Intisari Plus - Bukan cuma perusahaan besar, tetapi pembunuhan juga memerlukan perencanaan yang cermat. Begitu kesimpulan Hector Griffiths, manajer produksi pada Perusahaan Gliss, yang bergerak di bidang industri pembuatan cairan pembersih untuk rumah tangga.
Perkawinannya dengan Mellisa Wintle, janda kaya beranak satu, juga berkat kemampuannya menyusun rencana. Bahkan juga kematian Melissa tiga tahun kemudian, akibat mengisap gas dan alat pemanas ketika Griffiths sedang ke luar negeri.
Sialnya, wasiat Melissa menyatakan seluruh harta kekayaannya menjadi milik Janet. Bukan Hector Griffiths, suaminya yang kedua itu. Janet (15) adalah putri Melissa dari perkawinannya yang pertama.
Perlu rencana matang
Maka ketika Hector Griffiths (52) menyadari penghasilannya dari Gliss terus tersedot untuk merawat sebuah flat, cottage, mobil Mercedes, dan perahu motor, selain juga tanggung jawab mengasuh Janet, anak tirinya, mulailah ia menyusun rencana. la memiliki catatan sebagai bahan kuliah yang diajarkannya pada kurus latihan staf di perusahaan tempatnya bekerja.
Catatan itu berisi langkah-langkah untuk melemparkan sebuah produk baru ke pasaran. Tak kurang direktur pemasaran untuk Eropa pada perusahaan itu mengacungkan jempol atas bahan kuliah yang dibuatnya itu.
Catatan yang sudah diketik rapi oleh sekretarisnya itu tersimpan dalam map plastik biru. Pada halaman terdepan catatan tersebut ditulisnya dua petunjuk.
Pertama, sediakan waktu untuk membuat perencanaan, meski harus menunda pelemparan produk ke pasaran. Ketidaksabaran melahirkan kesalahan, dan kesalahan itu mahal.
Kedua, Anda harus membuat keputusan pokok tentang produk itu dan waktu yang tepat untuk melemparnya ke pasaran. Jangan terpengaruh oleh pikiran-pikiran yang timbul kemudian. Jadwal yang tertunda merugikan.
Petunjuk ketiga yang tak tertulis, tetapi sama pentingnya, menyatakan, sebelum tindakan diambil terhadap sebuah produk baru, sebaiknya sediakan waktu untuk melakukan desk work.
Maksudnya, proyek harus dikaji dari pelbagai segi, dicek seteliti mungkin, dsb. Hal ini akan memudahkan jika kelak timbul masalah ketika waktu untuk berpikir sudah menjadi barang mewah.
Hampir tiga bulan setelah kematian Melissa, Griffiths baru melakukan desk work terhadap rencana barunya. Kematian Melissa bertepatan dengan hari raya Paskah. Waktu itu Janet ada di rumah sebab sedang liburan sekolah. la tinggal di asrama sekolahnya di Yorkshire, sementara orang tuanya di London.
Gadis pendiam itu sedang tidur ketika kecelakaan di kamar mandi yang merenggut nyawa ibunya itu terjadi. Griffiths menyesali, kenapa anak tirinya tidak bersama ibunya ketika itu. Kalau itu terjadi, ia tak perlu repot-repot lagi.
Namun, seperti selalu diutarakannya di depan peserta kursus latihan staf, keberhasilan jarang diperoleh dengan gampang. Griffiths belum tahu persis apa yang hendak dilakukannya terhadap Janet. Sementara ini ia harus bersikap sebagai ayah tiri yang baik bagi Janet yang kini jutawan itu.
15 bulan lagi
Gadis seusia Janet jarang ditemukan meninggal secara mendadak. Jadi tak bisa dielakkan, Janet harus dengan sengaja dibunuh.
Ia memutuskan akan melakukannya sendiri, sebab pernah memiliki pengalaman buruk di kantor ketika ia melimpahkan tanggung jawabnya kepada orang lain untuk pelemparan satu produk Gliss ke Eropa. Waktu yang tepat untuk "memasarkan produk" (membunuh) amat penting.
Ia memutuskan harus menunda pembunuhan. Soalnya, kematian Melissa baru saja terjadi. Kecelakaan yang terjadi beruntun akan mendorong pihak berwajib melakukan penyelidikan secara lebih teliti.
Untuk membunuh benih-benih kecurigaan, Griffiths harus terus menanamkan kesan bahwa ia penuh perhatian kepada anak tirinya. Tetapi lamanya penundaan harus dibatasi.
Dalam wasiatnya, Melissa memang sedikit memberi bagian kepada Griffiths yang hanya cukup untuk menopang gaya hidupnya yang sekarang selama 18 bulan. Itulah batas terlama penangguhan pembunuhan.
Di mana pembunuhan akan dilakukan? Selama ini Janet tinggal di asrama sekolah di Yorkshire. Kehadiran Griffiths di asrama tentu akan mengundang pertanyaan. Jadi pembunuhan harus dilakukan pada masa liburan sekolah.
Pertimbangan-pertimbangan di atas dan juga faktor-faktor lain membawa Hector kepada kesimpulan bahwa pembunuhan akan dilakukan pada liburan musim panas tahun berikutnya. Sekitar 15 bulan lagi. Penantian yang cukup lama memang, tapi seperti disadarinya, ketidaksabaran melahirkan kesalahan.
Pembunuhan yang akan dilakukannya mestinya harus begitu rupa, sehingga seolah-olah ia tak terlibat di dalamnya. Kematian Janet harus tampak seperti kecelakaan, atau ia harus punya alibi yang kuat pada saat kematian Janet. Atau lebih baik lagi gabungan dari keduanya.
Ia memilih, kematian Janet seolah akibat kecelakaan. Untuk menghindari penyelidikan polisi terhadap dirinya sebaiknya kecelakaan itu terjadi pada saat ia sedang bertugas di luar negeri.
Padahal, pembunuhan itu hendak ditanganinya sendiri. Akibatnya, pada saat yang sama ia harus berada di dua tempat yang berbeda. Bagaimana mungkin?
Akhirnya Griffiths memutuskan untuk "memainkan" waktu terjadinya pembunuhan. Itu memerlukan banyak penelitian, banyak membaca buku tentang masalah peradilan yang menyangkut kematian.
Teluk Busuk
Ketika liburan panjang di musim panas, Janet setuju tinggal bersamanya di pondok peristirahatan di Cornwall sepanjang bulan Agustus. Waktu Melissa masih hidup, mereka memang biasa tinggal di sana setiap akhir pekan. Awal bulan Juli Griffiths pergi ke sana untuk mengecek pondok itu.
Griffiths suka sekali naik perahu motor di sana. Bahkan Letkol Donleavy, yang sering minum bersama Griffiths di Yacht Club, pun senang sekali memandang ke arah teluk tempat perahu itu tertambat, dan mengagumi bangunan bercat putih di kaki bukit di tepi pantai.
"Pondok itu indah sekali," ujar Donleavy. Perahu motor itu pun tak kalah indahnya.
Griffiths tak mau kehilangan keduanya. Pada masa-masa perkenalan dengan Melissa, ia suka membawa Melissa ke tempat-tempat yang terpencil dan sulit dijangkau, antara lain ke sebuah gua di tengah laut.
Orang hanya bisa masuk pada saat air laut surut begitu rendah. Gua yang tersembunyi itu ditemukan secara tak sengaja waktu pertama kali ia pergi berperahu bersama Melissa.
Kurangnya pengalaman dalam soal navigasi membawa perahu mereka menghampiri bukit-bukit karang yang berbahaya. Ketika hendak mencoba menghindar, ia tercebur ke laut. Sekilas matanya menangkap ruang gelap di bawah sebuah lengkungan di sebuah bukit karang.
Disuruhnya Melissa membuang sauh, sementara ia berenang ke mulut gua dan lenyap di balik lengkungan batu karang. Pantulan sinar matahari dari permukaan air laut cukup menerangi gua kecil berlantai pasir itu.
Ketika muncul kembali, Griffiths memanggil Melissa untuk mengikutinya. Di dalam gua itulah janji Melissa untuk menikah dengan Hector Griffiths diikrarkan.
