tidak ada seorang pun tetangga yang muncul untuk menolongnya. Maklum jalan itu tempat tinggal orang-orang kaya, sehingga letak rumah saling berjauhan.

 

Palu berdarah

Seorang polisi menemani Ingrid, sedangkan yang seorang lagi masuk ke dalam dengan pistol siap ditembakkan. Beberapa menit kemudian ia muncul lagi dengan pistol sudah disarungkan dan wajah yang memperlihatkan bahwa ia shock

Heidrun baru berumur 20 tahun dan ia cuma dua tahun lebih tua. Siang itu, untuk pertama kalinya ia menyaksikan korban pembunuhan.

"Pembunuhan," katanya dengan suara perlahan. Ia tidak berani memandang gadis remaja yang sedang menangis di hadapannya. "Saya akan menelepon ke kantor."

"Tanyakan sekalian apakah gadis ini boleh kita antar ke rumah sakit," pesan temannya. "Rasanya dia mesti dirawat dokter."

Dari kantor polisi, mereka mendapat jawaban agar seorang dari mereka mengantar gadis itu ke rumah sakit, tetapi yang seorang lagi harus menjaga rumah tempat pembunuhan, sampai para petugas dari Bagian Penyidikan Pembunuhan tiba.

"Tengkoraknya pecah di banyak tempat," kata dr. Phillip Frenzl dari Bagian Penyidikan Pembunuhan kepada Inspektur Ludwig Eberling. "Alat pemukulnya pasti berat, seperti palu atau belakang kapak. Ia meninggal belum sampai dua jam."

"Kejahatan seksual?" tanya Inspektur.

"Mungkin motifnya seks," jawabnya. "Tetapi ia tidak diperkosa. Ia masih perawan."

"Mungkin ia tidur telanjang," kata Sersan Detektif Gunther Weber sambil merangkak-rangkak menyelidiki tempat itu. "Ah, ha! Ini dia!"

"Apa?" tanya Inspektur yang segera berlutut untuk ikut melihat temuan Weber.

"Palu. Palu besar. Lihat, seperti ada darahnya."

"Biarkan di situ," kata Inspektur. "Mungkin itu alat pembunuhnya. Nanti dipotret dulu. Panggil orang-orang laboratorium, komplet. Kalau bisa mendapatkan banyak petunjuk, kita bisa mencari si pembunuh sebelum ia kabur jauh. Sekarang aku akan memeriksa rumah ini dulu."

Gunther memanggil orang-orang laboratorium dari mobil polisi yang diparkir di depan rumah. Ia sekalian menelepon rumah sakit untuk menanyakan keadaan gadis yang tadi dibawa petugas patroli ke sana. "Apakah gadis itu boleh ditanyai?" tanyanya kepada dokter.

"Tidak bisa," jawab dokter. "Ia sudah diberi obat tidur yang kuat. Ia mengalami shock yang hebat. Anda harus hati-hati menanyainya kelak, sebab pengalamannya bisa memberi pengaruh permanen."

"Apakah gadis itu diserang juga?" tanya Sersan Detektif.

"Dia tidak bisa bercerita apa-apa, tapi kata petugas patroli, gadis itu menemukan mayat, mungkin mayat kakaknya."

 

Motifnya seksual?

Saat Sersan Detektif masuk kembali ke dalam rumah, Inspektur Eberling muncul dari tangga basement.

"Di bawah ada satu lagi," katanya menggerutu. "Panggil Philipp dan bantu saya. Entah ada berapa mayat di rumah ini." Ternyata cuma ada dua.

Wajah wanita di basement itu mirip betul dengan wajah wanita di kamar atas. Kemudian diketahui wanita itu Erna Riedel (48). Ia juga ditemukan telentang dalam keadaan telanjang dan kepalanya retak di beberapa tempat, tetapi mata dan mulutnya tertutup. 

Ia pun tidak menunjukkan tanda-tanda diperkosa. Dokter memperkirakan ia tewas hampir berbarengan dengan mayat di atas. Kedua mayat itu pun dibawa untuk diautopsi. 

Sementara diduga keduanya dibunuh dengan alat yang sama. Mungkin wanita di basement itu dibunuh lebih dulu, lalu pembunuh naik ke atas membunuh wanita yang lebih muda dan palunya ditinggal di sana.

Menurut teknisi laboratorium, kedua wanita itu bukan nudis. Pakaian mereka dicopot segera setelah mereka tewas. Di pakaian mereka relatif ditemukan sedikit darah. Apa maksud pembunuh mencopoti pakaian korbannya?

