Intisari Plus - Orang bilang, saya dungu. Menurut dugaan saya, predikat itu diberikan gara-gara tubuh saya besar dan gemuk. Di bioskop dan film seri TV 'kan orang dungu diperankan oleh manusia berpotongan seperti saya. Selain itu saya bekas pegulat profesional. Pegulat profesional tidak diharapkan mengandalkan hidup dari otaknya.
Saya harus mengakui bahwa ada beberapa kejadian dalam hidup saya yang menyebabkan rencana bagus rekan-rekan saya berakhir secara konyol. Umpamanya saja: Saya pernah disuruh menunggu di mobil, sementara rekan-rekan saya merampok bank.
Menurut skenario yang mereka rancang, saya harus melarikan mobil begitu mereka masuk membawa uang rampokan. Eh, temyata saya kabur membawa penumpang yang keliru.
Pernah ketika saya diajak merampok emas, saya begitu bingung, sehingga emas yang berada dalam mobil saya itu saya larikan kembali ke tempat ia diambil.
Saya pikir sih kesalahan-kesalahan macam begitu bisa saja dialami setiap orang pada saat kebingungan. Namun, tidak semua orang sependapat.
Saya dianggap dungu dan diberi pekerjaan-pekerjaan yang "tidak menuntut kemampuan intelektual", seperti menggertak orang (tubuh besar 'kan banyak gunanya untuk keperluan ini), menguntit, menjadi tukang pukul, menyopiri. Tapi membunuh saya tidak mau. Itu prinsip saya yang tidak bisa digugat-gugat.
Jadi ketika ditawari mencuri di Harbinger Hall, segera saja tawaran itu saya sambar. Siapa sih yang mau menolak 5.000 ponsterling sebagai upah pekerjaan yang tidak sulit? Tentu saja ada risiko kepergok, tetapi 5.000 ponsterling untuk suatu pekerjaan yang dilakukan di sebuah puri kuno pada akhir minggu rasanya sayang untuk dilewatkan.
Pertemuan di tempat mandi uap
Orang yang mula-mula menghubungi saya ialah Wally Clinton. Saya heran juga ia masih mau memakai saya. Soalnya, pernah saya diminta melarikan dia ke Bandara Heathrow sehabis dia melakukan perampokan di toko perhiasan, eh tahu-tahu bensin di tangki mobil saya habis di jalan.
Kata Wally, kejadian yang sudah lewat biarlah dilupakan saja. Ia meminta saya menghubungi Pak Loxton di tempat mandi uap dekat St. Martin Lane.
Saya datang ke sana. Sauna itu aneh sekali. Tidak ada perempuan di sana, tidak ada kamar-kamar sempit tempat memijat, tidak ada tissue berserakan di lantai. Tempat apa ini?
Orang yang berjaga di pintu kelihatannya sedang menunggu kedatangan saya. Ia memberi saya sehelai handuk lebar berwarna putih dan mengantar saya ke kamar pakaian yang serba bersih. Ia menyuruh saya untuk membuka pakaian dan menyelimuti tubuh dengan handuk. Kemudian saya disuruhnya masuk ke sauna. Katanya, Pak Loxton sebentar lagi akan datang.
Wah, rasanya kikuk sekali duduk di bangku kayu tanpa penutup tubuh, kecuali handuk. Panasnya hampir tak tertahankan. Kenapa sih Pak Loxton memilih tempat pertemuan seperti ini? Rupanya ia tidak mau dikenali. Di ruang sauna 'kan lampu remang-remang, sedangkan uap memburamkan penglihatan. Lagi pula orang yang telanjang tampaknya berbeda daripada kalau mengenakan pakaian.
Saya yakin dugaan saya benar. Soalnya, ia datang bukan cuma berselimut, tetapi juga berkerudung handuk. Ia tidak langsung mendekati saya, melainkan pergi ke sudut, mengambil segayung air dan ember kayu dan menyiramkannya ke tumpukan batu panas. Segera saja uap mengepul tebal, mengaburkan pandangan.
"Anda Billy Gorse?" Saya mernbenarkan.
"Terima kasih untuk kedatangan Anda. Wally Clinton mengusulkan Anda untuk pekerjaan ini."
Walaupun wajahnya tersembunyi di balik handuk dan uap, tetapi suaranya mudah dibedakan dari orang lain. Aksennya aksen kelas atas dan agak terlalu sopan. Saya termasuk orang yang peka terhadap suara dan saya yakin akan mengenali dia dari suaranya kalau kami bertemu lagi sekali waktu.
"Saya ingin minta Anda mencuri lukisan, Gorse."
"Wah, saya buta seni."
"Anda tak perlu kenal seni."
"Tapi lukisan 'kan bukan video yang bisa disambar begitu saja. Apalagi lukisan bagus 'kan memakai pengaman. Belum lagi menemukan orang yang mau menjual benda semacam itu."
"Semua itu akan diurus oleh orang lain. Anda cuma harus mencuri sebuah lukisan."
"Jadi saya merupakan bagian dari sebuah geng?"
"Anda tidak perlu tahu tentang itu. Anda tinggal mengikuti perintah saja."
"Oh, boleh saja."
"Baik. Wally bilang Anda bisa. Pekerjaan itu akan Anda lakukan pada akhir minggu terakhir bulan Oktober."
"Di mana?"
"Tahu Harbinger Hall?"
Saya menggeleng.
"Berarti Anda juga tidak pernah mendengar tentang Harbinger Madonna."
"Siapa sih, dia?"
"Lukisan yang mesti Anda curi."