Bila cuaca panas, bau busuk yang menusuk akibat ganggang laut yang membusuk tersebar di sekitarnya. Tak heran kalau tempat itu kemudian dijuluki Teluk Busuk. Ketika ia melewati kembali mulut gua yang tersembunyi itu, rencana pembunuhan itu pun mulai terbentuk dalam benaknya.
Adalah Donleavy yang banyak berjasa kepada Hector memberi tahu tentang hal-hal yang menyangkut pelayaran. Terutama soal siklus pasang surut air laut yang berperiode 28 hari itu. Ditunjukkannya pula tabel-tebal pasang surut. Juga Donleavy yang memberi tahu bahwa tanggal terjadinya pasang surut bisa diramalkan sebelumnya.
Tempat ideal untuk pembunuhan
Selama liburan, Janet yang memang pendiam itu terlihat lesu dan tak bergairah. Ia seperti masih tenggelam dalam kesedihan akibat kematian ibunya.
Selain mencorat-coret membuat sketsa, kelihatannya Janet tidak punya keinginan lain. Kawan pun tampaknya ia tak punya. Cuma kepada dua orang bibi Melissa yang sudah tua yang tinggal di Stockport, Janet selalu menyempatkan diri berkirim kartu pos.
Saat air laut mengalami surut yang terendah, Griffiths berlayar sendirian menuju gua itu. Griffiths mematikan lampu sentemya ketika sudah berada di dalam gua setinggi kapel itu. Di sana teronggok reruntuhan batu karang yang menyerupai sebuah pilar tinggi.
Gua itu sendiri cukup bersih. Tak tampak bekas-bekas seperti kaleng minuman atau bungkus kue yang menandai orang lain pemah pula menemukan tempat itu.
Di tengah gua mengalir parit kecil yang berasal dari rembesan dinding gua. Ia lega, jejak kakinya lenyap terendam air setelah mencoba menginjak-injak lantai pasir itu.
Rasanya tak mudah menaiki pilar itu sebab batu-batu besar itu bergoyang-goyang ketika dipegang, sementara batu-batu kecil berguguran terinjak kaki. Meski begitu, sampai juga ia di puncak reruntuhan yang tingginya sekitar 4,5 m itu.
Ia merogoh sakunya mengambil selembar kantung kertas, yang lantas ditiupnya hingga sebesar kepala. Dilepasnya kantung kertas itu ke bawah, lalu ia mencoba melemparinya dengan batu-batu besar.
Kantung itu akhirnya meledak, setelah lemparannya telak mengenai sasaran. Serpihan kertas berserakan di hamparan pasir yang lembap.
Hector Griffiths meninggalkan gua dan kembali untuk makan siang bersama anak tirinya.
Kartu pos tidak dikirimkan
Dalam pekerjaannya sebagai manajer, Griffiths tahu kemasan bisa mematikan produk yang baik, tapi sebaliknya bisa membuat produk yang tidak baik jadi laku dijual. Kemasan juga bisa membuat produk asli tampak palsu, tetapi dapat pula membuat produk lama tampak seperti baru.
Dengan pengertian itu, Hector Griffiths yakin bisa membuat polisi percaya bahwa suatu pembunuhan merupakan kecelakaan dan mayat yang sudah agak lama menjadi tampak seperti agak baru.
Seperti terhadap hal-hal yang lain, ia biasa menyusun rencana dengan baik. Kebetulan korban yang hendak dibunuhnya memiliki sifat yang bisa dimanfaatkannya untuk mendukung keberhasilan rencananya, yakni sikap malas. Ketika itu Janet meminta tolong ayahnya mengeposkan kartu-kartunya untuk kedua bibi Melissa di Stockport.
Griffiths tidak mengeposkannya, tetapi menyimpan saja kartu-kartu itu ke dalam map biru. Tak banyak yang harus dilakukan Griffiths setelah itu. Maka ia menghabiskan sisa waktunya di Cornwall untuk bermanis-manis dengan Janet dan minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.
Di sana ia mendengarkan pengalaman Donleavy tentang kelautan. Sementara ia sendiri bercerita soal anak tirinya. Griffiths mengaku tak merisaukan apa-apa tentang Janet, kecuali terlalu pendiam.
Ia sudah berusaha menyenangkan hatinya, tetapi tampaknya yang ingin dilakukan Janet hanyalah bermenung-menung di sekitar pondok, atau berjalan-jalan sendiri. Janet memang sedikit suka melukis."Bukankah yang berbaju biru dan keluar lewat pintu belakang pondok itu Janet?" kata Griffiths.
Donleavy menatap lewat kacamatanya dan mengiakan, meski terlalu jauh baginya untuk melihat sosok itu dengan jelas. Bila Griffiths berada di Yacht Club pada malam hari.
Ia berusaha menarik perhatian Donleavy untuk melihat lampu-lampu pondok yang dipadamkan ketika Janet hendak pergi tidur. Ia selalu tidur menjelang pukul 22.30. Janet memang gadis yang aneh.
Donleavy tertawa. Katanya, setahun lagi gadis itu akan berubah menjadi gadis yang siang-malam dikunjungi teman-teman prianya. Tetapi Griffiths tidak berharap demikian.
Menyimpan koran
Liburan musim panas itu pun berlalu. Ketika kembali ke kantornya, Griffiths menemukan surat berisi pemberitahuan tentang akan dilangsungkannya Intersan, sebuah pameran internasional pembersih untuk rumah tangga di Hamburg, yang dimulai tanggal 9 - 17 September tahun depan.
Ini kesempatan baik, pikimya. Ia menelepon wakilnya dan meminta dia mewakili perusahaan ke pameran yang masih akan berlangsung cukup lama itu.
Pada tanggal 14 September, Hector Griffiths menyimpan secarik Surat Kabar Daily Telegraph dalam map biru bersama kartu-kartu pos Janet.
Tampaknya, tak ada masalah untuk "memainkan" waktu pembunuhan. Namun, rasanya masih ada sesuatu yang kurang ketika ia meneliti kembali rencananya. Ya, ia memerlukan barang bukti yang mendukung keberhasilan proyeknya.
Maka, sementara mencurahkan pikirannya pada soal. pemasaran sikat serba guna yang akan datang, ia tetap membuka pikirannya. Siapa tahu ada inspirasi lain.
Bulan demi bulan berlalu. Griffiths dan Janet berhari Natal dengan tenang di London. Ia merasa lega sebab Janet tidak tampak berubah seperti diramalkan Donleavy. Janet justru semakin pendiam.
Satu-satunya perubahan hanyalah bahwa ia ingin meninggalkan saja sekolahnya. Griffiths setuju, bahkan menyarankan agar Janet meninggalkan sekolahnya pada akhir musim panas, lantas bergabung dengannya selama bulan Agustus di cottage. Di sana mereka bisa memikirkan masa depan Janet.
Coklat pemberi ilham
Beberapa bulan sebelum produk sikat serba guna dilempar ke pasaran, Griffiths harus datang ke biro iklan untuk menyetujui kampanye iklan produk baru itu. Ia pun menerima petugas pelaksana jasa periklanan pada biro iklan tersebut.
Tampaknya ia merasa kurang puas. Kepada si petugas ia minta diputarkan iklan TV bagi produk itu, melihat artwork dan rancangan kampanye iklannya.
Setelah menyaksikan iklan TV untuk sikat serba guna itu, Griffiths iseng-iseng bertanya kepada petugas itu, proyek apa lagi yang sedang dikerjakannya. Pria muda itu menjawab, ia sedang menangani iklan permen cokelat kacang baru untuk suatu perusahaan makanan terbesar di negeri ini.
Nama permen itu Nuggy Bar. Kampanye besar-besaran akan dilakukan di seluruh negeri lewat surat kabar, gedung bioskop, TV, dan radio.
Produk itu sudah diuji coba di wilayah Tyne-Tess dan baru setelah tanggal 10 September makanan itu dilempar ke pasaran dan akan bisa dibeli di setiap toko di negeri itu.
Griffiths mencicipi sepotong Nuggy Bar yang dibungkus kertas warna emas dan biru. Pria muda itu mempersilakan ia mengambil sebanyak ia suka. Hati Griffiths berdebar, karena ia merasa bisa memanfaatkan Nuggy Bar untuk rencana pembunuhannya.
Dimasukkannya coklat itu ke dalam sakunya. Sebelum pergi, ia berpesan kepada petugas biro iklan itu untuk memperbaiki iklan TV sikat serba guna yang sepertinya dibuat serampangan itu.