Menurut teknisi laboratorium, alasannya seks. Ada cairan sperma di lantai dan di atas tubuh wanita yang lebih tua. Jadi, pembunuhnya diduga orang yang mempunyai kelainan seksual. Namun, mengapa ia mesti membunuh? Ia tidak perlu susah-susah mencari mitra untuk hal seperti itu.

Dr. Frenzl menjawab, "Melihat kekejamannya saya tidak percaya kalau ia membunuh hanya karena ingin melakukan masturbasi di atas wanita telanjang. Kekerasan yang dilakukannya merupakan bagian dari pola tingkah laku seksual dan tidak mengherankan kalau pelakunya kemudian diketahui pernah tercatat melakukan penyerangan terhadap para wanita. 

Bukan memperkosa, maksud saya. Mungkin saja ia tidak mampu melakukan perkosaan konvensional. Yang saya maksud ia menyerang wanita untuk membuka pakaian mereka."

Pukul 19.00 hari itu juga dr. Philipp Frenzl datang ke kantor Inspektur Eberling untuk melaporkan penemuan-penemuan pendahulu pada autopsi yang belum selesai. 

Diketahui Heidrun dan ibunya, Erna Riedel, meninggal sekitar pukul 09.30. Mereka mengembuskan napas terakhir diperkirakan paling-paling selang setengah jam.

Sementara itu Sersan Detektif Gunther Weber melakukan pengecekan di Frankfurt dan Mannheim yang berdekatan atas catatan polisi mengenai kejahatan-kejahatan berkelainan seksual.

 

Tak ada yang hilang

Dr. Frenzl memberi tahu bahwa palu yang ditemukan di kamar Heidrun adalah alat yang dipakai membunuh kedua wanita itu. Namun, pada palu hanya ditemukan sidik jari Ny. Riedel. 

Laboratorium menarik kesimpulan, palu itu milik keluarga Riedel dan Ny. Riedel menyerahkannya kepada si pembunuh. Tentu saja tanpa mengetahui alat itu akan dipakai untuk membunuhnya.

"Bagaimana suami Ny. Riedel? Sudah bisa diketahui ada di mana?"

Inspektur mengangguk. "Ia sedang berada di Austria untuk bisnis," katanya. "Saya sudah berbicara dengannya ditelepon. Ia akan kembali malam ini. Katanya, ia tidak tahu siapa yang mungkin melakukannya. Pasti orang gila," katanya.

"Rasanyamemang demikian," kata dr. Frenzl. "Jadi, apa yang akan kaulakukan?"

"Ny. Riedel punya buku alamat. Selain nama dan alamat teman-teman serta sanak keluarganya, tercatat nama-nama tukang kebun, tukang leding, dsb. Di belakang tiap nama ia memberi keterangan perihal pekerjaan mereka. Karena tak ada tanda-tanda pergulatan di rumah itu, diduga pembunuhnya seorang yang mereka kenal, yang dibiarkan masuk oleh penghuni rumah."

"Kalau betul Ny. Riedel menyerahkan sendiri palu itu kepada pembunuh, mestinya si pembunuh diharapkan melakukan sesuatu dengan palu itu. Mungkin ia seorang tukang yang pernah bekerja membetulkan sesuatu di rumah itu."

Dr. Frenzl sependapat. Kata Inspektur Eberling, ia sudah mengutus empat orang untuk mencari mereka yang namanya tercantum pada buku itu.

Ternyata hasilnya tidak menggembirakan. Hampir semua tukang terbukti bekerja di tempat lain pagi tanggal 19 April itu. Cuma dua orang yang tak bisa dihubungi. Seorang tak bisa dijumpai, dan seorang lagi sedang ke luar negeri. "Nah, dia yang paling patut dicurigai," kata dr. Frenzl. "Kapan dia pergi?"

"Kata istrinya, kemarin. Kalau si istri tidak berbohong dan ia betul-betul ke luar negeri, ia juga tidak. bisa dicurigai."

Kemudian telepon berbunyi. Menurut laporan anak buah Inspektur, tukang yang tidak bisa ditemukan ternyata tercatat pernah merampok dan membongkar rumah. Namanya Klaus Schmidt (42), pekerjaannya tukang leding.

Inspektur termangu-mangu. Di rumah keluarga Riedel dijumpai banyak barang berharga, bahkan uang dalam jumlah cukup banyak. Barang-barang itu tidak diambil. 

Kalau Schmidt yang masuk ke sana, mengapa barang-barang itu tidak digondol pergi? Ataukah ada sebagian yang dibawa pergi? Hal itu baru akan diketahui kalau nanti malam Riedel pulang.