"Ooh! Saya tidak tahu apa-apa tentang, seni sih."
Ia malah tampak lega. Ia bertanya ke mana instruksi untuk saya harus dikirimkan. Hampir saja saya berikan alamat rumah saya, tetapi firasat saya memberi isyarat agar saya hati-hati. Jadi saya berikan alamat si Rita Merah. Saya sering meminjam alamatnya. Dengan imbalan tentu saja, tetapi apa imbalan itu tidak perlu saya sebutkan di sini.
Kemudian Pak Loxton merogoh ke dalam handuknya dan menarik ke luar sebuah kantung plastik. Wah, orang ini cermat memikirkan segala hal sampai pada yang sekecil-kecilnya. Ia tidak mau uang menjadi lembap.
"Isinya lima ratus. Dua ribu lagi akan diberikan bersama instruksi. Sisanya akan diserahkan kalau pekerjaan sudah selesai." Ia bangkit dan dari balik uap berkata, "Anda tinggal sepuluh menit lagi di sini. Kalau Anda muncul di tempat ganti pakaian sebelum saya pergi, kontrak dibatalkan."
Disuruh ikut tur
"Oh, Pak Loxton!" seru saya ketika ia sudah memegang gerendel pintu. Reaksinya lambat, membuktikan bahwa namanya bukan Loxton. Memang jarang penjahat memakai nama aslinya. Saya sih dari dulu sampai sekarang tetap memakai nama Billy Gorse.
"Ada apa, Pak Gorse?"
"Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda," kata saya dengan puas karena berhasil mengujinya.
Ia mendengus lalu keluar.
Saya menunggu sepuluh menit.
Wah, sepuluh menit dikukus rasanya lama sekali.
Seminggu kemudian ketika saya pergi ke tempat Rita Merah, ia menyerahkan sebuah sampul tebal berwama cokelat, yang ia temukan dalam kotak suratnya.
Keesokan paginya, ketika sudah kembali ke rumah saya, sampul itu saya buka. Isinya uang ponsterling lima puluhan sebanyak empat puluh lembar. Selain itu ada kartu pos berwarna, menggambarkan seorang wanita berbaju biru sedang memangku bayi.
Itulah rupanya lukisan yang mesti saya curi. Saya tidak terlalu memperhatikannya, karena lebih tertarik pada kertas berisi instruksi yang diketik.
Kertas itu tidak menyebut nama saya, tidak pula nama pengirimnya. Semua instruksi ditulis dalam huruf besar. Sial betul Wally Clinton! Pasti saya digambarkan begitu gobloknya, sehingga pengirim surat khawatir saya tidak bisa membaca huruf kecil. Bunyi instruksi itu begini:
PERTAMA - ISI FORMULIR PENDAFTARAN INI. DAFTARKAN DIRI UNTUKMENGINAP DI HARBINGER HALL UNTUK TANGGAL 29 DAN 30 OKTOBER. KIRIMKAN UANG PEMBAYARAN DENGAN POSWESEL (SEMUA PENGELUARAN ANDA AKAN DIGANTI).
KEDUA - JUMAT INI, 21 OKTOBER, PERGILAH KE HARBINGER HALL DAN IKUT TUR MENINJAU PURL (TUR INI DIADAKAN SETIAP JAM MULAI PUKUL 10.00 SAMPAI 14.00.) KALAU ANDA TIBA DI BANGSAL AGUNG PERHATKAN DENGAN SAKSAMA LUKISAN MADONNA. PERHATKAN SISTEM SEKURITI YANG DIPASANG SEKELILINGNYA.
KALAU TUR TIBA DI UJUNG GALERI PANJANG DI TINGKAT ATAS, BIARKAN DIRI ANDA TERTINGGAL DI BELAKANG. KETIKA MEREKA MEMASUKI RUANG TDUR BIRU, BUKALAH PINTU BERTULISKAN "PRBADI" DI UJUNG GALERI, ANDA AKAN BERADA DI PUNCAK TANGGA. TURUN CEPAT SAMPAI DI LOBI KECIL. DI DINDING YANG LETAKNYA DI SEBERANG TANGGA ADA KOTAK-KOTAK PENGENDALI SISTEM ALARM DI PURI ITU. ANDA AKAN MELIHAT KABEL-KABEL MUNCUL DARI ATAS KOTAK. (KALAU NANTI ANDA KEMBALI LAGI KE TEMPAT ITU UNTUK MENCURI MADONNA, ANDA MESTI MENGGUNTMG KABEL ITU.) SETELAH MELHAT POSISI KABEL, ANDA HARUS CEPAT-CEPAT KEMBALI MENAIKI TANGGA DAN BERGABUNG KEMBALI DENGAN ROMBONGAN. IKUT TERUS DENGAN ROMBONGAN SAMPAI TUR SELESAI LALU PULANG KE RUMAH.
INSTRUKSI BERIKUTNYA AKAN MENYUSUL MINGGU DEPAN. HAFALKAN YANG TERTULIS DI KERTAS INI LALU BAKAR KERTASNYA.
Soya melakukan semua yang diperintahkan. Saya memesan tempat untuk berakhir minggu di puri dan mendapat brosur. Wah, liburan macam begini sih tidak cocok untuk orang seperti saya.
Bayangkan acaranya: keliling puri dan tanah yang mengelilinginya, ceramah di tempat-tempat bersejarah, makan malam gaya Abad Pertengahan pada Sabtu malam, perjamuan teh perpisahan dengan Lord Harbinger, pemilik puri itu, pada hari Minggu.