Belanja peralatan
Untuk menunjang proyek pembunuhannya, pada bulan Juni, Hector Griffiths membeli sebuah perahu karet dan sebuah motor tempel pada agen perahu yang kurang dikenal di London Utara. Akhir minggu berikutnya ia pergi ke Cornwall. Setelah berkonsultasi dengan Donleavy, ia membeli perahu karet satu lagi berikut motomya.
Tiga hari kemudian di toko yang tak bernama, ia membeli semacam alat yang bisa disetel untuk mematikan lampu secara otomatis. Lantas dengan sembunyi-sembunyi dibelinya boneka karet berbentuk wanita yang bisa ditiup. Di toko lain, ia membeli sepasang sarung tangan karet.
Pelemparan produk sikat serba guna ke pasaran berlangsung sukses. Selama menunggu keberangkatannya ke Hamburg, wakil Hector mengambil cuti selama dua minggu pada bulan Juli.
Sebelum pergi, ia menyiapkan berkas yang harus ditandatangani manajer produksi untuk kelanjutan produksi pembersih noda. Berkas itu merupakan pemberitahuan resmi kepada bagian produksi agar menyediakan suplai yang cukup untuk memenuhi pesanan bulan November.
Sang wakil manajer menaruh berkas itu di meja Griffiths. Ia senang ketika mendengar Griffiths akan mengambil cuti musim panas sepanjang bulan Agustus, ditambah dua minggu bulan September.
Rupanya sang manajer hendak memberi kesempatan kepada pejabat muda untuk menambah pengalaman. Buktinya, ia dikirim untuk mewakili sang manajer ke pameran internasional itu.
Namun, wakil Griffiths yang masih muda itu tidak tahu bahwa akhirnya berkas itu dibakar oleh Griffiths. Akan halnya Janet, akhirnya ia meninggalkan sekolahnya di Yorkshire dan tinggal bersama dengan ayah tirinya di London.
Seperti direncanakan, awal bulan Agustus mereka pergi ke Cornwall. Sikap Janet tetap pendiam seperti biasa. Griffiths memintanya untuk terus melukis dan tak jarang Griffiths mengajaknya naik perahu motor atau perahu karet barunya. Bila bertemu Donleavy di Yacht Club, ia mengadu tentang sikap anak tirinya itu.
Dari tempat itu Griffiths menunjuk ke luar, ke arah Janet yang tampak sedang melukis di luar pondok. Donleavy cuma melihat samar-samar sosok gadis itu lewat kacamatanya.
Malam itu Griffiths mencoba berbicara dengan Janet tentang kariernya, tetapi Janet sulit diajak bicara soal itu. Apakah Janet sudah membicarakannya dengan temannya? Atau gurunya di sekolah? Tak adakah orang yang bisa ia hubungi lewat telepon dan bicara soal itu?
Janet akhirnya memberi ayahnya nomor telepon dan nama ibu asramanya. Nomor telepon itu ditulisnya di atas secarik kertas yang disodorkan Griffiths. Janet tidak tahu bahwa kertas itu adalah robekan Koran Daily Telegraph. Tulisan yang masih tersisa dari koran itu hanyalah tanggal terbitnya; 4 September 19...
Griffiths terus berusaha membuat hati Janet senang. Diberinya gadis itu sepotong cokelat Nuggy Bar, yang belum beredar di pasaran. Untuk menyenangkan hati ayah tirinya, Janet memakan juga cokelat itu, walaupun terasa agak berbau.
Mengajak boneka berperahu
Tanggal 17 Agustus 1941 air laut mengalami surut yang terendah. Griffiths membujuk Janet ikut melakukan perjalanan dengan perahu motor pada pukul 18.30 malam itu. Gadis itu tak begitu bergairah, tetapi juga tidak menolak.
Dengan perahu motor dan sampan karet yang diseret di belakang, mereka meluncur menuju ke Teluk Busuk. Tangan ayahnya yang memegang kemudi terbalut sarung tangan. Alasannya, takut kotoran masuk ke dalam lukanya akibat tergores tali pancing sehari sebelumnya.
Sepanjang perjalanan pun Janet tampak tidak ceria. Sebaliknya, Griffiths begitu senang ketika melihat sebuah lubang di batu karang. Ia membawa perahunya mendekati batu karang itu.
Bau busuk semakin tajam menusuk. Setelah melabuhkan perahunya, setengah memaksa ia menyuruh Janet naik ke perahu karet. Mereka meluncur dengan susah payah menuju ke batu karang itu.
Ombak laut mendorong perahu karet itu ke atas pasir di dalam gua. Griffiths menunjukkan sikap heran kepada Janet, seolah baru kali ini menemukan tempat itu. Ia melompat turun ke air yang dangkal, sambil memberi isyarat kepada Janet untuk mengikutinya.
Macam anak kecil kegirangan menemukan apa yang diingini, Griffiths mengajak Janet menjelajahi gua. Mungkin lubang kecil itu menuju ke gua yang lebih besar. Siapa tahu di puncak reruntuhan batu itu ada pintu lain? Ia memanjat pilar itu diikuti Janet.
Ketika sampai di puncak pilar, tiba-tiba Griffiths pura-pura terpeleset. Tubuhnya melorot menimpa Janet hingga gadis itu terjerembap di dasar gua. Karena wajahnya menghadap ke bawah, Janet tidak tahu sebuah batu besar melayang dan menghantam kepalanya.
Suara ledakan itu mirip letupan kantung kertas yang pernah diledakkannya. Cuma yang ini lebih keras. Guncangan yang timbul akibat benturan itu cukup membuat batu-batu kecil dari langit-langit gua berguguran. Keadaan ini justru menguntungkan Griffiths, sebab kesannya Janet tewas akibat runtuhnya batu-batu gua.
Griffiths pun merasa puas sebab Janet tidak mendarat di parit kecil di dalam gua. Bila mayatnya nanti ditemukan, pakaian Janet tidak basah karena air. Sehingga kesannya Janet masuk ke gua itu dengan perahu karet pada saat air laut surut paling rendah.
Dengan hati-hati Griffiths turun. Darah dan otak dari kepala Janet yang terluka tampak memerciki pasir. Gadis itu tewas. Dengan tangan terbungkus sarung, diselipkannya robekan koran bertuliskan nomor telepon itu ke saku Janet. Juga sepotong cokelat Nuggy Bar yang sedikit terbuka bungkusnya.
Kembali ke perahu ia membuka kain terpal penutup perahu karet satunya lagi dan menggandengnya ke belakang. Kemudian ia meluncur kembali ke pondoknya. Air laut pun kian meninggi.
Hector Griffiths masih punya sisa waktu hampir sebulan dari liburan enam minggunya di Cornwall. Hari-hari itu dilewatinya dengan tenang dan damai. Ia banyak menggunakan waktunya untuk minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.
Ia menyatakan kepada Donleavy dan orang-orang yang kebetulan mendengamya, pekerjaan apa yang sesuai bagi gadis pendiam macam Janet.
Bila sedang makan siang, tak jarang ia akan menunjuk ke luar pada sosok berbaju biru yang sedang melukis di luar pintu belakang pondoknya. Bila malam hari ia akan berkomentar waktu melihat lampu pondok dipadamkan.
Setiap pagi sebelum pergi, ia mengecek alat pemadam lampu otomatis itu. Karena tak ingin cepat menimbulkan kecurigaan. Griffiths memindah-mindahkan boneka wanita itu.
Sering kali juga ditaruhnya di dalam pondok. Bahkan satu dua kali ketika hari mulai gelap, ia membawa boneka itu naik perahu karet. Setiap kali melewati pelabuhan, ia melambai-lambaikan tangan kepada para nelayan di dermaga.
Di akhir bulan Agustus ia mengeposkan kartu-kartu Janet kepada para bibi Melissa di Stockport. Kartu-kartu itu sebetulnya ditulis Janet setahun sebelumnya. Pada minggu pertama bulan September, ia masih terus berkeliling dengan perahunya sambil menanti datangnya kejutan dari perusahaan tempatnya bekerja.
Memfitnah
Tanggal 5 September muncullah kejutan yang ia nantikan. Kejutan itu berupa telegram - pondok itu memang tak punya telepon - dari wakil manajernya yang menyatakan bahwa Gliss sedang mengalami kesulitan. Ia diminta segera menelepon.