"Catatan kejahatannya tidak menunjukkan bahwa ia pelaku kejahatan seksual," kata dr. Frenzl.

"Siapa tahu Ny. Riedel dan putrinya memergoki dia mencuri, sehingga ia membunuh mereka. Untuk menghilangkan kecurigaan terhadapnya, ia tidak mengambil apa-apa dan memberi kesan seolah-olah itu kejahatan seksual.” 

“Jangan lupa, Philipp, kalau Giinther tak menemukan apa-apa di Frankfurt dan Mannheim, kita tidak punya catatan mengenai penjahat seks yang pernah menjalankan kejahatan dengan cara seperti itu. Lebih beralasan untuk mencurigai pembunuh itu seorang tukang daripada seorang penjahat seks."

"Tukang yang ke luar negeri itu, siapa dia?" tanya dr. Frenzl.

"Hans Schutz (33), tukang cat. Kata istrinya, ia mencari pekerjaan ke Prancis."

"Pria beristri memang tidak begitu dicurigai dalam hal seperti kuatnya dengan Schutz untuk juga mempunyai alasan yang sama kuatnya dengan Schutz untuk tidak dicurigai," kata dr. Frenzl.

 

Tidur pulas

Sersan Detektif Weber melapor, ia tidak bisa menemukan catatan kejahatan seksual yang serupa dengan yang terjadi itu di Darmstad, tidak juga di kota-kota lain yang berdekatan. Klaus Schmidt, si tukang leding maling pun, tak bisa ditemukan.

"Ia meninggalkan kamar sewaannya tanpa permisi, padahal uang sewa yang dibayarkannya di muka masih tersisa untuk beberapa waktu lagi. Ia meninggalkan kamar sewaan itu bukan pada tanggal 19 April, tetapi beberapa waktu sebelumnya.” 

“Namun, diketahui ia pernah membongkar rumah dengan rencana matang lebih dulu. Ia membuat kunci-kunci palsu dari rumah besar yang dikerjakannya. Baru kemudian ia datang untuk mencuri. Di rumah Ny. Riedel mungkin ia berbuat serupa, lalu tertangkap basah."

"Periksa kunci-kunci rumah Ny. Riedel. Kalau-kalau ada yang aneh," perintah Inspektur. Ia juga memerintahkan agar Klaus Schmidt dicari sampai dapat. Dua puluh empat jam kemudian, Schmidt dijumpai di Bar Tip-Top di Darmstadt. Hampir setiap sore dia ada di sana.

Waktu Sersan Detektif Weber memperlihatkan kartu identitasnya sebagai petugas dari Bagian Penyidikan Kejahatan, ia melompat dengan kegesitan yang mencengangkan. 

Ia kabur menuju pintu belakang, sehingga Weber perlu memberi tembakan peringatan. Schmidt berbalik dan mengacungkan pistol juga. Sesaat keduanya berpandangan.

"Jatuhkan senjatamu dan angkat tangan," kata Weber sambil maju. Saat itu, di antara pengunjung bar ada orang yang mau membantu Schmidt. Orang itu melemparkan sebotol bir kepada Sersan Weber. 

Sersan itu kebetulan sedang bergerak dan lemparan itu sendiri kurang tepat. Yang kena malah wajah Schmidt. Sersan Weber memanfaatkan kesempatan ini untuk mencengkeram dan memutar lengan Schmidt yang bersenjata serta menodongkan pistolnya sendiri ke perut Schmidt.

"Ayo, lepaskan senjatamu," kata Weber keras. Schmidt melepaskan senjata itu. Weber cepat-cepat memborgolnya. Sebelum meninggalkan bar, Weber mengeluarkan duit untuk diserahkan kepada pelayan bar.

"Bir gratis untuk orang yang melempar botol," katanya. "Polisi menghargai bantuannya." Setelah itu Weber menggiring Schmidt pergi. Tukang leding itu tak hentihentinya mengumpat.

Di markas besar polisi Schmidt ditahan dengan tuduhan melawan waktu akan ditahan dan memiliki senjata yang mematikan tanpa izin. Lalu ia dikirim ke sel untuk menunggu diinterogasi oleh Inspektur Eberling keesokan paginya.

Klaus Schmidt malam itu enak saja tidur pulas. Keesokan harinya Inspektur Eberling tidak bisa mengorek keterangan apa-apa darinya. Ia tidak ingat di mana ia berada sepanjang pagi sampai menjelang siang pada tanggal 19 April. Mungkin sekali ia tertidur entah di mana. Ia menyangkal membunuh orang.