Saya sih lebih suka melewatkan akhir minggu dengan beberapa kawan di Southend sambil minum-minum bir. Tapi apa boleh buat, demi uang 5.000 ponsterling.
Satpam curiga
Hari Jumat, tanggal 21 Oktober itu, saya melakukan hal yang diperintahkan kepada saya, yaitu ikut tur keliling puri. Mula-mula saya menumpang kereta api ke Limmerton. Di sana sudah ada bus khusus untuk membawa wisatawan ke Harbinger Hall.
Tempat itu agak kurang terawat, belum dikembangkan seperti beberapa puri lain. Mengembangkan tempat wisata seperti ini memang membutuhkan banyak biaya. Bayaran dari turis jelas tidak cukup untuk mengembangkan tempat ini.
Tampaknya bus tidak terisi penuh. Mungkin musim turis sudah lewat.
Pemandu wisata yang mengantar kami berkeliling rupanya sudah bosan mengocehkan hal yang sama. Cerita dan leluconnya seperti keluar dari pita rekaman. Kalau tidak mengingat uang 5.000ponsterling, saya tidak tahan mengikutinya.
Akhimya kami tiba di Bangsal Agung dan saya melihat lukisan seperti yang tertera di kartu pos. Tidak besar dibandingkan dengan lukisan-lukisan lain di situ. Paling-paling 60 x 45 cm. Saya heran mengapa mereka ingin saya mencuri lukisan yang satu ini.
Lukisan itu menggambarkan ibu dan bayinya. Bingkainya bagus, seperti dari emas berukir. Dibingkai itu dipasang lempengan kuningan bertuliskan:
MADONNA DENGAN ANAK
Giacomo Palladino Florentine (1473 - 1539)
Tampaknya sih lukisan itu tidak memiliki alat pengaman yang terlalu canggih. Ada tarnbang merah dipasang kira-kira 2 m dari lukisan, untuk mencegah orang mendekatinya. Ya, pengaman seperti itu sih bisa diabaikan oleh semua orang. Yang patut ditakutkan ialah sinar foto elektris atau alat lain yang membunyikan alarm jika kita menyentuh lukisan itu. Saya melangkahi tambang untuk mengamati lebih dekat.
"Pencinta seni Anda ini rupanya?" begitu suara sarkastis saya dengar dari belakang saya.
Saya menoleh dan beradu pandang dengan seorang pria berseragam. Ia bukan pemandu wisata. Si pemandu wisata sedang mengoceh di ujung ruangan, menceritakan tentang raja atau entah siapa. Pria berseragam ini salah seorang satpam, yang sejak saya tiba kelihatan berjaga di mana-mana.
"Bukan," jawab saya sambil melemparkan senyuman, senyuman yang kata orang merupakan modal saya. "Saya sih buta seni."
"Ngapain dong Anda memandangi Madonna sedekat itu?"
Hampir saja saya bilang bahwa saya tertarik pada sistem pengamanannya, tetapi akhirnya saya cuma mengangkat bahu dan melangkahi lagi lingkungan tambang untuk bergabung dengan rombongan.
Di tingkat atas, saya menuruti instruksi tanpa kesulitan. Ketika rombongan sedang mendengarkan ocehan tentang sejarah Kamar Tidur Biru, saya pura-pura membetulkan tali sepatu. Setelah tertinggal sendirian di galeri, saya menyelinap lewat pintu yang bertuliskan "Pribadi".
Begitu turun tangga, saya lihat ada kotak-kotak logam yang mempunyai pelbagai tombol warna-warni yang menyala dan pelbagai lubang kunci dari logam. Seikat kabel yang tidak tebal mencuat dari kotak itu. Gampang untuk dipotong.
Sesaat saya tertegun. Setahu saya, sistem semacam ini ada yang bisa berbunyi kalau kabelnya diotak-atik. Jangan-jangan saya sengaja dijebloskan oleh Wally atau orang lain yang sakit hati kepada saya gara-gara rencana mereka dikacaukan oleh kekeliruan saya.
Tapi mengapa saya sudah diberi uang 2.500 ponsterling? 'Kan buang uang namanya kalau mereka cuma sekadar ingin menyerahkan saya kepada yang berwajib?
Cepat-cepat saya naik ke atas lagi. Baru saja saya menutup pintu, tampak satpam yang tadi muncul dari ujung galeri. Saya tidak tahu apakah ia memergoki saya atau tidak, tetapi ia tetap masih segarang tadi.
"Mencari. sesuatu, Pak?" tanyanya dengan mengejek.
"WC," kata saya, lalu cepat-cepat menyusul anggota rombongan ke Kamar Tidur Biru.
Ada barang, ada uang
Kiriman berikutnya datang hari Rabu, tiga hari sebelum saya harus pergi menginap di Harbinger Hall. Saya membuka paket itu di rumah Rita, sambil menunggu Rita yang sibuk melayani pelanggan. Di dalamnya ada uang. Hal itu tidak pernah saya duga.
Uang dalam bentuk limaan dan satuan ponsterling itu masih disertai beberapa uang receh. Ternyata uang pengganti ongkos saya mengikuti tur beberapa hari sebelumnya.
Uang itu pas sekali, termasuk ongkos kendaraan ke Limmerton dari London. Pasti selama ini saya dikuntit. Boleh juga nih pentolan yang menyewa saya. Begitu ada barang, langsung ada uang.
Selain uang, dalam bungkusan itu ada kunci mobil. Kunci itu cuma satu, tergantung pada cincin yang diberi label plastik berwarna kuning. Selain itu ada instruksi. Sialan, dalam huruf kapital lagi! Instruksinya begitu jelas, sampai orang idiot pun pasti mengerti.