Griffiths menelepon wakilnya dari Yacht Club. Rupanya ada yang tak beres dengan berkas yang menjamin kelanjutan produksi bahan pembersih noda. Pihak pabrik merasa belum menerima berkas itu. Akibatnya, tidak ada stok untuk memenuhi pesanan bulan November.
Hector Griffiths marah besar kepada wakilnya yang tak bisa dipercaya melaksanakan tanggung jawab yang paling sederhana sekalipun. Tentu saja orang muda itu protes, sebab ia yakin sudah melakukan pekerjaannya dengan benar.
Untuk mengatasi hal itu, dimintanya sang wakil manajer menemui semua agen dan minta maaf. Alasannya, masalah ini tak bisa diselesaikan begitu saja lewat telepon, apalagi surat.
Griffiths membatalkan kepergian wakil manajernya ke pameran intemasional di Hamburg. Terlalu banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan orang muda itu gara-gara keteledorannya. Namun, di pihak lain perusahaan harus mengirimkan wakilnya. Untuk itu Griffiths sendirilah yang hendak berangkat ke sana.
Griffiths meletakkan gagang telepon. Sambil menggerutu, ia menemui Donleavy di bar. Dikatakannya kepada Don, ia terpaksa mengakhiri liburannya yang masih. beberapa hari itu hanya karena kecerobohan wakilnya. Orang muda tidak punya rasa tanggung jawab, begtu gerutunya.
Griffiths pun menelepon orang-orang manajemen Gliss dan mengatakan betapa ia mendadak harus pergi ke Hamburg. Ia kecewa dengan perubahan rencana itu.
Pada tanggal 6 September, hari terakhir Griffiths berada di Cornwall, ia membuang ke tengah laut semua peralatan yang sudah tidak diperlukan lagi. Perahu karet, boneka wanita, sarung tangan, dan pemadam lampu dibebaninya dengan batu dan motor tempel supaya tenggelam.
Malamnya ia datang dan berpamitan kepada Donlegvy di Yacht Club. Ia mengaku agak cemas tentang Janet, dan mengatakan bahwa Janet kini terserang depresi berat. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Janet sendirian di pondok itu. Meski Janet bilang mau ikut pulang,
Griffiths tidak yakin akan lebih bahagia bersama Janet di London. Lagi pula ia harus melakukan perjalanan sialan itu. Bahkan ia pun tidak mampu lagi mengubah sikap Janet. Donleavy cuma berkomentar, wanita memang makhluk aneh.
Cokelat kacang untuk menyesatkan
Dalam perjalanan pulang ke London dengan Mercedesnya tanggal 7 September, Griffiths menilai kembali hal-hal yang perlu dilakukan sepulang dari Hamburg. Gara-gara krisis produksi sikat serba guna itu, ia jadi punya alasan yang sah untuk menunda kepergiannya kembali ke Cornwall selama satu atau dua minggu lagi.
Jika Janet, tidak mengadakan kontak dengannya, ia akan mengiriminya surat. Jika surat-suratnya tak juga dibalas, ia mulai memperlihatkan kecemasannya, lantas pergi ke Cornwall menengok Janet.
Begitu menemukan surat-suratnya masih tertutup, ia akan langsung kembali ke London, dengan membawa kabar bahwa anak tirinya hilang. Lalu ia akan menelepon ibu asrama Janet dan kedua bibi Melissa di Stockport. Bila tidak mendapat keterangan tentang Janet dari mereka, ia akan menelepon polisi.
Kepada mereka ia juga akan menyatakan bahwa Janet memang ingin ikut pulang ke London, ketika Griffiths terpaksa mengakhiri liburan sebelum waktunya. Ia pun harus mengatakan bahwa Janet tampaknya mengalami depresi.
Namun, bahwa ia kehilangan perahu karet, baru akan dilaporkannya belakangan. Ia berharap mayat Janet baru ditemukan polisi empat bulan setelah tanggal 17 Agustus.
Sebab menurut buku yang dibacanya, sulit memastikan tanggal kematian secara tepat setelah mayat berumur empat bulan. Lantas polisi akan menemukan mayat Janet setelah ia melaporkan bahwa suatu kali anak tirinya itu pernah bercerita tentang sebuah gua yang ditemukan Janet pada saat air pasang rendah.
Karena tanggal kematian sulit dipastikan dari mayat yang sudah membusuk, pihak polisi akan menetapkannya lewat barang bukti lain. Keberadaan perahu karetnya dalam gua dan keringnya pakaian Janet akan menjadi petunjuk bahwa ia masuk ke gua itu pada saat air laut surut, sehingga perkiraan tanggal kematian bisa ditentukan dari situ.
Selain mungkin pemyataan penduduk setempat yang melihat perahu itu, kalau bukan gadis itu, sampai beberapa kali sebelum Griffiths berangkat ke London pada 7 September, ada bukti-bukti lain yang bisa ditemukan dalam saku Janet.
Pertama, sepotong Nuggy Bar, yakni permen cokelat kacang yang belum beredar di toko-toko sampai tanggal 10 September. Kedua, secarik koran bertanggal 14 September yang bertuliskan nomor telepon.
Karena tanggal 14 September termasuk dalam periode terjadinya spring tide (periode di mana permukaan air laut mengalami pasang naik yang tertinggi dan pasang surut yang terendah), polisi tidak akan ragu-ragu lagi menyatakan Janet Wintle tewas pada tanggal 14 September.
Padahal pada tanggal tersebut Griffiths akan berada di Hamburg pada pameran internasional itu. Maka bila Griffiths nanti mehdengar kabar tentang musibah yang terjadi tak lebih dari dua tahun setelah kematian Melissa, ia harus ikhlas menerimanya.
Warisan yang akan jatuh ke tangannya nanti akan tampak seolah kurang berarti ketimbang kesedihannya atas kematian istri dan kemudian anaknya.
Cokelat sialan
Pada hari sebelum berangkat ke Hamburg, tiba-tiba Griffiths merasa panik. Bagaimana jika salah seorang bibi Melissa di Stockport itu ternyata sudah meninggal? Mereka memang sudah agak tua, tetapi jika sudah meninggal, Janet pasti tahu. Janet takkan mungkin mengirim kartu pos kepada orang yang sudah meninggal.
Griffiths tak mau ambil risiko. Ia menelepon kedua nenek itu dengan berpura-pura menanyakan nama lengkap mereka yang hendak dicantumkannya dalam sebuah formulir yang harus diisinya. Ternyata keduanya masih segar bugar. Mereka malah menyatakan amat senang menerima kartu pos dari Janet.
Griffiths menarik napas lega. Kini semuanya beres. Ia bisa ke luar negeri dengan dada lapang. Kemudian ia menelepon ke Gliss untuk mengecek apakah ada hal-hal lain yang mendesak untuk dikerjakan sebelum ia pergi.
Ternyata ada sebuah pesan yang memintanya untuk segera menelepon biro iklan TV sikat serba guna. Persis sebelum ia akan menaruh gagang telepon, Griffiths bertanya kepada petugas iklan yang masih muda itu.
"Semua sudah diatur untuk melempar produk ke pasaran?"
"Melempar produk?"
"Tanggal 10. Permen cokelat itu."
"YaTuhan. Sudahlah, jangan bicara soal Nuggy Bar. Manajer produksi sialan itu merasa khawatir."
"Khawatir?"
"Ya. Ia orang baru dan khawatir produk itu tidak akan laku."
"Apa?"
"Mereka menerima laporan dari Tyne-Tees, tempat produk itu diuji. Hampir 40% sampel temyata agak berbau."
"Lalu, apa yang akan dilakukan?"
"Manajer produksi sialan itu akan menunda pelemparan produk itu ke pasaran."
"Menunda?"
"Ya. Tampaknya ia kebingungan."
"Tetapi ia tidak bisa mundur dalam keadaan seperti itu. Bukankah mereka sudah teken kontrak dengan pihak TV, surat-surat kabar, dan ...?"
"Bisa saja ia mundur, jika kontrak belum dibayar ...."
Tak pernah Griffiths melarikan mobilnya sekencang itu di jalanan menuju Cornwall. AC mobil itu pun tak mampu membendung keringatnya. Tak kalah kencang Griffiths melarikan perahu motornya menuju ke Teluk Busuk. Air laut cukup rendah, tetapi tidak cukup banyak menampakkan mulut gua itu.