 

Tanggal 19, bukan 17

Inspektur Eberling jengkel betul menghadapi Schmidt, tetapi ia mendapat kesan bukan Klaus Schmidt pembunuh yang mereka cari.

“Satu-satunya kemungkinan lain, ya si Schutz," kata Sersan Weber. "Namun kata istrinya, ia ada di Prancis."

"Itu kata istrinya," jawab Inspektur. "Betulkah ia ada di sana? Bawa istrinya kemari."

Ny. Marta Schutz bisa menunjukkan bukti hitam di atas putih.

"Ini," katanya seraya menunjukkan secarik kertas. "Hans mengirim surat ini pada hari ia berangkat, tanggal 17 April."

Inspektur membaca surat itu. Bunyinya: "Maafkan aku Marta. Kau tak akan bertemu aku lagi sebelum masalahnya dibereskan. Aku mengambil DM 50 dari uang tabungan kita bersama." Surat itu bertanggal 17 April 1967 dan ditandatangani oleh Hans.

"Mana sampulnya?" tanya Inspektur.

"Sudah saya buang."

Menurut Ny. Schutz, mereka baru datang dari Jerman Timur empat bulan sebelumnya. Inspektur mendapat kesan keadaan ekonomi suami-istri itu sulit. Wanita itu dipersilakan pulang.

"Puas?" tanya Sersan Weber.

"Kalau ada sampulnya, bisa kita lihat cap posnya. Kalau tanpa sampul sih, bisa saja surat itu ditulis Juli yang lalu atau tanggal 19 April siang. Kini lekas pergi ke Bank Tabungan.” 

“Lihat, kapan Schutz mengambil uang DM 50 dari tabungannya. Kalau betul tanggal 17, kita lupakan Schutz. Kalau tanggalnya lain, kita hubungi Interpol." Schutz ternyata mengambil uangnya tanggal 19 April 1967.

"Si Schutz ini memang pintar," kata Inspektur Eberling. "Ia tahu pasti istrinya tidak akan repot-repot memeriksa tanggal cap pos di sampul. Ia juga tahu, kalau surat diposkan dari kantor pos pusat, surat itu akan tiba pada hari itu juga ke si alamat yang berada di kota tempat kantor pos tersebut. 

Istrinya mengira si suami betul-betul memposkan surat itu tangal 17 dan baru tiba dua hari kemudian. Padahal suaminya memposkannya pada tengah hari.

Interpol tidak banyak mengalami kesulitan mencari Hans Schutz. Di Paris sebagai orang asing yang bekerja, ia harus melapor kepada polisi setempat dan dari sinilah Interpol berhasil melacaknya.

Ia dikirim pulang ke Jerman dengan tuduhan dicurigai membunuh. Sesudah beberapa bulan dalam tahanan ia mengaku juga membunuh Erna dan Heidrun Riedel. Bagaimana ia tak akan mengaku, di apartemennya ditemukan pakaian kerja bernoda darah. Pakaian itu ia sembunyikan waktu istrinya pergi berbelanja.

Ternyata hubungan Schutz dengan istrinya sudah lama renggang. Istrinya tidak bertemu dengannya sejak tanggal 17 April dan hal itu dimanfaatkannya.

Hubungan yang buruk itu menurut Schutz, termasuk salah satu sebab yang mendorongnya untuk membunuh.

"Sudah lama kami tidak hidup sebagai suami-istri lagi," katanya. "Saya tidak mempunyai uang untuk pergi ke wanita lain. Pagi itu saya bersenggolan dengan Ny. Riedel, ketika melewati pintu basement. Saya kira saya jadi kalap."

Schutz tidak mau menceritakan secara mendetail dan motif pembunuhan yang dilakukannya. la tidak tercatat pernah melakukan kejahatan seksual atau kejahatan apa pun di Jerman Barat maupun di Jerman Timur. Menurut istrinya, sebelum hubungan mereka menjadi buruk, kehidupan seks suaminya normal saja.

Tanggal 13 Oktober 1968, satu setengah tahun setelah Ingrid Riedel melompat-lompat dengan gembira dalam perjalanan pulang ke rumahnya dari sekolah tanpa mengetahui di rumahnya terjadi pembunuhan, Hans Schutz diadili. 

la dinyatakan bersalah melakukan dua pembunuhan, tetapi pembunuhan itu dilakukannya tanpa rencana. Pria itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. (John Dunning)

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124218/rambutnya-merah-darah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890861000) } } }