Menurut instruksi, Sabtu pagi, tanggal 29 Oktober, pukul 09.00, saya harus pergi ke tempat parkir bawah tanah di Cavendish Square. Di petak parkir no. 86 saya akan menemukan Peugeot merah yang kuncinya diberi label plastik kuning itu.
Di bangku belakang disediakan koper untuk tempat pakaian yang akan saya bawa berlibur akhir minggu. "Jangan mengeluarkan apa-apa dari koper itu," begitu saya dipesan wanti-wanti.
Dilaci mobil saya akan menemukan uang untuk membayar ongkos parkir. Dari tempat itu saya harus langsung mengendarai Peugeot itu ke Harbinger Hall. "Kalau kepadatan lalu lintas normal, Anda akan tiba pukul 12.30, yaitu sesaat sebelum makan siang gaya prasmanan yang mengawali liburan akhir minggu di Harbinger Hall," demikian tertulis.
Saya dipesan untuk mengikuti semua kegiatan yang disediakan dan bersikap normal. Saya tidak boleh menarik perhatian.
Pencurian Madonna mesti saya lakukan hari Minggu sore, pada saat para tamu akan meninggalkan puri. Menurut kebiasaan, Lord Harbinger dengan keluarga dan para pembantu rumah tangganya akan berdiri berderet di bangsal depan, memberi ucapan selamat jalan kepada para tamu.
Saya dipesan agar mengikuti instruksi berikut ini dengan saksama: SELESAI MINUM TEH BERSAMA LORD HARBINGER, TAMU-TAMU YANG MENGINAP DI PURI DIBERI KESEMPATAN SETENGAH JAM UNTUK MEMBENAHI PAKAIAN MEREKA DAN DIMNTA MUNCUL DI BANGSAL DEPAN PUKUL 18.00 UNTUK MENGUCAPKAN SELAMAT TINGGAL KEPADA LORD HARBINGER, LALU BALK KE BUS ATAU KE MOBIL MASING-MASING. ANDA HARAP BEBENAH LALU TURUN KE BANGSAL DEPAN PUKUL 17.50. TINGGALKAN KOPER ANDA DI KAMAR.
KALAU HAMPIR SEMUA TAMU SUDAH TURUN, ANDA PURA-PURA INGAT KALAU KOPER ANDA TERTINGGAL BURU-BURU ANDA KEMBALI KE KAMAR UNTUK MENGAMBILNYA.
KEMUDIAN PERGI CEPAT KE GALERI PANJANG, MASUK KE PINTU BERTANDA "PRIBADI", TURUN TANGGA DAN POTONG KABEL DI ATAS KOTAK. DI SEBELAH KANAN KOTAK ITU ADA PINTU YANG MENEMBUS LANGSUNG KE BANGSAL AGUNG.
MASUK CEPAT DAN AMBIL MADONNA ASLI. GANTIKAN DENGAN MADONNA PALSU DARI KOPER. PEKERJAAN INI GAMPANG. SISTEM PENGAMAN LAIN TIDAK ADA.
DENGAN MEMBAWA LUKISAN ASLI DALAM KOPER, ANDA KEMBALI KE KAMAR. MELEWATI TANGGA UTAMA ANDA PERGI KE BANGSAL DEPAN.
SEMUA ITU MESTI ANDA LAKUKAN DALAM WAKTU KURANG DARI LIMA MENIT. ORANG LAIN TIDAK AKAN MEMPERHATIKAN SEBAB SEDANG SIBUK BERSALAM-SALAMAN.
BERGABUNGLAH DENGAN MEREKA DAN BERSIKAP WAJAR. BIARKAN SALAH SEORANG PELAYAN MEMBAWA KOPER ANDA KE MOBIL DAN SURUH DIA MENARUHNYA DI BANGKU BELAKANG.
KENDARAI MOBIL LANGSUNG KE LONDON. KEMBALIKAN KE TEMPAT SEMULA. AMBIL PAKAIAN ANDA DARI KOPER, TETAPI TINGGALKAN KOPER DAN LUKISAN DI SANA DALAM MOBIL TERKUNCI, BERSAMA KUNCI MOBIL DAN KARCIS PARKIR. UANG DUA RIBU LIMA RATUS AKAN MENUNGGU ANDA DI ALAMAT YANG BIASA.
SEPERTI SEBELUMNYA, HAFALKAN INSTRUKSI INI, LALU BAKAR.
Berkonsultasi dengan ahli
Saya sudah cukup lama berkecimpung di dunia hitam. Jadi saya insaf bahwa saya akan berada dalam bahaya pada saat saya meninggalkan Harbinger Hall sampai berada di tempat parkir, sebab pada saat itu saya membawa barang yang sangat berharga. Bisa terjadi saya dibajak, dibegal, atau dianiaya di jalan oleh geng lawan. Berapa sih nilai lukisan itu?
Saya pikir, saya perlu bantuan ahli. Untung bagi saya, pekerjaan Rita Merah mempertemukannya dengan banyak manusia dari pelbagai kalangan. Ketika iseng-iseng saya katakan saya membutuhkan bantuan ahli seni, ia bilang ia kenal baik seorang penyalur benda seni yang biasa mengadakan transaksi internasional.
Saya tidak pernah menyangka bahwa penyalur barang seni dalam dunia hitam berkantor di Bond Street, dalam sebuah galeri. Sekretaris di tempat itu sombong sekali. Katanya, ia akan mengecek dulu apakah Pak Depaldo bisa ditemui atau tidak.