Sudah lebih dari seminggu terjadi pasang naik yang tinggi. Ia harus menyelam berulang kali untuk menemukan mulut gua, Ketika gelombang datang menyapu, terasa punggungnya yang telanjang tergores batu karang. Namun, ia terus berjuang naik ke atas pasir yang basah.
Ia menyesal tidak membawa lampu senter, ketika menyadari gua itu gelap. Namun, ketika ia terbaring kelelahan di atas pasir, lama-kelamaan keadaan di dalam gua semakin jelas. Ada sedikit cahaya dan pantulan air di bawah mulut gua.
Tiba-tiba ia tersadar oleh bau busuk yang tajam menusuk. Sambil mendekap hidung, ia melangkah mendekati sumber bau tak sedap itu. Dengan mata menatap ke arah lain, ia meraba-raba pakaian dan sumber bau tak sedap yang ternyata mayat Janet.
Rasa lega mengguyur seluruh tubuhnya setelah menemukanNuggy Bar itu. Walaupun kondisi tubuhnya terasa lemas, ia masih merasa bahwa semua akan beres: keluar dari gua, naik perahu, kembali ke London, kemudian besoknya ke Hamburg.
Meskipun penduduk setempat melihatnya, ia tak peduli. Toh robekan koran dan keringnya pakaian Janet cukup kuat untuk menetapkan tanggal kematian Janet.
Seperti ledakan kantung kertas
Air pasang semakin naik, bahkan sempat masuk ke dasar gua. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menceburkan diri ke dalam air. Sayang, gelombang laut mendorongnya kembali ke gua.
Ia terus mencoba dan mencoba, tetapi setiap saat justru semakin sulit. Kian lama gelombang makin kuat, sementara tubuhnya justru kian melemah.
Griffiths terbaring kelelahan di atas pasir. Ia coba memusatkan pikirannya untuk memiliki kembali kemampuannya menyusun rencana. Namun, serangan gelombang dan bau mayat yang membusuk membuyarkan konsentrasinya. Akhirnya ia menemukan kemungkinan lain untuk keluar dari gua dan kepungan air laut.
Ia ingat ia pemah membohongi Janet. Waktu itu ia mengajaknya memanjat pilar untuk melihat apakah ada pintu lain di sana. Bahkan Griffiths sendiri kini menduga ada jalan lain ke luar gua.
Akhirnya dengan sangat hati-hati ia memanjat pilar yang tersusun dari batuan lepas. Ia merasa menemukan harapan ketika matanya menangkap setitik cahaya.
Namun, ia hanya melihat tumpukan batu-batu karang yang lepas-lepas. Siapa tahu timbunan batu itu menutupi jalan masuk lain, sebuah gang atau lorong tua bekas sarang penyelundup. Ia mencoba mati-matian menyingkirkan batu-batu itu sampai tangannya terluka. Sejumlah batu kecil berhasil disingkirkan, tetapi batu-batu yang lebih besar tak bergeming.
Ketika ia berusaha menarik sebongkah batu besar, tiba-tiba sebuah batu besar lain tergeser. Griffiths melompat mundur waktu mendengar suara bergemuruh. Batu-batu berguguran, berderai-derai, dan jatuh berdebam di dasar gua. Tampaknya sia-sia usahanya. Maka ia pun turun untuk mencoba kembali keluar lewat mulut gua yang berhadapan dengan gelombang.
Dengan sangat hati-hati ia melangkah maju. Namun, tanpa disadarinya sebongkah batu besar tiba-tiba terlepas dan melayang, lalu mendarat tepat di batok kepalanya.
Suara letusan itu mirip ledakan kantung kertas, cuma lebih keras. Hector Griffiths terguling di atas pasir dan tewas. Ketika itu tanggal 8 September.
Perahu yang ditinggalkannya di luar gua perlahan-lahan hanyut terbawa ombak karena ditambatkan dengan terburu-buru.
Sepotong permen coklat untuk patokan
Mayat Hector Griffiths ditemukan empat bulan setelah kematiannya. Polisi berhasil menemukannya berkat petunjuk yang mereka temukan dalam sebuah buku harian mendiang istrinya. Di sana diceritakan tentang sebuah gua rahasia tempat mereka pernah memadu cinta.
Polisi menduga Griffiths pergi ke gua itu dengan perahunya lantaran terbawa oleh ingatan kepada mendiang istrinya. Namun, ia terjebak oleh air pasang dan tewas karena runtuhan batu.
Pada pakaiannya ditemukan noda air garam sebab ia tergeletak begitu dekat dengan batas pasang naik yang tinggi. Sulit untuk menentukan tanggal kematiannya secara pasti setelah sekian lama.
Namun, berdasarkan tabel pasang surut, yang menurut Letkol Donleavy, Griffiths sangat tertarik pada soal itu, tampaknya sangat mungkin Griffiths tewas pada tanggal 14 September. Ini diperkuat dengan ditemukannya sepotong Nuggy Bar dalam sakunya, permen cokelat baru yang sudah beredar di pasaran sejak tanggal 10 September.
Jenis permen coklat baru itu akhirnya jadi dilempar ke pasaran. Soalnya, sang manajer produksi Nuggy Bar – setelah membatalkan pelemparan produk itu - mendadak teringat satu petunjuk yang pernah didengarnya ketika mengikuti kursus manajemen di Perusahaan Gliss, yakni:
SEKALI ANDA MENGAMBIL KEPUTUSAN POKOK TENTANG PRODUK ITU DAN MENETAPKAN WAKTU PELEMPARANNYA KE PASARAN, JANGAN LAGI TERPENGARUH OLEH PIKIRAN YANG TIMBUL KEMUDIAN.
Karena itu ia mencabut kembali pikiran-pikiran yang timbul akibat pengaruh dari hasil uji coba yang menyatakan bahwa 40% sampel cokelat itu agak berbau. Kampanye iklan produk itu pun terus berlangsung seperti direncanakan.
Mayat anak tiri Hector Griffiths, Janet Wintle, malah tak pernah ditemukan. Adalah kedua wanita tua di Stockport itu yang beruntung mewarisi kekayaan Melissa yang tidak kecil itu.
(Margery Allingham)
" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123061/salah-perhitungan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644400717000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123021" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/mandi-busa-istri-ketigajpg-20220201062935.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(17) "Margery Allingham" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9372) ["email"]=> string(20) "intiplus-16@mail.com" } } ["description"]=> string(53) "Sepucuk surat dari korban menjadi kunci penyelidikan." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/mandi-busa-istri-ketigajpg-20220201062935.jpg" ["title"]=> string(23) "Mandi Busa Istri Ketiga" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:24:10" ["content"]=> string(28271) "
Intisari Plus - Pukul 17.00 di suatu bulan September, Ronal Frederick Torbay bersiap-siap melakukan pembunuhan untuk ketiga-kalinya. Menyadari langkah yang ceroboh akan mengundang bahaya bagi dirinya, ia sangat berhati-hati dalam bertindak.
Membunuh adalah pekerjaan untung-untungan. Begitu menurut sebuah majalah yang pernah dibacanya sebelum ia menikah untuk pertama kalinya, dan ia mengakui kebenarannya. Toh, bagaimanapun ia tetap berkeyakinan, keberhasilan adalah milik kaum laki-laki.
Istri-istrinya pemalu
Sejenak ia tennenung sambil menyandarkan tubuhnya di bibir wastafel, mengamati dirinya di depan cermin kamar mandi vila yang baru disewanya.
Bayangan pada cermin di hadapannya menampilkan wajah seorang pria setengah baya bennata biru dengan wajah kurus dan pucat. Kepalanya ditumbuhi rambut hitam tipis dan nyaris botak. Bibirnya yang tipis mencoba menyunggingkan senyum.
Suara dan dapur membuyarkan keasyikannya mengamati bayangan wajahnya sendiri. Biasanya selesai menyeterika, istrinya, Edyth, segera naik untuk mandi dengan busa, yang selalu dipertengkarkan lebih dulu sebelum Ronald selesai menyiapkannya.
Dengan napas tertahan, Ronald menunggu kedatangannya. Rupanya Edyth tidak menuju ke kamar mandi yang terletak di lantai atas itu, melainkan keluar lewat pintu belakang.
Dari jendela terlihat istrinya berjalan menuju ke halaman di samping rumah hendak menjemur seprai mereka yang baru. Meski kejadian itu rnemberinya peluang lebih lama dalam persiapannya, Ronald toh tetap merasa terganggu.
Dari ketiga wanita sederhana setengah baya - yang dinikahinya setelah berhasil dirayunya dan kemudian mewariskan harta milik mereka - Edyth adalah istrinya yang paling susah diatur.
Sudah berulang kali dalam enam minggu usia perkawinan mereka, Ronald mengingatkan istrinya agar jangan berlama-lama berada di halaman itu. Ia tidak suka istrinya berada di luar rumah sendirian. Rumah di sebelah vila mereka baru saja ditempati oleh seorang pria dan seorang wanita.
Meskipun Edyth orangnya pemalu dan juga pendiam, Ronald menganggap perkenalan istrinya dengan wanita yang kelewat ramah itu membahayakan dirinya.
Kedua istri Ronald terdahulu juga wanita pemalu. Ronald sangat berhati-hati dalam memilih tipe seorang istri dan ia selalu berhasil menemukan wanita bertipe seperti itu. Mary, istri pertamanya, mengalami "kecelakaan" fatal yang hampir tidak diketahui di bungalow yang mirip dengan vilanya yang sekarang. Cuma, bungalow itu di Inggris Utara, sedangkan villa yang sekarang mereka tempati itu di Inggris Selatan.
Bungalow tempat tinggal Ronald bersama Mary berada di wilayah yang sedang berkembang. Para petugas pemeriksa sebab-sebab kematian bekerja dengan terburu-buru. Polisi cukup simpatik, tetapi sibuk dan para tetangga kebanyakan acuh tak acuh, kecuali seorang wartawan muda dari sebuah koran lokal.
Wartawan muda itu menulis berita yang muluk-muluk tentang tragedi yang menimpa Mary. Berita itu diberinya judul "Tragedi Bulan Madu", disertai sebuah foto perkawinan mereka.
Kemudian Ronald menikah dengan Dorothy. Tak lama, Dorothy pun bernasib sama dengan Mary. Namun belakangan, Ronald sempat dibikin repot. Sebelumnya Dorothy mengaku hidup sebatang kara, tetapi ternyata ia punya saudara laki-laki.
Pria itu muncul setelah pemakaman, menanyakan soal harta peninggalan Dorothy yang sebenarnya tak seberapa besarnya. Untunglah, ketika itu Ronald bersikap tegas kepada pria itu.
Perkara yang sempat ditangani pengadilan itu akhirnya dimenangkan Ronald, dan pihak asuransi membayar penuh kepadanya tanpa banyak persoalan. Semua itu terjadi empat tahun silam.
Kini, dengan nama baru dan latar belakang yang baru serta tempat tinggal baru di mana ia melakukan persiapan pembunuhan yang ketiga kalinya, Ronald merasa sangat aman.
Rayuan kuno
Sejak pertama kali bertemu dengan Edyth, Ronald merasa bahwa Edyth merupakan sasaran berikutnya. Ia senantiasa berpikir istri-istrinya sebagai sasaran.
Waktu itu Edyth duduk seorang diri di meja sebuah ruang makan hotel di tepi pantai. Duduknya tampak kikuk dan wajahnya menyembunyikan sikap malu-malu. Kedua matanya yang menderita rabun dekat memancarkan rasa tak puas dan agak takut.
Ketika pelayan mengatakan sesuatu yang menyenangkan kepadanya, wajah Edyth menjadi merah karena malu. Edyth mengenakan bros berlian ketika itu dan. Ronald mengamatinya dari seberang ruang makan.
Malam itu juga di ruang duduk, Ronald mencoba menyapa Edyth. Pada mulanya Edyth bersikap acuh tak acuh. Namun, berkat kegigihannya, akhirnya Ronald bisa mengajak Edyth bercakap-cakap.
Setelah itu perkenalan mereka pun berkembang seperti yang diharapkan Ronald. Caranya merayu memang kuno dan kelewat romantis, tetapi dalam seminggu Edyth sepertinya tergila-gila kepadanya.
Bagi Ronald, latar belakang kehidupan Edyth bahkan lebih baik daripada yang dia harapkan. Setelah mengajar di sebuah sekolah asrama putri sepanjang usia 20 tahunannya, Edyth dipanggil pulang untuk merawat ayahnya yang sudah lama sakit-sakitan. Keadaan ayahnya membuat dirinya hidup membujang meski usianya sudah 43 tahun.
Edyth terhitung berada, tetapi hidupnya bagaikan perahu tanpa kemudi. Ronald, sangat berhati-hati memperlakukan Edyth. Seluruh perhatiannya ia tumpahkan kepada Edyth.
Tepat lima minggu sejak pertemuan mereka yang pertama, Ronald menikahinya di kantor catatan sipil kota itu. Di wilayah itu mereka berdua sama-sama pendatang. Sore itu juga mereka pindah ke vila yang bisa disewanya dengan harga murah sebab musim liburan sudah berlalu.
Tidak seperti kedua istrinya yang terdahulu, Ronald merasa tak banyak menemui kesulitan merebut hati Edyth. Mary orangnya pemurung dan suka histeris. Dorothy adalah wanita pencemburu dan gampang curiga, sementara Edyth selalu tampil ceria dan menyenangkan.
Mungkin karena ketololannya saja, Edyth tidak menyadari bahwa seorang lelaki hampir tidak jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama. Dari situ Ronald melihat, Edyth adalah wanita yang polos dan juga bijaksana.
Pria-pria lain mungkin akan membuat kesalahan fatal karena merasa kasihan kepada Edyth, pikir Ronald. Namun, bukan Ronald kalau ia berbuat seperti pria-pria lain itu, katanya pada diri sendiri. Ia pun mulai menyusun rencana yang ia gambarkan sebagai "masa depan Edyth".
Mengaku salesman
Ada dua hal yang semakin mendorong Ronald membunuh Edyth lebih awal daripada yang ia rencanakan. Pertama, sikap Edyth yang sangat tertutup dalarn urusan keuangan. Kedua, perhatian Edyth terhadap pekerjaan Ronald.
Di dalam surat nikah, Ronald menyatakan dirinya sebagai seorang salesman. Ronald pun bercerita bahwa ia adalah mitra dagang sebuah perusahaan kosmetik yang memberinya cuti tak terbatas.
Edyth menerima pernyataannya itu tanpa banyak komentar. Namun, pada suatu ketika ia hampir berniat mengunjungi kantor dan pabrik yang dimaksudkan Ronald.
Edyth pun selalu berbicara tentang pakaian-pakaian baru yang harus dimilikinya agar tidak "membuat malu Ronald". Sementara itu Edyth menyimpan semua surat bisnisnya sendiri terkunci di dalam sebuah tas kulit tua.
Meskipun dengan cara yang amat berhati-hati, setiap kali Ronald berniat membicarakannya, Edyth selalu menolak.
Ronald pun menyerah, walaupun dengan menyimpan rasa marah, dan ia memutuskan untuk bertindak. Ronald meninggalkan jendela.
Dengan hati-hati ia melepaskan jasnya dan mulai sibuk dengan bak mandinya. Jantungnya berdetak keras, padahal ia tak ingin begitu. Ia ingin tetap tenang.
Kamar mandi itu satu-satunya ruangan yang mereka cat kembali. Ronald yang mengerjakannya sendiri setelah mereka memasuki vila itu. Ia juga yang memasang rak kecil di atas bak mandi untuk menaruh botol berisi bubuk sabun dan sebuah alat pemanas listrik yang murah.
Alat pemanas air itu sewarna dengan dinding yang putih, sehingga tidak begitu terlihat. Ronald menyalakan alat pemanas itu sambil berdiri memandanginya, sampai dua lampu kecil tanda air panas menyala. Kemudian ia keluar menuju ke lantai di ujung tangga.-
Kotak sekring yang mengendalikan seluruh aliran listrik rumah itu tersembunyi di balik lemari di ujung tangga. Dengan hati-hati dibukanya kotak itu. Mengenakan sapu tangan, agar sidik jarinya tidak meninggalkan jejak, diputarnya tombol sekring untuk mematikan aliran listrik.