Saya sudah tahu dari Rita Merah bahwa Depaldo tidak mau menemui saya, tetapi Rita mengancam akan membuka rahasianya (entah rahasia apa), kalau ia menolak. Jadi hari itu saya diterima di kantornya.
Saya bertanya apakah mungkin untuk menjual lukisan curian. Bisa, jawabnya. Ia terkejut ketika saya menyebut Madonna dari Harbinger. Berapa harganya, tanya saya. Katanya, kalau di pelelangan sih bisa sampai 2 juta ponsterling, tapi kalau gelap-gelapan sih barangkali cuma 1 juta. Pokoknya, tidak kurang dari 750 ribu ponsterling.
Tampaknya ia bernafsu sekali untuk mendapatkan lukisan itu walaupun berpura-pura tidak terlalu berminat. Katanya, di London cuma ada dua orang yang bisa menangani lukisan semahal itu, salah seorang ia sendiri. Ia belum pernah ditawari lukisan itu. Berarti bos saya bekerja sama dengan saingannya, pikir saya.
"Berapa komisi Anda?" tanya saya.
"Enam puluh persen," jawabnya dengan tegas, "soalnya modalnya pun tinggi."
Depaldo kelihatannya juga bernafsu sekali untuk mengetahui apakah memang ada kemungkinan benda itu muncul di pasaran.
Saya berlagak pilon. Saya katakan saja saya cuma butuh informasi. Kalau ada, katanya, ia berminat. Tapi saya sih tidak berjanji apa-apa.
Dijauhi orang
Hari Sabtu, pukul 09.00, sesuai dengan instruksi, saya pergi ke Cavendish Square dan menemukan Peugeot merah di petak parkir no. 86 seperti yang sudah dijanjikan.
Kunci berlabel plastik kuning bisa dipakai membuka pintu dan menstarter mobil, tetapi tidak bisa dipakai membuka bagasi. Mungkin perlu kunci lain.
Di bangku belakang ada koper yang bentuknya seperti dompet, artinya tiga sisinya bisa dibuka dengan serotan. Di dalamnya pada tiap sisi ada elastik untuk mengikat pakaian agar tidak berantakan.
Di satu sisi ada bungkusan persegi tertutup kain. Pasti lukisan palsu. Tapi saya tidak mempunyai waktu untuk memeriksanya. Saya pindahkan pakaian saya dari kantung plastik ke koper dan mengikatnya dengan elastik di sisi yang berhadapan dengan bungkusan itu.
Sesuai dengan instruksi, saya pergi ke Harbinger Hall untuk menjadi salah seorang tamu yang menginap di sana. Walaupun kami semua diperlakukan dengan hormat, seperti layaknya seorang ningrat saja, tetapi saya merasa tidak betah.
Kalau peserta tur tidak boleh parkir di muka rumah, kami boleh. Kami juga boleh memasuki hampir semua pintu yang bertuliskan "Pribadi" dan bahkan boleh duduk di kursi seperti layaknya tamu. Tamu-tamu lain sih tampaknya menikmati kesempatan menjadi tamu di puri ini.
Rekan-rekan saya itu juga bukan berasal dari kalangan pergaulan saya. Sebagian dari mereka orang- Amerika. Mereka lebih ramah daripada orang Inggris sendiri, yang segera menjauh begitu mereka merasa saya bukan sekelas dengan mereka. Sok betul!
Kalau beberapa hari yang lalu saya bosan mendengarkan celoteh pemandu wisata yang mengantar kami keliling puri, maka sekarang ini saya betul-betul jemu. Bayangkan, orang yang mengantar keliling puri adalah para guru besar sejarah!
Yang disebut perjamuan gaya Abad Pertengahan, wah! Mendingan saya minum bir di pub daripada menghadapi tujuh belas pisau dan garpu yang harus digunakan untuk makan babi panggang dan hidangan dari burung merak. Saya pun lebih menikmati rekaman James Last daripada mendengar nyanyian cinta kuno yang diiringi lute (semacam gitar).
Sakit perut
Walaupun makanannya tidak enak, tapi orang berukuran besar seperti saya selalu terdorong untuk makan banyak-banyak. Makanan dan terutama minuman yang tidak keruan membuat perut saya berontak tengah malam buta, sehingga saya terburu-buru dan tersasar-sasar mencari kamar kecil. Maklum lampu di luar kamar remang-remang semua, mungkin demi menghemat listrik.
Pada saat berada di kamar kecil yang kunonya tidak alang kepalang itulah saya mendengar orang bercakap-cakap di luar. Saya menahan napas karena takut ketahuan, ketika saya mengenali suara salah seorang di antara rnereka. Suara Pak Loxton!
"Saya melihat orang kita sore tadi," begitu saya dengar ia berkata. Semua sudah beres untuk besok sore. Penyerahan akan berlangsung cepat sekali.
"Aku tetap khawatir."
"Anda tidak usah khawatir. Dari percakapan dengan para pelayan, ketahuan tamu-tamu lain pasti akan mengingatnya."
"Tapi kalau ia setolol penampilannya, apakah ia mampu melakukan hal yang kita harapkan?"
"Pekerjaan itu tidak sulit. Kalau ia berani tidak jujur dengan benda itu, kita panggil polisi, supaya ia ditangkap."
"Ah! Tidak baik!" jawab lawan bicara Loxton, yang gaya bicaranya seperti menteri kabinet yang sedang diwawancarai. Dari suaranya saya menaksir ia sudah tua. "Polisi akan mengusut terlalu dalam," lanjutnya pula.