Kembali ke kamar mandi, kedua lampu pada alat pemanas itu pun padam. Ditatapnya alat pemanas itu dengan puas. Masih mengenakan sapu tangan, diturunkannya alat itu dari atas rak dan dengan hati-hati dicelupkannya ke dalam air persis di pojok di atas lubang pembuangan air bak mandi.
Kabel berwarna putih dari alat pemanas terjulur di bibir bak mandi, menempel di sepanjang pojok antara dinding dan lantai, lantas menyusup lewat bawah pintu dan menancap pada stop kontak yang berada di luar.
Tertangkap basah
Waktu pertama kali Ronald memasang alat pemanas itu, Edyth berkeberatan karena pemasangannya tampak tak keruan. Namun, setelah Ronald menjelaskan bahwa dewan setempat tidak menganjurkan stopkontak dinding dipasang di dalam kamar mandi, karena air dikatakan bisa dilalui aliran listrik, Edyth bisa memakluminya.
Ia pun membiarkan Ronald memasang kabel di bawah karpet kamar mandi, sehingga kabel itu tidak terlihat. Alat pemanas itu tampak jelas di dalam bak mandi, sepertinya barang itu terjatuh masuk ke dalamnya. Ia merasa tak seorang pun dapat melangkah masuk ke dalam air tanpa melihat alat itu.
Ronald diam sejenak. Mulutnya yang jelek itu semakin sempit. Rencana yang begitu sederhana, begitu meyakinkan tetapi bisa membuat fatal itu, begitu aman dan memberinya suatu getaran kepuasan dalam dirinya.
Dimatikannya kran air, lantas ia menunggu sambil memasang telinga. Terdengar suara Edyth memindahkan sesuatu di atas jalan beton di luar pintu belakang.
Ronald mengambil sebuah kantung plastik dari saku bagian dalam jasnya yang tergantung. Ketika Ronald membaca kembali petunjuk di balik kantung plastik itu, terdengar suara yang tak begitu keras, tetapi memaksanya menengok ke arah sumber suara itu.
Betapa terkejutnya ketika Ronald tahu apa yang dilihatnya. Edyth berada tidak sampai 2 m jauhnya dari dirinya. Kepala istrinya muncul dengan tiba-tiba persis di atas atap dapur tambahan di luar jendela kamar mandi.
Edyth sedang membersihkan daun-daun kering yang menyumbat talang air. Tentunya, pikir Ronald, Edyth berdiri di atas tangga yang disimpan di dekat pintu belakang.
Ronald tidak menjadi panik menghadapi kejadian itu. Masih menggenggam kantung plastik, dengan tenang ia pun berbicara kepada istrinya.
"Sedang apa kau di situ, sayang?"
Edyth terkejut hingga nyaris terjatuh dari tangga. Bagai maling tertangkap basah, kedua pipinya yang kurus berubah merah.
"Aduh, bikin terkejut saja! Cuma pekerjaan kecil sebelum aku mandi dan berganti pakaian. Bila hujan, talang ini membanjiri tangga belakang."
"Kau memang penuh perhatian, sayang," kata Ronald dengan nada kecut: "Tetapi tidak penuh pengertian kalau kau tahu aku sedang menyiapkan air mandi kecantikan untukmu."
Tertutup awan busa
Tekanan yang; lembut pada kata "kecantikan" tidak mempengaruhi Edyth.
"Barangkali tidak," katanya tanpa menatap suaminya. "Kau baik sekali mau repot-repot, Ronald."
"Tidak sama sekali," kata Ronald. "Malam ini kau akan kuajak keluar dan aku ingin kau tampak secantik, eh, mungkin. Cepatlah. Busa ini akan segera lenyap dan seperti semua perawatan kecantikan kelas tinggi, bahan-bahannya mahal."
"Baiklah, sayang." Edyth segera turun, sementara Ronald kembali ke bak mandi dan menuangkan isi kantung plastik itu ke dalam air. Kristal-kristal berwarna kuning kecokelatan dengan aroma bunga mawar yang menusuk, mengambang di permukaan air. Ketika kran air dibuka, kristal-kristal itu mulai lamt dan berubah menjadi ribuan gelembung.
Rasa takut sempat menyerangnya, karena Ronald khawatir busa itu tidak berfungsi seperti yang dia inginkan. Lantas ia mencoba mengaduk air dengan tangannya, dan ia tidak perlu cemas.
Busa itu semakin mengembang menjadi awan gelembung 'yang semerbak wangi. Dasar bak mandi dan isinya semakin tak tampak karena tertutup awan gelembung. Bahkan busa yang -kian mengembang itu melimpah ke luar, menutupi kabel putih itu dan melimpahi panel-panel dinding serta karpet kamar mandi.
Ronald mengenakan jasnya, lantas membuka pintu.
"Edyth! Cepatlah, sayang!"
Kata-kata itu tak sempat terlontar dari ujung lidahnya karena istrinya keburu datang. Edyth masuk ke kamar mandi dengan malu-malu. Gaun birunya memperlihatkan tubuhnya yang kurus, rambutnya berkerudung topi mandi.
"Aduh, Ronald!" kata Edyth, sambil menatap terkejut melihat apa yang terjadi di kamar mandi. "Kacau benar? Ya, Tuhan! Sampai berlepotan ke lantai!"
Sikap Edyth membuatnya marah.
"Tak apa-apalah," ucap Ronald. "Masuklah, mumpung busanya masih bagus. Cepat aku akan berdandan dulu. Kau kuberi waktu 10 menit. Masuk dan berbaringlah. Busa itu akan membuat kulitmu bersinar."
Ronald keluar dari kamar mandi. Ia berhenti di depan pintu sambil memasang telinga. Terdengar Edyth mengunci pintu kamar mandi dan gerendel yang dimasukkan ke dalam lubangnya.
Ronald berjalan pelan-pelan di gang. Ia memberi Edyth waktu 60 detik. Tiga puluh detik untuk melepaskan pakaiannya dan 30 detik lagi termangu-mangu memperhatikan busa dengan wangi mawar itu.
"Bagaimana busanya?!" teriak Ronald yang berdiri dekat kotak sekring di belakang lemari.
Edyth tidak segera menjawab. Sebutir keringat menetes di dahi Ronald. Lantas terdengar Edyth menjawab.
"Aku belum tahu. Aku baru saja masuk. Tetapi baunya harum sekali."
Jurus akal-akalan
Ronald tidak menunggu kata terakhimya. Tangannya yang masih terbungkus sapu tangan bersiap-siap memutar tombol sekring.
"Satu, dua, ... tiga," gumamnya dengan sedikit gemetar pada hitungan ketiga.
Pijar-pijar bunga api listrik memercik dari stopkontak di belakangnya, ketika aliran listrik mengalir. Kemudian ... hening.
Suasana di dalam rumah begitu sunyi mencekam. Detak-detak jantungnya terdengar semakin keras. Juga detik-detik jam dinding di bawah tangga. Lalu gelepar lalat yang terperangkap kaca jendela, serta gemuruh mesin pemotong rumput yang berasal dari kebun rumah sebelah.
Seminggu sekali pria berwajah segar yang tinggal di rumah sebelah itu memotong rumput di halaman rumahnya. Namun, dari kamar mandi sama sekali tak terdengar suara apa pun.
Setelah beberapa saat, Ronald melangkah perlahan-lahan sepanjang gang, kemudian mengetuk pintu kamar mandi.
"Edyth?"
Tidak ada jawaban. Tidak ada suara. Tidak ada apa-apa.
"Edyth?!" serunya lagi.
Kesunyian itu begitu sempurna. Ronald menegakkan kembali tubuhnya dan mengembuskan napas lega. Istrinya sudah tewas, pikirnya.
Ronald menjadi semakin bersemangat menyiapkan tahap kedua. Dalam tahap berikut ini, Ronald menggunakan jurus akal-akalan. Penemuan mayat itu harus dilakukan, tetapi jangan sampai terlalu cepat. Sebab Ronald pernah melakukan kesalahan itu setelah terjadinya "kecelakaan" yang menimpa Dorothy.
Inspektur polisi benar-benar mendesaknya agar menjawab kenapa Ronald begitu cepat mengisyaratkan terjadinya "kecelakaan" itu. Namun, ketika itu Ronald bisa memberikan alasannya, dan saat yang cukup membahayakan dirinya itu pun berlalu.