"Tidak. Harap saja rencana berjalan mulus."
"Saya yakin pasti mulus," jawab Loxton.
"Kau yakin ia tidak curiga?"
"Sama sekali tidak. Ia dipilih dengan saksama. Orangnya sangat lugu."
"Baik kalau begitu. Selamat malam."
Mendengar orang itu menjauh, saya tidak tahan untuk tidak membuka pintu diam-diam. Padahal risikonya besar. Cahaya lampu 'kan menyorot ke luar.
Orang yang suaranya seperti menteri itu sudah tidak kelihatan, tetapi Loxton masih tampak punggungnya sekilas, ketika menjawab "Selamat malam".
Celananya kelabu bergaris-garis, yaitu seragam pelayan Harbinger Hall. Wah, kalau begitu betul dugaan saya bahwa saya diperalat oleh orang dalam.
Saya yakin orang yang disebut lugu itu saya, sebab bukan sekali dua kali saya dituding dengan istilah demikian.
Firasat buruk
Ketika tiba kembali di kamar, sakit perut saya rasanya tidak terasa saking kerasnya saya berpikir. Saya mendapat firasat bahwa ada yang tidak beres, tetapi saya tidak tahu apa.
Saya urutkan dari awal peristiwa-peristiwa yang membawa soya ke tempat ini. Mengapa Wally Clinton memilih saya? Saya 'kan bukan sahabat kentalnya yang patut ia hadiahi pekerjaan bagus?
Lagi pula mengapa pekerjaan sepele seperti menggunting kabel tidak dilakukan saja oleh Wally sendiri? Dia 'kan bukan penjahat besar, mustahil ia mau melewatkan rezeki 5.000 ponsterling?
"Dipilih dengan saksama," kata Loxton. Apa artinya? Seperti sudah saya katakan, saya mempunyai reputasi sebagai orang dungu, yang akan melaksanakan perintah tanpa banyak cingcong. Itu berarti Loxton ingin mencari orang yang dungu dan Wally Clinton mengusulkan saya!
Saya merasa terhina, tetapi yang lebih memprihatinkan saya ialah keinsafan bahwa saya akan dicelakai.
Sejak semula, saya terkesan oleh keefisienan para bandit yang mempekerjakan saya. Mereka menaruh perhatian sampai pada hal yang sekecil-kecilnya. Mereka membayar ongkos yang saya keluarkan dengan uang pas.
Mereka bahkan ingat meninggalkan uang parlor yang jumlahnya juga pas dalam laci mobil. Pada hari Minggu sore, saya diharapkan untuk mengembalikan Peugeot merah ke tempat parkir semula.
Tiba-tiba saja saya ingat bahwa ketika keluar dari tempat parkir dengan membawa Peugeot merah, saya diberi selebaran oleh petugas parkir, selebaran yang berisi pemberitahuan bahwa ongkos parkir akan naik.
Saya ambil selebaran itu dari saku jaket dan merinding ketika melihat tulisan di kertas itu: Tempat parkir itu tutup setiap hari Minggu!
Mustahil mereka yang begitu teliti memikirkan detail tidak tahu hal itu? Mustahil pula mereka yang begitu hati-hati membiarkan saya meluncur dari Harbinger Hall sendirian saja sambil membawa benda berharga jutaan ponsterling dan meninggalkannya begitu saja dalam mobil?
Apakah ini berarti bahwa mereka tidak mengharapkan saya tiba di tempat parkir itu? Apakah ini berarti bahwa saya betul-betul terancam begitu Madonna berada di tangan saya?
Kemudian saya ingat juga bahwa bagasi Peugeot merah itu tidak bisa dibuka. Saya pergi ke halaman depan diam-diam. Membongkar kunci bukanlah keahlian saya, tetapi setelah berkutat sepuluh menit dalam gelap, saya berhasil juga membuka bagasi.
Di dalamnya saya dapati peralatan maling untuk membongkar rumah. Lengkap! Selain itu juga ada dinamit. Bukan dinamit model kuno yang berbentuk batangan, tetapi dikemas dengan plastik. Apa gunanya saya dibekali dinamit dalam mengerjakan tugas ini?
Saya juga menemukan koper seperti yang ada di kamar saya. Di dalamnya ada lukisan tua seukuran Madonna, lengkap dengan bingkainya yang sama dengan bingkai Madonna. Cuma lukisan itu tidak menggambarkan Madonna. Entah gambar apa, karena sudah rusak.
Catnya sudah mengelupas dan di sana-sini ada noda. Jangankan 2 juta, 2 ponsterling saja tidak ada yang mau lukisan begini. Tapi anehnya, pada bingkainya ada pelat kuningan bertuliskan:
MADONNA DENGAN ANAK
Giacomo Palladino Florentine
(1473 - 1539)
Jelas ada sesuatu yang tidak beres, tetapi apa?.
Ternyata dia!
Hari Minggu sama membosankannya seperti hari Sabtu. Lewat lohor ada acara bebas. Kami boleh keluyuran di taman sampai tiba, saat minum teh dengan Lord Harbinger. Saya tidak mempunyai selera untuk berjalan-jalan, jadi saya rebah saja di ranjang sambil berpikir.
Seperti sudah saya katakan, otak saya baik-baik saja, cuma saya perlu waktu lama untuk berpikir. Berpikir sangat melelahkan bagi saya. Rupanya saya tertidur. Ketika saya keluar kamar, hari sudah pukul 16.45, padahal perjamuan teh dimulai pukul 16.30.
Saya bergegas menuju ke tangga. Dari jendela tingkat atas saya bisa melihat Peugeot saya di tempat parkir. Saat itu Pak Loxton sedang menutup bagasi mobil itu, lalu pergi. Hm, dia pasti menyangka saat ini saya sedang duduk-duduk minum teh!
Saya diperkenalkan kepada Lord Harbinger, yang kelihatannya berusaha untuk memperlihatkan minat kepada semua tamu yang disalaminya.
"Selamat sore, selamat datang di Harbinger Hall," katanya. Saat itu saya mengenali suaranya. Ini dia orang yang semalam bercakap-cakap dengan Loxton dekat WC! Hati saya jadi ciut.
Pukul 17.30, meskipun orang-orang Amerika tampaknya masih ingin tetap bersama Lord Harbinger, tetapi perjamuan dinyatakan usai dan kami digiring ke kamar masing-masing untuk membereskan koper.
Saya insaf saya mesti waspada. Di koper saya ada lukisan Madonna. Bagus sekali. Saya tidak bisa membedakannya dari lukisan yang tergantung di Bangsal Agung. Lalu saya teringat pada lukisan tua yang rusak di koper yang sama dengan koper ini dalam bagasi Peugeot merah.
Pukul 17.50, seperti yang diperintahkan, saya turun ke bangsal depan, meninggalkan koper saya di kamar. Di bangsal itu sudah ada beberapa tamu bersama koper mahal mereka. Beberapa menit sebelum pukul 18.00, semua tamu berkumpul lengkap di bangsal. Para pelayan mulai berbaris untuk upacara perpisahan, persis seperti dalam film seri.
"Eh, sialan!" kata saya keras. "Koper ketinggalan. Lain kali jangan-jangan kepala yang ketinggalan." Tamu-tamu lain tampak sebal sekali kepada saya dan membuang muka.
Saya cepat pergi ke kamar saya untuk menyambar koper, lalu pergi ke Galeri Panjang, masuk ke ruang tempat alarm untuk memotong kabel, kabur ke Bangsal Agung, menaruh koper di meja, membuka serotannya, membuka bungkusan Madonna yang ada di koper saya ....
Dikucilkan
Saya diberi waktu lima menit. Dalam waktu tiga setengah menit saya sudah berada di kepala tangga yang menuju ke bangsal depan, tempat para tamu lain berkumpul bersama Lord Harbinger.
Saya terengah-engah dan berkeringat. Pada saat saya mengangkat sebelah tangan untuk menyapu kening, koper saya yang ternyata tidak keburu saya serot kembali jatuh dan terbuka.
Piyama dan segala peralatan lainnya menggelinding turun. Tapi yang paling menarik perhatian orang-orang di bawah adalah lukisan Harbinger Madonna.
"Masya Allah!" seru Lord Harbinger
Saya mengutuk. Beberapa pelayan meringkus saya. Sebagian lagi berlari ke Bangsal Agung untuk memeriksa. Loxtonlah yang pertama muncul.
"My Lord, kabel alarm dipotong! la mengganti Madonna dengan yang palsu.
"Apa?" tanya Lord Harbinger.
"Saya panggil polisi, My Lord?" tanya seorang pelayan.
"Ehm ...."
"Panggillah," tantang saya. "Dasar memang nasib saya, semua yang saya kerjakan selalu gagal pada saat terakhir. Padahal semuanya direncanakan dengan saksama."
"Saya panggil polisi, My Lord?" tanya pelayan yang tadi.
"Ehm ...."
"Lebih baik panggil," kata saya lagi. "Saya tertangkap basah sekali ini. Saya kira polisi akan menyelidiki: dengan saksama."
' "Ya-a," jawab Lord Harbinger dengan ragu-ragu. "Dalam situasi normal tentu saya akan segera memanggil polisi, tapi ini agak menyulitkan."
"Kenapa?" tanya saya. "Saya 'kan tidak menyangkal melakukannya?"
"Tidak, tapi eh-." Rupanya kemudian ia mendapat akal, sebab dengan lancar ia melanjutkan. "Tapi Anda tamu di rumah saya. Bukan kebiasaan keluarga Harbinger untuk memanggil polisi, walaupun tamunya menyalahgunakan keramahtamahan mereka"
"Oh," kata saya.
"Ah, hebat sekali dia," komentar seorang Amerika.
Harbinger sudah kembali semangatnya sekarang. Ia menunjuk ke pintu dan berkata,
"Tinggalkan rumah saya!"
Saya turun dari tangga. "Lebih baik saya tidak membawa ini 'kan?" tanya saya sambil mengangkat Madonna.
"Tidak."
Saya menyerahkan lukisan itu dengan enggan. "Ambil saja duplikatnya. Sudah tidak ada gunanya lagi buat saya sekarang. Barangkali polisi ingin melihatnya untuk melacak siapa yang memesannya."
"Ya," kata bangsawan itu, "atau lebih baik tidak. Ambil kembali."
“Tapi-.”
"Jika polisi bisa melacak Anda lewat salinan itu, saya menyalahi hukum keramahtamahan kami. Bawa saja duplikatnya."
"Saya tidak mau."
"Anda harus membawanya," katanya dengan keras.
"Baiklah," jawab saya bersunggut-sungut.
"Ah, sangat Inggris," puji seorang Amerika.
Duplikat Madonna dari Bangsal Agung diserahkan kepada saya dan saya menaruhnya di koper saya. Saya diantar ke luar oleh Loxton. Para tamu lain dan para pelayan menjauhi saya, seperti saya ini orang yang memaksa menjual asuransi.