Kali ini ia memutuskan, penemuan mayat Edyth akan diisyaratkan setengah jam sebelum ia mulai memukul keras-keras pintu kamar mandi dengan palu, kemudian berteriak-teriak ke arah tetangga, dan akhirnya mendobrak pintu.
Ronald berencana untuk berjalan-jalan dan membeli koran sore. Untuk maksudnya itu, ia akan berpamitan kepada Edyth dengan berteriak dari tangga depan agar suaranya terdengar oleh orang yang lalu-lalang di jalan depan rumahnya. Namun, ketika hendak melangkahkan kakinya, ia teringat ada hal lain yang akan dilakukannya lebih dulu.
Tabungan habis dikuras
Tas kulit Edyth yang berisi surat-surat penting pribadinya tersimpan di bawah kotak tempat menaruh topi-topi Edyth. Edyth percaya benar bahwa Ronald tidak tahu tas kulit itu tersimpan di sana, pikir Ronald getir.
Suatu kali, Ronald menemukan tas itu dalam keadaan terkunci dan ia tidak berani membuka kund tas itu dengan paksa karena takut ketahuan istrinya. Namun, sekarang tak ada lagi yang bisa mengalanginya.
Ronald melangkah pelan ke kamar tidur, lantas dibukanya pintu lemari pakaian istrinya. Tas kulit itu masih tetap berada di tempat yang sama seperti ketika terakhir kali dilihatnya. Tebal dan menjanjikan.
Diraihnya tas itu dengan penuh rasa terima kasih. Rupanya, kuncinya sedikit lebih susah dibuka daripada yang dikiranya, tetapi akhirnya berhasil juga. Tampaklah di dalamnya isi tas yang tersusun rapi. Sekilas tampak semuanya amat memuaskan bagi Ronald.
Jauh lebih memuaskan daripada yang dia harapkan. Ada beberapa bundel sertifikat deposito, satu atau dua amplop tebal bercap warna merah yang mengesankan dari kantor pengacara.
Paling atas dari semua itu, sebuah buku biru yang cukup dikenalnya. Buku itu diterbitkan oleh kantor pos bagi para nasabah tabungan bank.
Dengan jari-jari gemetar Ronald membuka buku biru itu dan menelusuri halaman-halamannya. Dua ribu ponsterling. Jumlah itu kontan membuat mulutnya bersiul. Dua ribu delapan ratus lima puluh.
Edyth tentu telah menerima keuntungan dari saham yang lumayan. Dua ribu sembilan rafus. Lantas jumlah itu berkurang setelah diambil Edyth 100 ponsterling untuk membeli gaun pengantinnya, sehingga menjadi Dua ribu delapan ratus.
Pikir Ronald, ini adalah masukan yang terakhir, tetapi di halaman sebaliknya ia melihat ada satu transaksi lain yang tercatat di sana. Tanggalnya kurang dari seminggu yang lalu.
Ronald teringat buku itu kembali lewat pos dan Edyth menganggap dirinya cerdik karena telah menyelundupkan amplop itu sehingga tidak ketahuan suaminya. Ronald terkejut dan panik, ketika menatap kata-kata dan angka-angka yang tertulis di sana.
Kedua matanya melotot dan berkaca-kaca. Hampir semua uangnya telah diambil Edyth. Tulisan itu berbunyi: tanggal 4 September mengambil dua ribu tujuh rafus sembilan puluh delapan ponsteding.
Ronald berharap uang itu masih ada dalam bentuk uang kertas seratus ponsterling, yang barangkali disimpan dalam salah satu amplop itu. Dirobeknya kemudian amplop itu dengan terburu-buru dan karena dicekam rasa panik dan cemas, ia lupa akan prinsipnya bahwa ia senantiasa tidak boleh gegabah dalam bertindak. Kertas-kertas, surat-surat, sejumlah sertifikat pun berhamburan di lantai.
Selembar sampul surat yang dialamatkan kepadanya membuatnya terkejut. Sampul surat itu masih tampak baru dengan tinta yang masih segar. Nama itu ditulis dengan tangan oleh Edyth sendiri, Ronald Torbay Yth.
Bukan suami-istri
Ronald membuka sampul itu dan mencabut selembar kertas di dalamnya. Ia sungguh terheran-heran, tanggal surat itu hanya berselang dua hari yang lalu.
"Ronald Yth,
Mudah-mudahan kau tidak terkejut bila menemukan suiat ini. Cukup lama aku berharap bahwa aku tidak perlu menulis surat ini. Namun, kini sikapmu memaksaku menghadapi beberapa kemungkinan yang sangat tidak .menyenangkan.
Maaf, Ronald, dalam beberapa hal kau memang sangat ketinggalan zaman. Tidakkah terpikir olehmu bahwa wanita setengah baya dan sedeihana yang didorong-dorong untuk menikah secara terburu-buru dengan pria yang tak dikenalnya, tentunya malah curiga dan peka pada soal mandi, kecuali kalau wanita itu memang benar-benar tolol?
Asal kau tahu saja, kisah James Joseph Smith dan pengantin wanitanya tidak seluruhnya terlupakan. Terus terang, aku tidak ingin mencurigaimu.
Tadinya kupikir aku telah jatuh cinta padamu. Tetapi bujukan-bujukanmu agar aku membuat surat wasiatku pada hari peikawinan kita membuatku bertanya-tanya. Kemudian setelah kau mulai meributkan soal kamar mandi itu di rumah ini, aku lantas berpikir lebih baik aku cepat-cepat melakukan sesuatu. Aku pun melapor ke polisi.
Pernahkah kau memperhatikan bahwa orang yang baru saja tinggal di rumah sebelah kita tidak pernah mengobrol denganmu?
Kami berpikir, cara itu yang paling baik. Adalah wanita tetangga kita yang menunjukkan kepadaku dua lembar guntingan surat kabar lama, masing-masing tentang wanita yang mengalami kecelakaan fatal ketika sedang mandi busa, tak lama setelah mereka menikah.
Kedua guntingan koran itu masing-masing disertai foto suami korban yang diambil pada saat pemakaman. Foto-foto itu tidak terlalu jelas. Namun setelah kuamati, aku lantas menyadari aku wajib menyetujui usul inspektur polisi itu.
Polisi sedang mencari seorang pria yang bisa menjawab teka-teki kematian kedua wanita itu selama tiga tahun, sejak kedua fofo yang menarik perhatian polisi itu diserahkan oleh saudara laki-laki istri keduamu yang malang itu.
Yang hendak kukatakan adalah: bila kau tidak menemukan aku, Ronald, di dalam kamar mandi maksudku, berarti aku sudah keluar melewati atap dan kau bisa menemukan aku duduk-duduk di dapur tetangga kita.
Aku memang tolol mau menikah denganmu, tetapi tidak setolol seperti yang kau kira. Kami menempuh cara ini, Ronald.
Dari aku,
Edyth
NB:
Setelah membaca kembali surat ini, karena kegugupanku aku lupa menyebutkan bahwa orang baru yang tinggal di sebelah rumah itu bukanlah pasangan suami-istri, melainkan Detektif Batstoid dari Scotland Yard dan asistennya, Richards, seorang polwan.
Polisi itu meyakinkan aku bahwa mereka tidak bisa memperoleh cukup bukti untuk menangkap dan menghukummu apabila kau tidak dibiarkan lebih dulu melakukan kejahatan lagi.
Itulah sebabnya mengapa aku memaksakan diri agar berani menjalankan peranku. Sebab aku sangat kasihan kepada kedua istrimu yang malang itu, Ronald. Tentunya, mereka sudah telanjur tertarik kepadamu seperti aku."
Dengan mulut ternganga Ronald Frederick Torbay melepaskan pandangannya dari surat itu.
Vila itu sunyi. Deru mesin pemotong rumput di kebun rumah- sebelah sudah tak terdengar lagi. Dalam keheningan itu tiba-tiba Ronald mendengar suara gemerisik ketika pintu belakang mendadak terbuka.
Terdengar langkah-langkah kaki berlari menerjang ruang tengah, lantas naik ke atas menghampirinya.
Ronald Frederick Torbay ditangkap dengan tuduhan membunuh kedua istrinya dan mencoba melakukan pembunuhan terhadap Edyth, istrinya yang ketiga.
(Margery Allingham)
" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123021/mandi-busa-istri-ketiga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643747050000) } } }