Di luar Loxton berkata, "Astaga! Aku tahu kau goblok dan tidak becus, tetapi tidak kusangka kau segoblok dan setidak becus itu!" Saya menunduk saja dengan kemalu-maluan.
"Sekarang masuk ke mobilmu dan enyah!"
"Oh, itu 'kan bukan mobil saya," jawab saya. "Itu 'kan mobil curian. Saya bisa distop polisi di jalan. Saya ikut bus saja ke stasiun." Loxton tampak sangat tidak senang.
Mencari maling dogol
Lama juga saya menunggu semua tamu naik ke bus. Saya duduk di belakang, sendirian, sebab mereka tidak mau dekat-dekat saya. Semua mengelompok di muka.
Bus berangkat menuruni jalan yang seperti zig-zag ke arah Iimmerton. Saya menengok ke belakang dan melihat Loxton melompat ke mobil yang diparkir di muka Harbinger Hall. Saya memandang arloji saya. Pukul 18.45.
Tanpa menutup pintu mobil lagi, Loxton menyalakan starter. Ia memundurkan mobil itu menjauhi puri. Tapi ia terlambat. Puri bisa diselamatkan, Loxton tidak.
Buntut Peugeot itu meledak menjadi balon jingga. Suara ledakan tidak kedengaran dalam bus, yang kaca-kacanya tertutup. Beberapa tamu menoleh dengan rasa ingin tahu tapi pada saat itu kami berbelok tajam, sehingga puri beserta mobil meledak itu lenyap dari pandangan.
Di kereta api tidak ada yang mau duduk seruangan dengan saya. Saya diasingkan seperti orang lepra.
Anda ingin tahu duduk perkara? Lord Harbinger sedang dalam kesulitan keuangan. Perawatan puri seperti Harbinger Hall itu memerlukan banyak sekali biaya. Penghasilan yang diperoleh dari pengunjung biasa maupun penginap tidak memadai. Apalagi liburan akhir minggu di situ memerlukan jasa banyak pelayan.
Lord Harbinger memiliki Madonna. Sebetulnya benda berharga itu bisa saja ia jual, tetapi gengsi dong menjual pusaka keluarga. Entah ia sendiri, entah Loxton, rupanya mempunyai gagasan cerdik. Mereka merencanakan agar lukisan itu dicuri, supaya mendapat uang asuransi. Lukisan yang pura-pura dicuri itu bisa diam-diam dijual. Jadi Lord Harbinger akan mendapat uang dobel.
Untuk mencuri lukisan, mereka memerlukan maling sungguhan. Bahaya kalau malingnya cerdik. Jadi dicarilah maling dogol. Mereka tahu saya pasti akan menarik perhatian pada saat ikut tur mengelilingi puri dan juga ketika menginap seminggu kemudian. Soalnya, saya 'kan berbeda sekali dari jenis orang yang biasa mengikuti tur dan liburan akhir minggu di sana.
Kalau saya sudah berhasil mencuri Madonna dan menggantinya dengan yang palsu, Loxton akan menawarkan diri untuk membawa koper saya ke mobil. Ia tidak akan memasukkan koper itu ke Peugeot merah, tetapi ke mobil lain. Di Peugeot merah ditaruhnya koper serupa yang berisi lukisan tua juga, tetapi lukisan yang sudah rusak.
Rencananya ia akan membawa koper saya ke London, ke saingan Pak Depaldo. Sedangkan saya akan mengendarai Peugeot merah yang di bagasinya diberi bom. Saya bisa jujur dengan menuruti instruksi mereka, tetapi bisa juga tidak dengan membawa kabur barang curian saya, tetapi mereka tidak peduli karena Madonna sudah tidak berada di tangan saya lagi.
Setengah jam setelah meninggalkan Harbinger Hall, mobil Peugeot itu akan meledak. Saya akan mati dan lukisan tua di bagasi ikut hancur. Tapi kalau serpihannya diperiksa polisi, polisi akan mendapatkan bahwa umur lukisan itu sama dengan Madonna. Jadi polisi akan terkecoh dan menyatakan Madonna hancur.
Kalau para tamu diminta mengidentifikasi mayat saya, pasti mereka akan beramai-ramai menyatakan inilah orang yang lagak lagunya mencurigakan selama berakhir minggu di Harbinger Hall. Melihat peralatan maling di bagasi mobil, bisa ditarik kesimpulan apa profesi saya.
Jadi rencana mereka memang bagus sekali. Cuma saja seperti banyak pentolan bandit lain, mereka salah menilai Billy Gorse. Saya tidak sedungu penampilan saya. Saya merasa lega di dalam kereta api. Begitu tiba di London saya akan ke tempat Rita Merah. Tampaknya ia perlu liburan. Bagaimana kalau saya ajak dia ke Amerika Selatan?
Saya membuka koper saya. Di dalamnya ada Madonna. Madonna asli, sebab berlawanan dengan instruksi mereka, saya tidak menukarkan lukisan di koper saya dengan lukisan di Bangsal Agung.
Lukisan yang mereka ambil dari saya adalah yang palsu, sedangkan yang mereka serahkan kepada saya, yaitu yang mereka turunkan dari Bangsal Agung, adalah yang asli. Madonna asli itulah yang kini ada di koper saya ini. Saya sih memang tidak mengerti seni, tetapi saya mulai menginsafi nilainya.
(Simon Brett)
" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123014/maling-dogol" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643747042000) } } }